Anda di halaman 1dari 14

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Humaniter


Istilah hukum humaniter atau lengkapnya international humanitarian law
applicable in armed conflicts berawal dari istilah hukum perang (laws of war).
Prof. Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang menjadi sebagai
berikut:
1. Jus ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal
bagaimana negara clibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata;
2. ]us in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, yang clibagi lagi
menjadi 2 ( dua) yaitu:
a) Hukum yang mengatur cara clilakukannya perang (conduct of
war). Bagian ini biasanya clisebut The Hague Laws
b) Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjacli
korban perang. Ini lazimnya disebut The Geneva Laws
Dalam perkembangan selanjutnya, istilah hukum perang berubah menjadi
hukum sengketa bersenjata (the laws of armed conflict), yang akhirnya pada
saat ini biasa clikenal dengan istilah hukum humaniter internasional atau
disingkat dengan hukum humaniter. Adapun definisi hukum humaniter menurut
Mochtar Kusumaatmadja ialah merupakan bagian dari hukum yang mengatur
ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum
perang yang mengatur perang itu sencliri dan segala sesuatu yang menyangkut
cara melakukan perang itu sencliri".
Adapun beberapa definisi dari Hukum Humaniter menurut para ahli:
i. Jean Pictet : International humanitarian law in the wide sense is
constitutional

legal

provision,

whether

written

and

customary,

ensuring respect for individual and his well being.


ii. Geza Herzeg : Part of the rule of public international law which serve
as the protection of individuals in time of armed conflict. Its place is
beside the norm of warfare it is closely related to them but must be
clearly distinguish from these its purpose and spirit being different.
iii. Esbjorn Rosenbland : The law of armed conflict berhubungan dengan
permulaan dan berakhirnya pertikaian; pendudukan wilayah lawan;

hubungan pihak yang bertikai dengan negara netral. Sedangkan Law


of Warfare ini antara lain mencakup : metoda dan sarana berperang,
status kombatan, perlindungan yang sakit, tawanan perang dan orang
sipil.
iv. S.R Sianturi : Hukum yang mengatur mengenai suatu sengketa
bersenjata yang timbul antara dua atau lebih pihak-pihak yang
bersengketa, walaupun keadaan sengketa tersebut tidak diakui oleh
salah satu pihak.
Terakhir secara luas departemen hukum dan perundangundangan merumuskan
sebagai berikut : Hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaedah dan
ketentuan internasional, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mencakup
hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan
terhadap harkat dan martabat seseorang.
Hukum humaniter sendiri merupakan salah satu cabang dari hukum
internasional publik, yaitu bidang hukum yang mengatur masalah-masalah lintas
batas antar negara. Hal ini dikarenakan hukum humaniter mengandung normanorma yang mengatur mengenai dealings antara negara-negara di dalam
keadaan perang. Maka dari itu hukum humaniter memengaruhi hubungan antar
lintas negara di dalam konteks ini secara khusus, dan karena itulah hukum
humaniter merupakan cabang dari hukum internasional publik yang dimana
hukum ini mengatur masalah antara lintas negara.
Prof. Haryomataram membagi hukum humaniter menjadi dua aturan
pokok, yaitu:
1. Hukum Den Haag, yaitu Hukum yang mengatur mengenai cara dan
alat yang boleh clipakai untuk berperang;
2. Hukum Jenewa, yaitu Hukum yang

mengatur

mengenai

perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat


perang

Hukum Jenewa
Hukum Jenewa, yang mengatur mengenai perlindungan korban perang, terdiri
atas beberapa perjanjian pokok berupa empat Konvensi-konvensi Jenewa 1949,
yang masing-masing adalah:

I.

Konvensi Jenewa I tahun 1949 tentang Perbaikan Keadaan Anggota


Angkatan Perang Yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat
(Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded
and Sick in Armed Forces in the Field )
Konvensi ini didasarkan pada anggapan bahwa anggota angkatan
perang, yang tidak mampu lagi mengambil bagian dalam peperangan
dikarenakan terluka atau sakit, bukanlah merupakan ancaman. Maka dari
itu tidak diperbolehkan untuk menyerang musuh yang telah sakit dan
terluka. Tidak diperbolehkan juga untuk menyerang tenaga medis,
ambulans dan tenaga kesehatan lainnya.
Konvensi jenewa telah menetapkan bahwa tanda salib merah dan
bulan sabit sebagai simbol dari tenaga medis, yang diperuntukkan untuk
memfasilitasi perlindungan kepada mereka. Penyalahgunakan simbol ini
untuk melindungi aktivitas militer para pihak yang berperang adalah
dilarang, sebagai contoh menyelundupkan senjata perang ke dalam
ambulans. Jika penyalahgunaan ini mengakibatkan korban terluka atau

II.

sakit maka pelakunya dapat dihukum sesuai dengan perbuatannya.


Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perbaikan Keadaan Anggota
Angkatan Perang Di Laut Yang Luka, Sakit dan Korban Karam ( Geneva
Convention for the Amelioration of the condition of the Wounded, Sick and
Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea);
Konvensi Jenewa kedua ini hampir sama dengan konvensi pertama,
dengan tambahan bahwa orang-orang yang kapalnya karam atau rusak
haruslah diselamatkan dan kapal medis memiliki hak dan tugas yang
khusus.

III.

Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perlakuan Terhadap Tawanan Perang


(Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War);
Konvensi jenewa ketiga merupakan perbaikan dari konvensi di
tahun 1929 mengenai hal yang sama. Konvensi ini didasarkan pada
anggapan bahwa angkatan perang yang berperang untuk negaranya tidak
melakukan tindak kriminal, meskipun mereka bisa saja telah melukai
sejumlah anggota angkatan perang musuhnya. Ketika mereka mengambil
tawanan perang, hal ini bukanlah dikategorikan sebagai kejahatan dan
tidak dihukum karenanya.
Tawanan perang harus diperlakukan selayaknya manusia, dan
berhak di dalam situasi apapun untuk dihormati dan dihargai. Tidak
diperbolehkan adanya siksaan fisik maupun mental, atau berbagai bentuk

pemaksaan kepada tawanan perang demi mendapatkan informasi dan


semacamnya. Konvensi Jenewa ketiga ini lebih lanjut mengatur mengenai
perlakuan terhadap tawanan perang tersebut. Berdasarkan konvensi ini
juga The International Committee of the Red Cross (ICRC) atau palang
merah berhak untuk mengunjungi tenda-tenda tawanan perang, berbicara
dengan tawanan dan juga memfasilitasi komunikasi antara tawanan
IV.

dengan keluarganya.
Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perlindungan Orang-orang Sipil di
Waktu Perang (Geneva Convention relative to the Protection of Civilian
Persons in Time of War).
Konvensi Jenewa keempat ini didasarkan pada anggapan bahwa daerah
pendudukan merupakan keadaan yang sementara. Ketika salah satu pihak
telah dikalahkan dan pemerintahan kemudian berubah, sulit untuk
mencari pedoman yang sesuai. Berdasarkan konvensi ini agama dan
kebebasan penduduk lokal harus dihormati. Konvensi ini lebih lanjut
mengatur

mengenai

bersengketa,

baik

kedudukan
dalam

penduduk

daerah

sipil

pertempuran

pihal-pihak
maupun

yang
daerah

pendudukan serta di negara-negara netral.


Keempat Konvensi Jenewa tahun 1949 tersebut pada tahun 1977 dilengkapi
dengan 2 Protokol Tambahan yakni :
1. Protokol Tambahan Pada Konvensi Jenewa tahun 1949 yang mengatur
tentang Perlindungan Korban Sengketa Bersenjata Internasional (Protocol
Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949, And Relating to
the Protections of Victims of International Armed Conflict), selanjutnya
disebut Protokol I;
2. Protokol Tambahan Pada Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 yang

Mengatur

tentang

Perlindungan

Korban

Sengketa

Bersenjata

Non-

Internasional (Protocol Additional to the Geneva Convention of 12 August


1949, And Relating to the Protections of Victims of Non-International
Armed Conflict) selanjutnya disebut Protokol II. Protokol Tambahan Pada
Konvensi Jenewa 1949 yang mengatur mengenai lambang. Sebagaimana
diatur di dalam Protokol ini, negara-negara telah setuju tentang adanya
lambang pelindung yang baru selain lambang palang merah

Hukum Denhaag

Hukum Den Haag merupakan ketentuan hukum humaniter yang mengatur


cara dan alat berperang. Hukum Den Haag bersumber dari hasil-hasil Konferensi
Perdamaian I yang diadakan pada tahun 1899 dan Konferensi Perdamaian II yang
diadakan pada tahun 1907. Di samping itu ada beberapa instrumen hukum
humaniter yang dibuat setelah dua konferensi perdamaian tersebut yang juga
termasuk dalam kelompok Hukum Den Haag, misalnya Konvensi-konvensi
tentang Senjata Konvensional tahun 1980.
a.

Konvensi-Konvensi Den Haag 1899


Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil
Konferensi Perdamaian I di Den Haag (18 Mei - 29 Juli 1899). Dalam
konferensi perdamaian ini dihasilkan 3 konvensi dan deklarasi. Adapun
dibagi menjadi tiga konvensi:
1. Konvensi

tentang

Penyelesaian

Damai

Persengketaan

Internasional.
2. Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat.
3. Konvensi III tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa
Tanggal 22 Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut.
Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
1. Deklarasi tentang larangan penggunaan peluru-peluru dumdum (peluru-peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup
bagian dalam sehingga dapat pecah dan membesar dalam
tubuh manusia).
2. Deklarasi tentang larangan peluncuran proyektil-proyektil dan
bahan-bahan peledak dari balon.
3. Deklarasi tentang larangan penggunaan proyektil-proyektil
yang menyebabkan gas-gas cekik dan beracun.

b.

Konvensi-Konvensi Den Haag tahun 1907


Konvensi-Konvensi
Perdamaian

Ke

II

ini
yang

adalah

merupakan

merupakan

kelanjutan

hasil
dari

Konferensi
Konferensi

Perdamaian I Tahun 1899 di Den Haag.506 Konvensi-konvensi yang


dihasilkan oleh Konferensi Perdamaian II di Den Haag adalah sebagai
berikut :

1. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional;


2. Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam Menuntut
Pembayaran Hutang yang berasal dari Perjanjian Perdata;
3. Konvensi III tentang Cara Memulai Permusuhan;
4. Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat yang
dilengkapi dengan Regulasi (Peraturan) Den Haag;
5. Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Orang-orang
Netral dalam Perang di darat;
6. Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat Permulaan
Peperangan;
7. Konvensi VII tentang Pengubahan Kapal Dagang menjadi Kapal
Perang;
8. Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam laut;
9. Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di waktu Perang;
10.Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang
perang di laut;
11.Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak
Penangkapan dalam Perang di Laut;
12.Konvensi XII tentang Pembentukan suatu Mahkamah Internasional
tentang Penyitaan contraband perang (barang selundupan untuk
kepentingan perang);
13.Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang
di Laut.

Prinsip-prinsip di dalam Hukum Humaniter


Prinsip yang berlaku pada hukum humaniter internasional antara lain:
1. Prinsip kepentingan Militer (Militery Necessity)
Yang dimaksud dengan prinsip ini ialah hak pihak yang berperang untuk
menentukan kekuatan yang diperlukan untuk menaklukan musuh dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya dengan biaya yang serendah-rendahnya
dan dengan korban yang sekecil-kecilnya. Namun demikian, perlu diingat
pula bahwa hak pihak yang berperang untuk memiliki alat/senjata untuk
menaklukan musuh adalah tidak tak terbatas. Dalam pelaksanaannya
sering pula dijabarkan dengan adanya penerapan prinsip prinsip sebagai
berikut:
b.

Prinsip pembatasan (Limitation Principle), adalah suatu prinsip


yang menghendaki adanya pembatasan terhadap sarana atau

alat serta cara atau metode berperang yang dilakukan oleh pihak
c.

yang bersengketa.
Prinsip
proporsionalitas

(Proportionality

Principle),

yang

menyatakan bahwa kerusakan yang akan diderita oleh penduduk


sipil atau objek sipil harus proporsional sifatnya.
2.

Prinsip Kemanusiaan (Humanity)


Prinsip ini melarang penggunaan semua macam atau tingkat
kekerasan (violence) yang tidak diperlukan untuk mencapai tujuan
perang. Orang-orang yang luka atau sakit, dan juga mereka yang telah
menjadi tawanan perang, tidak lagi merupakan ancaman, dan oleh
karena itu mereka harus dirawat dan dilindungi. Demikian pula dengan
penduduk sipil yang tidak turut serta dalam konflik harus dilindungi dari
akibat perang.

3. Prinsip Kesatriaan (Chivalry)


Prinsip ini tidak membenarkan pemakaian alat/senjata dan cara
berperang yang tidak terhormat, mengandung arti bahwa di dalam
perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidatk
terhormat, berbagai macam tipu muslihat dan cara-cara yang bersifat
khianat dilarang.
4. Prinsip pembedaan (The principle of Distinction)
Prinsip pembedaan (distinction principle) adalah suatu prinsip atau
asas yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara
yang sedang berperang atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata ke
dalam dua golongan, yaitu kombatan (combatan) dan penduduk sipil
(civilian). Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut
serta dalam permusuhan (hostilities), sedangkan penduduk sipil adalah
golongan penduduk yang tidak turut serta dalam permusuhan. Perlunya
prinsip pembedaan ini adalah untuk mengetahui mana yang boleh
dijadikan sasaran atau obyek kekerasan dan mana yang tidak boleh
dijadikan

obyek

kekerasan.

Dalam

pelaksanaannya

prinsip

ini

memerlukan penjabaran lebih jauh lagi dalam sebuah asas pelaksanaan


(principles of application), yaitu :

a. Pihak-pihak
membedakan

yang

bersengketa

antara

kombatan

setiap
dan

saat

penduduk

harus
sipil

bisa
untuk

menyelamatkan penduduk sipil dan obyek-obyek sipil.


b. Penduduk sipil tidak boleh dijadikan obyek serangan walaupun
untuk membalas serangan (reprisal).
c. Tindakan maupun ancaman yang bertujuan untuk menyebarkan
terror terhadap penduduk sipil dilarang.
d. Pihak yang bersengketa harus mengambil langkah pencegahan
yang memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil atau
setidaknya untuk menekan kerugian atau kerusakan yang tidak
sengaja menjadi kecil.
e. Hanya angkatan bersenjata
f.

yang

berhak

menyerang

dan

menahan musuh.
Rule of Engagement (ROE)

Prinsip-prinsip ini merupakan refleksi dari tujuan Hukum Humaniter Internasional


yaitu antara lain:
1. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun non-kombatan,
pada khususnya, properti milik penduduk sipil dan kombatan yang sudah
tidak mampu terlibat dalam perang karena sakit ataupun terluka dari dari
penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering).
2. Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang
jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus
dilindungi dan dirawat serta berhak cliperlakukan sebagai tawanan
perang.
3. Untuk menghindari berkepanjangannya konflik dan mencegah
dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas.
Sumber-Sumber Hukum Humaniter
Menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Pengadilan Internasional
(International Court of Justice) sumber-sumber hukum internasional terdiri dari :
a. Perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang
membentuk aturan-aturan yang secara tegas diakui oleh masyarakat
nternasional;
b. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu praktek umum yang
diterima sebagai hukum;
c. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa beradab;
d. Keputusan-keputusan Mahkamah dan ajaran dari para ahli yang sangat
kompeten dari berbagai bangsa, sebagai sumber hukum tambahan untuk
menentukan supremasi hukum.

Oleh karena hukum humaniter adalah cabang dari hukum internasional publik,
maka sumber-sumbernya adalah juga sama seperti yang disebutkan dalam Pasal
38 ayat (1) Statuta ICJ tersebut. Berikut ini akan diuraikan secara ringkas
sumber-sumber hukum humaniter yang dimaksud, dengan penekanan kepada
sumber yang pertama, yaitu perjanjian-perjnajian internasional.

a. Perjanjian Internasional
Terdapat banyak perjanjian

internasional

mengenai

hukum

humaniter,

sehingga tidak mungkin untuk disebutkan semuanya. Namun, terdapat


beberapa perjanjian utama yang mengatur mengenai aturan di dalam hukum
humaniter secara umum, berikut ini:
i.
Deklarasi St. Petersburg tentang Penghapusan Penggunaan Proyektil
yang Bersifat Mudah Meledak yang Beratnya Di bawah 400 Gram di
waktu perang (St Petersburg declaration Renouncing the Use in Time of
ii.
iii.
iv.

War, of Explosive Projectiles Under 400 Grammies Weight);


Konvensi Denhaag di Tahun 1899 dan 1907;
Konvensi Jenewa I sampai IV di Tahun 1949;
Konvensi Denhaag tentang Perlindungan Benda-Benda Budaya saat
Konflik Bersenjata di Tahun 1954 (Convention for the Protection of
Cultural Property in the Event of Armed Conflict) ;
Mengatur secara besar mengenai kewajiban

negara

akan

penyelamatan benda budaya, akan penghormatan terhadap benda


budaya, kewajiban negara saat melakukan pendudukan dan terhadap
angkatan bersenjatanya. Konvensi ini membedakan antara dua rezim
perlindungan,

yaitu

benda-benda

budaya

yang

berada

dibawah

perlindungan umum dan yang berada di bawah perlindungan khusus.


v.

Masing-masing memiliki tanda atau lambang pelindung yang berbeda.


Protokol Tambahan Pada Konvensi Jenewa tahun 1949 yang mengatur
tentang

Perlindungan

Korban

Sengketa

Bersenjata

Internasional

(Protocol Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949, And


Relating to the Protections of Victims of International Armed Conflict),
selanjutnya disebut Protokol I; dan Protokol Tambahan Pada Konvensikonvensi Jenewa tahun 1949 yang Mengatur tentang Perlindungan
vi.

Korban Sengketa Bersenjata Non-Internasional;


Statuta Roma terhadap Mahkamah Kriminal Internasional (International
Criminal Court)
Statuta ini tidak

secara

langsung

berhubunan

dengan

Hukum

Humaniter Internasional namun, karena statuta ini mengatur mengenai

kejahatan perang, maka secara tak langsung berhubungan dengan


Hukum Humaniter.

b. Kebiasaan Internasional
Hukum kebiasaan penting untuk melindungi para korban dari masalahmasalah yang tidak diatur dalam perjanjian, ketika suatu sengketa melibatkan
para pihak yang tidak terikat dalam perjanjian atau para pihak yang telah
membuat beberapa reservasi terhadap perjanjian-perjanjian tersebut. Dalam hal
seperti

ini,

mahkamah-mahkamah

kejahatan

internasional

menghendaki

penerapan aturan-aturan kebiasaan internasional. Di samping itu, dalam


beberapa sistem hukum, aturan-aturan kebiasaan dapat diterapkan secara
langsung dalam hukum domestik.
Aturan-aturan hukum kebiasaan internasional ditemukan dalam sejumlah
perjanjian, seperti Konvensi Den Haag IV tahun 1907 tentang hukum dan
kebiasaan perang didarat, Undang-undang Lieber tahun 1863, dan Deklarasi St.
Petersburg tahun 1868. Pembenaran berlakunya hukum kebiasaan internasional
dicontohkan

dalam

putusan

Mahkamah

Pengadilan

Internasional

dalam

putusannya mengenai Aktifitas Militer dan Paramiliter dalam dan terhadap kasus
Nicaragua (Case concerning Military and Paramilitary Activities in and Against
Nicaragua), tahun 1986. Dalam putusan terhadap kasus tersebut, Mahkamah
menyatakan bahwa eksistensi hukum kebiasaan internasional mempunyai posisi
yang sama dengan hukum perjanjian, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 38
ayat (b) Statuta Mahkamah. Bahkan eksistensi hukum kebiasaan juga merupakan
aturan alternatif, jika ternyata diantara para pihak tidak ada perjanjian yang
mengikat.

c. Prinsip-Prinsip Umum
Berbeda dengan perjanjian dan kebiasaan internasional, prinsip-prinsip
hukum umum jarang disebut dalam instrumen-instrumen hukum humaniter
maupun dalam penjelasan-penjelasan resminya. Prinsip-prinsip hukum umum ini
seperti antara lain prinsip itikad baik (good faith), prinsip pacta sunt servanda
dan prinsip proporsional, yang telah menjadi kebiasaan internasional dan telah

dikodifikasi, juga berlaku dalam sengketa bersenjata dan dapat bermanfaat


dalam melengkapi dan menerapkan hukum humaniter.
d. Putusan dan Doktrin
Putusan mahkamah, baik pengadilan nasional maupun internasional, dapat
dijadikan sumber hukum humaniter. Berikut ini akan dikemukakan contoh-contoh
putusan mahkamah dimaksud yang telah ikut memberikan inspirasi bagi
pengkodifikasian terhadap hukum humaniter.
i.

Putusan Pengadilan Nasional Salah satu contoh putusan pengadilan


nasional yang cukup terkenal adalah putusan Pengadilan Amerika Serikat
tentang Kasus Letnan Calley (1971).
Kasus ini dimulai ketika Kompi Charlie (salah satu peleton yang
bertugas

di

Vietnam

Selatan),

melakukan

pembunuhan

terhadap

penduduk sipil, dan pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang


di Desa May Lai tanggal 16 Maret tahun 1968. Dalam putusan tingkat
pertama, Letnan Calley dijatuhi hukuman 20 tahun kurungan, kerja paksa
dan dipecat
ii. Mahkamah Nuremberg dan Tokyo (1945)
Mahkamah Nuremberg dan Tokyo dibentuk untuk mengadili para
penjahat perang Jerman dan Jepang yang melakukan kejahatan perang
selama Perang Dunia II. Dalam salah satu putusannya, Mahkamah
Nuremberg

mengemukakan

bahwa

kejahatan

terhadap

hukum

internasional dilakukan oleh pribadi dan bukan kesatuan yang abstrak


(abstract entities) dan hanya dengan menghukum individu-individu yang
melakukan kejahatan tersebut, ketentuan-ketentuan hukum internasional
dapat ditegakkan.
iii. Putusan International Criminal Tribunal for former Yugoslavia (ICTY) tahun
1993 & International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) tahun 19945
Contoh putusan ICTY dan ICTR adalah putusan-putusan terhadap
kasus Tadic dan Akayesu. Dalam kasus Tadic, Tribunal memutuskan
ukuran untuk menyatakan telah terjadi suatu sengketa bersenjata, yaitu
berdasarkan intensitas konflik dan struktur dari kekuatan pihak-pihak
yang bersengketa. Berkaitan dengan struktur kelompok bersenjata yang
terorganisir, maka menurut Tribunal harus dibedakan antara sengketa

bersenjata internal (non-international armed conflict) dengan tindakan


kebanditan atau tindakan yang tidak terorganisir dan tindakan huru-hara
jangka pendek (short-live insurrections).
Salah satu doktrin atau ajaran pendapat sarjana terkenal yang berkaitan
dengan hukum humaniter adalah Klausula Martens. Klausula Martens mula-mula
terdapat da1am Pembukaan Konvensi Den Haag ke-I tahun 1899 tentang hukum
dan kebiasaan perang di darat. Adapun isi klausul tersebut, secara lengkap,
adalah sebagai berikut :
Until a more complete code of laws of war is issued, the High Contracting
Parties think it right to declare than in cases not included in the Regulations
adopted by them, populations and belligerents remain under the protection and
empire of the principles of international law, as the result from the usages
established between tivilized nations, from the laws of human and th
requirement of the public conscience. "
Secara ringkas, klausul ini menentukan bahwa apabila Hukum
Humaniter belum mengatur suatu ketentuan hukum mengenai masalah-masalah
tertentu, maka ketentuan yang dipergunakan harus mengacu kepada prinsipprinsip hukum internasional yang terjadi dari kebiasaan yang terbentuk diantara
negara-negara yang beradab; dari hukum kemanusiaan; serta dari hati nurani
masyarakat (dictated of public conscience).

Hubungan Hukum Humaniter dengan HAM, dan Hukum Pidana


Internasional
Perkembangan Hukum Humaniter Internasional yang berhubungan dengan
perlindungan bagi korban perang dan hukum perang sangat dipengaruhi oleh
perkembangan hukum perlindungan Hak Asasi Manusia setelah Perang Dunia
Kedua. Penetapan instrumen internasional yang penting dalam bidang Hak
Asasi Manusia seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), Konvensi
Eropa tentang Hak Asasi Manusia (1950) dan Konvenan Internasional tentang
Hak Sipil dan Politik (1966) memberikan sumbangan untuk memperkuat
pandfangan bahwa semua orang berhak menikmati Hak Asasi Manusia, baik
dalam pada masa perang maupun damai. Dekatnya HAM dengan hukum
humaniter terbukti pula dari makna humanitarian (kemanusiaan itu sendiri),
sehingga pelanggaran hukum humaniter sama dengan melanggar berat HAM.

Dalam kepustakaan ada tiga aliran yang berkaitan dengan hubungan


hokum humaniter internasional, yaitu :
1. Aliran Integrasionis
Aliran integrasionis berpendapat bahwa system hukum yang satu berasal dari
hukum yang lain. Dalam hal ini, maka ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu :
a.

Hak asasi manusia menjadi dasar bagi hukum humaniter internasional,


dalam arti bahwa hukum humaniter merupakan cabang dari hak asasi
manusia. Pendapat ini antara lain dianut oleh Robertson, yang menyatakan
bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar bagi setiap orang, setiap
waktu dan berlaku di segala tempat. Jadi hak asasi manusia merupakan
genus dan hukum humaniter merupakan species-nya, karena hanya berlaku
untuk golongan tertentu dan dalam keadaan tertentu pula.

b.

Hukum Humaniter Internasional merupakan dasar dari Hak Asasi Manusia,


dalam arti bahwa hak asasi manusia merupakan bagian dari hukum
humaniter. Pendapat ini didasarkan pada alasan bahwa hukum humaniter
lahir lebih dahulu daripada hak-hak asasi manusia. Jadi secara kronologis,
hak asasi manusia dikembangkan setelah hukum humaniter internasional.

2. Aliran Separatis
Aliran

separatis

melihat

Hak

Asasi

Manusia

dan

Hukum

Humaniter

Internasional sebagai sistem hukum yang sama sekali tidak berkaitan, karena
keduanya berbeda. Perbedaan kedua sistem tersebut terletak pada :
a) Obyeknya, hukum humaniter internasional mengatur sengketa bersenjata
antara negara dengan kesatuan (entity) lainnya; sebaliknya hak asasi
manusia mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negaranya di
dalam negara tersebut.
b) Sifatnya hukum humaniter internasional bersifat mandatory a political serta
peremptory.

c) Saat berlakunya, hukum humaniter internasional berlaku pada saat perang


atau masa sengketa bersenjata, sedangkan hak asasi manusia berlaku pada
saat damai.
3. Aliran Komplementaris
Aliran Komplementaris yang melihat Hukum Hak Asasi Manusia dan Hukum
Humaniter Internasional melalui proses yang bertahap, berkembang sejajar dan
saling melengkapi. Salah seorang dari penganut teori ini adalah Cologeropoulus,
dimana Ia menentang pendapat aliran separatis yang dianggapnya menentang
kenyataan bahwa kedua sistem hukum tersebut memiliki tujuan yang sama,
yakni perlindungan pribadi orang. Hak asasi manusia melindungi pribadi orang
pada masa damai, sedangkan hukum humaniter memberikan perlindungan pada
masa perang atau sengketa bersenjata. Aliran ini mengakui adanya perbedaan
seperti yang dikemukakan oleh aliran separatis, dan menambahkan beberapa
perbedaan lain, yaitu :
a. Dalam pelaksanaan dan penegakan :
Hukum humaniter menggantungkan diri pada atau menerapkan sistem negara
pelindung (protecting power). Sebaliknya hukum hak asasi manusia sudah
mempunyai aparat- mekanisme yang tetap, tetapi ini hanya berlaku di negaranegara Eropa saja, yaitu diatur dalam Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia
b. Dalam hal sifat pencegahan :
Hukum humaniter internasional dalam hal kaitannya dengan pencegahan
menggunakan pendekatan preventif dan korektif, sedangkan hukum hak asasi
manusia

secara

fundamental

menggunakan

pendekatan

korektif,

yang

diharapkan akan mempunyai efek preventif.

Dikaitkan

dengan

hukum

pidana

internasional

maka

ditinjau

dari

substansinya, hukum pidana internasional merupakan adanya sekumpulan


kaidah-kaidah dan asas-asas hukum pidana yang mengatur tentang kejahatan
internasional,

sehingga

berkaitan

langsung

dengn

hukum

humaniter

internasional yang memfokuskan kepada korban akibat konflik bersenjata. Tanpa


hukum pidana internasional maka pelaku pelanggar hukum humaniter tidak
dapat ditegakkan karena hukum humaniter tidak mengatur mengenai sanksi dan
penegakannya secara khusus. Untuk mewujudkan hak asasi manusia dari korban
perang tersebut penting sekali kaitan diantara keduanya untuk terus berjalan.

Anda mungkin juga menyukai