Anda di halaman 1dari 10

PENERAPAN HUKUM ADAT CAMBUK DI

MASYARAKAT ACEH
Dosen Pengampu : Sholihul Hakim, S.H., M.H.

Kelas Hukum 02
Kelompok Justice
Disusun Oleh :
1. Alifian H (1710601043)
2. Aswin Hilman Z (1710601075)
3. Bela Maharani S (1710601060)
4. Ehud Gunawan N (1710601055)
5. Nadiya Syu`aib (1710601075)
6. Rafi Setiawan (1710601078)
7. Rahmania H (1710601010)
8. Veren Yonita (1710601080)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS TIDAR
2017
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................................... 1


DAFTAR ISI....................................................................................................................... 2
BAB 1 PENDAHULUAN
a. Latar Belakang ................................................................................................... 3
b. Rumusan Masalah .............................................................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 5
BAB III PEMBAHASAN .................................................................................................. 7
BAB IV PENUTUP
a. Kesimpulan ............................................................................................................. 9
b. Saran ....................................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 10

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan masyarakat Aceh selalu diwarnai dengan nilai-nilai Islam, corak kehidupan
seperti ini adalah sebuah keinginan dimana hal tersebut pernah terjadi saat Nanggroe Aceh
Darussalam masih berdaulat kerajaan pada zaman Belanda. Dan kemudian kerajaan Aceh
juga runtuh ketika bergabung dengan kesatuan Republik Indonesia, konsekuensi hukum Islam
yang berlakupun diseragamkan dengan hukum sekuler yang merupakan adopsi dari hukum
bangsa Belanda.
Syariat Islam yang menjadi dambaan masyarakat Aceh kini telah berjalan di bumi
Serambi Mekkah, pemerintah secara yuridis telah memberikan wewenang penuh kepada
Pemerintah Aceh untuk menentukan sendiri jalannya pemerintahan, terutama yang berkaitan
dengan pelaksanaan syariat Islam.
Pada saat ini Aceh telah menyusun beberapa qanun1 yang mengatur tentang pelaksanaan
syariat Islam, antara lain: Qanun Provinsi Aceh No. 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan
syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah dan syiar Islam, Qanun Provinsi Aceh No. 12 Tahun
2003 tentang Khamar, Qanun Provinsi Aceh No.13 tahun 2003 tentang Maisir dan Qanun
Provinsi Aceh No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat. Salah satu bentuk metode hukuman yang
disebutkan di dalam setiap qanun tersebut diatas yakni hukuman cambuk.2 Hal ini senada
dengan keinginan dan keadaan kultur masyarakat Aceh. Dalam kehidupan sehari-hari, pola
tingkah laku masyarakat Aceh bisa dikatakan mencerminkan hukum Islam, artinya sesuai
dengan aturan hukum Islam.
Dengan pemahaman bahwa hukum merupakan suatu aturan yang hidup di dalam
masyarakat (living law). Maka hukum (dalam hal ini qanun) yang baik dalam proses
pembuatannya harus melihat dari bawah atau dari pandangan adat masyarakat itu sendiri.
Karena awal terealisasinya syariat Islam itu berdasarkan keinginan dari masyarakat dan ini
merupakan fenomena sosial, maka tidak relevan jika dalam pembuatan aturan syariat
(qanun) mengabaikan pandangan masyarakat. Demikian juga dengan aturan qanun yang
menerapkan hukuman dengan metode cambuk bagi masyarakat, tidak hanya sebatas
pelaksanaan dari aturan qanun itu, akan terlihat tidak efektif atau bahkan terkesan qanun itu
berjalan di tempat.
Bentuk hukuman cambuk ini merupakan bentuk penghukuman baru di dalam
perundangan Indonesia yang diharapkan dapat mengurangi tingkat kejahatan atau
pelanggaran syariat di Aceh. Maka tidak jarang timbul perbedaan pandangan di masyarakat
terkait dengan pelaksanaan hukuman cambuk, baik itu dilihat dari segi Qanun itu sendiri

1 Qanun merupakan peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah yang mengatur


penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh, lihat Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007
tentang Tata cara Pembentukan Qanun, Pasal 1 ayat (14)
2 Mohd. Din, Stimulasi Pembangunan Hukum Pidana Nasional dari Aceh Untuk Indonesia, (Bandung: Unpad
Press, 2009), hlm. 9.

3
ataupun dilihat dari Hukum Adat setempat. Perbedaan pandangan ini telah terjadi semenjak
qanun masih dalam rancangan sampai sekarang.3
Mengenai hukuman cambuk, pada tanggal 28 Maret 2017, warga Darussalam di provinsi
Aceh menangkap basah pasangan gay, pria berusa 20-an MH dan MT sedang berhubungan
badan di kamar kosnya. Karena melanggar hukum Jinayat di Aceh, MH dan MT terancam
hukuman cambuk maksimal 100 kali. Pada tanggal 10 Mei 2017, MH dan MT diadili dan
dinyatakan bersalah oleh majelis hakim di Mahkamah Syariah kota Banda Aceh. Jaksa
Penuntut Umum menuntut hukuman cambuk sebanyak 80 kali. Dalam sidang juga dihadirkan
seorang saksi yang mengintip melalui celah dinding. Saksi melihat MH dan MT sedang
berhubungan di dalam kamar kosnya. Mendengar keterangan saksi dan melihat bukti berupa
rekaman video saat mereka dipergoki warga, majelis hakim memutuskan hukuman cambuk
sebanyak 85x. MH sempat terkejut dengan putusan tersebut. Memang hukuman yang
divoniskan oleh majelis hakim jauh lebih berat dibandingkan tuntutan jaksa. Hukuman
cambuk MH dan MT dilaksanakan sebelum bulan Ramadhan dimulai, yakni pada tanggal 23
Mei 2017. Dede Oetomo selaku pendiri lembaga Gaya Nusantara yang mengadvokasi hak-
hak LGBT menilai bahwa putusan majelis hakim tersebut adalah sebuah kemunduran. Dede
menyatakan bahwa orang dewasa yang berhubungan seks atas dasar suka sama suka lalu
dihukum, itu artinya kriminalisasi.4
Ada sebagian orang yang mendukung terlaksananya hukuman cambuk, ada kelompok
lain yang secara terang-terangan menentang pelaksanaan hukuman cambuk, apakah hukuman
kurungan badan dan penjara dalam sistem hukum pidana tidak begitu menjadi shock terapi
bagi para pelaku tindak pidana? atau masyarakat yang tidak mengerti tentang pelaksanaan
hukuman cambuk. Berbagai macam reaksi muncul di dalam masyarakat terhadap cambuk
yang dijadikan sebagai alat pelaksanaan hukuman.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pada uraian dan latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahan
dalam tulisan ini adalah:
1. Apa yang menyebabkan cambuk dijadikan sebagai bentuk hukuman dalam penerapan
syariat Islam di Aceh?
2. Bagaimana hukuman cambuk menurut qanun Aceh dan hukum Adat Aceh?
3. Bagaimana persepsi dan respon masyarakat terhadap pelaksanaan hukuman cambuk di
aceh?

3 Mohd. Din, Stimulasi Pembangunan Hukum Pidana Nasional dari Aceh Untuk Indonesia, (Bandung: Unpad
Press, 2009), hlm. 143.
4 TomoNews, https://www.youtube.com/watch?v=dVA9iAm_2Bc , 18/09/17, 14:53

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Berdasarkan dengan judul penelitian oleh penulis mengenai PE0NERAPAN HUKUM
ADAT DI MASYARAKAT ACEH maka diperlukan penjelasan awal mengenai pengertian
hukum adat, bentuk hukum adat, dan sumber-sumber hukum adat.
a. Pengertian
Berikut adalah pengertian hukum adat menururt pendapat beberapa ahli :
1. Soerjono Soekanto bahwa hukum adat adalah kompleks adat-adat yang tidak
dikitabkan (tidak dikodifikasikan) bersifat paksaan (mempunyai akibat hukum)
2. Supomo & hazairin mengambil kesimpulan bahwa hukum adat adalah hukum yang
mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik yang
merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup
di masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat
itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan yang mengenal sanksi atas
pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat.
3. Terhar berpendapat bahwa hukum adat hukum adat lahir dari & dipelihara oleh
keputusan-keputusan, Keputusan berwibawa dan berkuasa dari kepala rakyat (para
warga masyarakat hukum)
4. Bushar Muhammad menjelaskan bahwa untuk memberikan definisi hukum ada sulit
sekali dilakukan karena, hukum adat masih dalam pertumbuhan; sifat dan pembawaan
hukum adat.
5. Van Vollenhoven menjelaskan bahwa hukum adat adalah Keseluruhan aturan tingkah
laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi.
b. Bentuk Hukum Adat
1. Tertulis
Hukum yang tumbuh dan hidup di dalam masyarakat yang sudah mengenal tulis,
dapat diketahui keputusan-keputusan para pemimpin persekutuan dan tidak boleh
bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Contoh hukum adat tertulis:
a. Subak di Bali
b. Piagam-piagam raja
c. Angger Arubiru (1782)
d. Nawolo Pradoto (1771)
e. Pranata desa
f. Baraja nanti (Kutai)
2. Tidak tertulis
Hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat adat, tetapi tidak tertulis
dan tidak mengenal kodifikasi namun berlakunya ditaati seperti perundang-

5
undangan. Biasanya berlaku di masyarakat yang masih buta huruf. Contoh hukum
adat tidak tertulis:
a. Maro
b. Kawin lari
c. Harta gono gini dsb
c. Sumber-sumber hukum adat adalah :
1. Adat-istiadat atau kebiasaan yang merupakan tradisi rakyat
2. Kebudayaan tradisionil rakyat
3. Ugeran/ Kaidah dari kebudayaan Indonesia asli
4. Perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat
5. Pepatah adat
6. Yurisprudensi adat
7. Dokumen-dokumen yang hidup pada waktu itu, yang memuat ketentuan-ketentuan
hukum yang hidup.
8. Kitab-kitab hukum yang pernah dikeluarkan oleh Raja-Raja.
9. Doktrin tentang hukum adat
10. Hasil-hasil penelitian tentang hukum adat
11. Nilai-nilai yang tumbuh dan berlaku dalam masyarakat

6
BAB III
PEMBAHASAN

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hukum adat adalah siksa dan sebagainya
yang dikenakan kepada orang yang melanggar undang-undang dan sebagainya, keputusan yang
dijatuhkan oleh hakim.5 Atau dapat juga dikatakan dengan hukuman yaitu sanksi yang
diberikan kepada seseorang yang telah melaksanakan pelanggaran hukum baik pidana dan
perdata.
Sedangkan cambuk yang dimaksud didalam qanun adalah: suatu alat pemukul yang
berdiameter antara 0,75 cm sampai 1 (satu) sentimeter, panjang 1 (satu) meter dan tidak
mempunyai ujung ganda atau dibelah.6
Sedangkan hukuman cambuk dalam bahasa Arab disebut jald berasal dari akar kata
jalada yang berarti memukul dikulit atau memukul dengan cambuk yang terbuat dari kulit. Jadi,
hukuman ini terasa di kulit meskipun sebenarnya ia lebih ditujukan untuk membuat malu dan
mencegah orang untuk berbuat kesalahan daripada menyakiti dirinya. Hukuman cambuk juga
dijelaskan dalam al-Quran surat an-Nur ayat 2 tentang tindak pidana perzinaan, dan surat an-
Nur ayat 4 tentang tindak pidana qadzaf (menuduh orang mukmin baik-baik berbuat zina tanpa
berdasarkan bukti). Dan ada beberapa hadis tentang tindak pidana Khamar (minuman keras)
dan Tazir (hukuman yang tidak ditentukan oleh Nash Al-Quran maupun hadis, tetapi
wewenang ulil amri, pemerintahan atau pengadilan untuk menentukannya). Jumlah cambukan
untuk zina 100 kali, untuk pidana qadzaf 80 kali, dan untuk pidana miras 40 kali, bahkan pada
masa Umar Ibn Khattab ditambah menjadi 80 kali dianalogikan dengan kejahatan qadzaf, yaitu
orang yang mabuk dengan ketidaksadarannya dapat menuduh orang baik telah berbuat zina.
Dalam hukum Positif yang berlaku pada masa kesultanaan dahulu, hukuman cambuk
sering dijatuhkan pengadilan dan dilaksanakan di tengah masyarakat. Ketika Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 1999 disahkan, rakyat Aceh pun membuat suatu pengadilan rakyat yang
menjatuhkan hukuman badan kepada para penjudi, peminum minuman keras, dan pelaku
perbuatan mesum. Pengadilan dan penjatuhan hukuman ini digelar di semua kabupaten,
sehingga ada sekitar 40 kasus dalam waktu empat bulan. Pengadilan Liar ini baru berhenti
setelah para ulama turun memberikan penjelasan bahwa di dalam syariat, hukuman hanya
dapat dijatuhkan oleh pengadilan yang sah dan berwenang, dan hanya boleh dilaksanakan oleh
petugas yang resmi, yang diberi wewenang. Dengan demikian rakyat tidak berhak melakukan
pengadilan dan tidak berhak menjatuhkan hukuman. Maka sejak saat ini, di 15 dalam berbagai
kesempatan, sering terlontar pertanyaan dan tuntutan kepada para ulama, kapan Mahkamah
Syariah menjatuhkan hukuman kepada para pelaku kejahatan. Dan bentuk hukuman yang
diminta pada umumnya adalah hukuman cambuk. Sekiranya bukan hukuman cambuk yang

5 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm.315.


6 Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Himpunan UndangUndang, Keputusan Presiden,
Peraturan Daerah/Qanun, Intruksi Gubernur, Edaran Gubernur Berkaitan Pelaksanaan Syariat Islam, cet. ke-6,
(Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008), hlm. 143.

7
dijatuhkan, maka akan terkesan bahwa hukuman tersebut belum merupakan pelaksanaan
syariat, tetapi masih merupakan hukuman peninggalan Belanda.
Penerapan hukuman cambuk di provinsi Aceh bila dilihat dari segi qanun Aceh dan
hukum adat Aceh terdapat banyak kesamaan diantara keduanya, diantaranya memiliki dasar-
dasar hukum yang sama, tujuan dari penerapan hukuman cambuk yang sama, dan mempunyai
peran yang sama karena bentuk hukuman cambuk yang telah diuraikan dalam qanun Aceh itu
rangkuman dari kebiasan sehari-hari masyarakat Aceh yang menyatu dengan adat sehingga
sering sifat adatnya itu lebih menonjol dari sifat syariatnya. Namun tidak menutup
kemungkinan diantara keduanya itu tetap memiliki perbedaan, adapun perbedaan yang
signifikan terdapat pada bentuk pelaksanaan ditengah-tengah masyarakat, yakni dalam hukum
adat Aceh apabila terjadi pelanggaran baik itu berupa pelanggaran minum-minuman keras
(khamar), Perjudian (maisir), dan perbuatan mesum (khalwat), maka pelanggaran tersebut akan
diselesaikan melalui Reusam Kampoeng (hukum adat setempat) dengan mengadakan
musyawarah.7
Untuk merealisasikan nilai-nilai ajaran Islam, manyoritas masyarakat Aceh menuntut
diberlakukannya penerapan hukum syariat Islam. Dengan diberlakukannya syariat Islam maka
lahirlah qanun-qanun. Diantara Qanun tersebut yaitu qanun tentang hukum jinayat. Mengenai
qanun tentang hukum jinayat banyak timbul pro dan kontra. Salah satu pro dan kontra tersebut
yaitu tentang pembelakuan hukum cambuk. Hukum cambuk di Aceh sudah berjalan kurang
lebih 11 tahun dan merupakan penerapan hukuman baru dalam perundangan Indonesia.
Kebanyakan respoden menganggap bahwa penerapan hukum cambuk di Aceh belum efektif,
berbagai alasan di berikan, diantranya hukum cambuk di Aceh masih tajam ke bawah tumpul
ke atas. Selain itu, hukum cambuk belum sepenuhnya memberi efek jera kepada pelanggar
syariat sebagaimana yang diharapkan.8

7 Fauzul Mustaqim, http://www.fauzulmustaqim.com/2015/12/makalah-hukuman-cambuk-qanun-aceh-


dan.html, 15/09/17,13:49
8 Baihaqi M Hasan, http://filosofiilmupengetahuan.blogspot.co.id/2017/02/respon-masyarakat-terhadap-
penerapan.html, 15/09/17, 13:51

8
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukuman cambuk yang dijadikan sebagai bentuk hukuman dalam penerapan syariat
Islam di Aceh selain bertujuan sebagai penguat identitas Provinsi Aceh, pelaksanaan hukum
cambuk tersebut memiliki tujuan yang sangat jelas. Selain memberikan hukuman terhadap
pelanggaran, hukum cambuk juga menjadi metode preventif agar pelanggaran tersebut tidak
lagi terjadi. Dengan begitu tidak ada salahnya jika hukum cambuk dijalankan. Pada dasarnya,
masyarakat Aceh hanya ingin menjalankan ajaran Islam secara kaffah.
B. Saran
Sudah seharusnya kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia dapat menghormati
perbedaan hukum adat yang tersebar di berbagai penjuru nusantara, contohnya di wilayah Aceh
itu sendiri. Dengan adanya hukum cambuk bukan berarti kita memandang sebelah mata
masyarakat Aceh dengan hukum adat yang mereka miliki. Selain itu dengan adanya hukuman
ini seharusnya kita dapat menjaga sikap dan menjadi motovasi untuk diri sendiri supaya selalu
berhati-hati dalam bertindak.

9
DAFTAR PUSTAKA
http://tesishukum.com/pengertian-hukum-adat-menurut-para-ahli/

http://vitaorrin.blogspot.co.id/2012/12/bentuk-dan-corak-hukum-adat.html

http://www.acehtrend.co/memahami-hukum-cambuk-di-aceh/

10

Anda mungkin juga menyukai