Anda di halaman 1dari 15

UJIAN TENGAH SEMESTER

HUKUM PERNIKAHAN DAN WARIS DALAM ISLAM

PERKEMBANGAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA DITINJAU


MENURUT HUKUM ISLAM

Disusun Oleh:

Munif Ariyadi Witjaksono

1101101303124

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN

2016
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu Negara yang memiliki berbagai macam identitas pada
penduduknya yaitu beragam agama, etnis dan budaya. Hal tersebut menjadikan Indonesia
sebagai Negara yang memiliki kekayaan budayanya yang beragam dan juga sebagai Negara
dengan penduduk Muslim terbanyak di Dunia. Dengan demikian, Indonesia pun menjadi
Negara yang menjalankan kehidupan sehari-harinya dengan nilai-nilai keislaman di
masyarakat. Salah satu tujuan syariat Islam adalah memelihara kelangsungan keturunan
melalui perkawinan yang sah menurut agama dan diakui oleh Undang-Undang dan diterima
sebagai bagian dari budaya masyarakat.1 Bukan hanya suatu perbuatan perdata biasa saja,
namun juga dianggap sebagai suatu perbuatan keagamaan, karena sah atau tidaknya suatu
perkawinan tolak ukurnya sepenuhnya ada pada hukum masing-masing agama dan
kepercayaan yang dianutnya.2

Di Indonesia sendiri, tata cara perkawinan dapat tergolong sebagai golongan yang
beraneka ragam antara satu sama lain karena Indonesia mengakui berbagai perbedaan agama
dan tata caranya. Hal tersebut dilatarbelakangi dengan kepribadian Negara Kemerdekaan
Republik Indonesia yaitu Pancasila yang dengan tegas mengakui adanya prinsip kebebasan
beragama.3 Setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, maka
terjadi lah unifikasi hukum dalam perkawinan di Indonesia, dimana suatu perkawinan
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama/kerohanian. Pengaturan hukum tentang
perkawinan telah berlaku sama terhadap semua warga Negara. Oleh karena itu, setiap warga
Negara harus patuh terhadap hukum yang berlaku, termasuk terhadap Undang-Undang No. 1
tahun 1974 tentang Perkawinan yang menjadi landasan untuk menciptakan satu kepastian

1 Fuaddudin, Pengasuhan Anak Dalam Keluarga Islam, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender,
1999), hlm.4.

2 Abdurrahman, Masalah-Masalah Hukum Perkawinan Di Indonesia,(Bandung: Penerbit


Alumni, 1978), hlm. 9

3 R. Subekti, Hukum Keluarga dan Hukum Waris, (Jakarta: PT Intermasa, 2002), hlm. 1.

2
hukum, baik dari sudut hukum keluarga, harta benda, dan akibat hukum dari suatu
perkawinan.4

Perkawinan sudah merupakan sunnatullh yang berlaku secara umum dan perilaku
makhluk ciptaan Tuhan, agar melalui perkawinan kehidupan di alam dunia ini bisa
berkembang untuk meramaikan alam yang luas ini antar generasi ke generasi di masa depan. 5
Oleh karena manusia sebagai makhluk yang berakal, maka bagi manusia perkawinan
merupakan salah satu budaya untuk berketurunan guna kelangsungan dan memperoleh
ketenangan hidupnya, yang beraturan dan mengikuti perkembangan budaya manusia. Dalam
masyarakat sederhana budaya perkawinannya adalah dalam bentuk yang sederhana, sempit
dan bahkan tertutup, sedangkan dalam masyarakat modern budaya perkawinannya maju, luas
serta terbuka.6

Islam telah memberi tuntunan yang lengkap tentang tata cara bagaimana memilih
pasangan hidup. Jika seseorang telah mampu untuk memilih pasangan hidup dengan baik,
niscaya dia akan mendapatkan kebahagiaan, kasih sayang dan saling cinta diantara suami
istri. Islam pun dalam kerangka pemikiran perkawinan menganjurkan para pemeluknya untuk
menitikberatkan pada pilihan agama. Dalam Al-Quran pun di atur dalam surat al-Baqarah
ayat 221 yang berbunyi:

Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mumin lebih baik wanita musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mumin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mumin lebih baik dari orang
musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak

4 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 3.

5 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan,Hukum Adat,


Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm. 1.

6 Ibid.

3
ke surge dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (Perintah-
perintah-Nya) kepada manusia agar mereka menerima pelajaran.
Perkawinan berasal dari kata kawin yang menurut bahasa berati membentuk keluarga
dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Berasal dari kata an-
nikah yang menurut bahasa berarti mengumpulkan, saling memasukkan, dan wathi atau
bersetubuh.7 Sedangkan menurut Sayid Sabiq, perkawinan merupakan satu sunatullah yang
berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik manusia, hewan maupun tumbuhan. 8 Adapun
tujuan dari perkawinan adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan
keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.9 Sedangkan menurut Imam al Ghozali yang
dikutip oleh Abdul Rohman Ghozali, tujuan perkawinan adalah:10
a. mendapatkan dan melangsungkan keturunan;
b. memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwat dan menumpahkan kasih
sayang;
c. memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan;
d. menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban
dan untuk memperoleh harta kekeyaan yang halal; dan
e. membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar
cinta dan kasih sayang.
Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, ada dua macam syarat-syarat perkawinan
yaitu syarat materiil adalah syarat yang melekat pada diri masingmasing pihak disebut juga
syarat subjektif, dan syarat formal yaitu mengenai tata cara atau prosedur melangsungkan
perkawinan menurut hukum agama dan undang-undang disebut juga syarat objektif. 11 Syarat
perkawinan (Syarat Materiil) diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah sebagai berikut :
a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat
(1));

7 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2003) hlm. 8

8 Ibid, hlm. 10.

9 Ibid, hlm. 22.

10 Ibid.

11 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000) hlm.
76.

4
b. Pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun (Pasal 7 ayat (1));
c. Harus mendapat izin masing-masing dari kedua orang tua, kecuali dalam hal-hal
tertentu dan calon pengantin telah berusia 21 tahun atau lebih, atau mendapat
dispensasi dari Pengadilan Agama apabila umur para calon kurang dari 19 dan 16
tahun (Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2));
d. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 yaitu
perkawinan antara dua orang yang:
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,
antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya;
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan
bibi/paman susuan;
5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang; dan
6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,
dilarang kawin.
e. Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin
lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-
undang ini (Pasal 9);
f. Suami isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk
kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi,
sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10); dan
g. Seorang wanita yang perkawinannya terputus untuk kawin lagi telah lampau tenggang
waktu tunggu. (Pasal 11).
Melihat fakta-fakta mengenai segala aturan hukum di Indonesia mengenai pernikahan
hanyalah untuk pasangan calon suami-istri yang tidak memiliki perbedaan agama. Namun
disisi lain, banyak pernikahan di era Modern yang tidak memandang agama adalah sebuah
halangan sehingga tingkat perkawinan beda agama cukup tinggi presentase nya. Dengan
demikian, penulis akan mengangkat tema Karya Ilmiah Ujian Tengah Semester yaitu
Perkembangan Perkawinan Beda Agama di Indonesia Dikaji Dengan Hukum Islam.

5
1.2 Rumusan Masalah

Melalui latar belakang, penulis akan mengerucutkan poin-poin masalah yang akan
dibahas dalam karya tulis ilmiah ini, yaitu:
a. Bagaimana perkembangan perkawinan beda agama di Indonesia?
b. Bagaimana Hukum Islam menanggapi fenomena perkawinan beda agama di
Indonesia?

6
BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1 Perkembangan Perkawinan Beda Agama di Indonesia

Perkawinan beda agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang
memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda antara satu sama lain (calon suami istri). 12
Namun, di Indonesia sendiri tidak ada kesempatan untuk menikah berbeda agama antar
pasangan calon suami istrinya.13 Fenomena yang sangat alamiah itu seyogianya tidak
memberikan dampak apa pun. Di Indonesia, hal tersebut lebih di anggap sebagai masalah
ketimbang menjadi berkah. Terdapat sejenis kepentingan yang di mainkan di balik pelarangan
atau minimal mempersulit perkawinan beda agama di Negara sendiri. Pihak yang paling
bergantung pada pernikahan beda agama adalah pihak yang mempunyai kepentingan tertentu
dengan institusi perkawinan itu sendiri.14

Perkawinan beda agama terjadi apabila seorang pria dengan wanita yang berbeda agama
melakukan perkawinan dengan tetap mempertahankan agamanya masing-masing, termasuk
dalam pengertian ini, walaupun agamanya satu kiblat namun berbeda dalam pelaksanaan
upacara-upacara agamanya dan kepercayaannya.15 Fenomena ini lalu di komentari oleh
Menteri Agama Republik Indonesia dr. Tarmizi Taher dalam wawancaranya dengan Majalah
Sinar No. 18 tahun I tertanggal 17 Januari 1994, beliau mengatakan:16

Terjadinya perkawinan beda agama adalah gejala zaman modern yang terjadi
dalam masyarakat yang mengalami pelemahan nilai-nilai agama (dispiritualisasi),
tetapi masyarakat kita ingin mencegah terjadinya hal tersebut;
Apabila sejak semula majelis-majelis agama memberitahukan kepada umatnya
mengenai ketentuan perkawinan beda agama, maka tidak akan bertambah orang-

12 Abdurrachman & R. Syahrani, Masalah-Masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung:


Alumni, 1978), hlm. 20.

13 Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang No. 1 tahun 1974, (Jakarta: Tintamas, 1986), hlm.
2.

14 Maria Ulfah Anshor, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama Perspektif Perempuan dan
Pluralisme, (Jakarta: Kapal Perempuan, 2004).

15 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm. 18.

16 Rusdi Malik, Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia (Muslim dengan non-
Muslim), (1995), No. 9 Jurnal Penelitian Agama hlm. 26.

7
orang yang mengalami masalah itu. Tugas majelis-majelis agamalah untuk
menjelaskan kepada umatnya mengenai ketentuan perkawinan beda agama. Hal
tersebut harus disampaikan sedini mungkin kepada anak-anak dan para remaja.

Kata sah berarti menurut hukum yang berlaku, apabila perkawinan itu dilaksanakan tidak
menurut tata tertib hukum yang telah ditentukan maka perkawinan itu tidak sah. Jadi kalau
tidak menurut aturan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 berarti tidak sah menurut
perundang-undangan.17 Menurut Prodjohamidjojo, perkawinan dianggap sah jika
diselenggarakan:18
1. Menurut Hukum masing-masing Agama dan kepercayaan;
2. Secara tertib menurut hukum syariah (bagi yang beragama Islam); dan
3. Dicatat menurut perundang-undangan dengan dihadiri oleh Pegawai Pencatat Nikah
(Pasal 2, Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan).
Suatu perkawinan bisa dikatakan sah apabila sudah memenuhi syarats-yarat yang ditentukan.
Sejalan dengan asas-asas dan prinsip-prinsip perkawinan yang telah disebutkan di atas,
Undang-undang Perkawinan meletakkan syarat-syarat yang ketat bagi pihak-pihak yang akan
melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat tersebut diatur dalam Bab II Pasal 6 hingga Pasal
12 Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal tersebut memuat syarat-
syarat sebagai berikut:19
1) Adanya persetujuan kedua belah pihak;
2) Adanya ijin orang tua atau wali;
3) Batas umur untuk kawin;
4) Tidak terdapat larangan kawin;
5) Tidak terikat oleh suatu perkawinan yang lain;
6) Tidak bercerai untuk kedua kali dengan suami istri yang sama yang akan
dikawini;
7) Bagi janda telah lewat masa tunggu (masa iddah); dan
8) Memenuhi tata cara perkawinan.

17 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Mandar Madju, 1990), hlm. 26.

18 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Karya Gemilang, 2007),


hlm. 9.

19 Gatot Supramono, Segi-Segi Hukum Hubungan Luar Nikah, (Jakarta: Djambatan, 1998),
hlm. 14.

8
Di samping itu, terdapat keputusan Musyawarah Nasional ke-II Majelis Ulama Indonesia
(MUI) No. 05/Kep/Munas II/MUI/1980 tertanggal 1 Juni 1980 tentang Fatwa, yang
menetapkan pada angka 2 perkawinan Antar Agama Umat Beragama, bahwa:
a) Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non muslimah adalah haram
hukumya;
b) Seorang laki-laki muslimah diharamkan mengawini wanita bukan muslimah.
Tentang perkawinan atara laki-laki muslimah dengan wanita Ahli Kitab
terdapat perbedaan pendapat.
Islam menganjurkan kepada setiap manusia untuk melaksanakan perkawinan, mencari
pasangan hidup dan memperbanyak keturunan. Manusia diberi berbagai kelebihan dari
makhluk lainnya, sehingga menjadi subjek yang memiliki hak menentukan pilihannya, dan
karenanya pula manusia diberi tanggung jawab atas tindakannya. 20 Beragamnya agama dan
aliran kepercayaan di Indonesia tidak menutup kemungkinan perkawinan antar agama dan
aliran kepercayaan akan terjadi, misalnya kasus perkawinan yang terjadi di Indonesia antara
Djaka Sudana (Islam) dan Sri Wulan Hastaningrum (Kristen), perkawinan ini terjadi pada
tahun 2007 di catatkan melalui penetapan putusan Pengadilan Negeri Surakarta. 21 Hakim
berpendapat bahwa pencatatan perkawinan beda agama melalui kewenangan pengadilan telah
sejalan dengan Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan.
2.2 Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Islam

Berdasarkan ajaran Islam, cara-cara hubungan suami istri yang tenteram dapat terwujud
apabila pasangan tersebut memiliki agama/keyakinan yang sama, sebab keduanya dapat
berpegang teguh untuk melaksanakan satu ajaran agama yaitu Islam. Dalam rangka memilih
seorang calon suami, agama Islam menganjurkan untuk mendasari pilihan dengan norma
agama atau moral. Dalam hal ini, seseorang calon tersebut harus berakhlaq mulia dengan
tidak mendasarkan pada materi atau derajat semata. Dasar pendapat tersebut terdapat pada
sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:

Janganlah kamu kawini perempuan-perempuan itu karena kecantikannya, karena


kecantikannya itu mungkin akan menghinakan mereka. Dan janganlah kamu kawini mereka
itu sebab harta bendanya, mungkin karena harta bendanya itu mereka jadi sombong, namun

20 M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi Hukum Islam,
(Yogyakarta: Total Media, 2006), hlm. 5.

21 Penetapan Pengadilan Negeri Surakarta, No: 11/Pdt.P/2007/PN. Ska.

9
kawinilah mereka itu karena dasar agama. Sesungguhnya budak wanita berkulit hitam yang
mempunyai agama lebih baik kamu kawini daripada mereka itu.22

Dapat ditegaskan bahwa satu syarat sahnya perkawinan seorang wanita Islam ialah
pasangannya harus pria Islam, namun bagi Pria Islam masih terdapat beberapa perbedaan
pendapat di kalangan para ahli hukum Islam. Perbedaan pendapat tersebut meliputi:23

a. Membolehkan secara mutlak;


b. Melarang secara mutlak; dan
c. Memboleh dengan syarat-syarat tertentu.

Terdapat perbedaan pandangan tentang perkawinan beda agama, antara pria Islam dengan
wanita non-Islam disebabkan adanya perbedaan dasar pertimbangan. Pada ayat 5 al-Maidah
berbunyi:

Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-
orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka.
(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-
wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-
gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam)
maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.

22 Ghofar Abdul Asyhari, Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Agama Islam, Kristen dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: CV Gramada, 1992), hlm. 63.

23 Ibid.

10
Dengan demikian, menurut ayat tersebut, maka yang boleh dikawini seorang pria muslim
adalah wanita-wanita yang berpegang teguh kepada kitab-kitab Zabur, Taurat, Injil dan Al-
Quran atau wanita-wanita yang memeluk agama Yahudi, Nasrani atau Islam.24

Kebolehan perkawinan agama tidak serta merta dapat dilaksanakan, karena kebolehan
perkawinan tersebut bersifat kondisional, artinya terdapat hal-hal lain yang bisa dijadikan
alasan untuk melangsungkan perkawinan tersebut, sebaliknya juga ada alasan untuk tidak
membolehkan seseorang menikah dengan wanita non-muslim. Kebolehan dan pelarangan
tersebut terletak pada tujuan penetapan hukum dalam Islam. Secara fundamental, seluruh
ajaran Islam termasuk persoalan-persoalan hukumnya bertujuan untuk memberikan
kemaslahatan bagi hambanya.25 Kemaslahatan yang dimaksud adalah untuk mengupayakan
dan mendatangkan kemanfaatan dan menolak serta berupaya menghilangkan kemudharatan.

24 Djaya S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum Keluarga,
(Bandung: Nuansa Aulia, 2015), hlm. 13.

25 Ahmad Al-Raisuni, Nazhariah Maqoshid as Syariah Ina Al Imam As Syatibi, (Beirut: Al


Muassasah Al Jamiyah Ad Dirasah, 1993), hlm. 13-15.

11
BAB III

CONTOH KASUS DAN ANALISIS

3.1 Penetapan No. 04/Pdt.P/2012/PN. MGL tentang Perkawinan Beda Agama


Dasar hukum dan pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Magelang dalam hal
pemberian izin beda agama antara Tuan X dan Nyonya Y adalah:
a. Putusan Mahkamah Agung RI No. 1400/K/Pdt/1986 tertanggal 20 Januari 1989 yang
menyatakan bahwa adalah keliru apabila Pasal 60 Undang-Undang tentang
Perkawinan ditunjuk oleh kepala KUA dan Pegawai Luar Biasa Pencatatan Sipil DKI
Jakarta untuk menolak perkawinan beda agama Undang-Undang No. 23 tahun 2006
Pasal 35 huruf (a) tentang Administrasi Kependudukan, dimana perkawinan tersebut
dapat didaftarkan ke kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil setempat. Serta
Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, di dalam Pasal 10
ayat (1), (2) dan Pasal 16 ayat (1). Pada pokoknya mengatur bahwa setiap orang
berhak untuk menikah dan membentuk keluarga serta melanjutkan keturunan yang
dilangsungkan atas kehendak bebas sesuai dengan ketentuan Undang-Undang.
b. Bahwa terlepas dari adanya pro dan kontra dari berbagai pihak, pernikahan antar umat
beragama ini haruslah dapat diterima sebagai suatu kenyataan dalam kehidupan
bermasyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat ini tidak dapat dipungkiri adanya
praktik budaya yang dilakukan oleh masyarakat, tanpa sekat-sekat perbedaan agama
ataupun kebiasaan-kebiasaan hidup, praktik budaya tersebut termasuk diantaranya
adalah pernikahan beda agama sebagai salah satu mekanisme masyarakat membangun
sikap solidaritas dan rasa toleransi. Bahwa Pemohon dengan Nona Y telah mantap
untuk menjalani perkawinan dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal sepanjang hayat. Tidak dibenarkan memaksa seseorang agar mengawini orang
yang sama agamanya, karena perkawinan berbeda agama itu pun merupakan bagian
dari kebebasan memilih calon suami atau istri. Lebih jauh lagi, perkawinan beda
agama adalah implikasi dari realitas kemajemukan agama, etnis, suku, ras yang ada di
Indonesia sehingga jika terjadi pelarangan perkawinan beda agama, maka hal tersebut
sama saja dengan mengingkari realitas kemajemukan tadi. Kaidah dalam hak-hak
asasi manusia sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, tidak mungkin dapat
ditegakkan pelaksanaannya tanpa adanya hukum positif yang mengatur hak tersebut.
Walaupun kaidah hak asasi manusia membenarkan perkawinan antar agama, tetapi
jika pemerintah menolak melakukan pencatatan, maka kaidah hak asasi manusia

12
membenarkan perkawinan campuran antar agama, namun pemerintah secara tidak
langsung menolak hak asasi melalui lembaga pencatatan nikah. Hal ini dilakukan
untuk menghindari kesan bahwa pemerintah memaksakan seseorang untuk memilih
agama, yang semata-matanya hanya untuk kepentingan unifikasi hukum dan
administrasi pemerintahan.
Analisis Ditinjau Menurut Hukum Islam
1. Analisis berdasarkan Al-Quran surat al-Baqarah ayat 221 yang menjelaskan bahwa
Allah melarang seorang muslim mengawini perempuan-perempuan musyrik dan
larangan mengawinkan perempuan mukmin dengan laki-laki musyrik, kecuali mereka
telah beriman. Walaupun mereka itu cantik dan rupawan, gagah, kaya dan sebagainya.
Pihak perempuan-perempuan yang beriman tidak sedikit pula jumlahnya yang cantik-
cantik, menarik hati, lagi beriman dan berakhlak. Sudah tegas didalam Al-Quran
melarang perkawinan beda agama. Di dalam hadist Nabi Muhammad SAW. Bersabda
yang artinya, Dinikahi seorang wanita itu karena empat perkara: karena hartanya,
karena kebangsawanannya, karena kecantikannya, karena din (agama)nya. Maka
pilihlah oleh kamu yang memiliki din (agama) yang baik, niscaya kamu akan
beruntung. Bahwa unsur agama yang baik sangat ditekankan dalam mencari
pasangan. Perkawinan beda agama dilarang dalam hukum Islam. Pasangan beda
agama ditakutkan ada pemaksaan untuk mengikuti agama pasangannya. Dengan
demikian, hukum islam berpendapat bahwa perkawinan beda agama dilarang/tidak
diperbolehkan.
2. Analisis berdasarkan hukum positif yang di gunakan dalam perkawinan beda agama
adalah Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 (f) Undang-Undang Perkawinan, Pasal 40, Pasal
44, Pasal 61 Kompilasi Hukum Islam. Bahwa Pasal diatas sebagai acuan dalam
masalah perkawinan beda agama, pasal diatas baik secara langsung atau tidak
langsung melarang adanya perkawinan beda agama. Sedangkan Hakim Pengadilan
Negeri menggunakan Undang-Undang No. 23 tahun 2006 Pasal 35 huruf (a) tentang
Administrasi Kependudukan, Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, di dalam Pasal 10 ayat (1), (2) dan Pasal 16 ayat (1). Maka dari itu, Hakim
Pengadilan Negeri seharusnya tidak mengabulkan permohonan karena bertentangan
dengan hukum yang berlaku di Indonesia terkait perkawinan.

13
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, karya tulis ilmiah ini dapat disimpulkan
sebagai berikut:

1. Perkawinan berasal dari kata kawin yang menurut bahasa berati membentuk
keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Berasal
dari kata an-nikah yang menurut bahasa berarti mengumpulkan, saling memasukkan,
dan wathi atau bersetubuh. Sedangkan menurut Sayid Sabiq, perkawinan merupakan
satu sunatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik manusia, hewan
maupun tumbuhan. Adapun tujuan dari perkawinan adalah untuk memenuhi petunjuk
agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.
2. Yang boleh dikawini seorang pria muslim adalah wanita-wanita yang berpegang teguh
kepada kitab-kitab Zabur, Taurat, Injil dan Al-Quran atau wanita-wanita yang
memeluk agama Yahudi, Nasrani atau Islam. Kebolehan perkawinan agama tidak
serta merta dapat dilaksanakan, karena kebolehan perkawinan tersebut bersifat
kondisional, artinya terdapat hal-hal lain yang bisa dijadikan alasan untuk
melangsungkan perkawinan tersebut, sebaliknya juga ada alasan untuk tidak
membolehkan seseorang menikah dengan wanita non-muslim. Kebolehan dan
pelarangan tersebut terletak pada tujuan penetapan hukum dalam Islam. Secara
fundamental, seluruh ajaran Islam termasuk persoalan-persoalan hukumnya bertujuan
untuk memberikan kemaslahatan bagi hambanya.
3. Berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia mengenai hukum perkawinan
tidak mendukung berlakunya perkawinan berbeda agama.
4.2 Saran

Berdasarkan hasil karya tulis ilmiah ini, penulis akan memberikan saran-saran yang
sekiranya akan berguna untuk perkembangan ilmu hukum terkait perceraian, yaitu sebagai
berikut:

1. Sistem hukum positif di Indonesia mengenai perkawinan beda agama harus


ditegaskan menjadi satu regulasi spesifik agar terjadi kepastian hukum akan hal
tersebut.

14
DAFTAR PUSTAKA

Dokumen Hukum Negara

1. Penetapan Pengadilan Negeri Surakarta, No: 11/Pdt.P/2007/PN. Ska.

Buku dan Jurnal

1. Fuaddudin, Pengasuhan Anak Dalam Keluarga Islam, (Jakarta: Lembaga Kajian


Agama dan Jender, 1999).
2. Abdurrahman, Masalah-Masalah Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Bandung:
Penerbit Alumni, 1978).
3. R. Subekti, Hukum Keluarga dan Hukum Waris, (Jakarta: PT Intermasa, 2002).
4. K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982).
5. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan,Hukum
Adat, Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2003).
6. Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2003).
7. Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2000).
8. Abdurrachman & R. Syahrani, Masalah-Masalah Hukum Perkawinan di Indonesia,
(Bandung: Alumni, 1978).
9. Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang No. 1 tahun 1974, (Jakarta: Tintamas, 1986).
10. Maria Ulfah Anshor, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama Perspektif Perempuan dan
Pluralisme, (Jakarta: Kapal Perempuan, 2004).
11. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1990).
12. Rusdi Malik, Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia (Muslim dengan non-
Muslim), (1995), No. 9 Jurnal Penelitian Agama.
13. Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Karya Gemilang,
2007).
14. Gatot Supramono, Segi-Segi Hukum Hubungan Luar Nikah, (Jakarta: Djambatan, 1998).
15. M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi Hukum
Islam, (Yogyakarta: Total Media, 2006).
16. Ghofar Abdul Asyhari, Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Agama Islam, Kristen dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: CV Gramada, 1992).
17. Djaya S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum Keluarga,
(Bandung: Nuansa Aulia, 2015).
18. Ahmad Al-Raisuni, Nazhariah Maqoshid as Syariah Ina Al Imam As Syatibi, (Beirut: Al
Muassasah Al Jamiyah Ad Dirasah, 1993).

15

Anda mungkin juga menyukai