Anda di halaman 1dari 13

UJIAN AKHIR SEMESTER

HUKUM SUMBER DAYA ALAM INTERNASIONAL

BENTUK-BENTUK KERJASAMA INTERNASIONAL DAN REGIONAL DALAM PENGELOLAAN


SUMBER DAYA PERIKANAN

Disusun Oleh:

Putri Aulia

110110120228

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN

2016
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perikanan mempunyai peran penting dan strategis dalam pembangunan perekonomian


nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan
pendapatan, dan peningkatan taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil,
pembudidaya ikan-ikan kecil, dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang perikanan. Hal ini
dilakukan dengan tetap memelihara lingkungan, kelestarian, dan ketersediaan sumber daya
ikan. Sumber daya ikan adalah potensi semua jenis ikan yang didefinisikan sebagai segala jenis
organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan
perairan. Dalam kegiatan perikanan cara penangkapan ikan dan alat yang dipergunakan
berkembang sangat cepat dengan tujuan untuk memperoleh ikan dalam waktu yang relatif
singkat dan dalam jumlah yang besar. Dalam kamus istilah perikanan, penangkapan adalah
usaha melakukan penangkapan atau pengumpulan ikan dan jenis-jenis sumber hayati lainnya
dengan dasar bahwa ikan dan sumber hayati tersebut mempunyai manfaat atau mempunyai
nilai ekonomis.1 Negara-negara kepulauan yang mempunyai posisi strategis dan memiliki
potensi sumber daya perikanan yang besar, menarik perhatian kapal-kapal nelayan asing
untuk melakukan penangkapan ikan secara illegal (selanjutnya disebut Illegal Fishing). Selain
itu salah satu faktor terjadinya Illegal Fishing adalah kebutuhan ikan dunia (demand)
meningkat, disisi lain pasokan ikan dunia menurun, dan terjadi kelebihan permintaan
(overdemand) terutama jenis ikan dari laut seperti Tuna. Hal ini merupakan penyumbang
signifikan dalam masalah penurunan persediaan ikan di laut.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kepulauan terbesar pertama di
dunia disusul Madagaskar diurutan kedua. Hal ini juga dipertegas dengan perhitungan Dinas
Hidro Oceonografi (Dishidros) TNI AL pada tahun 1982 bahwa ada sekitar 17.508 pulau.
Indonesia juga dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki garis
pantai lebih dari 81.000 km sehingga wilayah pesisir dan lautan Indonesia memiliki kekayaan
dan keanekaragaman hayati (biodiversity) laut terbesar di dunia dengan memiliki ekosistem

1 Eddy Afrianto, et.al., Kamus Istilah Perikanan, (Bandung: Kanisius, 1996), hlm. 103.

2
pesisir seperti magrove, terumbu karang (coral reefs) dan padang lamun (sea grass beds).
Secara geografis Indonesia memiliki luas wilayah 1,904,569 km persegi dengan presentase
wilayah air 4,85% yang terdiri dari laut territorial dengan luas 0,8 juta km persegi, laut
nusantara 2,3 juta km persegi, dan zona ekonomi eksklusif 2,7 juta km persegi.2 Indonesia
menjadi negara maritim terbesar di dunia setelah Kanada dan Rusia dengan dua pertiga dari
keseluruhan wilayahnya merupakan wilayah laut, dengan jumlah pulau sekitar 17.504 pulau
dan panjang garis pantai 81.000 km.3
Keberadaan wilayah cenderung memiliki nilai penting bagi sebuah negara. Nilai geografis
dapat dipandang sebagai wilayah teritorial yang menggambarkan kedaulatan negara dan
bahkan diperlukan sebuah kekuatan militer untuk mempertahankannya, terlebih lagi jika
wilayah tersebut memiliki kekayaan sumber daya alam. Kondisi geografis sebuah negara
dengan wilayah yang terdiri dari daratan dan lautan secara geografi, geopolitik dan
geostrategi mempunyai potensi kerawanan yang tinggi dari ancaman tradisional dan non
tradisional.4 Besarnya wilayah kepulauan Indonesia sebanding dengan besarnya tantangan
yang harus dihadapi dari sebuah Negara kepulauan. Perlu diperhatikan bahwa di era
globalisasi saat ini Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi masalah yang
menjadi ancaman bagi tiap negara kepulauan. Ancaman tersebut berupa pelanggaran hukum
yang meliputi perompakan (armed robbery), penyelundupan manusia (imigran gelap),
penyelundupan barang, illegal fishing, pencemaran laut, eksplorasi dan eksploitasi sumber
daya alam secara illegal, serta pelanggaran lain di wilayah laut.5 Indonesia merupakan negara
maritim dengan luas wilayah perairan yang mencapai 2/3 dari total wilayah negara secara
keseluruhan. Bila merujuk pada United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) 1982,
maka wilayah laut Indonesia adalah 5,8 juta Km, dari luas laut yang demikian, Negara
Indonesia memiliki 17.500 pulau besar dan kecil dan dikelilingi garis pantai sepanjang 95.181
Km, yang merupakan garis pantai terpanjang keempat yang dimiliki negara-negara di dunia

2 Dahuri R, S.P. Ginting dan MJ Sitepu, Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan
Secara Terpadu, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1996), hlm. 18
3 Melda Kamil Ariadno, Hukum Internasional Hukum Yang Hidup, (Jakarta: Media, 2007), hlm.

129
4 Yugolastarob Khoemini dan Yudha Kurniawan, Ambalat Sebagai Wilayah Kontestasi

Indonesia, (2013) Vol. 3 Jurnal Global Komunika No. 1.


5 Pujayanti Adirini, Budaya Maritim-Geopolitik dan Tantangan Keamanan Indonesia, (2001)

Jurnal, hlm. 5.

3
setelah Rusia, Amerika Serikat dan Kanada (diumumkan PBB tahun 2008). Dengan luasnya
wilayah perairan yang dimiliki oleh Indonesia sudah tentu negara ini memiliki kekayaan yang
cukup besar atas apa yang terkandung diwilayah lautnya.6 Dilihat dari potensi lestari total
ikan laut, ada 7,5 persen atau sebanding dengan 6,4 juta ton/tahun dari potensi ikan laut
dunia yang terkandung di perairan laut Indonesia. Lebih dari itu, dari sekitar 24 juta hektar
perairan laut dangkal Indonesia sangat potensial sebagai lahan budidaya ikan laut, kerang
mutiara, rumput laut dan biota laut lainnya, yang bernilai ekonomis tinggi, dengan potensi
produksi 47 juta ton/tahun. Selain itu juga, terdapat lahan pesisir seluas 1,2 juta hektar yang
sesuai untuk usaha budidaya tambak dengan potensi produksi sebesar 5 juta ton/tahun.7
Namun realitas yang terjadi justru menunjukkan suatu kenyataan yang ironis,
kelimpahan dan kekayaan alam yang terkandung dalam wilayah perairan Indonesia itu tidak
memberikan kesejahteraan hidup bagi rakyat Indonesia. Dengan sumber kekayaan laut yang
demikian besar, kesejahteraan rakyat Indonesia yang mencari nafkah dengan bermata
pencaharian sebagai nelayan masih saja dililit kemiskinan. Merujuk pada data Badan Pusat
Statistik (BPS) tahun 2008, penduduk miskin di Indonesia mencapai 34,96 juta jiwa dan 63,47
persen diantaranya adalah masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dan pedesaan. Tahun
2010 angka kemiskinan yang dikeluarkan BPS terakhir mencapai 35 juta orang atau 13,33
persen dari jumlah penduduk yang mencapai sekitar 237 juta jiwa, sedangkan Bank Dunia
melaporkan kemiskinan di Indonesia masih berkisar sekitar 100 juta. Dari data yang ada
jumlah rata-rata penghasilan nelayan (termasuk buruh nelayan) per hari tercatat hanya
sebesar Rp 30.499. Lebih kecil bila dibandingkan dengan upah kuli bangunan sebesar Rp
48.301 sehari. Dari ketimpangan yang ditemukan antara potensi kekayaan laut yang
terkandung di wilayah Indonesia dengan tingkat pendapatan dan kesejahteraan kehidupan
nelayan, maka kemudian timbul pertanyaan mengenai permasalahan dan kendala apa saja
yang terjadi hingga kemudian masyarakat nelayan tidak dapat mengelola kekayaan laut yang
ada untuk menopang kesejahteraan hidupnya. Maka dari itu diperlukan adanya upaya
penegakan kedaulatan dan penegakan hukum di laut sehingga terwujudnya kondisi laut yang
aman dan terkendali dalam rangka menjamin integritas wilayah guna menjamin kepentingan
nasional.

6 Mulyadi S, Ekonomi Kelautan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), hlm. 52.


7 Ibid.

4
Terkait dengan permasalahan Illegal Fishing, upaya suatu negara yang mengalami
kerugian juga merupakan hal yang patut diperhitungkan. Upaya yang diambil suatu negara
dalam menangani kasus Illegal Fishing harus diatur dalam suatu peraturan yang jelas. Pada
kenyataannnya upaya yang diambil oleh suatu negara dengan negara yang lain berbeda. Salah
satunya adalah kasus Illegal Fishing yang terjadi di Indonesia pada akhir tahun 2014, yaitu
upaya yang diambil oleh pemerintah Indonesia adalah penenggelaman kapal nelayan asing
dengan cara peledakan.8 Tindakan Illegal Fishing sering terjadi di wilayah perairan Indonesia.
Awal bulan Desember tahun 2014 terjadi penangkapan ikan secara illegal di wilayah perairan
Indonesia, tepatnya di Laut Natuna, Pulau Anambas, Kepulauan Riau oleh 3 (tiga) kapal
nelayan Vietnam. Personel TNI Angkatan Laut dari KRI Barakuda-633 mengevakuasi Anak
Buah Kapal (ABK), kemudian menurunkan paksa dari kapal Vietnam ke KRI Barakuda-633. Ada
8 (delapan) ABK kapal nelayan Vietnam yang diamankan di KRI Barakuda-633 dan di periksa
satu per satu. Komandan KRI Barakuda-633 berjanji akan bertindak tegas. Pihaknya akan
mengambil tindakan untuk menenggelamkan kapal nelayan Vietnam dengan cara
meledakkan ketiga kapal nelayan milik Vietnam tersebut yang terbukti mencuri ikan di
perairan Indonesia.9 Dengan melihat kondisi seperti ini Illegal Fishing dapat melemahkan
pengelolaan sumber daya perikanan di perairan Indonesia dan menyebabkan sumber daya
perikanan di beberapa Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia mengalami over
fishing.
Dengan demikian, melihat fakta-fakta mengenai hal-hal terkait zona konservasi dan
kearifan lokal, maka penulis akan mengangkat tema karya tulis ilmiah BENTUK-BENTUK
KERJASAMA INTERNASIONAL DAN REGIONAL DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA
PERIKANAN.

8 Anonim, Kapal Ditenggelamnkan Jokowi Kami Tak Main-Main, diakses di


http://www.tempo.co/read/news/2014/12/05/090626509/Kapal Ditenggelamkan-Jokowi-
KamiTak-Main-main, pada 14 Desember 2016 pukul 06.45.
9 Anonim, KRI Baracuda tangkap Nelayan Illegal asal Vietnam, diakses di

http://laut.co.id/kri-barakuda-tangkap-nelayan-illegal-asal-vietnam/, pada 14 Desember


2016 pukul 06.03.

5
1.2 Rumusan Masalah

Bertitik pada latar belakang dari pernyataan-pernyataan diatas, maka penulis akan
mengerucutkan permasalahan-permasalahan yang akan dibahas dalam karya tulis ilmiah ini,
yaitu:

1. Mengapa kerja sama dalam bidang pengelolaan perikanan penting untuk dilakukan
secara lingkup regional maupun internasional?
2. Bagaimana bentuk kerja sama pengelolaan perikanan secara lingkup regional maupun
internasional?

6
BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1 Tinjauan Kawasan Laut Internasional


a. Laut Teritorial

Laut teritorial termasuk dalam unsur kedaulatan teritorial negara pantai dan dengan
demikian secara otomatis menjadi miliknya. Sebagai contoh, semua negara yang baru
merdeka (yang berpantai) mendapatkan kemerdekaannya dengan disertai hak atas laut
teritorial. Ada sejumlah teori mengenai karakter hukum setepatnya dari laut teritorial
negara pantai, mulai dari perlakuan laut teritorial sebagai bagian dari res communis,
namun tunduk kepada hak tertentu yang bisa dilaksanakan oleh negara pesisir, hingga
mengenai laut teritorial sebagai bagian dari ranah teritorial negara pantai namun tunduk
pada hak lintas damai kapal asing. Namun demikian, tidak dapat dibantah bahwa negara
pantai memiliki hak berdaulat atas laut teritorialnya.10 UNCLOS 1982 pada Pasal 1 ayat 1
hingga 3 menegaskan status hukum laut territorial, ruang udara di atas laut territorial dan
dasar laut serta tanah di bawahnya. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa semua itu
merupakan wilayah dari Negara pantai, dan oleh karena itu, tunduk pada kelautan Negara
pantai tersebut. Dalam hal suatu negara merupakan negara kepulauan (archipelagic
state), wilayahnya dan juga kedaulatannya meliputi juga perairan kepulauannya
(archipelagic waters). Namun pelaksanaan kedaulatannya itu harus tunduk pada
ketentuan konvensi dan peraturan hukum internasional lainnya. UNCLOS 1982
merupakan formulasi tegas dan rinci dari konvensi-konvensi internasional yang
sebelumnya seperti Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan dari Konvensi
Hukum Laut Jenewa 1958.11

10 Arif Djohan Tunggal, Aspek-Aspek Hukum Laut Pendekatan Tanya Jawab, (Jakarta:
Harvindo, 2014), hlm. 65.
11 I Wayan Parthiana, Landas Kontinen dan Hukum Laut Internasional, (Bandung: Mandar

Maju, 2005), hlm. 69.

7
b. Zona Tambahan

Pasal 33 ayat 1 hingga 2 UNCLOS 1982 secara umum menyatakan bahwa zona
tambahan adalah suatu zona perairan yang berbatasan dengan laut teritorial yang lebar
maksimumnya adalah 24 mil laut diukur dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial
itu diukur. Pada zona tambahan, negara pantai dapat melaksanakan pengawasan yang
dibutuhkan untuk:12

a) Mencegah pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berkenaan


dengan masalah bea cukai, fiskal, imigrasi, atau sanitasi yang dilakukan di dalam
wilayah atau laut teritorialnya.
b) Menghukum pelaku pelanggaran atas peraturan perundang-undangan tersebut di
atas yang dilakukan di dalam wilayah atau laut teritorialnya.

Status zona tambahan berbeda dengan status laut teritorial, yaitu laut teritorial adalah
milik kedaulatan suatu negara pantai secara mutlak, sedangkan status Zona tambahan
adalah tunduk pada rezim yurisdiksi pengawasan negara pantai, bukan bagian dari
kedaulatan Negara.13 Berikut ini beberapa hal yang memperjelas tentang letak zona
tambahan: 14

1. Tempat atau garis darimana lebar zona tambahan itu harus diukur, tempat atau garis
itu adalah garis pangkal;
2. Lebar zona tambahan tidak boleh melebihi 24 mil laut diukur dari garis pangkal;
3. Zona laut selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal adalah merupakan laut teritorial,
maka secara praktis lebar zona tambahan itu adalah 12 mil karena jara 24 mil dikurangi
12 mil laut teritorial yang diukur dari batas luar laut teritorial, dengan kata lain zona
tambahan terletak di luar dan berbatasan dengan laut territorial;
4. Pada zona tambahan negara pantai hanya memiliki yurisdiksi yang terbatas, seperti
yang telah ditegaskan dalam Pasal 33 ayat 1 UNCLOS 1982. Hal ini tentu saja berbeda

12 I Wayan Parthiata, Op.cit., hlm. 80.


13 Departemen Kelautan dan Perikanan, Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi
Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) Di Indonesia, (Jakarta: KKP, 2008), hlm. 29.
14 T. May Rudy, Hukum Internasional 2, (Bandung: Rafika Aditama, 2002), hlm. 23.

8
dengan laut teritorial dimana negara pantai memiliki kedaulatan sepenuhnya dan
hanya dibatasi oleh hak lintas damai.
c. Zona Ekonomi Eksklusif

Zona Ekonomi Eksklusif adalah pengaturan baru yang ditetapkan oleh UNCLOS 1982.
Jauh sebelum lahirnya pengaturan ini, batas terluar laut teritorial dianggap sebagai batas
antara bagian laut ke arah darat tempat berlaku kedaulatan penuh negara pantai, dan
bagian laut ke arah luar dari batas tersebut tempat berlaku kebebasan di laut lepas.
Pengaturan Zona Ekonomi Eksklusif dapat dianggap sebagai suatu hasil revolusi yang telah
mengubah sedemikian rupa pengaturan atas laut.15 Secara umum dapat didefinisikan
tentang apa yang dimaksud dengan Zona Ekonomi Eksklusif, yakni "Bagian perairan (laut)
yang terletak di luar dari dan berbatasan dengan laut teritorial selebar 200 (dua ratus) mil
laut diukur dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur". Lebar Zona Ekonomi
Eksklusif bagi setiap negara pantai adalah 200 mil sebagaimana ditegaskan dalam Pasal
57 UNCLOS 1982 yang berbunyi "the exclusive economic zone shall not extend beyond 200
nautical miles from the baseline from which the breadth of territorial sea is measured"
(Zona Ekonomi Eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal dari mana
lebar laut teritorial diukur". Rezim hukum khusus ini tampak dalam kekhususan dari
hukum yang berlaku pada ZEE tersebut sebagai suatu keterpaduan yang meliputi:16

1. hak-hak berdaulat, yurisdiksi,dan kewajiban negara pantai;


2. hak-hak serta kebebasan dari Negara-negara lain;
3. kebebasan-kebebasan laut lepas;
4. kaidah-kaidah hukum internasional sebagaimana ditentukan dalam konvensi.

15 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Hukum Laut Internasional, (Bandung:


Binacipta, 1986), hlm. 181.
16 I Wayan Parthiana, Op.cit., hlm. 145.

9
BAB III

PEMBAHASAN DAN ANALISIS

3.1 Hukum Internasional dan Bentuk Kerja sama Pengelolaan Sumber Daya Perikanan
Tindakan Illegal Fishing tidak hanya merugikan secara ekonomi dengan nilai triliunan
rupiah yang hilang, tetapi juga menghancurkan perekonomian nelayan. Selain itu juga
menimbulkan dampak politik terhadap hubungan antar negara yang berdampingan,
melanggar kedaulatan negara dan ancaman terhadap kelestarian sumber daya hayati laut.
Tindakan yang melanggar kedaulatan negara dan ancaman terhadap kelestarian sumber daya
hayati laut atau kegiatan yang berkenaan dengan perikanan adalah perbuatan yang
merugikan kedamaian, ketertiban atau keamanan suatu negara. Perbuatan ini telah diatur
dalam United Nations Convention on The Law of The Sea 1982.17 Illegal Fishing merupakan
salah satu latar belakang dibentuknya badan-badan internasional untuk mengelola sumber
daya perikanan. Berikut konvensi-konvensi yang mengatur mengenai kerjasama internasional
terkait pengelolaan sumber daya perikanan:
1) United Nations Convention on the Law of the Sea 1982
2) International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported
and Unregulated Fishing 2001.
3) FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries 1995
3.2 Hukum Internasional Regional dan Bentuk Kerja Sama Pengelolaan Sumber Daya
Perikanan
Selain kerja sama regional yang beranggotakan negara-negara dunia, kerjasama dalam
aspek kelautan dan perikanan juga berada di Regional Fisheries Management Organization
(RFMO). Secara umum, RFMO bergerak pada prinsip untuk membangun perikanan yang
bertanggung jawab dan berkelanjutan dan perannya adalah mengelola konservasi sumber
daya perikanan.18 Mengenai bagaimana hukum Regional berkembang, Berikut konvensi-
konvensi mengenai kerjasama regional mengenai sumber daya perikanan:

17 I Wayan Parthiana, Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia, (Bandung: Yrama
Widya, 2014), hlm. 107-108.
18 Victor P.H. Nikijuluw, Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Ilegal: Blue Water Crime, (Jakarta:

PT Pustaka Cidesindo, 2008), hlm. 162.

10
1) Regional Plan of Action to Promote Responsible Fishing Practices including
Combating Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing in the Region
2007.
2) IPOA for the Management of Fishing Capacity

11
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, karya ilmiah ini dapat disimpulkan sebagai
berikut:

1. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kepulauan terbesar


pertama di dunia yang membuat banyaknya ancaman kejahatan yang dapat
terjadi di laut.
2. Dalam mengurangi hal-hal kejahatan yang dapat terjadi di laut, Hukum Laut
Internasional memperluas pengawasannya melalui badan regional.
4.2 Saran

Berdasarkan hasil karya ilmiah ini, penulis akan memberikan saran-saran yang sekiranya
akan berguna untuk perkembangan ilmu hukum terkait perceraian, yaitu sebagai berikut:

1. Sistem Regional terkait pengelolaan sumber daya perikanan harus dibuat setegas
mungkin dengan badan khusus per-regional, seperti contoh ASEAN Maritime Fisheries
Security Force.

12
DAFTAR PUSTAKA

Dokumen Hukum Negara

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945


2) Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup

Buku dan Jurnal

1) Eddy Afrianto, et.al., Kamus Istilah Perikanan, (Bandung: Kanisius, 1996).


2) Dahuri R, S.P. Ginting dan MJ Sitepu, Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan
Lautan Secara Terpadu, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1996).
3) Melda Kamil Ariadno, Hukum Internasional Hukum Yang Hidup, (Jakarta: Media, 2007).
4) Yugolastarob Khoemini dan Yudha Kurniawan, Ambalat Sebagai Wilayah Kontestasi
Indonesia, (2013) Vol. 3 Jurnal Global Komunika No. 1.
5) Pujayanti Adirini, Budaya Maritim-Geopolitik dan Tantangan Keamanan Indonesia,
(2001) Jurnal.
6) Mulyadi S, Ekonomi Kelautan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007).
7) Arif Djohan Tunggal, Aspek-Aspek Hukum Laut Pendekatan Tanya Jawab, (Jakarta:
Harvindo, 2014).
8) I Wayan Parthiana, Landas Kontinen dan Hukum Laut Internasional, (Bandung: Mandar
Maju, 2005).
9) Departemen Kelautan dan Perikanan, Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi
Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) Di Indonesia, (Jakarta: KKP, 2008).
10) T. May Rudy, Hukum Internasional 2, (Bandung: Rafika Aditama, 2002).
11) Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Hukum Laut Internasional, (Bandung:
Binacipta, 1986).
12) I Wayan Parthiana, Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia, (Bandung:
Yrama Widya, 2014)
13) Victor P.H. Nikijuluw, Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Ilegal: Blue Water Crime,
(Jakarta: PT Pustaka Cidesindo, 2008)
Dokumen Lainnya
1) Anonim, Kapal Ditenggelamnkan Jokowi Kami Tak Main-Main, diakses di
http://www.tempo.co/read/news/2014/12/05/090626509/Kapal Ditenggelamkan-
Jokowi-KamiTak-Main-main, pada 14 Desember 2016 pukul 06.45.
2) Anonim, KRI Baracuda tangkap Nelayan Illegal asal Vietnam, diakses di
http://laut.co.id/kri-barakuda-tangkap-nelayan-illegal-asal-vietnam/, pada 14 Desember
2016 pukul 06.03.

13

Anda mungkin juga menyukai