Anda di halaman 1dari 30

TUGAS MANDIRI

ANALISIS KASUS KEPAILITAN PT CITRA TELEVISI


PENDIDIKAN INDONESIA (TPI) DI TINJAU DRI UNDANGUNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN
DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

Mata Kuliah : Hukum Perusahaan


Dosen : Melissa Anggraini, SH, MH

Disusun Oleh
Anggra Satria Sitindaon
120710047

Program Studi Ilmu Hukum


Universitas Putera Batam
2015

KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
penyusunan makalah Mata Kuliah Hukum Perbankan dengan judul Analisis
Kasus Kepailitan Pt Citra Televisi Pendidikan Indonesia (Tpi) Di Tinjau Dri
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang dapat penulis selesaikan sesuai dengan waktu
yang telah ditetapkan oleh Dosen Mata Kuliah Tersebut
Makalah ini merupakan tugas perkuliahan Hukum Acara Perdata pada
Program Studi Ilmu Hukum Universitas Putera Batam Tahun Akademik 2014 /
2015.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini,
oleh

sebab

itu

sumbangan

pemikiran

yang

bersifat

koreksi

untuk

penyempurnaannya sangat di harapkan, akhirnya penulis mengharapkan semoga


makalah ini dapat bermanfaat dalam menunjang pelaksanaan perkuliahan yang
sedang kita laksanakan bersama.

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1. Latar Belakang.............................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah........................................................................................5
1.3. Tujuan Makalah............................................................................................5
1.4. Manfaat Makalah..........................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................6
2.1. Dasar Hukum Kepailitan..............................................................................6
2.2. Pengertian dan Syarat Kepailitan.................................................................7
BAB III PEMBAHASAN.....................................................................................11
3.1. Sengketa Kepailitan Pt Citra Televisi Pendidikan Indonesia.....................11
3.2. Analisa Sengketa Kepailitan Pt Citra Televisi Pendidikan Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.........................................15
BAB IV PENUTUP...............................................................................................24
4.1. Kesimpulan................................................................................................24
4.2. Saran...........................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................26

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perkembangan

perekonomian

global

membawa

pengaruh

terhadap

perkembangan hukum terutama hukum dagang yang merupakan roda penggerak


perekonomian. Erman Radjagukguk menyebutkan bahwa globalisasi hukum akan
menyebabkan

peraturan-peraturan

Negara-negara

berkembang

mengenai

investasi,perdagangan, jasa-jasa dan bidang perekonomian lainnya mendekati


Negara-negara maju. (Convergency).Dalam rangka menyesuaikan dengan
perekonomian global, Indonesia melakukan revisi terhadap seluruh hukum
ekonominya.Namun demikian tidak dapat disangkal bahwa perubahan terhadap
hukum ekonomi Indonesia dilakukan juga karena tekanan dari badan-badan dunia
seperti WTO, IMF dan Worl Bank. Bidang hukum yang mengalami revisi antara
lain adalah hukum kepailitan. Hukum kepailitan sendiri merupakan warisan dari
pemerintahan Kolonial Belanda yang notabenenya bercorak sistem hukum Eropa
Kontinental. Di Indonesia saat ini dalam hukum ekonomi mendapat pengaruh
yang cukup kuat dari sistem hukum Anglo Saxon.
Pailit dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai keadaan yang
merugi, bangkrut.1 Sedangkan dalam kamus hukum ekonomi menyebutkan
bahwa, liquidation, likuidasi: pembubaran perusahaan diikuiti dengan proses
penjualan harta perusahaan, penagihan piutang, pelunasan utang, serta
penyelesaian sisa harta atau utang antara pemegang saham. Beberapa definisi
1 Daryanto, Kamus Bahasa Indonseia Lengkap, Apollo, Surabaya,
1997, hlm 455

tentang kepailitan telah di terangkan didalam jurnal Penerapan Ketentuan


Kepailitan Pada Bank Yang Bermasalah yang ditulis oleh Ari Purwadi antara lain:
Freed B.G Tumbunan dalam tulisannya yang berjudul Pokok-Pokok UndangUndang Tentang Kepailitan sebagaimana diubah oleh Perpu No. 1 Tahun 1998
disebutkan bahwa Kepailitan adalah sita umum yang mencakup seluruh
kekayaan debitur untuk kepentingan semua krediturnya. Tujuan kepailitan adalah
pembagian kekayaan debitur oleh kurator kepada semua kreditur dengan
memperhatikan hak-hak mereka masing-masing.2 Berdasarkan pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), Kepailitan adalah sita umum atas
semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan
oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini.
Yang dapat dinyatakan mengalami kepailitan adalah debitur yang sudah
dinyataka tidak mampu membayar utang-utangnya lagi. Pailit dapat dinyatakan
atas: a. permohonan dibitur sendiri (pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan); b.
permohonan satu atau lebih krediturnya (pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan Tahun); c.
pailit harus dengan putusan pengadilan (pasal 3 UU Kepailitan); d Pailit bisa atas
permintaan kejaksaan untuk kepentingan umum (pasal 2 ayat (2) UU Kepailitan);
e. bila dibiturnya bank, permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank
Indonesia (pasal 2 ayat (3) UU Kepailitan); f. Bila debiturnya Perusahaan Efek,
2 Ari Purwandi, Penerapan Ketentuan Kepailitan Pada Bank Yang
Bermasalah, Jurnal tidak diterbitkan, Surabaya, Fakultas Hukum
Universitas Widjaya Kusuma Surabaya, 2011, hal 129.

Bursa Efek, Lembaga Kriling dan Penjamin, Lembaga Penyimpanan dan


Penyelesaian, permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas
Pasar Modal (BAPEPAM) (Pasal 2 ayat (4) UU Kepailitan); g. dalam hal
debiturnya Perusahaan Asuransi, perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau
Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik,
permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan (Pasal
2 ayat (5) UU Kepailitan). Sedangkan tujuan pernyataan pailit adalah untuk
mendapatkan suatu penyitaan umum atas kekayaan debitur (segala harta benda
disita atau dibekukan) untuk kepentingan semua orang yang menghutangkannya
(kreditur).
Proses terjadinya kepailitan sangatlah perlu diketahui, karena hal ini dapat
menentukan keberlanjutan tindakan yang dapat dilakukan pada perseroan yang
telah dinyatakan pailit. Salah satu tahap penting dalam proses kepailitan adalah
tahap insolvensi.3 Yaitu suatu perusahaan yang sudah tidak mampu membayar
hutang-hutangnya lagi.4 Pada tahap insolvensi penting artinya karena pada tahap
inilah nasib debitur pailit ditentukan. Apakah harta debitur akan habis dibagi-bagi
sampai menutup utangnya, ataupun debitur masih dapat bernafas lega dengan
diterimanya suatu rencana perdamaian atau rekunstruksi utang. Apabila debitur
sudah dinyatakan insolvensi, maka debitur sudah benar-benar pailit, dan hartanya
3 Adi Nugroho Setiarso, Analisis Yuridis terhadap Keadaan
Insolvensi Dlam Kepailitan (Studi Normatif Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kapilitan dan
Penundaan kewajiban Pembayaran), Jurnat tidak diterbitkan,
Malang, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2013, hlm. 3.
4 Zaeni Asyhdie, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di
Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm 1.

segera akan dibagi-bagi, meskipun hal-hal ini tidak berarti bahwa bisnis dari
perusahaan pailit tersebut tidak bisa dilanjutkan.
Kasus pailitnya PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia atau yang lebih
dikenal sebagai channel TPI dengan slogan Milik Kita Bersama ini merupakan
salah satu contoh dari beribu-ribu perusahaan yang dikatakan pailit oleh
kreditornya. Berawal dari tuntutan Crown Capital Global Limited (CCGL),
perseroan yang berkedudukan di British Virgin Islands terhadap TPI dalam
dokumen resmi yang diperoleh di pengadilan, permohonan pernyataan pailit itu
diajukan Crown Capital melalui kuasa hukumnya Ibrahim Senen, dengan perkara
No.31/PAILIT/2009/PN.NIAGA.JKT.PST, tertanggal 19 Juni 2009. Pemohon,
dalam permohonan pailitnya, mengklaim termohon mempunyai kewajiban yang
telah jatuh tempo dan dapat ditagih US$53 juta di luar bunga, denda, dan biaya
lainnya. Dalam putusan No. 52/Pailit/2009/PN.NIAGA.JKT.PST, majelis hakim
menyatakan TPI pailit karena belum membayar hutang yang telah jatuh tempo.
Lantas TPI mengajukan upaya hukum kasasi dalam putusan No. 834
K/Pdt.Sus/2009, majelis kasasi menyatakan pembuktian kasus pailit TPI tidak
sederhana lantaran eksistensi adanya utang masih dalam konflik sehingga TPI
tidak jadi dipailitkan.
Penulis merasa kasus kepailitan PT Citra Televisi Pendidikan Indonesia
sangat menarik untuk dianalisa berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sehingga
judul makalah kami adalah Analisis Kasus Kepailitan PT Citra Televisi

Pendidikan Indonesia di Tinjau dari Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004


Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian pada latar belakangan diatas dapat disimpulkan yang menjadi
permasalahan adalah :
1. Bagaimana kronologi atau kasus posisi sengketa kepailitan PT Citra Televisi
Pendidikan Indonesia ?
2. Bagaimana hasil analisa sengketa kepailitan PT Citra Televisi Pendidikan

Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang


Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ?
1.3. Tujuan Makalah
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kronologi atau kasus posisi sengketa kepailitan PT Citra
Televisi Pendidikan Indonesia.
2. Untuk mengetahui analisa sengketa kepailitan PT Citra Televisi

Pendidikan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun


2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
1.4. Manfaat Makalah
1. Makalah ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Perbankan dan
Acara Perdata Khusus nya.
2. Makalah ini dapat menjadi dasar atau perbandingan bagi pihak lain yang
ingin menerapkan kembali konsep penulisan ini terhadap objek yang sama
tetapi terhadap subjek yang lain atau yang lebih luas, menuju kearah
penelitian yang lebih baik dan lebih sempurna.
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dasar Hukum Kepailitan
Semula lembaga hukum kepailitan diatur undang-undang tentang
Kepailitan dalam Faillissements-verordening Staatsblad 1905:217 juncto
Staatsblad 1906:348. Karena perkembangan perekonomian dan perdagangan serta
pengaruh globalisasi, serta modal yang dimiliki oleh para pengusaha umumnya
berupa pinjaman yang berasal dari berbagai sumber, undang-undang tersebut telah
menimbulkan banyak kesulitan dalam penyelesaian utang-piutang. Penyelesaian
utang-piutang juga bertambah rumit sejak terjadinya berbagai krisis keuangan
yang merembet secara global dan memberikan pengaruh tidak menguntungkan
terhadap perekonomian nasional. Kondisi tidak menguntungkan ini telah
menimbulkan kesulitan besar terhadap dunia usaha dalam menyelesaikan utang
piutang untuk meneruskan kegiatannya.
Undang-undang

tentang

Kepailitan

(Faillissements

verordening,

Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348), sebab itu, telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998
tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan, yang kemudian
ditetapkan menjadi Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1998. Perubahan tersebut juga ternyata belum memenuhi perkembangan
dan kebutuhan hukum di masyarakat, sehingga pada tahun 2004 pemerintah
memperbaikinya lagi dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Undang-undang
Kepailitan dan PKPU). Dan juga adapun BW secara umum khususnya pasal 1131
sampai dengan 1134.5

5 Prof.Dr.H.Man S.Sastrawidjaja,S.H,S.U.Hukum Kepailitan Dan


Penundaan kewajiban Pembayaran Cetakan pertama,P.T.
Alumni,Bandung,200g,hlm.74.

2.2. Pengertian dan Syarat Kepailitan


Dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Undang-undang
Kepailitan dan PKPU), kepailitan diartikan sebagai sita umum atas semua
kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh
Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Menurut kamus, pailit berarti
bangkrut atau jatuh miskin. Dengan demikian maka kepailitan adalah keadaan
atau kondisi dimana seseorang atau badan hukum tidak mampu lagi membayar
kewajibannya (Dalam hal ini utangnya) kepada si piutang.
Tampak bahwa inti kepailitan adalah sita umum (beslaang ) atas kekayaan
debitor. Maksud dari penyitaan agar semua kreditor mendapat pembayaran yang
seimbang dari hasil pengelolaan asset yang disita. Dimana asset yang disita
dikelola atau yang disebut pengurusan dan pemberesan dilakukan oleh curator.
Dalam hal terjadi kepailitan, yaitu Debitur tidak dapat membayar
utangnya, maka jika Debitur tersebut hanya memiliki satu orang Kreditur dan
Debitur tidak mau membayar utangnya secara sukarela, maka Kreditur dapat
menggugat Debitur ke Pengadilan Negeri dan seluruh harta Debitur menjadi
sumber pelunasan utangnya kepada Kreditur. Namun, dalam hal Debitur memiliki
lebih dari satu Kreditur dan harta kekayaan Debitur tidak cukup untuk melunasi
semua utang kepada para Kreditur, maka akan timbul persoalan dimana para
Kreditur akan berlomba-lomba dengan segala macam cara untuk mendapatkan
pelunasan piutangnya terlebih dahulu. Kreditur yang belakangan datang
kemungkinan sudah tidak mendapatkan lagi pembayaran karena harta Debitur
sudah habis. Kondisi ini tentu sangat tidak adil dan merugikan Kreditur yang tidak
menerima pelunasan. Karena alasan itulah, muncul lembaga kepailitan dalam
hukum. Lembaga hukum kepailitan muncul untuk mengatur tata cara yang adil
mengenai pembayaran tagihan-tagihan para Kreditur dengan berpedoman pada
KUHPer, terutama pasal 1131 dan 1132, maupun Undang-undang Kepailitan dan
PKPU.
Pasal 1131 KUHPer:

Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah
ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan perorangan
debitur itu.
Pasal 1132 KUHPer:
Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya;
hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masingmasing kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk
didahulukan.
Dari dua pasal tersebut, dapat kita simpulkan bahwa pada prinsipnya pada
setiap individu memiliki harta kekayaan yang pada sisi positif di sebut kebendaan
dan pada sisi negatif disebut perikatan. Kebendaan yang dimiliki individu tersebut
akan digunakan untuk memenuhi setiap perikatannya yang merupakan kewajiban
dalam lapangan hukum harta kekayaan.
Syarat Kepailitan
Hal ini dijelaskan dalam Pasal 2 ayat ( 1 ) UUK :
Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak mambayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit
dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih kreditornya.
Menurut pasal 2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU di atas, supaya
pasal 1131 dan 1132 KUHP berlaku sebagai jaminan pelunasan utang Kreditur,
maka pernyataan pailit tersebut harus dilakukan dengan putusan Pengadilan yang
terlebih dahulu dimohonkan kepada Pengadilan Niaga. Menurut Gunawan
Widjaja, maksud dari permohonan dan putusan pailit tersebut kepada Pengadilan
adalah untuk memenuhi asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar
Debitur. Asas tersebut dimaksudkan untuk memberitahukan kepada khalayak
umum bahwa Debitur dalam keadaan tidak mampu membayar, dan hal tersebut
memberi kesempatan kepada Kreditur lain yang berkepentingan untuk melakukan
tindakan. Dengan demikian, dari pasal tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa
dikabulkannya suatu pernyataan pailit jika dapat terpenuhinya persyaratan
kepailitan sebagai berikut:

A. Debitur tersebut mempunyai dua atau lebih Kreditur


Untuk melaksanakan Pasal 1132 KUHPer yang merupakan jaminan
pemenuhan pelunasan utang kepada para Kreditur, maka pasal 1 ayat (1) Undangundang Kepailitan dan PKPU mensyaratkan adanya dua atau lebih Kreditur.
Syarat ini ditujukan agar harta kekayaan Debitur Pailit dapat diajukan sebagai
jaminan pelunasan piutang semua Kreditur, sehingga semua Kreditur memperoleh
pelunasannya secara adil. Adil berarti harta kekayaan tersebut harus dibagi secara
Pari passu dan Prorata. Pari Passu berarti harta kekayaan Debitur dibagikan
secara bersama-sama diantara para Kreditur, sedangkan Prorata berarti
pembagian tersebut besarnya sesuai dengan imbangan piutang masing-masing
Kreditur terhadap utang Debitur secara keseluruhan.
Dengan dinyatakannya pailit seorang Debitur, sesuai pasal 22 jo. Pasal 19
Undang-undang Kepailitan dan PKPU, Debitur pailit demi hukum kehilangan hak
untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan ke dalam
kepailitan. Terhitung sejak tanggal putusan Pengadilan, Pengadilan melakukan
penyitaan umum atas seluruh harta kekayaan Debitur Pailit, yang selanjutnya akan
dilakukan pengurusan oleh Kurator yang diawasi Hakim Pengawas. Dan bila
dikaitkan dengan pasal 1381 KUHPer tentang hapusnya perikatan, maka
hubungan hukum utang-piutang antara Debitur dan Kreditur itu hapus dengan
dilakukannya pembayaran utang melalui lembaga kepailitan.
B. Debitur tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih.
Gugatan pailit dapat diajukan apabila Debitur tidak melunasi utangnya
kepada minimal satu orang Kreditur yang telah jatuh tempo, yaitu pada waktu
yang telah ditentukan sesuai dalam perikatannya. Dalam perjanjian, umumnya
disebutkan perihal kapan suatu kewajiban itu harus dilaksanakan. Namun dalam
hal tidak disebutkannya suatu waktu pelaksanaan kewajiban, maka hal tersebut
bukan berarti tidak dapat ditentukannya suatu waktu tertentu. Pasal 1238 KUHPer
mengatur sebagai berikut:
Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu,
atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini

10

mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang


ditentukan.
Adapun criteria yang harus dipenuhi, yakni debitur mempunyai atau lebih
kteditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan
dapat ditagih. Rumusan utang dijelaskan dalam Pasal 1 butir 6 UUK menyebutkan
utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah
uang baik dalam mata uang Indonesia atau mata uang asing, baik secara langsung
maupun yang akan timbul di kemudian hari, yang timbul karena perjanjian atau
UU dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak
kepada Kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitur.
Adapun syarat yang lain dalam kepailitan yaitu :

Pailit berarti pemogokan pembayar atau kemacetan pembayaran.

Debitur dalam keadaan berhenti membayar, dengan putusan hakim dia


dinyatakan pailit.

Putusan pailit akan diucapkan hakim, bila secara sumir terbukti adanya
peristiwa atau keadaan yang menunjukan adanya keadaan berhenti
membayar dari debitur.

Sumir terbukti berarti untuk pembuktian tidak berlaku peraturan


pembuktian yang biasa

( buku IV KUHPerdata ).

Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah
uang baik dalam mata uang Indonesia atau mata uang asing, baik secara langsung
maupun yang akan timbul dikemudian hari yang timbul karena perjanjian atau
undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi
memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhan dari harta kekayaan
debitur.

11

BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Sengketa Kepailitan Pt Citra Televisi Pendidikan Indonesia
TPI pertama kali mengudara pada 1 Januari 1991 selama 2 jam dari pukul
19.00-21.00 WIB. TPI diresmikan Presiden Soeharto pada 23 Januari 1991 di
Studio 12 TVRI Senayan, Jakarta. Secara bertahap, TPI mulai memanjangkan
durasi tayangnya. Pada akhir 1991, TPI sudah mengudara selama 8 jam sehari.
TPI didirikan oleh putri sulung Presiden Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana alias
Mbak Tutut dan sebagian besar sahamnya dimiliki oleh PT Cipta Lamtoro Gung
Persada. Stasiun televisi yang akrab dengan masyarakat segmen menengah bawah
ini harus diakui tidak memiliki kinerja keuangan yang baik, terutama ketika TPI
kemudian memutuskan keluar dari naungan TVRI dan beralih menjadi stasiun
musik dangdut pada pertengahan 1990-an. Secara berangsur-angsur kinerja
keuangan memburuk, utang-utang pun kian menumpuk. Pada tahun 2002, posisi
utang TPI sudah mencapai Rp 1,634 triliun, jumlah yang sangat besar untuk
periode tahun itu.
Tahun 1996 TPI yang masih dipegang oleh pemilik lama mengeluarkan
Subordinated Bonds (Sub Bonds) sebesar USD53 juta. Sub Bonds tersebut
pertama kali dibeli oleh Peregrine Fixed Income Ltd dengan cara membayar
USD53 juta pada 26 Desember 1996. Namun esoknya pada 27 Desember 1996,
dengan jumlah yang sama ditransfer kembali ke rekening Peregrine Fixed Income
Ltd. Setelah dilunasi oleh TPI, dokumen dokumen asli Sub Bond tersebut
disimpan oleh pemilik lama yang diduga diambil secara tidak sah oleh Shadik

12

Wahono (yang saat ini menjabat sebagai Direktur Utama PT Citra Marga
Nusaphala Persada).
Tahun 2004 Diketahui bahwa dokumen-dokumen Sub Bond yang sudah
dilunasi oleh TPI diperjualbelikan dari Filago Ltd kepada CCGL pada 27
Desember 2004. Ini menandakan bahwa dokumen asli Sub Bonds yang diambil
oleh pemilik lama diperjualbelikan. Transaksi jual beli Sub Bonds antara Filago
Ltd dengan CCGL hanya menggunakan promissory note sehingga tidak ada
proses pembayaran.
Pertengahan 2009 PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) dimohonkan
pailit di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus)
karena dinilai belum membayar surat utang (obligasi) senilai 53 juta USD kepada
PT Crown Capital Global Limited selaku pemegang hak tagih piutang tersebut
dengan perkara No.31/PAILIT/2009/PN.NIAGA.JKT.PST, tertanggal 19 Juni
2009. Pemohon, dalam permohonan pailitnya, mengklaim termohon mempunyai
kewajiban yang telah jatuh tempo. Untuk terpenuhinya unsur-unsur pasal 2 (1)
UU No.37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU), pemohon juga menyertakan kreditur lainnya yakni Asian Venture
Finance Limited dengan tagihan US$10,325 juta, di luar bunga, denda, dan biaya
lainnya.
Menurut PT Crown, TPI memiliki surat utang yang diterbitkan pada tahun
1996 dengan masa berlaku 10 tahun sehingga sudah jatuh tempo pada 24
Desember 2006, namun tidak kunjung dibayarkan. PT Crown menjadi kreditur
TPI karena telah membeli surat utang tersebut dari pemegang sebelumnya, yakni

13

PT Fillago Limited pada tahun 2004. Karena sudah mengantongi hak tagih itu,
seharusnya TPI membayar utangnya, sejak jatuh tempo berakhir.
Dalam penerbitan obligasi tersebut, PT Bhakti Investama menjadi placement
agent atau agen penempatan dan arranger. Crown mengajukan permohonan pailit
dengan membawa bukti bahwa TPI memiliki kreditur lain, sehingga memenuhi
persyaratan mengajukan pailit kepada Pengadilan Niaga. Utang yang lain, dimiliki
oleh Asian Venture Finance Limited sejak November 1998 sebesar 10,325 juta
dollar AS, yang telah jatuh tempo pada 1999. Karena itu, pihak PT Crown
mengajukan pailit kepada TPI.
14 Oktober 2009 Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
memutuskan PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) dalam keadaan pailit
dengan segala akibat hukumnya. 21 Oktober 2009 Perusahaan milik Hary
Tanoesoedibjo PT Media Nusantara Citra (MNC) ikut masuk dalam proses kasasi
atas putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang telah
mempailitkan PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) karena takut rugi
dalam pembagian harta pailit.
16 November 2009 PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) melaporkan
dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang telah memutuskan TPI sebagai perusahaan
yang pailit kepada Komisi Yudisial.
12 Desember 2009 Mahkamah Agung (MA) memutuskan untuk mengabulkan
permohonan kasasi atas putusan pailit PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (PT
CTPI). dalam putusan No. 834 K/Pdt.Sus/2009, majelis kasasi menyatakan

14

pembuktian kasus pailit TPI tidak sederhana lantaran eksistensi adanya utang
masih dalam konflik. 23 Desember 2009 Advokat Marthen Pongrekun dan Andi F
Simangunsong yang telah memberikan pengumuman di salah satu media massa,
mengenai status PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (CTPI) yang sudah tidak
di bawah kurator, dilaporkan ke Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).
Kuasa hukum PT Crown Capital Global Limited Ibrahim Senen menyatakan
seluruh pihak hingga saat ini, termasuk hakim pengawas dan kurator belum
mendapatkan salinan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan
pailit TPI. Selain itu, PT Crown Capital Global Limited juga melaporkan PT
Media Nusantara Citra (MNC) Tbk kepada Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan (Bapepam dan LK) atas dugaan rekayasa laporan keuangan
anak perusahaannya PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia. Pasalnya, surat
utang dengan hak tagih yang dikeluarkan PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia
(CTPI) senilai 53 juta USD, milik kliennya itu, telah terungkap dalam rapat
verifikasi tertanggal 15 Desember 2009 sebagai milik Santoro Corporation.
25 Maret 2010 Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan peninjauan
kembali Crown Capital Global Limited untuk kembali memailitkan PT Cipta
Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).

3.2. Analisa Sengketa Kepailitan Pt Citra Televisi Pendidikan Indonesia


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Berdasarkan bunyi Pasal 2 ayat 1, yang menyatakan bahwa debitor yang
mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu
15

utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau
lebih kreditornya. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, maka syaratsyarat yuridis agar suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit adalah sebagai berikut
:
1. Adanya utang;
2. Minimal satu utang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih;
3. Adanya Kreditur lebih dari satu;
4. Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut dengan
Pengadilan Niaga
5. Syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam Undang Undang
Kepailitan.
Bunyi Pasal 2 ayat (1) tersebut bersifat kumulatif, yang artinya syarat-syarat
debitor untuk dapat dinyatakan pailit harus memenuhi semua unsur di atas.
Apabila syarat-syarat terpenuhi, hakim harus menyatakan pailit, bukan dapat
menyatakan pailit, sehingga dalam hal ini kepada hakim tidak diberikan ruang
untuk memberikan judgement yang luas seperti pada perkara lainnya.
Penulis akan menganalisa kepailitan TPI terutama mengenai terpenuhi atau
tidaknya persyaratan yang tercantum dalam pasal 2 ayat (1) UUK 2004 sekaligus

16

pasal 8 ayat (4) mengenai asas pembuktian sederhana. Adapun uraian dari unsurunsur pasal 2 ayat (1) adalah sebagai berikut:
a) Minimal ada 2 kreditur atau lebih.
Dalam pasal 1 butir 2 UUK 2004, kreditur adalah orang yang mempunyai
piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih dimuka
pengadilan. Dalam kasus kepailitan TPI, permohonan pailit diajukan oleh Crown
Capital Global Limited yang diwakili oleh kuasa hukumnya Ibrahim Senen.
Untuk terpenuhinya unsur-unsur pasal 2 (1) UU No.37/2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), pemohon juga
menyertakan kreditur lainnya yakni Asian Venture Finance Limited.
Dengan demikian uraian tersebut diatas jelas terlihat bahwa syarat adanya
minimal dua kreditur atau lebih telah terpenuhi. Namun setelah proses perkara
berjalan penulis menemukan data mengenai adanya kekeliruan yang dilakukan
oleh majelis hakim Pengadilan Niaga yaitu ketentuan yang mengharuskan jumlah
kreditur yang mengajukan pailit haruslah lebih dari dua. Tapi, ada kejanggalan,
hanya ada satu kreditur, PT Crown Capital Global Limited (CCGL). Sementara,
kreditur lain yang disebutkan yakni Asian Venture Finance Limited, dinilai
perusahaan buatan atau fiktif, yang tidak bisa dimasukan dalam kategori
kreditur. Asian Venture Limited (AVL) yang jelas-jelas tidak lagi memiliki tagihan
kepada TPI, tetapi tetap saja diterima oleh majelis hakim di Pengadilan Niaga
yang dipimpin oleh Maryana sebagai salah satu kreditor. Intinya, perusahaan yang
mengajukan pailit itu cuma ada satu.

17

b) Adanya utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih.


Berdasarkan UUK 2004 Pasal 1 angka 6, Utang adalah kewajiban yang
dinyatakan) atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang
Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan
timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau
undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi
memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan
Debitor. Utang merupakan kewajiban yang harus dilakukan atau dibayarkan oleh
pihak lain, dimana kewajiban dapat lahir dari Undang-undang dan perjanjian
(pasal 1233 KUHPerdata). Jadi pada dasarnya utang berarti dapat timbul dari
undang-undnag maupun perjanjian.
Kemudian jika dikaitkan dengan kasus kepailitan TPI, Crown Capital
Global Limited (CCGL) yang berdiri di British Virgin Island yang mengaku
memiliki subordinated bond (surat utang) senilai 53 juta dollar AS dan Asian
Venture Finance Limited (AVFL) yang berdiri di British Virgin Island yang
mengaku memiliki piutang ke TPI sebesar 10.350.000 dollar AS. Kewajiban
Subordinated Bonds sebesar USD 53 juta tersebut telah jatuh tempo dan dapat
ditagih di luar bunga, denda, dan biaya lainnya. PT Crown menjadi kreditur TPI
karena telah membeli surat utang tersebut dari pemegang sebelumnya, yakni PT
Fillago Limited pada tahun 2004. Karena sudah mengantongi hak tagih itu,
seharusnya TPI membayar utangnya, sejak jatuh tempo berakhir. Surat utang yang
diterbitkan pada tahun 1996 dengan masa berlaku 10 tahun sehingga sudah jatuh

18

tempo pada 24 Desember 2006, namun tidak kunjung dibayarkan. Dan juga utang
kepada kreditur lain yaitu Asian Venture Finance Limited dengan tagihan
US$10,325 juta, di luar bunga, denda, dan biaya lainnya.
Setelah hasil penyelidikan TPI menemukan bahwa CCGL memperoleh
sub bond tersebut dari Filago pada Tahun 2004, yang berdiri di British Virgin
Island namun menggunakan alamat di Wijaya Graha Puri Blok A No. 3-4 Jalan
Wijaya 2 Jakarta Selatan. Filago Ltd. Memperoleh sub bond tersebut dari Benmall
Ltd. yang didirikan di British Virgin Island yang ternyata sudah dilikuidasi tahun
1998. TPI menemukan bahwa AVFL telah menjual tagihannya ke PT. Khatulistiwa
Prima Citra dengan harga 1 dollar AS pada tahun 2003. Dengan demikian, seluruh
klaim tagihan CCCGL dan AVFL kepada TPI adalah tidak sah.
Utang terhadap PT Crown Diketahui bahwa dokumen-dokumen Sub
Bond yang sudah dilunasi oleh TPI diperjualbelikan dari Filago Ltd kepada CCGL
pada 27 Desember 2004. Ini menandakan bahwa dokumen asli Sub Bonds yang
diambil oleh pemilik lama diperjualbelikan. Transaksi jual beli Sub Bonds antara
Filago Ltd dengan CCGL hanya menggunakan promissory note sehingga tidak
ada proses pembayaran. Belakangan diketahui bahwa Filago adalah perusahaan
yang beralamat di Wijaya Graha Puri Blok A No 3-4, Jalan Wijaya 2 Jakarta
Selatan, yang juga merupakan kantor dari salah satu pemilik lama. Semua
transaksi pengalihan Sub Bond tidak pernah diketahui dan dilaporkan ke TPI.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa transaksi tersebut adalah ilegal.
Berdasarkan RUPS TPI tanggal 21 Juli 2006, PT Media Nusantara Citra (MNC)

19

menjadi pemegang saham TPI sebesar 75 persen. Dalam laporan keuangan TPI
tidak pernah tercatat utang dalam bentuk Sub Bonds senilai USD53 juta.
Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh, CCGL tidak mempunyai
legal standing yang jelas karena CCGL sebagai penggugat pailit tidak jelas
pemiliknya dan hanya memiliki modal sebesar USD. 50.000 sehingga sangat tidak
mungkin perusahaan yang tidak jelas bidang usahanya mampu mempunyai
piutang sebesar USD. 53.000.000. Domisili perusahaan tersebut adalah di British
Virgin Island, tapi menumpang alamat di Camelot Trust Pte. Ltd., di 14 Ann Siang
Rd Unit 02-01 Singapore dan semua pengurus perusahaan tersebut adalah
nominee.
Selanjutnya dasar penerimaan kasus ini oleh Pengadilan Negeri terletak
pada didasarkan pada asumsi majelis hakim bahwa TPI tidak bisa memenuhi
kewajiban membayar utang obligasi jangka panjang (sub ordinated bond) senilai
USD53 juta kepada Crown Capital Global Limited (CCGL). Padahal, kata Marx,
pengacara PT TPI, bukti-bukti yang diajukan penggugat untuk mempailitkan TPI
tidak berdasar dan penuh rekayasa. Sementara di lain pihak, CCGL menduga ada
rekayasa laporan keuangan PT TPI mengenai hak tagih USD 53 juta, di mana
uang sebesar itu adalah milik Santoro Corporation yang terafiliasi dengan PT
Media Nusantara Citra (MNC).
1. Pembuktian Sederhana

20

Dalam penyelesaian suatu kasus kepailitan, dianut suatu asas pembuktian


sederhana. Menurut penulis, hal tersebut sejalan dengan tujuan dari hukum
kepailitan yaitu untuk kepentinagn dunia usaha dalam menyelesaikan masalah
utang-piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Dengan dianutnya asas
pembuktian sederhana seyogyanya salah satu tujuan dari hukum kepailitan yaitu
cepat dapat tercapai. Kecepatan dalam menyelesaikan suatu kasus kepailitan
sangat penting, mengingat adanya pembatasan waktu pengucapan putusan
Pengadilan maksimal 60 hari sejak tanggal permohonan pernyataan pailit
didaftarkan.
Asas pembuktian sederhana terpenuhi apabila dalam suatu permohonan
pernyataan pailit terdapat fakta atau keadaan yang secara terbkti secara sederhana
bahwa prasyarat pernyataan pailit dalam pasal 2 ayat (1) UUK 2004 dapat
terpenuhi. Jadi dapat disimpulkan, untuk memutus suatu permohonan pernyataan
pailit tidak hanya harus memenuhi prasyarat pernyataan pailit dalam pasal 2 ayat
(1) UUK 2004, akan tetapi harus pula terpenuhi asas pembuktian sederhana dalam
pasal 8 ayat (4) UUK 2004.
Sebagaimana telah diuraikan pada penjelasan sebelumnya, permohonan
pailit TPI berdasarkan keputusan pengadilan Negeri yang diajukan oleh Pemohon
secara sederhana teleh terpenuhi dalam pasal 2 ayat (1). Termohon mempunyai
kreditur lebih dari satu yaitu Crown Capital Global Limited dan Asian Venture
Finance Limited.

21

Termohon tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh
tempo dan dapat ditagih kepada Crown Capital Global Limited (CCGL) yang
berdiri di British Virgin Island yang mengaku memiliki subordinated bond (surat
utang) senilai 53 juta dollar AS dan Asian Venture Finance Limited (AVFL) yang
berdiri di British Virgin Island yang mengaku memiliki piutang ke TPI sebesar
10.350.000 dollar AS.
Menurut Pengadilan Niaga, tuduhan kepailitan dikabulkan dengan alasan
didasarkan pada asumsi majelis hakim bahwa TPI tidak bisa memenuhi kewajiban
membayar utang obligasi jangka panjang (sub ordinated bond) senilai USD53 juta
kepada Crown Capital Global Limited (CCGL). Sementara dalam kenyataannya
yang terjadi adalah :
1. Pada 1996, TPI yang masih dipegang Presiden Direktur Siti Hardiyanti
Rukmana alias Mbak Tutut mengeluarkan sub ordinated bond (Sub Bond)
sebesar USD53 juta. Utang dalam bentuk sub ordinated bond tersebut.
2. Di buat sebagai rekayasa untuk mengelabuhi publik atas pinjaman dari BIA.
Marx menjelaskan, rekayasa terjadi karena ditemukan fakta bahwa uang dari
Peregrine Fixed Income Ltd masuk ke rekening TPI pada 26 Desember 1996.
Namun, selang sehari tepatnya 27 Desember 1996, uang tersebut langsung
ditransfer kembali ke rekening Peregrine Fixed Income Ltd. Setelah utangutang itu dilunasi oleh manajemen baru TPI, dokumen- dokumen asli Sub
Bond masih disimpan pemilik lama yang kemudian diduga diambil secara

22

tidak sah oleh Shadik Wahono (yang saat ini menjabat sebagai Direktur Utama
PT Cipta Marga Nusaphala Persada)
3. Terjadi transaksi Sub Bond antara Filago Ltd dengan CCGL dengan
menggunakan promissory note (surat perjanjian utang) sehingga tidak ada
proses pembayaran. Semua transaksi pengalihan Sub Bond berada di luar
kendali TPI setelah Sub Bond berpindah tangan, sehingga apabila CCGL
menagih hutang dari Sub Bond, jelas-jelas illegal.
Melihat laporan CCGL, pihak Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat mengabulkan permohonan tuntutan dari CCGL untuk memailitkan
TPI pada 14 Oktober 2009. Pihak kuasa hukum PT TPI mencoba memberi
klarifikasi yang sejujurnya disertai dengan bukt-bukti otentik melalui segala
macam transaksi yangtercatat di buku ATM Bank BNI 46 yang menjadi ATM
basis bagi perusahaan TPI. Dikatakan Marx Andriyan, bahwa pada tahun 1993
telah ditandatangani Perjanjian yang piutang antara TPI dengan Brunei Investment
Agency (BIA) sebesar USD50 juta. Atas instruki pemilik lama, dana dari BIA
tidak ditransfer ke rekening TPI tapi ke rekening pribadi pemilik lama, utaang
piutang antara TPI dengan Brunei Investment Agency (BIA) sebesar USD50
juta.Atas instruki pemilik lama, dana dari BIA tidak ditransfer ke rekening TPI
tapi ke rekening pribadi pemilik lama.
Dalam laporan keuangan TPI juga tidak pernah tercatat utang TPI dalam
bentuk Sub Bond senilai USD53 juta. Berdasarkan hasil audit laporan keuangan
TPI yang dilakukan kantor akuntan publik dipastikan bahwa di dalam neraca TPI

23

2007 dan 2008 juga tidak tercatat adanya kreditur maupun tagihan dari CCGL.
Seharusnya utang-hutang obligasi jangka panjang tercatat di dalam pembukuan.
Bahkan,kata Marx, pada 2007, MNC sebagai pemilik saham 75 persen di TPI
mencatatkan diri sebagai perusahaan terbuka (PT MNC Tbk).
Dapat disimpulkan terdapat kekeliruan hakim pengadilan Niaga dalam
memutus kasus pailit TPI adalah menjelaskan jika transaksi yang dilakukan atas
obligasi jangka panjang (sub ordinated bond) senilai USD53 juta tersebut
bukanlah transaksi yang sederhana. Sedangkan dalam peraturan tentang kepailitan
jelas diungkapkan bahwa transaksi yang dapat diajukan pailit adalah transaksi
yang sederhana. Namun dapat di anulir oleh Mahkamah Agung dalam upaya
Hukum kasasi, dimana Majelis hakim Memutus TPI tidak jadi dipailitkan karena
pembuktiannya tidak sedehana terapi sangat rumit dan kompleks.

24

BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) dimohonkan pailit di
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) karena
dinilai belum membayar surat utang (obligasi) senilai 53 juta USD kepada PT
Crown Capital Global Limited selaku pemegang hak tagih piutang tersebut
dengan perkara No.31/PAILIT/2009/PN.NIAGA.JKT.PST, tertanggal 19 Juni
2009. Pemohon, dalam permohonan pailitnya, mengklaim termohon mempunyai
kewajiban yang telah jatuh tempo. Untuk terpenuhinya unsur-unsur pasal 2 (1)
UU No.37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU), pemohon juga menyertakan kreditur lainnya yakni Asian Venture
Finance Limited dengan tagihan US$10,325 juta, di luar bunga, denda, dan biaya
lainnya.
Dapat disimpulkan terdapat kekeliruan hakim pengadilan Niaga dalam
memutus kasus pailit TPI adalah menjelaskan jika transaksi yang dilakukan atas
obligasi jangka panjang (sub ordinated bond) senilai USD53 juta tersebut
bukanlah transaksi yang sederhana. Sedangkan dalam peraturan tentang kepailitan
jelas diungkapkan bahwa transaksi yang dapat diajukan pailit adalah transaksi
yang sederhana

4.2. Saran
Diharapkan bagi para pihak untuk yang terlibat memperhatikan prosedur
hukum yang berlaku, sehingga tidak terjadi kendala maupun hambatan dalam
penyelesaian masalah tersebut tersebut.

25

Diharapkan bagi para hakim untuk lebih menggali kebenaran materil dan
mempertimbangkan secara arif, adil dan bijaksana dan bersikap bebas dalam
menyikapi, dan mengadili permasalahan tersebut.

26

DAFTAR PUSTAKA

Ari Purwandi, Penerapan Ketentuan Kepailitan Pada Bank Yang Bermasalah,


Jurnal tidak diterbitkan, Surabaya, Fakultas Hukum Universitas Widjaya
Kusuma Surabaya, 2011
Adi Nugroho Setiarso, Analisis Yuridis terhadap Keadaan Insolvensi Dlam
Kepailitan (Studi Normatif Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun
2004 tentang Kapilitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran), Jurnat tidak
diterbitkan, Malang, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2013
Daryanto, Kamus Bahasa Indonseia Lengkap, Apollo, Surabaya, 1997
Zaeni Asyhdie, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2005

27

Anda mungkin juga menyukai