Anda di halaman 1dari 16

TUGAS MANDIRI

KEABSAHAN SURAT WASIAT DALAM PERADILAN AGAMA



Mata Kuliah : Hukum Acara Peradilan Agama
Dosen : Irene Svinarky, SH, M.Kn












Disusun Oleh
Anggra Satria Sitindaon
120710047


Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Putera Batam
2014

1

ABSTRAK
Kemauan terakhir dari orang yang telah wafat inilah yang dapat dikatakan
sebagai wasiat. Dalam terminologi bahasa kata wasiat berarti berpesan.
Sedangkan menurut istilah wasiat adalah sesuatu tasharruf terhadap harta
peninggalan yang akan dilaksanakan sesudah meninggal yang berwasiat.
Peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris terjadi dengan sendirinya menurut
ketetapan yang dibuat Allah tanpa digantungkan pada kehendak pewaris atau ahli
waris. Oleh karena itu maka secara langsung tiap ahli waris diwajibkan menerima
peralihan harta peninggalan pewaris sesuai dengan bagiannya masing-masing
yang telah ditetapkan. Sepanjang pengertian penulis dan berdasarkan literatur
yang ada akta wasiat terhadap ahli waris yang mana didalamnya disebutkan atau
tidak disebutkan mengenai bagian masing masing tidak dapat dianggap sebagai
alat bukti yang mengikat hakim..
ABSTRACT
Last willingness of those who have died is what can be said as a testament.
In the terminology of the language word will mean "advised". Meanwhile,
according to the terms of the will is something tasharruf legacy that will be carried
out after the death intestate. The transition property of the heir to heir happen by
itself according to the provisions made in the will of God without suspended heir
or heirs. Therefore, the direct heirs are required to accept every transition legacy
testator in accordance with their share has been determined. Throughout the sense
of the author and is based on existing literature will deed to which the heirs
therein mentioned or not mentioned on each part can not be regarded as evidence
that bind the judge.
Keyword : waris, wasiat, akta otentik, legacy of, wills, deeds authentic.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kematian merupakan hal yang pasti akan dialami oleh setiap manusia. Dalam
semua ajaran agama disebutkan bahwa pada dasarnya manusia akan melalui
2

tahapan dalam kehidupan yang dinamakan dengan kematian. Bila dilihat dari sisi
hukum, kematian berarti suatu peristiwa yang dapat menimbulkan hak dan
kewajiban antara pewaris dan ahli waris. Meninggalnya seseorang tidak serta
merta memutuskan hubungan hubungan hukum yang ada. Karena akan timbul
pertanyaan pertanyaan mengenai siapa yang berhak atas hutang maupun piutang
serta harta benda yang meninggal tersebut. Seorang pemilik kekayaan sering
mempunyai keinginan, supaya harta kekayaan dikemudian hari, setelah wafat,
akan diperlakukan menurut ketentuan yang telah ditentukan sebelumnya.
Lebih-lebih keinginan ini akan terasa, apabila ketentuan tersebut
dilaksanakan, sama sekali cocok dengan keinginannya. Dan lagi kemauan terakhir
dari yang wafat ini adalah pantas dihormati. Juga dengan adanya kemauan
terakhir ini, menghindarkan percekcokan antara para ahli waris dalam hal
membagi harta warisan, terutama apabila pembagian harta warisan ini dibagi
secara praktis dan tidak sesuai dengan rasa keadilan.
Kemauan terakhir dari orang yang telah wafat inilah yang dapat dikatakan
sebagai wasiat. Dalam terminologi bahasa kata wasiat berarti berpesan.
Sedangkan menurut istilah wasiat adalah sesuatu tasharruf terhadap harta
peninggalan yang akan dilaksanakan sesudah meninggal yang berwasiat
1
.
Banyak sekali terjadi kasus mengenai persengkataan mengenai warisan
sekalipun warisan tersebut sudah diwasiatkan. Dalam agama islam terutama
dalam alquran, wasiat ini ditemukan dalam surat al baqarah ayat 180 dan 181
serta surat An-Nisaa ayat 11 dan ayat 12. Dalam ayat-ayat ini dinyatakan
kedudukan wasiat yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum dilakukan
pembagian harta peninggalan perwaris kepada anak/anak-anak, duda, janda/janda-
janda dan saudara/saudara-saudara pewaris. Wasiat diartikan sebagai pernyataan
keinginan pewaris sebelum kematian atas harta kekayaannya sesudah
meninggalnya.

1
Fatma Zahara, Wasiat, diakses dari http://fatimaajja.blogspot.com/2012/06/wasiat.html
pada tanggal 22 Juni 2014 Jam 16.51 WIB
3

Dalam kompilasi hukum islam dikatakan bahwa Wasiat adalah pemberian
suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku
setelah pewaris meninggal dunia sesuai dengan pasal 171 butir f.
Dasar hukum dari waris Testament adalah Pasal 874 BW yang menyatakan
bahwa, "Segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia adalah
kepunyaan sekalian ahli waris menurut ketentuan undang-undang, sekedar
terhadap itu dengan surat wasiat tidak telah diambil suatu ketetapan yang sah".
Surat wasiat atau dikenal Testament pada KUHPerdata tidak mempunyai kekuatan
hukum tetapi bisa mendapatkan hukum yang sah apabila memenuhi unsur yaitu :
satu notasris dan dua saksi sebagai mana telah dijelaskan pada KUHPerdata.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka penulis perlu mengangkat bagaimana
kedudukan surat wasiat dalam pembuktian dalam peradilan agama.

1.2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana Keabsahan surat wasiat dalam peradilan agama ?

4

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1. Waris
Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata
waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya
sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum
lain.Pengertian waris menurut bahasa ini tidak terbatas hanya pada hal hal yang
berkaitan dengan harta, akan tetapi mencakup harta benda dan non harta benda.
Secara terminologi hukum, kewarisan dapat diartikan sebagai hukum yang
mengatur tentang pembagian harta warisan yang ditinggalkan ahli waris,
mengetahui bagian-bagian yang diterima dari peninggalan untuk setiap ahli waris
yang berhak menerimanya. Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang
dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang
meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu
berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.
2.2. Harta Waris
Harta waris adalah semua harta benda yang ditinggalkan oleh seseorang yang
meninggal dunia (pewaris) naik harta benda itu sudah dibagikan atau belum.
Sedangkan Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH yang memberikan batas-batas
mengenai warisan menyebutkan bahwa harta warisan (nalaten schap) yaitu ujub
kekayaan yang ditinggalkan dan selalu beralih kepada para ahli waris.
Dalam islam harta waris sering disebut dengan tirkah (harta pusaka). Tirkah
yaitu apa saja yang ditinggalkan seseorang sesudah matinya, baik berupa harta,
hak-hak maliyah atau ghairu maliyah. Maka apa saja yag ditinggalkan seseorang
sesudah mati diistilahkan dengan TIRKAH, baik mayat punya hutang atau tidak.
Ada beberapa hak yang berkaitan dengan tirkah yang urutannya adalah sebagai
berikut :
a. Mempersiapkan segala keperluan mayit dan mengkafaninya dengan
ukuran ongkos pada umumnya, tidak berlebih dan tidak kurang.
5

b. Dibayarkan hutang-hutangnya, yaitu hutang-hutang yang dituntut oleh
seseorang dan hutag-hutang yang menjadi tanggungjawab si mayat yang
meninggalkan warisan. Maka tirkah tidak boleh dibagi ahli warisnya,
sebelum hutang-hutang mayat dibayar. Tentang hutang-hutangny kepada
Allah yang tidak mungkin di tuntut manusia , seperti hutang zakat,
kafarat, nadsar dan sebagainya, maka menurut Imam Abu Hanifah tidak
dibayarkan dari tirkah. Menurut Jumhur Ulama diambilkan dari tirkah,
maksudnya ia wajib dikeluarkan dan diserahkan sebelum pembagian
tirkah dilaksanakan.
c. Memenuhi wasiat yang jumlahnya sepertiga, yang diberikan kepada
selain ahli waris, tanpa menunggu izin seseorang. Hal ini dilakukan
sesudah membayar apa yang diperlukn mayat dan sesudah dibayar
hutang-hutangnya. Jika wasiat lebih dari sepertiga harta, maka tidak dapat
dilaksanakan kecuali ada kerelaan dari ahli waris.
d. Sisa dari tirkah dibagi diantara ahli waris menurut ketentuan al-quran,
sunnah dan ijma ulama, yang dimulai pmeberiannya kepada ashabul
furudl, kemudian ashabat dan seterusnya.
2.3. Wasiat
Secara bahasa wasiat artinya berpesan. Sedangkan menurut istilah wasiat
adalah sesuatu tasharruf terhadap harta peninggalan yang akan dilaksanakan
sesudah meninggal yang berwasiat Jelasnya pengelolaan terhadap yang jadi obyek
wasiat berlaku setelah yang berwasiat itu meninggal.
Menurut asal hukum wasiat itu adalah suatu perbuatan yang di lakukan dengan
sukarela dalam segala keadaan. Karena, tak ada dalam syariat islam sesuatu
wasiat yang wajib dilakukan dengan jalan putusan hakim. Sementara ada pendapat
yang mengatakan , apabila suatu wasiat datang dari Allah, berarti suatu perintah
sebagai suatu kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan.
Satu pendapat menggatakan bahwa wasiat adalah pemilikan yang di sandarkan
pada sesudah meninggalnya si pewasiat dengan jalan tabarru (kebaikan tanpa
menuntut imbalan). Pengertian ini untuk membedakan antara wasiat dan hibah.
6

Jika hibah berlaku sejak si pemberi menyerahkan pemberiannya dan di terima
oleh yang menerimanya, maka wasiat berlaku setelah pemberi meninggal.
Ini sejalan atau sependapat dengan definisi fuqaha Hanafiyah: wasiat adalah
tindakan seseorang memberikan hak kepada orang lain untuk memiliki sesuatu
baik berupa benda atau manfaat secara sukarela (tabarru) yang pelaksanaanya di
tangguhkan setelah peristiwa kematian orang yang memberikan wasiat.
Fuqaha Malikiyah, Hanabilah dan Syafiiyah memberi definisi yang lebih
rinci yaitu: suatu transaksi yang mengharuskan si penerima wasiat berhak
memiliki sepertiga harta peninggalan si pemberi setelah meninggal atau yang
mengharuskan penggantian hak sepertiga harta si pewasiat kepada penerima.
Sedangkan dalam kompilasi hukum islam mendefinisikan wasiat sebagai berikut:
pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan
berlaku setelah si pewaris meninggal dunia. (psl 171 huruf f KHI).
Dasar hukum wasiat dalam islam, para ulama mendasarkan wasiat kepada al-
quran, as- sunnah dan ijma. Dalam konteks hukum islam di Indonesia kompilasi
merupakan aturan yang di pedomani. Dengan kata lain wasiat adalah pesan
seseorang mengenai penggunaan atau pemanfaatan harta peninggalannya, kelak
setelah ia meninggal dunia, baik wasiat itu untuk anggota kerabatnya ataupun
bukan. Wasiat tersebut dilaksanakan atas kemauannya sendiri, tanpa paksaan.
Oleh sebab itu wasiat yang di lakukan dengan jalan putusan hakim tidak di
benarkan

2.4. Pembuktian
Pengertian Pembuktian sangat beragam, setiap ahli hukum memiliki definisi
masing-masing mengenai Pembuktian. Benyak ahli hukum yang mendefinisikan
pembuktian ini melalui kata membuktikan. Membuktikan menurut Sudikno
Mertokusumo disebut dalam arti yuridis yaitu memberi dasar-dasar yang cukup
kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan
kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Lain halnya dengan definisi
membuktikan yang dijelaskan oleh Prof. R. Subekti, ia menjelaskan bahwa
7

membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang
dikemukakan di muka sidang dalam suatu persengketaan. Berdasarkan definisi
para ahli hukum tersebut, dapat disimpulkan bahwa membuktikan ialah suatu
proses menjelaskan kedudukan hukum para pihak yang sebenarnya dan
didasarkan pada dalil-dalil yang dikemukan para pihak, sehingga pada akhirnya
hakim akan mengambil kesimpulan tentang siapa yang benar dan siapa yang
salah.
Banyak usaha yang dapat dilakukan untuk menyakinkan hakim, tetapi belum
tentu semuanya mampu meyakinkannya, disamping itu belum tentu semuanya itu
diperkenankan oleh Hukum Acara. Oleh karena itu, perlunya pengaturan yang
berkaitan dengan hal tersebut supaya para pencari keadilan dapat
mempergunakannya dan agar hakim juga tidak sembarangan dalam menyusun
keyakinannya. Dalam Hukum Acara Perdata dan juga termasuk Hukum Acara
Pidana mengatur tentang alat-alat bukti, cara pihak mengunakannya dan mengatur
cara hakim dalam menilai dan barulah dianggap terbukti apabila hakim yang
menyidangkan tersebut yakin akan penilaiannya.
Untuk membuktikan hal tersebut, para pihaklah yang aktif berusaha dalam
mencarinya, menghadirkannya atau mengetengahkannya ke muka sidang
pengadilan. Dalam hal ini lebih diutamakan kesadaran atau inisiatif dari pihak
yang berperkara sehingga tidak usah menunggu diminta oleh siapapun.
2.5. Peradilan Agama
Pengadilan Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata
tertentu bagi orang yang beragama Islam sebagaimana yang dirumuskan dalam
pasal 2 UU No. 7 tahun 1989 tentang PA. Pengadilan Agama adalah salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini.
Dengan demikian keberadaan Pengadilan Agama dikhususkan kepada warga
negara Indonesia yang beragama Islam.
8

Susunan hierarki peradilan agama secara instansional diatur dalam pasal 6
UU Nomor 7 Tahun1989 menurut ketentuan pasal ini secara instansional
lingkugan peradilan agama terdiri dari dua tingkat :
1. Pengadilan agama sebagai pengadilan tingkat pertama
2. Pengadilan tinggi agama sebagai pengadilan tingkat banding
Makna pengadilan agama sebagai pengadilan tingkat pertama ialah
pengadilan yang bertindak menerima, memeriksa, dan memutus setiap
permohonan atau gugatan pada tahap paling awal dan paling bawah. Pengadilan
agama bertindak sebagai peradilan sehari-hari menampung pada tahap awal dan
memutus atau mengadili pada tahap awal segala perkara yang diajukan
masyarakat pencari keadilan. Tidak boleh mengajukan suatu permohonan atau
gugatan langsung ke pengadilan tinggi agama. Semua jenis perkara terlebih
dahulu harus melalui pengadilan agama dalam kedudukan hierarki sebagai
pengadilan tingkat pertama.


9

BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Keabsahan Surat Wasiat Dalam Peradilan Agama
Peradilan Agama telah ada sejak agama Islam datang ke Indonesia, itulah
yang kemudian diakui dan dimantapkan kedudukannya di Jawa dan Madura tahun
1882, di Kalimantan Selatan tahun 1937 dan di luar Jawa, Madura, dan
Kalimantan Selatan pada tahun 1957, dan namanya sekarang Pengadilan Agama.
Penyatuan nama ini dilakukan dengan keputusan Menteri Agama No. 6 tahun
1980 (ketika Menteri H. Alamsah Ratu Perwira Negara). Semuanya berada di
bawah pengawasan Mahkamah Agung RI dalam menyelenggarakan peradilan dan
pembinaannya.
Peradilan agama dimaksudkan sebagai salah satu sarana untuk menyelesaikan
segala sengketa yang berkatian dengan ajaran agama islam secara universal. Akan
tetapi dalam proses beracaranya peradilan agama tetap menggunakan hukum acara
peradilan perdata sebagai salah satu sumber hukum formilnya. Mengacu pada hal
tersebut diatas maka banyak kesamaan dalam proses beracara pada peradilan
umum yang terapkan dalam peradilan agama.
Tujuan dari suatu proses di muka pengadilan adalah untuk mendapatkan
penetuan bagaimanakah hukumnya sesuatu kasus, yaitu bagaimanakah hubungan
hukum antara dua pihak yang berperkara itu yang sebenarnya dan seharusnya dan
agar seagala apa yang ditetapkan oleh pengadilan itu direalisasikan, kalau perlu
dengan pelaksanaan (eksekusi) paksa.
Salah satu tahapan proses dalam beracara pada peradilan agama adalah proses
pembuktian. Asas pembuktian dalam Hukum Acara Perdata dapat dijumpai dalam
Pasal 1865 Burgerlijk Wetboek, Pasal 163 Het Herzein Inlandsch Reglement,
Pasal 283 Recht Reglement Buitengewesten, yang bunyi pasal-pasal tersebut
semakna, yaitu: Barangsiapa mempunyai suatu hak atau guna membantah hak
orang lain, atau menunjuk pada suatu peristiwa, ia diwajibkan membuktikan
adanya hak dan peristiwa tersebut.
10

Dari Abdullah bin Abbas, Rasullullah Saw telah bersabda: Jika gugatan
seseorang dikabulkan begitu saja, niscaya akan banyaklah orang yang menggugat
hak atau hartanya terhadap orang lain, tetapi (ada cara pembuktiannya) kepada
yang menuntut hak (termasuk yang membantah hak orang lain dan menunjuk
suatu peristiwa tertentu) dibebankan untuk membuktikan dan (bagi mereka yang
tidak mempunyai bukti lain) dapat mengingkarinya dengan sumpah. H.R.
Bukhary dan Muslim dengan sanad sahih.
Sistem Hukum Acara Perdata menurut HIR/RBg adalah mendasar kepada
kebenaran formal, artinya hakim akan memeriksa dan mengadili perkara perdata
terikat mutlak kepada cara-cara tertentu yang telah diatur dalam HIR/RBg. Namun
sistem ini sudah lama ditinggalkan karena keperluan hukum dan praktik
penyelenggaraan peradilan, sehingga dipakailah Hukum Acara Perdata yang
bukan hanya terdapat didalam HIR/RBg tetapi juga yang didapat dari BW, Rsv
(Reglement op de Rechtsvordering), dari kebiasaan-kebiasaan praktik
penyelenggaraan peradilan, termasuk dari Surat-surat Edaran dan petunjuk dari
Mahkamah Agung.
Selain dari pada itu, aliran kebenaran formal juga sudah beralih kepada
kebenaran material, artinya alat bukti secara formal telah mencukupi, hakim tidak
boleh memutus kalau ia tidak yakin bahwa hal itu telah terbukti benar secara
material. Aliran yang disebutkan terakhir ini dahulu hanya dianut oleh Hukum
Pidana saja. Sehubungan dengan itu, di muka sidang Peradilan Agama nanti, ada
suatu hal yang perlu diingat, yaitu sekalipun secara formal menurut HIR/RBg dan
lain sebagainya itu sudah dianggap cukup secara formal terbukti, hakim tidak
boleh memutus kalau ia tidak yakin benar secara material menurut hukum Islam.
Sudikno Mertokusumo mengemukakan pendapatnya terkait soal penilaian
pembuktian sebagai berikut. Pada umumnya, sepanjang Undang-undang tidak
mengatur sebaliknya, hakim bebas untuk menilai pembuktian. Berhubung hakim
dalam menilai pembuktian dapat bertindak bebas atau diikat oleh Undang-undang
maka tentang hal tersebut timbul tiga teori:
11

1. Teori pembuktian bebas, yaitu tidak menghendaki adanya ketentuan-
ketentuan yang mengikat hakim sehingga penilaian pembuktian
diserahkan kepadanya.
2. Teori pembuktian negatif, yaitu harus ada ketentuan-ketentuan yang
mengikat, yang bersifat negatif. Jadi hakim dilarang menilai lain dengan
pengecualian, seperti yang ditemui dalam Pasal 169 HIR/306 RBg/1905
BW.
3. Teori pembuktian positif, yaitu adanya ketentuan-ketentuan yang
mengikat, tidak menilai lain selain menurut ketentuan tersebut secara
mutlak, seperti yang ditemui dalam Pasal 165 HIR/285 RBg/1870 BW.
Menurut Sudikno, pendapat umum menghendaki teori pembuktian bebas
seperti tersebut dalam butir a diatas. Lebih lanjut dapat diambil contoh masing-
masing dalam Hukum Acara Perdata Umum dan Hukum Acara Perdata menurut
konsepsi Islam tentang mana yang lebih tepat antara kebenaran formal dan
kebenaran material dalam penilaian pembuktian, sebagai berikut: dalam masalah
wasiat yang dibuat dihadapan notaris oleh seseorang yang isinya memberikan
semua hartanya kepada seseorang setelah ia wafat. Namun setelah ia wafat,
apakah status atau bagaimanakah nilai surat wasiat itu dihadapan pembuktian?
Padahal menurut hukum material Islam, wasiat hanya dianggap sah dan dapat
dilaksanakan kalau tidak lebih dari sepertiga dari jumlah harta dari si pemberi
wasiat. Berdasarkan contoh konkret kasus diatas, dapat menjadi jawaban mengapa
aliran kebenaran formal dalam menilai pembuktian sudah harus bergeser atau
diganti dengan aliran kebenaran material. Pergeseran dari kebenaran formal
menuju kepada kebenaran material ini, sejalan pula dengan pergeseran hakim
pasif menurut HIR/RBg kepada hakim aktif menurut UU Nomor 14 tahun 1970
dan pernah juga ditegaskan oleh Mahkamah Agung dalam Rapat Kerja di Jakarta,
28-29 Mei 1981.
Surat-surat atau tulisan, apa dan betapapun bentuk, sifat dan isinya,
melainkan adalah karena dibuat oleh manusia, baik disengaja ataupun tidak.
Manusia hanya hidup sebentar tetapi surat atau tulisan bisa hidup ribuan tahun.
Jika Allah dan Rasul-Nya mengakui bahwa manusia hidup (saksi) adalah alat
12

bukti maka tulisan atau suratnya tidak bisa tidak, juga dianggap sebagai alat bukti.
Yang menjadi patokan ialah alat bukti tulisan atau surat tersebut tidak boleh
mengorbankan hukum material Islam.
Sejalan dengan hal tersebut diatas maka Akta otentik sebagai akta yang dibuat
oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu, menurut ketentuan tertentu
yang telah ditetapkan. mempunyai kekuatan bukti yang sempurna atau mengikat,
baik bagi pihak-pihak maupun bagi ahli warisnya atau bagi orang-orang yang
memperoleh hak daripadanya, artinya hakim harus ,menganggapnya benar serta
tidak memerlukan pembuktian lain, kecuali memang dapat dibuktikan tentang
ketidakbenarannya (tentunya dengan alat bukti lain dan alasan yang lebih kuat).
Wasiat sebagai salah satu contoh dari akta otentik tersebut menurut apa yang
dipaparkan diatas seharusnya dipandang sebagai sebuah alat bukti yang sempurna
atau mengikat. Dengan artian bahwa wasiat sebagai akta otentik tidak perlu
diragukan lagi keabsahannya.
Sementara berdasarkan asas-asas kewarisan dalam hukum islam disebutkan
bahwa salah satu asasnya ada lah Ijbari. Yang artinya bahwa Peralihan harta dari
pewaris kepada ahli waris terjadi dengan sendirinya menurut ketetapan yang
dibuat Allah tanpa digantungkan pada kehendak pewaris atau ahli waris. Oleh
karena itu maka secara langsung tiap ahli waris diwajibkan menerima peralihan
harta peninggalan pewaris sesuai dengan bagiannya masing-masing yang telah
ditetapkan. Akan tetapi bagaimana dengan akta wasiat yang telah dibuat di
hadapan para pejabat berwenang, apakah wasiat tersebut dapat dilaksanakan
karena wasiat tersebut merupakan akta otentik.
Quraish Shihab menjelaskan bahwa agama menuntun untuk tidak memberi
wasiat kepada yang telah mendapat warisan. Wasiat dapat diberikan untuk
lembaga sosial dan keagamaan atau pribadi tertentu, hanya saja ditekankan bahwa
yang diberi benar-benar ada wujudnya, jelas identitasnya, serta wajar
menerimanya. Jadi, wasiat tidak ditujukan pada ahli waris, melainkan pada orang
lain. Demikian pendapat Quraish Shihab mengenai wasiat dalam tulisannya yang
berjudul Wasiat yang dimuat dalam situs Pusat Studi Al-Quran.
13

Sepanjang pengertian penulis dan berdasarkan literatur yang ada akta wasiat
terhadap ahli waris yang mana didalamnya disebutkan atau tidak disebutkan
mengenai bagian masing masing tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang
mengikat hakim. Karena kembali lagi pada penerapan asas Ijbari tersebut diatas
maka surat wasiat tersebut dianggap tidak sah karena telah melanggar asas asas
kewarisan dalam islam. Karena masing masing ahli waris telah diberikan
bagiannya masing masing berdasarkan aturan yang didalam kompilasi hukum
islam.
Dalam hukum Indonesia, hukum waris Islam antara lain telah dikodifikasikan
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pasal 171 huruf f KHI menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan wasiat adalah:
pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang
akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia
Pasal 171 huruf a KHI juga menyatakan bahwa hukum kewarisan adalah
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan
(tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
berapa bagiannya masing-masing.



14

BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Sepanjang pengertian penulis dan berdasarkan literatur yang ada akta wasiat
terhadap ahli waris yang mana didalamnya disebutkan atau tidak disebutkan
mengenai bagian masing masing tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang
mengikat hakim. Karena kembali lagi pada penerapan asas Ijbari tersebut diatas
maka surat wasiat tersebut dianggap tidak sah karena telah melanggar asas asas
kewarisan dalam islam. Karena masing masing ahli waris telah diberikan
bagiannya masing masing berdasarkan aturan yang didalam kompilasi hukum
islam.

4.2. Saran
Harus diberikan batasan yang tegas lagi didalam Kompilasi Hukum Islam
terkait dengan pemberian warisan kepada ahli waris sehingga banyak praktek
praktek penyimpangan terhadap hukum islam tersebut bisa di minimalisir.
Pemerintah sebagai pengusul undang undang hendaknya meminta perubahan baru
terhadap Instruksi Presiden tentang Kompilasi Hukum Islam dengan memasukkan
aturan aturan baru terutama dalam kewarisan islam yang tidak bertentangan
dengan alquran dan hadits.

15

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Daud Ali. Mohammad, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada Pers, 2012)
Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 2003)
Hasan Bisri.Cik, Peradilan Agama Di Indonesia Edisi Revisi,(Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 2003)

Website
http://fatimaajja.blogspot.com/2012/06/wasiat.html

Anda mungkin juga menyukai