Muhammad Yahusafat
110110130289
ABSTRAK
A. PENDAHULUAN
Dalam empat dekade kebelakang, hukum luar angkasa merupakan salah satu
subjek dalam hukum publik internasional yang sedang berkembang. Hal ini dipicu
pertama kali oleh Uni Soviet dengan SPUTNIK I nya pada tahun 1957 dan di ikuti
Perlu di ketahui bahwa UNCOPOUS bukan lah satu-satunya badan yang membuat
hukum mengenai ruang angkasa. Dengan demikian, isu penting mengenai
penggunaan militer dalam ruang angkasa dapat dipertimbangkan bahwa hal
mengenai penggunaan militer dalam ruang angkasa sudah di luar mandat dari
UNCOPOUS. Selain penggunaan militer, UNCOPOUS juga tidak memiliki mandat
mengenai kompetensi untuk frekuensi radio dan posisi satelit. Dengan demikian,
karena masalah-masalah berkaitan dengan ruang angkasa, maka UNCOPOUS
bekerja sama dengan International Telecommunication Union (ITU), yang
keanggotaannya lebih banyak, dan demi menimbulkan kerja sama yang baik di
bidang telekomunikasi.
Pada kurun tahun 1958-1960an banyak timbul permasalahan dan konflik antar
negara mengenai ruang angkasa. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mulai
mempelajari permasalahan hukum apa yang terjadi di ruang angkasa pada kurun
waktu tahun 1959 and mengadopsi sebuah Resolusi, yaitu resolusi 1721 pada tahun
1 Juajir Sumardi. Hukum Ruang Angkasa (Suatu Pengantar), PT. Pradnya Paramita,
Jakarta., 1996, halaman. 1.
Terdapat banyak perjanjian yang berkaitan dengan luar angkasa di luar ke empat
perjanjian internasional tersebut, namun ke empat perjanjian di percaya sebagai
titik permulaan di mana aspek dalam hukum luar angkasa di pandang penting
dalam kehidupan manusia ke depannya, agar tidak terjadi kesalahpahaman antar
negara. Peristiwa-peristiwa dapat disebut titik permulaan manusia memasuki
peradaban angkasa (space age). Kemajuan-kemajuan di bidang teknologi dalam
memanfaatkan ruang angkasa haruslah memberikan dampak positif bagi kualitas
kehidupan manusia. Contoh, dengan berkembangnya teknologi dan ditemukannya
produk ilmu pengetahuan dan teknologi ruang angkasa, yaitu remote sensing4, atau
penginderaan jauh yang berfungsi untuk pengelolaan sumber daya alam, untuk
pembinaan lingkungan hidup, untuk peningkatan produksi pangan seperti
pertanian, perkebunan, dan perikanan, serta perencanaan pemukiman dan tata
guna tanah, pemetaan dan lain sebagainya.
Selain dampak positif, aktifitas di ruang angkasa juga dapat berbuah negatif.
Menurut Resolusi 1348 (XXI) tahun 1958, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-
4Agus Pramono, Dasar-Dasar Hukum Udara dan Ruang Angkasa, Ghalia Indonesia,
Bogor, 2011, halaman 141.
Satelit juga memiliki umur (life time) yang apabila telah habis jangka waktunya,
maka satelit itu akan menambah banyaknya bahaya bagi benda-benda angkasa
yang masih berfungsi, dan menyebabkan ancaman bagi kerusakan apabila jatuh di
permukaan bumi. Tidak hanya itu saja, kerugian dapat terjadi apabila benda
angkasa yang hendak diluncurkan ke ruang angkasa mengalami kegagalan dalam
peluncurannya. Dampak negatifnya dapat dirasakan secara meluas, oleh negara
peluncur dan negara-negara lainnya yang terlibat dalam peluncuran benda angkasa
tersebut, bahkan dampaknya pun dapat dirasakan oleh negara yang tidak ikut serta
dalam kegiatan peluncurannya.
Menurut sumber laporan yang diterima oleh analisa Pusat Standar dan
Inovasi Luar Angkasa, atau disebut CSSI (Center fo Space Standards & Innovation),
di Colorado Spring, Colorado, bahwa sampah angkasa tersebut merupakan puing-
puing satelit yang berasal dari Sate1lit Fengyun-1C milik Cina. Pasca insiden
tabrakan tersebut, puing-puing tersebut mengakibatkan kerusakan terhadap satelit
reflektor Rusia yang di ketahui bernama satelit Ball Lens in the Space (BLITS).6
Satelit Fengyun-1C sengaja dilepas untuk dihancurkan oleh Cina pada tahun 2007
dalam rangka demonstrasi roker penghancur satelit dengan daya jelajah mencapai
luar angkasa. Setelah penghancuran, pemerintah Cina melakukan informasi
mengenai hal tersebut ke negara-negara seperti Amerika, Jepang dan negara-
negara lainnya. Namun, melihat dari sisi lain ternyata, puing-puing Fengyun-1C
tetap menjadi ancaman bagi satelit dan kru luar angkasa. Masih belum ada detail
jelas bagaimanakah nasib satelit milik Rusia. Apakah hanya cedera atau
sepenuhnya tidak lagi bisa berfungsi. Hal-hal mengenai sampah angkasa (space
debris), NASA dan badan ruang angkasa negara lain menggangap bahwa hal ini
merupakan masalah serius dan harus di cari jalan keluarnya. 7
B. RUMUSAN MASALAH
6 Ajeng Rizki Pitakasari Satelit Rusia Tertabrak Sampah Luar Angkasa Cina diakses
dari http://www.republika.co.id/berita/trendtek/sains/13/03/10/mjeop4-satelit-rusia-
tertabrak-sampah-luar-angkasa-cina, pada tanggal 26 Mei 2015 pukul 15.05.
7 Orbital Objects. (n.d.). Orbital Objects, Satellites, Space Junk Information, Facts, News,
Photos. National Geographic. diakses
http://science.nationalgeographic.com/science/space/solar-system/orbital.html pada tanggal
13 Juni 2015 pukul 14.39.
Karakter dari sebuah tanggung jawab negara terlahir dari beberapa faktor
mendasar, yaitu; (1) adanya kewajiban hukum internasional yang sedang
berjalan antara dua negara yang saling berhubungan, (2) terjadi sebuah
tindakan atau kelalaian yang melanggar kewajiban sehingga lahir sebuah
tanggung jawab negara, dan yang terakhir, (3) sebuah kehilangan atau
kerusakan yang berasal dari akibat sebuah tindakan atau kelalaian. 8 Syarat-
Syarat tersebut semakin jelas dan di ikuti dengan beberapa kasus Internasional.
Di kasus Spanish Zone of Morocco claims, Hakim Huber menjelaskan bahwa:
9 Spanish Zone of Morocco Claims (Great Britain v. Spain), Award ( 1924 ) Arbitral
Tribunal, 2 R.I.A.A. 615, halaman. 641
Dalam hukum ruang angkasa, tanggung jawab negara sendiri diatur dalam
Liability Conventions 1972 apabila terjadi kerusakan yang di maksud dalam Liability
Conventions itu sendiri. Arti kerusakan yang diatur dalam Liability Conventions 1972
berbunyi:
The term damage means loss of life, personal injury or other impairment of
health; or loss of or damage to property of States or of persons, natural or juridical,
or property of international intergovernmental organizations. 12
Apabila kerusakan tidak menyebabkan hal-hal yang telah disebut dalam pasal 1
(a) Liability Conventions 1972, maka hal tersebut tidak bisa disebut kerusakan, dan
negara peluncur tidak bertanggung jawab penuh atas hal-hal yang merugikan
negara lain.
Pada Januari 2013, Pusat Luar Angkasa Standar dan Inovasi atau dikenal dengan
nama Center for Space Standards and Innovation (CSSI) melaporkan adanya insiden
tabrakan yang terjadi di ruang angkasa tepatnya di Low Earth Orbit (LEO), pada
ketinggian 832 km. Insiden tersebut melibatkan satelit nanoreflektor milik Rusia
yaitu Ball Lens in the Space (BLITS) yang diluncurkan pada tahun 2009 dan sampah
angkasa milik Cina yang diperkirakan merupakan pecahan atau puing-puing dari
satelit Fengyun-1C. Puing satelit tersebut merupakan satelit yang sengaja
dihancurkan oleh Cina dalam sebuah demonstrasi anti-satelit pada tahun 2007,
yang dikenal dengan nama Chinese Anti Satellite Test.13 Sampah angkasa (space
debris) yang berada di Low Earth Orbit mempunya ancaman untuk merusak objek
11 Malcolm Shaw, International Law, 6th Edition, (New York: Cambridge University
Press, 2008), hal. 782.
12 Pasal 1 (a), the 1972 Convention on Liability for Damage Caused by Objects
Launched into Outer Space, 1972.
13 Analysis of the 2007 Chinese ASAT Test and the impact of its Debris on the
Space Environment. Author: T.S. Kelso, Publisher: Center for Space Standars &
Innovation [selanjutnya disebut Chinese ASAT Test Analysis]
Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use
of Outer Space, Including the Moon and other Celestial Bodies 1967, mencantumkan
dan menjelaskan bahwa setiap negara tanpa diskriminasi dapat mengeksplorasi
ruang angkasa dengan tujuan baik. Kegiatan-kegiatan di ruang angkasa dapat
dilakukan dengan bebas bagi seluruh negara yang telah siap dengan kemajuan
14 Andrew M. Bradley, Space Debris: Assesing Risk and Responsibility (2009), Publisher:
Advances in Space Research. Diakses: http://faculty-
gsb.stanford.edu/wein/personal/documents/spacedebris.pdf pada tanggal 13 Juni 2015 pukul
14.33
15 Karl Tate Russian Satellite Crash with Chinese ASAT Debris Explained diakses
http://www.space.com/20145-russian-satellite-chinese-debris-crash-infographic.html
pada pukul 19.11 tanggal 12 Juni 2015.
16 Space Debris Legal Research Guide. Author: Irene Atney-Yurdin, Publisher: Pace
International Law Review, hal. 2-3, diakses
http://digitalcommons.pace.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1019&context=pilr
pada pukul 13.47 tanggal 13 Juni 2015.
Prinsip yang terdapat dalam pasal 2 diatas menyebutkan bahwa negara peluncur
mutlak memiliki tanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan akibat benda
17 D.J. Harris, Cases and Materials on International Law, Fifth Edition, (London:
Sweet and Maxwell, 1998), hal. 205
In the event of damage being caused elsewhere than on the surface of the earth to
a space object of one launching state or to persons or property on board such a
space object by a space of another launching state, the latter shall be liable only of
the damage is due to its fault or the fault of persons for whom it is responsible.
Prinsip tanggung jawab dalam pasal 3 ini mewajibkan suatu negara yang
mengalami kerusakan yang disebabkan objek angkasa milik negara peluncur untuk
membuktikan kesalahan yang disebabkan oleh negara peluncur. Kesalahan-
kesalahan tersebut dapat berupa kerusakan, sama halnya dengan prinsip tanggung
jawab mutlak. Namun, negara penuntut diwajibkan untuk memiliku bukti serta
membuktikan terlebih dahulu kesalahan yang dituntutkan kepada negara peluncur.
Artinya, apabila suatu negara penuntut mengalami kerugian akibat kerusakan yang
ditimbulkan oleh benda angkasa negara peluncur, maka negara penuntut tersebut
wajib membuktikan bahwa kerusakan tersebut memang benar disebabkan oleh
benda angkasa negara peluncur. Dalam prinsip ini, negara yang melibatkan diri
dalam kegiatan pemanfaatan ruang angkasa dinilai telah memahami bahaya yang
timbul akibat kegiatannya. Oleh sebab itu, maka negara yang merasa dirugikan
Namun disisi lain, negara peluncur yang telah memberikan pemberi tahuan
mengenai kegiatan-kegiatan di ruang angkasa (Duty to Inform)18 seperti yang
dilakukan oleh Cina, tidak bisa dengan mudah di minta kan pertanggung jawaban,
karena negara peluncur seperti Cina sudah memberikan informasi terkait sampah
angkasa yang dihasilkan oleh Chinese Anti Satellite Test pada tahun 2007 terhadap
Fengyun-1C. Program Chinese Anti Satellite Test di gunakan dalam rangka
perkembangan pertahanan negara Cina. Setelah melakukan penghancuran
terhadap Fengyun-1C, Cina langsung melaporkan ke Aviation Week & Space
Technology dan juga memberi tahu negara-negara adidaya seperti Amerika, Jepang,
dan negara negara lainnya yang juga memiliki teknologi tinggi dalam ruang
angkasa.19
18 Pasal 11, Treaty on Principles Governing the Activities of States, Including the
Moon and Other Celestial Bodies, 1967; liat juga: Gerardine Meishan, Dispute
Settlement in International Space Law, (Leiden: Boston, 2007), hal. 24.
20 Endorsed by the Committee on the Peaceful Uses of Outer Space at its fiftieth
session andcontained in A/62/20, annex.
Namun, dalam artikel ini penulis akan menitikberatkan tanggung jawab sebuah
negara yang menghasilkan sampah angkasa (space debris) dan merugikan negara
peluncur lainnya. Sehingga, pembahasan tanggung jawab negara akan lebih jelas
dan tidak kemana-mana. Prinsip tanggung jawab negara atas dasar kesalahan
(Liabilities based on fault) merupakan prinsip yang penulis pandang sebagai prinsip
yang paling tepat dan di implementasikan ke dalam insiden tabrakan benda
angkasa milik Cina dan Rusia, karena insiden tersebut terjadi antara dua benda
angkasa yang berada di ruang angkasa, bukan di atas permukaan bumi. Sampah
angkasa hasil percobaan Chinese anti Satellite Test yang menghasilnya pecahan
puing puing satelit dari Fengyun-1C menyebar di ruang angkasa dan ikut berotasi
pada orbit bumi dan sangat berbahaya bagi benda-benda angkasa lainnya yang
telah di luncurkan oleh negara peluncur dengan maksud eksplorasi dan eksploitasi
dengan maksud perdamaian dan pemanfaatan seluruh umat manusia. Sehingga,
Rusia sebagai negara yang di rugikan dapat menuntut tanggung jawab Cina atas
kerusakan satelit nya yang di sebabkan oleh sampah angkasa (space debris) dari
ledakan Fengyun-1C. Namun, Rusia haruslah terlebih dahulu membuktikan bahwa
kerusakan yang dialami oleh BLITS merupakan benar-benar kesalahan dari Cina dan
di akibatkan oleh benda angksa milik Cina, yaitu puing-puing satelit Fengyun-1C
bekas Chinese anti Satellite Test. Sejalan dengan prinsip tanggung jawab atas dasar
kesalahan (Liabilities based on fault), proses pembuktian telah terlebih dahulu
dilakukan oleh parah ilmuwan Rusia, yang di lakukan oleh IPIE (Institute for
Precision Instrunment Engineering). Mereka telah mendeteksi adanya perubahan
signifikan pada BLITS. Perubahan tersebut adalah perubahan sumbu putar dan
CSSI melakukan penyelidikan pada orbit dan mencari tahu insiden apa yang
menjadi kemungkinan yang dapat menyebabkan perubahan fungsi pada satelit
BLITS. Dari hasil penyelidikan CSSI, ditemukan bahwa perkiraan waktu berfungsinya
satelit BLITS dengan normal hingga waktu dinyatakannya BLITS mengalami
perubahan, pada 22 Januari 2013, CSSI menemukan bahwa satu-satunya benda
angkasa yang melintas di orbit rendah bumi, tempat mengorbitnya BLITS ialah
sampah angkasa yang berasal dari puing-puing hasil ledakan satelit yang di ketahui
adalah milik Cina, yaitu Fengyun-1C. Puing-puing tersebut di kategorikan sebagai
sampah angkasa karena sudah tidak berfungsi lagi. Puing-puing tersebut dihasilkan
pada demonstrasi anti satelit pada tahun 2007 atau dikenal dengan demonstrasi
Chinese anti Satellite Test yang sudah berlangsung dari tahun 1968. Dari hal
tersebut, dapat ditarik kesimpulan, bahwa Rusia tela memenuhi unsur-unsur untuk
berhak menuntut dalam prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan untuk
menuntut ganti rugi terhadap Cina. Unsur-unsur tersebut yaitu insiden tersebut
terjadi di ruang angkasa, bukan di atas permukaan bumi, Rusia menderita kerugian
dengan rusaknya satelit BLITS, Rusia berhasil membuktikan kesalahan Cina yaitu
puing-puing ledakan Fengyun-1C yang ikut berotasi di orbit menyerupai awan telah
menabrak BLITS pada tahun 2013.
Prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan (Liabilities based on fault) dapat
digunakan untuk menuntut Cina karena insiden tabrakan antara sampah angkasa
(space debris) puing-puing satelit Fengyun-1C milik Cina telah merusak satelit BLITS
milik Rusia dan menyebabkan kerugian yang mengganggu kegunaan satelit
tersebut. Insiden tersebut juga dapat dimintakan tanggung jawab karena terdapat
unsur kesengajaan Cina yang meledakan satelit cuaca Fengyun-1C dalam
demonstrasi anti satelitnya pada tahun 2007 tersebut di lakukan tanpa adanya
perhitungan dampak kepada masyarakat internasional yang timbul apabila kegiatan
tersebut dilakukan. Dalam hal ini, Rusia dapat menuntut dan meminta ganti rugi
pada Cina dengan mendasarkan tuntutannya pada pasal 3 Convention on
International Liability for Damage caused by Space Objects 1972 yang merupakan
dasar-dasar prinsip dari tanggung jawab atas dasar kesalahan (Liabilities based on
Rusia telah dan dapat membuktikan bahwa Cina telah bersalah sesuai dengan
pasal 3 Convention on International Liability for Damage caused by Space Objects
1972 sehingga Cina wajib dan harus memenuhi tanggung secara internasional
untuk memberikan ganti rugi sesuai dengan kerusakan yang ditimbulkan akibat
sampah angkasanya. Rusia berhak menerima ganti rugi berupa kompensasi.
Mengenai kompensasi tersebut dapat ditemukan dalam perjanjian internasional
yaitu Convention on International Liability for Damage caused by Space Objects
1972 pasal ke 8 (1) yang berbunyi:
22 Detlev Wolter, Common Security in Outer Space and International Law, (Geneva:
United Nations Institute for Disarmament Research, 2005), hal. 9-10.
Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 9 tersebut, suatu tuntutan
ganti rugi yang diajukan oleh negara penuntut (claimant state) kepada negara
peluncur (launcher state) dapat dilakukan melalui jalur diplomatik. Berdasarkan
ketentuan tersebutlah, Rusia dan Cina ada baiknya mengutamakan jalur diplomatik
untuk memutuskan besarnya kompensasi yang dapat disetujui oleh kedua belah
pihak. Karena, dalam masalah ini jalur diplomatik dipakai untuk mencegah pihak
merasa dirugikan atau diberatkan, karena dengan menggunakan jalur diplomatik
dan menggunakan cara negosiasi merupakan cara menyelesaikan konflik dengan
cara yang damai.23 Namun, apabila Rusia sebagai negara penuntut tidak
mempertahankan atau tidak memiliki hubungan diplomatik (diplomatic channel)
dengan Cina sebelumnya, maka Rusia dapat meminta negara lain yang memiliki
hubungan diplomatik dengan Cina untuk mewakili tuntutan ganti rugi Rusia
terhadap Cina (Mediation or Intervention by Third Party). Selain kompensasi, hukum
internasional memiliki 2 pilihan lain mengenai kesalahan yang dilakukan oleh
tindakan negara, yaitu; (1) reparation dan, (2) satisfaction.24 Reparation yang
dimaksud adalah negara yang bersalah (wrongful state), harus memperbaiki segala
kerugian yang diterima oleh negara yang mengalami kerugian (Injured State).
Sedangkan Satisfaction mewajibkan negara untuk melakukan segala cara tanggung
jawab sehingga negara yang merugi puas dengan tindakan negara yang bersalah.
23 Pasal 33, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, 1945; liat juga: Op.cit, Gerardine
Meishan, hal. 26.
The compensation which the launching State shall be liable to pay for
damage under this Convention shall be determined in accordance with international
law and the principles of justice and equity, in order to provide such reparation in
respect of the damage as will restore the person, natural or juridical, State or
international organization on whose behalf the claim is presented to the condition
which would have existed if the damage had not occured.
Salah satu cara untuk menyelesaikan tuntutan ganti rugi yang terdapat
dalam pasal 21 di atas adalah kompensasi yang wajib dibayarkan oleh negara
peluncur (launching state) haruslah sesuai dengan prinsip keadilan dan kesetaraan.
Maksudnya, negara peluncur tidak merasa diberatkan oleh negara penuntut
mengenai kesalahannya, dan negara penuntut tidah boleh melebih-lebihkan
tuntutannya dan tidak sesuai dengan kerugian yang di derita oleh negara penuntut
itu sendiri. Dalam insiden ini, Rusia hanya berhak atas kompensasi yang sesuai
dengan kerusakan yang di alami oleh sateli BLITS nya. Disisi lain pun, Cina tidak
boleh mengurang-ngurangi kompensasi yang seharusnya ia bayarkan. Dengan
demikian, kesempatan untuk terjadi nya konflik akan berkurang dengan adanya
kompensasi yang menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kesetaraan.
Diatur pula sebelum nya pada pasal 9 Convention on International Liablity for
Damage caused by Space Objects 1972, bahwa apabila tidak terjadinya
kesepakatan mengenai kompensasi antara kedua belah pihak yang bersengketa
(dalam hal ini antara Rusia dan Cina), maka negara penuntut (claimant state) dapat
menyalurkan keluh kesah atau tuntutannya melalui Sekretaris Jendral Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Namun dalam hal ini, kedua belah pihak yang bersengketa
haruslah anggota dari Perserikatan Bangsa-Bangsa itu sendiri. Dalam hal ini, Rusia
dan Cina adalah anggota dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dengan demikian, hal
tersebut yaitu penyaluran tuntutan melalui Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-
Bangsa merupakan jalan terakhir, apabila dengan cara negosiasi kedua belah pihak
dan juga mediasi atau intervensi oleh pihak ketiga masih juga belum mencapai
kesempatan mengenai besarnya kompensasi yang harus dibayarkan oleh Cina.
Buku
1. Harris, D.J.. 1998. Cases and Materials on International Law, Fifth Edition.
London. Sweet and Maxwell.
2. Malanzcuk, Peter. 2002. Akehursts Modern Introduction to International Law,
7th Edition. Routledge. Taylor & Francis e-Library.
3. Meishan, Gerardine. 2007. Dispute Settlement in International Space Law.
Leiden. Boston.
4. Pramono, Agus. 2011. Dasar-Dasar Hukum Udara dan Ruang Angkasa. Bogor.
Ghalia Indonesia.
5. Shaw, Malcolm. 2008. International Law, 6th Edition. New York. Cambridge
University Press..
6. Sumardi, Juajir. 1996. Hukum Ruang Angkasa (Suatu Pengantar). Jakarta.
Pradanya Paramita.
7. Wolter, Detlev. 2005. Common Security in Outer Space and International Law.
Geneva. United Nations Institute for Disarmement Research.
Dokumen Lain
1. Ajeng Rizki Pitakasari Satelit Rusia Tertabrak Sampah Luar Angkasa Cina
diakses dari
http://www.republika.co.id/berita/trendtek/sains/13/03/10/mjeop4-satelit-
rusia-tertabrak-sampah-luar-angkasa-cina, pada tanggal 26 Mei 2015 pukul
15.05.
2. Analysis of the 2007 Chinese ASAT Test and the impact of its Debris on the
Space Environment. Author: T.S. Kelso, Publisher: Center for Space Standars
& Innovation
3. Andrew M. Bradley, Space Debris: Assesing Risk and Responsibility (2009),
Publisher: Advances in Space Research. Diakses: http://faculty-
gsb.stanford.edu/wein/personal/documents/spacedebris.pdf pada tanggal 13
Juni 2015 pukul 14.33
4. Karl Tate Russian Satellite Crash with Chinese ASAT Debris Explained
diakses http://www.space.com/20145-russian-satellite-chinese-debris-crash-
infographic.html pada pukul 19.11 tanggal 12 Juni 2015.
Dokumen Hukum
2. Committee on the Peaceful Uses of Outer Space at its fiftieth session and
contained in A/62/20, annex.
3. Factory at Chorzow Case, (Germany v. Poland), Judgment (1928) Permanent
Court of International Justice.
4. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Articles on Responsibility of
States on Internationally Wrongful Acts, 28 January 2002, U.N. Doc.
A/RES/56/83.