Disusun Oleh :
Ana Harlina
218100036
TUGAS PERORANGAN
MATA KULIAH
TEORI HUKUM
Dosen : DR. Habib Adjie, S.H., M.Hum, AIIArb.
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG
2022
Hadirnya buku dengan judul “HUKUM DAN POLITIK HUKUM JABATAN NOTARIS”
dimaksudkan sebagai penambah daftar literatur dalam bidang studi hukum kenotariatan. Bahkan
secara khusus, sangat sulit ditemukan adanya buku yang secara spesifik membahas Ilmu
Hukum dan Politik Hukum Kenotariatan secara bersamaan. Pembahasan mengenai hukum
kenotariatan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Ilmu Hukum harus terus menerus
dilakukan guna menghindari kesalahpahaman mengenai arah dan tujuan penyelenggaraan
pendidikan magister kenotariatan yang merupakan bagian dari fakultas hukum.
Buku ini berisi 11 (sebelas) BAB, yaitu :
BAB I
Manusia, Masyarakat, Dan Hukum
BAB II
Ilmu Dan Ilmu Hukum
BAB III
Konsep Dan Teori Hukum Dalam Hukum Kenotariatan
3.1 Teori Jabatan dan Jabatan Notaris
3.2 Teori Kewenangan
3.3 Teori Tanggung Jawab
3.4 Teori Perlindungan Hukum
3.5 Prinsip Equality
3.6 Konsep Akta Otentik
3.7 Prinsip Good Governence
BAB IV
Politik Hukum Dan Hukum Kenotariatan
4.1 Konsep Politik Hukum
4.2 Politik Hukum Jabatan Pejabat Umum
4.3 Kilasan Larangan Rangkap Jabatan Bagi Notaris
BAB V
Pengaturan Pejabat Umum Di Indonesia
5.1 Sejarah Lembaga Notaris
5.2 Sejarah Pejabat Pembuat Akta Tanah
5.3 Sejarah Pejabat Lelang
5.4 Perkembangan Kewenangan Pejabat Umum di Indonesia
BAB VII
Larangan Rangkap Jabatan Bagi Notaris
7.1 Melihat Kembali Sejarah Kelembagaan Jabatan No-
taris Di Indonesia Sebagai Alasan Larangan Rangkap Jabatan
7.2 Karakteristik Pejabat Publik Di Indonesia
7.3 Jabatan Notaris Sebagai Jabatan Terhormat (Officium
Nobile)
7.4 Prinsip Hukum Yang Menjadi Dasar Larangan Rang-
kap Jabatan Notaris
BAB VIII
Larangan Rangkap Jabatan Sebagai Pejabat Negara Bagi No-
taris
8.1 Relevansi Larangan Rangkap Jabatan Sebagai Pejabat
Negara Bagi Notaris Dalam Pelaksanaan Tugas DanKewenangannya
8.1.1 Klasifikasi Pejabat Negara
8.1.2 Karakteristik Kewenangan Pejabat Negara
8.2 Karakteristik Kewenangan Notaris
8.3 Hubungan Jabatan Notaris dengan Pelayanan Publik
BAB IX
Akibat Hukum Atas Akta Yang Dibuat Oleh Notaris Yang
Rangkap Jabatan
9.1 Akibat Hukum Atas Akta Yang Dibuat Oleh Notaris
Yang Rangkap Jabatan
9.2 Kedudukan Notaris Yang Rangkap Jabatan Sebagai
Pejabat Negara
9.3 Keabsahan Akta Yang Dibuat Oleh Notaris Yang
Rangkap Jabatan Sebagai Pejabat Negara
9.4 Tanggunggugat Notaris Atas Akta yang dibuat pada
saat Rangkap Jabatan sebagai Pejabat Negara
BAB X
Larangan Merangkap Jabatan Sebagai Pemimpin Atau Pe-
gawai Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah Atau Badan Usaha
Swasta
10.1 Konsep Badan Usaha dan Badan Hukum
10.2 Yayasan Sebagai Badan Hukum Nirlaba
10.3 Kedudukan Notaris Yang Menjadi Pegawai Yayasan
Sebagai Dosen di Perguruan Tinggi Swasta
BAB XI
Kedudukan Hukum Notaris Yang Memiliki Jabatan Struktural Di Perguruan Tinggi
Adakah hukum jika manusia tidak ada? Lalu apa yang akan terjadi pada
manusia jika tidak ada hukum? Dua pertanyaan tersebut menjadi bahan diskusi bagi
para sarjana, bukan hanya sarjana hukum, namun sarjana lainnya yang belajar tentang
hukum. Sarjana hukum selalu memandang hukum dari dalam ilmu hukum itu sendiri,
namun bukan berarti menutup mata akan adanya pandangan mengenai hukum dari
luar yang dilakukan oleh sarjana non-hukum bahkan ada juga sarjana hukum yang selalu
melihat hukum dari luar. 1 Sarjana hukum harus selalu melihat hukum dari dalam dan
menjadikan pandangan luar mengenai hukum sebagai alat bantu untuk
pengembangan ilmu hukum.
Sebagai sebuah ilmu, maka ilmu hukum juga diadakan untuk manusia.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, manusia didefinisikan sebagai makhluk
yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain). Manusia memiliki banyak
dimensi, antara lain dimensi keindividualan, dimensi kesosialan, dimensi
kesusilaan, dan dimensi keberagaman. Dengan perkataan lain bahwa jika
manusia hidup sendiri di suatu planet atau benua yang tidak berada dalam
yurisdiksi suatu negara, hukum tidaklah diperlukan. Kenapa hukum tidak
diperlukan bagi manusia yang hidup sendiri? ya, karena apapun yang akan
dilakukan oleh manusia tersebut tidak akan bersinggungan dengan manusia
lainnya. Tidak ada kepentingan maupun kerugian orang lain yang timbul dari
perbuatan atau tindakan yang dilakukannya. Oleh karena itu, maka hukum
tidaklah diperlukan.
Selanjutnya, apakah ada manusia yang seperti di atas?
Jawabannya hampir pasti bahwa tidak mungkin ada manusia yang bisa hidup sendiri di suatu
planet atau benua sendirian. Manusia tidak akan ada jika dia tidak hidup dalam
komunitasnya.
Masyarakat merupakan sekumpulan manusia yang hidup bersama dan memiliki
ikatan antara satu dengan yang lainnya yang dibuat karena adanya kebutuhan bersama
untuk mempertahankan hidupnya. Dalam dimensinya sebagai makhluk sosial (dimensi
sosial), manusia terikat dengan kesepakatan yang telah dibuatnya. Kesepakatan-
kesepakatan tersebut merupakan pedoman, patokan, atau standar dalam berbuat (daad) dan
berperilaku (gedrag). Pedoman, patokan, atau standar inilah yang disebut sebagai hukum.
Hukum merupakan sarana untuk mewujudkan cita-cita mulia sebagai kehendak
bersama yang diinginkan oleh masyarakat. Hukum merupakan sarana untuk
mewujudkan kehendak bersama itu. Tanpahukum maka mustahil kehendak itu dapat
tercapai, karena dalam perjalanannya, akan ada anggota masyarakat yang memiliki
perilaku dan perbuatan menyimpang yang menjadi penghalang terwujudnya
kehendak bersama itu.
Hukum adalah serangkaian patokan, standar, pedoman, dannilai untuk
mendatangkan keadilan. Saya menilai bahwa keadilan merupakan volonte
generale tertinggi yang dicitakan oleh setiap organisasi masyarakat.
Manusia, masyarakat, dan hukum tidak dapat dipisahkan, namun tetap dapat
ditarik benang merah perbedaannya. Hukum diadakan bukan hanya semata
untuk memenuhi kehendak manusia secara individu, bahkan jika manusia hidup
tanpa komunitasnya (masyarakat), maka manusia tidak memerlukan hukum.
Hukum itu ada untuk mewujudkan kehendak bersama dalam suatu komunitas
manusia yang disebut dengan masyarakat. Masyarakat ada karena adanya kehendak
bersama yang ingin diwujudkan oleh manusia yang disebabkan karena manusia
tidak dapat hidup jika tidak berada dalam komunitasnya.
BAB II
ILMU DAN ILMU HUKUM
Hukum dipandang sebagai gejala sosial dan pembelajaran di fakultas
hukum bertumpu pada pembelajaran mengenai aturan-aturan hukum belaka,
supaya lebih menarik maka diajarkanlah ilmu sosial. Inilah kesalahan di atas
kesalahan yang terjadi di fakultas fakultas hukum yang sebenarnya layak
disebut sebagai fakultas ilmu sosial. Sarjana hukum yang belajar hukum sebagai
gejala sosial atau sebagai sekedar peraturan tidak pantas menyandang gelar
sarjana hukum, mereka pantas diberikan gelar sarjana sosial atau sarjana
undang- undang.
Hukum bukanlah gejala sosial, melainkan sebagai norma sosial. Norma
hukum bersumber dari norma sosial. Aturan hukum merupakan refleksi dari norma
sosial. Norma sosial yang dituangkankedalam peraturan hukum akan memiliki daya ikat
dan daya paksa atau sebagai dwingenrecht. Daya ikat dan paksa dari norma sosial yang
telah dituangkan kedalam aturan hukum tersebut akan menjadi standart of behavior,
inilah makna sesungguhnya dari kata Norm dalambahasa Jerman dan Latin, yakni standar
atau pedoman tingkah laku, dan inilah objek kajian ilmu hukum. Bukan sekedar belajar
tentang norma dalam bahasa Latin yang hanya diartikan sebagai peraturan oleh Hans
Kelsen atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai kaidah. Apalagi belajar hukum
sebagai gejala sosial.
Norma hukum merupakan norma sosial yang selanjutnya menjadi
tumpuan pembenar bagi peraturan hukum. Contoh norma sosial yang
dituangkan kedalam aturan hukum, misalnya
(i) hargai kehormatan orang lain, selanjutnya dituangkan menjadi aturan
hukum dalam KUHP Pasal 310 mengenai penghinaan,
(ii) jangan membunuh, dituangkan dalam KUHP, Pasal 338, 340 dan
lainnya,
(iii) jangan mencuri, dituangkan dalam KUHP Pasal 362, Pasal 372, Pasal
dan 378 serta banyak contoh norma sosial lainnya yang dituangkan
kedalam peraturan hukum.
Norma hukum sebagai bagian dari norma sosial juga memiliki tumpuan
kebenaran, yakni bertumpu pada prinsip hukum. Prinsip hukum juga bertumpu pada
nilai atau moral. Dengan kata lain bahwaaturan hukum harus koheren dengan norma
hukum, norma hukum harus koheren dengan prinsip hukum, dan prinsip hukum itu
sendiri bersumber dari nilai atau moral.
BAB III
KONSEP DAN TEORI HUKUM DALAM HUKUM KENOTARIATAN
Pada Bab ini, penulis menjabarkan tentang sejarah Lembaga notaris, sejarah
pejabat pembuat akta tanah, sejarah pejabat lelang yang merupakan pejabat umum.
Selain sejarah yang dijelaskan, pada Bab ini juga penulis menjelaskan tentang
perkembangan kewenangan dari pejabat umum, relevansi pemisahan jabatan umum
dalam kaitannya dengan pelayanan publik saat ini, dan juga prinsip-prinsip hukum yang
melandasi pemisahan jabatan pejabat umum.
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik haruslah selalu berpedoman pada
asas atau prinsip umum penyelenggaraan pemerintahan, karena wilayah Negara
Republik Indonesia sangat luas serta penduduk beragam sehingga pemerintahan yang
baik dilaksanakan secara seragam untuk wilayah Negara Republik Indonesia. Asas-
asas pemerintahan yang baik merupakan sendi dalam mewujudkan pemerintah yang baik
negara Indonesia berdasarkan atas hukum, oleh karena itu setiap tindakan
penyelenggraan pemerintahan berdasarkan atau mempedomani peraturan perundangan
yang berlaku atau segala tindakan pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan
secara hukum. Prinsip dari asas ini dalam rumusan peraturan yang diwujudkan dari
cita-cita hukum.
Konsep hukum lain dari negara berdasarkan atas hukum adalah adanya
jaminan penegakan hukum dan tercapainya cita-cita hukum seperti yang telah
disebutkan diats. Dalam penegakan hukum ada 3 (tiga) unsur yang selalu harus
mendapat perhatian, yaitu keadilan, kemanfaatan atau hasil guna dan kepastian
hukum. Agar ketiga unsur tersebut dapat tercapai maka segala perbuatan
hukum pemerintah harus memiliki keabsahan. Dasar Keabsahan Perbuatan
Hukum Pemerintahan tersebut antara lain:
1. Sah secara/berdasar hukum (Rechtmatigheid)
2. Sah secara/berdasar undang-undang (Wetmatigheid)
3. Sah secara/berdasar tujuan yang efektif dan efisien (Doelmatigheid en
doeltraffenheid)
4. Asas kebebasan bertindak dari penguasa/pemerintah (Discretie)
Ruang lingkup keabsahan secara keseluruhan meliputi wewenang,
prosedur; dan substansi. Pada suatu tindakan pemerintah keputusan pemerintahan
maupun administrasi tidak boleh melanggar hukum.
BAB VI
PRINSIP GOOD GOVERNANCE DALAM PELAKSANAANTUGAS JABATAN
PEJABAT UMUM
Pemerintah atau “Government” dalam bahasa Inggris diartikan sebagai “The
authoritative direction and administration of the affairs of men/women in a nation, state, city,
etc.” (Pengarahan dan administrasi yang berwenang atas kegiatan orang-orang dalam
sebuah negara, negara bagian, kota dan sebagainya). Dapat juga diartikan “The governing
bodyof a nation, state, city, etc” (lembaga atau badan yang menyelenggarakan pemerintahan
negara, negara bagian, atau kota dan sebagainya. Sedangkan istilah
“kepemerintahan” atau dalam bahasa Inggris “governance” yaitu “the act, fact, manner of
governing” berarti “Tindakan, fakta, pola, dan kegiatan atau penyelenggaraan
pemerintahan”. Dengan demikian “governance” adalah suatu kegiatan (proses),
sebagaimana dikemukakan oleh Kooiman (1993) bahwa governance lebih merupakan
serangkaian proses interaksi sosial politik antara pemerintahan dengan masyarakat
dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan kepentingan kepentingan-kepentingan
masyarakat dan intervensi pemerintah atas tersebut.
Istilah “governance” tidak hanya berarti kepemerintahan sebagai suatu
kegiatan, tetapi juga mengandung arti pengurusan, pengelolaan, pengarahan,
pembinaan penyelenggaraan dan bisa juga diartikan pemerintahan. Oleh karena itu
tidak mengherankan apabila terdapat istilah public governance, private governance, corporate
governance dan banking governance. Governance sebagai terjemahan dan pemerintah
kemudian berkembang dan menjadi populer dengan sebutan kepemerintahan, sedang
praktek terbaiknya disebut kepemrintahan yang baik (good governance).
Dalam paradigma atau model new public service, pelayanan publik
berlandaskan teori demokrasi mengajarkan adanya egaliter dan persamaan hak di antara
warga negara. Dalam model ini, kepentingan publik dirumuskan sebagai hasil negosiasi
dari berbagai nilai yang ada dalam masyarakat. Kepentingan publik bukan
dirumuskan oleh elit politik seperti yang tertulis dalam peraturan perundang undangan.
Birokrasi yang memberikan pelayanan publik harus bertanggung jawab
kepada masyarakat secara transparan dan adil. Peranan pemerintah hanyalah
memfasilitasi dalam negosiasi dari berbagai keinginan warga. Oleh sebab itu
birokrasi harus akuntabel pada berbagai aspek kepentingan dan aspek politik yang
berlaku, termasuk standar profesional dan kepentingan warga.
Untuk mengembangkan pelayanan publik yang mencirikan praktek good
governance diperlukan manajemen yang reformis. Bad governance yang selama ini
terjadi dalam birokrasi publik, merupakan warisan zaman kolonial dan hasil dari suatu
proses interaksi yang rumit dari akumulasi masalah yang melekat dalam kehidupan
birokrasi publik. Pola pikir yang selama ini telah mengispirasi perilaku birokrasi publik
perlu dirubah atau diperbaiki, agar menghasilkan pelayanan publik yang baik kepada
masyarakat sesuai tuntutan dan harapannya. Perubahan pola pikir dan budaya kerja
organisasi menjadi prasayarat utama, kalau kita ingin mewujudkan perilaku birokrat kita
melahirkan sosok aparatur yang profesional, kompeten, tanggap dan bertanggung jawab.