Anda di halaman 1dari 18

Makalah :

PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA DALAM ILMU HUKUM PIDANA DAN


ILMU HUKUM PERDATA
Dosen : Dra. Erwina, M.Si

Disusun Oleh :
NURUL AINI
ANGGA PRASETYO PRASTOWO
JIBRIL KHATAMI MUTHAHHAR
MELKY UNTUNG PUTRA
MOHAMMAD RAHMAD

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS IBNU CHALDUN (UIC)
JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Seraya mengucapkan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan

Rahmat serta Hidayah Nya, sehingga kita masih dalam keadaan sehat. Dan

khususnya,kami (penyusun) bisa menyelesaikan Makalah dengan judul

‘PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA DALAM ILMU HUKUM PIDANA DAN

ILMU HUKUM PERDATA’. Makalah ini tentunya jauh dari kata sempurna tapi

penulis tentunya bertujuan untuk menjelaskan atau memaparkan point-point di

makalah ini, sesuai dengan pengetahuan yang kami peroleh, baik dari buku 

maupun sumber-sumber yang lain. Semoga semuanya memberikan manfaat

bagi kita. Bila ada kesalahan tulisan atau kata-kata di dalam makalah ini,

penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Ditempat, Oktober 2018

Penyusun

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………
……………

KATA PENGANTAR............................................................................................

DAFTAR
ISI……………………………………………………………………………………….

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Masalah………………………………………………………….

2. Rumusan Masalah………………………………………………………………...

3. Tujuan Penulisan………………………………………………………………….

BAB II LANDASAN TEORI………………..


…………………………………………………………………

BAB III PEMBAHASAN

A. Bahasa Hukum Indonesia dan permasalahanya……………………………

B. Penggunaan Bahasa Indonesia dalam ilmu Hukum Pidana……………..

C. Penggunaan Bahasa Indonesia dalam ilmu hukum


Perdata……………………………………………………………………………...

D. Makna Bahasa Hukum yang


Ambigu………………………………………….

E. Fungsi Bahasa Indonesia dalam ilmu hukum……………………………….

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………………………………
B. Saran…………………………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah


Bahasa Indonesia merupakan Bahasa Nasional dan juga merupakan bahasa
persatuan yang digunakan oleh negara Indonesia. Mengenai hal ini
ditegaskan dan diikrarkan pada saat Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.

Bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari bahasa Melayu. Ada beberapa


alasan mengapa bahasa Melayu dipilih menjadi bahasa Indonesia yakni
antara lain dikarenakan luas pemakaiannya sebagai sarana penghubung
antara masyarakat yang berbeda bahasa ibu dan kebudayaannya, antara
orang Melayu, Jawa, Bugis, Makassar, Cina, Arab, Belanda, Bali, Dayak dan
suku bangsa lain, yang sudah mengubah beberapa bahasa sehingga lahirlah
bahasa Indonesia yang berbeda dengan bahasa Melayu dan menjadi milik
bersama seluruh rakyat Indonesia dan juga karena bahasa Melayu telah lama
dikenal di kalangan hampir semua suku di Indonesia dan dalam banyak hal
bahasa Melayu telah menjadi bahasa perantara antar suku bangsa yang
sudah berlaku berabad-abad.

Penggunaan bahasa Indonesia mempunyai dasar hukum pengaturannya di


dalam Konstitusi Negara kita yakni sebagaimana tercantum di dalam Pasal 36
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa Bahasa Negara
adalah Bahasa Indonesia.

Oleh karena penggunaan Bahasa Indonesia tercantum di dalam UUD


1945 maka sebagai konsekuensinya Bahasa Indonesia haruslah
dipergunakan sebagai bahasa resmi dalam berkomunikasi maupun dalam
bentuk yang tertuang di dalam peraturan-peraturan perundang-undangan.
2. Rumusan Masalah

 Apa permasalahan Bahasa Hukum Indonesia?

 Bagaimana penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dalam ilmu


hukum pidana dan perdata ?

 Apa fungsi bahasa Indonesia dalam ilmu hukum ?

3. Tujuan penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui apa itu bahasa hukum
Indonesia,dan mengetahui bagaimana penggunaan Bahasa Indonesia yang
benar dan baku dalam Ilmu Hukum Pidana dan Ilmu Hukum Perdata.

BAB II
LANDASAN TEORI
1. Landasan Teori

Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara berfungsi sebagai bahasa


resmi kenegaraan, pengantar kependidikan, komunikasi tingkat nasional,
pengembangan budaya nasional, transaksi dan dokumentasi niaga serta
sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni
dan bahasa media massa.

Dalam Pasal 25 ayat 3 Undang Undang Nomor 24 tahun 2009


disebutkan bahwa Bahasa indonesia sebagai bahasa resmi negara
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berfungsi sebagai bahasa resmi
kenegaraan, pengantar kependidikan, komunikasi tingkat nasional,
pengembangan budaya nasional, transaksi dan dokumentasi niaga serta
sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni
dan bahasa media massa. Kemudian ditentukan lebih lanjut bahwa bahasa
indonesia wajib digunakan dalam praturan perundang-undangan (Pasal 26)
dan bahasa Indonesia wajib digunakan dalam dokumen resmi negara (Pasal
27). (Abdurrahman. 2015:3)

Sebagai bahasa nasional yang dipergunakan di dalam segala sektor


kehidupan masyarakat, maka bahasa Indonesia inipun tidak terlepas
penggunaannya dalam kehidupan hukum di Indonesia.

Merumuskan penggunaan bahasa Indonesia dalam bahasa hukum atau


dikenal dengan istilah Bahasa Hukum Indonesia telah dicoba untuk
dirumuskan oleh ahli bahasa dan ahli hukum agar supaya penggunaan
Bahasa Hukum Indonesia terdapat rumusan bahasa yang baku dan mudah
difahami dan tidak menimbulkan multi tafsir di dalam pelaksanaannya.

Pada tahun 1974 Badan pembinaan Hukum Nasional (BPHN) pada waktu
itu melaksanakan Simposium Bahasa dan Hukum. Di dalam seminar tersebut
para ahli hukum dan ahli bahasa indonesia mengemukakan pemikiran-
pemikirannya untuk mengembangkan dan mencoba merumuskan apa yang
dimaksud dengan Bahasa Hukum Indonesia.

Berdasarkan hasil simposium dirumuskan bahwa beberapa pokok-pokok


pemikiran, yaitu:

a) Bahasa hukum Indonesia (BHI) adalah bahasa Indonesia yang


dipergunakan dalam bidang hukum, yang mengingat fungsinya mempunyai
karakteristik tersendiri; oleh karena itu bahasa hukum Indonesia haruslah
memenuhi syarat-syarat dan kadiah-kaidah bahasa Indonesia.

b) Karakteristik bahasa hukum terletak pada kekhususan istilah, komposisi,


serta gayanya.

c) BHI sebagai bahasa Indonesia merupakan bahasa modern yang


penggunaannya harus tetap, terang, monosemantik, dan memenuhi syarat
estetika.
BAB III
PEMBAHASAN

A.     Bahasa Hukum Indonesia dan Permasalahannya


Sesuai dengan pokok persoalannya, ragam bahasa Indonesia yang
digunakan dalam bidang hukum disebut bahasa hukum Indonesia. Manurut
Mahadi (1983:215), bahasa hukum Indonesia adalah bahasa Indonesia yang
corak penggunaan bahasanya khas dalam dunia hukum. Perhatian yang
besar terhadap pemakaian bahasa hukum Indonesia sudah dimulai sejak
diadakan Kongres Bahasa Indonesia II tanggal 28 Oktober –2 November
1954 di Medan. Bahkan, dua puluh tahun kemudian, tahun 1974, Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menyelenggarakan simposium bahasa
dan hukum di kota yang sama, Medan. Simposium tahun 1974 tersebut
menghasilkan empat konstatasi berikut (Mahadi dan Ahmad 1979 dalam
Sudjiman 1999).
a. Bahasa hukum Indonesia (BHI) adalah bahasa Indonesia yang
dipergunakan dalam bidang hukum, yang mengingat fungsinya mempunyai
karakteristik tersendiri; oleh karena itu bahasa hukum Indonesia haruslah
memenuhi syarat-syarat dan kadiah-kaidah bahasa Indonesia.
b. Karakteristik bahasa hukum terletak pada kekhususan istilah, komposisi,
serta gayanya.
c. BHI sebagai bahasa Indonesia merupakan bahasa modern yang
penggunaannya harus tetap, terang, monosemantik, dan memenuhi syarat
estetika.
d. Simposium melihat adanya kekurangsempurnaan di dalam bahasa hukum
yang sekarang dipergunakan, khususnya di dalam semantik kata, bentuk, dan
komposisi kalimat.
Terungkapnya kekurangsempurnaan di dalam bahasa hukum, seperti
terdapat dalam  konstatasi keempat di atas, yang  tercermin dalam penulisan
dokumen-dokumen hukum dapat ditelusuri dari sejarahnya. Sejarah
membuktikan bahwa bahasa hukum Indonesia, terutama bahasa undang-
undang, merupakan produk orang Belanda. Pakar hukum Indonesia saat itu
banyak belajar ke negeri Belanda karena hukum Indonesia mengacu pada
hukum Belanda. Para pakar banyak menerjemahkan langsung pengetahuan
dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia tanpa mengindahkan
struktur bahasa Indonesia (Adiwidjaja dan Lilis Hartini 1999:1—2). Di samping
itu,  ahli hukum pada masa itu lebih mengenal bahasa Belanda daripada
bahasa asing lainnya (Inggris, Perancis, atau Jerman) karena bahasa
Belanda wajib dipelajari, sedangkan bahasa Indonesia tidak tercantum di
dalam kurikulum sekolah (Sudjiman 1999).
Menurut Mahadi (1979:31), hukum mengandung aturan-aturan, konsepsi-
konsepsi, ukuran-ukuran yang telah ditetapkan oleh penguasa pembuat
hukum untuk (a) disampaikan kepada masyarakat (b) dipahami/disadari
maksudnya, dan (c) dipatuhi. Namun, kenyataannya sebagai sarana
komunikasi, bahasa Indonesia di dalam dokumen-dokumen hukum sulit
dipahami oleh masyarakat awam. Pemakaian bahasa Indonesia dalam bidang
hukum masih perlu disempurnakan (Mahadi 1979:39). (lihat Mahadi 1979).

Senada dengan Mahadi, Harkrisnowo (2007) menambahkan bahwa


kalangan hukum cenderung (a) merumuskan atau menguraikan sesuatu
dalam kalimat yang panjang dengan anak kalimat; (b) menggunakan istilah
khusus hukum tanpa penjelasan; (c) menggunakan istilah ganda atau samar-
samar; (d) menggunakan istilah asing karena sulit mencari padanannya dalam
bahasa Indonesia; (e) enggan bergeser dari format yang ada (misalnya dalam
akta notaris). Hal-hal tersebut menempatkannya dalam dunia tersendiri
seakan terlepas dari dunia bahasa Indonesia umumnya. Tidak heran jika
dokumen hukum, seperti peraturan perundang-undangan, surat edaran
lembaga, surat perjanjian, akta notaris, putusan pengadilan, dan berita acara
pemeriksaan, sulit dipahami masyarakat awam. Oleh karena itu bahasa yang
dipelajari yang dipakai dalam ilmu pengetahuan:

1. Lugas dan eksat unuk menghindari ketak samaan dan ketak samara
2. Objektif dan menekankan perasangka pribadi
3.  Memberikan definisi yang cermat tentang sifat dan kategori yang diselidikinya
untuk    menghindari kesimpang siuran
4. Tidak beremosi dan menghindari tafsiran yng beresensi.
5. Cenderung membakukan makna, kata-katanya, ungkapannya, gayanya,
paparannya berdasarkan konfersi.
6. Tidak dogmatis atau fanatic berkembang terus
7. Bercorak hemat, hanya data yang diperlukan dipakai
8. Bentuk makna dan fungsinya lebih mantap dan stabil, lebih dimiliki dari pada
kata biasa.

Akan tetapi, sebagian orang menganggap semua itu merupakan karakteristik


bahasa hukum dalam hal kekhususan istilah, kekhususan komposisi, dan
kekhususan gaya bahasa. Meskipun diakui bahasa hukum Indonesia memiliki
karakteristik tersendiri dalam hal istilah, komposisi, dan gaya bahasanya,
bukan berarti hanya dapat dimengerti oleh ahli hukum atau orang-orang yang
berkecimpung di dalam hukum (Natabaya 2000:301). Bahkan, sebetulnya di
kalangan praktisi hukum sendiri masih timbul perbedaan penafsiran terhadap
bahasa hukum (lihat Murniah 2007). Begitu penting peran bahasa dalam
pembuatan dokumen hukum ditekankan pula oleh Suryomurcito (2009). Ia
mengatakan bahwa banyak layanan produk hukum yang berbasis bahasa,
seperti korespondensi dengan klien atau dengan ditjen HKI, surat
teguran/somasi, iklan peringatan, laporan polisi, gugatan, permohonan
pendaftaran (merek, hak cipta, paten, dan sebagainya), dan penerjemahan
jenis barang/jasa, draf perjanjian.  
Jika bahasa hukum membingungkan masyarakat, tentu saja masyarakat akan
dirugikan padahal merekalah yang terikat dan terbebani kewajiban untuk
mematuhi dokumen hukum yang dihasilkan (Murniah 2007). Karena semua itu
ditujukan untuk dimanfaatkan dan diinformasikan kepada masyarakat umum,
sudah selayaknya penulisannya dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar
mendapat perhatian besar. Putusan simposium 1974 waktu itu sudah tepat:
memasukkan bahasa Indonesia dalam kurikulum di fakultas hukum dan
melibatkan ahli bahasa Indonesia di dalam penyusunan rancangan peraturan-
peraturan hukum. Dengan kata lain, dibutuhkan penulis dokumen hukum
yang  memahami ketentuan perundang-undangan yang menjadi landasannya,
tetapi juga yang memiliki keterampilan dan pengetahuan menulis dalam
bahasa Indonesia yang baik dan benar

Penggunaan Bahasa Indonesia Dalam Ilmu Hukum Perdata Dan Ilmu


Pidana

Sebagaimana diketahui bahwasanya perkembangan hukum Indonesia tidak


terlepas dari pengaruh hukum dari bahasa Belanda dan menurut Romli
Atmasasmita, perkembangan hukum Indonesia merupakan hasil adopsi
hukum termasuk sistem hukum asing (Belanda) selama masa penjajahan tiga
setengah abad yang lampau dan kentara pengaruhnya ke dalam kehidupan
sosial, ekonomi, politik masyarakat Indonesia. Pengaruh tersebut terbukti
nyata karena sampai kini baik dalam hukum perdata maupun dalam hukum
pidana masih diberlakukan sistem hukum warisan kolonial di Indonesia.
(Romli Atmasasmita:2016).
   B. Penggunaan Bahasa Hukum Pidana di Indonesia
     Hukum pidana termasuk pada ranah hukum publik. Istilah “ pidana” berasal
dari bahasa Hindu Jawa yang artinya Hukuman, Nestapa atau sedih hati;
dalam bahasa Belanda disebut straf. Jadi hukum pidana adalah hukum yang
mengatur hubungan antar subjek hukum dalam hal perbuatan - perbuatan
yang diharuskan dan dilarang oleh peraturan perundang - undangan dan
berakibat diterapkannya sanksi berupa pemidanaan dan/atau denda bagi para
pelanggarnya. Hukum Indonesia masih berpegang teguh pada hukum buatan
Belanda, begitu juga dengan hukum pidana di Indonesia saat ini.
a.    Asas Hukum Pidana
       “ASAS” berarti dasar, alas, pondamen, atau sesuatu kebenaran yang
menjadi pokok dasar atau tumpuan berfikir. Jadi Asas hukum pidana adalah
pokok dasar dalam aturan-aturan pidana. “Tiada suatu perbuatan dapat di
pidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundangan yang telah
ada sebelum perbuatann dilakukan.” Asas ini berasal dari bahasa latin “nullum
delictum, nulia poena sine previae lege poenali” yang artinya tiada peristiwa
pidana, tiada pidana tanpa adanya aturan pidana terlebih dahulu.
b.    Peristiwa Pidana
       Peristiwa pidana adalah semua peristiwa perbuatan yang bertentangan
dengan hukum pidana, peristiwa itu mengandung anasir melawan hukum.
Namun terkadang ada pula peristiwa yang bertentangan dengan hukum itu
tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum dikarenakan ada
anasir yang menghapus hukuman, maka pelakunya tidak dapat dihukum
begitu juga ketika melakukan kesalahan jika ada anasir yang menghapusnya
maka tidak akan terkena hukuman, misalnya ketika keadaan darurat atau
melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberi oleh
kuasa yang berhak dan sah secara hukum.
c.    Pelaku Peristiwa Pidana
       Pelaku peristiwa pidana adalah orang yang melakukan perbuatan salah
dalam peristiwa pidana. Pelaku dalam peristiwa pidana haruslah orang
bersalah. Namun ada pengecualian , manakala terdapat anasir yang
menghapus kesalahan, maka ia tidak akan bisa dipertanggung jawabkan
kesalahannya. Misalnya orang gila , mabuk, dan orang yang belum cakap
umur yakni dibawah 16 tahun, namun jika kesalahannya patut dipidanakan
maka maksimum pidana pokoknya dikurangi sepertiga dan jika pidana mati
atau pidana seumut hidup maka pidana penjaranya paling lama lima belas
tahun.
d.    Kesalahan
       Menurut hukum Pidana kesalahn dapat dimaknai dalam arti luas dan
sempit. Dalam arti luas kesalahan meliputi tiga anasir yaitu tentang
pertanggungan jawab dari pelaku. Kesalahan dalam arti sempit yaitu karena
kehilapan atau karena kesengajaan dan perbuatannya dapat
dipertanggungjawabkan kepada sipelaku. Kesalahan karena kehilapan
disebut delik kulpa, yaitu delik yang akibatnya tidak dikehendaki oleh
pelakunya. Sedangkan kesalahan karena kesengajaan disebut delik dolus,
yaitu delik yang memang akibatnya dikehendaki oleh pelaku. Ketidak
sengajaan pelaku jika pelaku tersebut tidak waras atau anak kecil maka tidak
dapat dikenai hukuman. 
e.    Hukuman Pokok
        Hukuman berarti siksaan yaitu siksaan yang diletakkan pada terhukum
( orang yang bersalah karena melanggar hukum).
C. Penggunaan Bahasa Hukum Perdata di Indonesia
      Istilah dan atau penamaan hukum perdata dimaksud, dikenalkan dengan
berbagai istilah dan atau penamaan hukum perdata di dalam kurikulum
pendidikannya. Demikian juga halnya dengan kalangan sarjana hukum,
namun demikian, dengan adanya  Konsorsium Ilmu Hukum, menurut Z.
Ansori Ahmad "dalam khazanah ilmu hukum di Indonesia, pernah dikenal
adanya istilah dan pembedaan antara Hukum Perdata BW dan Perdata Adat
(Z.A. Ahmad, 1986). Pembedaan sebagaimana dimaksudkan, dapat diartikan
erat hubungannya dengan sejarah dan sisa-sisa politik masa lampau dari
Penjajahan Kolonial Belanda, yang sampai saat ini masih tetap berlaku
sebagai hukum positif berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.
Sementara itu dalam penamaan istilahnya, konsorsium ilmu hukum,
mempergunakan istilah "hukum perdata" ditujukan untuk "hukum perdata BW"
dan hukum adat untuk "hukum perdata adat". Kenyataan ini dapat diartikan,
bahwa dibidang hukum perdata terjadi dualisme, di mana untuk golongan
Erofah diberlakukan hukum perdata (BW) sebaliknya untuk golongan bumi
putera diberlakukan hukum adat mereka, sementara itu mengenai hukum
perdata BW di maksud, diberlakukanlah di daerah Hindia Belanda dengan
menggunakan asas konkordansi. Hukum perdata dikenal dengan istilah civil
law. Kata civil berasal dari bahasa Latin yakni “civis”yang berarti warga
negara. Hal tersebut berarti, bahwa civil law atau hukum sipil itu merupakan
hukum yang mengatur tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan hak-
hak warga negara dan atau perseorangan. Beranjak dari itu, jika dilihat  dari
berbagai literatur yang ditulis para sarjana, juga dijumpai berbagai macam 
definisi hukum perdata, terkadang satu sama lainnya berbeda-beda, namun
tidak menunjukan perbedaan yang tidak terlalu  prinsipil.
Kebanyakan para sarjana menganggap hukum  perdata sebagai hukum yang
mengatur kepentingan perseorangan (pribadi) yang berbeda dengan "hukum
publik" sebagai hukum yang mengatur kepentingan umum (masyarakat). 
Dalam uraian berikut dikemukakan beberapa pandangan dari para ahli hukum
berkaitan dengan pengertian hukum perdata dimaksud, antara lain; H.F.A.
Vollmar memberikan suatu pengertian tentang hukum perdata sebagai
berikut, hukum perdata adalah  “Aturan-aturan atau norma-norma yang
memberikan pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada
kepentingan-kepentingan perseorangan dalam perbandingan yang tepat 
antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain dari orang-orang
dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan
keluarga dan hubungan lalu lintas” (H.F.A. Vollmar, 1989).Keseluruhan aturan
baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hubungan kepentingan
orang (persoon) yang satu dengan kepentingan orang (persoon) lainnya yang
terjadi karena hubungan kekeluargaan maupun akibat  pergaulan dalam
masyarakat. Sementara itu, orang (persoon) sebagaimana dimaksudkan
adalah dalam pengertian yuridis, artinya disamping manusia sebagai subjek
hukum, termasuk  juga kedalam pengertian orang (persoon) tersebut adalah
badan hukum walaupun hanya terbatas dalam lalu lintas hukum saja.
Hal di atas berarti, bahwa hukum perdata pada dasarnya mengatur
kepentingan orang (persoon), namun tidak berarti semua hukum perdata
secara murni mengatur kepentingan orang (persoon) tersebut, dikatakan
demikian, karena dalam perkembangan kehidupan masyarakat banyak
bidang-bidang hukum perdata yang telah diwarnai sedemikian rupa oleh
hukum publik, misalnya bidang perkawinan dan perburuhan.
Di dalam perkembangannya bahasa hukum Indonesia selalu berkembang
dan penyempurnaan sejak dahulu hingga sekarang. Sehingga menurut
Kusumadi Pudjosewojo bahwa bahasa hukum Indonesia masih mencari
gayanya sendiri. Istilah-istilahnya masih belum tetap dan sebagian besar
masih merupakan terjemahan belaka dari istilah hukum Belanda. Dengan
demikian istilah atau kalimat Indonesia itu masih mencerminkan pengertian
hukum Belanda dan alam pikiran hukum Belanda. Bahasa hukum berlainan
daripada bahasa sehari-hari atau bahasa kesusasteraan. Karakteristik bahasa
hukum Indonesia selain terletak pada komposisi, dan gaya bahasa yang
khusus dengan kandungan arti yang khusus, juga terletak pada istilah-istilah
yang dipakai. (Kusumadi Pudjosewojo: 1997: 52).

Di dalam hukum pidana terdapat banyak istilah-istilah yang belum


dibakukan dalam bahasa Indonesia. Misalnya penggunaan istilah
“straafbaarfeit” dalam bahasa hukum Belanda. Di dalam prakteknya istilah
tersebut diterjemahkan dengan istilah “peristiwa pidana” dan ada yang
menterjemahkan dengan “perbuatan pidana” dan ada pula yang
menterjemahkan “tindak pidana”. Meskipun penggunaan istilah-istilah tersebut
merujuk kepada pengertian yang sama yakni suatu tindakan atau perbuatan
yang dapat dihukum, akan tetapi dengan berbagai istilah tersebut
menunjukkan bahwa belum ada istilah baku dalam bahasa hukum Indonesia.
Di dalam hukum perdata ditemukan pula berbagai istilah yang masih
belum dibakukan sebagai bahasa hukum Indonesia. Misalnya dalam istilah
hukum perdata Belanda kita mengenal istilah “verbintenis”. Istilah ini ada
yang menerjemahkannya dengan istilah “perikatan”. Selain itu ada pula yang
menerjemahkan dengan istilah“perjanjian”. Sedangkan di dalam istilah hukum
Belanda terdapat pula istilah yang kita kenal dengan “overeenkomst”. Istilah
ini ada yang menerjemahkan pula dengan “perjanjian” dan ada yang
menerjemahkan dengan istilah “persetujuan”.

Disamping istilah persetujuan yang berasal dari bahasa Belanda (Hukum


Eropa Kontinental) sekarang terdapat pula istilah yang berasal dari hukum
Anglo Saxon yaitu “Memorandum of Understanding” (MoU). Istilah inipun
sering disepadankan dengan istilah “perjanjian” atau “Nota Kesepahaman”

Apabila dicermati maka penggunaan yang mempersamakan antara


“Memorandum of Understanding” (MoU) dengan istilah “perjanjian” atau Nota
Kesepahaman” tidaklah begitu tepat, karena ditinjau secara keilmuan hukum
“Memorandum of Understanding” (MoU) merupakan janji untuk mengadakan
perjanjian, dengan demikian pada dasarnya belum mempunyai kekuatan
mengikat layaknya perjanjian itu sendiri.

Kenyataan mengenai banyaknya penggunaan istilah yang dipergunakan


sudah tentu hal ini akan membingungkan orang awam dan atau bagi mereka
yang baru belajar hukum.

Kamus Bahasa Indonesia sendiri tidak memuat secara defenitif mengenai


pengertian istilah-istilah tersebut diatas. Akan tetapi dalam buku yang
berjudul Bahasa Hukum Indonesia yang disusun oleh Badan Pembinaan
Hukum Nasional dapat diambil kesimpulan bahwa “istilah” merupakan satu
atau beberapa kata yang digunakan untuk mengungkapkan sebuah konsep.
Mengingat istilah ini dalam konteks istilah hukum, maka konsep yang
diungkapkan tesebut merupakan sebuah konsep tentang hukum. Sehingga
dapat dikatakan bahwa istilah hukum adalah satu atau beberapa kata yang
dipergunakan untuk mengungkapkan sebuah konsep hukum.

D.    Makna Bahasa Hukum Yang Ambigu


Selain bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya, bahasa Indonesia mutlak
diajarkan di fakultas hukum, terutama pada jurusan yang mencetak legal
drafter. Jika seorang sarjana hukum memiliki penguasaan. bahasa Indonesia
maupun bahasa asing yang baik, tingkat pemahaman dan kompetensi
pengetahuan hukumnya pasti lebih baik, agar pengajaran bahasa Indonesia
bukan melulu pada struktur bahasa, tetapi juga makna yang sesuai konteks.
Contohnya penggunaan kata ulang. Dalam struktur bahasa Indonesia, kata
berulang diartikan dilakukan beberapa kali. Namun dalam bahasa hukum,
belum tentu diartikan begitu, bergantung pada kalimatnya.
Memang bahasa Indonesia diperlukan mahasiswa fakultas hukum. Tapi
bukan mempelajari bagaimana struktur kalimat, seperti zaman sekolah dulu,
melainkan membahas bagaimana memaknai bahasa hukum. Memahami
hukum bukan hanya dengan membaca undang-undang, melainkan
memaknainya secara hukum pula.
Jika semua pihak, baik pemerintah, DPR, akademisi, praktisi hukum, maupun
masyarakat, mau terus bekerja keras, bukan tidak mungkin semua bahasa
hukum yang digunakan sehari-hari nantinya hanya mengacu dan
berlandaskan pada bahasa Indonesia saja. Dengan demikian, bahasa hukum
mudah dimengerti dan masyarakat juga menjadi melek hukum.
E.  Fungsi Bahasa indonesia dalam Ilmu Hukum
Bahasa dipergunakan atas dasar berbagai macam alasan, tujuan,
maupun sasaran. Oleh karenanya, bahasa dalam konteks logika hukum
memiliki beberapa fungsi antara lain sebagai berikut :
a. Fungsi Informatif
Bahasa digunakan sebagai sarana untuk membawa sebuah informasi. Dalam
Fungsi ini bahasa yang dipergunakan biasanya berbentuk deklaratif, misalnya
Bahasa Ilmiah.
b. Fungsi Praktis
Bahasa dipergunakan dengan maksud untuk menghasilkan efek
tertentu. Fungsi ini juga disebut fungsi dinamis dan dalam fungsi ini bahasa
dipergunakan dalam bentuk pernyataan Imperatif, misalnya perintah, seruan,
intruksi, permohonan.
c. Fungsi Ekspresif
Bahasa dipergunakan baik untuk menyatakan perasaan seseorang
maupun untuk memberikan tanggapan yang sifatnya emosional. Bahasa jenis
ini biasanya berbentuk pernyataan eksklamatoris, humor ataupun cetusan-
cetusan sebagaimana terdapat dalam puisi.
d. Fungsi Perfermatif
Bahasa tidak hanya dipergunakan semata-mata untuk mengatakan
sesuatu melainkan sekaligus juga untuk menunjukkan realisasi apa yang
dikatakan tersebut.sebagai contoh, rektor dalam Sidang Senat Terbuka
berkata, “ Dengan ini Sidang Senat Terbuka Universitas Suryakancana
dinyatakan dibuka, ” sambil memukulkan palu tiga kali.
e. Fungsi Seremonial
Bahasa dipergunakan dalam pergaulan sosial sehari-hari,
persahabatan, perkerabatan, maupun keramah-tamahan dalam hubungan
antar anggota masyarakat. Dalam fungsi ini bahasa dapat memperluas
hubungan manusia dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Bentuknya
misalnya sapaan dan teguran ramah.
f. Fungsi Logis
Bahasa dipergunakan untuk membuat penalaran, analisis, penjelasan,
serta penyelesaian masalah atau argumen. Bahasa dalam fungsi ini
dipergunakan untuk melakukan pembuktian benar salahnya sebuah
pernyataan atau keputusan. Misalnya dalam putusan hakim dalam sidang.

BAB IV
PENUTUP

1. Sesuai dengan pokok persoalannya, ragam bahasa Indonesia yang


digunakan dalam bidang hukum disebut bahasa hukum Indonesia. Manurut
Mahadi (1983:215), bahasa hukum Indonesia adalah bahasa Indonesia yang
corak penggunaan bahasanya khas dalam dunia hukum. Perhatian yang
besar terhadap pemakaian bahasa hukum Indonesia sudah dimulai sejak
diadakan Kongres Bahasa Indonesia II tanggal 28 Oktober –2 November
1954 di Medan. Di samping itu,  ahli hukum pada masa itu lebih mengenal
bahasa Belanda daripada bahasa asing lainnya (Inggris, Perancis, atau
Jerman) karena bahasa Belanda wajib dipelajari, sedangkan bahasa
Indonesia tidak tercantum di dalam kurikulum sekolah (Sudjiman 1999).
Menurut Mahadi (1979:31), hukum mengandung aturan-aturan, konsepsi-
konsepsi, ukuran-ukuran yang telah ditetapkan oleh penguasa pembuat
hukum untuk (a) disampaikan kepada masyarakat (b) dipahami/disadari
maksudnya, dan (c) dipatuhi. Namun, kenyataannya sebagai sarana
komunikasi, bahasa Indonesia di dalam dokumen-dokumen hukum sulit
dipahami oleh masyarakat awam. Pemakaian bahasa Indonesia dalam bidang
hukum masih perlu disempurnakan.
2. Saran
Hendaknya istilah-istilah bahasa hukum pada umumnya dan hukum
pidana serta hukum perdata pada khususnya dibakukan dalam sutu istilah
kamus Bahasa Hukum Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Bahasa Hukum Dalam Putusan Peradilan di Indonesia.


Makalah pada seminar Internasional “Penggunaan Bahasa Serapan Asing
yang digunakan dalam Terminologi Hukum Indonesia”. Fakultas Hukum
Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, 29 April 2015.

Atmasasmita, Romli. Arah Perkembangan Hukum Pidana Indonesia.


Koran Sindo, 26 April 2016.

Hadikusuma, Hilman. Bahasa Hukum Indonesia. Alumni. Bandung.


2010.
Musaba, Zulkifli, Bahasa Indonesia Untuk Mahasiswa. Aswaja
Pressindo. Jogjakarta. 2015.

Pudjosewojo, Kusumadi, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia,


Jakarta: Sinar Grafika, 1997.

http://www.atmajaya.ac.id/web/KontenUnit.aspx?gid=artikel-
hki&ou=hki&cid=artikel-hki-bahasa-hukum-indonesia

https://www.academia.edu/6693317/
Makalah_BAHASA_INDONESIA_DALAM_HUKUM?

https://herygaara5.wordpress.com/2011/04/13/penggunaan-bahasa-hukum-
dalam-bahasa-indonesia
Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara berfungsi sebagai
bahasa resmi kenegaraan, pengantar kependidikan, komunikasi tingkat
nasional, pengembangan budaya nasional, transaksi dan dokumentasi niaga
serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi,
seni dan bahasa media massa.

Sesuai dengan pokok persoalannya, ragam bahasa Indonesia yang


digunakan dalam bidang hukum disebut bahasa hukum Indonesia. Menurut
Mahadi, bahasa hukum Indonesia adalah bahasa Indonesia yang corak
penggunaan bahasanya khas dalam dunia hukum. Perhatian yang besar
terhadap pemakaian bahasa hukum Indonesia sudah dimulai sejak diadakan
Kongres Bahasa Indonesia II tanggal 28 Oktober –2 November 1954 di
Medan. Di samping itu,  ahli hukum pada masa itu lebih mengenal bahasa
Belanda daripada bahasa asing lainnya (Inggris, Perancis, atau Jerman)
karena bahasa Belanda wajib dipelajari, sedangkan bahasa Indonesia tidak
tercantum di dalam kurikulum sekolah .
Menurut Mahadi , hukum mengandung aturan-aturan, konsepsi-konsepsi,
ukuran-ukuran yang telah ditetapkan oleh penguasa pembuat hukum untuk
(a) disampaikan kepada masyarakat
(b) dipahami/disadari maksudnya, dan
(c) dipatuhi.
Namun, kenyataannya sebagai sarana komunikasi, bahasa Indonesia di
dalam dokumen-dokumen hukum sulit dipahami oleh masyarakat awam.
Pemakaian bahasa Indonesia dalam bidang hukum masih perlu
disempurnakan.
Begitu penting peran bahasa dalam pembuatan dokumen hukum ditekankan
pula. Bahwa banyak layanan produk hukum yang berbasis bahasa, seperti
korespondensi dengan klien atau dengan ditjen Hak Kekayaan Intelektual,
surat teguran/somasi, iklan peringatan, laporan polisi, gugatan, permohonan
pendaftaran (merek, hak cipta, paten, dan sebagainya), dan penerjemahan
jenis barang/jasa, draf perjanjian.  Jika bahasa hukum membingungkan
masyarakat, tentu saja masyarakat akan dirugikan padahal merekalah yang
terikat dan terbebani kewajiban untuk mematuhi dokumen hukum yang
dihasilkan. Karena semua itu ditujukan untuk dimanfaatkan dan
diinformasikan kepada masyarakat umum, sudah selayaknya penulisannya
dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar mendapat perhatian besar.
Sebagaimana diketahui bahwasanya perkembangan hukum Indonesia tidak
terlepas dari pengaruh hukum dari bahasa Belanda dan menurut Romli
Atmasasmita, perkembangan hukum Indonesia merupakan hasil adopsi
hukum termasuk sistem hukum asing (Belanda) selama masa penjajahan tiga
setengah abad yang lampau dan kentara pengaruhnya ke dalam kehidupan
sosial, ekonomi, politik masyarakat Indonesia. Pengaruh tersebut terbukti
nyata karena sampai kini baik dalam hukum perdata maupun dalam hukum
pidana masih diberlakukan sistem hukum warisan kolonial di Indonesia.
Di dalam hukum pidana terdapat banyak istilah-istilah yang belum
dibakukan dalam bahasa Indonesia. Misalnya penggunaan istilah
“straafbaarfeit” dalam bahasa hukum Belanda. Di dalam prakteknya istilah
tersebut diterjemahkan dengan istilah “peristiwa pidana” dan ada yang
menterjemahkan dengan “perbuatan pidana” dan ada pula yang
menterjemahkan “tindak pidana”. Meskipun penggunaan istilah-istilah tersebut
merujuk kepada pengertian yang sama yakni suatu tindakan atau perbuatan
yang dapat dihukum, akan tetapi dengan berbagai istilah tersebut
menunjukkan bahwa belum ada istilah baku dalam bahasa hukum Indonesia.

Di dalam hukum perdata ditemukan pula berbagai istilah yang masih


belum dibakukan sebagai bahasa hukum Indonesia. Misalnya dalam istilah
hukum perdata Belanda kita mengenal istilah “verbintenis”. Istilah ini ada
yang menerjemahkannya dengan istilah “perikatan”. Selain itu ada pula yang
menerjemahkan dengan istilah“perjanjian”. Sedangkan di dalam istilah hukum
Belanda terdapat pula istilah yang kita kenal dengan “overeenkomst”. Istilah
ini ada yang menerjemahkan pula dengan “perjanjian” dan ada yang
menerjemahkan dengan istilah “persetujuan. Disamping istilah persetujuan
yang berasal dari bahasa Belanda (Hukum Eropa Kontinental) sekarang
terdapat pula istilah yang berasal dari hukum Anglo Saxon yaitu
“Memorandum of Understanding” (MoU). Istilah inipun sering disepadankan
dengan istilah “perjanjian” atau “Nota Kesepahaman”

Apabila dicermati maka penggunaan yang mempersamakan antara


“Memorandum of Understanding” (MoU) dengan istilah “perjanjian” atau Nota
Kesepahaman” tidaklah begitu tepat, karena ditinjau secara keilmuan hukum
“Memorandum of Understanding” (MoU) merupakan janji untuk mengadakan
perjanjian, dengan demikian pada dasarnya belum mempunyai kekuatan
mengikat layaknya perjanjian itu sendiri.

Kenyataan mengenai banyaknya penggunaan istilah yang dipergunakan


sudah tentu hal ini akan membingungkan orang awam dan atau bagi mereka
yang baru belajar hukum.

Kamus Bahasa Indonesia sendiri tidak memuat secara defenitif mengenai


pengertian istilah-istilah tersebut diatas. Akan tetapi dalam buku yang
berjudul Bahasa Hukum Indonesia yang disusun oleh Badan Pembinaan
Hukum Nasional dapat diambil kesimpulan bahwa “istilah” merupakan satu
atau beberapa kata yang digunakan untuk mengungkapkan sebuah konsep.
Mengingat istilah ini dalam konteks istilah hukum, maka konsep yang
diungkapkan tesebut merupakan sebuah konsep tentang hukum. Sehingga
dapat dikatakan bahwa istilah hukum adalah satu atau beberapa kata yang
dipergunakan untuk mengungkapkan sebuah konsep hukum.

Anda mungkin juga menyukai