Anda di halaman 1dari 312

PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN

TENTANG GUGATAN WARGA NEGARA


(CITIZEN LAWSUIT)
TERHADAP PEMBARUAN UNDANG-UNDANG
HUKUM ACARA PERDATA

TESIS

BEN RONALD P. SITUMORANG


1106030416

UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
JAKARTA
JANUARI, 2013

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN
TENTANG GUGATAN WARGA NEGARA
(CITIZEN LAWSUIT)
TERHADAP PEMBARUAN UNDANG-UNDANG
HUKUM ACARA PERDATA

TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Hukum

BEN RONALD P. SITUMORANG


1106030416

UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
JAKARTA
JANUARI, 2013

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya sendiri,


dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Ben Ronald P. Situmorang


NPM : 1106030416
Tanda Tangan :
Tanggal : 21 Januari 2013

ii
Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh :


Nama : Ben Ronald P. Situmorang
NPM : 1106030416
Program Studi : Pascasarjana Ilmu Hukum
Judul Tesis : Pengaruh Putusan Pengadilan Tentang Gugatan
Warga Negara (Citizen Lawsuit) Terhadap
Pembaruan Undang-Undang Hukum Acara
Perdata

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima


sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Magister Hukum pada Program Studi Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas
Hukum, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Dr. Yoni A. Setyono, S.H., M.H. (

Penguji : Prof. Dr. Rosa Agustina, S.H., M.H. (

Penguji : Heru Susetyo S.H., LL.M., M.Si.

Ditetapkan di : Jakarta

Tanggal : 21 Januari 2013

iii
Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


KATA PENGANTAR

Puji syukur yang sedalam-dalamnya penulis panjatkan kepada Tuhan


Yesus Kristus, karena atas berkat dan kasih-Nyalah saya dapat menyelesaikan
tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia.

Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
mulai dari awal perkuliahan sampai dengan penyusunan tesis ini, maka akan sulit
bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Dengan segala kerendahan hati,
perkenankan saya menghaturkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Rosa Agustina, S.H., M.H., sebagai Ketua Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang telah banyak memberikan
pencerahan dan menambah wawasan saya selama mengikuti perkuliahan di
Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia ;
2. Bapak Dr. Yoni Agus Setyono, S.H., M.H, sebagai dosen pembimbing yang
telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
penyusunan tesis ini ;
3. Bapak Heru Susetyo S.H., LL.M., M.Si sebagai dewan penguji ;
4. Bapak dan Ibu dosen pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia yang telah memberikan pencerahan serta bimbingan sehingga
menambah wawasan saya selama mengikuti perkuliahan di Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia ;
5. Pimpinan Mahkamah Agung, Pimpinan Program Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, dan Pimpinan United States Agency for
International Development (USAID) yang telah melakukan kerjasama dalam
Program Beasiswa Magister Hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia
sehingga saya dapat diberi kesempatan untuk mengikuti program tersebut
yang sangat berguna bagi pengembangan ilmu dan pengetahuan di bidang
ilmu hukum ;

iv
Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


6. Bapak dan Ibu narasumber yaitu : Hakim Agung Dr. Andi Samsan Nganro,
S.H., M.H., Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia Gede
Pasek Suardika, S.H., M.H., Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Noor M. Aziz, S.H., M.H., Ketua tim Naskah
Akademik Rancangan Undang Undang Hukum Acara Perdata Dr. J.
Djohansyah, S.H., M.H., Hakim Dr. Andriani Nurdin, S.H., M.H., Hakim
Ennid Hasanuddin, S.H., C.N., M.H., Hakim Pri Pambudi Teguh, S.H., M.H.,
Hakim Dr. Marsudin Nainggolan, S.H., M.H., praktisi hukum VMF. Dwi
Rudatiyani, S.H., dan Virza Roy Hizzal, S.H., M.H., yang telah meluangkan
waktu dalam memberikan data yang diperlukan sehingga saya dapat
menyelesaikan tesis ini ;
7. Bapak I Gede Sumitra, S.H., M.H., Ketua Pengadilan Tinggi Denpasar, dan
Ibu Wiwik Dwi Wisnuningdiyah, S.H., M.H., Hakim Pengadilan Negeri
Samarinda, yang yang pada waktu saya bertugas di Pengadilan Negeri
Bontang sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur dan Ketua
Pengadilan Negeri Bontang, telah memberi kesempatan kepada saya untuk
dapat mengikuti Program Beasiswa Magister Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia kerjasama Mahkamah Agung Republik Indonesia,
Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Pihak
United States Agency for International Development (USAID) ;
8. Bapak Pdt. Mesakh Sujiono, S.Th beserta keluarga, yang telah memberikan
dukungan doa kepada saya mulai dari awal perkuliahan sampai dengan
selesainya penyusunan tesis ini ;
9. Kepada sahabat-sahabat dalam Program Beasiswa Magister Hukum di
Fakultas Hukum Universitas Indonesia kerjasama Mahkamah Agung Republik
Indonesia, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan
Pihak United States Agency for International Development (USAID), dari
berbagai Pengadilan Negeri di Indonesia yang telah berbagi pengalaman
mereka di daerah kepada saya, sehingga menambah wawasan saya ;
10. Last but not least keluarga yang saya sangat kasihi : P.S. Situmorang, S.H.
(Alm.) dan M. br. Pangaribuan (Ayah dan Ibu), G. Manihuruk dan R.br.

v
Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


Haloho (Bapak dan Ibu Mertua), H.N. Rida Manihuruk, S.H. (istri), ananda
Mikhael James van Cornellius Parasian Situmorang, Rafael Batchelder
Parsaulian Situmorang, Kayla Gabriella Situmorang, serta keluarga besar
Situmorang dan Manihuruk atas kasih dan doa yang luar biasa yang membuat
saya semakin termotivasi dan semakin bersemangat untuk mengikuti
perkuliahan sehingga akhirnya dapat menyelesaikan Tesis ini.

Akhir kata, saya berharap agar Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas
segala kebaikan dan memberkati semua pihak yang telah membantu. Saya
menyadari bahwa tesis ini belumlah sempurna bahkan jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, dengan segala kerendahan hati, saya mengharapkan masukan, saran
bahkan kritik yang membangun bagi penyempurnaan maupun perbaikan Tesis ini.
Saya sangat berharap semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
hukum.

Jakarta, 21 Januari 2013

Penulis

vi
Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah ini :

Nama : Ben Ronald P. Situmorang


NPM : 1106030416
Program Studi : Pascasarjana Ilmu Hukum
Fakultas : Hukum
Jenis Karya : Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
“Pengaruh Putusan Pengadilan tentang Gugatan Warga Negara
(Citizen Lawsuit) terhadap Pembaruan
Undang-Undang Hukum Acara Perdata”

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia /
formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
memublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak
Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : 21 Januari 2013
Yang Menyatakan

(Ben Ronald P. Situmorang)

vii
Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


ABSTRAK

Nama : Ben Ronald P. Situmorang


Program Studi : Pascasarjana Ilmu Hukum
Judul Tesis : Pengaruh Putusan Pengadilan Tentang Gugatan Warga Negara
(Citizen Lawsuit) terhadap Pembaruan Undang-Undang Hukum
Acara Perdata

Tesis ini membahas tentang pengaruh penemuan hukum yang dilakukan oleh
hakim melalui putusan pengadilan tentang gugatan warga negara (citizen lawsuit)
dalam memperbarui undang-undang tentang hukum acara perdata. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian normatif dan empiris, bersifat deskriptif dan
preskriptif. Data penelitian dianalisis dengan menggunakan metode bersifat
kualitatif. Hasil penelitian ini menyarankan agar hakim harus mampu menguasai
metode penemuan hukum terutama dalam mengadili gugatan warga negara agar
menyamakan persepsi tentang konsep gugatan warga negara dan agar pembentuk
undang-undang segera mengakomodir mekanisme gugatan warga negara ke dalam
undang-undang hukum acara perdata dimana putusan-putusan pengadilan sebagai
salah satu sumber hukumnya.

Kata kunci :

Gugatan warga negara (citizen lawsuit), hukum acara perdata, putusan pengadilan,
penemuan hukum, pembaruan hukum acara perdata.

viii
Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


ABSTRACT

Name : Ben Ronald P. Situmorang


Study Program : Graduate Legal Studies
Title : The Effect of Court Decision on the Citizen Lawsuit Against
Renewal the Law of Civil Procedure

The thesis discusses the effect of the lawmaking by the judge through a court
decision on the citizen lawsuit against renewal the law of civil procedure. This
study uses empirical and normative research, descriptive and prescriptive. The
research data were analyzed using qualitative method. The researcher suggests
that judges must have the ability of lawmaking method, especially in adjudicate of
citizen lawsuit in order to make the perception of the concept of citizen lawsuit
and that the legislators promptly accommodate citizen lawsuit mechanism in the
law of civil procedure in Indonesia.

Keywords:
Citizen lawsuit, the law of civil procedure, court decisions, judicial lawmaking,
renewal the law of civil procedure.

ix
Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………. i


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ……………………………. ii
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………. iii
KATA PENGANTAR ………………………………………………………... iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ....…………. vii
ABSTRAK …………………………………………………………………… viii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………… x
DAFTAR TABEL …………………………………………………………… xv

1. PENDAHULUAN …………..………………………………….……….. 1
1.1. Latar Belakang ………………………………………………..……… 1
1.2. Identifikasi Permasalahan dan Pokok Permasalahan ………................... 9
1.3. Kerangka Teori ………….………………………………………........ 10
1.3.1 Teori Realisme Hukum oleh
Oliver Wendell Holmes Jr (1841-1935) ……………………….. 11
1.3.2 Teori Hukum Pembangunan oleh
Mochtar Kusumaatmadja ……………….................................... 17
1.4 Kerangka Konsepsional …………………………………………........ 21
1.4.1 Pengaruh ………………………………………………………. 21
1.4.2 Putusan Pengadilan ………………………………………..…… 22
1.4.3 Penemuan Hukum ………………………………………………. 23
1.4.4 Gugatan Warga Negara (citizen lawsuit) ………………………. 23
1.4.5 Pembaruan Hukum ………………………………………..…… 24
1.4.6 Hukum Acara Perdata ……………………………………….… 25
1.5 Metode Penelitian Hukum …………………………………………… 27
1.5.1 Jenis Penelitian …………………………………………….…... 27
1.5.2Jenis Data ………………………………………..……….. 29
1.5.3Alat Pengumpulan Data ……………………………………. 31
1.5.4 Analisis Data ……………………………………………………. 37
1.6 Tujuan Penelitian …………………………….……………………….. 38
1.7 Manfaat Penelitian ……………………………….…………………… 38

x
Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


1.8 Sistematika Penulisan ……………………………….………………... 39

2. KONSEP CITIZEN LAWSUIT ATAU ACTIO POPULARIS ………... 41


2.1 Perkembangan Citizen Lawsuit Atau Actio Popularis ………………. 41
2.2. Gugatan Warga Negara
(Citizen Lawsuit atau Actio Popularis) di Indonesia …………............ 62
2.3 Pengertian Standing, Notifikasi, Kepentingan Umum
dan Perbuatan Melawan Hukum dalam
Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit) ……………………………. 69
2.4 Perbandingan Antara Citizen Lawsuit atau Actio Popularis
dengan Class Action …………………………………………………. 89
2.5 Perbandingan Antara Citizen Lawsuit atau Actio Popularis
dengan Legal Standing ………………………………………............ 93

3. PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM


RANGKA PEMBARUAN HUKUM ACARA PERDATA …………… 98
3.1 Hukum Acara Perdata di Indonesia Belum Lengkap ………………… 98
3.2 Penemuan Hukum Oleh Hakim ………………………………............ 109
3.3 Putusan Pengadilan Dalam Perkara Perdata …………………………. 130
3.4 Pembaruan Hukum …………………………………………………... 138

4. PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN TENTANG


GUGATAN WARGA NEGARA (CITIZEN LAWSUIT)
TERHADAP PEMBARUAN UNDANG-UNDANG
HUKUM ACARA PERDATA …………………………………………. 148
4.1 Putusan Pengadilan Yang Mengabulkan
Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit)
Sampai Dengan Putusan Akhir ……………………………………….. 148
4.1.1 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat antara
Munir dkk melawan NEGARA REPUBLIK INDONESIA cq.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, dkk,
Putusan Jakarta Pusat Nomor : 28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst. …... 148
4.1.1.1 Kasus Posisi …………………………………………….. 149

xi
Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


4.1.1.2 Pertimbangan hukum Putusan Sela …………………….. 152
4.1.1.3 Pertimbangan Hukum Putusan Akhir …………………... 153
4.1.1.4 Analisis Putusan Sela dan Putusan Akhir ……………… 157
4.1.2 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat antara
KRISTIONO dkk melawan NEGARA REPUBLIK INDONESIA
cq. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, dkk,
Putusan Jakarta Pusat Nomor : 228/PDT.G/2006/PN.Jkt.Pst .… 168
4.1.2.1 Kasus Posisi …………………………………………… 169
4.1.2.2 Pertimbangan Hukum Putusan Sela ……………………. 170
4.1.2.3 Pertimbangan Hukum Putusan Akhir …………………... 173
4.1.2.4 Analisis Putusan Sela dan Putusan Akhir ……………… 175
4.1.3 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat antara
Ir. H. SAID IQBAL, M.E. dkk melawan
NEGARA REPUBLIK INDONESIA cq.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, dkk,
Putusan Jakarta Pusat Nomor : 278/PDT.G/2010/PN.Jkt.Pst. … 182
4.1.3.1 Kasus Posisi …………………………………………….. 183
4.1.3.2 Pertimbangan Hukum Putusan Sela ……………………. 189
4.1.3.3 Pertimbangan Hukum Putusan Akhir …………………... 189
4.1.3.4 Analisis Putusan Sela dan Putusan Akhir ……………… 197
4.2 Perkembangan Penemuan Hukum Gugatan Warga Negara
(Citizen Lawsuit) berdasarkan Putusan Pengadilan
Yang Mengabulkan Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit)
Sampai Dengan Putusan Akhir ……………………………………….. 205
4.3 Putusan Pengadilan Selain Ketiga Putusan Pengadilan
Yang Mengabulkan Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit) ……… 210
4.3.1 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
533/Pdt.G.IX/1987/PN Jkt.Pst, tanggal 1 Juni 1988 jo.
Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 158/ Pdt/1989/PT.DKI
antara R.O. Tambunan melawan P.T. Rokok Bentoel,
Pemerintah RI cq. Gubernur Daerah Khusus Ibukota
(DKI) Jakarta dkk. ……………………………………………… 210

xii
Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


4.3.1.1 Kasus posisi ……………………………………………. 210
4.3.1.2 Pertimbangan hukumnya ………………………………. 212
4.3.2 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
251/Pdt/G.IX/1988/PN Jkt.Pst, tanggal 2 Agustus 1988
antara Mochtar Pakpahan melawan Gubernur Daerah Khusus
Ibukota (DKI) Jakarta, serta Kepala Dinas/ Kantor Wilayah
Kesehatan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. …………….. 213
4.3.2.1 Kasus posisi ………………………………………….... 213
4.2.2.2 Pertimbangan hukumnya ……………………………… 215
4.3.3 Putusan Sela Perkara Nomor 145/Pdt.G/2009/PN.JKT.PST.
tanggal 03 Juni 2009, antara Standarkiaa dkk
melawan Negara Republik Indonesia cq.
Komisi Pemilihan Umum dan Negara Republik Indonesia
cq. Presiden Republik Indonesia ……………………………….. 216
4.3.3.1 Kasus posisi …………………………………………….. 216
4.3.3.2 Pertimbangan Hukumnya ………………………………. 219
4.3.4 Putusan Sela Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
476/PDT.G/2009 /PN.JKT.PST, tanggal 12 Mei 2010, dan
Putusan Akhir Nomor 476/PDT.G/2009 /PN.JKT.PST,
tanggal 19 Agustus 2010, antara David M.L.
Tobing, SH.,MKn, dkk melawan Negara Republik Indonesia
cq. Presiden Republik Indonesia dkk. …………………………. 222
4.3.4.1 Kasus posisi ……………………………………………. 222
4.3.4.2 Pertimbangan hukumnya ………………………………. 224
4.3.5 Putusan Sela Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
111/PDT.G/2010 /PN.JKT.PST, tanggal 13 Oktober 2011,
antara Febri Irwansyah dkk, melawan
Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia dkk. ………………….. 227
4.3.5.1 Kasus posisi ……………………………………………. 227
4.3.5.2 Pertimbangan hukumnya ………………………………. 230
4.3.6 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
500/PDT.G/2010/PN.JKT.PST, tanggal 13 Oktober 2011

xiii
Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


antara Prof. Dr. ADLER H. MANURUNG dkk,
melawan Negara Republik Indonesia cq. Kementerian
Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dkk. ……………. 233
4.3.6.1 Kasus posisi ……………………………………………. 233
4.3.6.2 Pertimbangan hukumnya ………………………………. 235
4.3.7 Putusan Sela Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
53/PDT.G/2012/PN.JKT.PST, tanggal 25 Juli 2012,
antara Agustinus Dawarja, dkk melawan Pemerintah
Propinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta dkk. ................... 237
4.3.7.1 Kasus posisi …………………………………………….. 237
4.3.7.2 Pertimbangan hukumnya ………………………………. 239
4.4 Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Selain Ketiga
Putusan Pengadilan Yang Mengabulkan
Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit) …………………………….. 241
4.5 Putusan Pengadilan sebagai Sumber Pembaruan
Hukum Acara Perdata ………………………………………………... 249

5. KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………….. 276


5.1 Kesimpulan …………………………………………………………… 276
5.2 Saran ………………………………………………………………….. 277

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………... 279

xiv
Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 : Persamaan dan Perbedaan antara gugatan warga negara


(citizen lawsuit) dengan Actio Popularis ……………………. 61
Tabel 2.2. : Perbedaan citizen lawsuit dengan class action ………………….. 92
Tabel 2.3. : Perbedaan class action dengan legal standing ………………….. 95
Tabel 2.4. : Perbedaan citizen Lawsuit, class action, legal standing
dan gugatan perdata biasa ……………………………………….. 96
Tabel 3.1 : Perbandingan putusan sela dan putusan akhir …………………… 136
Tabel 4.1 : Perkembangan penemuan hukum gugatan warga negara
(citizen lawsuit) dalam putusan pengadilan di Indonesia ………… 205
Tabel 4.2 : Perkembangan putusan pengadilan selain ketiga
putusan pengadilan yang mengabulkan
gugatan warga negara (citizen lawsuit) …..…………………….. 241
Tabel 4.3 : Pembaruan Hukum Acara Perdata
Berkaitan dengan Standing …………………………………….. 266

xv
Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam rangka perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945, maka dalam Perubahan Ketiga pada tahun 2002,
konsepsi Negara Hukum atau “Rechtsstaat” yang sebelumnya hanya
tercantum dalam Penjelasan UUD 1945, dirumuskan dengan tegas dalam
Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah Negara
Hukum.” Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa “Dalam konsep Negara
Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam
dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun
ekonomi”.1

Bambang Kesowo menyatakan bahwa “Pemahaman terhadap


konsepsi negara hukum ternyata memang bukan proses yang cepat dan
sekali tuntas”. Mahfud dengan panjang lebar menuturkan perbedaan asal
usul dan pergeseran pemahaman sekitar konsepsi tentang Rechtsstaat dan
Rule of Law yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan secara sama
sebagai Negara Hukum.2

1
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, http://jimly.com/makalah/ namafile/57/
Konsep_Negara_ Hukum_ Indonesia.pdf. Diakses pada tanggal 12 Desember 2011, hal.1, Sebelum
adanya perubahan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, baik pada bagian Pembukaan maupun
bagian Batang Tubuh (pasal-pasalnya), tidak ada satu perkataan atau kalimat yang menyatakan
bahwa Indonesia adalah negara hukum, tetapi hal tersebut dimuat dalam Penjelasan Bagian Umum
Tentang Sistem Pemerintahan Negara, Pokok Pikiran I yang menyatakan bahwa “Negara
Indonesia adalah berdasar atas hukum (Rechtstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka
(Machtstaat), untuk lebih jelasnya lihat Joeniarto, Negara Hukum, (Yogyakarta : Yayasan Badan
Penerbit Gadjah Mada, 1968), hal 1-2. Satjipto Rahardjo menyatakan “Memang sudah menjadi
rumusan klasik di negeri kita, bahwa negeri ini “berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan
kekuasaan semata”. Indonesia adalah negara yang dalam konstitusinya dengan cukup bagus dan
jelas menggambarkan kaitan antara hukum dan kekuasaan”, Satjipto Rahardjo Penegakan Hukum
Progresif ( Jakarta : PT Kompas Media Nusantara, 2010), hal. 154.
2
Bambang Kesowo, Negara Hukum, Program Legislasi Nasional Dan Kebutuhan Desain Besar
Bagi Perencanaannya, Pidato disampaikan pada Rapat Senat Terbuka dalam rangka Dies Natalis
ke-66 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 17 Pebruari 2012, hal. 3.

1
Universitas Indonesia
Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.
2

Gagasan, cita, atau ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep
‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan konsep
‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan
nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau
‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’
adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam
penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah
nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip
hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggris yang
dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule
of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of
Law, and not of Man”. Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin
adalah hukum itu sendiri, bukan orang.3

Konsep negara hukum modern di Eropa Kontinental dikembangkan


dengan menggunakan istilah Jerman yaitu "rechtsstaat" antara lain oleh
Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain. Sedangkan
dalam tradisi Anglo Amerika konsep negara hukum dikembangkan dengan
sebutan ‘The Rule of Law" yang dipelopori oleh A.V. Dicey.4

Menurut Stahl, Konsep negara hukum yang disebut sebagai istilah


“rechtsstaat” mencakup 4 (empat) elemen penting, yaitu :5

1. Perlindungan hak asasi manusia.


2. Pembagian kekuasaan.
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
4. Peradilan Tata usaha negara.

3
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, op. cit., Hal. 2. Berkaitan dengan negara
hukum di mana hukum sebagai pemimpin Charles Himawan dengan mengutip perkataan Thomas
Paine (1737-1809) yang berkata “Dalam negara Demokrasi, Hukum adalah Raja (The Law is
King), berpendapat bahwa hukum dapat dipergunakan sebagai media untuk menegakkan unsur-
unsur demokrasi, lihat Charles Himawan, Hukum Sebagai Panglima Abun Sanda. Ed. (Jakarta :
PT Kompas Media Nusantara, 2003), hal 185-186.
4
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, .(Jakarta : PT Bhuana Ilmu
Populer, 2009), hal. 395
5
Ibid. hal, 396, lihat juga Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, (Jakarta : Erlangga,
Cetakan kedua, 1985), hal. 16.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


3

A.V. Dicey menyebutkan tiga ciri penting “The Rule of Law”,


yaitu :

1. Supremacy of Law.
2. Equality Before the Law.
3. Due Process of Law. 6

Dari pengertian negara hukum “the rule of Law‟ yang dikemukakan


oleh A.V Dicey tersebut diatas, maka dapat dilihat ada perbedaan antara
konsep rechtstaat dengan konsep the Rule of Law. Perbedaan tersebut adalah
pada konsep rechtstaat peradilan administrasi negara merupakan suatu
sarana yang sangat penting dan sekaligus pula ciri yang menonjol pada
rechstaat itu sendiri. Sedangkan dalam the rule of law, peradilan
administrasi tidak diterapkan, karena kepercayaan masyarakat yang
demikian besar kepada peradilan umum. Pada konsep rule of law hukum
ditegakkan secara adil dan tepat. Karena semua orang mempunyai
kedudukan yang sama di hadapan hukum, maka ordinary court dianggap
cukup untuk mengadili semua perkara termasuk perbuatan melanggar
hukum oleh pemerintah.7

Bahkan di zaman modern ini, lahir negara hukum materiil (dinamis)8


yaitu konsep negara hukum telah menggabungkan prinsip-prinsip
rechtsstaat yang dikembangkan oleh Julius Stahl dengan prinsip-prinsip the
rule of law yang dikembangkan oleh A.V. Dicey. Pada tahun 1965
International Comission of Jurist pada konferensinya di Bangkok Thailand

6
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, loc. cit.
7
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari
segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Medinah dan Masa Kini, (Jakarta :
Kencana, 2004), hal. 90-91.
8
Utrecht sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie membedakan antara Negara Hukum Formil
atau Negara Hukum Klasik, dan Negara Hukum Materiel atau Negara Hukum Modern. Negara
Hukum Formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti
peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan yang kedua, yaitu Negara Hukum Materiel
yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di dalamnya, lihat Jimly Asshiddiqie,
Gagasan Negara Hukum Indonesia, op. cit., hal. 3, berkaitan dengan Negara Hukum Formil atau
Negara Hukum Klasik, dan Negara Hukum Materiel atau Negara Hukum Modern ini lihat juga
Joeniarto, op. cit., hal 18-21.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


4

merumuskan ciri-ciri pemerintahan yang demokratis di bawah negara hukum


materiil (dinamis) sebagai berikut :

1. Perlindungan konstitusional, artinya, selain menjamin hak-hak individu


konstitusi harus pula menentukan cara procedural untuk memperoleh
perlindungan atas hak-hak yang dijamin;
2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
3. Pemilihan umum yang bebas;
4. Kebebasan menyatakan pendapat;
5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi;
6. Pendidikan kewarganegaraan.9

Sedangkan Oemar Seno Adji dengan mendasarkan pada prinsip-


prinsip “The Rule of Law” yang dikemukakan oleh A.V. Dicey
sebelumnya, mengungkapkan bahwa tiga ciri khusus negara hukum
Indonesia, yaitu :

1. pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi yang mengandung


perlakuan yang sama di bidang-bidang politik, hukum, sosial ekonomi,
budaya dan pendidikan,
2. legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya,
3. peradilan yang bebas, tidak bersifat memihak, bebas dari segala
pengaruh kekuasaan lain. 10

Sebagaimana diuraikan di atas, salah satu ciri negara hukum adalah


pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi yang mengandung
perlakuan yang sama di bidang-bidang hukum, hal inilah yang menjadi
dasar pemikiran adanya aturan gugatan perdata konvensional. Secara

9
Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia (Studi Tentang Interaksi Politik dan
kehidupan Ketatanegaraan), (Jakarta : Rineka Cipta, 2003), hal. 30. Selanjutnya Mahfud MD
menyatakan bahwa “Negara Hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
mengambil konsep prismatik atau integratif dari dua konsepsi tersebut sehingga “kepastian
hukum” dalam Rechtsstaat dipadukan dengan prinsip “keadilan” dalam the Rule of Law. Indonesia
tidak memilih salah satunya tetapi memasukkan unsur-unsur baik dari keduanya”, lihat Moh.
Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta : Rajawali Press,
2011), hal. 26.
10
Oemar Seno Adji, op. cit., hal. 167.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


5

umum, model gugatan perdata ada dua macam, yaitu gugatan yang
dilakukan melalui peradilan disebut litigasi, dan gugatan yang dilakukan di
luar pengadilan alternatif penyelesaian sengketa. Gugatan perdata atas
hubungan perdata dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, orang
yang bersangkutan atau ahli warisnya. Kedua, sekelompok orang yang
mempunyai kepentingan yang sama. Model-model gugatan yang
mengatasnamakan kepentingan orang banyak atau kepentingan umum ini
beragam, dan dikenal dengan sebutan gugatan-gugatan class action, actio
popularis, citizen lawsuit. dan NGO's standing.11

Prosedur gugatan dengan menggunakan mekanisme citizen lawsuit


adalah perwujudan akses individual/orang perorangan warga negara untuk
kepentingan keseluruhan warga negara atau kepentingan publik, dimana
setiap warga negara dapat melakukan gugatan terhadap tindakan atau
bahkan pembiaran (omisi) oleh negara terhadap hak-hak warga negara.
Riilnya misalnya ada pelanggaran hak (asasi/hukum) atau pelanggaran
hukum oleh negara di mana si penggugat tidak harus merupakan pihak yang
mengalami kerugiaan rill atau langsung, termasuk untuk kepentingan alam
dan lingkungan hidup (natural and environmental issues) dengan
mengajukan gugatan di pengadilan, guna menuntut agar penyelenggara
negara melakukan penegakan hukum yang diwajibkan kepadanya atau untuk
memulihkan kerugian publik yang terjadi. 12

Citizen lawsuit atau citizen suit sebenarnya tidak dikenal dalam


sistem hukum civil law sebagaimana yang diterapkan di Indonesia. Mungkin
padanan yang pas dalam sistem hukum civil law adalah actio popularis.13

Citizen lawsuit sendiri lahir di negara-negara yang menganut sistem


hukum common law, dan dalam sejarahnya citizen lawsuit pertama kali
diajukan terhadap permasalahan lingkungan. Namun pada

11
Susanti Adi Nugroho, Class Action dan Perbandingannya dengan Negara Lain, (Jakarta :
Kencana, 2010) hal. 384.
12
Bambang H. Mulyono, Citizen Lawsuit Perlukah PERMA untuk Implementasi?, (Jakarta :
IKAHI, Varia Peradilan Tahun ke XXIV No. 286, September 2009), hal. 48.
13
Ibid.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


6

perkembangannya, citizen lawsuit tidak lagi hanya diajukan dalam perkara


lingkungan hidup, tetapi pada semua bidang di mana negara dianggap
melakukan kelalaian dalam memenuhi hak warga negaranya.14

Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa “setiap anggota warga


negara atas nama kepentingan umum dapat menggugat negara atau
pemerintah atau siapa saja yang melakukan perbuatan melawan hukum,
yang nyata-nyata merugikan kepentingan umum dan kesejahteraan
masyarakat luas. Dalam actio popularis, hak mengajukan gugatan bagi
warga Negara atas nama kepentingan umum adalah tanpa syarat, sehingga
orang yang mengambil inisiatif mengajukan gugatan tidak harus orang yang
mengalami sendiri kerugian secara langsung, dan juga tidak memerlukan
surat kuasa khusus dari anggota masyarakat yang diwakilinya”.15

Sebagai terobosan baru dalam hukum acara Indonesia mekanisme


citizen lawsuit belum diatur dalam peraturan apapun. Sekalipun di beberapa
negara lain mekanisme ini telah diakui dan diatur dalam hukum acara
dan/atau hak warga negara untuk menggunakan mekanisme ini dijamin
dalam undang-undang materil sektoral namun di Indonesia sejauh ini
mekanisme tersebut muncul dalam praktik beracara dan belum diatur dalam
legislasi.16

Dunia hukum Indonesia pantas berterima kasih kepada Almarhum


Munir. Almarhum Munir meninggalkan warisan yang cukup berharga dalam
bentuk penemuan hukum melalui mekanisme citizen lawsuit ini. Majelis
Hakim Jakarta Pusat dengan Ketua Majelis Andi Samsan Nganro
mengabulkan gugatan Munir dan kawan-kawan. Majelis hakim

14
Ibid., hal. 48-49.
15
Sudikno Mertokusumo, Actio Popularis, http://sudiknoartikel.blogspot.com/2008/03/actio-
popularis.html, 19 Maret 2008, diakses tanggal 12 Desember 2011.
16
Afridal Darmi, Mari Mengenal Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit),
http://www.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=601:mari-
mengenal-gugatan-warga-negara-citizen-lawsuit&catid=73:politik-hukum-ham-resolusi-
konflik&Itemid=124, 11 Agustus 2011 dan diakses pada tanggal 12 Desember 2011.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


7

memerintahkan pemerintah Republik Indonesia untuk menerbitkan


17
pengaturan tentang perlindungan tenaga kerja.

Namun dua percobaan citizen lawsuit berikutnya tidak segemilang


itu hasilnya. Gugatan citizen lawsuit yang diajukan oleh Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) APIK atas kelalaian pemerintah Republik Indonesia yang
berakibat naiknya Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak diterima oleh Majelis
Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Demikian juga gugatan citizen
lawsuit yang diajukan oleh LBH Jakarta atas Operasi Yustisi juga tidak
diterima Majelis Hakim PN yang sama. Sebaliknya gugatan citizen lawsuit
LBH Jakarta atas penyelenggaraan Ujian Nasional dikabulkan untuk
sebagian. Pemerintah Republik Indonesia diminta meninjau ulang kebijakan
penyelenggaraan Ujian Nasional.18

Sebenarnya dalam praktik peradilan di Indonesia, gugatan yang


dilakukan oleh individu dengan mengatasnamakan kepentingan umum sudah
pernah diajukan pada tahun 198719 dan tahun 1988.20 Hakim dalam putusan
kedua perkara tersebut berpendapat bahwa gugatan yang diajukan penggugat
mirip dengan prinsip actio popularis, karena prinsip actio popularis tersebut
belum dikenal di Indonesia dan harus tertuang di dalam perundang-
undangan maka kedua gugatan tersebut tidak dapat diterima.21

17
Ibid. Majelis hakim PN Jakarta Pusat menyatakan bahwa gugatan model Citizen Lawsuit sah-sah
saja, Lihat juga http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol19251/melalui-citizen-lawsuit-
masyarakat-bisa-gugat-pemerintah, diakses pada tanggal 12 Desember 2011.
18
Ibid, lihat juga Arko Kanandito, Konsep Citizen Lawsuit di Indonesia,
http://kanadianto.wordpress.com/2008/01/23/konsep-citizen-lawsuit-di-indonesia/, 23 Januari
2008, diakses pada tanggal 12 Desember 2011.
19
Kasus “Rokok Bentoel” dengan Penggugat R.O. Tambunan melawan P.T. Rokok Bentoel,
Pemerintah RI cq. Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Pemerintah RI cq. Menteri
Kehakiman cq. Dirjen Hukum dan Perundang-Undangan RI, cq. Dirjen Paten dan Hak Cipta, serta
Pengusaha Radio Prambors, dengan Putusan PN Jakarta Pusat No. 533/Pdt/G/1987/PN Jkt.Pst jo.
Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 158/ Pdt/1989/PT. DKI, lihat E. Sundari, Pengajuan
Gugatan Secara Class Action, (Suatu Studi Perbandingan & Penerapannya di Indonesia),
(Yogyakarta : Universitas Atmajaya, 2002), hal. 113-115.
20
Kasus “Demam Berdarah” dengan Penggugat Mochtar Pakpahan melawan para Tergugat adalah
Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, serta Kepala Dinas/ Kantor Wilayah Kesehatan
Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, dengan putusan PN Jakarta Pusat No. 251/Pdt/G/1988/PN
Jkt.Pst, lihat Ibid., hal. 115-116.
21
Ibid., hal 113-116, lihat juga Paulus Effendi Lotulung Paulus Effendi Lotulung, Penegakan
Hukum Lingkungan oleh Hakim Perdata, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 62-63.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


8

Dari contoh-contoh tersebut dapat dilihat bahwa di antara sesama


Hakim sendiri masih belum ada kesesuaian pendapat mengenai mekanisme
gugatan ini. Beberapa hakim yang cukup progresif menerima kehadiran
bentuk gugatan citizen lawsuit namun beberapa hakim lain tidak. Alasan
utama di balik masih belum adanya kesepakatan kalangan hakim ini adalah
karena hingga saat ini mekanisme gugatan ini memang belum diatur dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sekalipun hakim memiliki
kewenangan untuk menemukan hukum namun kewenangan itu adalah hanya
untuk kasus individual yang sedang ditanganinya. Berdasarkan prinsip non
legal binding of jurisprudence maka hakim berikutnya yang menangani
perkara yang mirip tidak wajib mengikuti putusan hakim yang terdahulu,
sebagaimana terlihat dalam keempat contoh tersebut di atas.22

Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, baik dalam Hukum acara


perdata yang berlaku saat ini – HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement)
dan Rbg (Rechtsreglement Buitengeweten) – maupun dalam Rancangan
Undang-Undang Tentang Hukum Acara Perdata tahun 2008 serta Naskah
Akademis tentang Rancangan Hukum Acara Perdata tahun 2011 juga belum
mengatur maupun membahas mengenai mekanisme gugatan warga negara
(citizen lawsuit) tersebut.23

22
Afridal Darmi, Ibid, lihat juga Arko Kanandito, Ibid, lihat juga Susanti Adi Nugroho, op. cit.,
hal. 391.
23
Dalam Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Perdata tahun 2008 khususnya Bab II
TUNTUTAN HAK Bagian Kesatu Gugatan dan Permohonan, Pasal 2 sampai dengan Pasal 12,
mengatur tentang pengajuan gugatan yang dilakukan oleh setiap orang, gugatan perwakilan kelompok
dan Legal Standing, belum mengatur mengenai Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit), untuk
lengkapnya lihat Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia, Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor … Tahun
… Tentang Hukum Acara Perdata (Draft Maret 2008), (Jakarta : Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2008), begitu
juga dalam naskah akademis tentang Rancangan Hukum Acara Perdata tahun 2011 khususnya Bab V
tentang Jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan Undang-Undang Hukum
Acara Perdata, huruf B Materi Yang akan Diatur, hanya membahas tentang pengajuan gugatan
oleh individu maupun gugatan perwakilan kelompok (class action) untuk lebih lengkapnya lihat
Tim Penyusun Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata,
Naskah Akademik tentang Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Perdata tahun 2011,
tanggal 30 Nopember 2011,
http://www.bphn.go.id/data/documents/Naskah%20Akademis%20RUU%20Tentang%20Hukum%20Aca
ra%20Perdata%20%202011.pdf, diakses pada tanggal 11 Agustus 2012, hal. 68-69.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


9

Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya jelaslah bahwa mekanisme


gugatan warga negara (citizen lawsuit) ini belum diatur dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia, dan juga baru ada satu Putusan Mahkamah
Agung yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri. Hakim di Indonesia
menganut prinsip non legal binding of jurisprudence, sehingga Hakim
Pengadilan Negeri melalui putusannya sudah ada yang menerima atau mengakui
mekanisme gugatan tersebut walaupun ada juga Hakim yang belum menerima
atau belum mengakuinya. Oleh karena itulah peneliti tertarik untuk membahas
tentang pengaruh putusan Pengadilan terhadap mekanisme gugatan warga
negara (citizen lawsuit) sebagai satu karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan
judul : “Pengaruh Putusan Pengadilan tentang Gugatan Warga Negara (Citizen
Lawsuit) terhadap Pembaruan Undang-Undang Hukum Acara Perdata”.

1.2 Identifikasi Permasalahan dan Pokok Permasalahan

Hukum Acara yang berlaku saat ini, HIR (Het Herziene Indonesisch
Reglement) dan Rbg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten),
berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-
Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan,
Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil, maupun dalam Rancangan Undang-
Undang tentang Hukum Acara Perdata tahun 2008 serta naskah akademis
tentang Rancangan Hukum Acara Perdata tahun 2011 juga belum mengatur
maupun membahas mengenai mekanisme gugatan warga negara (citizen
lawsuit).

Hal ini bukan berarti menyebabkan gugatan yang menggunakan


mekanisme gugatan warga negara (citizen lawsuit) tidak dapat diajukan ke
pengadilan, di sinilah peran Hakim melalui Penemuan Hukum dapat menggali
nilai yang hidup dalam masyarakat, walaupun dalam praktik peradilan masih
terdapat perbedaan pendapat sesama Hakim dan belum menerima atau
mengakui mekanisme gugatan warga negara (citizen lawsuit).

Hakim yang belum menerima atau belum mengakui mekanisme


gugatan warga negara (citizen lawsuit) karena belum diatur dalam perundang-

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


10

undangan, sehingga tetap memerlukan adanya perundang-undangan sebagai


sumber hukum dalam memeriksa gugatan dengan mekanisme gugatan warga
negara (citizen lawsuit). Sedangkan sebaliknya Hakim yang menerima atau
mengakui mekanisme gugatan warga negara (citizen lawsuit) karena Hakim
dapat melakukan Penemuan Hukum walaupun hal tersebut belum diatur dalam
perundang-undangan.

Berdasarkan hal tersebut, maka yang menjadi pokok permasalahan


dalam penulisan ini adalah :
1. Apakah Hakim telah melakukan penemuan hukum terhadap gugatan
warga negara (citizen lawsuit) dihubungkan dengan putusan-putusan
pengadilan terhadap gugatan warga negara (citizen lawsuit) ?
2. Apakah dengan adanya putusan-putusan pengadilan tentang gugatan
warga negara (citizen lawsuit) dapat memengaruhi pembaruan undang-
undang hukum acara perdata ?

1.3 Kerangka Teori

Terminologi teori hukum (legal theory) seringkali disamakan dengan


terminologi filsafat hukum (legal philosophy), dan ilmu hukum
(jurisprudence). Erman Rajagukguk berpendapat bahwa di dalam
kenyataannya pemilihan terminologi tersebut tidaklah substansial sekali
melinkan hanya pilihan pribadi dari mereka yang membuat pilihan
tersebut.24

Selanjutnya Erman Rajagukguk menguraikan perbedaan filsafat


hukum dan teori hukum adalah filsafat hukum menekankan pembahasan
sebagian besar dari sudut filsafat, dan oleh karena itu menekankan penelitian
dan penyelidikan dari sudut tradisi filsafat. Sedangkan teori hukum
cenderung kepada bentuk operasional berdasarkan legal academy, yang
cenderung mengkonsentrasikan diri kepada rasionalisasi dan legitimasi dari
legal doctrine seperti perbuatan melawan hukum dan kontrak. Tentu dalam

24
Erman Rajagukguk, Filsafat Hukum (Materi Kuliah Pada Program Pasca Sarjana Ilmu hukum
Universitas Indonesia), 2011, hal. 2.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


11

pembahasan filsafat hukum tidak dapat dihindarkan membicarakan teori


hukum yang bersumber dari filsafat hukum.25

Dalam dunia akademis mempelajari teori hukum (legal theory)


berguna untuk mempergunakannya sebagai pisau analisis terhadap data yang
dikumpulkan dalam rangka penulisan suatu disertasi atau tesis. Teori
menjelaskan tentang hubungan antara fakta-fakta. Teori dapat merupakan
kerangka untuk melahirkan hipotesis atau pertanyaan-pertanyaan atau
masalah-masalah. Selanjutnya teori mengarahkan prosedur penelitian, tujuan
penelitian, dan pengumpulan data.26

Teori dikemukakan oleh para ahli untuk mempermudah kita


memahami gejala yang ada dalam masyarakat.27 Teori yang saat ini dikenal
antara lain, adalah hukum alam, teori positivis, functionalism, realisme, teori
yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach), dan lain-lain.28
Demikian juga untuk memahami gejala yang muncul sebagai akibat adanya
putusan pengadilan tentang gugatan warga negara (citizen lawsuit) dalam
pembaruan undang-undang hukum acara perdata.

Dalam penelitian ini, untuk menganalisis hubungan antara penemuan


hukum oleh hakim melalui putusan pengadilan tentang gugatan warga negara
(citizen lawsuit) terhadap pembaruan undang-undang hukum acara perdata,
maka peneliti akan menggunakan teori Realisme Hukum oleh Oliver
Wendell Holmes Jr (1841-1935) dan Teori Hukum Pembangunan oleh
Mochtar Kusumaatmadja.

1.3.1 Teori Realisme Hukum oleh Oliver Wendell Holmes Jr (1841-1935)

Menurut Theo Huijbers teori realisme hukum ini pertama kali


dipopulerkan di Amerika Serikat di mana di Amerika beberapa pemikir

25
Ibid, hal. 3.
26
Ibid, hal. 8.
27
Hikmahanto Juwana, Hukum Internasional Dalam Konflik Kepentingan Ekonomi Negara
Berkembang dan Negera Maju, Pidato pengukuhan diucapkan pada upacara pengukuhan Jabatan
Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 10 Nopember 2001.
28
Ibid.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


12

tentang hukum mengikuti arah yang telah digariskan dalam filsafat


pragmatisme. Pemikir-pemikir itu tidak memberi perhatian lagi kepada
masalah-masalah teoretis tentang hukum, bukan juga mengindahkan lagi
aspek normatif dari hukum. Bagi mereka hanya pentinglah apa yang
diperlakukan dengan hukum secara aktual. Orang-orang yang
menjalankan hukum ialah para hakim dan pegawai-pegawai pengadilan
lainnya. Mereka membuat hukum. Oleh karena itu kaidah-kaidah hukum
dipandang sebagai suatu generalisasi dari kelakukan para hakim. Maka
ilmu pengetahuan hukum harus pertama-tama berpedoman kepada
kelakukan hakim.29

Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa teori realisme hukum ini


lahir karena adanya pengaruh dari pemikiran modern mengenai hukum
yang datang dari apa yang disebut sebagai para ahli hukum realis, di
Amerika Serikat serta di Skandinavia. Mereka meninggalkan
pembicaraan mengenai hukum yang abstrak dan melibatkan hukum
kepada pekerjaan-pekerjaan praktis untuk menyelesaikan problem-
problem dalam masyarakat.30

Kaum realis tersebut mendasarkan pemikirannya pada suatu


konsepsi radikal mengenai proses peradilan. Menurut mereka, hakim itu
lebih layak untuk disebut sebagai membuat hukum daripada
menemukannya. Hakim harus selalu melakukan pilihan, azas mana yang
akan diutamakan dan pihak mana yang dimenangkan. Menurut mereka
ini, keputusan tersebut sering mendahului ditemukan dan digarapnya
peraturan-peraturan hukum yang menjadi landasannya.31

Satjipto Rahardjo memandang bahwa aliran realisme hukum ini


sebagai pembangkangan oleh pengadilan.32 Pembangkangan tersebut
terjadi karena pengadilan lebih mendengar gejolak dalam masyarakat

29
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta : Yayasan Kanisius,
1982), hal. 178.
30
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung : Penerbit Alumni, 1982) hal. 267-268.
31
Ibid.
32
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta : Buku Kompas, 2007), hal.39.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


13

dari pada mengikuti bunyi undang-undang. Filsafat atau aliran yang


legalistik-positivisme dipinggirkan dan digantikan oleh realisme
hukum.33

Berkaitan dengan teori Realisme hukum ini, Steven Vago dalam


bukunya Law and Society menyatakan bahwa This is based on the
conception of the judicial process whereby judges are responsible for
formulating law, rather than merely finding it in law books.34

Sarjana hukum yang untuk pertama kalinya mengemukakan teori


ini adalah Oliver Wendell Holmes Jr. (1841-1935), terutama dalam
karangannya yang berjudul The path of Law.35

Oliver Wendell Holmes Jr. dalam karangannya yang berjudul


The path of Law berpendapat sebagai berikut :

Take the fundamental question, What constitutes the law? You


will find some text writers telling you that it is something
different from what is decided by the courts of Massachusetts or
England, that it is a system of reason, that it is a deduction from
principles of ethics or admitted axioms or what not, which may
or may not coincide with the decisions. But if we take the view of
our friend the bad man we shall find that he does not care two
straws for the axioms or deductions, but that he does want to
know what the Massachusetts or English courts are likely to do
in fact. I am much of this mind. The prophecies of what the

33
Ibid.
34
Steven Vago Law and Society (New Jersey : Pearson Education, Inc. ninth edition, 2009), hal.
56.
35
Theo Huijbers, Loc. cit. Lihat juga Steven Vago, Loc. Cit, yang menyatakan bahwa “The
distinguished American judge and legal philosopher Oliver Wendell Holmes, is considered one of
the founders of the “legal realism” shool, Suri Ratnapala juga menyatakan bahwa : “Realist
thinking was introduced to American jurisprudence by Oliver Wendell Holmes Jr (1841-1935)”,
Lihat Suri Ratnapala, Jurisprudence (Cambridge : Cambridge University Press, 2009), hal. 97.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


14

courts will do in fact, and nothing more pretentious, are what I


mean by the law.36

Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut :

Coba berikan jawaban atas pertanyaan yang mendasar apa yang


dimaksud dengan hukum? Kalian akan menemukan beberapa
penulis akan mengatakan bahwa terdapat perbedaan antara apa
yang diputuskan oleh pengadilan di Massachusetts atau Inggris,
itu merupakan sistem pikirian-pikiran, hal tersebut merupakan
pikiran deduktif dari dasar etika atau tindakan-tindakan yang
diperkenankan, atau berasal dari sesuatu (apa saja) yang sesuai
atau tidak sesuai dengan putusan hakim tersebut. Akan tetapi
jika kita mengambil sudut pandang teman kita orang jahat - “the
bad man” - kita akan menemukan bahwa dia tidak peduli
tindakan atau deduksi-deduksi akan tetapi dia ingin mengetahui
apa yang pengadilan di Massachusetts atau Inggris lakukan
sesungguhnya dalam kenyataan. Saya lebih sepakat dengan apa
yang menjadi pikiran orang jahat (bad man) tersebut. Ramalan
(prediksi) apa yang pengadilan akan lakukan dalam kenyataan,
dan tidak muluk-muluk, adalah apa yang saya maksud dengan
hukum.

Hal ini juga sebagaimana dikutip oleh John Finch, di mana


Holmes menyatakan bahwa “The life of the law has not been logic : it
has been experience …. The prophecies of what the courts will do in
fact, and nothing more pretentious, are what I mean by the law”.37

36
Oliver Wendell Holmes, The Path of the Law, 10 Harvard Law Review 457 (1897),
http://www.constitution.org/lrev/owh/path_law.htm, diakses pada tanggal 7 Julis 2012.
37
John Finch, Introduction to Legal Theory ( London : Sweet & Maxwell, second edition,1974),
hal. 174.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


15

Steven Vago selanjutnya menyatakan bahwa :

Holmes stresses the limits that are set to the use of deductive
logic in the solution of legal problems”. He postulates that the
life of law has been experience and not logic and maintains that
only a judge or a lawyer who is acquainted with the historical,
social, and economic aspects of the law will be in position to
fulfill his or her functions properly.38
In His often-quoted essay “The Path of the Law”, Holmes
outlines some of his basic propositions and states that “a legal
duty so called is nothing but a prediction that if a man does or
omits certain things he will be made to suffer on this or that way
by judgement of a court”. A pragmatic approach to law, he
declares, must view the law from the point of view of the “bad
man.39

Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut :

Holmes menekankan batas-batas yang ditetapkan untuk


penggunaan logika deduktif dalam pemecahan masalah hukum.
Holmes mendalilkan bahwa hukum yang hidup tersebut adalah
berdasarkan pengalaman dan bukan logika dan mempertahankan
pendapatnya bahwa hanya hakim atau para ahli hukum yang
mengenal aspek sejarah, ekonomi, dan sosial terhadap hukum
akan menempati posisi untuk memenuhi fungsinya dengan
benar.
Dalam esai-nya yang sering dikutip " The Path of the Law ",
Holmes menguraikan beberapa proposisi dasar dan menyatakan
bahwa "tugas hukum hanyalah sebuah prediksi, bahwa jika
seorang manusia melakukan atau menghilangkan (mengabaikan)
hal-hal tertentu dia akan dibuat menderita di jalan ini atau itu

38
Steven Vago, loc. cit.
39
Ibid., hal. 57.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


16

dengan putusan pengadilan". Sebuah pendekatan pragmatis


terhadap hukum, ia menyatakan, harus melihat hukum dari sudut
pandang orang jahat (bad man).

Selanjutnya Suri Ratnapala menguraikan bahwa : “The following


four themes run through Holmes’s jurisprudence :

1. The law is an evolutionary process. It is the product of experience


and not logic. It reflects society’s adaptation to a changing world.
2. Courts play a vital role in the evolution of the law by actively
reforming the law to suit changing conditions. Decisions of the
appellate courts are presented as logical deductions fromestablished
rules, but in fact they are legislative in nature. Courts make new law
for new conditions.
3. Statutes depend for their efficacy on the courts and hence they are
not law until enforced by the courts.
4. Law, for the above reasons, turns out to be nothing more than
predicitons about how courts will decide a dispute.40

Menurut Holmes seorang sarjana hukum harus mengahadapi


gejala-gejala hidup secara realistis. Kalau dia berusaha mengambil sikap
yang demikian, dia akan sampai pada keyakinan bahwa para penjahat
sama sekali tidak mempunyai interest dalam prinsip-prinsip normatif
hukum, sekalipun kelakuan mereka seharusnya diatur menurut prinsip-
prinsip normatif hukum. Bagi mereka hanya penting manakah kelakuan
aktual (patterns of behaviour) seorang hakim, yakni pertanyaan, apakah
seorang hakim akan menerapkan sanksi pada suatu kelakuan yang
tertentu atau tidak.41

40
Suri Ratnapala, op. cit, hal. 97-98.
41
Theo Huijbers, Op. cit., hal. 179.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


17

1.3.2 Teori Hukum Pembangunan oleh Mochtar Kusumaatmadja

Teori Hukum Pembangunan mulai diperkenalkan oleh Mochtar


Kusumaatmadja, pakar hukum internasional, ketika menjadi pembicara
dalam Seminar Hukum Nasional pada tahun 1973.42

Otje Salman dan Eddy Damian menyatakan bahwa ada 2 (dua)


aspek yang melatarbelakangi kemunculan teori hukum ini, yaitu:
Pertama, ada asumsi bahwa hukum tidak dapat berperan bahkan
menghambat perubahan masyarakat. Kedua, dalam kenyataan di
masyarakat Indonesia telah terjadi perubahan alam pemikiran
masyarakat ke arah hukum modern.43

Mochtar Kusumaatmadja menguraikan :

Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban


dalam masyarakat. Mengingat fungsinya sifat hukum, pada
dasarnya adalah konservatif artinya, hukum bersifat memelihara
dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian
diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang
sedang membangun, karena di sini pun ada hasil-hasil yang
harus dipelihara, dilindungi dan diamankan. Akan tetapi,
masyarakat yang sedang membangun yang dalam definisi kita
berarti masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak
cukup memiliki fungsi demikian saja. Ia juga harus dapat
membantu proses perubahan masyarakat itu. Pandangan yang
kolot tentang hukum yang menitikberatkan fungsi pemeliharaan
ketertiban dalam arti statis, dan menekankan sifat konservatif

42
Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif (Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum
Pembangunan dan Teori Hukum Progresif), (Yogyakarta : Genta Publishing, 2012), hal. 60, lihat
juga Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung : PT.
Fikahati Aneska, 2012), hal. 183.
43
Otje Salman dan Eddy Damian (ed), Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan dari Prof.
Dr. Mochtar Kusumaatmadja,S.H.,LL.M., (Bandung : Penerbit PT.Alumni, 2002), hal. V.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


18

dari hukum, menganggap bahwa hukum tidak dapat memainkan


suatu peranan yang berarti dalam proses pembaharuan.44

Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya Hukum,


Masyarakat dan Perubahan Hukum Nasional juga menyatakan bahwa :

Walaupun perundang-undangan merupakan teknik utama untuk


melaksanakan pembaharuan45 hukum, pembaharuan kaidah-
kaidah dan azas serta penemuan arah atau bahan bagi
pembaharuan kaidah demikian juga menggunakan sumber-
sumber hukum lain yaitu keputusan badan-badan peradilan
(yurisprudensi).46

Perubahan yang teratur melalui prosedur hukum, baik ia


berwujud perundang-undangan atau keputusan badan-badan
peradilan lebih baik daripada perubahan yang tak teratur
dengan menggunakan kekerasan semata-mata.47

Di Indonesia di mana undang-undang merupakan cara


pengaturan hukum yang utama pembaharuan masyarakat
dengan jalan hukum berarti pembaharuan hukum terutama
melalui perundang-undangan.48

Romli Atmasasmita menyatakan bahwa pandangan Mochtar


Kusumaatmadja tentang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan
nasional, kemudian dikenal sebagai Teori Hukum Pembangunan,
diletakkan di atas premis yang merupakan inti ajaran atau prinsip sebagai
berikut :

44
Ibid., hal. 13-14.
45
Berkaitan dengan kata “pembaharuan” ini sebagaimana dikutip dari sumbernya, akan tetapi
untuk selanjutnya peneliti menggunakan kata “pembaruan” menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) sejauh tidak mengutip dari sumbernya.
46
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Perubahan Hukum Nasional, (Bandung :
Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum-Universitas Padjadjaran 1976,
Binacipta, Tanpa Tahun), hal. 12.
47
Ibid., hal. 12-13.
48
Ibid., hal. 13.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


19

1. Semua masyarakat yang sedang membangun selalu dicirikan oleh


perubahan dan hukum berfungsi agar dapat menjamin bahwa
perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur. Perubahan yang
teratur menurut Mochtar, dapat dibantu oleh perundang-undangan
atau keputusan pengadilan atau kombinasi keduanya. Beliau
menolak perubahan yang tidak teratur dengan menggunakan
kekerasan semata-mata.
2. Baik perubahan maupun ketertiban (atau keteraturan) merupakan
tujuan awal dari masyarakat yang sedang membangun, maka hukum
menjadi sarana (bukan alat) yang tidak dapat diabaikan dalam proses
pembangunan.
3. Fungsi hukum dalam masyarakat adalah mempertahankan
ketertiban melalui kepastian hukum dan juga hukum (sebagai kaidah
sosial) harus dapat mengatur (membantu) proses perubahan dalam
masyarakat.
4. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang
hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula
atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat itu.
5. Implementasi fungsi hukum tersebut di atas hanya dapat diwujudkan
jika hukum dijalankan oleh suatu kekuasaan, akan tetapi kekuasaan
itu sendiri harus berjalan dalam batas rambu-rambu yang ditentukan
di dalam hukum itu.49

Selanjutnya Romli Atmasasmita menguraikan bahwa kelima inti


Teori Hukum Pembangunan tersebut mencerminkan suatu pemikiran
tentang hukum, sebagai berikut : 50

1. Hukum hidup dan berkembang sejalan dengan perkembangan


masyarakat, berbeda dengan pemikiran Savigny, bahwa hukum
selalu tertinggal dari perkembangan masyarakat. Perkembangan

49
Romli Atmasasmita, op. cit., hal, 65-66.
50
Ibid., hal. 66-68.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


20

hukum dimaksud sejalan dengan pandangan aliran sociological


jurisprudence, yaitu satu-satunya cermin perkembangan masyarakat
hanya terdapat pada putusan pengadilan dengan asumsi bahwa
putusan pengadilan selalu mengandung nilai-nilai kebenaran yang
diakui masyarakat dimana hukum itu hidup dan berkembang.
2. Mochtar menambah – karena alasan historis sistem hukum indonesia
– bahwa perkembangan hukum yang sejalan dengan perkembangan
masyarakat juga dapat diciptakan melalui pembentukan perundang-
undangan, tidak hanya putusan pengadilan. Masalah krusial dalam
sistem hukum Indonesia yang mengutamakan undang-undang
sebagai sumber hukum daripada yurisprudensi adalah setiap undang-
undang merupakan produk politik yang tidak terlepas dari
kepentingan pengaruh kekuasaan.
3. Mochtar mengemukakan hukum sebagai sarana dalam pembangunan
bukan alat (tools) agar pembangunan dapat dilaksanankan dengan
tertib dan teratur; hukum sedemikian itu hanya dapat berfungsi jika
hukum itu sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat dan
merupakan pencerminan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Pandangan tersebut dalam kenyataan tidak selalu demikian karena
berbagai kepentingan partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat RI
masih sangat kuat dibandingkan dengan aspirasi dan kepentingan
masyarakat luas. Atas dasar kenyataan ini, maka hukum dalam arti
yurisprudensi yang dihasilkan pengadilan menjadi sangat penting
dan strategis dalam memfungsikan hukum sebagai sarana
pembangunan (pembaruan masyarakat).
4. Bahwa kepastian hukum tidak boleh dipertentangkan dengan
keadilan dan keadilan tidak boleh hanya ditetapkan sesuai dengan
kehendak pemegang kekuasaan, melainkan harus sesuai dengan
nilai-nilai (baik) yang berkembang dalam masyarakat. Teori Hukum
Pembangunan (Nasional) menurut Mochtar Kusumaatmadja tidak
meninggalkan sepenuhnya pandangan aliran analytical
jurisprudence, bahkan telah “merangkul” aliran “analytical

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


21

jurisprudence”, aliran “sociological jurisprudence” dan aliran


“pragmatic legal realism”. Bertolak dari ketiga aliran teori hukum
tersebut, penerapan Teori Hukum Pembangunan dalam praktik
hanya dapat dilakukan melalui cara pembentukan perundang-
undangan atau melalui keputusan pengadilan atau melalui
kedua-duanya.

1.4 Kerangka Konsepsional

Dalam penulisan tesis ini diperlukan kerangka konsepsional.


Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan
hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau akan diteliti.
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep
dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi,
antara abstraksi dan realitas.51

Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang


digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi
operasional.52

Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian tesis ini perlu


didefinisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi
untuk dapat menjawab permasalahan penelitian, yaitu sebagai berikut:

1.4.1 Pengaruh53

Menurut Alvin Z. Rubenstein dalam bukunya Soviet and Chinese


Influense in The Third World sebagaimana yang dikutip Teuku May
Rudy, berpendapat bahwa: “Pengaruh adalah hasil yang timbul sebagai
kelanjutan dari situasi dan kondisi tertentu sebagai sumbernya, dalam hal

51
Masri Singarimbun dkk, ed. Metode Penelitian Survei, (Jakarta : LP3ES, 1989), hal. 34, lihat
juga Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986).hal. 132.
52
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Raja Grafindo, 1998), hal. 3.
53
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “Pengaruh” diartikan sebagai “daya yg
ada atau timbul dr sesuatu (orang, benda) yg ikut membentuk watak, kepercayaan, atau perbuatan
seseorang”, lihat Kementerian Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses pada tanggal 24 September 2012.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


22

ini syaratnya adalah bahwa terdapat keterkaitan (relevansi) yang kuat


dan jelas antara sumber dengan hasil”.54

Menurut T. May Rudy, pengaruh sendiri dapat dianalisis dalam


empat macam bentuk:55

1. Pengaruh sebagai aspek kekuasaan, pada hakikatnya adalah sarana


untuk mencapai tujuan.
2. Pengaruh sebagai sumber daya yang digunakan dalam tindakan
terhadap pihak lain, melalui cara-cara persuasif, sampai koersif
dengan maksud mendesak untuk mengikuti kehendak yang
memberikan pengaruh.
3. Pengaruh sebagai salah satu proses dalam rangka hubungan antara
satu sama lainnya (individu, kelompok, organisasi, dan negara).
4. Besar-kecilnya pengaruh ditinjau secara relatif dengan
membandingkan melalui segi kuantitas (besar-kecilnya keuntungan
atau kerugian).

1.4.2 Putusan Pengadilan

Menurut Sudikno Mertokusumo, Putusan Hakim adalah “suatu


pernyataan yang oleh Hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang
untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.56

Dalam Pasal 1 angka 10 Rancangan Undang-Undang Hukum Acara


Perdata tahun 2008 diuraikan bahwa Putusan pengadilan adalah putusan
hakim dalam bentuk tertulis yang diucapkan di sidang pengadilan yang

54
Teuku May Rudy, Teori, Etika dan Kebjiakan Hubungan Internasional, (Bandung : Angkasa,
1993), hal 26.
55
Ibid., hal 24-25.
56
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta : Liberty, 1993), hal. 174.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


23

terbuka untuk umum dengan tujuan untuk menyelesaikan dan/atau


mengakhiri gugatan.57

1.4.3 Penemuan Hukum

Apa yang dimaksud dengan penemuan hukum lazimnya adalah


proses pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang
ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa
hukum konkrit. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa penemuan hukum
adalah proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das
Sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit
(das Sein) tertentu.58

1.4.4 Gugatan Warga Negara (citizen lawsuit)

Citizen lawsuit59 pada intinya adalah mekanisme bagi warga


negara untuk menggugat tanggung jawab penyelenggara negara atas
kelalaian dalam memenuhi hak-hak warga negara. Kelalaian tersebut
didalilkan sebagai perbuatan melawan hukum, sehingga citizen lawsuit
diajukan pada lingkup peradilan umum dalam hal ini perkara perdata.
Oleh karena itu, atas dasar kelalaiannya, maka dalam petitum gugatan,
negara dihukum untuk mengeluarkan suatu kebijakan yang bersifat

57
Direktorat Jenderal Perundang-Undangan Kemenkumham, Rancangan Undang-Undang Hukum
Acara Perdata tahun 2008, loc.cit.
58
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum (Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta,
2010), hal. 49.
59
Terminologi Gugatan warga negara ini di negara-negara yang menganut sistem hukum Common
Law ada yang menyebutnya dengan istilah Citizen Suits, lihat David Mossop Citizen Suits – Tools
for Improving Compliance with Environmental Laws,
http://www.aic.gov.au/publications/previous%20series/proceedings/1-
27/~/media/publications/proceedings/26/mossop.ashx, hal. 2, diakses pada tanggal 24 September
2012, Andrew J. Currie menyatakan bahwa Citizen-initiated environmental lawsuits (“citizen
suits” or “citizen lawsuits”) have been used as one possible alternative method for enforcing
environmental provisions in general, lihat juga Andrew J. Currie, The Use of Environmentally
Beneficial Expenditures In Lieu of Penalties as Settlement of Citizen Lawsuit : a “Win-Win
Solution?, (Detroit College of Law at Michigan State University Law Review Fall, 1996), hal. 653,
untuk selanjutnya peneliti menggunakan terminologi citizen lawsuit yang dalam bahasa Indonesia
disebut sebagai Gugatan Warga Negara.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


24

mengatur (regeling) agar kelalaian tersebut tidak terjadi lagi di


kemudian hari.60

Secara sederhana citizen lawsuit adalah mekanisme gugatan


warga negara terhadap penyelenggara negara berkenaan kepentingan
umum, bukan untuk kepentingan pribadi atau orang per orang. Unsur
kepentingan umum ini membuatnya menjadi tidak sama dengan Gugatan
Tata Usaha Negara walaupun kedua mekanisme ini sama-sama
menggugat penyelenggara negara.61

1.4.5 Pembaruan62 Hukum

Soetandyo Wignjosoebroto membedakan pembaruan hukum


dalam arti legal reform dengan pembaruan hukum dalam arti law reform.
Pembaruan hukum dalam arti legal reform, hukum dapat difungsikan
sebagai apa yang dalam kepustakaan teori hukum disebut tool of social
enginering entah yang diefektifkan lewat proses-proses yudisial (seperti
yang dimaksudkan Roscoe Pound) entah pula yang diefektifkan via
proses-proses legislatif (seperti yang diintroduksikan oleh Mochtar
Kusumaatmadja untuk praktik pembangunan Indonesia). Hukum hanya
menjadi bagian dari proses politik yang mungkin juga progresif dan
reformatif. Pembaruan hukum di sini kemudian hanya berarti sebagai
pembaruan dalam sistem perundang-undangan belaka.63

Sedangkan pembaruan hukum dalam arti law reform hukum


bukanlah urusan para hakim dan penegak hukum lainnya, tetapi juga
urusan publik secara umum. Mungkin saja telah dibuat dalam bentuk
undang-undang, tetapi undang-undang itu tidak bersifat sakral di atas

60
Susanti Adi Nugroho, op. cit, hal. 384.
61
Afridal Darmi, Mari Mengenal Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit), loc.cit.
62
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “pembaruan” sebagai “proses, cara,
perbuatan membarui”. Membarui itu sendiri menurut KBBI bermakna (1) memperbaiki supaya
menjadi baru, (2) mengulangi sekali lagi, memulai lagi dan (3) mengganti dengan yang baru,
memodernkan, lihat Kementerian Pendidikan Nasional, loc. cit.
63
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya. Ifdhal
Kasim dkk (Ed.)., (Jakarta : ELSAM dan HUMA, 2002), hal. 355-357.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


25

segala-galanya. Dalam konsep ini hukum adalah produk aktivitas politik


rakyat yang berdaulat, yang digerakkan oleh kepentingan rakyat yang
berdaulat yang mungkin saja diilhami oleh kebutuhan ekonomi, norma
sosial, atau nilai-nilai ideal kultur rakyat itu sendiri.64

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dalam penelitian ini,


yang dimaksud dengan pembaruan hukum adalah pembaruan hukum
dalam arti legal reform (pembaruan undang-undang).

Menurut Pasal 1 angka 3 menguraikan bahwa “Undang-Undang


adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden”.65

1.4.6 Hukum Acara Perdata

Bahwa karena gugatan warga negara (citizen lawsuit) merupakan


perkara perdata, maka patut juga diuraikan mengenai pengertian Hukum
Acara Perdata.

R. Supomo menyatakan bahwa “Dalam peradilan perdata, tugas


hakim ialah mempertahankan tata hukum perdata, menetapkan apa yang
ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara”.66

Wirjono Prodjodikoro merumuskan Hukum Acara Perdata yaitu


“Rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang
harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana

64
Ibid., hal. 357-361, Barda Nawawi Arief sebagaimana dikutip oleh Hari Purwadi dalam
tulisannya Reformasi Hukum Nasional : Problem dan Prospeknya, menyatakan bahwa “Reformasi
hukum tidak hanya sebatas reformasi peraturan perundang-undangan, tetapi mencakup reformasi
sistem hukum secara keseluruhan, yaitu reformasi materi/substansi, struktur, dan budaya hukum”,
Satya Arinanto, Ninuk Triyanti, (Ed.), Memahami Hukum dari Konstruksi sampai Implementasi
(Jakarta : Rajawali Pers, Cetakan kedua, 2011), hal. 61
65
Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
UU Nomor 12 tahun 2011, Lembaran Negara (LN) NOMOR 82 TAHUN 2011, Tambahan
Lembaran Negara (TLN) Nomor 5234.
66
R. Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta : Fasco, 1985), hal. 12.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


26

pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan


berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata”.67

Abdulkadir Muhammad mengemukakan bahwa :

Kata “acara” di sini berarti proses penyelesaian perkara


melalui pengadilan (hakim). Tujuannya adalah untuk
memulihkan hak seseorang yang terganggu atau dirugikan
oleh pihak lain, mengembalikan keadaan seperti semula
sebelum terjadi gangguan atau kerugian, agar peraturan
Hukum Perdata dipatuhi dan dilaksanakan sebagaimana
mestinya. Secara teleologis dapat dirumuskan bahwa
Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang
berfungsi untuk mempertahankan berlakunya Hukum
Perdata sebagaimana mestinya. Karena penyelesaian
perkara dimintakan melalui pengadilan (hakim), Hukum
Acara Perdata dirumuskan sebagai hukum yang mengatur
proses penyelesaian perkara perdata melalui pengadilan
(hakim), sejak diajukan gugatan sampai dengan
pelaksanaan putusan hakim.68

Sementara Sudikno Mertokusumo memberi pengertian Hukum


Acara Perdata adalah “Peraturan hukum yang menentukan bagaimana
caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Lebih konkret
lagi dapatlah dikatakan, bahwa Hukum Acara Perdata mengatur
tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta
memutusnya dan pelaksanaan daripada putusannya”.69

67
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Bandung : Sumur, cetakan keenam,
1975), hal. 13.
68
Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,
2000), hal. 15.
69
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, edisi keenam,
2000), hal. 2.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


27

1. 5 Metode Penelitian Hukum

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian


sebagai berikut :

1.5.1 Jenis Penelitian

A. Hamid S Attamimi menyatakan bahwa ilmu hukum tidak


pernah menjadi ilmu normatif murni dan tidak pernah menjadi ilmu
sosial murni, karena hukum dapat berasal dari sollen-sein dan dapat pula
berasal dari sein-sollen. Pada prinsipnya, hukum itu selalu mengandung
aspek cita dan realita, atau dengan kata lain hukum mengandung aspek
normatif dan aspek empirik.70

Bernard Arief Sidharta mengungkapkan bahwa kegiatan


pengembanan ilmu hukum itu selalu melibatkan dua aspek, yaitu kaidah
hukum dan fakta (kenyataan kemasyarakatan), dan bahwa dalam proses
pengembanannya kedua aspek itu saling berinteraksi dan harus
diinteraksikan.71

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, oleh karena ilmu hukum


tersebut melibatkan dua aspek yaitu kaidah hukum dan fakta, dihubungkan
dengan permasalahan yang akan diteliti yaitu pengaruh putusan pengadilan
tentang gugatan warga negara (citizen lawsuit) terhadap pembaruan
undang-undang hukum acara perdata, maka penelitian ini menggunakan
penelitian normatif-empiris, yaitu gabungan antara penelitian normatif dan
penelitian empiris.72

70
A. Hamid S Attamimi, Teori Perundang-undangan di Indonesia, Pidato pengukuhan diucapkan
pada upacara pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta, 25 April 1992, hal. 18.
71
Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang
Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu
Hukum Nasional Indonesia (Bandung : Mandar Maju, 2000), hal. 193.
72
Soerjono Soekanto, op. cit., hal. 51, sedangkan Soetandyo Wignyosoebroto membagi penelitian
hukum menjadi penelitian hukum doktrinal (yang lazim disebut normatif) dan penelitian hukum
non-doktrinal (yang lazim disebut empiris), lebih jelasnya lihat Soetandyo Wignyosoebroto, op.
cit., hal. 145-147.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


28

Metode penelitian normatif (doktrinal) dalam hal ini suatu


pendekatan dengan cara melakukan penelitian terhadap asas-asas hukum,
penelitian perbandingan hukum,73 metode kajian hukum dengan hukum
dikonsepsikan sebagai kaidah Perundang-Undangan dan juga telaah
terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah
menjadi putusan pengadilan mengenai tentang gugatan warga negara
(citizen lawsuit). Dalam penelitian ini, hukum tidak semata-mata
dikonsepsikan sebagai norma, tetapi juga sebagai produk yang terwujud
lewat proses yudisial dari kasus ke kasus, yang acap disebut “hukum in
concreto” yang kemudian akan ditarik suatu asas/kaidah hukum.74

Untuk mengetahui pengaruh putusan pengadilan tentang gugatan


warga negara (citizen lawsuit) terhadap pembaruan undang-undang
hukum acara perdata selanjutnya penelitian normatif ini didukung oleh
penelitian empiris (non-doktinal).

Penelitian hukum non-doktrinal ini didasarkan pada konsep


bahwa hukum adalah sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati di
dalam kehidupan. Dalam hal ini hukum tidak lagi dikonsepsikan secara
normatif-positivis sebagai ius constitutum atau law as what it is in the
books, melainkan dikonsepsikan secara empiris-sosiologis yang teramati
di alam pengalaman (law in action).75 Metode empiris (non-doktinal) ini
digunakan dalam mendukung metode normatif (doktrinal) dalam melihat
bagaimana pengaruh putusan pengadilan tentang gugatan warga negara
(citizen lawsuit) terhadap pembaruan undang-undang hukum acara

73
Soerjono Soekanto, loc, cit. Karena prosedur (mekanisme) hukum acara perdata citizen lawsuit,
merupakan konsep dari common law system, maka metode penelitian perbandingan hukum yang
dimaksud adalah melakukan serangkaian pentahapan pengkajian yang meliputi : mempelajari
bagaimana sistem hukum negara lain yang telah memberikan pengaturan tentang citizen lawsuit,
mengkaji tentang hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan citizen
lawsuit menjajarkan kedua sistem hukum dengan menitikberatkan pada : struktur hukum,
termasuk lembaga hukum; substansi hukum, meliputi norma kaidah dan perilaku; budaya hukum
meliputi perangkat nilai yang dianut, lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum
Normatif, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2001), hal. 8, sebagaimana dikutip Indro Sugianto,
Kasus Nunukan : Hak Gugat Warga negara (Citizen Lawsuit) Terhadap Negara, dalam Dictum
Jurnal Kajian Putusan Pengadilan Edisi 2, (2004), hal. 53.
74
Untuk lebih jelasnya lihat Soetandyo Wignyosoebroto, op. cit., hal. 151-160.
75
Ibid, hal. 161.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


29

perdata.

Selain metode-metode tersebut di atas yang berupa metode


penelitian normatif-empiris (doktinal–non-doktinal), penulis juga
menggunakan penelitian yang bersifat deskriptif dan preskriptif.
Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti
mungkin tentang gugatan warga negara (citizen lawsuit) dan
perkembangan pendapat Hakim melalui putusan pengadilan mengenai
gugatan tersebut. Maksudnya adalah terutama untuk mempertegas
hubungan antara penemuan hukum dan pembaruan hukum, agar dapat
membantu di dalam memperkuat teori-teori lama.76 Sedangkan
penelitian preskriptif apabila suatu penelitian ditujukan untuk
mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk
pembaruan hukum acara perdata, berkaitan dengan gugatan warga
negara (citizen lawsuit).77

1.5.2 Jenis Data

Secara umum, maka di dalam penelitian biasanya dibedakan


antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat (mengenai
perilakunya, data empiris) dan dari bahan pustaka. Yang diperoleh
langsung dari masyarakat dinamakan data primer atau data dasar dan
yang kedua diberi nama data sekunder.78

Dalam penelitian dengan pendekatan yang bersifat normatif,


data yang digunakan adalah data sekunder, yang dari sudut kekuatan
mengikatnya digolongkan ke dalam bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tersier.79

A. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat khususnya


mengenai kewenangan hakim dalam memeriksa dan mengadili

76
Soerjono Soekanto, op. cit, hal. 9-10.
77
Ibid., hal. 10.
78
Ibid., hal. 51.
79
Ibid, hal. 52.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


30

perkara gugatan warga negara (citizen lawsuit), terdiri dari :


1. Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 ;
2. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia ;
3. UU Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ;
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup ;
5. Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman ;
6. Undang-Undang Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum
Juncto Undang-Undang Nomor 8 tahun 2004 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan
Umum Juncto Undang-Undang Nomor 49 tahun 2009 tentang
Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 2 tahun 1986
tentang Peradilan Umum ;
7. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara Juncto Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara Juncto Undang-Undang
Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara ;
8. Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi
9. UU Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan ;
10. Putusan-Putusan Pengadilan ;
B. Bahan Hukum Sekunder, merupakan bahan – bahan yang memberi
penjelasan lebih lanjut mengenai hal – hal yang telah dikaji bahan –
bahan hukum primer yaitu :
1. Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Perdata draft

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


31

Maret tahun 2008 ;


2. Buku-buku yang membahas tentang gugatan warga negara (citizen
lawsuit) ;
3. Makalah-makalah yang berhubungan dengan gugatan warga
negara (citizen lawsuit) ;
4. Berbagai Tesis yang berkaitan dengan gugatan warga negara
(citizen lawsuit) ;
5. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Hukum
Acara Perdata ;
C. Bahan Hukum Tersier, merupakan bahan hukum yang memberi
petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder, terdiri dari :
1. Kamus Hukum ;
2. Kamus Inggris-Indonesia ;
3. Berbagai majalah dan surat kabar ;
4. Internet.

Sedangkan penelitian dengan pendekatan yang bersifat empiris,


data yang digunakan adalah data primer yang langsung diperoleh dari
responden di lokasi penelitian.80

1.5.3Alat Pengumpulan Data

Pengumpulan data dimaksudkan agar diperoleh data yang


berhubungan erat dengan permasalahan yang ada dalam penelitian ini.
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas
2 (dua) cara, yaitu: (1) studi pustaka, dan (2) wawancara.81

Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data sekunder adalah


dengan studi bahan pustaka, yang ditempuh dengan cara :

80
Ibid, hal. 51.
81
Ibid, hal. 66, Soerjono Soekanto, menyatakan bahwa “Di dalam penelitian lazimnya dikenal
paling sedikit tiga jenis alat pengumpulan data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka,
pengamatan atau observasi, dan wawancara atau interview. Ketiga jenis alat pengumpulan data
tersebut, dapat dipergunakan masing-masing, maupun secara bergabung untuk mendapatkan hasil
yang semaksimal mungkin”. Selanjutnya beliau menyatakan bahwa “Penelitian hukum senantiasa
harus didahului dengan penggunaan studi dokumen atau bahan pustaka”.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


32

1. Menghimpun literatur-literatur hukum yang ada kaitannya dengan


gugatan warga negara (citizen lawsuit).
2. Menghimpun Putusan-Putusan Pengadilan Negeri yang
berdasarkan bahan hukum sekunder berkaitan erat dengan gugatan
warga negara (citizen lawsuit), yaitu :
a. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang “Kasus
Bentoel” Penggugat R.O. Tambunan melawan P.T. Rokok
Bentoel, Pemerintah RI cq. Gubernur Daerah Khusus Ibukota
(DKI) Jakarta Pemerintah RI cq. Menteri Kehakiman cq. Dirjen
Hukum dan Perundang-Undangan RI, cq. Dirjen Paten dan Hak
Cipta, serta Pengusaha Radio Prambors, Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat Nomor 533/Pdt/G/1987/PN Jkt.Pst jo.
Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 158/ Pdt/1989/PT.
DKI ;
b. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kasus “Demam
Berdarah” dengan Penggugat Mochtar Pakpahan melawan para
Tergugat adalah Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta,
serta Kepala Dinas/ Kantor Wilayah Kesehatan Daerah Khusus
Ibukota (DKI) Jakarta, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Nomor 251/Pdt/G.IX/1988/PN Jkt.Pst, tanggal 2 Agustus 1988 ;
c. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang gugatan citizen
lawsuit atas nama Munir dkk. dalam kasus penelantaran negara
terhadap TKI Migran yang dideportasi di Nunukan – dikabulkan
oleh Majelis Hakim dengan Putusan Nomor 28/PDT.G/2003/PN.
Jkt.Pst, tanggal 8 Desember 2003.
d. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor :
228/PDT.G/2006/PN.JKT.PST, tertanggal 21 Mei 2007, antara
KRISTIONO dkk yang diwakili oleh Dr. Jur. ADNAN BUYUNG
NASUTION, S.H. dkk melawan NEGARA REPUBLIK
INDONESIA cq. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, dkk,
Gugatan Citizen Lawsuit atas penyelenggaraan Ujian Nasional
dikabulkan untuk sebagian, Pemerintah diminta meninjau ulang

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


33

kebijakan penyelenggaraan Ujian Nasional. Pemerintah


(Tergugat) kemudian mengajukan banding, dan pada tanggal 6
Desember 2007, Nomor : 337/PDT/2007/PT.DKI, telah diputus
oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menguatkan putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tertanggal 21 Mei 2007 Nomor
: 228/PDT.G/2006/PN.JKT.PST, serta dikuatkan Mahkamah
Agung tertanggal 14 September 2009, nomor :
2596/K/PDT/2008.
e. Putusan Sela Perkara Nomor 145/Pdt.G/2009/PN.JKT.PST.
tanggal 03 Juni 2009, dinyatakan bahwa gugatan para Penggugat
tidak dapat diterima, adalah juga karena tidak terpenuhinya
syarat formil, yaitu tidak memenuhi syarat jangka waktu
notifikasi;
f. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
476/PDT.G/2009 /PN.JKT.PST, tanggal 19 Agustus 2010, antara
David M.L. Tobing, SH., MKn, dkk (2 orang) sebagai PARA
PENGGUGAT melawan Negara Republik Indonesia cq. Presiden
Republik Indonesia dkk sebagai Tergugat, di mana gugatan
warga negara (citizen lawsuit) tersebut ditolak dalam Putusan
Akhir, akan tetapi mekanisme gugatan warga negara (citizen
lawsuit) diakui dalam putusan sela Majelis Hakim.
g. Putusan Sela Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
111/PDT.G/2010 /PN.JKT.PST, tanggal 13 Oktober 2011, antara
Febri Irwansyah dkk, melawan Persatuan Sepakbola Seluruh
Indonesia dkk, dalam putusan sela, gugatan tidak dapat diterima
karena bukan merupakan kepentingan umum dan kadaluwarsa.
h. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
500/PDT.G/2010/PN.JKT.PST, tanggal 13 Oktober 2011 antara
Prof. Dr. ADLER H. MANURUNG dkk, melawan melawan
Negara Republik Indonesia cq. Kementerian Negara Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) dkk, tentang penjualan Saham PT
Krakatau Steel dengan harga yang sangat Murah, gugatan para

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


34

penggugat tidak dapat diterima (niet onvankelijkverklaard)


karena kurang pihak.
i. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
278/PDT.G/2010 /PN.JKT.PST, tanggal 13 Juli 2011, antara Ir.
H. Said Iqbal, M.E, dkk (120 orang) melawan Negara Republik
Indonesia cq. Presiden Republik Indonesia dkk sebagai Tergugat,
di mana gugatan warga negara (citizen lawsuit) dikabulkan
sebagian.
j. Putusan Sela Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
53/PDT.G/2012/PN.JKT.PST, tanggal 25 Juli 2012, antara
Agustinus Dawarja, dkk melawan Pemerintah Propinsi DKI dkk,
di mana mekanisme gugatan warga negara (citizen lawsuit)
diakui dalam putusan sela Majelis Hakim.

Fokus data penelitian ini adalah putusan pengadilan yang


berkaitan erat dengan gugatan warga negara (citizen lawsuit) di mana
sejak adanya Putusan Nomor 28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst, tanggal 8
Desember 2003, gugatan warga negara (citizen lawsuit) mulai diakui
dalam praktik peradilan di Indonesia. Dua putusan pengadilan sebelum
Putusan Nomor 28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst, tanggal 8 Desember 2003,
tetap dijadikan sebagai data guna mengetahui perkembangan sikap
hakim terhadap sah atau tidaknya gugatan perdata dengan mekanisme
gugatan warga negara (citizen lawsuit).

Melalui putusan-putusan tersebut selanjutnya dilakukan


penelitian empiris guna mengetahui apakah praktik peradilan melalui
putusan-utusan pengadilan tersebut dapat memengaruhi pembaruan
undang-undang hukum acara perdata atau tidak.

Sedangkan alat yang digunakan untuk mengumpulkan data


primer adalah dengan cara wawancara terarah (directive interview)82

82
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa “Wawancara dipergunakan dengan tujuan-tujuan sebagai
berikut : 1. memperoleh data mengenai persepsi manusia, 2. mendapatkan data mengenai
kepercayaan manusia, 3. mengumpulkan data mengenai perasaan dan motivasi seseorang, 4.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


35

terhadap responden yang dipilih secara purposive. Sebelum dilakukan


wawancara, terlebih dahulu dipersiapkan daftar pertanyaan (questioner).
Demikian pula dipersiapkan tape recording untuk merekam berbagai
pendapat dan pandangan responden yang muncul pada saat wawancara
di luar questioner namun yang masih terkait dengan topik penelitian.
Lokasi tempat pengambilan data adalah di Mahkamah Agung, Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, DPR RI dan Kementerian Hukum dan HAM
Republik Indonesia dipilih sebagai lokasi penelitian dikarenakan
lembaga-lembaga negara ini berkaitan erat dengan pokok permasalahan
dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh putusan
pengadilan terhadap pembaruan undang-undang hukum acara perdata.

Fokus lokasi penelitian ditetapkan secara purposive dengan


menggunakan kriteria : lembaga penegak hukum (praktisi hukum), dan
lembaga pembentuk hukum. Dengan dasar pertimbangan tersebut
kemudian ditentukan 4 (empat) lokasi yang menjadi fokus lokasi
penelitian yang kesemuanya berada di Jakarta, yakni:
1. Mahkamah Agung RI (yudikatif);
2. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (yudikatif);
3. Dewan Perwakilan Rakyat RI (legislatif);
4. Kementerian Hukum dan HAM RI (eksekutif).

Informan (narasumber) yang dijadikan sebagai sumber data


primer ditentukan secara purposive sebagai berikut:
1. Ketua Muda Perdata Mahkamah Agung Republik Indonesia atau
yang mewakili, guna memperoleh pandangan dan pendapat Pejabat
di Mahkamah Agung terkait prosedur gugatan warga negara (citizen
lawsuit) yang belum ada yurisprudensi tetap dan juga belum diatur
dalam perundang-undangan.
2. Hakim Agung Andi Samsan Nganro berdasarkan data yang
diuraikan sebelumnya merupakan Ketua Majelis Hakim yang

memperoleh data antisipasi ataupun orientasi ke masa depan dari manusia, 5. memperoleh
informasi mengenai perilaku pada masa lampau, 6. mendapatkan data mengenai perilaku yang
sifatnya sangat pribadi atau sensitif”, Ibid, hal. 67 dan hal. 229.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


36

memutus perkara gugatan Nomor : 28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst,


dalam perkara Gugatan Warga Negara antara Munir dkk melawan
Negara Republik Indonesia dkk, Jakarta, tanggal 8 Desember 2003,
guna memperoleh pandangan dan pendapat Hakim Agung Andi
Samsan Nganro terkait prosedur gugatan warga negara (citizen
lawsuit) yang belum diatur dalam perundang-undangan.
3. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau Dr. Marsudin
Nainggolan, SH, MH (Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) guna
memperoleh pandangan dan pendapat Hakim terkait perlu atau
tidaknya prosedur gugatan warga negara (citizen lawsuit) diatur
dalam perundang-undangan.
4. Hakim Dr. Andriani nurdin, S.H., M.H., berdasarkan data yang
diuraikan sebelumnya merupakan Ketua Majelis Hakim yang
memutus perkara gugatan Nomor : 228/PDT.G/2006/PN.JKT.PST,
tertanggal 21 Mei 2007, antara Kristiono dkk yang diwakili oleh Dr.
Jur. Adnan Buyung Nasution, S.H. dkk melawan Negara Republik
Indonesia cq. Presiden Republik Indonesia, dkk, di mana gugatan
warga negara (citizen lawsuit) dikabulkan sebagian, diharapkan guna
memperoleh pandangan dan pendapat terkait perlukah pembaruan
undang-undang hukum acara perdata.
5. Hakim Ennid Hasanuddin, S.H., C.N., M.H., berdasarkan data yang
diuraikan sebelumnya merupakan Ketua Majelis Hakim yang
memutus perkara gugatan Nomor : 278/PDT.G/2010 /PN.JKT.PST,
tanggal 13 Juli 2011, antara Ir. H. Said Iqbal, M.E, dkk (120 orang)
sebagai PARA PENGGUGAT melawan Negara Republik Indonesia
cq. Presiden Republik Indonesia dkk sebagai Tergugat, di mana
gugatan warga negara (citizen lawsuit) dikabulkan sebagian,
diharapkan guna memperoleh pandangan dan pendapat terkait
perlukah pembaruan undang-undang hukum acara perdata.
6. Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
yang membidangi bidang Hukum guna memperoleh pandangan dan
pendapat tentang sikap legislatif menanggapi adanya putusan

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


37

pengadilan yang mengakui mekanisme gugatan warga negara


(citizen lawsuit) yang belum diatur dalam peraturan perundang-
undangan. Dan bagaimana pengaruh putusan pengadilan terhadap
pembaruan undang-undang hukum acara perdata.
7. Dr. J. Djohansyah, S.H., M.H., Mantan Hakim Agung dan sebagai
Ketua tim Naskah Akademik Rancangan Undang Undang Hukum
Acara Perdata, diharapkan dapat memberikan pandangan tentang
bagaimana pengaruh putusan pengadilan terhadap pembaruan
undang-undang hukum acara perdata.
8. Pihak Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia khususnya Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional
atau Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan sebagai rekan
legislatif dalam penyusunan suatu Rancangan Undang-Undang, guna
memperoleh pandangan dan pendapat tentang sikap eksekutif
terhadap adanya putusan pengadilan yang mengakui mekanisme
gugatan warga negara (citizen lawsuit) dalam pembaruan undang-
undang hukum acara perdata.
9. VMF. Dwi Rudatiyani dan Virza Roy Hizzal (praktisi hukum,
pengacara), guna memperoleh pandangan dan pendapat tentang
sikap praktisi hukum terhadap penemuan hukum oleh hakim dan
perlu atau tidaknya pembaruan undang-undang hukum acara perdata.

1.5.4 Analisis Data

Walaupun metode penelitian hukum yang digunakan adalah


metode penelitian normatif-empiris (doktinal–non-doktinal), akan tetapi
data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif, yaitu suatu cara
penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan
oleh responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang
nyata yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.83

Soerjono Soekanto menyatakan bahwa “dalam penelitian hukum

83
Ibid, hal. 250.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


38

normatif, penggunaan metode kualitatif bukan merupakan suatu yang


asing … Demikian juga bagi penelitian hukum sosiologis atau empiris,
maka penggunaan metode kualitatif merupakan hal yang sangat
penting.84

Metode kualitatif ini bertujuan untuk mendeskripsikan interaksi


gejala hukum antara putusan pengadilan tentang gugatan warga negara
(citizen lawsuit) dengan pembaruan undang-undang hukum acara
perdata.

Selain itu dalam upaya untuk mengetahui pengaruh putusan


pengadilan tentang gugatan warga negara (citizen lawsuit) terhadap
pembaruan undang-undang hukum acara perdata akan digunakan metode
berpikir induktif yaitu metode berpikir yang mendasarkan hal-hal yang
bersifat khusus (berupa data-data yang diperoleh dari nara sumber)
kepada kesimpulan yang bersifat umum, yaitu tentang apakah ada
pengaruh antara putusan pengadilan tentang gugatan warga negara
(citizen lawsuit) dalam pembaruan undang-undang hukum acara
perdata.85

1.6 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan pokok permasalahan sebagaimana diuraikan


sebelumnya, maka tujuan Penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui penemuan hukum oleh Hakim terhadap gugatan
warga negara (citizen lawsuit) dihubungkan dengan putusan-putusan
pengadilan terhadap gugatan warga negara (citizen lawsuit).
2. Untuk mengetahui pengaruh putusan pengadilan tentang gugatan warga
negara (citizen lawsuit) terhadap pembaruan undang-undang hukum
acara perdata.

1.7 Manfaat Penelitian

84
Ibid., hal. 251.
85
Soetandyo Wignyosoebroto, op. cit., hal. 171-172.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


39

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan, baik


untuk kepentingan ilmu pengetahuan (teoretis) maupun kepentingan praktis
dalam pembaruan hukum acara perdata. Adapun kegunaan penelitian
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kegunaan Teoretik
Hasil penelitian ini diharapkan memberi penjelasan tentang hubungan
antara penemuan hukum oleh Hakim berkaitan gugatan warga negara
(citizen lawsuit) dengan pengaruhnya terhadap pembaruan undang-
undang hukum acara perdata, selain itu penelitian ini diharapkan dapat
menambah khazanah dalam pemikiran hukum tentang pembentukan
hukum nasional yang dapat melindungi kepentingan publik melalui
hukum acara perdata yang mengatur gugatan warga negara (citizen
lawsuit).
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan kontribusi sumbangan pemikiran
bagi para pengambil kebijakan baik dalam tahap legislatif maupun
eksekutif dalam pembaruan undang-undang hukum acara perdata dalam
hal ini Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951 tentang Tindakan-
Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan,
Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil yang memberlakukan HIR dan
RBg sebagai sumber hukum acara perdata, melalui pembentukan hukum
nasional di masa yang akan datang.

1.8 Sistematika Penulisan

Hasil dari keseluruhan penelitian agar mudah dipahami maka


penulisan tesis ini dalam Bab I diuraikan mengenai pendahulan yang berisi
tentang : latar belakang, pokok permasalahan, kerangka teori, kerangka
konsepsional, metode penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan
sistematika penulisan.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


40

Bab II diuraikan mengenai konsep gugatan warga negara (citizen


lawsuit) atau actio popularis, perbandingan gugatan warga negara (citizen
lawsuit) atau actio popularis dengan class action dan legal standing.

Bab III diuraikan mengenai hukum acara perdata di Indonesia belum


lengkap, dan konsep penemuan hukum oleh hakim dalam rangka pembaruan
undang-undang hukum acara perdata.

Dengan berdasarkan uraian pada Bab II dan Bab III, maka uraian
tersebut digunakan untuk membahas permasalahan pada Bab IV yang akan
dibahas yaitu tentang penemuan hukum oleh hakim berkaitan dengan
gugatan warga negara (citizen lawsuit) dan putusan pengadilan sebagai
sumber pembaruan undang-undang hukum acara perdata.

Berdasarkan uraian pembahasan dalam IV tersebut, kemudian di


dalam bab V diperoleh kesimpulan hasil penelitian serta saran-saran yang
dapat berguna bagi pembaruan undang-undang hukum acara perdata melalui
pembentukan hukum nasional di masa yang akan datang.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


BAB II
KONSEP CITIZEN LAWSUIT ATAU ACTIO POPULARIS

2.1 Perkembangan Citizen Lawsuit atau Actio Popularis

Sebagaimana yang diuraikan sebelumnya bahwa setiap warga negara


memiliki hak yang sama di hadapan hukum, hal inilah yang menjadi dasar
pemikiran adanya aturan gugatan perdata konvensional. Pada dasarnya, yang
mempunyai hak untuk mengajukan gugatan di depan pengadilan adalah
perorangan atau badan hukum (melalui wakilnya) yang mempunyai
kepentingan (asas point d’interet point d’action serta asas legitima persona
standi in judicio). 86

Selanjutnya Susanti Adi Nugroho menyatakan “doktrin point


d’interet point d’action ini sudah menjadi yurisprudensi tetap dan sering
dirujuk dan diikuti dalam berbagai putusan pengadilan di Indonesia.
Seseorang dikatakan memiliki kepentingan yang memadai atau locus standi,
jika mempunyai kaitan dengan pokok masalah perkara yang diajukan”.87

Selanjutnya konsep locus standi ataupun prinsip persona standi in


judicio serta asas point d’interet point d’action berkaitan erat dengan
terminologi legal standing, yaitu seseorang yang mengajukan gugatan harus
mempunyai hak dan kualitas sebagai penggugat.88

Standing pada dasarnya dapat dibedakan :

- Hak gugat warga negara (orang perorangan) yang diistilahkan


dengan citizen lawsuit atau private suit,

86
Susanti Adi Nugroho, op. cit., hal. 371, lihat juga Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara
Perdata Indonesia., op. cit., hal. 65. Paulus Effendi Lotulung menyatakan bahwa “Apabila
seseorang tidak mempunyai kepentingan, maka ia tidak dapat mengajukan gugatan, seperti yang
dikatakan adagium point d’interet point d’action atau tidak ada kepentingan maka tidak ada aksi,
lihat Paulus Effendi Lotulung, op. cit., hal. 51.
87
Susanti Adi Nugroho, op. cit., hal. 363.
88
Ibid., hal. 364.

41
Universitas Indonesia
Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.
42

- Standing dalam hak gugat organisasi non pemerintah, dikenal


dengan Hak Gugat Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO’S
Standing). 89

Berdasarkan hal tersebut, maka gugatan perdata atas hubungan


perdata dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, orang yang
bersangkutan atau ahli warisnya. Kedua, sekelompok orang yang
mempunyai kepentingan yang sama. Model-model gugatan yang
mengatasnamakan kepentingan orang banyak atau kepentingan umum ini
beragam, dan dikenal dengan sebutan gugatan-gugatan class action, actio
popularis, citizen lawsuit. dan NGO's standing.90

Citizen lawsuit sebagai salah satu mekanisme gugatan yang


mengatasnamakan kepentingan orang banyak atau kepentingan umum
sendiri lahir di negara-negara yang menganut sistem hukum common law,
dan dalam sejarahnya citizen lawsuit pertama kali diajukan terhadap
permasalahan lingkungan. Namun pada perkembangannya, citizen lawsuit
tidak lagi hanya diajukan dalam perkara lingkungan hidup, tetapi pada
semua bidang di mana negara dianggap melakukan kelalaian dalam
memenuhi hak warga negaranya.91

Menurut Indro Sugianto “dalam sejarahnya, citizen lawsuit ini


dikembangkan di Amerika Serikat dan juga di India, berdasarkan suatu

89
Ibid., hal. 364-365.
90
Susanti Adi Nugroho, op. cit., hal. 384, Erna Herlinda menyatakan bahwa “Perkembangan
hukum konsep hak gugat konvensional berkembang secara pesat seiring pula dengan
perkembangan hukum yang menyangkut hajad hidup orang banyak (public interest law) di mana
seorang atau sekelompok orang atau organisasi dapat bertindak sebagai penggugat walaupun tidak
memiliki kepentingan hukum secara langsung, tetapi dengan didasari oleh suatu kebutuhan untuk
memperjuangkan kepentingan, masyarakat luas atas pelanggaran hak-hak publik seperti
lingkungan hidup, perlindungan konsumen, hak-hak Civil dan Politik. lihat Erna Herlinda,
Tinjauan Tentang Gugatan Class Actions Dan Legal Standing Di Peradilan Tata Usaha Negara,
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1531/1/fh-erna5.pdf, diakses pada tanggal 6
Oktober 2012, hal. 4. Pendapat di atas sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Paulus
Effendi Lotulung, yang menyatakan dalam bidang lingkungan hidup dapat terjadi suatu keadaan
dimana suatu organisasi atau kelompok orang mengajukan gugatan dengan mendasarkan kepada
kepentingan yang tidak bersifat diri pribadi mereka atau kelompok mereka, tetapi
mengatasnamakan kepentingan umum atau kepentingan orang banyak (masyarakat) atau yang
disebut sebagai “algemeen belang”, lihat Paulus Effendi Lotulung, op. cit., hal 51-52.
91
Bambang H. Mulyono, loc.cit.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


43

pemikiran bahwa pada kenyataannya pemerintah (federal) acap kali tidak


melaksanakan kewajibannya untuk menegakkan hukum yang oleh undang-
undang dibebankan kepadanya. Dengan alasan ini, citizen lawsuit
dimaksudkan untuk melindungi warga negara dari kemungkinan terjadinya
kerugian sebagai akibat dari tindakan atau pembiaran (omisi) dari negara
atau otoritas negara. 92

David Mossop menyatakan bahwa “Citizen suits93 are court


proceedings brought by citizens who seek to enforce public right”.94
Sedangkan dalam Black’s Law Dictionary memberikan pengertian Citizen
suits yaitu “an action under a statute giving citizens the right to sue
violators of the law (esp. environmental law) and to seek injunctive relief
and penalties”.95

Selanjutnya David Mossop menguraikan bahwa “Citizen suits


illuminate regulatory conduct and hence assist in promoting regulatory
behaviour in accordance with the law and closer to the expectations of the
community”.96

Citizen lawsuit pada intinya adalah mekanisme bagi warga negara


untuk menggugat tanggung jawab penyelenggara negara atas kelalaian
dalam memenuhi hak-hak warga negara. Kelalaian tersebut didalilkan
sebagai perbuatan melawan hukum, sehingga citizen lawsuit diajukan pada
lingkup peradilan umum dalam hal ini perkara perdata. Oleh karena itu,
atas dasar kelalaiannya, maka dalam petitum gugatan, negara dihukum

92
Indro Sugianto, op. cit., hal. 34, berkaitan dengan sejarah gugatan warga negara (citizen lawsuit)
ini, nanti akan peneliti uraikan dalam sub bab di bawah ini.
93
Berkaitan dengan terminologi gugatan warga negara ini sebagaimana diuraikan pada bab
sebelumnya, bahwa ada yang menyebutnya dengan istilah Citizen Suits, untuk selanjutnya peneliti
menggunakan terminologi citizen lawsuit yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai Gugatan
Warga Negara.
94
David Mossop, Loc cit.
95
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary eighth edition, Bryan A Garner et. al, Ed., (St.
Paul, Minnesota : Thomson West, 2004), hal. 261.
96
David Mossop, op. cit., hal. 6.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


44

untuk mengeluarkan suatu kebijakan yang bersifat mengatur (regeling) agar


kelalaian tersebut tidak terjadi lagi di kemudian hari.97

Sedangkan Indro Sugianto menyatakan “bahwa pada hakekatnya citizen


lawsuit adalah akses orang perorangan warga negara untuk kepentingan
keseluruhan warga negara atau kepentingan publik termasuk kepentingan
lingkungan, mengajukan gugatan di pengadilan guna menuntut pemerintah
melakukan penegakan hukum yang diwajibkan kepadanya atau untuk
memulihkan kerugian publik yang terjadi.98

Secara sederhana citizen lawsuit adalah mekanisme gugatan warga


negara terhadap penyelenggara negara berkenaan kepentingan umum, bukan
untuk kepentingan pribadi atau orang per orang. Unsur kepentingan umum
ini membuatnya menjadi tidak sama dengan Gugatan Tata Usaha Negara
walaupun kedua mekanisme ini sama-sama menggugat penyelenggara
negara.99

Citizen lawsuit merupakan salah satu mekanisme gugatan yang


berkaitan erat dengan gugatan kepentingan umum (public interest litigation),
menurut Hakim Agung Mahkamah Agung India, Bhagwati J, dalam Putusan
Mahkamah Agung BANDHUA MUKTI MORCHA-V-UNION OF INDIA
AIR 1984 S.C sebagaimana dikutip Phillip Karugaba, menyebutkan bahwa
“Public interest litigation is not in the nature of adversary litigation but it is
a challenge and an opportunity to the Government and its officers to make
basic human rights meaningful to the deprived and vulnerable sections of
the community and to assure them social and economic justice, which is the
signature tune of our Constitution”.100

97
Susanti Adi Nugroho, op. cit, hal. 384.
98
Indro Sugianto, op. cit., hal. 35.
99
Afridal Darmi, Mari Mengenal Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit),
http://www.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=601:mari-
mengenal-gugatan-warga-negara-citizen-lawsuit&catid=73:politik-hukum-ham-resolusi-
konflik&Itemid=124, 11 Agustus 2011 dan diakses pada tanggal 12 Desember 2011.
100
Phillip Karugaba, Public Interest Litigation in Uganda Practice & Prucedure Shipwrekcs and
Seamarks, disampaikan pada Judicial Symposium on Environmental Law for The Judges of The

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


45

Sedangkan di Australia, kriteria public interest litigation yang


digunakan oleh Public Interest Law Clearing House (Vic) Inc. dan the
Public Interest Law Clearing House Inc. (NSW) adalah :

The matter must require a legal remedy and be of public interest,


which means it must;
a) affect a significant number of people not just the individual
or;
b) raise matters of broad public concern or;
c) impact on disadvantaged or marginalized group, and
d) it must be a legal matter which requires addressing pro bono
publico (‘for the common good’).101

Sebagai suatu hak gugat yang berkaitan dengan kepentingan umum


(public interest), citizen lawsuit banyak dikenal dalam sistem hukum
common law seperti misalnya di Amerika Serikat, India dan Australia,
khususnya dalam hukum lingkungan. Di Amerika Serikat hak gugat ini
diperkenalkan pertama kali pada tahun 1970 dalam Clean Air Act (pasal
304). Selain itu hak gugat ini juga dapat ditemui pada beberapa undang-
undang lainnya, antara lain dalam Clean Water Act (pasal 505),
Comprehensive Environmental Response, Compensation and Liability Act
(pasal 310), Resource Conservation and Recovery Act (pasal 7002).102

Walaupun pada lazimnya gugatan citizen lawsuit diajukan kepada


Negara, tetapi dalam perkembangan di Amerika Serikat, gugatan ini bisa
ditujukan terhadap sesama warga negara maupun institusi privat yang
diangap telah melanggar hukum dan kepentingan publik, dimana disisi lain
hal tersebut dilakukan pembiaran (omisi) oleh Negara. Sebagaimana
tercantum dalam beberapa sumber berikut ini :

Citizen suits come in three forms :

Supreme Court an Court of Appeal, Imperial Botanical Beach Hotel Entebbe, 11-13 September
2005, hal. 2.
101
Ibid.
102
Indro Sugianto, op. cit. hal. 34.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


46

First, a private citizen can bring a lawsuit against a citizen,


corporation, or government body for engaging in conduct
prohibited by the statute. For example, a citizen can sue a
corporation under the Clean Water Act for illegally polluting a
waterway.
Second, a private citizen can bring a lawsuit against a
government body for failing to perform a nondiscretionary duty.
For example, a private citizen could sue the Environmental
Protection Agency for failing to promulgate regulations that the
Clean Water Act required it to promulgate.
In a third, less common form, citizens may sue for an injunction
to abate a potential imminent and substantial endangerment
involving generation, disposal or handling of waste, regardless
of whether or not the defendant's conduct violates a statutory
prohibition.
This third type of citizen suit is analogous to the common law
tort of public nuisance. 103

Mengenai perkembangan gugatan warga negara (citizen lawsuit),


patutlah diuraikan mengenai gugatan warga negara (citizen lawsuit) di
beberapa negara, sebagaimana tersebut di bawah ini :

1. Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit) di Amerika

Bisa dikatakan bahwa Amerika Serikat adalah negara


pertama yang mengakui gugatan warga negara (citizen lawsuit), yaitu
dalam perkara Associated Industries v. Ickes tahun 1943, kemudian
National Association for the Advancement of Colored People
103
Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, Class
Action & Citizen Lawsuit Laporan Penelitian (Megamendung : Puslitbang Hukum dan Peradilan
Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, 2009), hal. 50-51, Timothy Belevetz
menyatakan bahwa “Generally, the citizen suit provisions authorize "any person" to initiate an
action to enforce the statutory requirements against "any person" alleged to be in violation or
against the government to compel performance of nondiscretionary duties”, lihat Timothy
Belevetz, The Impact on Standing Doctrine in Environmental Litigation of the Injury in Fact
Requirement in Lujan v. National Wildlife Federation, (William & Mary Journal of Environmental
Law, Volume 17 Issue 1 article 6 : 103, 1992), hal 109.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


47

(NACCP) v. Button tahun 1963, hal ini sebagaimana dikatakan oleh


David Mossop bahwa :

The real impetus for the development of citizen suits has


come from the United States. In 1943 in Associated
Industries v. Ickes (134 F.2d 694 (2d Cir. 1943)) the right of
"private Attorneys-General" to enforce public rights created
by statute was recognised, so long as the private litigant's
interests were sufficiently affected. In 1963 the Supreme
Court recognised the legitimacy of public enforcement of
non-economic public rights in National Association for the
Advancement of Colored People v. Button (371 US 415
(1963)). The great breakthrough for citizen suits in the
environmental field was the inclusion of a citizen suit
provision in the federal Clean Air Act 1970.104

Hal ini juga senada dengan apa yang diutarakan oleh Mas
Ahmad Santosa yaitu “awal mula munculnya pengakuan gugatan
dengan prosedur citizen lawsuit adalah juga dari pengajuan perkara
ke Pengadilan, kemudian dimuat dalam peraturan perundangan
pertama kali pada tahun 1970 dalam Clean Air Act (pasal 304), juga
dapat ditemukan pada undang-undang lainnya antara lain Clean
Water Act (pasal 505), Comprehenship Environmental Response
Compensation and Liability Act (pasal 310). Menjamin secara
hukum bahwa setiap orang dapat menuntut pemerintah di Pengadilan
untuk menjalankan kewajiban yang diperintahkan oleh undang-
undang”.105

104
David Mossop, op. cit., hal. 4, lihat juga Timothy Belevetz, hal. 106.
105
Mas Ahmad Santosa, Gugatan AJI : Perluasan Hak Gugat Organisasi (Legal Standing), dalam
(Dictum Jurnal Kajian Putusan Pengadilan Edisi 2, 2004), hal. 62, Daniel Riesel, Steven C. Russo
and Elizabeth A. Read menyatakan bahwa “The major federal environmental statutes enacted
between 1970 and 1980 all contain provisions allowing private citizens to bring suit against
alleged violators of the statutes, See, e.g., Clean Water Act (“CWA”), 33 U.S.C. §1365; Toxic
Substances Control Act (“TSCA”), 15 U.S.C. §2619; Endangered Species Act (“ESA”), 16 U.S.C.
§1540(g); Solid Waste Disposal Act, 42 U.S.C. §6972(a)(1)(B); Resource Conservation and

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


48

Berikut adalah pengaturan tentang Gugatan Warga Negara


(Citizen Lawsuit) dalam Perundang-Undangan di Amerika :

Clean Air Act ( § 304 ) 42 U.S.C.A § 7604106


(a) Authority to bring civil action; jurisdiction
Except as provided in subsection (b) of this section, any person
may commence a civil action on his own behalf —
(1) against any person (including (i) the United States,
and (ii) any other governmental instrumentality or agency to
the extent permitted by the Eleventh Amendment to the
Constitution who is alleged to have violated (if there is evidence
that the alleged violation has been repeated) or to be in
violation of (A) an emission standard or limitation under
this chapter or (B) an order issued by the Administrator or a
State with respect to such a standard or limitation.
(2) against the Administrator where there is alleged a
failure of the Administrator to perform any act or duty under
this chapter which is not discretionary with the Administrator,
or
(3) against any person who proposes to construct or
constructs any new or modified major emitting facility without
a permit required under part C of subchapter I of this chapter
(relating to significant deterioration of air quality) or part D
of subchapter I of this chapter (relating to nonattainment) or
who is alleged to have violated (if there is evidence that the
alleged violation has been repeated) or to be in violation of any
condition of such permit.
(b) Notice

Recovery Act of 1976 (“RCRA”) §7002); Clean Air Act (“CAA”), 42 U.S.C. §7604,
Comprehensive Environmental Response, Compensation and Liability Act (“CERCLA”) 42
U.S.C. §9659”, untuk lebih jelasnya lihat Daniel Riesel, Steven C. Russo and Elizabeth A. Read,
Defending Citizen Suits, http://www.sprlaw.com/pdf/spr_defending_citizen_suits.pdf, diakses pada
tanggal 1 Oktober 2012, hal 1.
106
West Group (Selected Environmental Law Statues 2000-2001 Educational Edition), (St. Paul,
Minn : West Group, 2000), hal. 945, lihat juga Federal Water Pollution Control Act (Clean Water
Act) ( § 505 ) 33 U.S.C.A § 1365, ibid., hal. 453.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


49

No action may be commenced –


(1) under subsection (a)(1) of this section –
(A) prior to sixty days after the plaintiff has given
notice of the alleged violation (i) to the Administrator, (ii)
to the State in which the alleged violation occurs, and
(iii) to any alleged violator of the standard, limitation, or
order; or
(B) if the Administrator or State has commenced and is
diligently prosecuting a civil or criminal action in a court
of the United States, or a State to require compliance
with the standard, limitation, or order, but in any such
action in a court of the United States any citizen may
intervene as a matter of right.

Terjemahan bebasnya :
(a) Kewenangan untuk mengajukan gugatan perdata; yurisdiksi
Kecuali sebagaimana diatur dalam ayat (b) bagian ini, setiap
orang dapat mengajukan gugatan perdata atas nama sendiri
(1) Terhadap setiap orang termasuk (i) negara Amerika
Serikat, dan (ii) setiap lembaga pemerintah lain sebagaimana
yang diijinkan oleh Amandemen Kesebelas Konstitusi, yang
diduga melanggar (jika ada bukti bahwa dugaan pelanggaran
telah dilakukan berulang) atau berada dalam pelanggaran (A)
suatu standar emisi atau pembatasan berdasarkan bab ini atau
(B) perintah yang dikeluarkan oleh Negara atau Administrator
(penyelenggara negara) yang dibatasi dalam suatu peraturan.
(2) terhadap Administrator (penyelenggara negara) di mana
ada dugaan kegagalan Administrator untuk melakukan
tindakan atau tugas berdasarkan bab ini dengan tidak
melakukan diskresioner yang dimiliki Administrator
(penyelenggara negara), atau
(3) terhadap setiap orang yang mengusulkan untuk
membangun atau membangun setiap fasilitas emisi baru atau

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


50

dimodifikasi sedemikian besar tanpa izin yang dipersyaratkan


dalam bagian C dari sub bab I dalam bab ini (berkaitan dengan
penurunan yang signifikan dari kualitas udara) atau bagian D
dari subchapter I dari bab ini (berkaitan dengan nonattainment)
atau yang diduga telah melanggar (jika ada bukti bahwa
dugaan pelanggaran telah berulang) atau berada dalam
pelanggaran atas persyaratan izin tersebut.
(b) Pemberitahuan
Tidak ada gugatan yang dapat dimulai –
(1) dalam ayat (a) (1) bagian ini -
(A) sebelum enam puluh hari setelah penggugat telah
memberikan pemberitahuan dugaan pelanggaran (i)
kepada Administrator (penyelenggara negara), (ii) kepada
Negara dimana pelanggaran terjadi, dan (iii) untuk setiap
pelanggar dugaan batasan, standar, atau ketertiban; atau
(B) jika Administrator (penyelenggara negara) atau
Negara telah mulai menuntut gugatan perdata atau pidana
di pengadilan Amerika Serikat, atau Negara telah
melaksanakan kewajiban sesuai dengan batasan, undang-
undang, atau perintah, tetapi dalam setiap tindakan
tersebut di pengadilan Amerika Serikat setiap warga
negara dapat ikut serta sebagai hak warga negara.

Comprehenship Environmental Response Compensation and


Liability Act (§ 310) 42 U.S.C.A § 9659107
(a) Authority to bring civil actions
Except as provided in subsections (d) and (e) of this section
and in section 9613(h) of this title (relating to timing of
judicial review), any person may commence a civil action on
his own behalf—

107
Ibid., hal. 1114.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


51

(1) against any person (including the United States and


any other governmental instrumentality or agency, to the
extent permitted by the eleventh amendment to the
Constitution) who is alleged to be in violation of any standard,
regulation, condition, requirement, or order which has
become effective pursuant to this chapter (including any
provision of an agreement under section 9620 of this title,
relating to Federal facilities); or
(2) against the President or any other officer of the
United States (including the Administrator of the
Environmental Protection Agency and the Administrator of the
ATSDR) where there is alleged a failure of the President or of
such other officer to perform any act or duty under this
chapter, including an act or duty under section 9620 of this
title (relating to Federal facilities), which is not discretionary
with the President or such other officer.

Berkaitan dengan pengaturan citizen lawsuit tersebut di atas,


selanjutnya Timothy Belevetz berpendapat sebagai berikut :
“Although many of the statutory provisions enabling a private
citizen to sue contain language such as "any citizen" or "any
person," courts still must answer such questions as whether
the plaintiff sustained an actual injury, whether the law
invoked actually protects the alleged injury, and whether an
adequate nexus between the injury sustained and the conduct
challenged exists. In Lujan v. National Wildlife Federation, the
United States Supreme Court heard a case in which a private
plaintiff challenged land management practices in vast
portions of federally owned land. The Court held that by
claiming use and enjoyment of land "in the vicinity" of the
affected areas, the plaintiff did not allege an actual injury

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


52

sufficient to withstand the defendants' motion for summary


judgment”.108

2. Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit) di Australia

Di Australia khususnya di negara bagian New South Wales,


prosedur gugatan citizen lawsuit tercakup dalam Civil Enforcement
Proceedings yang termasuk kategori Class IV - environmental
planning and protection and development contract - civil
enforcement, pada prosedur pemeriksaan di Pengadilan Pertanahan
Lingkungan (Land and Environment Court Act 1979 Act No. 204 -
Sydney). Prosedur tersebut dibatasi hanya kepada pemulihan
lingkungan atau pembatasan dari kerusakan lingkungan (remedy or
restrain). Adanya standing ini adalah didasarkan pada dua faktor
yaitu perlindungan kepentingan masyarakat luas dan faktor
penguasaan sumber daya alam atau sektor-sektor yang memiliki
dimensi publik. Dan sasaran yang hendak dicapai dari Civil
Enforcement adalah untuk melaksanakan kekuasaan Undang-undang
atau peraturan mengenai lingkungan hidup, dengan memberikan
dorongan, sekaligus pendidikan hukum kepada masyarakat terhadap
hak lingkungannya, serta memberikan efek pencegahan (deterrent
effect) kepada pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan maupun
masyarakat luas.109

3. Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit) di India

108
Timothy Belevetz, op. cit., hal. 103-104.
109
Mas Ahmad Santosa, op. cit., hal. 62, David Mossop menyatakan bahwa “Today, the only
citizen suit provisions of any worth in practice are those in New South Wales. The first, the best
known and most used provision allowing citizen suits is s. 123 of the Environmental Planning and
Assesment Act 1979 No. 203. This allows any person to bring proceedings to remedy or restrain a
breach of the act whether or not any (private) right of that person has been infringed. As a result it
allows both the civil enforcement type action and the judicial review type action”, lihat juga David
Mossop, op. cit., hal. 5, untuk bunyi pasal 123 tersebut, lihat
http://www.austlii.edu.au/au/legis/nsw/consol_act/epaaa1979389/s123.html, diakses pada tanggal
10 Desember 2012.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


53

Di India, dalam hal citizen lawsuit maupun representative


standing, warga negara yang menjadi Penggugat tidak perlu
membuktikan adanya kerugian langsung yang bersifat riil dan
tangible. Dalam putusan Mahkamah Agung India pada perkara
gugatan citizen lawsuit antara S.H. Gupta melawan Union of India,
AIR (1982 (Feb) SC 149), ditegaskan bahwa setiap anggota
masyarakat siapapun juga dapat mengajukan gugatan apabila :
1. Terjadi suatu kesalahan hukum atau kerugian hukum yang
disebabkan oleh karena adanya suatu pelanggaran terhadap
konstitusi atau pelanggaran atas hak hukum tertentu atau
perbuatan lain yang bersifat menghukum;
2. Terjadinya suatu kesalahan hukum atau perbuatan pembebanan
hukum yang dilakukan tanpa otoritas hukum.
3. Seseorang atau kelompok masyarakat (klas) tertentu karena
alasan kemiskinan, ketidakberdayaan atau kecacatan atau jika
secara ekonomi maupun sosial berada dalam posisi merugikan
tidak memiliki kemampuan untuk mengajukan gugatan ke
Pengadilan.110

Berkaitan dengan perkembangan gugatan warga negara


(citizen lawsuit) di India, David Mossop menyatakan bahwa :

Perhaps most notable are the cases in India run by an


advocate of the Supreme Court named M.C. Mehta. These
cases, mostly reported as M.C. Mehta v. Union of India are a
fascinating study in citizen suits in their own right. Making
use of the Supreme Court of India's provision for public
interest litigation (see Gupta v. Union of India AIR 1982 SC
149; Peiris 1991). Mehta, as both plaintiff and advocate, has
challenged his own government and hundreds of polluting
corporations in the Supreme Court. Remarkably he has, by
and large, been successful. For those interested in citizen

110
Indro Sugianto, op. cit., hal. 40.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


54

suits as David and Goliath type struggles an examination of


the reported cases in which Mehta has been involved is
recommended.111

Begitu juga Jona Razzaque menyatakan bahwa “Some


environmental legislation includes special provisions on citizen lawsuit
where any member of the public can sue the public body if any provision
of the Act is not fulfilled. The court allows the citizen suits to be brought
as the person is acting on behalf of the government. Representative and
citizen suit has been used in India in environmental litigation”.112

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, jelaslah bahwa beberapa


negara yang diawali oleh Amerika Serikat kemudian Australia dalam hal ini
negara bagian New South Wales dan India telah mengakui adanya gugatan
warga negara (citizen lawsuit).

Akan tetapi ketentuan-ketentuan mengenai gugatan warga negara


(citizen lawsuit) sebagaimana diatur di Amerika Serikat tersebut haruslah
diuji oleh Hakim dalam putusannya apakah setiap orang atau badan hukum
telah memenuhi syarat sehingga dapat mempunyai kedudukan hukum
(standing) dalam mengajukan gugatan dengan mekanisme gugatan warga
negara (citizen lawsuit).

Selanjutnya konsep citizen lawsuit yang lahir di negara-negara yang


menganut sistem hukum common law sebagaimana diuraikan sebelumnya
sama dengan konsep actio popularis di negara yang menganut sistem hukum
civil law. Menurut Susanti Adi Nugroho “actio popularis adalah gugatan
yang dapat diajukan oleh setiap warga negara, sesuai dengan aturan-aturan
yang ditetapkan oleh negara. Dari pandangan ini, maka pengertian actio
popularis adalah pengajuan gugatan yang dapat dilakukan oleh setiap
orang terhadap adanya perbuatan melawan hukum, dengan

111
David Mossop, op. cit., hal. 6.
112
Jona Razzaque, Public Interest Environmental Litigation in India, Pakistan and Bangladesh,
(Netherlands : Kluwer Law International, 2004), hal. 217-218.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


55

mengatasnamakan kepentingan umum, berdasarkan peraturan


perundang-undangan yang mengatur adanya prosedur tersebut”.113

Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa “setiap anggota warga


negara atas nama kepentingan umum dapat menggugat negara atau
pemerintah atau siapa saja yang melakukan perbuatan melawan hukum,
yang nyata-nyata merugikan kepentingan umum dan kesejahteraan
masyarakat luas. Dalam actio popularis, hak mengajukan gugatan bagi
warga negara atas nama kepentingan umum adalah tanpa syarat, sehingga
orang yang mengambil inisiatif mengajukan gugatan tidak harus orang yang
mengalami sendiri kerugian secara langsung, dan juga tidak memerlukan
surat kuasa khusus dari anggota masyarakat yang diwakilinya”.114

Prinsip actio popularis berawal dari bangsa Romawi sebagaimana


yang diutarakan oleh E. Sundari yang menguraikan yaitu :

Bangsa Romawi dalam kehidupan hukumnya mengenal adanya


prosedur pengajuan gugatan yang melibatkan kepentingan umum
secara perwakilan, yakni actio popularis. Menurut Gokkel actio
popularis adalah gugatan yang dapat diajukan oleh setiap warga
negara, tanpa pandang bulu, dengan pengaturan oleh negara.
Menurut Kottenhagen-Edzes, dalam actio popularis setiap
orang, dapat menggugat atas nama kepentingan umum dengan
menggunakan Pasal 1401 Niew BW (Pasal 1365 BW). Dari
pendapat-pendapat tarsebut, maka actio popularis dapat diberi
batasan sebagai pengadaan gugatan yang dapat dilakukan oleh
setiap orang terhadap adanya perbuatan melawan hukum, dengan
mengatasnamakan kepentingan umum, berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang mengatur adanya prosedur
tersebut.115

113
Susanti Adi Nugroho, op. cit, hal.385.
114
Sudikno Mertokusumo, Actio Popularis, loc. Cit.
115
E. Sundari, op. cit., hal. 15-16.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


56

Peter De Smedt menyatakan bahwa “An actio popularis can be


defined as an action brought by a citizen or an association (e.g.
Environmental NGOs) before a court in the general interest, without any
need to show a personal interest”.116

Mengenai perkembangan actio popularis di negara yang menganut


sistem hukum civil law, patutlah juga diuraikan mengenai gugatan actio
popularis di beberapa negara, sebagaimana tersebut di bawah ini :

1. Belanda

Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa “Actio


popularis di Negeri Belanda sejak 1 Juli 2005 telah dihapus”.117

Hanna Tolsma, Kars de Graaf dan Jan Jans menyatakan


yaitu :

The actio popularis was abolished in respect of environmental


permitting on 1 July 2005. Currently, unlike the situation
previously, access to the courts in respect of municipal
planning procedures and an important category of
environmental permits is no longer open to everybody. The
legislature has opted to bring the regime applying to
environmental permitting into line with the interested party
regime in section 1:2 GALA. According to the government, the
change in the law sends important signal that serious effort
are being made to reduce “unnecessary” litigation.118

Selanjutnya Peter De Smedt menyatakan yaitu :

116
Peter De Smedt, Legal Tools to Encourage Citizen Participation in Environmental Enforcement
in The Flemish Region (Belgium), http://inece.org/conference/9/papers/Smedt_Flanders_final.pdf,
dikases pada tanggal 2 Oktober 2012, hal. 1.
117
Sudikno Mertokusumo, Actio Populrais, loc.cit.
118
Hanna Tolsma, Kars de Graaf dan Jan Jans, The Rise and Fall of Access to Justice in The
Netherlands, (Oxford University Press : Journal of Environmental Law 21:2, 2009), hal. 315-316.
Article 1:2 GALA (Dutch General Administrative Law Act) : 1. “Interested party” means a person
whose interest is directly affected by an order.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


57

In Holland, for example, the actio popularis has been


abolished in 2005. Since 1 July 2005 the word “everyone” in
Article 18.14 of the Environmental Management Act was
substituted by the word “interested”, so only “interested”
parties can request for administrative measures. The word
“interested party” has a rather constricted definition.
Accordance to Article 1:2 of the Dutch General Administrative
Law Act “interested party” means a person whose interests
are directly affected by a decision. People who are suffering
environmental nuisance can be considered as an “interested
party.119

Penghapusan actio popularis tersebut mendapatkan banyak


kritik, sebagaimana yang diutarakan Jonathan Verschuuren
menguraikan bahwa :

The proposal to abandon the actio popularis met a lot of


criticism. In my view, the line of reasoning of the Cabinet is
contrary to the Aarhus Convention. Although the Aarhus
Convention does not explicitly necessitate an indirect actio
popularis, it still is rather odd to reduce access to justice in
environmental matters, where the Aarhus Convention in its
preambular provisions clearly states that access to justice must
be improved.120

Berdasarkan uraian-uraian sebagaimana yang disebutkan di


atas, jelaslah bahwa actio Popularis di Belanda yang awal mulanya
adalah memberikan hak kepada setiap orang melakukan gugatan
telah dihapuskan menjadi hanya pihak-pihak yang mempunyai
kepentingan yang dapat meminta adanya gugatan administratif jika

119
Peter De Smedt, op. cit., hal. 9. Article 18.14 Environmental Management Act : 1. Any person
may request an administrative authority authorised to apply executive coercion, impose an order
for a monetary penalty or withdraw a licence or exemption to give a decision to this effect.
120
Jonathan Verschuuren, http://www.portill.nl/articles/verschuuren/jv8.PDF, diakses pada tanggal
11 Oktober 2012, hal. 5.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


58

terjadi pelanggaran lingkungan hidup. Hal tersebut sesuai dengan


pasal 1:2 General Administrative Law Act menguraikan “interested
party” adalah seseorang yang kepentingannya terpengaruh langsung
dari suatu keputusan. Perubahan peraturan perundang-undangn
tersebut memberikan tanda bahwa pemerintah Belanda bermaksud
mengurangi gugatan yang tidak perlu.

Penghapusan actio popularis tersebut mendapatkan banyak


kritik, sebagaimana yang diutarakan Jonathan Verschuuren di atas,
karena hal tersebut bertentangan dengan Konvensi Aarhus121,
walaupun Konvensi Aarhus tidak secara eksplisit mengharuskan
suatu actio popularis, masih agak aneh mengurangi akses terhadap
keadilan dalam hal lingkungan, di mana Konvensi Aarhus dalam
ketentuan preambul jelas menyatakan bahwa akses terhadap keadilan
(access to justice) harus ditingkatkan.

2. Belgia khususnya Wilayah Flemish

Perkembangan actio popularis di Belgia sebagaimana yang


diuraikan oleh Peter De Smedt, yaitu :

Although the existence of an actio popularis is still a matter of


controversy among prominent Belgian jurists and politicians,
this wide-ranging access to administrative and judicial
proceedings is explicitly recognized in the Belgian Federal
Environmental Protection Act (1993) and the Flemish
Enforcement Decree (2007).122

121
Convention on Access to Information, Public Participation in Decision-Making and Access to
Justice in Environmental Matters yang lebih dikenal dengan konvensi Aarhus ditandatangani pada
tanggal 25 Juni 1998 di Aarhus, Denmark, untuk lebih jelasnya lihat
http://www.unece.org/fileadmin/DAM/env/pp/documents/cep43e.pdf, diakses pada tanggal 18
Oktober 2012.
122
Peter De Smedt, op. cit., hal. 1.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


59

Article 16.4.18., §1 of the Enforcement Decree grants the right


to request for administrative enforcement to the following
persons:
If they are aware of an environmental violation or
environmental crime being committed, the following persons
may request the persons stated in Article 16.4.6 to impose
administrative measures:
1. natural persons and legal persons who suffer direct loss as
a result of the environmental violation or the
environmental crime;
2. natural persons and legal persons who have an interest in
curbing the environmental violation or the environmental
crime;
3. legal persons within the meaning of the Federal Act of 12
January 1993 on the right to act in protection of the
environment.123
Terjemahan bebasnya adalah bahwa actio Popularis di
Belgia masih sebuah kontroversi di kalangan para ahli hukum dan
politisi. Akan tetapi telah diakui – khususnya wilayah Flemish –
melalui suatu Keputusan (Flemish Enforcement Decree). Actio
popularis di wilayah Flemish berupa penerapan tindakan
administratif yang bisa dilakukan oleh :
1. perorangan atau badan hukum yang menderita kerugian langsung
terhadap adanya suatu pelanggaran lingkungan hidup atau tindak
pidana lingkungan hidup ;
2. perorangan atau badan hukum yang mempunyai kepentingan
dalam membatasi terjadinya pelanggaran lingkungan hidup atau
tindak pidana lingkungan hidup ;
3. badan hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Federal Act of
12 January 1993 mempunyai hak untuk melakukan tindakan
dalam perlindungan lingkungan hidup.

123
Ibid, hal. 2-3.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


60

3. Hungaria

Mate Julesz menyebutkan Perkembangan actio popularis di


Hungaria yaitu :

Throughout history, little success has emerged from efforts to


achieve an acceptable balance of the two interests. We are
now witnessing the rebirth of the institution of actio popularis,
in the form of actions aimed at benefitting the public by a civil
organization or the public prosecutor in the name of the
people. In Hungary, the environmental actio popularis was
created by Act 53 of 1995 on Environment Protection, Act 53
of 1996 on the Protection of Nature, and Act 28 of 1998 on the
Protection of Animals. Hungary is awaiting the introduction of
a new Civil Code in 2010 which will relate to these
institutions. The notion of damage caused by violating the
rules of nature protection, defined by Subsection (2) of
Section 81 of the Act on the Protection of Nature, allows the
public prosecutor to request symbolic compensation in the
name of groups of people, or the whole of society when such
damage arises.124

Berdasarkan uraian Mate Julesz sebagaimana yang


disebutkan di atas, jelaslah bahwa actio Popularis di Hungaria
dikenal dalam bentuk gugatan yang dilakukan oleh organisasi non
pemerintah atau oleh jaksa penuntut umum atas nama masyarakat
untuk kepentingan publik. Actio Popularis sebagaimana citizen
lawsuit juga suatu mekanisme gugatan yang lebih dikenal dalam
penegakan hukum lingkungan.

Dengan demikian, berdasarkan uraian-uraian sebelumnya dapat


disimpulkan bahwa istilah actio popularis di negara yang menganut sistem

124
Mate Julesz The Individual and the Environment: the New Hungarian Civil Code, (The Open
Law Journal, Volume 3, 2010), hal. 2.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


61

hukum civil law memiliki persamaan dan perbedaan dengan istilah citizen
lawsuit di negara yang menganut sistem hukum common law.125 Persamaan dan
perbedaan tersebut sebagaimana diuraikan dalam tabel 2.1 di bawah ini.

Tabel 2.1
Persamaan dan Perbedaan antara
Gugatan warga negara (Citizen Lawsuit) dengan Actio Popularis
Citizen Lawsuit Actio Popularis
Persamaan 1.sejarahnya sama-sama dikenal dalam 1.sejarahnya sama-sama dikenal
perkara lingkungan. dalam perkara lingkungan.
2.sama-sama bertujuan untuk 2.sama-sama bertujuan untuk
melindungi kepentingan umum melindungi kepentingan umum
Perbedaan 1.berasal dari common law system, 1.berasal dari civil law system,
seperti Amerika Serikat, Australia seperti Hungaria dan Belgia
khususnya negara bagian New khususnya wilayah Flemish,
South Wales, dan India sedangkan di Belanda telah
dihapuskan.
2.yang berhak mengajukan gugatan 2.di Hungaria, yang berhak
adalah setiap orang (any person). mengajukan gugatan adalah “a
civil organization or the public
prosecutor in the name of the
people”, sedangkan di Belgia
khususnya wilayah Flemish,
yang berhak mengajukan
gugatan adalah perorangan
atau badan hukum.

125
Susanti Adi Nugroho, op. cit. hal. 384-385, Emerson Yuntho juga menyatakan bahwa : “Prinsip
actio popularis dalam sistem hukum civil law sama dengan prinsip citizen lawsuit dalam sistem
hukum common law, misalnya dalam gugatan terhadap pelanggaran pencemaran lingkungan yang
diajukan oleh warga negara, lepas apakah warga negara tersebut mengalami secara langsung atau
tidak langsung dari pencemaran tersebut. Hal ini dikarenakan masalah perlindungan lingkungan
merupakan kepentingan umum atau kepentingan masyarakat luas, maka setiap warga negara
berhak menuntutnya”, Emerson Yuntho, Class Action Sebuah Pengantar, (Jakarta : Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat, 2005), hal. 7- 8.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


62

2.2 Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit atau Actio Popularis) di


Indonesia

Negara Indonesia adalah negara hukum di mana salah satu ciri


negara hukum adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
yang mengandung perlakuan yang sama di bidang-bidang hukum, hal ini
sebagaimana tercantum dalam pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum”.126

Selanjutnya dalam Undang-Undang (UU) Nomor 39 tahun 1999


tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 17 mengatur bahwa “Setiap orang. tanpa
diskiriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan
permohonan. pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata,
maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan
tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan
yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan
yang adil dan benar”.127

Berdasarkan hal tersebut, jelaslah bahwa UUD 1945 dan UU


Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia merupakan sumber
hukum adanya pengakuan setiap warga negara (citizen) untuk menuntut
keadilan di hadapan hukum dalam hal ini mengajukan gugatan perdata ke
pengadilan, yang sesuai dengan konsep gugatan warga negara (citizen
lawsuit) sebagaimana diuraikan sebelumnya.

Akan tetapi dalam sistem hukum di Indonesia, mekanisme citizen


lawsuit tersebut belum diatur. Tidak seperti gugatan perwakilan kelompok
(class action) yang sudah diatur melalui PERMA No. 1 Tahun 2002,
126
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta : Sekretariat Jenderal MPR RI, 2002).
127
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
LEMBARAN NEGARA (LN) REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 165, tanggal 23
September 1999, TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA (TLN) REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3886.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


63

meskipun telah lama dikenal dan berlaku di negara-negara yang menganut


sistem hukum common law, seperti Inggris dan negara bekas jajahannya.128

Konsep gugatan warga negara (citizen lawsuit) sebenarnya diatur


dalam Pasal 93 Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan yaitu :
(1) Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha
negara apabila :
a. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan
kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal tetapi tidak
dilengkapi dengan dokumen amdal;
b. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan
kepada kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi tidak dilengkapi
dengan dokumen UKLUPL; dan/atau
c. badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin usaha
dan/atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan. 129

Konsep gugatan warga negara (citizen lawsuit) diatur dalam Pasal


93 ayat (1) Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana disebut di atas, akan tetapi
konsep gugatan warga negara (citizen lawsuit) tersebut menjadi hapus
atau tidak ada karena selanjutnya Pasal 93 ayat (2) yang berbunyi “Tata
cara pengajuan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara
mengacu pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara”.130

128
Susanti Adi Nugroho, op. cit, hal. 390.
129
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, LN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 140, TLN
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5059
130
Dalam Pasal 53 (1) UU Nomor 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 tahun 2004 Jo. UU No. 51 tahun
2009, tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan bahwa “Orang atau badan hukum
perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat
mengajukan gugatan tertulis….”, hal ini menjelaskan bahwa gugatan hanya bisa dilakukan oleh
orang atau badan hukum yang merasa kepentingannya dirugikan, hal tersebut bertentangan
dengan konsep gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang menyatakan bahwa setiap orang bisa
melakukan gugatan tanpa harus merasa kepentingannya dirugikan, sehingga ketentuan pasal 93
ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 ini bertentangan dengan Pasal 93 ayat (1), Lihat
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


64

Bahwa walaupun undang-undang di Indonesia belum secara jelas


mengatur tentang mekanisme gugatan warga negara (citizen lawsuit) ini,
akan tetapi dalam praktik peradilan di Indonesia, sebenarnya gugatan yang
dilakukan oleh individu dengan mengatasnamakan kepentingan umum
(seperti konsep gugatan warga negara (citizen lawsuit) atau actio popularis)
sudah pernah diajukan pada tahun 1987 dan tahun 1988. Hakim dalam
putusan kedua perkara tersebut berpendapat bahwa gugatan yang diajukan
penggugat mirip dengan prinsip actio popularis, akan tetapi prinsip actio
popularis tersebut belum dikenal di Indonesia dan harus tertuang di dalam
perundang-undangan, maka kedua gugatan tersebut tidak dapat diterima
sebatas pengertian kepentingan warga negara yang diwakili oleh
penggugat.131

Setelah dua putusan pengadilan negeri tersebut, barulah pada tanggal


8 Desember tahun 2003 melalui Putusan Jakarta Pusat Nomor :
28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst, gugatan warga negara (citizen lawsuit atau
actio popularis) diakui dalam praktik peradilan Indonesia. Setelah putusan
tersebut, terdapat tiga putusan pengadilan negeri yang mengabulkan gugatan
warga negara (citizen lawsuit) sampai dengan Putusan Akhir.

Berikut diuraikan beberapa putusan Pengadilan yang berkaitan


dengan gugatan warga negara (citizen lawsuit atau actio popularis) yaitu
antara lain sebagai berikut : 132

k. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang “Kasus Bentoel”


Penggugat R.O. Tambunan melawan P.T. Rokok Bentoel, Pemerintah RI

LN TAHUN 1986 NOMOR 77, TLN NOMOR 3344, Republik Indonesia, Undang-Undang
Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, LN TAHUN 2004 NOMOR 35, TLN NOMOR 4380, Republik
Indonesia, Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, LN TAHUN 2009 NOMOR 160,
TLN NOMOR 5079.
131
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Nomor : 533/Pdt/G/1987/PN Jkt.Pst, tanggal 1 Juni
1988, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Nomor : 251/Pdt/G.IX/1988/PN Jkt.Pst, tanggal 2
Agustus 1988, lihat juga E. Sundari, op. cit., hal 113-116, lihat juga Paulus Effendi Lotulung, op.
cit., hal. 62-63.
132
E. Sundari, op. cit., hal 113-116, Susanti Adi Nugroho, op. cit, hal. 390, lihat juga Bambang H.
Mulyono, op.cit, hal. 51-52.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


65

cq. Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Pemerintah RI cq.


Menteri Kehakiman cq. Dirjen Hukum dan Perundang-Undangan RI, cq.
Dirjen Paten dan Hak Cipta, serta Pengusaha Radio Prambors, Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 533/Pdt/G/1987/PN Jkt.Pst
jo. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 158/ Pdt/1989/PT. DKI,
menyatakan gugatan tidak dapat diterima karena prinsip actio
popularis tersebut belum dikenal di Indonesia dan harus tertuang di
dalam perundang-undangan.
l. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kasus “Demam Berdarah”
dengan Penggugat Mochtar Pakpahan melawan para Tergugat adalah
Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, serta Kepala Dinas/
Kantor Wilayah Kesehatan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta,
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 251/Pdt/G/1988/PN
Jkt.Pst, menyatakan gugatan tidak dapat diterima karena prinsip
actio popularis tersebut belum dikenal di Indonesia dan harus
tertuang di dalam perundang-undangan.
m. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang gugatan Citizen
Lawsuit atas nama Munir cs. Dalam kasus penelantaran negara terhadap
TKI Migran yang dideportasi di Nunukan – dikabulkan oleh Majelis
Hakim dengan Putusan Nomor 28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst, tanggal
8 Desember 2003, akan tetapi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut
dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan Putusan Nomor:
480/PDT/2005/PT.DKI, Jakarta, 4 April 2006, dengan pertimbangan
bahwa Para tergugat tidak terbukti telah melakukan perbuatan melawan
hukum, maka gugatan para Penggugat harus ditolak seluruhnya.
n. Gugatan Citizen Lawsuit atas kenaikan BBM oleh LBH APIK. Gagal,
dinyatakan bahwa bentuk gugatan Citizen Lawsuit tidak diterima Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
o. Gugatan Citizen Lawsuit atas Operasi Yustisi oleh LBH Jakarta. Gagal,
dinyatakan bahwa bentuk Citizen Lawsuit tidak diterima Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


66

p. Gugatan Citizen Lawsuit atas penyelenggaraan Ujian Nasional oleh LBH


Jakarta. Dikabulkan untuk sebagian, Pemerintah diminta meninjau
ulang kebijakan penyelenggaraan Ujian Nasional. Pemerintah
(Tergugat) kemudian mengajukan banding, dan pada tanggal 6
Desember 2007, Nomor : 337/PDT/2007/PT.DKI, telah diputus oleh
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menguatkan putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat tertanggal 21 Mei 2007 Nomor :
228/PDT.G/2006/PN.JKT.PST, serta dikuatkan Mahkamah Agung
tertanggal 14 September 2009, nomor : 2596/K/PDT/2008.
q. Putusan Sela Perkara Nomor 40/Pdt.G/2008/PN.JKT.Sel tanggal 19
Mei 2008, Gugatan Citizen Lawsuit oleh para Penggugat yang
mengatasnamakan Masyarakat Pengguna Jalan Tol pada Jalan Tol
Lingkar Luar Jakarta (JORR), dalam putusan tersebut dinyatakan
bahwa gugatan para Penggugat tidak dapat diterima, karena
tidak terpenuhinya syarat formil berupa notifikasi.
r. Putusan Perkara Nomor 145/Pdt.G/2009/PN.JKT.PST. tanggal 03 Juni
2009, Gugatan Citizen Lawsuit oleh para Penggugat yang
mengatasnamakan warga negara pemegang hak untuk memilih dalam
Pemilihan Umum (Pemilu) 2009, dalam putusan tersebut dinyatakan
bahwa gugatan para Penggugat tidak dapat diterima, adalah juga
karena tidak terpenuhinya syarat formil, yaitu tidak memenuhi
syarat jangka waktu notifikasi. 133
s. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 476/PDT.G/2009
/PN.JKT.PST, tanggal 19 Agustus 2010, antara David M.L. Tobing,
SH., MKn, dkk (2 orang) sebagai PARA PENGGUGAT melawan
Negara Republik Indonesia cq. Presiden Republik Indonesia dkk sebagai
Tergugat, di mana gugatan warga negara (citizen lawsuit) tersebut
ditolak dalam Putusan Akhir, akan tetapi mekanisme gugatan

133
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Sela Nomor : 145/Pdt.G/2009/PN.JKT.PST. tanggal
03 Juni 2009.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


67

warga negara (citizen lawsuit) diakui dalam putusan sela Majelis


Hakim.134
t. Putusan Sela Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 111/PDT.G/2010
/PN.JKT.PST, tanggal 13 Oktober 2011, antara Febri Irwansyah dkk,
melawan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia dkk, dalam putusan
sela, gugatan tidak dapat diterima karena tidak memenuhi syarat
gugatan warga negara (citizen lawsuit) dan kadaluwarsa.135
u. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
500/PDT.G/2010/PN.JKT.PST, tanggal 13 Oktober 2011 antara Prof.
Dr. ADLER H. MANURUNG dkk, melawan Negara Republik Indonesia
cq. Kementerian Badan Usama Milik Negara (BUMN) dkk, tentang
penjualan Saham PT Krakatau Steel dengan harga yang sangat Murah,
gugatan para Penggugat tidak dapat diterima (niet
136
onvankelijkverklaard) karena kurang pihak.
v. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 278/PDT.G/2010
/PN.JKT.PST, tanggal 13 Juli 2011, antara Ir. H. Said Iqbal, M.E, dkk
(120 orang) sebagai PARA PENGGUGAT melawan Negara Republik
Indonesia cq. Presiden Republik Indonesia dkk sebagai Tergugat, di
mana gugatan warga negara (citizen lawsuit) dikabulkan
137
sebagian.
w. Putusan Sela Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
53/PDT.G/2012/PN.JKT.PST, tanggal 25 Juli 2012, antara Agustinus
Dawarja, dkk melawan Pemerintah Propinsi DKI dkk, di mana

134
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Sela Nomor : 476/PDT.G/2009 /PN.JKT.PST, antara
David M.L. Tobing, SH., MKn, dkk (2 orang) melawan Negara Republik Indonesia cq. Presiden
Republik Indonesia, tanggal 19 Agustus 2010.
135
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Sela Nomor : 111/PDT.G/2010 /PN.JKT.PST, antara
Febri Irwansyah dkk, melawan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia dkk, tanggal 13 Oktober
2011.
136
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Sela Nomor : 500/PDT.G/2010/PN.JKT.PST, tanggal
13 Oktober 2011 antara Prof. Dr. Adler H Manurung dkk, melawan melawan Negara Republik
Indonesia cq. Kementerian Badan Usama Milik Negara (BUMN) dkk.
137
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Nomor 278/PDT.G/2010 /PN.JKT.PST, antara Ir. H.
Said Iqbal, M.E, dkk (120 orang) melawan Negara Republik Indonesia cq. Presiden Republik
Indonesia dkk, tanggal 13 Juli 2011.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


68

mekanisme gugatan warga negara (citizen lawsuit) diakui dalam


putusan sela Majelis Hakim.138

Di samping putusan-putusan tersebut, masih banyak lagi gugatan


warga negara (citizen lawsuit) yang diajukan ke pengadilan negeri, antara
lain sebagai berikut :

1. Gugatan citizen lawsuit atas kenaikan BBM oleh LBH APIK. Gagal,
dinyatakan bahwa bentuk gugatan Citizen Lawsuit tidak diterima Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 139
2. Gugatan citizen lawsuit atas Operasi Yustisi oleh LBH Jakarta. Gagal,
dinyatakan bahwa bentuk Citizen Lawsuit tidak diterima Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 140
3. Gugatan citizen lawsuit Marwan Batubara dkk dalam perkara No.
278/Pdt.G/2008/PN.JKT.PST kandas lantaran tidak memenuhi syarat
formil gugatan citizen lawsuit. Pasalnya, gugatan dilayangkan tanpa ada
notifikasi sebelumnya.141
4. Gugatan warga negara (citizen lawsuit) Masyarakat Sipil untuk
Kesejahteraan Rakyat (MSKR) Nusa Tenggara Barat (NTB) melawan
pemerintah terkait divestasi tujuh persen saham PT Newmont Nusa
Tenggara (NNT). Jangka waktu pemberian notifikasi adalah dua bulan
atau selambat-lambatnya enam puluh hari sebelum gugatan dibacakan.
Namun, MSKR NTB hanya menotifikasi para tergugat dalam jangka
waktu tujuh hari. Atas dalil ini, majelis secara tegas menyatakan gugatan
MSKR NTB tidak memenuhi syarat notifikasi.142

138
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Sela Nomor : 53/PDT.G/2012/PN.JKT.PST, tanggal
25 Juli 2012, antara Agustinus Dawarja, dkk melawan Pemerintah Propinsi DKI dkk
139
Susanti Adi Nugroho, lo. cit, lihat juga Bambang H. Mulyono, lo. cit.
140
Ibid.
141
Mon, Gugatan Citizen Lawsuit Marwan Batubara Cs Kandas,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol22594/gugatan-icitizen-lawsuiti-marwan-batubara-
cs-kandas, 16 Juli 2009, diakses pada tanggal 28 Nopember 2012.
142
Hrs, Newmont Gagalkan Citizen Lawsuit Masyarakat,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50adb8386f0f9/newmont-gagalkan-icitizen-law-suit-i-
masyarakat, 22 Nopember 2012, diakses pada tanggal 28 Nopember 2012.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


69

5. Majelis hakim menolak gugatan warga negara (citizen law suit/CLS)


para Pekerja Rumah Tangga (PRT).143
6. Gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang diajukan oleh Ahmad
Taufik dkk melawan pemerintah propinsi DKI Jakarta, PT Pembangunan
Jaya Ancol Tbk (PJA), dkk, di mana Majelis Hakim dalam putusan
selanya menolak eksespi Para Tergugat dan menyatakan berwenang
memeriksa, mengadili perkara tersebut.144
7. Gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang terbaru adalah antara
Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta dengan tergugat
Negara Kesatuan Republik Indonesia atas nama Presiden dan Wakil
Presiden RI, DPR RI dan dua perusahaan air munum PT PAM
Lyonnaise Jaya PT Aetra dan Perusahaan Daerah Air Minum Provinsi
DKI Jakarta.145

Berkaitan dengan gugatan warga negara (citizen lawsuit) tersebut,


Susanti Adi Nugroho berpendapat bahwa “meskipun gugatan citizen lawsuit
atau gugatan warga negara terhadap penyelenggara negara masih jarang
dikabulkan di Indonesia, dengan alasan karena gugatan perorangan yang
mengatasnamakan kepentingan publik, namun tidak dipungkiri bahwa
gugatan citizen lawsuit saat ini telah hadir dan mewarnai sistem peradilan
Indonesia”.146

2.3 Pengertian Standing, Notifikasi, Kepentingan Umum dan Perbuatan


Melawan Hukum dalam Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit)

Dalam gugatan warga negara (citizen lawsuit), penggugat harus


memiliki `standing" untuk mengajukan gugatan citizen lawsuit ini.

143
Gugatan CLS (Citizen Lawsuit) ditolak PRT ajukan banding,
http://pahamindonesia.org/publikasi/berita-dunia-seputar-ham/77-gugatan-cls-citizen-law-suit-
ditolak,-prt-ajukan-banding.html, diakses pada tanggal 28 Nopember 2012.
144
Hrs, Pengadilan Lanjutkan Perseteruan Masyarakat dan Ancol
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50b03aca3830d/pengadilan-lanjutkan-perseteruan-
masyarakat-dan-ancol, 24 Nopember 2012, diakses pada tanggal 28 Nopember 2012.
145
Eh, ICW dkk Gugat Swastanisasi Air Minum Jakarta,
http://metro.news.viva.co.id/news/read/369148-icw-dkk-gugat-swastanisasi-air-minum-jakarta, 21
Nopember 2012, diakses pada tanggal 28 Nopember 2012.
146
Susanti Adi Nugroho, op. cit, hal. 391-392, lihat juga Arko Kanandito, loc.cit.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


70

Tergugat dapat menuntut pembatalan gugatan citizen lawsuit apabila


penggugat tidak memiliki "standing" untuk menjadi penggugat citizen
lawsuit.147

Istilah standing sendiri menurut Black’s Law Dictionary adalah “a


party’s rights to make a legal claim or seek judicial enforcement of duty or
right”, (terjemahan bebasnya adalah hak-hak para pihak dalam mengajukan
tuntutan hukum atau meminta penegakan hukum melalui pengadilan
terhadap suatu hak dan kewajiban).148

Di Amerika Serikat persyaratan untuk memperoleh kedudukan


(standing) tersebut dari dua sumber yaitu : constitutional dan prudential.
Jika para pihak tidak memiliki constitutional standing, pengadilan tidak
mempunyai kewenangan dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara.
Dalam Article III clause 2 Konstitusi Amerika Serikat, memberikan
kewenangan kepada Pengadilan Federal untuk menyelesaikan “kasus” dan
“sengketa”. Pengadilan tidak boleh mengadili baik secara teoretis atau
bahkan secara konkret jika para pihak hanya memiliki kepentingan yang
abstrak. Penggugat harus mempunyai kepentingan yang cukup dalam
memenuhi persyaratan constitutional standing.149

Sedangkan prudential standing memberikan kewenangan kepada


Hakim dalam mengidentifikasikan prudential standing ini ke dalam 3 (tiga)
cara identifikasi, yaitu : (1) the limitation on taxpayer or generalized

147
Indro Sugianto, op.cit., hal. 37, Timothy Belevetz juga menyatakan bahwa “A citizen suit
defendant may challenge the plaintiffs standing to prosecute the action”, lihat Timothy Belevetz,
op. cit., hal. 110.
148
Henry Campbell Black, Bryan A Garner et. al, Ed., op. cit., hal. 1442, padanan dalam bahasa
Indonesia menurut Peraturan MK (PMK) No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam
Pengujian Undang-Undang, Pasal 5 huruf b menyebut istilah kedudukan hukum yang
dipersamakan dengan istilah Legal Standing.
149
Timothy Belevetz, op. cit., hal. 110-111, penggugat harus memenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu: (1)
injury-in-fact; (2) causation; and (3) redressability, lihat Joshua L. Sohn, The Case for Prudential
Standing, http://works.bepress.com/cgi/viewcontent.cgi?article=1001&context=joshua_sohn,
diakses pada tanggal 10 Desember 2012, lihat juga Gregory Apgar, Prudential Standing
Limitations on Lanham Act False Advertising Claims, (Fordham Law Review, Vol. 76, 2008), hal.
2393.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


71

grievance standing, (2) the zone of interests test and (3) limitations on third-
party standing.150

Gregory Apgar mengutip apa yang diutarakan dalam kasus Warth v.


Seldin yaitu “In Warth v. Seldin, the Court stated that the finding of
prudential standing depends essentially on "whether the constitutional or
statutory provision on which the claim rests properly can be understood as
granting persons in the plaintiff’s position a right to judicial relief." (Dalam
kasus Warth v Seldin, Pengadilan menyatakan bahwa prudential standing
pada dasarnya tergantung pada apakah ketentuan konstitusi atau undang-
undang tentang pernyataan ini didasarkan benar dan dapat dipahami sebagai
pemberian hak untuk bantuan hukum kepada orang dalam posisinya sebagai
penggugat).151

Indro Sugianto menyatakan bahwa “Prudential standing "...is


necessary in cases not involving the specific congressional authorization
found in citizens suit in order to satisfy judicial concerns for efficiency and
aggressive advocacy" (diperlukan jika dalam suatu kasus yang tidak
melibatkan kewenangan spesifik Kongres yang ditemukan dalam gugatan
warga negara (citizen lawsuit) untuk meminta perhatian penuh pengadilan
dalam efisiensi dan advokasi yang agresif).152

Berkaitan dengan standing ini, Timothy Belevetz mengemukakan


bahwa cabang yang paling penting dan sangat kompleks adalah mengenai
persyaratan standing153, hal ini dapat dilihat dari perkembangan standing di
Amerika Serikat, berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Agung, yaitu
sebagai berikut :
1. Putusan Valley Forge Christian College v. Americans United for
Separation for Church and State (454 U.S. 464 (1982), yang
menyaratkan penggugat harus menunjukkan bahwa :

150
Shriver Center's, Standing, http://federalpracticemanual.org/node/19, diakses pada tanggal 10
Desember 2012.
151
Ibid., hal. 2394.
152
Indro Sugianto, loc.cit.
153
Timothy Belevetz, op. cit., hal. 111.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


72

1. dirinya …. menderita kerugian atau ancaman kerugian yang nyata


sebagai hasil dari tindakan yang diduga melawan hukum (illegal)
yang dilakukan oleh tergugat;
2. bahwa kerugian dapat (cukup) ditelusuri (traced) sebagai akibat
tindakan tergugat; dan
3. kemungkinan akan diatasi oleh keputusan yang menguntungkan.154
2. Putusan Laird v. Tatum (408 U.S. 1, 13-14 (1972), di mana Mahkamah
Agung berpendapat bahwa suatu kepentingan yang dimiliki bersama
oleh semua anggota masyarakat tidak mungkin membentuk dasar
standing, karena kerugian bersama tentu saja terlalu abstrak.155
3. Putusan Sierra Club v. Morton (405 U.S. 727 (1972), Mahkamah Agung
berpendapat bahwa penggugat yang menyatakan dan mampu
menunjukkan kerugian terhadap kepentingan estetika (keindahan alam)
atau kepentingan lingkungan memenuhi persyaratan kerugian atau
ancaman kerugian yang nyata.156
4. Putusan United States v. Students Challenging Regulatory Agency
Procedures (SCRAP) (412 U.S. 669, (1973), Mahkamah Agung
menolak untuk menyangkal standing hanya karena kerugian akan
berdampak pada sejumlah besar orang.157
5. Putusan Lujan v. National Wildlife Fededration (497 U.S. 871 (1990),
Mahkamah Agung dalam hal ini Justice Scalia menyatakan bahwa
“sekalipun Penggugat dapat memenuhi syarat kehadiran aktual,
penggugat hanya dapat menggugat lahan yang benar-benar digunakan
oleh anggota NWF tersebut, dan bukan seluruh lahan yang
158
dipersoalkan. The court held by claiming use and enjoyment of land
"in the vicinity" of the affected areas, the plaintiff did not allege an

154
Ibid.
155
Ibid.
156
Ibid., hal. 113.
157
Ibid., hal 114.
158
Mas Ahmad Santosa, Gugatan AJI : Perluasan Hak Gugat Organisasi (Legal Standing), dalam
Dictum Jurnal Kajian Putusan Pengadilan Edisi 2, (2004), hal. 58.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


73

actual injury sufficient to withstand the defendants motion for summary


judgment”.159
6. Putusan Save Ourselves v. United States Army Corps of Engineers (958
F.2d 659 (5th Cir. 1992) the Fifth Circuit Court of Appeals menyatakan
bahwa menolak standing Penggugat karena penggugat gagal untuk
menyerahkan pernyataan tertulis atau bukti lain yang menunjukkan
bahwa tindakan Corps memengaruhi anggotanya, tidak menyatakan
fakta-fakta tertentu yang menunjukkan kerugian langsung ke setiap
anggotanya cukup untuk memberikan standing kepada Penggugat.160

Berdasarkan uraian-uraian tersebut jelaslah bahwa telah terjadi


perkembangan standing doctrine di Amerika yang merupakan hasil
interpretasi Hakim melalui Putusan Pengadilan. Syarat adanya injury in fact
dalam menentukan standing Penggugat sangat penting, karena “the injury-
in-fact requirement is necessary to ensure that the judiciary stays within its
“province . . . of deciding on the rights of individuals.”161

Sedangkan di India, dalam konteks gugatan perdata secara


tradisional yang diperbolehkan menggugat hanyalah the person aggrieved.
The person aggrieved di sini diartikan seseorang atau sekelompok orang,
termasuk organisasi yang hak-hak individual dan berkaitan dengan hak
kepemilikan terganggu. Akan tetapi pada tahun 1974 melalui putusan
Mahkamah Agung dalam kasus K. Ramdas Shenoy melawan the Chief
Officers, Town Municipal Council, Udipi, rumusan standing mulai
diperlonggar. Dalam kasus ini pembayar pajak (walaupun tidak mengalami
kerugian secara individual) menggugat otoritas kotamadya karena secara
ilegal telah mengubah sebuah bangunan menjadi gedung bioskop. Gugatan
ini yang disebut dengan citizen standing. 162

159
Timothy Belevetz, op. cit., hal. 103-104.
160
Ibid., hal. 120.
161
F. Andrew Hessick, Standing, Injury In Fact and Private Rights, CORNELL LAW REVIEW
Vol. 93:275, (2008), hal. 300.
162
Mas Ahmad Santosa, op. cit., hal. 74.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


74

Perkembangan berikutnya dalam perkembangan standing adalah


gugatan bagi warga negara atau kumpulan warga negara yang peduli
terhadap nasib kaum lemah/papa (underpriviliged), seperti halnya nasib
orang yang berada dalam tahanan, buruh kecil, ataupun pensiunan. Standing
semacam ini disebut dengan representative standing, seperti pertama kali
dalam putusan pengadilan Hussainara Khatoon melawan Home Secretary,
State of Bihar (1979).163

Dalam hal citizen standing maupun representative standing, warga


negara yang menjadi penggugat tersebut tidak perlu membuktikan adanya
kerugian langsung yang bersifat riil dan tangible. Pendekatan lebih luas
tcrhadap hukum "standing" di India ini juga dapat disimak dari putusan
Mahkamah Agung, Hakim Agung Bhagwati dalam kasus S.H. Gupta
melawan Union of India AIR (1982 (Feb) SC 149) sebagaimana dikutip oleh
Indro Sugianto, yang pada intinya menyatakan:

...It may therefore be taken as well established that where a legal


wrong or legal injury is caused to a person or a determinate
class of persons by reason of violation of any constitutional or
legal right, or any burden is imposed ... Without authority of law
or any such legal wrong or ...burden is threatened, and such
person or class ...is reason of poverty, helplessness or disability
or socially or economically disadvantaged position, unable to
approach the Court for relief, any member of the public can
maintain an application for an appropriate direction, order or
writ in High Court...and seek judicial redress.

(.... Mungkin. oleh karena itu diambil juga ketetapan bahwa


dimana suatu kesalahan hukum atau kerugian hukum disebabkan
untuk seseorang atau seseorang anggota suatu kelas tcrtentu
dengan alasan terjadinya kcjahatan terhadap konstitusi atau hak
hukum, atau pembebanan lain yang bersifat menghukum....tanpa

163
Ibid.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


75

otoritas hukum atau apapun yang mcrupakan kesalahan hukum


atau...diancamkannya beban, dan seperti seseorang atau klas
....dengan alasan kemiskinan, ketidakberdayaan atau cacat atau
secara sosial atau secara ekonomi berada dalam posisi yang
merugikan, tidak mampu untuk mendekati pengadilan untuk
pertolongan, anggota masyarakat manapun juga dapat mengurus
suatu permohonan untuk suatu arah yang tepat, perintah atau
surat perintah di High Court...dan mencari ganti rugi secara
hukum).164

Dalam putusannya sebagaimana tersebut di atas, Hakim Agung


Bhagwati menegaskan bahwa setiap anggota masyarakat siapapun juga
dapat mengajukan gugatan apabila:165
1. Terjadi suatu kesalahan hukum atau kerugian hukum yang disebabkan
oleh karena adanya suatu pelanggaran terhadap konstitusi atau
pelanggaran atas hak hukum tertentu atau perbuatan lain yang bersifat
menghukum;
2. Terjadinya suatu kesalahan hukum atau perbuatan pembebanan hukum
yang dilakukan tanpa otoritas hukum;
3. Seseorang atau kelompok masyarakat (klas) tertentu karena alasan
kemiskinan, ketidakberdayaan atau kecacatan atau jika secara ekonomi
maupun sosial berada dalam posisi merugikan tidak memiliki
kemampuan untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan.

Jika dicermati uraian-uraian tersebut di atas, di India perkembangan


standing (khususnya public interest litigation) cukup signifikan, dan
mempunyai kontribusi yang positif yaitu “became an instrument to promote
rule of law, demand fairness and transparency, fight corruption in

164
Indro Sugianto, op.cit., hal. 39-40.
165
Ibid., hal. 40.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


76

administration, and enhance the overall accountability of the government


agencies”.166

Sedangkan di Belanda terdapat dua kasus landmark, yang


menggambarkan penerapan rumusan standing, adalah kasus Nieuwe Meer
(HR 27 June 1986, NJ 1987, No. 743) dan Kuunders (HR 18 December
1992, NJ 1994, 139). Kedua putusan Mahkamah Agung Belanda ini
memberikan hak standing bagi organisasi lingkungan yang mempersoalkan
penimbunan danau dengan cemaran dalam bentuk lumpur (polluted
dredgings) yang diambil dari kanal-kanal di Amsterdam. Mahkamah Agung
Belanda berpendapat bahwa organisasi lingkungan tersebut mempunyai
kepentingan untuk rnencegah tindakan-tindakan yang merusak daya dukung
lingkungan, sehingga layak untuk untuk beracara di pengadilan.167

Dalam kasus Kuunders, putusan Niewe Meer dikukuhkan. Bahkan


secara lebih tegas disebutkan bahwa gangguan terhadap kepentingan
perlindungan lingkungan merupakan tindakan perbuatan melawan hukum
(tortious act) yang merugikan kepentingan organisasi lingkungan yang
selama ini telah memperjuangkan kepentingan tersebut. Dalam menentukan
standing bagi organisasi lingkungan, Mahkamah Agung Belanda
menentukan bahwa organisasi tersebut harus secara jelas memiliki tujuan
yang tertera di dalam Anggaran Dasar mereka, dan harus sejalan dengan
kepentingan yang didalilkan yaitu kepentingan pelestarian daya dukung
lingkungan. Hal ini berarti bahwa kualifikasi organisasi lingkungan haruslah
berbadan hukum, serta memiliki tujuan perlindungan lingkungan.168

Menurut Mas Ahmad Santosa “Di Indonesia sejauh ini terdapat


empat kasus lingkungan dimana satu atau beberapa organisasi masyarakat
atau Lembaga Swadaya Masyarkat (LSM) melakukan gugatan berdasarkan
hak gugat organisasi lingkungan (standing). Gugatan perdata yang dilakukan

166
Surya Deva, Public Interest Litigation in India: A Critical Review,
http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/apcity/unpan047384.pdf, diakses pada
tanggal 12 Nopember 2012, hal. 31.
167
Mas Ahmad Santosa, op. cit., hal. 70.
168
Ibid.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


77

oleh LSM/organisasi lingkungan menjadi menarik karena hukum positif


yang berlaku (tertulis) pada saat ini belum mengatur mengenai hak gugat
organisasi”.169

Dalam Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Perdata


Indonesia, tahun 2008 khususnya Bab II TUNTUTAN HAK Bagian Kesatu
Gugatan dan Permohonan, Pasal 2 sampai dengan Pasal 12, mengatur tentang
pengajuan gugatan yang dilakukan oleh setiap orang, gugatan perwakilan
kelompok dan legal standing, akan tetapi belum mengatur mengenai gugatan
warga negara (citizen lawsuit).170

Sebagaimana diuraikan sebelumnya, bahwa dalam praktik peradilan


telah terjadi perkembangan standing selanjutnya yaitu diakuinya citizen lawsuit
dalam praktik peradilan di Indonesia sejak Putusan Nomor
28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst, tanggal 8 Desember 2003.

Berdasarkan uraian tersebut, jelaslah bahwa telah terjadi


perkembangan standing di Indonesia, yang mulai mengakui adanya badan
hukum, organisasi non pemerintah (LSM) (legal standing) dan juga setiap
orang (warga negara) demi kepentingan umum sebagai pihak dalam gugatan
perkara perdata (citizen lawsuit).

Setelah menguraikan pengertian standing, maka selanjutnya,


berdasarkan uraian sebelumnya, citizen lawsuit memerlukan adanya notifikasi
(pemberitahuan).

Dalam citizen lawsuit yang diatur di Amerika Serikat menentukan


bahwa orang perorangan warga negara harus melakukan pemberitahuan (notice)
terlebih dahulu tentang maksud dan tujuan dari pengajuan citizen lawsuit
sebelum pendaftaran dan pengajuan gugatan dilakukan. Pada pokoknya
pemberitahuan (notice) tersebut merupakan suatu mini-statement (pernyataan
singkat) tentang kasus dan dibuat sesuai dengan syarat-syarat notifikasi yang

169
Ibid., hal. 75.
170
Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Perdata tahun 2008, loc. cit.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


78

telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau


peraturan lain yang mengatur notifikasi itu. Notifikasi itu harus
mengidentifikasikan pelanggaran dan tuntutan spesifik yang kemudian menjadi
dasar pengajuan gugatan, disusun oleh penggugat untuk diberikan kepada
pelanggar dan instansi yang bertanggung jawab menerapkan peraturan
perundang-undangan yang memberi hak citizen lawsuit.171

Suatu pemberitahuan (notifikasi) citizen lawsuit setidak-tidaknya


memuat antara lain :172
1. Informasi, tentang pelanggar yang dituduh dan lembaga yang relevan
dengan pelanggaran yang berdasar hal itu penggugat berniat untuk
menggugat (Tergugat/ Para Tergugat).
2. Jenis pelanggaran yang menimbulkan citizen lawsuit (objek gugatan).

Di Amerika Serikat, sebagaimana diuraikan dalam berbagai


perundang-undangan sebelumnya, memuat persyaratan notifikasi ini yaitu
selama 60 hari sebelum Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan.
Akan tetapi dalam praktik peradilan terdapat dua pendekatan dalam
menginterpretasikan notifikasi ini, yaitu pertama melalui interpretasi
jurisdictional atau kedua melalui interpretasi pragmatis.173

Dalam pendekatan jurisdictional (jurisdictional interpretation) pada


intinya menyatakan bahwa persyaratan yang diatur dalam perundang-
undangan adalah bersifat mutlak yang harus dipenuhi oleh Penggugat.
Sedangkan interpretasi pragmatis (pragmatic interpretation) pada intinya
adalah persyaratan notifikasi (pemberitahuan) tersebut tidak bersifat mutlak
dan bisa diinterpretasikan secara pragmatis (kemanfaatan), memungkinkan

171
Indro Sugianto, op. cit., hal. 41.
172
Ibid., hal. 43.
173
Karen P. Ryan menyatakan bahwa :Eight circuit courts have addressed the issue of whether the
citizen suit notice requirements in federal environmental statutes require jurisdictional or
pragmatical interpretation. The circuits are evenly divided regarding the proper approach.Lihat,
Karen P. Ryan, HALLSTROM v. TILLAMOOK COUNTY: Interpreting The Notice Provisions Of
Environmental Statutes, (Pace Environmental Law Review, 255, 1990), hal. 3.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


79

untuk pelepasan hak, modifikasi yang adil dan penyembuhan (allowing for
waiver, equitable modification, and cure).174

Mahkamah Agung (Supreme Court) Amerika Serikat dalam kasus


HALLSTROM v. TILLAMOOK COUNTY sebagaimana dikutip oleh Karen P.
Ryan, secara mayoritas menafsirkan bahwa persyaratan notifikasi
merupakan ketentuan yang memaksa, dan persyaratan tersebut harus
dipenuhi oleh Penggugat. Akan tetapi terdapat perbedaan pendapat
(dissenting opinion), di mana Justice Marshall menyatakan bahwa “The
Court fails to recognize, however, that there is no necessary connection
between a violation of that statute and any particular sanction for
noncompliance.” “The purposes of requiring notification in citizen suits,
attempting to trigger government action and bring violators into
compliance, would also be served”. “All that is necessary to meet these
concerns is a 60-day delay; whether it comes immediately before or
immediately after the filing of the complaint is immaterial”.175

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, Karen P. Ryan menyimpulkan


bahwa “A future amendment to the notice requirements, specifically
providing courts with the discretion necessary to apply a pragmatic
approach, may be a more effective means of aiding citizen enforcement.
However, until this legislation is enacted, we are forced to take a
jurisdictional approach to interpreting notice requirements for citizen
suits”.176

Setelah menguraikan pengertian notifikasi, selanjutnya akan


diuraikan mengenai pengertian kepentingan umum. Berkaitan dengan
kepentingan umum ini Black’s Law Dictionary menguraikan pengertian
kepentingan umum atau public interest adalah :
1. The general welfare of the public that warrants recognition and
protection,

174
Ibid., hal. 3-5.
175
Ibid., hal. 8-9.
176
Ibid., hal 10.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


80

2. Something in which the public as a whole has a stake; esp. an interest


that justifies governmental regulation”.177
Terjemahan bebasnya “kepentingan umum adalah :
1. Kesejahteraan umum masyarakat yang memerlukan pengakuan dan
perlindungan,
2. Masyarakat secara keseluruhan memiliki kepentingan; khususnya
kepentingan yang membenarkan peraturan pemerintah.

Mengenai kepentingan umum ini, Sudikno Mertokusumo berpendapat :

Secara teoretis dapatlah dikatakan bahwa kepentingan umum


merupakan resultante hasil menimbang-menimbang sekian
banyak kepentingan-kepentingan di dalam masyarakat dengan
menerapkan kepentingan yang utama menjadi kepentingan
umum. Secara praktis dan konkret akhirnya diserahkan kepada
hakim untuk menimbang-nimbang kepentingan mana yang lebih
utama dari kepentingan yang lain secara proporsional (seimbang)
dengan tetap menghormati kepentingan-kepentingan yang lain.
Memang tidak mudah, akan tetapi sebaliknya tidak seyogyanya
untuk memberi batasan atau definisi yang konkret mutlak dan
ketat mengenai kepentingan umum, karena kepentingan manusia
itu berkembang dan demikian pula kepentingan umum, namun
perlu kiranya ada satu rumusan umum sebagai pedoman tentang
pengertian kepentingan umum yang dapat digunakan terutama
oleh hakim dalam memutuskan sengketa yang berkaitan dengan
kepentingan umum, yang dinamis tidak tergantung pada waktu
dan tempat.178

177
Henry Campbell Black, op.cit., hal. 1266.
178
Sudikno Mertokusumo, Kepentingan Umum,
http://sudiknoartikel.blogspot.com/2008/03/kepentingan-umum.html, 17 Maret 2008, diakses pada
tanggal 12 Oktober 2012.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


81

Dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia telah


memberikan pengertian kepentingan umum, akan tetapi tidak ada satu pengertian
yang sama antara satu undang-undang dengan yang lain, yaitu sebagai berikut :
1. Penjelasan pasal 49 b Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara Juncto Undang-Undang Nomor 9 tahun
2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara Juncto Undang-Undang Nomor 51
tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 5
tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang dimaksud dengan
"kepentingan umum" adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau
kepentingan masyarakat bersama dan/atau kepentingan pembangunan,
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.179
2. Dalam penjelasan pasal 35 huruf c UU Nomor 16 tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia dikatakan bahwa kepentingan umum
adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat
luas.180

E. Sundari menguraikan bahwa kepentingan umum dapat diberi


batasan sebagai kepentingan yang harus didahulukan dari kepentingan-
kepentingan perorangan atau individu atau kepentingan lainnya, yang
meliputi kepentingan bangsa dan negara. pelayanan umum dalam
masyarakat luas, rakyat banyak dan atau pembangunan di berbagai bidang
kehidupan. dengan tetap mengingat proporsi pentingnya dan tetap menghormati
kepentingan lainnya, karena antara kepentingan umum dengan kepentingan-
kepentingan lainnya tidak dapat dipisahkan.181

Berdasarkan pengertian kepentingan umum tersebut diatas,


maka kepentingan yang hendak dituntut dengan prosedur citizen lawsuit atau
actio popularis dapat meliputi pelayanan umum dalam masyarakat luas,
misalnya pelayanan kesehatan, keamanan serta kedamaian masyarakat oleh

179
UU Nomor 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 tahun 2004 Jo. UU No. 51 tahun 2009, loc. cit.
180
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia, LN TAHUN 2004 NOMOR 67, TLN NOMOR 4401.
181
E. Sundari, op. cit. hal. 16.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


82

pemerintah yang selama ini dianggap oleh masyarakat belum begitu


memadai, pengadaan angkutan umum, pengadaan air minum, listrik,
perlindungan lingkungan, perlindungan hutan dan sebagainya. Karena
masalah tersebut merupakan kepentingan masyarakat luas, maka setiap
orang, yang pada hakekatnya adalah anggota masyarakat sangat
berkepentingan untuk menuntutnya.182

Penyelenggaraan kepentingan umum merupakan tugas pemerintah,


sehingga gugatan secara actio popularis pada umumnya ditujukan terhadap
pemerintah. Kepentingan umum, misalnya tugas pelayanan kesehatan
kepada masyarakat, ada kalanya juga diselenggarakan oleh swasta. Gugatan
secara actio popularis dengan demikian juga dapat diajukan terhadap pihak
swasta, yang ikut menyelenggarakan pelayanan kepentingan umum dalam
bidang kesehatan tersebut.183

Selanjutnya gugatan warga negara (citizen lawsuit) tidak terlepas


dari istilah Perbuatan Melawan Hukum, karena sebagaimana yang
diuraikan sebelumnya bahwa gugatan warga negara (citizen lawsuit)
merupakan mekanisme bagi warga negara untuk menggugat tanggung
jawab penyelenggara negara atas kelalaian dalam memenuhi hak-hak warga
negara, kelalaian tersebut didalilkan sebagai perbuatan melawan hukum.

Belum terdapat kesepakatan tentang penggunaan istilah "perbuatan


melawan hukum". R. Wirjono Prodjodikoro menggunakan istilah "perbuatan
melanggar hukum", Utrecht memakai istilah "perbuatan yang bertentangan
dengan asas-asas hukum" dan Sudiman Kartohadiprodjo mengemukakan
istilah "tindakan melawan hukum".184

182
Ibid. hal. 16-17.
183
Ibid, hal. 17.
184
Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, (Bandung : Alumni,
1982), hal. 8.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


83

Selanjutnya Rachmat Setiawan berpendapat lebih menyetujui istilah


"perbuatan melawan hukum" yang dipergunakan oleh M.A. Moegni Djojo-
dirdjo.185

Bilamana ada orang yang hendak mencari perumusan daripada


perbuatan melawan hukum dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang (KUH)
Perdata, maka usahanya akan sia-sialah kiranya. Pasal 1365 KUH Perdata
tidaklah memberikan perumusan, melainkan hanya mengatur bilakah
seseorang yang mengalami kerugian karena perbuatan melawan hukum,
yang dilakukan oleh orang lain terhadap dirinya, akan dapat mengajukan
tuntutan ganti kerugian pada Pengadilan Negeri dengan sukses.186

Sebagaimana diketahui maka pasal 1365 KUH Perdata memuat


ketentuan : “Tiap perbuatan melawan hukum, yang mendatangkan kerugian
pada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”, sedang pasal 1366 KUH Perdata
memuat. ketentuan : "Setiap orang bertanggung jawab, tidak saja untuk
kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian
yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya".187

Berkaitan dengan persoalan antara Pasal 1365 BW (KUH Perdata)


dan Pasal 1366 BW (KUH Perdata), Rachmat Setiawan menyatakan bahwa
“Rumusan pasal 1366 BW adalah tidak jelas, karena apakah kelalaian di sini
dipergunakan sebagai lawan dari kesengajaan. Jika demikian, maka adanya
pasal 1366 BW adalah berlebihan sebab "kesalahan" tersebut dalam pasal
1365 BW mencakup baik kesengajaan maupun kelalaian. Jika oleh pem-
bentuk undang-undang dengan perkataan "kelalaian" dimaksudkan sebagai
"tidak berbuat" adalah logis; pasal 1365 BW mengatur tentang "perbuatan
dan pasal 1366 BW tentang "tidak berbuat". Dengan adanya arrest Hoge
Raad 31 Januari 1919 rumusan pasal 1366 BW tidak lagi perlu dipersoalkan,

185
Ibid.
186
M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1979),
hal. 17.
187
Ibid., hal. 27, lihat juga Rachmat Setiawan, op. cit., hal. 9.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


84

karena sudah termasuk ke dalam perumusan pengertian perbuatan melawan


hukum.188

Selanjutnya Assers berpendapat bahwa kedua hal tersebut tidak perlu


dipersoalkan, karena tidak akan ada yang menyangkal bahwa baik berbuat
maupun tidak berbuat dapat merupakan perbuatan melawan hukum.189

Berdasarkan uraian Pasal 1365 KUH Perdata sebagaimana tersebut


di atas, maka unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh pasal tersebut adalah :
1. Perbuatan Melawan Hukum ;
2. Kesalahan ;
3. Kerugian ;
4. Hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugian.190

Perbuatan Melawan Hukum

M.A. Moegni Djojodirdjo menerangkan bahwa istilah "melawan"


melekat kedua sifat aktif dan pasif. Kalau ia dengan sengaja melakukan
sesuatu perbuatan yang menimbulkan kerugian pada orang lain, jadi sengaja
melakukan gerakan, maka nampaklah dengan jelas sifat aktifnya dari istilah
"melawan" tersebut. Sebaliknya kalau ia dengan sengaja diam saja, sedang
ia sudah mengetahui bahwa ia harus melakukan sesuatu perbuatan untuk
tidak merugikan prang lain, atau dengan lain perkataan, bilamana ia dengan
sikap pasip saja — bahwa bilamana ia enggan melakukan keharusan sudah
melanggar sesuatu keharusan, sehingga menimbulkan kerugian pada orang
lain, maka ia telah "melawan" tanpa harus menggerakkan badannya.191

Rosa Agustina menguraikan bahwa Perbuatan Melawan Hukum


adalah perbuatan yang melanggar hak (subyektif) orang lain atau perbuatan
(atau tidak berbuat) yang bertentangan dengan kewajiban menurut undang-
undang atau bertentangan dengan apa yang menurut hukum tidak tertulis

188
Ibid.
189
Ibid., hal. 10, lihat juga M.A. Moegni Djojodirdjo, op. cit., hal. 57.
190
R. Setiawan, op. cit., hal. 7-33.
191
M.A. Moegni Djojodirdjo, op. cit., hal. 13.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


85

yang seharusnya dijalankan oleh seorang dalam pergaulannya dengan


sesama warga masyarakat dengan mengingat adanya alasan pembenar
menurut hukum.192

Bahwa sebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan


menafsirkan perbuatan melawan hukum secara sempit, di mana perbuatan
melawan hukum dinyatakan sebagai berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si
pelaku yang telah diatur oleh undang-undang.193

Sejak Putusan Hoge Raad 31 Januari 1919, dalam perkara


Lidenbaum-Cohen, konsep perbuatan melawan hukum telah berkembang, di
mana ada 4 (empat) kriteria perbuatan melawan hukum, yaitu :194
1. Melanggar hak subyektif hak orang lain ;
Hal ini berarti melanggar wewenang khusus yang diberikan
oleh hukum kepada seseorang. Yurisprudensi memberi arti hak
subyektif sebagai berikut :
(1) Hak-Hak perorangan seperti kebebasan, kehormatan, nama baik;
(2) Hak atas harta kekayaan, hak kebendaan dan hak-hak mutlak
lainnya.195
Suatu pelanggaran terhadap hak subyektif orang lain
merupakan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan itu secara
langsung melanggar hak subyektif orang lain, dan menurut
pandangan dewasa ini disyaratkan adanya pelanggaran terhadap
tingkah laku, berdasarkan hukum tertulis maupun tidak tertulis yang

192
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta : Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2003) hal. 11.
193
Ibid., hal. 51.
194
Ibid., hal. 52-56, bandingkan dengan Rachmat Setiawan, op. cit., hal. 17-21, dan M.A. Moegni
Djojodirdjo, op. cit., hal. 35-46, berdasarkan Putusan Hoge Raad 31 Januari 1919 perbuatan
melawan hukum diartikan luas yaitu sebagaimana 4 (empat) kriteria, di mana kriteria ini bersifat
alternatif karena dalam uraian perbuatan melawan hukum oleh M.A. Moegni Djojodirdjo maupun
Rachmat Setiawan terdapat kata atau di akhir kalimat setiap kriteria-kriteria tersebut.
195
Djuhaendah Hasan sebagaimana dikuti oleh Rosa Agustina, op. cit., hal. 53.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


86

seharusnya tidak dilanggar oleh pelaku dan tidak ada alasan


pembenar menurut hukum.196
2. Bertentangan dengan kewajiban hukumnya si pelaku ;
Kewajiban hukum diartikan sebagai kewajiban menurut
hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis. Termasuk dalam kategori
perbuatan yang melanggar kewajiban menurut hukum (Undang-
undang) adalah perbuatan pidana, misalnya pencurian, penggelapan,
penipuan dan pengrusakan.197
3. Melanggar kaidah tata susila ;
Yang dimaksudkan dengan kesusilaan adalah norma-norma
kesusilaan, sepanjang norma-norma tersebut oleh pergaulan hidup
diterima sebagai peraturan-peraturan hukum yang tidak tertulis.198
4. Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati
yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama
warga masyarakat atau terhadap harta orang lain.
Pada garis besarnya dapat dinyatakan, bahwa suatu
perbuatan adalah bertentangan dengan kepatutan, jika :
a. perbuatan tersebut sangat merugikan orang lain tanpa
kepentingan yang layak;
b. perbuatan yang tidak berfaedah yang menimbulkan bahaya
terhadap orang lain, yang menurut manusia yang normal hal
tersebut harus diperhatikan.199

Kesalahan

Dengan dicantumkannya syarat kesalahan dalam pasal 1365


KUHPerdata, pembuat undang-undang berkehendak menekankan bahwa
pelaku perbuatan melawan hukum hanyalah bertanggung jawab atas

196
Ibid.
197
Rachmat Setiawan, op. cit., hal. 18-19.
198
M.A. Moegni Djojodirdjo, op. cit., hal. 44.
199
Rachmat Setiawan, op. cit., hal. 20-21.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


87

kerugian yang ditimbulkannya apabila perbuatan tersebut dapat


200
dipersalahkan kepadanya.

Istilah kesalahan (schuld) juga digunakan dalam arti kealpaan


sebagai lawan dari kesengajaan. Kesalahan mencakup dua pengertian yakni
kesalahan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Kesalahan dalam arti luas,
bila terdapat kealpaan dan kesengajaan; sementara kesalahan dalam arti
sempit hanya berupa kesengajaan. Soal kesalahan ini terletak pada suatu
perhubungan kerohanian antara alam pikiran dan perasaan si subject dan
suatu perkosaan kepentingan tertentu.201

Kerugian

Beberapa penulis merumuskan kerugian (schade) sebagai


“penyusutan dari pada pemuas kebutuhan”. Kerugian, yang ditimbulkan oleh
perbuatan melawan hukum dapat berupa kerugian kekayaan, atau kerugian
bersifat idiil. Kerugian selalu memperkirakan kerugian atas kekayaan, yang
berupa kerugian uang. Tiap perbuatan melawan hukum tidak hanya
mengakibatkan kerugian uang saja, tapi juga dapat menyebabkan kerugian
moril atau idiil, yakni ketakutan, terkejut, sakit dan kehilangan kesenangan
hidup.202

Berkaitan dengan penggantian kerugian idiil tersebut, Hoge Raad


dalam keputusannya tanggal 21 Maret 1943 dalam perkara W.P.
Kreumingen lawan van Bessum cs. Telah mempertimbangkan antara lain
sebagai berikut :

Dalam menilai kerugian yang dimaksud oleh Pasal 1371 KUH


Perdata harus juga dipertimbangkan kerugian yang bersifat idiil,
sehingga Hakim adalah bebas untuk menentukan penggantian

200
Rosa Agustina, op. cit., hal. 64.
201
Wirjono Prodjodikoro, sebegaimana dikutip oleh Rosa Agustina, Ibid., lihat juga M.A. Moegni
Djojodirdjo, op. cit., hal. 66.
202
Ibid., hal. 76.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


88

untuk kesedihan dan kesenangan hidup, yang sesungguhnya


dapat diharapkan dinikmatinya.203

Hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugian

Berkaitan dengan hubungan kausal ini maka pertama-tama perlu


dikemukakan ajaran Von Buri yang dikenal dengan nama : conditio sine qua
non, yang berarti syarat mutlak. Menurut Pompe sebagaimana dikutip oleh
M.A. Moegni Djojodirdjo, ajaran conditio sine qua non melihat tiap
masalah, tanpa mana peristiwa tidak akan terjadi, sebagai sebab.204

Karena terlalu luas ajaran Von Buri maka ajaran tersebut tidak
digunakan baik dalam hukum pidana maupun hukum perdata.

Kemudian muncul teori adequat (adequat veroorzaking) dari Von


Kries. Teori ini mengajarkan bahwa perbuatan yang harus dianggap sebagai
akibat yang timbul adalah perbuatan yang seimbang dengan akibat. Adapun
dasarnya untuk menentukan perbuatan yang seimbang adalah perhitungan
yang layak.205

Pada tahun 1960 an timbul kekurangpuasan terhadap kriteria teori


adequat yang dikemukakan oleh Koster dalam pidato pengukuhannya pada
tahun 1962 yang berjudul “Kausalitet dan Apa Yang Dapat Diduga”. Ia
menyarankan untuk menghapus teori adequat dan memasukkan sistem
Toerekening naar redelijkheid/TNR (“dapat dipertanggungjawabkan secara
layak”). Faktor-faktor penting yang disebut dalam pidatonya :
a. Sifat kejadian yang menjadi dasar tanggung jawab;
b. Sifat kerugian;
c. Tingkat kemungkinan timbulnya kerugian yang dapat diduga;

203
Ibid. Bunyi Pasal 1371 yaitu “Penyebab luka atau cacatnya suatu anggota badan dengan
sengaja atau kurang hati-hati, memberikan hak kepada korban, selain penggantian biaya-biaya
penyembuhan, juga menuntut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat
tersebut”.
204
M.A. Moegni Djojodirdjo, op. cit., hal. 83. Rosa Agustina menyatakan bahwa “Teori ini
melihat bahwa tiap-tiap masalah yang merupakan syarat untuk timbulnya suatu akibat adalah
menjadi sebab dari akibat, lihat Rosa Agustina, op. cit., hal. 91.
205
Ibid., hal. 92.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


89

d. Beban yang seimbang bagi pihak yang dibebani kewajiban untuk


membayar ganti kerugian dengan memperhatikan kedudukan finansial
pihak yang dirugikan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, Rosa Agustina berpendapat


bahwa untuk menentukan hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian
terdapat perkembangan teori dari conditio sine qua non, kemudian teori
adequat dan yang terakhir ajaran Toerekening naar redelijkheid/TNR (dapat
dipertanggungjawabkan secara layak/patut).206

2.4 Perbandingan Antara Citizen Lawsuit atau Actio Popularis dengan Class
Action

Citizen lawsuit pada prinsipnya merupakan gugatan yang berdimensi


kepentingan umum yang melibatkan sejumlah besar orang secara perwakilan,
sehingga tidak terlepas dari apa yang disebut dengan class action dan legal
standing.207

Mas Ahmad Santosa sebagaimana dikutip oleh Yanis Maladi,


berpendapat “Gugat perwakilan (class action) merupakan budaya hukum
Anglo Saxon, tetapi secara substansial model tersebut sudah merupakan
kebutuhan universal bagi seluruh bangsa yang saat ini sedang
mamasuki era pembangunan dengan teknologi modern bersama segala
resikonya. Gugat perwakilan terbukti dapat memberi akses kepada
masyarakat menunju keadilan karena sifatnya sejalan dengan asas
peradilan cepat, praktis dan murah”.208

206
Ibid., hal. 96.
207
Untuk lebih jelasnya lihat Adi Nugroho, op. cit, hal. 362-396, lihat juga Emerson Yuntho, op.
cit,
208
hal. 7-9.
Yanis Maladi , Dokirin Strict Liability, Class Action, Dan Legal Standing Sebagai Landasan
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Di Indonesia,
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/92065866_1410-8771.pdf, diakses pada tanggal 24 September
2012, hal. 62.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


90

Gugatan perwakilan adalah gugatan yang diajukan oleh satu atau


beberapa orang yang bertindak untuk kepentingan diri sendiri dan sekaligus
sebagai wakil kelompok yang juga merupakan korban.209

Mas Ahmad Sentosa, sebagaimana dikutip oleh Emerson Yuntho


menyatakan bahwa “Gugatan perwakilan kelompok pada intinya adalah
gugatan perdata (biasanya terkait dengan permintaan injunction atau ganti
kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang (dalam jumlah yang tidak
banyak misalnya satu atau dua orang) sebagai perwakilan kelas (class
representative) mewakili kepentingan mereka, sekaligus mewakili
kepentingan ratusan atau ribuan orang lainnya yang juga sebagai korban.
Ratusan atau ribuan orang tersebut diistilahkan sebagai class members”.210

Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu tata cara pengajuan


gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok
mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus
mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan
fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok
dimaksud.211

Menurut M. Yahya Harahap, Class Action berarti :

a. gugatan yang berisi tuntutan melalui proses pengadilan yang diajukan oleh
satu atau beberapa orang yang bertindak sebagai wakil kelompok (class
representative) ;
b. perwakilan kelompok itu bertindak mengajukan gugatan tidak hanya untuk
dan atas nama mereka, tetapi sekaligus untuk dan atas nama kelompok

209
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata tahun 2008 khususnya Bab I Ketentuan
Umum, Pasal 1 angka 5, lihat Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor …
Tahun … Tentang Hukum Acara Perdata (Draft Maret 2008), op. cit.
210
Emerson Yuntho, op. cit., hal. 1.
211
Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok, Pasal 1 huruf a, ditetapkan tanggal 26 April 2002. Gugatan Perwakilan
Kelompok merupakan terjemahan resmi di Indonesia terhadap istilah class action, untuk lebih
jelasnya lihat Susanti Adi Nugroho, op. cit. hal. 6.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


91

yang mereka wakili, tanpa memerlukan surat kuasa dari anggota


kelompok ;
c. dalam pengajuan gugatan tersebut, tidak perlu disebutkan secara individual
satu per satu identitas anggota kelompok yang diwakili ;
d. yang penting, asal kelompok yang diwakili dapat didefinisikan identifikasi
anggota kelompok secara spesifik ;
e. selain itu, antara seluruh anggota kelompok, dengan wakil kelompok
terdapat kesamaan fakta atau dasar hukum yang melahirkan :
- kesamaan kepentingan,
- kesamaan penderitaan, dan
- apa yang dituntut memenuhi syarat untuk kemanfaatan bagi seluruh
anggota.212

Class action sesungguhnya lebih dikenal oleh negara-negara yang


menganut sistem hukum common law daripada di negara-negara yang
menganut sistem civil law. Hal ini karena dalam sejarah dan
perkembangannnya class action untuk pertama kalinya diperkenalkan di
Inggris, negara yang melahirkan sistem hukum common law.213

Gugatan perwakilan kelompok atau class action semula tidak dikenal


dalam hukum acara di Indonesia, padahal pengajuan gugatan yang
menggunakan prosedur gugatan perwakilan kelompok semakin meningkat
jumlahnya, sehingga pengadilan memerlukan pedoman dalam memeriksa,
mengadili, dan memutuskan apakah suatu gugatan yang diajukan dapat
dilakukan berdasarkan gugatan perwakilan kelompok. Oleh karena itu,
diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 tahun 2002
dengan tujuan untuk mengisi kekosongan hukum tentang tata cara pengajuan,

212
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta : Sinar Grafika, cetakan kesembilan, 2009), hal.
139.
213
Emerson Yuntho, op. cit., hal. 9, lihat juga Susanti Adi Nugroho, op. cit. hal, 8.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


92

pemeriksaan, dan pengambilan putusan terhadap pengajuan gugatan yang


menggunakan prosedur gugatan perwakilan kelompok.214

Pasal 2 PERMA No. 1 tahun 2002 menyebutkan bahwa “Gugatan


dapat diajukan dengan mempergunakan tata cara Gugatan Perwakilan
Kelompok apabila :

a. Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidaklah efektif


dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara
bersama-sama dalam satu gugatan;
b. Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang
digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis
tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya;
c. Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi
kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya;
d. Hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan
penggantian pengacara, jika pengacara melakukan tindakan-tindakan
yang bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi
kepentingan anggota kelompoknya”.215

Adakalanya sulit membedakan antara citizen lawsuit dengan class


action216, berikut perbedaan citizen lawsuit dengan class action dalam tabel
2.2. :217

Tabel 2.2.
Perbedaan citizen lawsuit dengan class action
No. Citizen Lawsuit Class Action

214
Susanti Adi Nugroho, op. cit. hal, 67.
215
Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok, loc. cit.
216
Untuk lebih jelasnya lihat Hakim Bingung Soal Citizen Lawsuit dan Class Action
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16280/hakim-bingung-soal-citizen-law-suit-dan-
class-action, 27 Pebruari 2007, diakses pada tanggal 10 September 2012, dan Ant, Calon Hakim
Agung Tak Paham “Ctitizen Lawsuit”, http://www.harianbhirawa.co.id/nasional/34181-calon-
hakim-agung-tak-paham-qcitizen-lawsuitsq, 26 Juli 2011, diakses pada tanggal 10 September
2012.
217
Untuk lebih jelasnya lihat Susanti Adi Nugroho, op. cit. hal, 395-396.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


93

1. Yang berhak mengajukan Yang berhak mengajukan


gugatan yaitu setiap orang atau gugatan tidak setiap orang,
setiap warga negara atas dasar melainkan hanya salah satu
bahwa ia adalah anggota atau beberapa orang yang
masyarakat, tanpa ada keharusan merupakan anggota dari
bahwa orang tersebut merupakan sekelompok orang yang ikut
pihak yang mengalami kerugian mengalami kerugian secara
secara langsung. langsung.
2. Kepentingan yang dituntut Kepentingan yang dituntut
adalah kepentingan umum yang adalah kepentingan yang sama
dianggap kepentingan setiap atas dasar suatu permasalahan
anggota masyarakat juga. yang sama baik fakta maupun
hukum yang menimpa kelompok
tersebut.
3. Karena gugatan dalam citizen Pada umumnya yang menjadi
lawsuit pada umumnya dituju- tuntutan bersama adalah ganti
kan kepada penyelenggara rugi keuangan, meskipun tidak
negara atau pemerintah dan menutup kemungkinan lain
jajarannya, maka tuntutan yang sebagai tambahan, misalnya
diajukan dalam citizen lawsuit, dalam kasus kerusakan
adalah pelayanan atau lingkungan untuk dikembalikan
perlindungan yang lebih baik dalam keadaan semula, atau
kepada masyarakat, yang pada sebagai perlindungan terhadap
umumnya bukan berupa ganti konsumen secara keseluruhan,
rugi atau untuk kepentingan generasi
yang akan datang (future
generation).

2.5 Perbandingan antara Citizen Lawsuit atau Actio Popularis dengan Legal
Standing

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


94

Di samping sulit membedakan antara citizen lawsuit dengan class


action, tidak sedikit juga praktisi hukum yang mencampuradukkan
pengertian gugatan class action dengan konsep hak gugat Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) (legal standing).218

Dalam hukum di Indonesia tidak ditemukan definisi secara jelas dan


rinci mengenai pengertian legal standing. Beberapa perundang-undangan
memberikan istilah legal standing secara berbeda-beda. Legal standing
dalam UU Lingkungan Hidup diistilahkan sebagai Hak Gugat Organisasi
Lingkungan. Dalam UU Perlindungan Konsumen dikenal sebagai gugatan
atas pelanggaran pelaku usaha yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat. Sedangkan dalam UU Kehutanan, legal
standing diistilahkan sebagai gugatan perwakilan oleh organisasi bidang
kehutanan.219

Definisi secara bebas dari legal standing adalah suatu tata cara
pengajuan gugatan secara perdata yang dilakukan oleh satu atau lebih
lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat atas suatu tindakan
atau perbuatan atau keputusan orang perorangan atau lembaga atau
pemerintah yang telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat.220

Gugatan oleh legal standing (kedudukan hukum) adalah gugatan


yang diajukan oleh organisasi kemasyarakatan atau lembaga swadaya
masyarakat atas alasan untuk kepentingan masyarakat.221

Tidak semua organisasi atau LSM yang dapat mengajukan hak gugat
LSM (legal standing). Untuk bidang Lingkungan Hidup menyebutkan
bahwa hanya organisasi Lingkungan Hidup /LSM Lingkungan Hidup yang

218
Ibid., hal. 382, lihat juga Emerson Yuntho, op. cit., hal. 8.
219
Emerson Yuntho, Ibid., hal. 8-9.
220
Ibid., hal. 9.
221
Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum Acara Perdata tahun 2008 khususnya Bab I Ketentuan
Umum, Pasal 1 angka 6, untuk lengkapnya lihat Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Rancangan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor … Tahun … Tentang Hukum Acara Perdata (Draft Maret 2008), op. cit.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


95

memenuhi beberapa persyaratan yang dapat mengajukan gugatan legal


standing, yaitu :
1. Berbentuk badan hukum atau yayasan;
2. Dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang
bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya
organisasi tersebut adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi
lingkungan hidup;
3. Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.222

Walaupun legal standing telah diakui dalam beberapa undang-


undang di Indonesia, namun mengenai prosedur atau hukum acaranya belum
diatur baik dalam undang-undang, peraturan pemerintah bahkan PERMA
sekalipun.223

Berikut perbedaan class action dengan legal standing dalam tabel


224
2.3. :

Tabel 2.3.
Perbedaan class action dengan legal standing
No. Class Action Legal Standing
1. Yang berhak mengajukan Yang berhak mengajukan
gugatan yaitu wakil kelas dan gugatan lembaga yang
anggota kelas yang pada umumnya memperjuangkan dan mewakili
berjumlah banyak, keduanya sama- kepentingan masyarakat luas
sama merupakan pihak korban atau atau kepentingan publik, tidak
pihak yang nyata dirugikan. selalu sebagai pihak yang juga
ikut sebagai pihak yang
dirugikan atau pihak korban.
2. Syarat perwakilan (adequacy of Syarat perwakilan tidak lagi
representation)dalam class action diserahkan sepenuhnya kepada

222
Emerson Yuntho, op. cit., hal. 9, lihat juga Pasal 92 Undang-undang nomor 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, op. cit.
223
Susanti Adi Nugroho, op. cit. hal, 363-364.
224
Untuk lebih jelasnya lihat Ibid., hal, 380-382, Emerson Yuntho, op. cit., hal. 8.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


96

diserahkan sepenuhnya kepada penilaian hakim, melainkan ada


penilaian hakim. kondisi objektif, yaitu harus
memenuhi ketentuan, di samping
harus sudah didaftarkan juga (a)
berbentuk badan hukum atau
yayasan, (b) dalam anggaran
dasarnya menyebutkan tujuan
didirikannya organisasi tersebut,
(c) telah melaksanakan kegiatan
sesuai dengan anggaran
dasarnya.
3. Pada umumnya yang menjadi Tuntutan yang diminta adalah
tuntutan bersama adalah ganti tuntutan untuk hak melakukan
rugi berupa uang (financial tindakan tertentu tanpa adanya
damage), meskipun tidak menutup tuntutan ganti rugi berupa uang
kemungkinan untuk tuntutan lain. kecuali tuntutan biaya atau
pengeluaran riil.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, berikut perbandingan Citizen


Lawsuit, Class Action dan Legal Standing dalam tabel 2.4.;225

Tabel 2.4.
Perbedaan Citizen Lawsuit, Class Action, Legal Standing
dan Gugatan Perdata Biasa
Bentuk Penggugat Tergugat Tuntutan Keterangan
Gugatan
Citizen  individu Pemerintah / pelayanan atau Tanpa ada
perlindungan yang keharusan bahwa

225
Lihat juga http://www.elsam.or.id/downloads/1262942628_Legal_standing-Sulistiono.pdf,
diakses pada tanggal 5 Oktober 2012, lihat juga Kms, Menggugat Kenaikan Tarif Tol Lewat Class
Action atau Citizen Lawsuit, 12 September 2007,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17567/menggugat-kenaikan-tarif-tol-lewat-iclass-
actioni-atau-icitizen-lawsuiti, diakses pada tanggal 5 oktober 2012.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


97

Lawsuit  kelompok Negara lebih baik kepada orang tersebut

masyarakat masyarakat, merupakan pihak


Tindakan tertentu, yang mengalami
 badan
pelaksanaan kerugian secara
hukum
kewajiban hukum, langsung
 NGO/ LSM
pada umumnya
bukan berupa
ganti rugi
Class  Individu 1. Pemerintah ganti rugi Mengalami
Action  Kelompok 2. Perusahaan berupa uang kerugian
Masyarakat 3. Badan (financial langsung
Hukum damage), maupun
4. Individu meskipun tidak berpotensi
menutup mengalami
kemungkinan kerugian
untuk tuntutan
lain
Legal  Badan 1. Pemerintah untuk hak Tanpa ada
Standing Hukum 2. Perusahaan melakukan keharusan
3. Badan tindakan tertentu mengalami
 NGO /
tanpa adanya
LSM Hukum kerugian
tuntutan ganti
4. Individu langsung, tapi
rugi
harus sesuai
dengan tujuan
organisasi
dalam
Anggaran
Dasar
Gugatan  Individu 1. Individu Ganti rugi Mengalami
Perdata  Badan 2. Badan materiil, kerugian
Biasa Hukum Hukum immateriil, dan langsung
tindakan tertentu maupun
berpotensi
mengalami
kerugian

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


BAB III
PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM
DALAM RANGKA PEMBARUAN HUKUM ACARA PERDATA

3.1. Hukum Acara Perdata di Indonesia Belum Lengkap

Pembentukan Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia tidak


terlepas dari peran Mr. H. L. Wichers, yang ditugaskan oleh pemerintah
Belanda sebagai President Hooggerechtshof, yaitu badan Pengadilan
tertinggi di Indonesia di zaman kolonial Belanda.226

Dengan surat keputusan Gubernur Jenderal Rochussen, tertanggal 5


Desember 1846 No. 3, Mr. H. L. Wichers tersebut diberi tugas untuk
merancangkan sebuah reglemen (peraturan) tentang “administrasi, polisi dan
proses perdata serta proses pidana“ bagi golongan Bumiputera. Dengan
uraian panjang itu dimaksudkan : hukum acara perdata dan pidana.227

Setelah dilakukan perubahan dan penyempurnaan, baik isi maupun


dan redaksinya, Gubernur Jenderal J.J. Rochussen menerima Rancangan
Reglemen karya Mr. Wichers itu. Kemudian, Reglemen tersebut diumumkan
dengan publikasi tanggal 5 April 1848 Stb. No.16 Tahun 1848 dun
dinyatakan berlaku sejak tanggal 1 Mei 1848 dengan sebutan Reglement op
de Uitoefening van de Politie, de Burgerlijke Rechtspleging en de
strafvordering onder de Inlanders, de Vreemde Osterlingen op Java en
Madura, dengan singkat lazim disebut Inlandsch Reglement (IR). Reglemen
ini kemudian disahkan dan dikuatkan oleh pemerintah Belanda dengan
Keputusan Raja No. 93 Tahun 1849 tanggal 29 September 1849, Stb. No. 63
Tahun 1849.228

Dalam perkembangan selanjutnya selama hampir 100 (seratus) tahun


sejak berlakunya, Reglemen ini ternyata telah banyak sekali mengalami

226
R. Subekti, Hukum Acara Perdata, (Bandung : Binacipta, 1977), hal. 7, lihat juga Abdul Kadir
Muhammad, op. cit., hal. 7.
227
R. Subekti, loc. Cit, lihat juga Abdul Kadir Muhammad, loc. cit.
228
Ibid., hal. 9.

98
Universitas Indonesia
Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.
99

perubahan dan penambahan yang disesuaikan dengan kebutuhan praktik


peradilan mengenai hal-hal yang belum diatur dalam Reglemen tersebut.
Dengan demikian, ketentuan-ketentuan dalam Reglemen itu hanya meru-
pakan sebagian saja dari ketentuan-ketentuan hukum acara yang tidak
tertulis. Sebenarnya yang paling banyak mengalami perubahan dan pe-
nambahan adalah bagian Hukum Acara Pidana. Oleh karena itu, dipandang
perlu untuk mengundangkan kembali Reglemen itu secara lengkap. Adapun
kronologis perubahan itu adalah sebagai berikut:229

1. Perubahan dan penambahan sampai tahun 1926. Setelah mengalami


beberapa kali perubahan dan penambahan, pemerintah Hindia Belanda
mengumumkan kembali isi Inlandsch Reglement dengan Stb. No. 559
Tahun 1926 juncto Stb. No. 496 Tahun 1926.
2. Perubahan dan penambahan dari tahun 1926 sampai tahun 1941.
Perubahan dan penambahan dilakukan secara mendalam terutama yang
menyangkut acara pidananya. Oleh karena itu, dipandang perlu
mengundangkan kembali isi Inlandsch Reglement itu secara keseluruhan.
Perubahan itu dilaksanakan dengan Stb. No. 31 Tahun 1941 juncto. Stb.
No. 98 Tahun 1941, kemudian perubahan dengan Stb. No. 32 Tahun
1941 juncto Stb. No. 98 Tahun 1941. Dalam Stb. No. 32 Tahun 1941 ini
sebutan Inlandsch Reglement diganti dengan sebutan Herziene Inlandsch
Reglement disingkat HIR.
3. Pengundangan secara keseluruhan isi HIR itu dilaksanakan dengan Stb.
No. 44 Tahun 1941. Setelah itu, tidak ada lagi perubahan dan
penambahan. Baru ada perubahan lagi yang bersifat penyesuaian setelah
Indonesia merdeka, yaitu dengan diberlakukannya Undang-Undang
Darurat No.1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk
Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan Acara
Pengadilan-Pengadilan Sipil, Lembaran Negara No. 9 Tahun 1951.

Peraturan-peraturan yang telah ada tentang Acara Perdata dan Acara


Pidana untuk Pengadilan Tinggi dan majelis pengadilan lain di daerah luar

229
Ibid., hal. 9-10.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


100

Jawa dan Madura sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan Pasal 145
Peraturan tentang Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Pengadilan, dapat
buat seluruhnya atau buat sebagian dan untuk selamanya oleh Gubernur
Jenderal tertimbang patut, tetap diberlakukan olehnya. Akan tetapi, dia akan
mengadakan peraturan istimewa tentang pengadilan di luar Jawa dan
Madura pada waktu yang sama dengan undang-undang baru, apa yang dia
anggap perlu untuk menjamin berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang di daerah-daerah
tersebut secara tertib. Demikian bunyi Pasal 6 Keputusan Raja Stb. No. 23
Tahun 1847.230

Sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 6 Keputusan Raja tersebut


dan juga untuk menjamin adanya kepastian hukum acara tertulis di muka
Pengadilan Gubernemen bagi golongan Bumiputra dan Timur Asing di luar
Jawa dan Madura (daerah seberang), maka pada tahun 1927 Gubernur
Jenderal Hindia Belanda mengumumkan Reglemen Hukum Acara untuk
Daerah Seberang dalam Stb. No. 227 Tahun 1927 dengan sebutan
Rechtsreglement voor de Buitengewesten disingkat RBg. Ketentuan Hukum
Acara Perdata dalam RBg. adalah ketentuan Hukum Acara Perdata yang
sudah ada dalam Inlandsch Reglement untuk golongan Bumiputra dan Timur
Asing di Jawa dan Madura ditambah ketentuan-ketentuan Hukum Acara
Perdata yang telah ada dan berlaku di kalangan mereka sebelumnya.231

Dengan terbentuknya RBg ini, maka di Hindia Belanda terdapat tiga


macam Reglemen Hukum Acara untuk pemeriksaan perkara di muka
Pengadilan Gubernemen pada tingkat pertama, yaitu:232
1. Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (BRv.) untuk golongan
Eropa yang berperkara di muka Raad van Justitie dan Residentie
gerecht.
2. Herziene Inlandsch Reglement (HIR) untuk golongan Bumiputra dan
Timur Asing di Jawa dan Madura yang berperkara di muka Landraad.
230
Ibid., hal. 10.
231
Ibid., hal. 10-11.
232
Ibid., hal. 11, lihat juga .

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


101

3. Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg.) untuk golongan


Bumiputra dan Timur Asing di luar Jawa dan Madura (daerah seberang)
yang berperkara di muka Landraad.

Selanjutnya berdasarkan pasal 5 ayat (1) UU Darurat No. 1 tahun


1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan
Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil, maka hukum
acara perdata pada Pengadilan Negeri dilakukan dengan memperhatikan UU
Darurat tersebut menurut peraturan-peraturan Republik Indonesia dahulu,
yang telah ada dan berlaku untuk Pengadilan Negeri dalam daerah Republik
Indonesia dahulu. Dimaksud oleh UU Darurat No. 1 tahun 1951 tersebut
tidak lain adalah HIR dan RBg.233

Jadi hukum acara perdata yang dinyatakan resmi berlaku adalah HIR
untuk Jawa dan Madura dan RBg untuk luar Jawa dan Madura. Reglement
op de Burgerlijke Rechtsvordering (BRv.) merupakan sumber juga dari
hukum acara perdata. Menurut Supomo, dengan dihapuskannya Raad
Justitie dan Hoggerecthshof, maka Rv sudah tidak berlaku lagi, sehingga
dengan demikian hanya HIR dan Rbg sajalah yang berlaku, akan tetapi di
dalam praktik acara dari Rv tetap diterapkan.234

Peraturan peninggalan Pemerintahan Hindia Belanda salah satunya


adalah Hukum yang mengatur tata cara penyelesaian sengketa keperdataan,
yaitu Hukum Acara Perdata seperti, Herzienne Indonesisch Reglement ( HIR

233
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, op. cit., hal. 7, lihat juga Abdul
Kadir Muhammad, op. cit., hal. 13,
234
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, loc. cit, lihat juga Mahkamah Agung
RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku I dan II, (Jakarta :
Mahkamah Agung RI, 2007/2008), hal. 60 dan hal 126, lihat juga Naskah Akademik tentang
Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Perdata tahun 2011, op. cit., hal. 37 yang
menyatakan bahwa ‘BRV yang dimuat dalam Stb. No.52/1847 mulai berlaku pada tanggal 1 Mei
1848 adalah reglement yang berisi ketentuan Hukum Acara Perdata yang berlaku khusus untuk
golongan Eropa dan yang dipersamakan dengan mereka untuk berperkara di muka Pengadilan
untuk orang Eropa yaitu dalam Raad Van Justitie dan Residentie gerecht. BRV sampai sekarang
tidak berlaku lagi, tetapi dalam kenyataan praktik berlaku di muka Pengadilan sekarang, beberapa
lembaga hukum dalam peraturan tersebut sering dipakai sebagai contoh, karena sangat dibutuhkan
dalam perkara, sebab lembaga seperti itu tidak terdapat dalam HIR maupun RBg. Praktiknya hal
ini disebut sebagai yurisprudensi, ini di dasarkan tidak menyebutkan pasal-pasal dari reglement
tersebut’.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


102

) – S. 1941 No. 44 untuk Jawa – Madura, Rechtsreglement Buitengewesten


(RBg) – S. 1927 No. 277 untuk luar Jawa – Madura. Hukum Acara Perdata
ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat
dewasa ini, sehingga tidak dapat menampung berbagai perkembangan
hukum.235

HIR adalah merupakan produk dari Pemerintah Kolonial Belanda,


yang sampai sekarang masih tetap berlaku dalam melaksanakan Hukum
Perdata Materiel di dalam sidang Pengadilan Negeri di Indonesia. Sebagai
warisan zaman Hindia Belanda, selain HIR masih ada 2 buah peraturan
perundang-undangan (Reglement) tentang Hukum Acara Perdata yaitu
Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (BRV) dan Rechtsregelement
voor de Buitengewesten (RBG).236

Dewasa ini kaidah-kaidah hukum acara perdata masih tersebar dalam


berbagai peraturan perundang-undangan, baik peraturan perundang-
undangan peninggalan Pemerintah Hindia Belanda maupun peraturan
perundang-undangan produk Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga
termuat dalam HIR yang hanya berlaku khusus untuk daerah Jawa dan
Madura, sedangkan RBg berlaku untuk kepulauan yang lainnya di
Indonesia. Selain itu BW dalam Buku Ke-empat dan Reglement Catatan
Sipil memuat pula peraturan-peraturan hukum acara perdata, kaidah-kaidah
mana sejak semula hanya berlaku untuk golongan penduduk tertentu, yang
baginya berlaku hukum perdata barat.237

Hukum acara perdata terdapat dalam beberapa ketentuan perundang-


undangan seperti dalam :238
1. Undang-Undang No. 14 tahun 1970 sebagaimana telah beberapa kali
diubah dan terakhir melalui Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman,

235
Naskah Akademik tentang Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Perdata tahun 2011,
op. cit., hal. 1.
236
Ibid., hal. 37.
237
Ibid., hal 38.
238
Ibid., Lihat juga Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, op. cit., hal. 7-8.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


103

2. Undang-Undang, Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang


Mahkamah Agung,
3. Undang-Undang Nomor 49 tahun 2009 tentang Peradilan Umum,
4. Undang-undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara,
5. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan serta
Peraturan Pelaksanaannya.
6. Sedang yang mengatur persoalan banding khusus untuk wilayah Jawa
dan Madura berlaku Undang-Undang Nomor 20 tahun 1947,
Berdasarkan yurisprudensi, UU No. 20 tahun 1947, kini berlaku juga
untuk wilayah di luar Jawa dan Madura.

Beberapa masalah yang tidak diatur dalam HIR dan R.Bg, apabila
dirasakan perlu dan berguna bagi praktik pengadilan, dapat dipakai
peraturan-peraturan yang terdapat dalam Reglement of de Burgerlijke
Rechtsvordering (Rv). Misalnya perihal penggabungan, penjaminan dan
rekes sipil.239

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) khusus ditujukan kepada


pengadilan-pengadilan bawahannya yang berisikan instruksi dan petunjuk-
petunjuk bagi para hakim dalam menghadapi perkara perdata. Misalnya
SEMA Nomor 04 Tahun 1975 Tentang Sandera (Gijzeling) SEMA Nomor
09 Tahun 1976 Tentang Gugatan terhadap Pengadilan dan Hakim, SEMA
Nomor 6 Tahun 1992 Tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tinggi
dan Pengadilan Negeri, SEMA Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Pengawasan
dan Pengurusan Biaya-biaya Perkara, SEMA Nomor 5 Tahun 1994 Tentang
Biaya Administrasi, Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1962 Tentang Cara
Pelaksanaan Sita Atas barang-barang yang tidak bergerak, serta berupa
Peraturan MA Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Proses mediasi di Pengadilan
Semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib

239
Naskah Akademik tentang Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Perdata tahun 2011,
op. cit., hal. 38.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


104

untuk lebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dan bantuan


mediator.240

Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Gugatan Perwakilan


Kelompok (class action), Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2000 Tentang
Lembaga Paksa Badan, Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2001 Tentang
Permohonan Kasasi Perkara Perdata Yang Tidak Memenuhi Persyaratan
Formal.241

Hukum acara perdata yang merupakan peninggalan masa


Pemerintahan Hindia Belanda memiliki banyak kelemahan dan pasti dalam
beberapa hal tertinggal dari perkembangan masyarakat dan ilmu
pengetahuan yang sangat cepat. Sehingga dalam kenyataannya menimbulkan
beberapa persoalan dalam masyarakat yang meliputi:242
1. Proses eksekusi terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap yang terkadang dalam eksekusinya memerlukan waktu
cukup lama, sehingga tidak dapat menampung aspirasi dunia
perekonomian yang menghendaki penyelesaian secara cepat; karena
semakin lama berarti kerugian yang ditimbulkan semakin besar.
2. Dalam perkara perdata dianut asas hakim pasif, sehingga sering terjadi
ada pihak yang lemah semata-mata karena ketidaktahuannya tentang
hukum acara, padahal seandainya hakim diperkenankan memberikan
saran maka kondisinya dapat berbeda.
3. Dalam perkara permohonan. HIR tidak memberikan suatu solusi/upaya
hukum untuk memperbaiki putusan yang salah, seandainya pemohon
tidak mengajukan upaya hukum.
4. Cepatnya penyelesaian perkara pada tingkat pertama dan banding,
mengakibatkan arus masuknya perkara ke Mahkamah Agung (tingkat
kasasi) semakin deras, sehingga terjadi penumpukkan dan tunggakan
yang melampaui kapasitas penyelesaian secara wajar.

240
Ibid., hal 38-39.
241
Ibid., hal. 39.
242
Ibid.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


105

Berkaitan dengan Hukum Acara Perdata ini sejak lama sudah


menjadi perhatian R. Subekti, yang menyatakan yaitu :

Suatu hukum acara yang baik adalah yang menjamin bahwa roda
Pengadilan dapat berjalan lancar, dengan perkataan lain, agar
penetapan oleh Pengadilan tentang bagaimanakah hukumnya
dalam perkara yang dihadapkan kepadanya itu dapat diperoleh
dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, bahwa penetapan
tentang apakah yang hukum itu berjalan dengan adil, tidak berat
sebelah, dan bahwa biaya yang diperlukan untuk memperoleh
keputusan Pengadilan itu beserta realisasinya, tidak terlampau
memberatkan para pencari keadilan. Terkenal adalah semboyan
yang, dalam hubungan itu, seringkali dikemukakan, yaitu supaya
peradilan itu dilaksanakan dengan “cepat, tepat dan murah”.243
Karena hukum acara itu sifatnya mengabdi kepada hukum
materiil, maka dengan sendirinya setiap perkembangan dalam
hukum materiil itu sebaiknya selalu diikuti dengan penyesuaian
hukum acaranya.244

Berdasarkan uraian sebagaimana disebutkan di atas, dapat dikatakan


bahwa hukum acara perdata yang berlaku saat ini pengaturannya tersebar
dalam beberapa peraturan, dan untuk mewujudkan hukum beracara perdata
murah, sederhana, efektif dan efisien ketentuan Hukum Acara Perdata yang
didasarkan pada HIR dan RBg perlu dilakukan pembaharuan sesuai dengan
kebutuhan hukum.245

Jika dihubungkan dengan gugatan warga negara (citizen lawsuit)


sebagaimana diuraikan sebelumnya, maka hingga saat ini mekanisme

243
R. Subekti, op. cit., hal. 14.
244
Ibid.
245
Naskah Akademik tentang Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Perdata tahun 2011,
op. cit., hal. 62, R. Subekti juga pernah berpendapat bahwa “dalam pembentukan Undang-Undang
Hukum Acara Perdata nasional nanti, hendaknya diusahakan supaya semua hukum acara yang sekarang
secara bercera-berai terdapat dalam berbagai macam undang-undang itu, dikumpulkan menjadi satu
dalam satu undang-undang, yaitu Undang-Undang Hukum Acara Perdata, lihat juga R. Subekti op. cit.,
hal. 17.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


106

gugatan ini memang belum diatur dalam peraturan hukum acara perdata di
Indonesia – HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) dan Rbg
(Rechtsreglement Buitengeweten) –. Hal ini berbeda dengan bentuk gugatan
class action yang telah diakomodasi dalam Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA) No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan
Kelompok.246

Sedangkan dalam Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum


Acara Perdata tahun 2008 khususnya Bab II TUNTUTAN HAK Bagian
Kesatu Gugatan dan Permohonan, Pasal 2 sampai dengan Pasal 12, mengatur
tentang pengajuan gugatan yang dilakukan oleh setiap orang, gugatan
perwakilan kelompok dan Legal Standing, belum mengatur mengenai Gugatan
Warga Negara (Citizen Lawsuit).247

Begitu juga dalam naskah akademis tentang Rancangan Hukum


Acara Perdata tahun 2011 khususnya Bab V tentang Jangkauan, arah
pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan Undang-Undang Hukum
Acara Perdata, huruf B Materi Yang akan Diatur, membahas tentang
pengajuan gugatan oleh individu maupun gugatan perwakilan kelompok
(class action), juga belum mengatur maupun membahas mengenai
mekanisme gugatan warga negara (citizen lawsuit) tersebut, yang pada
pokoknya terurai di bawah ini :248

B. Materi Yang akan diatur

1. Tuntutan Hak

Tuntutan hak atau gugatan sebagai tindakan yang bertujuan untuk


mendapatkan perlidungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk
mencegah main hakim sendiri. Dalam praktik ada dua macam tuntutan

246
Susanti Adi Nugroho, op. cit., hal. 391.
247
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia, Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor … Tahun … Tentang
Hukum Acara Perdata (Draft Maret 2008), loc. cit.
248
Tim Penyusun Naskah Akademik RUU HAP, Naskah Akademik tentang Rancangan Undang-
Undang tentang Hukum Acara Perdata tahun 2011, lo. cit.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


107

yaitu tuntutan hak yang mengandung sengketa yang disebut dengan


“gugatan”. Dalam gugatan ini, dimana terdapat dua belah pihak yaitu
pihak penggugat dan pihak tergugat dan tuntutan hak yang tidak
mengandung sengketa yang disebut dengan “permohonan” (hanya satu
pihak) yaitu pihak pemohon.
a. Gugatan
Berkaitan dengan tuntutan tersebut, selanjut yang perlu diatur adalah
siapa yang boleh mengajukan gugatan?, kapankah seseorang boleh
mengajukan gugatan?, bagaimana gugatan atau permohonan tersebut
didaftrakan. Selanjutnya perlu diatur pula mengenai ketentuan
bagaimana penggugat dapat mengajukan gugatannya, secara lisan
atau tertulis, dan kepada siapa gugatan diajukan serta bagaimana jika
penggugat tidak bisa baca tulis. Mengenai persyaratan mengajukan
gugatan, dalam hal ini tentunya yang menyangkut dengan identitas
para pihak, terutama mengenai batas umur. Hal ini penting
mengingat mengajukan gugatan merupakan perbuatan hukum,
walaupun belum ada sampai saat ini sengketa batas cukup umur,
kiranya perlu diadakan ketentuan mengenai hal ini.
Selain batas cukup umur, perlu ada pula seperti: nama lengkap, jenis
kelamin, kewarganegaraan, pekerjaan, dan tempat tinggal penggugat
dan tergugat kemudian harus ada peristiwa yang dijadikan dasar
gugatan dengan disertai bukti tertulis apabila ada, dan hal-hal yang
dituntut untuk mendapatkan putusan, serta gugatan harus
ditandatangani oleh penggugat sendiri atau wakil yang sah.
b. Pengajuan Gugatan
Beberapa gugatan yang mempunyai hubungan yang erat atau
koneksitas antara satu dengan yang lainnya dapat diajukan secara
kumulasi dalam satu gugatan. Untuk realisasinya, jika terdapat
beberapa perkara yang mempunyai hubungan erat antara perkara
yang satu dengan perkara yang lainnya, Ketua Pengadilan berwenang
melakukan penggabungan beberapa perkara untuk disidangkan oleh
hakim yang sama, tetapi harus atas permohonan pihak yang

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


108

berperkara. Penggabungan beberapa perkara dapat dilakukan apabila:


menguntungkan proses; memudahkan pemeriksaan; dan/atau
mencegah adanya putusan yang saling bertentangan. Penggabungan
perkara dapat diajukan oleh penggugat atau tergugat. Dalam hal
permohonan penggabungan perkara diajukan oleh penggugat,
permohonan tersebut harus diajukan dalam surat gugat kedua atau
surat gugat berikutnya dan dalam hal permohonan penggabungan
perkara diajukan oleh tergugat, permohonan harus diajukan bersama-
sama dengan jawaban pertama yakni jawaban terhadap perkara yang
disidangkan kemudian.
Mengenai pemohon yang tidak dapat baca tulis, yang bersangkutan
dapat mengajukan permohonan secara lisan langsung kepada Ketua
Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan. Ketua
Pengadilan atau hakim yang ditunjuk segera membuat catatan
tentang permohonan lisan atau memerintahkan kepada Panitera
untuk melakukan pencatatan. Catatan tentang permohonan lisan
harus dibubuhi cap jempol oleh pemohon yang disahkan oleh Ketua
Pengadilan atau hakim yang ditunjuk.
c. Gugatan Perwakilan
Berdasarkan pertimbangan agar terdapat efisiensi dalam mengajukan
gugatan yang mempunyai kesamaan fakta dan kesamaan
kepentingan, perlu diatur kemungkinan dapat diajukannya gugatan
secara perwakilan apabila penggugat untuk hal yang sama sangat
banyak jumlahnya, yakni yang selama ini dikenal dengan gugatan
perwakilan.
Perlu terdapat penegasan bahwa gugatan perwakilan baru dapat
diajukan jika:
1) Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidak
efektif dan efisien jika gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri;
2) Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar
hukum yang digunakan, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan
diantara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya; dan

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


109

3) Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk


melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya.

3.2 Penemuan Hukum Oleh Hakim

Kalau kita bicara tentang hukum pada umumnya kita hanya melihat
kepada peraturan hukum dalam arti kaedah atau peraturan perundang-
undangan, terutama bagi praktisi.249

Undang-Undang itu tidak sempurna, memang tidak mungkin


undang-undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara
tuntas. Ada kalanya undang-undang itu tidak lengkap dan ada kalanya
undang-undang itu tidak jelas. Meskipun tidak lengkap atau tidak jelas
undang-undang harus dilaksanakan.250

Kegiatan kehidupan manusia itu sangat luas, tidak terhitung jumlah


dan jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam satu perundang-
undangan dengan tuntas dan jelas. Maka wajarlah kalau tidak ada peraturan
perundang-undangan yang dapat mencakup keseluruhan kegiatan kehidupan
manusia, sehingga tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap
selengkap-lengkapnya dan sejelas-jelasnya. Oleh karena hukumnya tidak
lengkap dan tidak jelas, maka harus dicari dan diketemukan.251

Sering dipermasalahkan mengenai istilah "penemuan hukum":


apakah tidak lebih tepat istilah pelaksanaan hukum, penerapan hukum,
pembentukan hukum atau penciptaan hukum.252

249
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, (Yogyakarta : Citra
Aditya Bakti, cetakan ke I, 1993), hal. 3, lihat juga Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra, op.
cit., hal. 163-164.
250
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, loc. cit.
251
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, op. cit., hal. 48-49, selanjutnya Sudikno
Mertokusumo menyatakan bahwa “oleh karena undang-undangnya tidak lengkap atau tidak jelas,
maka hakim harus mencari hukumnya, harus menemukan hukumnya. Ia harus melakukan
penemuan hukum (rechtsvinding), lihat Sudikno Mertokusumo dan A Pitlo, op. cit., hal. 4.
252
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, op. cit., hal. 47, Thomas David juga menyatakan
bahwa “Pemakaian kata penemuan hukum (rechtsvinding) tidak disepakati oleh semua ahli. Ada juga
yang Iebih memilih penggunaan istilah "pembentukan hukum" dengan alasan, hakim bukan hanya
menemukan hukum, tetapi membentuk hukum, dan hukum yang dibentuk hakim itu melalui

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


110

Pelaksanaan hukum dapat berarti menjalankan hukum tanpa adanya


sengketa atau pelanggaran. Ini meliputi pelaksanaan hukum oleh setiap
warga negara setiap hari yang sering tidak disadarinya dan juga oleh aparat
negara, seperti misalnya seorang polisi yang berdiri di perempatan jalan
mengatur lalu lintas (law enforcement). Di samping itu pelaksanaan hukum
dapat terjadi kalau ada sengketa, yaitu yang dilaksanakan oleh hakim. Ini
sekaligus merupakan penegakan hukum.253

Penerapan hukum tidak lain berarti menerapkan (peraturan) hukum


yang abstrak sifatnya pada peristiwanya. Menerapkan (peraturan) hukum
pada peristiwa konkrit secara langsung tidak mungkin. Peristiwa konkrit itu
hams dijadikan peristiwa hukum terlebih dahulu agar peraturan hukumnya
dapat diterapkan. Di waktu yang lampau dikatakan bahwa hakim adalah
corong undang-undang, karena kewajibannya hanyalah menerapkan undang-
undang, ia adalah "subsumptie automaat".254

Pembentukan hukum adalah merumuskan peraturan-peraturan umum


yang berlaku umum, bagi setiap orang. Kalau lazimnya pembentukan hukum
dilakukan oleh pembentuk undang-undang, maka hakim dimungkinkan pula
membentuk hukum, kalau hasil penemuan hukumnya itu kemudian
merupakan yurisprudensi tetap yang diikuti oleh para hakim dan merupakan
pedoman bagi masyarakat, yaitu putusan yang mengandung asas-asas
hukum yang dirumuskan dalam peristiwa konkrit, tetapi memperoleh
kekuatan berlaku umum. Jadi satu putusan dapat sekaligus mengandung dua
unsur, yaitu di satu pihak putusan merupakan penyelesaian atau pemecahan
suatu peristiwa konkrit dan di pihak lain merupakan peraturan hukum untuk
waktu mendatang.255

Sedangkan istilah penciptaan hukum kiranya kurang tepat, karena


memberi kesan bahwa hukumnya itu sama sekali tidak ada, kemudian

putusannya dinamai: judge made law”, lihat Thomas David, Penemuan Hukum dan Legalitas
Hakim, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum Vol. 1 Nomor 2, Oktober tahun 2007, hal. 15.
253
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, loc. cit.
254
Ibid., hal. 47-48.
255
Ibid., hal. 48.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


111

diciptakan: dari tidak ada menjadi ada. Hukum bukanlah selalu berupa
kaedah baik tertulis maupun tidak, tetapi dapat juga berupa perilaku atau
peristiwa. Di dalam perilaku itulah terdapat hukumnya. Dari perilaku itulah
harus diketemukan atau digali kaedah atau hukumnya (lihat pas.5 (1) UU no
48 th 2009). Sehingga menurut Sudikno Mertokusumo “Maka kiranya
istilah penemuan hukumlah yang tepat”.256

Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra257 serta Bernard Arief
Sidharta258 lebih cenderung memakai istilah pembentukan hukum, sedangkan
sebagaimana diuraikan di atas Sudikno Mertokusumo lebih cenderung
menggunakan istilah penemuan hukum dan Achmad Ali lebih setuju dengan
istilah penemuan hukum259, karena mengandung arti yang lebih luas, yaitu
selain pembentukan hukum juga menemukan hukum yang sebenarnya lebih
menunjukkan kita proses yang dilalui hakim sebelum menjatuhkan
putusannya.

Dalam praktek Pengadilan, ada 3 (tiga) istilah yang sering


dipergunakan oleh Hakim yaitu penemuan hukum, pembentukan hukum
atau menciptakan hukum dan penerapan hukum. Diantara tiga istilah ini,
istilah penemuan hukum paling sering dipergunakan oleh Hakim, sedangkan
istilah pembentukan hukum biasanya dipergunakan oleh lembaga
pembentuk undang-undang (DPR). Dalam perkembangan lebih lanjut,
penggunaan ketiga istilah itu saling bercampur baur, tetapi ketiga istilah itu
berujung kepada pemahaman bahwa aturan hukum yang ada dalam undang-
undang tidak jelas, oleh karenanya diperlukan suatu penemuan hukum atau

256
Ibid.
257
Dalam formulasi kombinatif ini fungsi pembentukan hukum dapat dilakukan baik oleh hakim,
lembaga legislatif, maupun badan-badan administratif yang melakukan fungsi semacam itu, lihat
Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra, op. cit., hal. 162-163.
258
Bernard Arief Sidharta mengatakan: “Proses pembentukan hukum itu berlangsung melalui
proses politik yang menghasilkan perundangundangan, proses peradilan yang menghasilkan
yurisprudensi, putusan birokrasi, pemerintahan yang menghasilkan ketetapan, prilaku hukum ‘varga
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, dan pengembangan ilmu hukum (pembentukan doktrin)”,
lihat Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang
Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu
Hukum Nasional Indonesia (Bandung: Penerbit CV Mandar Maju, 2000) hal. 189.
259
Thomas David, op. cit., hal. 15.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


112

pembentukan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam memutus suatu


perkara.260

Paul Scholten sebagaimana dikutip oleh Thomas David mengatakan


bahwa hakim itu menjalankan rechtsvinding (turut serta menemukan
hukum). Dalam hal ini, walaupun hakim ikut serta dalam menemukan
hukum, menciptakan peraturan perundang-undangan tetapi kedudukan
hakim bukanlah sebagai pemegang kekuasaan legislatif (badan pembentuk
perundang-undangan) yaitu DPR, oleh karena keputusan hakim tidak
mempunyai kekuatan hukum yang berlaku seperti peraturan hukum.261

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, peneliti sependapat


dengan istilah penemuan hukum, istilah penemuan hukum oleh hakim
mengandung arti yang lebih luas, yaitu selain pembentukan hukum juga
menemukan hukum yang sebenarnya lebih menunjukkan kita proses yang
dilalui hakim sebelum menjatuhkan putusannya.262

Apa yang dimaksud dengan penemuan hukum lazimnya adalah


proses pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang
ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum
konkrit. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah proses

260
Abdul Manan, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan
Agama, http://rakernas.mahkamahagung.go.id/index.php/rakernas-2010/peradilan-
agama?download=9%3Apenemuan-hukum-oleh-hakim-h-abdul-manan, diakses pada tanggal 12
Oktober 2012, hal. 2.
261
Thomas David, op. cit., hal. 15-16.
262
Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa “kegiatan hakim berupa pembentukan hukum
(rechtsvorming), analogi (rechtsanalogie), penghalusan hukum (rechtsverfijning) atau penafsiran
(interpretatie), dalam sistem hukum kontinental disebut sebagai penemuan hukum (rechtsvinding),
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana, cetakan ketiga, 2009), hal.
333, Bagir Manan juga menyatakan bahwa “Agak berbeda dengan tradisi kontinental. Paling tidak
yang kita kenal di Belanda dan Indonesia, pembentukan hukum oleh hakim tercakup dalam
sistematik penemuan hukum (rechtsvinding). Pembentukan hukum oleh hakim merupakan salah
satu bentuk penemuan hukum (rechtsvinding)”, lihat Bagir Manan, Konsekuensi Yuridis
Keputusan Menteri Yang Dinyatakan Tidak Berlaku Lagi, (Jakarta : IKAHI, Varia Peradilan No.
286, September 2009), hal. 12.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


113

konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das Sollen) yang bersifat


umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das Sein) tertentu.263

Berkaitan apakah hakim selalu melakukan penemuan hukum atau


tidak, Ahmad Ali menyatakan bahwa “terdapat 2 (dua) aliran yang berkaitan
dengan peran hakim dalam penemuan hukum, yaitu :264
1. Penganut Doktrin Sens-Clair (la doctrine du sensclair)
Penganut aliran ini berpendapat bahwa "penemuan hukum oleh hakim"
hanya dibutuhkan jika:
a. peraturannya belum ada untuk suatu kasus inconcreto; atau
b. peraturannya sudah ada, tetapi belum jelas; menurut penganut
pandangan ini di luar dari keadaan dua hal di atas, penemuan hukum
oleh hakim tidak ada.

Michel Van Kerckhove (1978: 13-50) menyimpulkan doktrin sens-clair


dalam 5 butir berikut :265
a. Ada teks undang-undang yang dimengerti maknanya sendiri dan
berdasarkan setiap penjelasan sebelumnya serta tidak mungkin
menimbulkan keraguan.
b. Karena bahasa hukum didasarkan pada bahasa percakapan sehari-
hari, maka dapat dianggap semua istilah yang tidak ditentukan oleh
pembuat undang-undang tetap saja sama artinya dengan yang
dimiliki dalam bahasa percakapan sehari-hari.
c. Kekaburan suatu teks undang-undang hanya mungkin terjadi karena
mengandung dua arti (ambigurasi) atau karena kekurangan tetapan
arti yang lazim dari istilah-istilah itu.
d. Secara ideal, biasanya yang dijadikan pegangan bagi pembuat
undang-undang adalah ia harus merumuskan teks undang-undang

263
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, op. cit., hal. 49, selanjutnya Sudikno Mertokusumo
mengatakan bahwa “Penemuan hukum bukan semata-mata hanya penerapan peraturan-peraturan
hukum terhadap peristiwa konkret, tetapi sekaligus juga penciptaan dan pembentukan hukum”,
lihat Sudikno Mertokusumo dan A Pitlo, op. cit., hal. 9.
264
Ahmad Ali, Nurhadi, Ed., Menguak Tabir Hukum, Edisi Kedua, (Jakarta : Ghalia Indonesia,
2008), hal. 113-120.
265
Ibid., hal 114.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


114

dengan sejelas-jelasnya. Kekaburan teks harus dihindari, juga jangan


sampai terjadi perumusan yang kurang baik.
e. Untuk mengetahui adanya kekaburan atau pun tidak adanya
kekaburan teks undang-undang, tidak diperlukan penafsiran.
Sebaliknya, pengakuan tentang jelas atau kaburnya teks
menghasilkan kriteria yang memungkinkan untuk menilai apakah
suatu penafsiran atau penemuan hukum memang atau tidak
diperlukan. Kalau diperlukan atau tidak diperlukan, hasilnya dalam
penerapan hukum adalah sah.

2. Penganut Penemuan Hukum Selalu Harus Dilakukan


Berkaitan dengan aliran ini, Ahmad Ali berpendapat bahwa :

“Penulis tidak menyetujui pandangan seperti doktrin sens-clair … Dua


orang yang bersama-sama menatap pada fenomena X, akan menafsirkan
atau memaknakan fenomena X tadi dengan persepsinya masing-masing;
hasilnya bisa sama, tetapi juga bisa berbeda. Demikian pula dua orang
yang secara bersama-sama membaca satu kata dan mengartikan atau
menafsirkan kata itu dengan persepsinya masing-masing; juga hasilnya
bisa sama, tetapi bisa berbeda”.266

“Lagi pula, bagi siapa pun yang mengatakan bahwa teks undang-undang
sudah sangat jelas sehingga tidak membutuhkann interpretasi lagi,
sebenarnya yang menyatakan demikian sudah melakukan interpretasi
sendiri. Pernyataannya tentang jelasnya teks, sudah merupakan hasil
interpretasinya terhadap teks tersebut”.267

“Oleh karena itu, Penulis tidak pernah sependapat jika dikatakan bahwa
seorang yuris yang baik harus mampu membaca seperti sarjana lain dan
titik! Pernyataan seperti itu tidak tepat. Seorang yuris tidak hanya
membutuhkan sekadar kemampuan membaca seperti orang lain, tetapi ia

266
Ibid.
267
Ibid., hal. 115.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


115

juga harus mampu menafsirkan dengan tepat apa yang ia baca itu dan
menghubungkannya dengan konteks untuk apa bacaan itu dibaca”.268

“Penulis menegaskan bahwa penulis menganut pandangan: penemuan


hukum selalu dilakukan oleh hakim dalam setiap putusannya. Dari
contoh-contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa pembuat undang-
undang sendiri tidak dapat secara tepat menguraikan bidang penerapan
undang-undang yang dibuatnya, untuk suatu teks yang dianggap paling
jelas pun masih membutuhkan penemuan hukum untuk mencocokkan
antara teks dan fakta konkret, dengan metode subsumptif salah satu
metode penafsiran yang paling sederhana”.269

Berikutnya berkaitan dengan tahapan tugas Hakim dan kapan saat


Penemuan Hukum dilakukan menurut Sudikno Mertokusumo sebagaimana
diuraikan oleh Ahmad Ali, yaitu sebagai berikut :270
a. Tahap konstatir
Di sini hakim mengkonstatir benar atau tidaknya peristiwa yang
diajukan. Misalnya, benarkah si A telah memecahkan jendela rumah si B
sehingga si B menderita kerugian? Di sini para pihak (dalam perkara
perdata) dan penuntut umum (dalam perkara pidana) yang wajib untuk
membuktikan melalui penggunaan alat-alat bukti. Dalam tahap konstatir
ini, kegiatan hakim bersifat logis. Penguasaan hukum pembuktian bagi
hakim sangat dibutuhkan dalam tahap ini.
b. Tahap kualifikasi
Di sini hakim mengkualifisir, termasuk hubungan hukum apakah
tindakan si A tadi? Dalam hal ini dikualifisir sebagai perbuatan melawan
hukum (Pasal 1365 BW).
c. Tahap konstituir
Di sini hakim menetapkan hukumnya terhadap yang bersangkutan (para
pihak atau terdakwa). Hakim menggunakan silogisme, yaitu menarik

268
Ibid.
269
Ibid., hal 119.
270
Ibid., hal 120. Untuk lebih jelasnya lihat juga Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, op.
cit., hal. 101-119.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


116

suatu simpulan dari premis mayor berupa aturan hukumnya (dalam


contoh ini Pasal 1365 BW) dan premis minor berupa tindakan si A
memecahkan kaca jendela si B.

Proses penemuan hukum oleh hakim dimulai pada tahap kualifikasi


dan berakhir pada tahap konsituir. Hakim memerlukan hukum melalui
sumber-sumber hukum yang tersedia. Dalam hal ini, kita tidak menganut
pandangan legisme yang hanya menerima undang-undang saja sebagai satu-
satunya hukum dan sumber hukum. Sebaliknya, di sini hakim dapat
menemukan hukum melalui sumber-sumber hukum, yaitu undang-undang,
kebiasaan, traktat, yurisprudensi, putusan desa, doktrin, hukum agama,
bahkan keyakinan hukum yang dianut masyarakat.271

Selanjutnya berkaitan dengan aliran dalam Penemuan Hukum,


diuraikan oleh Ahmad Ali, yaitu sebagai berikut :272
a. Aliran Begriffsjurisprudenz273
Aliran yang membolehkan hakim melakukan penemuan hukum diawali
dengan yang dikenal sebagai begriffsjurisprudenz. Aliran ini mulai
memperbaiki kelemahan yang ada pada ajaran legis.
Aliran begriffijurisprudenz mengajarkan bahwa sekali pun benar
undang-undang itu tidak lengkap, tetapi undang-undang masih dapat
menutupi kekurangan-kekurangannya sendiri, karena undang-undang
memiliki daya meluas. Cara memperluas undang-undang ini hendaknya
bersifat “normlogisch” dan tetap dipandang dari sudut dogmatik, sebab
bagaimana pun hukum merupakan suatu "logische Gasschlossenheit".
Jadi, aliran ini memandang hukum sebagai satu sistem tertutup, di mana
penghukum tidaklah sebagai sarana melainkan sebagai tujuan sehingga
teori hukum menjadi teori tentang pengertian (begriffsjurisprudenz).
Oleh aliran ini, pekerjaan hakim dianggap semata-mata pekerjaan intelek
di atas hukum-hukum rasional dan logis. Yang menjadi tujuan dari aliran
begriffsjurisprudenz adalah bagaimana kepastian hukum terwujud.
271
Ahmad Ali, Nurhadi, Ed., loc. cit.
272
Ibid., hal. 107-112.
273
Ibid., hal. 107-109.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


117

Penggunaan hukum logika yang dinamai silogisme menjadi dasar utama


begriffsjurisprudenz ini. Bagaimana yang dimaksud cara berpikir
silogisme, dijelaskan oleh Sudikno Mertokusumo :
"Di sini hakim mengambil kesimpulan dari adanya premis mayor, yaitu
(peraturan) hukum dan premis minor, yaitu peristiwanya. Siapa mencuri
dihukum: A terbukti mencuri; A harus dihukum ...." Dalam buku lain,
Sudikno memberikan contoh, silogisme itu: "Menerapkan undang--
undang pada peristiwa hukum tidak lain dari menerapkan silogisme.
Barang siapa mengambil barang orang lain dengan melanggar hukum
(mencuri) harus dihukum (Pasal 362 KUHP). Abu mencuri (menyadap
aliran listrik orang lain dengan melanggar hukum), jadi Abu harus
dihukum."
Aliran ini menempatkan rasio dan logika pada tempat yang sangat
istimewa. Kekurangan undang-undang menurut begriffijurisprudenz
hendaknya diisi dengan penggunaan hukum-hukum logika dan
memperluas undang-undang berdasarkan rasio.
b. Aliran Interessenjurisprudenz (Freirechtsschule)274
Sebagai kritik terhadap aliran beggriffsjurisprudenz, muncul aliran
interessenjurisprudenz atau Freirechtsschule. Menurut aliran ini,
undang-undang jelas tidak lengkap. Undang-undang bukan satu-satunya
sumber hukum, sedangkan hakim dan pejabat lainnya memunyai
kebebasan yang seluas-luasnya untuk melakukan "penemuan hukum".
Dalam arti kata, bukan sekadar penerapan undang-undang oleh hakim,
tetapi juga memperluas dan membentuk peraturan dalam putusan hakim.
Untuk mencapai keadilan yang setinggi-tingginya, hakim boleh
menyimpang dari undang-undang demi kemanfaatan masyarakat.
Dikaitkan dengan teori tujuan hukum, maka jelas aliran ini penganut
utilitarisme. Hakim memunyai "freies ermessen".
c. Aliran Soziologische Rechtsschule275
Reaksi terhadap aliran freirechtsschule ini memunculkan aliran
soziologische rechtsschule, yang pada pokoknya hendak menahan
274
Ibid., hal. 109.
275
Ibid., hal.109-111.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


118

kemungkinan munculnya kesewenang-wenangan hakim, dengan


diberikannya hakim freies ermessen. Aliran ini tidak setuju jika hakim
diberi freies ermessen. Namun demikian, aliran ini tetap mengakui
bahwa hakim tidak hanya sekadar "terompet undang-undang", melainkan
hakim juga harus memerhatikan kenyataan-kenyataan masyarakat,
perasaan, dan kebutuhan hukum warga masyarakat serta kesadaran
hukum masyarakat. Aliran ini menolak adanya kebebasan (vrijbrief) dari
hakim seperti yang diinginkan freirechtsschule.
Oleh karena itu, penganut aliran ini sangat menekankan betapa perlunya
para hakim memiliki wawasan pengetahuan yang luas, bukan sekadar
ilmu hukum dogmatik belaka, tetapi seyogianya juga mendalami ilmu-
ilmu sosial lain, seperti: sosiologi, antropologi, politik, ekonomi, dan
sebagainya.
Jelas, yang mereka maksudkan adalah seorang hakim seyogianya
merupakan orang yang memiliki wawasan ilmu dan pengetahuan yang
cukup luas. Bukan sekadar menguasai peraturanperaturan hukum yang
tertuang dalam berbagai perundang-undangan, melainkan menguasai
ilmu ekonomi, sosiologi, politik, antropologi, dan lain lain. Untuk
memeroleh hakim yang berkualitas semacam itu, banyak ditentukan pula
oleh "proses rekrutmen" calon hakim. Seyogianya yang diterima sebagai
calon hakim adalah lulusan-lulusan terbaik dan fakultas-fakultas hukum
serta yang memiliki mentalitas yang cukup baik.
Sudikno Mertokusumo sebagaimana dikutip Ahmad Ali menganggap
aliran sosiologis ini merupakan salah satu pecahan dari freirechtslehre
dan pecahan lainnya adalah aliran hukum kodrat. Sudikno memandang
aliran sosiologis berpendapat bahwa untuk menemukan hukum, hakim
harus mencarinya dalam kebiasaan-kehiasaan dalam masyarakat,
sedangkan aliran hukum kodrat berpendapat bahwa untuk menemukan
hukumnya harus dicari dalam hukum kodrat.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


119

d. Ajaran Paul Scholten276


Bagi Scholten sebagaimana dikutip Ahmad Ali, hukum merupakan satu
sistem yang berarti semua aturan saling berkaitan, dapat disusun secara
mantik, dan untuk yang bersifat khusus dapat dicarikan aturan-aturan
umumnya sehingga tiba pada asas-asasnya. Namun, tidak berarti hakim
hanya bekerja secara mantik semata. Hakim juga harus bekerja atas
dasar penilaian, di mana hasil dari penilaian itu menciptakan sesuatu
yang baru. Penilaian hakim itu dilakukan dalam wujud interpretasi dan
konstruksi. Undang-undang memunyai kebebasan yang lebih primer,
sedangkan hakim memunyai "keadaan terikat" pada yang lebih primer
itu.
e. Penemuan Hukum Heteronom dan Otonom277
Sudikno sebagaimana dikutip oleh Ahmad Ali menuliskan bahwa yang
dimaksud dengan penemuan hukum yang heteronom adalah jika dalam
penemuan hukum, hakim sepenuhnya tunduk pada undang-undang.
Penemuan hukum ini terjadi berdasarkan peraturan-peraturan di luar diri
hakim. Pembentuk undang-undang membuat peraturan pada umumnya,
sedangkan hakim hanya mengkonstatir bahwa undang-undang dapat
diterapkan pada peristiwanya, kemudian hakim menerapkannya menurut
bunyi undang-undang. Dengan demikian, maka penemuan hukum yang
heteronom ini merupakan penerapan undang-undang yang terjadi secara
logis dan terpaksa sebagai sillogisme sedangkan yang dimaksud dengan
penemuan hukum yang otonom, menurut Sudikno adalah jika hakim
dalam menjatuhkan putusannya dibimbing oleh pandangan-pandangan
atau pikirannya sendiri. Dalam penemuan hukum yang otonom ini,
hakim memutus menurut apresiasi pribadi. Di sini hakim menjalankan
fungsi yang mandiri dalam penerapan undang-undang terhadap peristiwa
hukum konkrit.

276
Ibid., hal.111.
277
Ibid., hal. 111-112.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


120

Setelah menguraikan aliran-aliran Penemuan Hukum, maka


selanjutnya berkaitan dengan metode penemuan hukum, Sudikno
Mertokusumo menyatakan yaitu sebagai berikut :

Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode


penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang
mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat
ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penafsiran
oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada
pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai
peraturan hukum terhadap peristiwa konkret. Metode interpretasi
ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-
undang.278

Interpretasi adalah metode penemuan hukum dalam hal


peraturannya ada, tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada
peristiwanya. Sebaliknya terjadi juga hakim harus memeriksa
dan mengadili perkara yang tidak ada peraturannya yang khusus.
Dalam hal ini hakim menghadapi kekosongan atau
ketidaklengkapan undang-undang yang harus diisi atau
dilengkapi, sebab hakim tidak boleh menolak memeriksa atau
mengadili perkara dengan dalih tidak ada hukumnya atau tidak
lengkap hukumnya. Dalam hal ini apa yang yang harus
dilakukan oleh hakim untuk menemukan hukumnya? Untuk
mengisi kekosongan itu digunakan metode berpikir analogi,
serta metode penyempitan hukum dan metode a contrario.279

Apa yang dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo tersebut di atas


yang tidak memisahkan secara tegas antara interpretasi dengan konstruksi,
selanjutnya dilengkapi oleh Ahmad Ali yang membedakan metode
penemuan hukum yaitu : konstruksi hukum di lain pihak dengan penafsiran

278
Sudikno Mertokusumo dan A Pitlo, op. cit., hal. 13.
279
Ibid., hal. 21.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


121

hukum disatu pihak, bahwa "interpretasi adalah penafsiran terhadap teks


undang-undang masih tetap berpegang pada bunyi teks itu, sedang
konstruksi hukum adalah hakim menggunakan penalaran logisnya untuk
mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, di mana hakim
tidak lagi berpegang pada bunyi teks, tetapi dengan syarat hakim tidak
mengabaikan hukum sebagai suatu sistem".280

Metode interpretasi hukum dilakukan dalam hal peraturannya ada,


tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkret. Interpretasi
terhadap teks peraturannyapun masih tetap berpegang pada bunyi teks itu.
Sedangkan metode konstruksi hukum dilakukan dalam hal peraturannya
memang tidak ada, jadi terdapat kekosongan undang-undang (wet
vacuum).281

Dalam kaitannya dengan metode penemuan hukum yang dapat


dipergunakan oleh hakim dalam menerapkan kaidah hukum, Achmad Ali
menggolongkannya menjadi :282
1. Konstruksi, yang terdiri dari analogi (argumentum peranalogiam),
argumentum a contrario, rechtsvervijning (penyempitan penghalusan-
pengkonkritan hukum) dan fiksi hukum.
2. Interpretasi atau penafsiran, yang terdiri dari gramatikal (taalkundige
interpretatie, gramatical interpretatie), penafsiran teleologis
(teleologische interpretatie) atau biasa juga disebut penafsiran sosiologis
(sociologische interpretatie), interpretasi sistematis (systematische
interpretatie), penafsiran historis (historische interpretatie), dan
komparatif serta futuristis.

280
Ahmad Ali, Nurhadi, Ed., op. cit., hal. 122.
281
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks,
(Yogyakarta : UII Pres, 2005), hal 53.
282
Ahmad Ali, Nurhadi, Ed., loc. cit., lihat juga Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto,
Perundang-Undangan dan Yurisprudensi, (Bandung : Alumni, 1979), hal. 21-22, bandingkan
dengan Sudikno Mertokusumo yang menyatakan bahwa metode penemuan hukum dapat berupa
interpretasi (jika peraturannya ada, tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya),
sedangkan metode berpikir analogi, serta metode penyempitan hukum dan metode a contrario
(jika tidak ada peraturannya yang khusus), Sudikno Mertokusumo, op. cit, hal 13 dan 21.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


122

Menurut Achmad Ali, beberapa macam interpretasi (penafsiran


hukum), antara lain:283
1. Interpretasi subsumptif yaitu, mencocokkan unsur-unsur yang ada
(contohnya maka is mencocokkan dengan undang-undang yang ada).
2. Interpretasi gramatikal yaitu, penafsiran kata-kata dalam undang-undang
menurut kaedah hukum tata bahasa, misalnya pidana tentang
penggelapan.
3. Interpretasi sistematis yaitu, dilihat kaitannya secara keseluruhan
mengaitkan perbuatan yang dilakukan dengan semua peraturan yang ada.
4. Interpretasi historis yaitu, dapat dilihat dari sejarah hukum dan dapat
dilihat dari sejarah pembuatan undang-undang.
5. Interpretasi sosiologis yaitu, menetapkan makna undang-undang
berdasarkan tujuan kemasyarakatan.
6. Interpretasi komparatif, penafsiran dengan memperbandingkan antara
berbagai sistem hukum, guna mencari titik temu atau kejelasan mengenai
suatu ketentuan undang-undang pada suatu penyelesaian yang
dikemukakan di pelbagai negara, lazimnya penafsiran ini dipergunakan
dalam perjanjian internasional.
7. Interpretasi antisipatif (futusritis), hakim menjelaskan undang-undang
yang berlaku sekarang (ius constitum) guna mencari pemecahan kasus
yang dihadapkan padanya, dengan berpedoman pada kaedah-kaedah
hukum yang terdapat dalam suatu atau beberapa peraturan perundang-
undangan yang belum mempunyai kekuatan berlaku dan belum
mempunyai daya kekuatan yang mengikat (ius constituendum), misalnya
rancangan undang-undang.
8. Interpretasi Restriktif, metode interpretasi yang sifatnya membatasi.
9. Interpretasi Ekstensif, metode interpretasi yang membuat interpretasi
melebihi batas-batas hasil interpretasi gramatikal.

283
Berkaitan dengan metode-metode interpretasi dalam penemuan hukum ini, lihat , Achmad Ali,
Nurhadi, Ed., op. cit., hal. 127-139, Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, op. cit., hal. 73-86,
Jazim Hamidi, op. cit., hal. 53-63, Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, loc. cit.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


123

Ahmad Ali menegaskan bahwa dalam penerapannya hakim tidak


ditentukan harus menggunakan interpretasi A atau B, setiap proses berpikir
senantiasa berwujud gabungan.284

Dalam kaitannya dengan metode konstruksi Ahmad Ali menguraikan


sebagai berikut :285
1. Argumentum peranalogiam atau analogi, merupakan metode penemuan
hukum dimana hakim mencari esensi yang lebih umum pada suatu
perbuatan yang diatur dalam undang-undang maupun yang belum ada
peraturannya dihubungkan dengan perbuatan atau peristiwa yang secara
konkrit dihadapi hakim.
2. Argumentum a contrario, dimana menggunakan penalaran bahwa jika
undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu,
berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan bagi
peristiwa di luarnya terjadi kebalikannya.
3. Pengkongkretan / penyempitan / penghalusan hukum (rechtsvervijnings),
mengkonkretkan / menyempitkan suatu peristiwa hukum yang terlalu
luas dan abstrak, pasif serta sangat umum, agar dapat diterapkan
terhadap suatu peristiwa tertentu.
4. Fiksi hukum, menciptakan sesuatu yang bukan kenyataan tapi untuk
kepentingan hukum diadakan, dan mengatasi konflik antara tuntutan-
tuntutan yang baru dengan sistem yang telah ada serta menambahkan
hal-hal baru kepada kita.

Sumber penemuan hukum tidak lain adalah sumber atau tempat


terutama bagi hakim dapat menemukan hukumnya. Sumber utama
penemuan hukum adalah peraturan perundang-undangan, kemudian hukum
kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional barulah doktrin. Jadi
terdapat hierarki atau kewerdaan dalam sumber hukum, ada tingkatan-
tingkatan. Oleh karena itu kalau terjadi konflik dua sumber, maka sumber

284
Ahmad Ali, Nurhadi, Ed., op. cit., hal. 138.
285
Berkaitan dengan metode-metode konstruksi dalam penemuan hukum ini, lihat Ibid., hal. 139-
147, Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, op. cit., hal. 86-93, dan Purnadi Purbacaraka dan
Soerjono Soekanto, op. cit., hal. 22.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


124

hukum yang tertinggi akan melumpuhkan sumber hukum yang lebih


rendah.286

Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang


memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau
ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui
prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.287

Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang


dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama
Presiden.288

Kebiasaan tidak lain adalah perbuatan yang dilakukan secara


berulang, perbuatan yang dianggap sebagai patut dilakukan, seyogyanya
dilakukan. Kebiasaan ini kemudian mempunyai kekuatan normatif, kekuatan
mengikat. Kebiasaan barulah menjadi Hukum Kebiasaan jika menimbulkan
kesadaran bahwa hal itu memang seharusnya dilakukan. Khususnya bagi
kita di Indonesia sekali lagi harus kita bedakan antara adat dengan Hukum
Kebiasaan.289

Dikatakan bahwa Perjanjian Internasional (treaty) sebagai sumber


hukum karena treaty itu harus memenuhi persyaratan formal tertentu agar
dapat diterima sebagai perjanjian internasional.290

Yurisprudensi dapat berarti setiap putusan hakim. Yurisprudensi


dapat pula berarti kumpulan putusan hakim yang disusun secara sistematis
dari tingkat peradilan pertama sampai pada tingkat kasasi dan yang pada
umumnya diberi annotatie oleh para pakar di bidang peradilan. Selanjutnya
Yurisprudensi diartikan pandangan atau pendapat para ahli yang dianut oleh
hakim dan dituangkan dalam putusannya. Di samping itu di lingkungan

286
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, op. cit., hal. 63-64.
287
Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
op. cit., pasal 1 angka 2.
288
Ibid., Pasal 1 angka 3.
289
Ahmad Ali, Nurhadi, Ed., op. cit., hal. 93.
290
Ibid., hal. 98.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


125

peradilan dikenal apa yang disebut yurisprudensi tetap. Apabila suatu


kaidah atau ketentuan dalam suatu putusan kemudian diikuti secara konstan
atau tetap oleh para hakim dalam putusannya dan dapat dianggap menjadi
bagian dari keyakinan hukum umum, maka dikatakan bahwa terhadap
masalah hukum tersebut telah terbentuk yurisprudensi tetap. Di “putus-
ulangnya” kaidah hukum dalam suatu putusan oleh suatu yurisprudensi tetap
akan memperkuat wibawa kaidah hukum tersebut.291

Dalam kaitan dengan masalah yurisprudensi tersebut, terdapat 2


(dua) asas yang dikenal dalam peradilan, yaitu asas precedent dan asas
bebas. Asas precedent berarti hakim terikat atau tidak boleh menyimpangi
dari putusan-putusan yang terlebih dahulu dari hakim yang lebih tinggi atau
yang sederajat tingkatannya. Sebaliknya, asas bebas adalah hakim tidak
terikat pada putusan-putusan hakim yang lebih tinggi maupun yang sederajat
tingkatannya.292

Menurut Bagir Manan sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Rifai,


sistem peradilan Indonesia tidak menganut asas precedent atau ajaran stare
decisis. Jadi, hakim-hakim Indoneisa bebas mengikuti atau tidak putusan-
putusan hakim terdahulu. Walaupun demikian, dalam praktik, hakim-hakim
menuruti berbagai yurisprudensi tetap (vaste jurispudentie), terutama
yurisprudensi Mahkamah Agung.293

Berkaitan dengan peran yurisprudensi dalam sistem hukum di


Indonesia patut juga diuraikan pendapat Sebastian Pompe, yaitu sebagai
berikut :

“Rujukan yang ajeg pada "yurisprudensi" dalam dokumen


kebijakan dan teks hukum Indonesia adalah indikasi utama
bahwa sistem hukum Indonesia masih tertancap kokoh dalam
sistem civil law warisan Belanda. Istilah "yurisprudensi"

291
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, op. cit., hal. 68.
292
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspekatif Hukum Progresif, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2011), hal. 50
293
Ibid., hal. 51.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


126

sesungguhnya mengacu pada putusan-putusan pengadilan civil


law mengikuti makna filsafat hukum Perancis, bukan Anglo-
Amerika. Tradisi civil law bisa dikatakan memberikan putusan
pengadilan otoritas yang relatif lemah sejak dari mula”.294

“Perbedaan antara stare decicis dan yurisprudensi telah


kehilangan ketajamannya selama abad kedua puluh.
Sebagaimana dampak dari kekuatan undang-undang yang kian
mendorong sistem Anglo-Amerika ke arah civil law, sebaliknya
pengadilan-pengadilan civil law justru mulai makin mirip dengan
pengadilan Anglo-Amerika. Bagaimanapun juga, peran
pengadilan dalam sistem civil law berubah dengan cepat dalam
lima puluh tahun terakhir, ketika kekhawatiran dan keberatan
terhadap tirani yudisial sirna dan digantikan oleh keprihatinan
terhadap semakin menguatnya kekuasaan pemerintah. Dalam
prosesnya, kekuatan yurisprudensi meningkat melampaui
hambatan-hambatan historis dan dogmatisnya, dan nyaris
mendekati kekuatan preseden putusan dalam sistem Anglo-
Amerika. Jika putusan-putusan pengadilan Anglo-Amerika
mempunyai "kekuatan mengikat", putusan pengadilan civil law
memperoleh "kekuatan persuasif" yang sebetulnya tidak kalah
kuat. Memang dalam sistem civil law yang beragam dan
hierarkis, kekuatan mengikat ini lebih melekat pada putusan
Mahkamah Agung ketimbang putusan pengadilan-pengadilan
tingkat bawah, tetapi hal ini tidak begitu penting”.295

Otoritas putusan-putusan civil law nyaris mendekati model


preseden yang mengikat dari tradisi Anglo-Amerika. Hal ini
terlihat pada saat Mahkamah Agung memberikan putusan yang
identik dalam serangkaian perkara yang disebut “yurisprudensi

294
Sebastian Pompe, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, Terj. Noor Cholis, (Jakarta :
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, 2012) Terj. dari The Indonesian
Supreme Court, A Study of Institutional Collapse, hal. 605.
295
Ibid.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


127

tetap”. Demikianlah, apabila dalam sistem civil law sebuah yang


dianggap sebagai yurisprudensi dapat mempunyai otoritas
persuasif besar, maka serangkaian putusan yang konsisten
mengenai suatu permasali hukum tertentu dapat dipandang
mengikat. Konsistensi ini ditopang oleh bahwa pengadilan
tertinggi di berbagai negara yang menganut sistem civil law
dalam beberapa dekade telah mengacu pada putusan mereka
sendiri dan telah menciptakan “sebuah aturan tetap” atau
“yurisprudensi tetap”. 296

Sebagai salah satu sumber penemuan hukum, pada hakikatnya,


dalam dunia peradilan, yurisprudensi mempunyai beberapa fungsi,
sebagaimana yang diutarakan oleh Paulus E. Lotulung yang dikutip oleh
Ahmad Rifai, yaitu sebagai berikut :297
1. Menegakkan adanya standar hukum yang sama dalam kasus/perkara
yang sama atau serupa, di mana undang-undang tidak mengatur atau
belum mengaturnya.
2. Menciptakan rasa kepastian hukum di masyarakat dengan adanya standar
hukum yang sama.
3. Menciptakan adanya kesamaan hukum serta sifat dapat diperkirakan
(predictable) pemecahan hukumnya.
4. Mencegah terjadinya kemungkinan disparitas (perbedaan) dalam
berbagai putusan hakim pada kasus yang sama, sehingga kalaulah terjadi
perbedaan putusan antara hakim yang satu dengan yang lain dalarn kasus
yang sama, maka jangan sampai menimbulkan disparitas, tetapi hanya
bercorak sebagai variabel secara kasuistik (case by case).

296
Ibid., hal. 605-606, berkaitan dengan yurisprudensi tetap Ahmad Kamil dan M. Fauzan
sebagaimana dikutip oleh Ahmad Rifai, menguraikan bahwa Yurisprudensi tetap memiliki
tahapan-tahapan sebagai berikut : Adanya putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap,
Atas perkara atau kasus yang belum ada atau belum jelas aturan hukumnya, memiliki muatan
keadilan dan kebenaran, telah diikuti berulang kali oleh hakim berikutnya dalam memutus perkara
yang sama, telah melalui uji eksaminasi atau anotasi oleh tim yurisprudensi yang terdiri atas para
Hakim Agung di Mahkamah Agung, telah direkomendasikan sebagai yurisprudensi tetap yang
berlaku dan mengikat dan wajib diikuti oleh hakim-hakim di kemudian hari dalam memutus
perkara yang sama, lihat Ahmad Rifai, op. cit., hal. 52.
297
Ibid., hal. 51.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


128

5. Dalam lingkungan peradilan, dikenal adanya suatu yurisprudensi tetap,


yang merupakan suatu kaidah atau ketentuan dalam suatu putusan yang
kemudian diikuti secara tetap oleh hakim-hakim selanjutnya dan
dianggap menjadi bagian dari keyakinan hukum umum.

Selanjutnya mengenai doktrin sebagai sumber hukum penemuan


hukum, Achmad Ali berpendapat “Tidak semua pendapat sarjana hukum
yang dapat masuk dalam kualifikasi doktrin, melainkan hanya pakar-pakar
yang diakui tokoh oleh masyarakatnya. Biasanya, mereka itu senior dan
telah memiliki karya berupa buku yang dibaca kalangan masyarakat luas.
Pakar-pakar hukum yang pendapatnya termasuk doktrin adalah pakar yang
memiliki kharisma di bidangnya, entah karena ia guru besar, entah bukan
guru besar, tetapi pemikiran-pemikirannya dianut oleh masyarakatnya.298

Dalam praktik peradilan di Indonesia, konsep penemuan hukum juga


diakomodir dalam peraturan perundang-undangan terutama Undang-
Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu
sebagai berikut : 299

1. Pasal 1 ayat (1) menyebutkan “Dalam Undang-Undang ini yang


dimaksud dengan: Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia.”
2. Pasal 4 ayat (1) menyatakan “Pengadilan mengadili menurut hukum
dengan tidak membeda-bedakan orang”.
Berkaitan dengan pasal 4 ayat (1) ini, Sudikno Mertokusumo
berpendapat bahwa hakim pada dasarnya harus tetap ada di dalam sistem
(hukum), tidak boleh keluar dari hukum, sehingga harus menemukan
hukumnya. Pasal tersebut jika dibandingkan dengan pasal 20 AB

298
Ahmad Ali, Nurhadi, Ed., op. cit., hal. 100.
299
Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor 48 tahun
2009, tanggal 29 Oktober 2009, LN NOMOR 157 TAHUN 2009, TLN Nomor 5076.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


129

(Algemene Bepalingan van wetgeving voor Indonesie) yang berbunyi :


“Hakim harus mengadili menurut undang-undang, ia dilarang menilai isi
keadilan dari undang-undang”, dengan berpedoman pada asas lex
posteriori derogat legi priori, maka pasal 20 AB, yang isinya
bertentangan dengan pasal 4 ayat (1), dilumpuhkan oleh pasal 4 ayat (1).
Pengertian “menurut hukum” (dalam pasal 4 ayat (1)) lebih luas dari
pada “menurut undang-undang” (dalam pasal 20 AB). Oleh karena itu
demi keutuhan sistem hukum, maka asas lex posteriori derogat legi
priori perlu disimpangi, sehingga pasal 20 AB dan pasal 4 ayat (1) harus
ditafsirkan saling mengisi.300
3. Pasal 5 ayat (1) berbunyi “ Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat”.
Berkaitan dengan pasal 5 ayat (1) ini, Sudikno Mertokusumo
berpendapat bahwa kata menggali mengasumsikan bahwa hukumnya itu
ada, tetapi masih harus digali, dicari dan ditemukan, bukannya tidak ada,
kemudian lalu diciptakan.301
4. Pasal 10 ayat (1) menguraikan bahwa “Pengadilan dilarang menolak
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Berkaitan dengan pasal 10 ayat (1) ini, Sudikno Mertokusumo
berpendapat bahwa hakim wajib memeriksa dan menjatuhkan putusan,
yang berarti bahwa ia wajib menemukan hukumnya (lihat juga pasal 22
AB).302
5. Pasal 50 (1) menyatakan “Putusan pengadilan selain harus memuat
alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili”.

300
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, op. cit., hal. 52-53 dan 61.
301
Ibid, hal. 61.
302
Ibid., Pasal 22 A.B berbunyi : “Bilamana seorang hakim menolak menyelesaikan suatu perkara
dengan alasan bahwa peraturan undang-undang yang bersangkutan tidak menyebutnya, tidak jelas,
atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut karena menolak mengadili”.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


130

Dengan berbagai jenis metode penemuan hukum sebagaimana


diuraikan di atas dan dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan
sebagai landasan dalam penemuan hukum, maka sudah seharusnyalah hakim
mampu melakukan berbagai terobosan hukum untuk menyesuaikan diri
terhadap perkembangan masyarakat melalui putusan pengadilan.

Interpretasi adalah metode penemuan hukum, dalam hal


peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya.
Sebaliknya dapat pula terjadi bahwa hakim harus memeriksa dan mengadili
perkara yang tidak ada peraturannya yang khusus. Disinilah hakim
menghadapi kekosongan atau ketidaklengkapan undang-undang yang harus
diisi atau dilengkapi melalui konstruksi hukum, sebab hakim tidak boleh
menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan dalih tidak ada
hukumnya atau tidak jelas hukumnya, melainkan wajib memeriksa dan
mengadilinya.

3.3 Putusan Pengadilan Dalam Perkara Perdata

Apabila hakim telah mengetahui peristiwa yang telah terjadi dan


telah menemukan hukumnya, dia segera akan menjatuhkan putusannya.303

Hakim karena jabatannya wajib melengkapi dasar hukum yang tidak


dikemukakan oleh kedua belah pihak. Dengan demikian, dalam
mempertimbangkan perkara yang dihadapinya itu, hakim perlu
menggunakan semua kaidah hukum yang berlaku bagi perkara itu karena
hakim mengetahui dasar hukumnya.304

Menurut Sudikno Mertokusumo, Putusan Hakim adalah “suatu


pernyataan yang oleh Hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang untuk
itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan
suatu perkara atau sengketa antara para pihak.305

303
Abdulkadir Muhammad, op. cit., hal. 147.
304
Ibid., hal 148.
305
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia Op. cit., hal. 174.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


131

Dalam Pasal 1 angka 10 Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum


Acara Perdata tahun 2008 diuraikan bahwa Putusan pengadilan adalah putusan
hakim dalam bentuk tertulis yang diucapkan di sidang pengadilan yang
terbuka untuk umum dengan tujuan untuk menyelesaikan dan/atau
mengakhiri gugatan.306

Jadi putusan pengadilan dapat menjadi yurisprudensi apabila putusan


itu sekurang-kurangnya memiliki 5 (lima) unsur pokok yaitu :

- keputusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturan


perundang-undangannya;
- keputusan tersebut harus sudah merupakan keputusan tetap;
- telah berulangkali diputus dengan keputusan yang sama dalam kasus
yang sama;
- memenuhi rasa keadilan;
- keputusan itu dibenarkan oleh Mahkamah Agung”. 307

Selanjutnya Pasal 185 ayat 1 HIR (ps. 196 ayat 1 Rbg) membedakan
antara putusan akhir dan putusan yang bukan putusan akhir. Putusan akhir
adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu
tingkatan peradilan tertentu. Putusan akhir ini ada yang bersifat menghukum
(condemnatoir), ada yang bersifat menciptakan (constitutif) dan ada pula
yang bersifat menerangkan atau menyatakan (declaratoir).308

Putusan condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum


pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi. Di dalam putusan

306
Direktorat Jenderal Perundang-Undangan Kemenkumham, Rancangan Undang-Undang Tentang
Hukum Acara Perdata tahun 2008, loc.cit.
307
Menurut penelitian yang dilakukan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) tahun
1994/1995, bahwa “ suatu putusan Hakim dapat disebut sebagai Yurisprudensi apabila putusan itu
sekurang-kurangnya memiliki 5 (lima) unsur pokok yaitu :keputusan atas suatu peristiwa hukum
yang belum jelas pengaturan perundang-undangannya; keputusan tersebut harus sudah merupakan
keputusan tetap; telah berulangkali diputus dengan keputusan yang sama dalam kasus yang sama;
memenuhi rasa keadilan; keputusan itu dibenarkan oleh Mahkamah Agung”. Lihat Mahkamah
Agung, Naskah Akademis tentang Pembentukan Hukum Melalui Yurisprudensi, (Jakarta :
Mahkamah Agung, 2005), hal. 28.
308
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, op. cit., hal. 221, mengenai putusan
akhir lihat juga Abdulkadir muhammad, op. cit., hal. 149.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


132

condemnatoir diakui hak penggugat atas prestasi yang dituntutnya.


Hukuman semacam itu hanya terjadi berhubung dengan perikatan yang
bersumber pada persetujuan atau undang-undang, yang prestasinya dapat
terdiri dari memberi, berbuat dan tidak berbuat. Pada umumnya putusan
condemnatoir itu berisi hukuman untuk membayar sejumlah uang. Karena
dengan putusan condemnatoir itu tergugat diwajibkan untuk memenuhi
prestasi, maka hak daripada penggugat yang telah ditetapkan itu dapat
dilaksanakan dengan paksa (execution force). Jadi putusan condemnatoir
kecuali mempunyai kekuatan mengikat juga memberi alas hak eksekutorial
kepada penggugat yang berarti memberi hak kepada penggugat untuk
menjalankan putusan secara paksa melalui pengadilan.309

Bunyi dictum putusan condemnatoir adalah sebagai berikut:


Mengadili:
Menerima permohonan Penggugat.
Mengabulkan/menolak gugatan Penggugat. dst.--- dst---
Menghukum Tergugat/Penggugat untuk dst--- dst ---

Pernyataan "menerima permohonan Penggugat" dalam dictum tersebut


artinya gugatan Penggugat memenuhi persyaratan menurut yang dituntutnya.
Menolak artinya tidak mengakui atau tidak membenarkan hak Penggugat
atas suatu prestasi yang dituntutnya. Menghukum artinya membebankan
suatu kewajiban untuk berprestasi, yaitu memenuhi prestasi tertentu seperti
yang ditetapkan oleh hakim dalam putusannya, baik oleh Penggugat maupun
oleh Tergugat.310

Putusan constitutif adalah putusan yang meniadakan atau


menciptakan suatu keadaan hukum, misalnya pemutusan perkawinan,
pengangkatan wali, pemberian pengampuan, pernyataan pailit, pemutusan
perjanjian (ps. 1266, 1267 BW) dan sebagainya. Putusan constitutif ini pada
umumnya tidak dapat dilaksanakan dalam arti kata seperti tersebut di atas,

309
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, loc. cit., lihat juga Abdulkadir
Muhammad, op. cit., hal. 149.
310
Ibid., hal. 149-150.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


133

karena tidak menetapkan hak atas suatu prestasi tertentu, maka akibat
hukumnva atau pelaksanaannya tidak tergantung pada bantuan daripada
pihak lawan yang dikalahkan. Perubahan keadaan atau hubungan hukum itu
sekaligus terjadi pada saat putusan itu diucapkan tanpa memerlukan upaya
pemaksa. Pengampuan dan kepailitan misalnya terjadi pada saat putusan
yang dijatuhkan. 311

Contoh dictum putusan constitutif adalah seperti berikut:


Mengadili:
Menerima gugatan Penggugat.
Mengabulkan gugatan Penggugat dst ---
Membatalkan perjanjiandst--- dst ---
Menghukum Tergugat untuk dst--- dst---

Pernyataan menerima gugatan Penggugat artinya gugatan Penggugat


memenuhi persyaratan menurut undang-undang untuk diperiksa dan diputus
di muka persidangan. Mengabulkan gugatan Penggugat artinya mengakui
apa yang dituntut oleh Penggugat. Membatalkan artinya melenyapkan
keadaan hukum lama dan menimbulkan keadaan hukum baru. Menghukum
artinya membebankan suatu kewajiban untuk berprestasi.312

Putusan declaratoir adalah putusan yang isinya bersifat menerang-


kan atau menyatakan apa yang sah, misalnya bahwa anak yang menjadi
sengketa adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. Juga tiap
putusan yang bersifat menolak gugatan merupakan putusan declaratoir. Di
sini dinyatakan sebagai hukum, bahwa keadaan hukum tertentu yang
dituntut oleh penggugat atau pemohon ada atau tidak ada, tanpa mengakui
adanya hak atas suatu prestasi. Putusan declaratoir murni tidak mempunyai
atau memerlukan upaya memaksa karena sudah mempunyi akibat hukum
tanpa bantuan daripada pihak lawan yang dikalahkan untuk

311
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, op. cit., hal. 221-222, lihat juga
Abdulkadir Muhammad, op. cit., hal. 151.
312
Ibid.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


134

melaksanakannya, sehingga hanyalah mempunyai kekuatan mengikat


saja.313

Bunyi dictum putusan declaratoir adalah seperti berikut:


Menetapkan:
Menerima permohonan Pemohon.
Mengabulkan permohonan Pemohon. Menyatakan, bahwa -- dst--- dst ---
Menyatakan pula, bahwa dst --- dst ----

Pernyataan "menerima permohonan Pemohon" artinya permohonan


Pemohon memenuhi persyaratan menurut undang-undag untuk diperiksa dan
ditetapkan lewat persidangan pengadilan. Mengabulkan artinya mengakui
apa yang dimohonkan oleh Pemohon. Menyatakan artinya keadaan hukum
tertentu yang dimohonkan itu ada demikian, atau tidak ada. Jadi, fungsi
pernyataan di sini adalah sebagai penegasan saja dari suatu keadaan yang
sudah ada, atau keadaan yang sudah tidak ada.314

Pada hakekatnya semua putusan baik yang condemnatoir maupun


yang constitutif bersifat declaratoir. Pada putusan constitutif keadaan hukum
yang baru dimulai pada saat putusan itu memperoleh kekuatan hukum yang
pasti, sedangkan putusan condemnatoir dapat dilaksanakan sebelum
mempunyai kekuatan hukum yang pasti. Lain daripada itu hanyalah putusan
condemnatoir yang dapat dilaksanakan secara paksa.315

313
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, op. cit., hal. 222, lihat juga
Abdulkadir Muhammad, op. cit., hal. 150.
314
Ibid.
315
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, loc. cit., Abdulkadir Muhammad
juga menyatakan bahwa “Persamaan antara ketiga jenis putusan akhir tersebut adalah selalu
terdapat pernyataan hukum. Sedangkan perbedaannya adalah: putusan kondemnator menuju
kepada pelaksanaan putusan dengan paksaan bila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan
dengan suka rela, putusan deklarator dan konstitutif tidak memerlukan pelaksaaan dengan
paksaan karena sejak diucapkan putusan sudah mempunyai akibat hukum, lihat Abdulkadir
Muhammad, op. cit., hal. 151.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


135

Di samping putusan akhir masih dikenal putusan yang bukan putusan


akhir atau disebut juga putusan sela atau putusan antara, yang fungsinya
tidak lain untuk memperlancar pemeriksaan perkara.316

Putusan sela ini menurut pasal 185 ayat 1 HIR (ps. 196 ayat 1 Rbg)
sekalipun harus diucapkan di dalam persidangan tidak dibuat secara terpisah,
tetapi ditulis dalam berita acara persidangan.317 Selanjutnya pasal 190 ayat 1
HIR (ps. 201 ayat 1 Rbg) menentukan bahwa putusan sela hanya dapat
dimintakan banding bersama-sarna dengan permintaan banding terhadap
putusan akhir.318

Di samping pasal 185 ayat 1 HIR yang membedakan antara putusan


akhir dan putusan yang bukan putusan akhir, pasal 48 Rv membedakan
antara putusan praeparatoir dan putusan interlocutoir.319

Putusan praeparatoir adalah putusan sebagai persiapan putusan


akhir, tanpa mempunyai pengaruhnya atas pokok perkara atau putusan akhir.
Sebagai contoh putusan praeparatoir adalah putusan untuk menggabungkan
dua perkara atau untuk menolak diundurkannya pemeriksaan saksi.320

Putusan interlocutoir adalah putusan yang isinva memerintahkan


pembuktian, misalnya pemeriksaan untuk pemeriksaan saksi atau
pemeriksaan setempat. Kalau putusan praeparatoir tidak mempengaruhi

316
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, loc. cit.
317
Walaupun pasal 185 ayat 1 HIR (ps. 196 ayat 1 Rbg) mengatur demikian, akan tetapi dalam
praktik, putusan sela dibuat secara terpisah dalam bentuk putusan sela, M. Yahya Harahap
menyatakan bahwa “apabila hakim berpendapat, bahwa ia berwenang memeriksa dengan
mengadili perkara dengan alasan, apa yang diperkarakan termasuk yurisdiksi absolut atau relatif
PN yang bersangkutan, maka eksepsi tergugat ditolak dalam bentuk putusan sela (interlocutory),
lihat M. Yahya Harahap, op. cit, hal. 427.
318
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, op. cit., hal. 223.
319
Ibid., lihat juga M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 880.
320
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, loc. cit., M. Yahya Harahap
menyatakan bahwa putusan ini merupakan bentuk khusus putusan sela yang dapat berisi
bermacam-macam perintah sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai hakim, lihat M. yahya
Harahap, op. cit., hal. 881.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


136

putusan akhir, maka putusan interlocutoir ini dapat mempengaruhi putusan


akhir.321

Rv masih mengenal 2 putusan lainnya yang bukan putusan akhir,


yaitu putusan insidentil dan provisionil (ps. 332 Rv). Putusan insidentil
adalah putusan yang berhubungan dengan insident, yaitu peristiwa yang
menghentikan prosedur peradilan biasa. Putusan insidentil belum
berhubungan dengan pokok perkara, seperti misalnya putusan yang
membolehkan seseorang ikut kerja dalam perkara ( vrijwaring, voeging atau
tussenkoinst: ps. 70, 279 Rv).322

Putusan provisionil adalah putusan yang menjawab tuntutan


provisionil, yaitu permintaan pihak yang bersangkutan agar sementara
diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak, sebelum
putusan akhir dijatuhkan.323

Sebagaimana putusan akhir itu tidak mengikat hakim, demikian pula


dengan putusan sela. Putusan sela tidak mengikat hakim, bahkan hakim
yang menjatuhkan putusan sela berwenang untuk merubah putusan sela
tersebut jika ternyata terdapat kesalahan.324

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka dapatlah dibedakan


antara putusan sela dengan putusan akhir sebagaimana dalam tabel 3.1 :

Tabel 3.1
Perbandingan Putusan Sela dan Putusan Akhir
Fungsi Jenis / Sifat
Putusan Sela memperlancar - Praeparatoir (putusan sebagai persiapan
pemeriksaan perkara putusan akhir, tanpa mempunyai
pengaruhnya atas pokok perkara atau
putusan akhir),

321
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, loc. cit.
322
Ibid.
323
Ibid.
324
Ibid.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


137

- interlocutoir (bentuk khusus putusan sela


yang dapat berisi bermacam-macam
perintah sesuai dengan tujuan yang hendak
dicapai hakim),
- insidentil (putusan yang berhubungan
dengan insident, yaitu peristiwa yang
menghentikan prosedur peradilan biasa),
- provisionil (putusan yang menjawab
tuntutan provisionil, yaitu permintaan
pihak yang bersangkutan agar sementara
diadakan tindakan pendahuluan guna
kepentingan salah satu pihak, sebelum
putusan akhir dijatuhkan).

Putusan akhir mengakhiri suatu - Condemnatoir (putusan yang bersifat


sengketa atau perkara menghukum pihak yang dikalahkan untuk
dalam suatu tingkatan memenuhi prestasi),
peradilan tertentu. - Declaratoir (putusan yang isinya bersifat
menerangkan atau menyatakan apa yang
sah),
- Constituif (putusan yang meniadakan atau
menciptakan suatu keadaan hukum).

Putusan Pengadilan yang akan diuraikan pada bab berikutnya


umumnya merupakan putusan di tingkat Pengadilan Negeri (baik Putusan
Sela maupun Putusan Akhir) baik yang mengabulkan gugatan warga negara
(citizen lawsuit)325 ataupun yang menyatakan gugatan warga negara (citizen
lawsuit) tidak dapat diterima. Melalui Putusan Pengadilan tersebut akan
diuraikan perkembangan gugatan warga negara (citizen lawsuit) sebagai
penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim.

325
Sampai dengan penelitian ini dilakukan gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang dikabulkan
sampai dengan putusan akhir oleh pengadilan negeri adalah sebanyak 3 (tiga) putusan, dan hanya
2 (dua) Perkara Gugatan Warga Negara (citizen lawsuit) yang sampai pada Putusan Mahkamah
Agung, lihat Mahkamah Agung RI, Putusan Nomor : 2596 K/PDT/2008, Jakarta, 14 September
2009, dan Mahkamah Agung, putusan kasasi nomor 2801 K/Pdt/2009, tanggal 8 Juni 2010.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


138

3.4 Pembaruan Hukum

Berkaitan dengan Pembaruan Hukum, Bagir Manan mengutarakan


sebagai berikut “Ungkapan “hukum sebagai sarana pembaharuan” pertama
kali dipergunakan (diperkenalkan) Mochtar Kusumaatmadja. Beliaulah yang
mentransformasikan konsep Pound menjadi salah satu dasar kebijakan
pembaruan dan pembangunan hukum nasional (Indonesia). … Konsep atau
gagasan ini kemudian diperkuat oleh pemikir-pemikir lain, seperti Sunaryati
Hartono (UNPAD), Satjipto Rahardjo (UNDIP). Sutandyo (UNAIR).
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto (UI), dan lain-lain”.326

Sebagaimana yang diuraikan dalam kerangka teori sebelumnya,


Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya Hukum, Masyarakat dan
Perubahan Hukum Nasional menyatakan bahwa :

Walaupun perundang-undangan merupakan teknik utama untuk


melaksanakan pembaharuan hukum, pembaharuan kaidah-kaidah
dan azas serta penemuan arah atau bahan bagi pembaharuan
kaidah demikian juga menggunakan sumber-sumber hukum lain
yaitu keputusan badan-badan peradilan (yurisprudensi).327

Perubahan yang teratur melalui prosedur hukum, baik ia


berwujud perundang-undangan atau keputusan badan-badan
peradilan lebih baik daripada perubahan yang tak teratur dengan
menggunakan kekerasan semata-mata.328

Di Indonesia di mana undang-undang merupakan cara


pengaturan hukum yang utama pembaharuan masyarakat dengan

326
Bagir Manan, Hakim Sebagai Pembaharu Hukum, (Jakarta : IKAHI, Varia Peradilan Tahun ke
XXII No. 254, Januari, 2007), hal. 5.
327
Mochtar Kusumaatmadja, op. cit, hal. 12.
328
Ibid., hal. 12-13.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


139

jalan hukum berarti pembaharuan hukum terutama melalui


perundang-undangan.329

Dalam buku yang terpisah, selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja


berpendapat bahwa :

Dalam hal penerapan dan pengembangan hukum ini, sangat


menarik dan penting untuk dipelajari kedudukan Pengadilan atau
Hakim. Berlainan dengan pendapat kuno yang antara lain
diucapkan oleh Montesquieu dalam bukunya "L'Esprit de Lois"
yang menyatakan bahwa Hakim itu hanya mulut atau corong dari
badan legislatif, orang sekarang mengetahui bahwa selain
menerapkan undang-undang, Pengadilan atau Hakim itu juga
menemukan atau bahkan sering membentuk hukum baru. Hal ini
disebabkan karena di dalam sistem hukum Indonesia dikenal asas
yang menyatakan bahwa Pengadilan atau Hakim itu tidak boleh
menolak untuk memeriksa satu perkara dengan alasan bahwa
hukum mengenai perkara itu tidak ada atau tidak jelas. Asas atau
prinsip ini dinamakan asas non-liquet. Asas ini termuat di dalam
AB (Algemene Bepalingen van Wetgeving) Pasal 22 yang
berlaku di masa kolonial Hindia Belanda. Sekarang asas ini bisa
kita temukan di dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi : “Pengadilan
dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak
ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya”.330

Pengadilan atau Hakim dalam sistem hukum Indonesia bukanlah


Hakim yang pasif yang merupakan corong belaka dari badan
perundang-undangan seperti digambarkan oleh Montesquieu,

329
Ibid., hal. 13.
330
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung : Alumni,
2000), hal. 97.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


140

namun aktif berperan di dalam menemukan hukum atau


membentuk hukum baru. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa Pengadilan atau Hakim itu merupakan unsur yang cukup
penting tidak saja di dalam menemukan hukum tetapi juga di
dalam mengembangkan hukum.331

Jelas bahwa pengadilan mempunyai kedudukan penting dalam


sistem hukum kita, karena ia melakukan fungsi yang pada
hakikatnya melengkapi ketentuan-ketentuan hukum tertulis
melalui pembentukan hukum (rechtsvorming) dan penemuan
hukum (rechtsvinding) Dengan perkataan lain hakim/pengadilan
dalam sistem hukum kita yang pada dasarnya tertulis itu
mempunyai fungsi membuat hukum baru (creation of new law).
Karena itu sistem hukum Indonesia, walaupun merupakan sistem
hukum tertulis, namun merupakan sistem yang terbuka (open
system).332

Fungsi membentuk hukum (baru) oleh pengadilan / hakim di atas


harus dilakukan olehnya untuk mengisi kekosongan dalam
hukum dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara karena
hukum (tertulis) tidak jelas atau tidak ada. Fungsi yang sangat
penting ini dilakukan hakim / pengadilan dengan jalan inter-
pretasi, konstruksi dan penghalusan hukum.333

Menanggapi konsep Mochtar Kusumaatmadja, selanjutnya Bagir


Manan menguraikan, yaitu :

Mochtar Kusumaatmadja menyadari sumber utama kaidah hukum


kita adalah undang-undang atau peraturan perundang-undangan,
buka putusan hakim (civil law system). Berdasarkan sistem kaidah
hukum yang berbeda tersebut, maka Mochtar Kusumaatmadja dan

331
Ibid., hal. 98.
332
Ibid., hal. 99.
333
Ibid.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


141

para pemikir serupa memberi arti “hukum” pada “hukum sebagai


sarana pembaharuan sosial” lebih memberi perhatian terhadap
undang-undang atau peraturan perundang-undangan. … Namun
perlu dicatat, pendekatan ini tidak boleh diartikan mengabaikan
putusan hakim atau peran hakim dalam pembaharuan masyarakat.
Peran Putusan hakim atau yurisprudensi sangat penting. Hal ini
nampak dalam kebijakan atau politik hukum yang selalu
memasukkan pengadilan sebagai salah satu obyek pembangunan
hukum”.334

Bagir Manan menyatakan bahwa “Ilmu Hukum telah lama menerima


bahwa hakim adalah pembentuk hukum. Setiap putusan hakim adalah
membentuk hukum. Tetapi yang diterima secara umum (communist opinio),
adalah membentuk hukum dalam arti konkret (law in concreto). Putusan
hakim adalah hukum dalam arti konkret yang disandingkan (belum tentu
berlawanan) dengan hukum dalam arti abstrak (law in abstracto) yang
ditetapkan pembentuk undang-undang atau pembuat peraturan perundang-
undangan. Telah dikemukakan, hukum yang dibentuk hakim bersifat
individual, tidak berlaku umum. Hukum dalam arti konkrit yang bersifat
individual adalah hukum bagi pihak-pihak yang berperkara atau terkait
dengan perkara dan pihak-pihak lain yang harus patuh (taat) dan wajib
melaksanakan putusan tersebut”.335

Hal ini senada dengan apa yang diutarakan Setiawan, yang


menyatakan bahwa “Putusan hakim (yurisprudensi) tidak hanya berperan
dalam memberikan penafsiran terhadap ketentuan perundang-undangan. Ia
bahkan dapat mengisi kekosongan hukum. Dalam hal ketentuan perundang-
undangan tidak memberikan pengaturannya, yurisprudensi dapat berfungsi

334
Bagir Manan, Hakim Sebagai Pembaharu Hukum, op. cit., hal. 6.
335
Ibid., hal. 14.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


142

sebagai penggantinya. Ia lalu berkedudukan sebagai sumber hukum di luar


peraturan perundang-undangan”.336

Kemudian dalam menanggapi bahwa putusan pengadilan bisa


diadopsi dalam perundang-undangan, Bagir Manan berpendapat : “Paling
tidak, ada dua kemungkinan putusan hakim sebagai hukum in concreto
menjadi hukum in abstracto :
1. Diambil alih pembentuk undang-undang. Hukum-hukum yang lahir dari
putusan hakim menjadi materi muatan undang-undang. Apakah dengan
demikian sifat hukum dari putusan hakim akan hilang?. Sama sekali
tidak. Namun di sini akan berlaku prinsip preferensi yang wajib dipatuhi
hakim, yaitu ketentuan bahwa undang-undang "prevail" terhadap hukum
tidak tertulis, termasuk putusan hakim yang telah diatur dalam undang-
undang. Prinsip preferensi ini juga berlaku apabila ternyata undang-
undang baru bertentangan atau mengatur secara berbeda dengan putusan
hakim. Terhadap hal yang disebut terakhir, hakim dapat menyimpang
apabila undang-undang tersebut mengandung hal-hal yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip yang diterima secara umum dalam masyarakat;
bertentangan dengan ketertiban umum atau berisi alasan atau
pertimbangan yang tidak atau kurang masuk akal atau kurang layak
(reasonable doubt).
2. Putusan hakim diikuti dalam praktik hukum. Hal ini sangat dipengaruhi
oleh tradisi hukum yang berlaku.
a. Tradisi hukum Anglo Saksis yang diikuti sistem "precedent".
Putusan hakim adalah "binding law", untuk kasus-kasus serupa di
kemudian hari. Dengan demikian. putusan tersebut akan berlaku
umum terhadap setiap orang yang mcnghadapi persoalan hukum
yang serupa dengan putusan hakim yang bersangkutan. Kalau sudah
berlaku pada setiap orang, berarti putusan itu telah berubah atau
diterima sebagai kaidah umum, yang menjadi salah satu ciri hukum
dalam arti abstrak. Lebih jauh, seperti di Inggris, putusan-putusan

336
Setiawan, Pengaruh Yurisprudensi Terhadap Peraturan Perundang-Undangan suatu tinjauan
sekilas, dalam Varia Peradilan Tahun VI No. 65 Februari 1991, (Jakarta : IKAHI, 1991), hal. 134.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


143

tersebut berkembang menjadi "Common Law", semacam Hukum


Adat di Indonesia. Di Indonesia, meskipun ada teori keputusan
(beslissingenleer) Ter Haar, tidak pernah ada kepastian, benarkah
Hukum Adat berasal dari putusan fungsionaris adat (hakim adat),
atau hukum yang semata-mata tumbuh dari pergaulan masyarakat
yang kemudian diterima sebagai. hukum, seperti hukum kebiasaan
pada tradisi kontinental.
b. Tradisi Kontinental. Pada asasnya, sistem Kontinental tidak
menjalankan sistem precedent. Saat ini sistem precedent hanya
berlaku untuk putusan Mahkamah Uni Eropa. Pengadilan anggota
Uni Eropah wajib mengikuti putusan-putusan Mahkamah Uni Eropa.
Untuk hal-hal lain, kekuatan mengikat putusan hakim hanya
mengikat secara persuasif (non binding) terhadap kasus serupa yang
datang kemudian. Namun dalam praktek, telah menjadi kelaziman
bahwa hakim, terutama hakim tingkat lebih rendah, mengikuti
putusan terdahulu dari badan peradilan tingkat lebih tinggi, terutama
Mahkamah Agung.337
Selanjutnya Bagir Manan menyatakan bahwa “fungsi menemukan
dan menciptakan hukum yang relevan dengan fungsi pembaruan kaidah
hukum”.338 “Pembaruan kaidah hukum melalui penemuan hukum. Dalam
arti yang longgar, menemukan hukum mencakup pula "memasangkan"
kaidah hukum yang tepat atau dianggap tepat terhadap suatu peristiwa
hukum tertentu (rechttoepassing). … Sebagai pekerjaan jahit menjahit yaitu
melekatkan potongan yang satu dengan potongan lain sesuai pola yang
sudah ada. Saya masukkan hal tersebut sebagai suatu bentuk penemuan
hukum, karena bagaimanapun juga hukum yang tepat harus dicari dan
diketemukan untuk dipasangkan pada peristiwa hukum yang bersangkutan.
Dalam arti yang lebih rigid, menemukan hukum adalah upaya agar :
1. Suatu kaidah hukum mencakup peristiwa hukum yang tidak secara nyata
diatur dalam kaidah hukum tersebut; atau
2. Suatu kaidah hukum tidak mencakup suatu peristiwa hukum; atau
337
Bagir Manan, Hakim Sebagai Pembaharu Hukum, op. cit., hal. 14-15.
338
Ibid., hal. 15.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


144

3. Suatu kaidah hukum dikendorkan terhadap peristiwa hukum tertentu”.339

Perlu ditegaskan, penemuan hukum hanya bermaksud memberi


makna baru tanpa meniadakan eksistensi kaidah hukum itu sendiri. Namun
harus diakui dapat terjadi, akibat penemuan itu, suatu kaidah dalam
kenyataan (riil) menjadi sekedar huruf-huruf mati (the dead letters).
Menemukan makna baru yang mengubah isi atau maksud kaidah hukum
yang lama sekaligus berarti memperbarui dan membentuk hukum baru.
Disebut memperbarui karena makna kaidah hukum yang ada harus
disesuaikan dengan hasil penemuan hukum. Disebut membentuk, karena
hukum yang nyata tidak lain dari hukum hasil penemuan hukum yang
bersangkutan.340

Berkaitan dengan penemuan hukum dapat memperbarui dan


membentuk hukum baru hal ini juga diutarakan oleh Lintong O. Siahaan
sebagaimana dikutip oleh Ahmad Rifai yang menyatakan bahwa “Metode
penemuan hukum diarahkan pada suatu peristiwa yang bersifat khusus,
konkret, dan individual. Jadi, metode penemuan hukum bersifat praktikal,
karena lebih dipergunakan dalam praktik hukum. Hasil dari metode
penemuan hukum adalah terciptanya putusan pengadilan yang baik, yang
dapat dipergunakan sebagai sumber pembaruan hukum. Putusan hakim
berperan juga terhadap perkembangan hukum dan ilmu hukum, oleh karena
itu putusan hakim dapat juga dapat digunakan sebagai bahan kajian dalam
ilmu hukum”.341

Selanjutnya dalam hubungannya dengan pembaruan hukum ini,


Soetandyo Wignjosoebroto membedakan pembaruan hukum dalam arti legal
reform dengan pembaruan hukum dalam arti law reform.

339
Ibid., hal. 15-16.
340
Ibid., hal. 16.
341
Ahmad Rifai, op. cit., hal. 59.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


145

1. Pembaruan hukum dalam arti legal reform342


Hukum dapat difungsikan sebagai apa yang dalam kepustakaan teori
hukum disebut tool of social enginering entah yang diefektifkan lewat
proses-proses yudisial (seperti yang dimaksudkan Roscoe Pound) entah
pula yang diefektifkan via proses-proses legislatif (seperti yang
diintroduksikan oleh Mochtar Kusumaatmadja untuk praktik
pembangunan Indonesia). Hukum hanya menjadi bagian dari proses
politik yang mungkin juga progresif dan reformatif. Di negeri ini
pembaruan hukum acap kali masih saja diperbincangkan dalam
konsepnya yang agak terbatas sebagai legal reform. Apa yang disebut
sebagai legal reform ini secara harfiah harus diartikan sebagai
pembaruan dalam sistem perundang-undangan belaka.
Dalam konsepnya seperti ini, pembaruan hukum akan berlangsung
sebagai aktifitas legislatif yang umumnya hanya sempat melibatkan
pemikiran-pemukiran kaum politisi dan/atau sejauh-jauhnya juga
pemikiran para elite profesional yang memiliki akses lobi. Kalaupun
berkehendak untuk memperlebar persoalan dalam perbincangan, wacana
pembaruan hukum dalam alur strategisnva-sebagai legal reform ini
umumnya tidak hendak membatasi perbincangan pada pembaruan
norma-norma positif perundang-undangannya saja. Berwacana lebih
lanjut, logisnya perbincangan ini akan menukik ke permasalahan
doktrin-doktrin dan paradigma yang menjadi dasar pembenar (alias
norma-norma dasarnya yang filosofis) seluruh bangunan perundang-
undangan nasional, berikut (tentu saja) peninjauan ulang dan wacana
pembaruannya.

2. Pembaruan hukum dalam arti law reform343

342
Soetandyo Wignjosoebroto, op. cit., hal. 355-357.
343
Ibid., hal. 357-361, Barda Nawawi Arief sebagaimana dikutip oleh Hari Purwadi dalam
tulisannya Reformasi Hukum Nasional : Problem dan Prospeknya, menyatakan bahwa “Reformasi
hukum tidak hanya sebatas reformasi peraturan perundang-undangan, tetapi mencakup reformasi
sistem hukum secara keseluruhan, yaitu reformasi materi/substansi, struktur, dan budaya hukum”,
Satya Arinanto, Ninuk Triyanti, (Ed.), Memahami Hukum dari Konstruksi sampai Implementasi
(Jakarta : Rajawali Pers, Cetakan kedua, 2011), hal. 61

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


146

Konsep hukum dan maknanya yang luas sebagai law (untuk


menggantikan istilah latin ius) dan bukan diartikan sempit-sempit
sebagai undang-undang (alias ius constitutum, yaitu norma hukum yang
telah memperoleh bentuknya yang khusus dan dinyatakan secara positif
konfirmatif sebagai hukum dengan backups kekuatan yang formal) akan
memungkinkan proses desakralisasi hukum. Hukum – sekalipun telah
dibentuk dalam wujudnya yang formal sebagai produk kebijakan suatu
badan pemerintahan negara yang terbilang tinggi – bukanlah suatu yang
sakral dan berstatus di atas segala-galanya (the supreme law-state). Alih-
alih, menurut konsepnya yang mutakhir ini, hukum pada hakikatnya
adalah produk aktivitas politik rakyat yang berdaulat, yang digerakkan
oleh kepentingan-kepentingan ekonomi mereka yang lugas entah pula
yang ikut diilhami oleh dan/atau dirujukkan ke norma-norma sosial
dan/atau nilai-nilai ideal kultur mereka.

Dari uraian-uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa pembaruan


hukum di Indonesia yang menganut civil law system adalah melalui
pembaruan undang-undang, di mana undang-undang adalah sumber hukum
yang terutama dalam pembaruan akan tetapi tetap tidak meninggalkan
putusan pengadilan sebagai sumber pembaruan hukum itu sendiri, hal ini
sebagaimana diutarakan oleh Bagir Manan yang menyatakan “Baik di
wacana akademik maupun kebijakan, kurang sekali perhatian terhadap
peranan hakim sebagai instrumen pembaharuan hukum-hukum dari masa
kolonial. Seperti disebutkan diatas, undang-undanglah yang dianggap
sebagai instrumen paling utama pembaharuan undang-undang masa
kolonial”.344

Senada dengan hal tersebut, Soetandyo Wignjosoebroto menyatakan


yaitu : “Dalam politik kenegaraan yang mengikuti tradisi Eropa Kontinental
(antara lain juga Indonesia yang mewarisi tradisi itu dari Belanda yang
pernah menjajahnya), positivisasi itu pada dasamya berlangsung melalui
proses-proses legislasi yang dituntun oleh ide-ide dan/atau kepentingan

344
Bagir Manan, Hakim Sebagai Pembaharu Hukum, op. cit., hal. 14

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


147

politik para politisi. Sementara itu, dalam praktik pemerintahan yang


mengikuti tradisi Eropa Anglo-Saxon, positivisasi itu lebih sering ber-
langsung melalui proses-proses ajudikasi yang berlangsung di bawah arahan
hakim-hakim profesional di sidang-sidang pengadilan”.345

345
Soetandyo Wignjosoebroto, op. cit., hal. 350.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


BAB IV
PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN TENTANG
GUGATAN WARGA NEGARA (CITIZEN LAWSUIT) TERHADAP
PEMBARUAN UNDANG-UNDANG
HUKUM ACARA PERDATA

4.1 Putusan Pengadilan Yang Mengabulkan Gugatan Warga Negara


(Citizen Lawsuit) Sampai Dengan Putusan Akhir

Berdasarkan praktik peradilan sebagaimana yang tersebut di atas,


maka di Indonesia, peneliti menemukan ada 3 (tiga) putusan Pengadilan
Negeri yang mengabulkan gugatan warga negara (citizen lawsuit) sampai
dengan Putusan Akhir, walaupun satu Putusan Pengadilan Negeri (Putusan
Nomor 28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst, tanggal 8 Desember 2003), dibatalkan
oleh Pengadilan Tinggi Jakarta, ketiga Putusan tersebut adalah :

1. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat antara Munir dkk melawan


NEGARA REPUBLIK INDONESIA cq. PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA, dkk, Putusan Jakarta Pusat Nomor : 28/PDT.G/2003/PN.
Jkt.Pst.
2. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat antara KRISTIONO dkk
melawan NEGARA REPUBLIK INDONESIA cq. PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA, dkk, Putusan Jakarta Pusat Nomor :
228/PDT.G/2006/PN.Jkt.Pst.
3. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat antara Ir. H. SAID IQBAL,
M.E. dkk melawan NEGARA REPUBLIK INDONESIA cq. PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA, dkk , Putusan Jakarta Pusat Nomor :
278/PDT.G/2010/PN.Jkt.Pst.

4.1.1 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat antara Munir dkk


melawan NEGARA REPUBLIK INDONESIA cq. PRESIDEN

148
Universitas Indonesia
Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.
149

REPUBLIK INDONESIA, dkk, Putusan Jakarta Pusat Nomor :


28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst. 346

4.1.1.1 Kasus Posisi

Para penggugat adalah warga negara Republik Indonesia seperti


halnya dengan kurang lebih 480.000 orang warga negara Republik
Indonesia yang menjadi buruh migran Indonesia di Malaysia dan
dideportasi melalui Nunukan, berhak atas pemenuhan Hak Asasi
Manusia yang dijamin dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia
tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun.

Sedangkan para tergugat sebagai penyelenggara Negara Republik


Indonesia, adalah pengemban amanat Pembukaan UUD 1945 tersebut di
atas untuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan menjamin
pemenuhan hak asasi setiap warga negara Republik Indonesia, termasuk
para penggugat dan buruh migran Indonesia yang dideportasi paksa dari
Malaysia.

Sebagai warga negara Indonesia, para penggugat berhak untuk


melakukan upaya-upaya hukum mengenai jaminan pemenuhan hak asasi
manusia setiap warga negara Indonesia, termasuk buruh migran
Indonesia yang dideportasi dari Malaysia ke Nunukan.

Dengan berdasarkan hal-hal tersebut, Para Penggugat


berpendapat sudah sepatutnya gugatan ini dapat diterima untuk
seluruhnya dan mengajukan tuntutan, yaitu :

Dalam pokok Perkara :


Primair
1. Menerima gugatan ini untuk seluruhnya;

346
Untuk lebih jelasnya lihat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Sela Nomor :
28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst, tanggal 10 Juni 2003, hal. 6-32, lihat juga Putusan Akhir Nomor :
28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst, tanggal 8 Desember 2003, hal. 8-63.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


150

2. Menyatakan Para Tergugat bersalah telah lalai dalam memberikan


perlindungan terhadap warga negaranya yang menjadi buruh migran
di luar negeri.
3. Menyatakan Para Tergugat bersalah telah mengakibatkan kerugian
materiil dan immateriil warga negara yang bekerja sebagai buruh
migran di Malaysia dan dipulangkan dari Malaysia. …. dst
Subsidair Apabila Majelis Hakim berpendapat lain mohon putusan yang
seadil-adilnya (ex aequo et bono)

Atas dalil gugatan Para Penggugat tersebut Tergugat I sampai


dengan Tergugat IV mengajukan keberatan (eksepsi) yaitu sebagai
berikut :

1. Bahwa surat kuasa Para Penggugat tidak sah, karena dalam


persidangan terungkap bahwa Penggugat yang sah memberikan
kuasa kepada kuasa hukumnya hanyalah Penggugat I, Penggugat II
dan Penggugat IV, sedangkan ke-50 Penggugat lainnya tidak
memberikan kuasa kepada Kuasa Hukumnya dan tidak juga hadir di
persidangan ;

2. Bahwa Para Penggugat tidak berkapasitas sebagai Penggugat, karena :

2.1. Para Penggugat tidak menyatakan bahwa Para Penggugat


bertindak untuk mewakili kepentingan umum (Actio
Popularis), melainkan diajukan secara citizen Law Suit ;
2.2. Tidak ada undang-undang yang memberi hak kepada Para
Penggugat untuk menggugat ;
2.3. Para Penggugat bukan pihak yang secara nyata menderita
kerugian ;
2.4. Para Penggugat tidak mempunyai kepentingan hukum yang
cukup untuk melakukan gugatan ;
3. Bahwa gugatan Para Penggugat kurang pihak, karena :
3.1. Scsuai dengan isi petitum gugatan yang intinya meminta
kompensasi kepada Pemerintab Malaysia atas kerugian yang

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


151

dialami oleh buruh migran Indonesia, maka seharusnya


Pemerintah Malaysia juga diikut sertakan sebagai pihak
Tergugat dalam perkara ini ;
3.2. Selain itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) serta Menteri
Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Menkim Praswil),
seharusnya digugat pula, sebab pelayanan dan akomodasi para
deportan berhubungan dengan tugas dan fungsi kedua
Departemen tersebut ;

4. Bahwa gugatan Para Penggugat kabur (Obscuur Libel), karena antara


petitum dan posita gugatan tidak konsisten atau dengan kata lain
petitum tidak didukung dengan posita yang ada.

Selain keberatan (eksepsi), Para Tergugat (Tergugat I sampai


dengan IX) dalam Pokok Perkara menyangkal semua dalil gugatan Para
Penggugat dan berpendapat bahwa perbuatan Para Tergugat bukan
merupakan Perbuatan Melawan Hukum.

Para Tergugat juga berpendapat bahwa Para Tergugat telah


melakukan tindakan kepentingan mereka yang “diwakili” oleh para
Penggugat dalam perkara ini. Para Tergugat juga tidak lalai dalam
menyediakan perlindungan untuk buruh migran Indonesia tidak
berdokumen dan keluarganya yang terancam deportasi dari Malaysia.

Para Tergugat membantah gugatan Para Penggugat dan


menyatakan tidak lamban dalam merespon situasi darurat kemanusiaan
dalam peristiwa deportasi buruh migran Indonesia dan keluarganya dari
Malaysia.

Dalam Jawabannya juga, Para Tergugat membantah Gugatan


Para Penggugat yang menyatakan bahwa Para tergugat telah melakukan
Perbuatan melawan hukum yaitu melawan Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik (AAUPB), Para Tergugat telah melakukan

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


152

kewajibannya menangani Buruh Migran Indonesia yang dideportasi dari


Malaysia ke Nunukan.

Dalil melawan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik


(AAUPB) merupakan dalil untuk perkara Tata Usaha Negara, bukan
dalil untuk perkara perdata, sehingga yang berwenang mengadili perkara
a quo adalah Pengadilan Tata Usaha Negara bukan kewenangan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Dengan berdasarkan hal-hal tersebut, Para Tergugat mohon


kepada Majelis Hakim untuk memutuskan :
Primair
Dalam Eksepsi
1. Menerima Eksepsi Para Tergugat untuk seluruhnya ;
2. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima ;
Dalam Pokok Perkara :
Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya ;
Menghukum Penggugat untuk membayar ongkos perkara ;
Subsidair
Apabila Pengadilan berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-
adilnya (ex aequo et bono) ,

4.1.1.2 Pertimbangan hukum Putusan Sela

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Putusan Sela Nomor :


28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst pada tanggal 10 Juni 2003 memutus
“Menolak Eksepsi Para Tergugat tersebut, menyatakan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat berwenang memeriksa dan mengadili perkara
gugatan ini, memerintahkan kepada Para Penggugat dan Para Tergugat
untuk melanjutkan pemeriksaan perkara pokok perkara dan
menangguhkan biaya perkara sampai pada putusan akhir”.347

347
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Sela Nomor : 28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst, tanggal 10
Juni 2003, hal. 32.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


153

Dalam Putusan Sela tersebut, Majelis Hakim menguraikan


pertimbangan hukum yang pada pokoknya menyatakan bahwa eksepsi
Para Tergugat telah memasuki pokok perkara karena untuk menilai
apakah tuntutan Perbuatan Melawan Hukum dan tuntutan lainnya itu
beralasan hukum atau tidak, karena ini sudah menyangkut materi dan
pembuktian perkara, maka lebih tepat apabila tuntutan-tuntutan itu
dipertimbangkan dalam pokok perkara. 348

4.1.1.3 Pertimbangan Hukum Putusan Akhir

Selanjutnya dalam Putusan Akhir yang diucapkan pada tanggal 8


Desember 2003, Majelis Hakim menguraikan pertimbangan hukum yang
pada pokoknya yaitu sebagai berikut : 349

Dalam Eksepsi :

- Bahwa eksepsi tentang surat Kuasa Para Penggugat tidak sah,


Majelis berpendapat bahwa eksepsi ini tidak tepat dan tidak
beralasan menurut hukum, karena surat kuasa atas nama J.
Sandyawan Sumardi mencakup 50 orang Penggugat yang namanya
terlampir dari surat kuasa tersebut ;
- Bahwa eksepsi yang menyatakan Para Penggugat tidak mempunyai
kapasitas hukum menggugat, Majelis berpendapat bahwa eksepsi ini
pun tidak tepat dan tidak beralasan menurut hukum, karena gugatan
Para Penggugat melalui instrumen Citizen Lawsuit layak diterima
dengan memberi kapasitas “standing” kepada Para Penggugat atas
nama kepentingan warga negara untuk bertindak sebagai Penggugat
atas nama kepentingan warga negara RI yang menjadi buruh migran
di Malaysia dan dideportasi melalui Nunukan ;

Dalam Pokok Perkara :

348
Ibid., hal. 31.
349
Untuk lebih jelasnya lihat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan Akhir Nomor ::
28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst, tanggal 8 Desember 2003, hal. 55-62.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


154

- Bahwa setelah memperhatikan hal-hal yang diakui dan yang


disangkal Para Pihak, maka sekarang yang rnenjadi persoalan hukum
untuk dijawab adalah :
1. Apakah benar Para Tergugat telah lalai menyediakan
perlindungan kepada buruh Migran Indonesia tidak berdokumen
don keluarganya di luar negeri, padahal merupakan kewajiban
Para Tergugat untuk perlindungan warganya ?
2. Apakah benar Para Tergugat lambat merespon situasi darurat
kemanusiaan dalam peristiwa deportasi buruh Migran Indonesia
dan keluarganya dari Malaysia ?
3. Apakah benar sikap/perbuatan Para Tergugat tersebut dapat
dikualifikasikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) ?
- Bahwa kalau dikatakan kondisi buruh Migran Indonesia dan
keluarganya yang dideportasi ke Nunukan sangat menyedihkan,
Majelis tidak menutup mata mengenai kondisi itu, akan tetapi
kondisi buruk itu tidak sepenuhnya disebabkan oleh faktor kesalahan
Pemerintah, melainkan masalahnya sangat kompleks seperti kondisi
geografis Kota Nunukan yang dapat dikatakan "kurang siap"
menerima gelombang arus deportasi buruh Migran Indonesia secara
besar-besaran, dan sebagainya ;
- Bahwa terlepas dari apakah buruh Migran Indonesia berdokumen
atau tidak namun yang pasti bahwa mereka adalah warga negara
Indonesia yang berhak memperoleh perlindungan dari Para Tergugat
dan Para Tergugat juga berkewajiban untuk melindungi mereka ;
- Bahwa kendatipun di persidangan terbukti kalau Para Tergugat telah
melakukan antisipasi dan perlindungan kepada warga negara yang
menjadi buruh migran di Malaysia, akan tetapi berdasarkan fakta
yang tertangkap di persidangan ternyata antisipasi dan perlindungan
tersebut dapat dikatakan belum maksimal, karena sebagaimana
dinyatakan oleh Para Penggugat, bahwa sebenarnya berbagai
peristiwa pelanggaran HAM bagi buruh Migran Indonesia tidak
berdokumen yang bekerja di Malaysia bukanlah baru sekali ini

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


155

terjadi. Sudah seringkali terjadi berbagai kasus buruh Migran


Indonesia ditangkap, ditahan, dihukum dan dideportasi dengan
alasan tidak memiliki dokumen kerja yang lengkap, namun
periwtiwa seperti ini terus menerus terjadi tanpa pernah mendapatkan
perhatian serius tentang cara penanggulangannya ;
- Bahwa berdasarkan alasan-alasan yang dipertimbangkan di atas,
Majelis berpendapat bahwa meskipun Para tergugat tidak
terbukti melakukan perbuatan melawan hukum, akan tetapi
berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan ternyata bahwa
penanggulangannya dan perlindungan Para Tergugat terhadap warga
negara yang menjadi buruh Migran Indonesia belum maksimal,
artinya masih banyak faktor yang harus dibenahi oleh Para Tergugat
seperti melakukan pananggulangan yang bersumber dari akar
permasalahan buruh Migran yang tidak berdokumen di Malaysia,
menandakan pendataan dan bantuan hukum kepada mereka, mencari
solusi penanggulangannya dengan melakukan lobi-lobi antara
Tergugat dengan Pemerintah Malaysia, dan sebagainya ;
- Bahwa oleh karena itu Majelis dapat menerima alasan Para
Penggugat yang meminta kepada Para Tergugat agar segera
melakukan langkah-langkah konkret pembenahan dan pengawasan
mekanisme kerja dan koordinasi antara Para Tergugat mengenai
pengaturan dan pengurusan buruh Migran Indonesia dan anggota
keluarganya ;
- Bahwa terhadap petitum No.2 yang menuntut agar Para Tergugat
dinyatakan bersalah telah lalai dalam memberikan perlindungan
terhadap warga negaranya yang menjadi buruh Migran di luar negeri,
Majelis berpendapat, meskipun tuntutan ini tidak dapat
dikabulkan karena tidak terbukti menurut hukum, akan tetapi
berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan maka yang
dapat dikabulkan hanya "Menyatakan bahwa Para Tergugat
belum maksimal dalam memberikan perlindungan dan
seterusnya" ;

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


156

- Bahwa terhadap petitum No.3 yang menuntut agar Para Tergugat


dinyatakan bersalah tidak mengakibatkan kerugian materiil dan
immateriil bagi warga negara buruh Migran Indonesia, Majelis
berpendapat, tuntutan ini tidak dapat dikabulkan karena kesalahan itu
tidak sepenuhnya dilakukan oleh Para Tergugat ;
- Bahwa terhadap petitum No.4 Majelis berpendapat tuntutan-tuntutan
No.4 a, b, c, d, e dan g tidak berwenang menghukum Para Tergugat
untuk segera membentuk Undang-Undang, meratifikasi konvensi
Internasional PBB Th. 1990, membuat Perjanjian bilateral,
melakukan investigasi dan mengajukan tuntutan konvensi kepada
Pemerintah Malaysia kecuali yang dapat dikabulkan adalah No.4 f :
"Menghukum Para Tergugat untuk segera melakukan langkah-
langkah konkret pembenahan dan pengawasan mekanisme kerja dan
koordinasi antara Para tergugat mengenai pengaturan dan
pengurusan buruh Migran Indonesia dan anggota keluarganya" ;

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum tersebut,


Majelis Hakim dalam Putusan Akhir memutuskan : “Menolak eksepsi
Para Penggugat tersebut dan mengabulkan gugatan Para Penggugat
sebagian; Menyatakan bahwa Para Tergugat belum maksimal dalam
memberikan perlindungan terhadap warga negaranya yang menjadi
buruh Migran di luar negeri; Menghukum Para Tergugat untuk segera
melakukan langkah-langkah konkret pembenahan dan pengawasan
mekanisme kerja dan koordinasi antara Para Tergugat mengenai
pengaturan dan pengurusan buruh Migran Indonesia dan anggota
keluarganya.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut selanjutnya


dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan Putusan Nomor:
480/PDT/2005/PT.DKI, Jakarta, 4 April 2006, dengan pertimbangan

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


157

bahwa Para tergugat tidak terbukti telah melakukan perbuatan melawan


hukum, maka gugatan para Penggugat harus ditolak seluruhnya.350

4.1.1.4 Analisis Putusan Sela dan Putusan Akhir

Berdasarkan Putusan Sela Nomor : 28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst,


dalam perkara gugatan warga Negara antara Munir dkk melawan Negara
Republik Indonesia cq. Presiden Republik Indonesia dkk, tanggal 10
Juni 2003, dan Putusan Akhir Nomor : 28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst,
tanggal 8 Desember 2003, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat menyatakan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat berwenang dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu
perkara perdata gugatan.

Berkaitan dengan kewenangan Pengadilan Negeri dalam


memeriksa dan mengadili suatu perkara, maka dasar hukumnya adalah
Pasal 2 (1) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan
“Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman tercantum dalam pasal 1
diserahkan kepada Badan-badan peradilan dan ditetapkan dengan
Undang-Undang, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan
mengadili serta memyelesaikan setiap perkara yang diajukan
kepadanya”. Undang-Undang 14 tahun 1970 tersebut selanjutnya dicabut
dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman dan terakhir dicabut dan diganti dengan Undang-
Undang Nomor 48 tahun 2009.351

350
Bambang H. Mulyono, loc. cit., lihat juga Isrok, Rizki Emil Birham, Citizen Lawsuit
“Penegakan Hukum Alternatif bagi Warga Negara”, (Malang : Universitas Brawijaya Press,
2010), hal. 24, lihat juga Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor: 480/PDT/2005/PT.DKI,
Jakarta, 4 April 2006, hal. 1-12.
351
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman, LN TAHUN 1970 NOMOR 74, TLN NOMOR 2951, Republik
Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, LN TAHUN
2004 NOMOR 8, TLN NOMOR 4358,

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


158

Kemudian Dalam Pasal 25 (2) Undang-Undang Nomor 48 tahun


2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan bahwa “Peradilan
umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan”.352

Selanjutnya dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 tahun


1986 tentang Peradilan Umum Juncto Undang-Undang Nomor 8 tahun
2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 tahun 1986
tentang Peradilan Umum Juncto Undang-Undang Nomor 49 tahun 2009
tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 2 tahun 1986
tentang Peradilan Umum menyatakan “Pengadilan Negeri bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan
perkara perdata di tingkat pertama”.353

Dari beberapa ketentuan undang-undang tersebut di atas maka


kewenangan Pengadilan Negeri adalah memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara perdata di tingkat pertama, akan tetapi
selanjutnya undang-undang tidak memberikan penjelasan lebih lanjut
mengenai pengertian perkara.

Abdulkadir Muhammad menyatakan bahwa “Dalam pengertian


perkara tersimpul dua keadaan, yaitu ada perselisihan dan tidak ada
perselisihan. Ada Perselisihan artinya ada sesuatu yang menjadi pokok
perselisihan, ada yang dipertengkarkan, ada yang disengketakan.
Perselisihan atau persengketaan itu tidak dapat diselesaikan pihak-pihak
sendiri, melainkan memerlukan penyelesaian melalui pengadilan sebagai
instansi yang berwenang dan tidak memihak. Tugas hakim demikian ini
termasuk dalam jurisdictio contentiosa, artinya kewenangan mengadili

352
Republik Indonesia,UU Nomor 48 tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman, op. cit.
353
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum, LN
TAHUN 1986 NOMOR 20, TLN NOMOR 3327, Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8
tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan
Umum, LN TAHUN 2004 NOMOR 34, TLN NOMOR 4379, Republik Indonesia, Undang-
Undang Nomor 49 tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun
1986 tentang Peradilan Umum, LN TAHUN 2009 NOMOR 158, TLN NOMOR 5077.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


159

dalam arti yang sebenarnya untuk memberikan suatu putusan keadilan


dalam suatu sengketa.354

Tidak ada perselisihan artinya tidak ada yang diselisihkan, tidak


yang disengketakan. Pihak yang bersangkutan tidak minta peradilan atau
putusan dari hakim, melainkan minta ketetapan dari hakim tentang status
sesuatu hal, sehingga mendapat kepastian hukum yang wajib dihormati
dan diakui oleh semua orang. Tugas hakim yang demikian ini termasuk
dalam jurisdictio voluntaria, artinya kewenangan memeriksa perkara
yang tidak bersifat mengadili melainkan bersifat administratif saja.
Dalam hal ini, hakim bertugas sebagai pejabat administrasi negara untuk
mengatur suatu hal.355

Gugatan contentiosa inilah yang dimaksud dengan gugatan


perdata dalam praktik. Dalam perundang-undangan, istilah yang
dipergunakan adalah gugatan perdata atau gugatan saja.356

Tuntutan hak yang di dalam pasal 118 ayat 1 HIR (pasal 142 ayat
1 Rbg) disebut sebagai tuntutan perdata (burgerlijke vordering) tidak
lain adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dan lazimnya
disebut gugatan.357

Sedangkan dalam Pasal 1 angka 2 Rancangan Undang-Undang


Tentang Hukum Acara Perdata menyatakan bahwa “Gugatan adalah
tuntutan hak yang mengandung sengketa dan diajukan ke pengadilan
untuk mendapat putusan pengadilan”.358

Selanjutnya pengertian tuntutan hak adalah tindakan yang


bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan

354
Abdulkadir Muhammad, op. cit., hal. 17.
355
Ibid.
356
M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 47.
357
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, op. cit., hal. 49.
358
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia, Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor … Tahun … Tentang
Hukum Acara Perdata (Draft Maret 2008), loc. cit.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


160

untuk mencegah "eigenrichting". Orang yang mengajukan tuntutan hak


memerlukan atau berkepentingan akan perlindungan hukum. Ia
mempunyai kepentingan untuk memperoleh perlindungan hukum, maka
oleh karena itu ia mengajukan tuntutan hak ke pengadilan. Kiranya
sudah selayaknya apabila disyaratkan adanya kepentingan untuk
mengajukan tuntutan hak. Seseorang yang tidak menderita kerugian
mengajukan tuntutan hak, tidak mempunyai kepentingan. Sudah wajar
kalau tuntutannya itu tidak diterima oleh pengadilan. Akan tetapi tidak
setiap kepentingan dapat diterima sebagai dasar pengajuan tuntutan
hak.359

Jadi tidak setiap orang yang mempunyai kepentingan dapat


mengajukan tuntutan hak semaunya ke pengadilan. Kalau dibiarkan
setiap orang mengajukan tuntutan hak, dapat dibayangkan bahwa
pengadilan akan kebanjiran tuntutan hak. Untuk mencegah agar setiap
orang tidak asal saja mengajukan tuntutan hak ke pengadilan yang akan
menyulitkan pengadilan, maka hanya kepentingan yang cukup dan layak
serta mempunyai dasar hukum sajalah yang dapat diterima sebagai dasar
tuntutan hak.360

Bahwa suatu tuntutan hak harus mempunyai kepentingan hukum


yang cukup, merupakan syarat utama untuk dapat diterimanya tuntutan
hak itu oleh pengadilan guna diperiksa: point d'interet, point d'action.361
Ini tidak berarti bahwa tuntutan hak yang ada kepentingan hukumnya
pasti dikabulkan oleh pengadilan. Hal itu masih tergantung pada
pembuktian. Baru kalau tuntutan hak itu terbukti didasarkan atas suatu
hak, pasti akan dikabulkan. Mahkamah Agung dalam putusannya

359
Ibid., hal. 48.
360
Ibid., hal. 49.
361
Paulus Effendi Lotulung menyatakan bahwa “Apabila seseorang tidak mempunyai kepentingan,
maka ia tidak dapat mengajukan gugatan, seperti yang dikatakan adagium point d’interet point
d’action atau tidak ada kepentingan maka tidak ada aksi, lihat Paulus Effendi Lotulung, op. cit.,
hal. 51.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


161

tanggal 7 Juli 1971 no. 294 K/Sip/1971 menyaratkan bahwa gugatan


harus diajukan oleh orang yang mempunyai hubungan hukum.362

Berdasarkan uraian tersebut maka pada dasarnya, yang


mempunyai hak untuk mengajukan gugatan di depan pengadilan adalah
perorangan atau badan hukum (melalui wakilnya) yang mempunyai
kepentingan baik sebagai penggugat maupun tergugat (asas point
d’interet point d’action serta asas legitima persona standi in judicio).

Selanjutnya konsep hak gugat konvensional (asas point d’interet


point d’action serta asas legitima persona standi in judicio) berkembang
secara pesat seiring pula dengan perkembangan hukum yang
menyangkut hajad hidup orang banyak (public interest law) di mana
seorang atau sekelompok orang atau organisasi dapat bertindak sebagai
penggugat walaupun tidak memiliki kepentingan hukum secara
langsung, tetapi dengan didasari oleh suatu kebutuhan untuk
memperjuangkan kepentingan, masyarakat luas atas pelanggaran hak-
hak publik seperti lingkungan hidup, perlindungan konsumen, hak-hak
Civil dan Politik. 363

Pendapat di atas sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh


Paulus Effendi Lotulung, yang menyatakan dalam bidang lingkungan
hidup dapat terjadi suatu keadaan dimana suatu organisasi atau
kelompok orang mengajukan gugatan dengan mendasarkan kepada
kepentingan yang tidak bersifat diri pribadi mereka atau kelompok
mereka, tetapi mengatasnamakan kepentingan umum atau kepentingan
orang banyak (masyarakat) atau yang disebut sebagai “algemeen
belang”.364

Perkembangan konsep gugatan yang mengatasnamakan


kepentingan orang banyak atau kepentingan umum ini beragam dan

362
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, loc. cit.
363
Lebih jelasnya lihat Erna Herlinda, loc. cit.
364
Paulus Effendi Lotulung, op. cit., hal. 51-52.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


162

dikenal dengan sebutan gugatan-gugatan class action, actio popularis,


citizen lawsuit. dan NGO's standing.

Sebagai suatu hak gugat warga negara, citizen lawsuit banyak


dikenal dalam sistem hukum common law seperti misalnya di
Amerika Serikat, India dan Australia, khususnya dalam hukum
lingkungan.365

Citizen lawsuit dimaksudkan untuk melindungi warga negara


dari kemungkinan terjadinya kerugian sebagai akibat dari tindakan atau
pembiaran (omisi) dari negara atau otoritas negara.366

David Mossop menyatakan bahwa “Today, the only citizen suit


provisions of any worth in practice are those in New South Wales. The
first, the best known and most used provision allowing citizen suits is s.
123 of the Environmental Planning and Assesment Act 1979. This allows
any person to bring proceedings to remedy or restrain a breach of the
act whether or not any (private) right of that person has been
infringed. As a result it allows both the civil enforcement type action
and the judicial review type action”.367

Selanjutnya John C. Dernbach menyebutkan bahwa “Citizen suits


help foster sustainable development because they permit public access to
the court system to challenge government and private decisions that fail
to protect the environment or social well-being”.368

Citizen lawsuit pada intinya adalah mekanisme bagi warga negara


untuk menggugat tanggung jawab penyelenggara negara atas kelalaian
dalam memenuhi hak-hak warga negara. Kelalaian tersebut didalilkan
sebagai perbuatan melawan hukum, sehingga citizen lawsuit diajukan

365
Indro Sugianto, op. cit., hal. 34.
366
Ibid.
367
David Mossop, op. cit., hal. 5.
368
John C. Dernbach, Citizen Suits and Sustainability, Widener Law Review, Vol. 10:503, 2004,
hal. 505.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


163

pada lingkup peradilan umum dalam hal ini perkara perdata. Oleh
karena itu, atas dasar kelalaiannya, maka dalam petitum gugatan,
negara dihukum untuk mengeluarkan suatu kebijakan yang bersifat
mengatur (regeling) agar kelalaian tersebut tidak terjadi lagi di
kemudian hari.369

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, jika dihubungkan


dengan Putusan Sela Nomor : 28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst, dalam
perkara gugatan warga negara antara Munir dkk melawan Negara
Republik Indonesia cq. Presiden Republik Indonesia dkk, tanggal 10
Juni 2003, dan Putusan Akhir Nomor : 28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst,
tanggal 8 Desember 2003, maka dapat disimpulkan bahwa Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memperluas asas point
d’interet point d’action atau “tidak ada kepentingan maka tidak ada aksi”
(seseorang yang tidak menderita kerugian mengajukan tuntutan hak,
tidak mempunyai kepentingan).

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah melakukan


interpretasi ekstensif di mana para penggugat atas nama kepentingan
warga negara dapat bertindak sebagai Penggugat atas nama kepentingan
warga negara RI, tanpa perlu menjelaskan apakah Para Penggugat
mempunyai kepentingan atau tidak dalam mengajukan suatu tuntutan
hak.

Selanjutnya dalam Putusan Akhir yang menyangkut pokok


perkara, Majelis Hakim memberikan pertimbangan yaitu :

“Bahwa berdasarkan alasan-alasan yang dipertimbangkan di atas,


Majelis berpendapat bahwa meskipun para tergugat tidak
terbukti melakukan perbuatan melawan hukum, akan tetapi
berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan ternyata bahwa
penanggulangannya dan perlindungan Para Tergugat terhadap

369
Susanti Adi Nugroho, op. cit, hal. 384.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


164

warga negara yang menjadi buruh Migran Indonesia belum


maksimal, artinya masih banyak faktor yang harus dibenahi oleh
Para Tergugat seperti melakukan pananggulangan yang
bersumber dari akar permasalahan buruh Migran yang tidak
berdokumen di Malaysia, menandakan pendataan dan bantuan
hukum kepada mereka, mencari solusi penanggulangannya
dengan melakukan lobi-lobi antara Tergugat dengan Pemerintah
Malaysia, dan sebagainya”.370

“Bahwa terhadap petitum No.2 yang menuntut agar Para Tergu-


gat dinyatakan bersalah telah lalai dalam memberikan
perlindungan terhadap warga negaranya yang menjadi buruh
Migran di luar negeri, Majelis berpendapat, meskipun tuntutan
ini tidak dapat dikabulkan karena tidak terbukti menurut
hukum, akan tetapi berdasarkan fakta yang terungkap di
persidangan maka yang dapat dikabulkan hanya "Menyatakan
bahwa Para Tergugat belum maksimal dalam memberikan
perlindungan dan seterusnya".371

Berdasarkan pertimbangan hukum Majelis jika dihubungkan


dengan konsep gugatan warga negara (citizen lawsuit) sebagaimana
diuraikan sebelumnya, maka gugatan warga negara (citizen lawsuit)
tidak bisa dilepaskan dari pengertian perbuatan melawan hukum.

Perbuatan melawan hukum dalam hal ini baik berbuat maupun


tidak berbuat, sebagai salah satu ciri dari citizen lawsuit diatur dalam
Pasal 1365 KUH Perdata maupun 1366 KUH Perdata. Kedua Pasal
tersebut tidak perlu dipersoalkan, karena tidak akan ada yang

370
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan Akhir Nomor : 228/PDT.G/2006/PN. Jkt.Pst, op. cit.,
hal. 61.
371
Ibid., hal. 62.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


165

menyangkal bahwa baik berbuat maupun tidak berbuat dapat merupakan


perbuatan melawan hukum.372

Berdasarkan uraian Pasal 1365 KUH Perdata sebagaimana


diuraikan sebelumnya, maka unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh pasal
tersebut adalah :
5. Perbuatan Melawan Hukum ;
6. Kesalahan ;
7. Kerugian ;
8. Hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugian.373

Berdasarkan uraian pasal tersebut yang pertama-tama harus


dibuktikan adalah apakah para tergugat telah melakukan perbuatan
melawan hukum atau tidak.

Selanjutnya dalam membuktikan unsur perbuatan melawan


hukum ini, Peneliti berpendapat bahwa terdapat ketidakkonsistenan
dalam pertimbangan Majelis Hakim, yaitu di satu sisi menyatakan
“bahwa para tergugat belum maksimal dalam memberikan perlindungan
dan seterusnya”374 dan “menghukum para tergugat untuk segera
melakukan langkah-langkah konkret pembenahan dan pengawasan
mekanisme kerja dan koordinasi antara para tergugat mengenai
pengaturan dan pengurusan buruh migran Indonesia dan anggota
keluarganya”375 akan tetapi di sisi lain dalam pertimbangan hukum
Majelis Hakim menyatakan bahwa para tergugat tidak terbukti
melakukan perbuatan melawan hukum dan juga tidak terbukti telah
lalai376 dalam memberikan perlindungan terhadap warga negaranya yang
menjadi buruh Migran di luar negeri.

372
Mengenai Pasal 1365 KUH Perdata maupun 1366 KUH Perdata ini lihat Rachmat Setiawan, op.
cit., hal. 10, lihat juga M.A. Moegni Djojodirdjo, op. cit., hal. 57.
373
M.A. Moegni Djojodirdjo, op. cit., hal. 7-33.
374
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan Akhir Nomor : 228/PDT.G/2006/PN. Jkt.Pst, loc. cit.
375
Ibid.
376
Ibid., hal. 61-62.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


166

Jika Majelis Hakim menemukan fakta di persidangan yaitu para


tergugat belum maksimal dalam memberikan perlindungan dan
seterusnya, seharusnya Majelis Hakim menggali dan melakukan
penemuan hukum apakah perbuatan tersebut termasuk dalam perbuatan
melawan hukum (baik berbuat atau tidak berbuat) atau tidak.

Sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, bahwa sejak Putusan


Hoge Raad 31 Januari 1919, dalam perkara Lidenbaum-Cohen, konsep
perbuatan melawan hukum telah berkembang, di mana ada 4 (empat)
kriteria perbuatan melawan hukum, yaitu :377
5. Melanggar hak subyektif hak orang lain atau ;
6. Bertentangan dengan kewajiban hukumnya si pelaku atau ;
7. Melanggar kaidah tata susila atau ;
8. Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati
yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama
warga masyarakat atau terhadap harta orang lain.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka Peneliti berpendapat


Majelis Hakim kurang memberikan pertimbangan hukum yang cukup
(onvoldoende gemotiveerd) tentang alasan Majelis Hakim menyatakan
para tergugat tidak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dan
juga tidak terbukti telah lalai, sedangkan dalam fakta di persidangan
terbukti bahwa penanggulangan dan perlindungan Para Tergugat
terhadap warga negara yang menjadi buruh Migran Indonesia belum
maksimal.

Sudah seharusnyalah Majelis Hakim melakukan penemuan


hukum dalam hal menentukan apakah perbuatan para tergugat yang
belum maksimal dalam melindungi buruh migran tersebut termasuk
perbuatan melawan hukum atau tidak, sehingga para tergugat layak

377
Ibid., hal. 52-56, bandingkan dengan Rachmat Setiawan, op. cit., hal. 17-21, dan M.A. Moegni
Djojodirdjo, op. cit., hal. 35-46, berdasarkan Putusan Hoge Raad 31 Januari 1919 perbuatan
melawan hukum diartikan luas yaitu sebagaimana 4 (empat) kriteria, di mana kriteria ini bersifat
alternatif karena dalam uraian perbuatan melawan hukum oleh M.A. Moegni Djojodirdjo maupun
Rachmat Setiawan terdapat kata atau di akhir kalimat setiap kriteria-kriteria tersebut.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


167

dijatuhi hukuman untuk segera melakukan langkah-langkah konkret


pembenahan dan pengawasan mekanisme kerja dan koordinasi antara
Para tergugat mengenai pengaturan dan pengurusan buruh Migran
Indonesia dan anggota keluarganya.

Bahwa terlepas dari hal tersebut di atas, Peneliti berpendapat


Putusan tersebut – walaupun masih terdapat kekurangan – , namun hal
ini menjadi pemicu atau pendorong (impetus) bagi perkembangan
gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang mekanisme atau hukum
acaranya belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Majelis
Hakim telah membuka acces to justice atau acces to the court bagi setiap
warga negara dalam penegakan hukum terhadap tanggung jawab
penyelenggara negara atas kelalaian dalam memenuhi hak-hak warga
negara.

Dalam Putusan Akhir ini Majelis Hakim tidak menghukum para


tergugat untuk mengganti kerugian berupa uang kepada para penggugat,
akan tetapi “Menghukum para tergugat untuk segera melakukan
langkah-langkah konkret pembenahan dan pengawasan mekanisme kerja
dan koordinasi antara para tergugat mengenai pengaturan dan
pengurusan buruh Migran Indonesia dan anggota keluarganya”. Majelis
hakim memperluas arti ganti kerugian sebagaimana dalam pasal 1365
KUHPerdata dengan menafsirkannya sebagai menghukum negara
mengeluarkan suatu kebijakan agar perbuatan melawan hukum (baik
berbuat maupun tidak berbuat atau kelalaian) tersebut tidak terjadi lagi
di kemudian hari.

Sebagaimana yang diuraikan oleh Rosa Agustina, maka


gugatan pengganti kerugian karena perbuatan melawan hukum dapat
berupa :378

378
Rosa Agustina, op. cit., hal. 85, sedangkan Moegni Djojodirdjo menyatakan bahwa “Pasal 1365
KUH Perdata memberikan kemungkinan beberapa jenis penuntutan yakni antara lain : 1. ganti
kerugian atas kerugian dalam bentuk uang, 2. ganti kerugian atas kerugian dalam bentuk natura

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


168

1. Uang dan dapat dengan uang pemaksa.


2. Pemulihan pada keadaan semula (dapat dengan uang pemaksa).
3. Larangan untuk mengulangi perbuatan itu lagi (dengan uang
pemaksa).
4. Dapat minta Putusan Hakim bahwa perbuatannya adalah bersifat
melawan hukum.

Bahwa dalam putusan akhir tersebut jika dihubungkan dengan


uraian tuntutan (pengganti kerugian) karena perbuatan melawan hukum
di atas, maka sifat kondemnatoir dari suatu putusan tentang gugatan
warga negara (citizen lawsuit) adalah menghukum negara mengeluarkan
suatu kebijakan agar perbuatan melawan hukum (baik berbuat maupun
tidak berbuat atau kelalaian) tersebut tidak terjadi lagi di kemudian
hari.

Jadi dari uraian-uraian tersebut di atas, maka penemuan


hukum yang dilakukan oleh Majelis Hakim adalah kesatu berkaitan
dengan standing di mana, setiap warga negara atau setiap orang atas
nama kepentingan warga negara dapat bertindak sebagai penggugat atas
nama kepentingan warga negara RI, tanpa perlu menjelaskan apakah
penggugat mempunyai kepentingan atau tidak dalam mengajukan suatu
tuntutan hak, kedua berkaitan dengan hukuman kepada pihak yang
kalah, ganti kerugian sebagaimana diatur dalam 1365 KUHPerdata
ditafsirkan oleh hakim sebagai menghukum negara mengeluarkan suatu
kebijakan agar perbuatan melawan hukum (baik berbuat maupun tidak
berbuat atau kelalaian) tersebut tidak terjadi lagi di kemudian hari.

4.1.2 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat antara KRISTIONO dkk


melawan NEGARA REPUBLIK INDONESIA cq. PRESIDEN

atau pengembalian keadaan pada keadaan semula, 3. pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan
adalah bersifat melawan hukum, 4. larangan untuk melakukan suatu perbuatan, 5. meniadakan
sesuatu yang diadakan secara melawan hukum, 6. pengumuman daripada keputusan atau dari
sesuatu yang telah diperbaiki, lihat Moegni Djojodirdjo, op. cit., hal. 102.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


169

REPUBLIK INDONESIA, dkk, Putusan Jakarta Pusat Nomor :


228/PDT.G/2006/PN.Jkt.Pst.379

4.1.2.1 Kasus Posisi

Para Penggugat dalam hal ini Kristiono dan kawan-kawan adalah


warga negara Republik Indonesia yang berstatus sebagai pemerhati,
aktivis, pendidik dan orang tua murid dari korban Ujian Nasional (UN)
tahun 2006 yang berjumlah 58 orang, sama halnya dengan kurang lebih
398.049 warga negara Indonesia lainnya, yang terdiri atas 167.865 siswa
dari 1.958.746 siswa peserta UN SMA, MA, SMK, dan sederajat serta
230.148 siswa dari 2.0088.938 siswa peserta UN SMP, MTs, dan
sederajat di seluruh Indonesia menjadi korban UN.

Gugatan melalui mekanisme Citizen lawsuit telah diakui dalam


praktik hukum di Indonesia. Beberapa terobosan hukum mengenai model
gugatan Citizen lawsuit, Legal Standing dan class Action telah diadopsi
dalam dunia hukum Indonesia dewasa ini antara lain dengan adanya
Putusan gugatan Citizen Lawsuit di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
dengan perkara No.28/Pdt.G/2003 /PN.JKT.PST yang diputus tanggal
08 Desember 2003 oleh Andi Samsan Nganro.SH, selaku Ketua Majelis
Hakim, H.Iskandar Tjake,SH dan Ny. Andriani Nurdin,SH masing-masing
sebagai Hakim Anggota Majelis Hakim telah mengakui adanya Gugatan
Citizen lawsuit.

Menurut para penggugat bahwa para tergugat telah melakukan


perbuatan melawan hukum yaitu lalai terhadap tugasnya untuk
menyelenggarakan pendidikan yang baik bagi warga negaranya
sebagaimana diatur Undang-Undang Dasar 1945.

379
Untuk lebih jelasnya lihat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Sela Nomor :
228/PDT.G/2006/PN. Jkt.Pst, dalam perkara Gugatan Warga Negara antara Kristiono dkk
melawan Negara Republik Indonesia cq. Presiden Republik Indonesia dkk, Jakarta, tanggal 15
Nopember 2006, hal 4-26. lihat Putusan Akhir Nomor : 228/PDT.G/2006/PN. Jkt.Pst, tanggal 21
Mei 2007, hal. 5-136.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


170

Perbuatan para tergugat juga bertentangan dengan UU Nomor 23


tahun 2002 Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 49 tentang Perlindungan Anak dan
Para Tergugat juga telah melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh para tergugat


tersebut menyebabkan kerugian materiil maupun immateriil terhadap
warga negara yang mengikuti program belajar selama 3 (tiga) tahun.

Dengan berdasarkan hal-hal tersebut, para penggugat


berpendapat sudah sepatutnya gugatan ini dapat diterima untuk
seluruhnya.

Atas dalil gugatan para penggugat tersebut para tergugat


berpendapat Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk memeriksa dan
mengadili gugatan Para Penggugat, karena materi gugatan berhubungan
dengan perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), sehingga yang
berwenang adalah Pengadilan HAM Ad hoc atau Pengadilan Tata Usaha
Negara atau juga merupakan pengujian materiil terhadap PP No. 19
tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional.

Dasar gugatan para penggugat menunjukan ketentuan pasal 1365


KUHPerdata namun dalam Petitum Gugatannnya sama sekali tidak
mengajukan tuntutan ganti rugi, maka para penggugat tidak dapat
mendalilkan kerugian apa yang diderita atau setidak-tidaknya tidak dapat
menghitung berapa besarnya kerugian tersebut; Bahwa berdasarkan
Eksepsi tersebut gugatan para penggugat tersebut harus dinyatakan tidak
dapat diterima.

4.1.2.2 Pertimbangan Hukum Putusan Sela

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Putusan Sela Nomor :


228/PDT.G/2006/PN. Jkt.Pst, dalam perkara Gugatan Warga Negara
antara Kristiono dkk melawan Negara Republik Indonesia cq. Presiden

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


171

Republik Indonesia dkk, Jakarta, tanggal 15 Nopember 2006, memutus


“Menolak Eksepsi Para Tergugat I, Terggugat II, Terggugat III, dan
Terggugat IV tersebut, Menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
berwenang memeriksa dan mengadili perkara gugatan ini,
Memerintahkan kepada para penggugat dan para tergugat untuk
melanjutkan pemeriksaan perkara pokok perkara, Menangguhkan biaya
perkara sampai pada putusan akhir. 380

Pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam mejatuhkan Putusan


Sela tersebut pada pokoknya yaitu sebagai berikut : 381

- Bahwa berdasarkan Pasal 136 HIR Eksepsi mengenai Kompetensi


Absolut maupun relative, diperiksa dan diputus lebih dahulu sebelum
materi pokok perkara diperiksa ;
- Gugatan citizen lawsuit adalah konsep gugatan yang berasal dari
sistem Comon Law yang merupakan gugatan perwakilan dengan
mengatasnamakan kepentingan umum yang diajukan oleh warga
Negara atau sekelompok Warga Negara. Dalam bentuk gugatan ini
warga Negara yang menunjukan gugatan tidak perlu membuktikan
bahwa dirinya mewakili kepentingan hukum atau sebagai pihak yang
mengalami kerugian secara langsung (rii1) ;
- Bahwa dalam Black's Law Dictionary dikatakan "kepentingan umum
/ public interest" yang dimaksud adalah kepentingan masyarakat luas
atau warga Negara secara umum yang berkaitan dengan pemerintah
atau Negara (Black's 1999) ;
- Bahwa Michael D. Axline, dalam bukunya Environmental Citizen
Suits, menyebutkan : terminology "citizen lawsuit" digunakan
sedemikian luasnya. Semua bentuk tindakan dimana warga Negara
mencari perlindungan terhadap hak-hak publik, termasuk tindakan-
tindakan yang menentang peraturan pemerintah ;

380
Ibid., hal. 32.
381
Ibid., hal. 26-31.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


172

- Bahwa berdasarkan pengertian atas Gugatan Warga Negara (Citizen


lawsuit) tersebut diatas Majelis berpendapat termasuk didalamya
adalah kepentingan akan hak-hak asasi warga Negara dibidang
pendidikan, yaitu hak untuk memperoleh pendidikan dan
mencerdaskan diri ;
- Bahwa pasal 8 UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
menyebutkan bahwa perlindungan, pemajuan, perlindungan dan
pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab
Pemerintah ;
- Bahwa berdasarkan akan tanggung jawab Negara atau Pemerintah
tersebut, maka apabila Negara, atau Pemerintah "dianggap" tidak
melaksanakan tanggung jawabnya tersebut setiap warga Negara
berhak untuk mengajukan gugatan atas kelalaian Negara atau
Pemerintah ;
- Bahwa dengan demikian Majelis sependapat dengan para Penggugat,
bahwa para Tergugat telah salah memahami konsep Gugatan Warga
Negara (Citizen lawsuit) dan konsep HAM Ad Hoc ;
- Bahwa asas-asas Umum Pemerintahan yang baik merupakan asas
Umum yang dipergunakan sebagai parameter bagi pemerintah
apakah telah melakukan tindakan-tindakan atau langkah-langkah
yang patut dalam menyelenggarakan pemerintahan ;
- Bahwa hal-hal yang tidak patut apabila dilakukan oleh Pemerintah
itu dapat dikatakan telah melakukan tindakan yang bersifat melawan
hukum. Makin lama ketentuan-ketentuan dari asas-asas umum
pemerintahan yang baik oleh Yurisprundensi makin sering
diterapkan tidak hanya dalam suasana hukum Tata Usaha Negara
tetapi juga dalam suasana hukum perdata (baca Indriarto, Perbuatan
pemerintah Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata" hal 47) ;
- Bahwa konsep Citizen lawsuit dimaksudkan untuk melindungi warga
Negara dari kemungkinan terjadinya kerugian sebagai akibat dari
tindakan atau pembiaran Negara atau otoritas Negara ;

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


173

- Bahwa Citizen lawsuit memberikan kekuatan kepada warga Negara


sebagai implementasi dari partisipasi masyarakat, untuk menggugat
Negara dan institusi pemerintah yang,"dianggap" melakukan
pelanggaran Undang-undang atau melakukan kegagalan dalam
memenuhi kewajibannya dalam mengimplementasikan undang-
undang dan bukannya sarana untuk melakukan uji materiil terhadap
perundang-undangan ;
- Bahwa setelah Majelis mencermati Surat Gugatan Para Penggugat
ternyata surat gugatan telah memuat secara jelas identitas para pihak,
fundamentum petendi (dalil gugatan) dan petitum gugatan, termasuk
telah menguraikan pihak-pihak yang melakukan perbuatan melawan
hukum yang dimaksud ;
- Bahwa setelah Majelis mencermati Surat Gugatan Para Penggugat,
Majelis sependapat dengan Para Penggugat bahwa dalam Surat
Gugatannya Para Penggugat telah menjelaskan perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh Para Tergugat sesuai dengan Pasal 1365
KUHPerdata dan telah pula menguraikan mengenai kerugian materiil
maupun Immateriil yang timbul karena perbuatan Para Tergugat
yang melawan hukum tersebut.

4.1.2.3 Pertimbangan Hukum Putusan Akhir

Kemudian dalam Putusan Akhir yang diucapkan pada tanggal 21


Mei 2007, Majelis Hakim memberikan pertimbangan382 bahwa dasar
gugatan Para Penggugat adalah perbuatan melawan hukum eks Pasal
1365 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa "Setiap perbuatan
melawan hukum, yang menimbulkan kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena kesalahannya rnenyebabkan kerugian
tersebut mengganti kerugian.

382
Untuk lebih jelasnya lihat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan Akhir Nomor :
228/PDT.G/2006/PN. Jkt.Pst, dalam perkara Gugatan Warga Negara antara Kristiono dkk
melawan Negara Republik Indonesia cq. Presiden Republik Indonesia dkk, Jakarta, tanggal 21 Mei
2007, hal. 136-158.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


174

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1366 KUH Perdata


disebutkan bahwa "Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk
kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga yang
disebabkan karena kelalaian atau kekurang hati-hatiannya".

Majelis Hakim menguraikan bahwa dari ketentuan Pasal 1365


KUH Perdata, perbuatan melawan hukum baru dapat dituntut ganti
kerugian apabila telah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Perbuatan tersebut harus melawan hukum;
2. Perbuatan tersebut harus menimbulkan kerugian;
3. perbuatan tersebut harus ada unsur kesalahan;
4. dari perbuatan tersebut harus ada hubungan sebab-akibat;

Majelis hakim mempertimbangkan bahwa perbuatan para


tergugat yaitu “Tindakan Para Tergugat tersebut sekaligus
melanggar kaidah tata susila, dan bertentangan dengan asas
kepatutan, dan ketelitian serta kehati-hatia yang seharusnya
dimiliki”.

Selanjutnya Majelis Hakim juga berpendapat “Bahwa sesuai


dengan Asas-asas Pemerintahan Yang Baik, hendaknya Pemerintah
(dalam hal ini Para Tergugat) duduk bersama, dengan berbagai unsur
masyarakat khususnya pemuka/ahli di bidang pendidikan, dalam
mewujudkan kebijakan Sistem Pendidikan Nasional, atau setidak-
tidaknya meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana
sekolah serta informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia
terlebih dahulu, sebelum melaksanakan kebijakan UN lebih lanjut”

Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, Majelis Hakim


berpendapat Para Tergugat telah memenuhi unsur melawan hukum,
dalam konteks kelalaian.

Kemudian Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa para


tergugat telah memenuhi semua unsur dalam Pasal 1365 KUH Perdata,

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


175

maka Majelis Hakim berpendapat para tergugat dipandang telah terbukti


melakukan perbuatan melawan hukum dalam konteks lalai dalam
memberikan pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap
warga negaranya yang menjadi korban UN, khususnya pada Hak atas
Pendidikan dan Hak-hak anak.

Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan akan mengabulkan


tuntutan subsidair dari gugatan Para Penggugat dan memutuskan
menolak eksepsi para tergugat; menolak Provisi para penggugat;
mengabulkan gugatan Subsidair para penggugat; menyatakan para
tergugat telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan
Hak Asasi Manusia terhadap warga negaranya yang menjadi korban
Ujian Nasional (UN) khususnya pada hak atas pendidikan dan hak-hak
anak; memerintahkan kepada Para Tergugat untuk meningkatkan
kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses
informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia, sebelum
mengeluarkan kebijaksanaan Pelaksanaan Ujian Nasional lebih lanjut;
memerintahkan kepada Para Tergugat untuk mengambil langkah-
langkah konkrit untuk mengatasi gangguan psikologi dan mental peserta
didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan Ujian Nasional;
memerintahkan kepada Para Tergugat untuk meninjau kembali Sistem
pendidikan Nasional;

Bahwa putusan Pengadilan Jakarta Pusat tersebut selanjutnya


dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan Putusan Nomor:
337/PDT/2007/PT.DKI, Jakarta, 6 Desember 2007 dan Mahkamah
Agung RI dengan Putusan Nomor : 2596 K/PDT/2008, Jakarta, 14
September 2009.383

4.1.2.4 Analisis Putusan Sela dan Putusan Akhir

383
Untuk lebih jelasnya tentang Putusan Kasasi tersebut lihat, Mahkamah Agung RI, Putusan
Nomor : 2596 K/PDT/2008, Jakarta, 14 September 2009, lihat juga Isrok, Rizki Emil Birham, op.
cit., hal. 83-144.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


176

Berkaitan dengan Putusan Sela Nomor : 228/PDT.G/2006/PN.


Jkt.Pst, dalam perkara Gugatan Warga Negara antara Kristiono dkk
melawan Negara Republik Indonesia cq. Presiden Republik Indonesia
dkk, Jakarta, tanggal 15 Nopember 2006, Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat telah memberi putusan bahwa “Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara a
quo. Majelis Hakim berpendapat dengan berdasarkan citizen lawsuit
(gugatan warga negara) yang dianut oleh negara dalam sistem hukum
common law”.

Majelis hakim dengan berdasarkan pengertian atas gugatan


warga negara (citizen lawsuit), berpendapat termasuk didalamya adalah
kepentingan akan hak-hak asasi warga Negara di bidang pendidikan,
yaitu hak untuk memperoleh pendidikan dan mencerdaskan diri.
Sehingga Penulis berpendapat, walaupun tidak secara tegas diuraikan
dalam pertimbangan hukum Putusan Sela, namun Majelis Hakim
melakukan interpretasi komparatif yaitu dengan membandingkan konsep
gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang berasal dari sistem common
law dan menerapkannya dalam praktik peradilan guna melindungi
Kepentingan Warga Negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Selanjutnya Peneliti berpendapat bahwa Majelis Hakim telah


melakukan interpretasi ekstensif yaitu dengan konsep gugatan warga
negara (citizen lawsuit) yang berasal dari sistem common law telah
memperluas konsep hak gugat konvensional yang diatur dalam Hukum
Acara Perdata di Indonesia, yang semula hanya individu atau badan
hukum yang mempunyai kepentingan yang berhak mengajukan gugatan
(point d’interet point d’action), menjadi setiap warga negara – walaupun
tidak mempunyai kepentingan – berhak mengajukan gugatan
mengatasnamakan kepentingan umum (public interest).

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


177

Kemudian dalam Putusan Sela tersebut, Majelis Hakim telah


melakukan Argumentum peranalogiam atau analogi, yaitu mencari
esensi yang lebih umum pada suatu perbuatan yang diatur dalam
undang-undang maupun yang belum ada peraturannya dihubungkan
dengan perbuatan atau peristiwa yang secara konkret dihadapi hakim, di
mana pasal 8 UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
menyebutkan bahwa “perlindungan, pemajuan, perlindungan dan
pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab
Pemerintah”, tanpa mengatur lebih lanjut apa akibat hukumnya jika
Pemerintah tidak melakukan hal tersebut, akan tetapi Majelis Hakim
melakukan konstruksi hukum dengan menyatakan bahwa “apabila
Negara, atau Pemerintah "dianggap" tidak melaksanakan tanggung
jawabnya tersebut setiap warga Negara berhak untuk mengajukan
gugatan atas kelalaian Negara atau Pemerintah”.

Walaupun Majelis Hakim telah melakukan Penemuan Hukum


dalam putusan sela, akan tetapi yang menjadi catatan adalah sebagai
berikut :

1. Meskipun tidak ada Eksepsi mengenai penerapan konsep gugatan


warga negara (citizen lawsuit) yang belum diatur oleh perundang-
undangan Republik Indonesia, Majelis Hakim seharusnya
memberikan pertimbangan yang jelas apa yang menjadi landasan
hukum (baik filosofis, sosiologis maupun yuridis) sehingga konsep
gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang berasal dari sistem
common law dapat diterapkan dalam melindungi kepentingan warga
negara dan menyatakan bahwa Majelis Hakim berwenang mengadili
perkara tersebut, karena konsep gugatan warga negara (citizen
lawsuit) belum diatur dalam perundang-undangan Republik
Indonesia.
2. Majelis hakim hanya berdasarkan pengertian konsep gugatan warga
negara (citizen lawsuit) dengan tidak memberikan pertimbangan
yang jelas dalam hal menyatakan Pengadilan Negeri berwenang

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


178

memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut, padahal


konsep gugatan warga negara (citizen lawsuit) berkaitan erat dengan
kepentingan umum yang mirip dengan kewenangan Mahkamah
Agung dalam hal judicial review, Mahkamah Konstitusi dalam hal
Hak Uji Materi terhadap Undang-Undang, Pengadilan Hak Asasi
Manusia, maupun Pengadilan Tata Usaha Negara.
3. Berkaitan dengan kedudukan hukum (standing) Para Penggugat,
Majelis Hakim tidak menguraikan pertimbangan yang jelas tentang
perluasan konsep hak gugat konvensional yang diatur dalam Hukum
Acara Perdata di Indonesia, yang semula hanya individu atau badan
hukum yang mempunyai kepentingan yang berhak mengajukan
gugatan (point d’interet point d’action) menjadi setiap warga negara
– walaupun tidak mempunyai kepentingan – berhak mengajukan
gugatan mengatasnamakan kepentingan umum (public interest),
sedangkan sebagaimana Mahkamah Agung dalam putusannya
tanggal 7 Juli 1971 no. 294 K/Sip/1971 menyaratkan bahwa gugatan
harus diajukan oleh orang yang mempunyai hubungan hukum.
4. Jika Majelis Hakim menerapkan konsep gugatan warga negara
(citizen lawsuit) dari negara yang menganut sistem hukum common
law sudah seharusnyalah dipertimbangkan hal-hal apa saja yang
diatur dalam konsep tersebut dan bisa atau tidak konsep tersebut
diterapkan di Indonesia, seperti misalnya notifikasi (pemberitahuan)
dalam konsep gugatan warga negara (citizen lawsuit) apakah
diperlukan atau tidak.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, terlepas dari adanya


beberapa catatan dalam hal putusan sela tersebut, Peneliti berpendapat
Majelis Hakim telah mempergunakan pengalamannya dalam memeriksa
maupun mengadili perkara a quo. Walaupun belum ada pengaturan
mengenai mekanisme gugatan warga negara (citizen lawsuit), Majelis
Hakim melihat realitas yang terjadi dalam masyarakat, dan melakukan
penemuan hukum demi memberikan putusan yang seadil-adilnya. Hal ini
sesuai dengan pendapat Oliver Wendell Homes Jr, sebagaimana dikutip

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


179

oleh John Finch, di mana Holmes menyatakan bahwa “The life of the law
has not been logic : it has been experience …. The prophecies of what
the courts will do in fact, and nothing more pretentious, are what I mean
by the law”.384

Selanjutnya dalam menjatuhkan putusan akhir, Majelis Hakim


berpedoman pada Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman yaitu “Hakim wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat”. Hakim dituntut untuk “meletakkan telinganya ke jantung
masyarakat”.385

Kemudian Majelis Hakim dalam mempertimbangkan kriteria


perbuatan melawan hukum yaitu sebagai berikut :

- Bahwa akan tetapi Majelis berpendapat, Para tergugat telah


mengabaikan fakta-fakta yang terdapat di daerah baik pedesaan
maupun perkotaan di seluruh Indonesia, bahwa kualitas guru,
kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang
lengkap di seluruh daerah di Indonesia tidak sama;
- Bahwa Para Tergugat telah mengabaikan fakta-fakta yang muncul
dari implikasi dilaksanakannya UN, dimana terdapat berbagai
macam trik untuk mendongkrak nilai diberbagai sekolah dengan
melakukan kecurangan-kecurangan, baik yang dilakukan oleh guru
maupun murid;
- Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut diatas, Majelis
berpendapat bahwa Para Tergugat telah melalaikan kewajiban
hukumnya terutama di bidang pendidikan sebagaimana diamanatkan
UUD 1945, Melanggar hak subyektif peserta didik/siswa-siswa yang
tidak lulus UN, dimana banyak peserta didik yang mendapatkan nilai
tinggi pada dua mata pelajaran yang diujikan tetapi kurang disalah

384
John Finch, op. cit., hal. 174.
385
Ibid., hal. 145.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


180

satu mata pelajaran, dengan selisih nilai rata-rata berkisar pada angka
0,26 sedangkan nilai-nilai, lainnya ditetapkan lulus, dinyatakan tidak
lulus UN Ketidaklulusan telah mengacu pada standar kelulusan UN
tanpa rnempertimbangkan nilai-nilai diperoleh lainnya;
- Tindakan Para Tergugat tersebut sekaligus melanggar kaidah
tata susila, dan bertentangan dengan asas kepatutan, dan
ketelitian serta kehati-hatian yang seharusnya dimiliki;
- Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 1366 KUH Perdata yang telah
disebutkan pada awal pembahasan, bahwa, "Setiap orang
bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya, tetapi juga yang disebabkan karena kelalaian".

Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, Majelis Hakim


berpendapat para tergugat telah memenuhi unsur melawan hukum,
dalam konteks kelalaian.

Dari uraian pertimbangan Majelis Hakim tersebut, dihubungkan


dengan Putusan Hoge Raad 31 Januari 1919, dalam perkara Lidenbaum-
Cohen dan pendapat Rachmat Setiawan serta M.A. Moegni Djojodirdjo
sebagaimana diuraikan sebelumnya, maka Peneliti berpendapat cukup
salah satu kriteria perbuatan melawan hukum saja yang harus dibuktikan
Majelis Hakim tidak perlu keempat kriteria tersebut harus dibuktikan.

Selanjutnya berkaitan dengan pendapat Majelis Hakim yaitu Para


Tergugat telah memenuhi unsur melawan hukum, dalam konteks
kelalaian, Peneliti berpendapat bahwa sebagaimana diuraikan
sebelumnya, gugatan warga negara (citizen lawsuit) dimaksudkan untuk
melindungi warga negara dari kemungkinan terjadinya kerugian sebagai
akibat dari tindakan atau pembiaran (omisi) dari negara atau otoritas
negara.

Dengan adanya arrest Hoge Raad 31 Januari 1919 rumusan pasal


1366 KUH Perdata dalam hal ini kelalaian tidak lagi perlu dipersoalkan,
karena sudah termasuk ke dalam perumusan pengertian perbuatan

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


181

melawan hukum. Selanjutnya Assers berpendapat bahwa kedua hal


tersebut tidak perlu dipersoalkan, karena tidak akan ada yang
menyangkal bahwa baik berbuat maupun tidak berbuat dapat merupakan
perbuatan melawan hukum.386

Berdasarkan uraian-uraian tersebut Peneliti berpendapat


Majelis Hakim cukup menyatakan para tergugat telah memenuhi unsur
perbuatan melawan hukum tanpa harus menyebutkan “dalam konteks
kelalaian”, karena hal tersebut sudah dipertimbangkan dalam salah satu
unsur pasal 1365 KUH Perdata yaitu unsur kesalahan, sehingga tidak
perlu lagi menguraikan Pasal 1366 KUH Perdata. Apalagi Majelis
Hakim tetap juga menguraikan 4 (empat) unsur Pasal 1365 KUH Perdata
di mana dalam salah satu unsurnya yaitu unsur kesalahan, Majelis
Hakim berpendapat bahwa para tergugat memenuhi unsur tersebut dalam
konteks kelalaian.

Bahwa terlepas dari hal tersebut, Peneliti berpendapat Majelis


Hakim dengan berpedoman pada Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 4 tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu “Hakim wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat”, dan arrest Hoge Raad 31 Januari 1919
dengan menghubungkannya dengan Pasal 31 UUD 1945 telah
melakukan penemuan hukum menerima dalil gugatan para penggugat
dengan mekanisme citizen lawsuit.

Selanjutnya dalam Putusan Akhir, Majelis Hakim memutuskan


yaitu “Bahwa oleh karena para tergugat terbukti lalai, maka Majelis akan
memerintahkan kepada para tergugat untuk meningkatkan kualitas guru,
kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap
seluruh daerah Indonesia, sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan
Ujian Nasional lebih lanjut, memerintahkan kepada para tergugat untuk
mengambil langkah-langkah konkrit untuk mengatasi gangguan

386
M.A. Moegni Djojodirdjo, op. cit., hal. 57.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


182

psikologi dan mental peserta didik dalam usia anak akibat


penyelenggaraan Ujian Nasional, memerintahkan kepada para tergugat
untuk meninjau kembali Sistem pendidikan Nasional. 387

Dari Putusan akhir tersebut maka sifat kondemnatoir dari suatu


putusan tentang gugatan warga negara (citizen lawsuit) adalah negara
dihukum untuk mengeluarkan suatu kebijakan agar kelalaian tersebut
tidak terjadi lagi di kemudian hari.388

Jadi dari uraian-uraian tersebut di atas, maka penemuan hukum


yang dilakukan oleh Majelis Hakim adalah kesatu berkaitan dengan
standing di mana, setiap warga negara atau setiap orang atas nama
kepentingan warga negara dapat bertindak sebagai penggugat atas nama
kepentingan warga negara RI, tanpa perlu menjelaskan apakah
penggugat mempunyai kepentingan atau tidak dalam mengajukan suatu
tuntutan hak, kedua berkaitan dengan hukuman kepada pihak yang
kalah, ganti kerugian sebagaimana diatur dalam 1365 KUHPerdata
ditafsirkan oleh hakim sebagai memerintahkan kepada para tergugat
untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana
sekolah, akses informasi yang lengkap seluruh daerah Indonesia,
sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan Ujian Nasional lebih
lanjut, memerintahkan kepada para tergugat untuk mengambil langkah-
langkah konkrit untuk mengatasi gangguan psikologi dan mental peserta
didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan Ujian Nasional,
memerintahkan kepada para tergugat untuk meninjau kembali Sistem
Pendidikan Nasional.

4.1.3 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat antara Ir. H. SAID


IQBAL, M.E. dkk melawan NEGARA REPUBLIK INDONESIA cq.

387
Lebih jelasnya lihat pertimbangan hukum putusan akhir Nomor : 228/PDT.G/2006/PN. Jkt.Pst,
op. cit., hal. 157.
388
Susanti Adi Nugroho, op. cit, hal. 384.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


183

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, dkk , Putusan Jakarta Pusat


Nomor : 278/PDT.G/2010/PN.Jkt.Pst. 389

4.1.3.1 Kasus Posisi

Ir. H. SAID IQBAL, M.E. dan kawan-kawan merupakan para


penggugat yang terdiri dari pimpinan organisasi kemasyarakatan yaitu
serikat pekerja/serikat buruh, organisasi tani dan nelayan, organisasi
mahasiswa, organisasi kepemudaan, tokoh masyarakat, asosiasi profesi,
dan masyarakat umum yang telah sejak lama memperjuangkan
pemenuhan hak jaminan sosial bagi Indonesia.

Para penggugat mengatasnamakan warga negara Indonesia sama


dengan halnya lebih kurang 37.839.250 orang warga negara Indonesia
yang bekerja sebagai buruh/pekerja di sektor formal, maupun 8.900.000
orang warga negara Indonesia di luar negeri yang bekerja sebagai
buruh/pekerja migran, dan jutaan masyarakat umum lainnya memiliki
kepentingan langsung terhadap pemenuhan jaminan sosial sebagaimana
dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 (UUD 1945) tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun.

Para Penggugat berpendapat Para Tergugat telah tidak


melaksanakan kewajiban konstitusi untuk melindungi, memajukan,
menegakkan, dan memenuhi jaminan sosial bagi seluruh rakyat yang
memungkinkan perkembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat melalui pengembangan sistem jaminan sosial nasional
sebagaimana diamanatkan Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD
1945 dengan tidak menjalankan UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem
jaminan Sosial Nasional, yang telah menimbulkan kerugian bagi seluruh
warga negara Indonesia termasuk Para Penggugat.

389
Untuk lebih jelasnya lihat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Sela Nomor :
278/PDT.G/2010/PN.Jkt.Pst, dalam perkara Gugatan Warga Negara antara Ir. H. SAID IQBAL,
M.E., dkk melawan Negara Republik Indonesia cq. Presiden Republik Indonesia dkk, Jakarta,
tanggal 17 Januari 2011, hal. 15-130, lihat juga Putusan Akhir Nomor :
278/PDT.G/2010/PN.Jkt.Pst, , tanggal 13 Juli 2011, hal16-143.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


184

Para Penggugat mendalilkan bahwa Para Tergugat telah


melakukan perbuatan melawan hukum dengan tidak melaksanakan UU
No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, khususnya
Pasal 5 ayat (1), Pasal 10, Pasal 12 ayat (2), Pasal 13 ayat (2), Pasal 14
ayat (3), Pasal 17 ayat (6), Pasal 21 ayat (4), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23
ayat (5), Pasal 26, Pasal 27 ayat (5), Pasal 28 ayat (2), Pasal 33, Pasal 34
ayat (4), Pasal 37 ayat (5), Pasal 38 ayat (8), Pasal 41 ayat (4), Pasal 42
ayat (2), Pasal 45 ayat (3), Pasal 46 ayat (4), Pasal 47 ayat (2), Pasal 50
ayat (2), yang merupakan pasal-pasal terkait pelaksanaan sistem jaminan
sosial nasional melalui pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial dan seluruh aturan pendukungnya.

Bahwa Para Tergugat juga telah melakukan perbuatan melawan


hukum karena melanggar pasal 52 ayat (2) UU No. 40 tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang memberi batas waktu bagi
pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional melalui pembentukan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial dan seluruh aturan pendukungnya harus
sudah disusun paling lambat 5 (lima) tahun sejak UU Sistem Jaminan
Sosial Nasional diundangkan, yaitu tanggal 19 Oktober 2009.

Dengan berdasarkan hal-hal tersebut, Para Penggugat


berpendapat sudah sepatutnya gugatan ini dapat diterima untuk
seluruhnya.

Atas dalil gugatan Para Penggugat tersebut Para Tergugat I, II,


III, IV, VI, VII, VIII, IX, X dan Tergugat XI telah mengajukan jawaban
yang pada pokoknya menyatakan menolak dalil gugatan Para Penggugat
tersebut dan juga menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak
berwenang mengadili Perkara a quo, karena gugatan warga negara
(citizen lawsuit) tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia; para penggugat tidak memiliki hak (standing) untuk
mengajukan gugatan warga negara (citizen lawsuit), dan haruslah
diperiksa atau ditentukan apakah para penggugat memiliki hak dan

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


185

kapasitas (standing) untuk mengajukan gugatan warga negara (citizen


lawsuit) ; Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili
karena gugatan para penggugat termasuk dalam kewenangan legislasi
(eksepsi kompetensi absolut).

Sedangkan dalam Pokok Perkara para tergugat mendalilkan tidak


melakukan perbuatan melawan hukum dan tidak memenuhi unsur
sebagaimana diuraikan dalam pasal 1365 KUH Perdata dan pasal 1366
KUHPerdata, karena telah banyak peraturan yang telah diterbitkan
pemerintah mengenai jaminan sosial. Berdasarkan hal tersebut para
tergugat berpendapat dalam Eksespsi “Menyatakan para penggugat tidak
mempunyai hak (legal standing) untuk mengajukan gugatan citizen
lawsuit; menyatakan bahwa pengadilan negeri jakarta pusat tidak
berwenang mengadili perkara aquo; menyatakan Gugatan para
penggugat tidak dapat diterima. Dalam pokok perkara : Menolak gugatan
para penggugat untuk seluruhnya; menghukum para penggugat untuk
membayar biaya perkara.

4.1.3.2 Pertimbangan Hukum Putusan Sela

Dalam Putusan Sela pada tanggal 17 Januari 2011, Majelis


Hakim Jakarta Pusat memutuskan yaitu “Menolak Eksepsi Para
Tergugat I, II, III, VII, VIII, IX dan XI tersebut, Menyatakan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat berwenang memeriksa dan mengadili perkara
gugatan ini, Memerintahkan kepada Para pihak untuk melanjutkan
pemeriksaan perkara ini, Menyatakan bahwa biaya perkara akan
diperhitungkan dan diputus dalam putusan akhir”. 390
Putusan Sela yang diucapkan pada tanggal 17 Januari 2011
dengan amar putusan sebagaimana tersebut di atas, didasari oleh
pertimbangan hukum yang pada pokoknya yaitu sebagai berikut : 391

390
Putusan Sela Nomor : 278/PDT.G/2010/PN.Jkt.Pst, tanggal 17 Januari 2011, op. cit., hal. 147-
148.
391
Ibid., hal. 142-147.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


186

- Citizen lawsuit adalah sebagai suatu hak gugat warga negara yang
pada hakekatnya merupakan akses orang perorangan atau warga
negara untuk kepentingan keseluruhan warga negara atau
kepentingan publik termasuk mengajukan gugatan di pengadilan
guna menuntut agar pernerintah melakukan penegakan hukum yang
diwajibkan kepadanya atau untuk memulihkan Kerugian publik yang
terjadi atau dengan kata lain, citizen lawsuit memberikan kekuatan
kepada warga negara untuk rnenggugat pihak tertentu (privat) yang
melanggar undang-undang selain kekuatan kepada warga negara
untuk rnenggugat kepada negara den lernbaga-iernbaga
pemerintahan yang melakukan pelanggaran undang-undang atau
yang gagal darn memenuhi kewajibannya dalam pelaksanaan
(implementasi) undang-undang;
- Bahwa dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia
belum mengatur tentang presedur gugatan citizen lawsuit, demikian
pula tidak satupun undang-undang di Indonesia yang mengaturnya,
namun demikian dalam praktek peradilan hal tersebut sangat
dibutuhkan;
- Bahwa dalam Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman disebutkan :"Hakim dan hakim konstitusi
wajib menggali, mengikuti, dan memaharni nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Jo Pasal 10 ayat (1)
menyatakan Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya;
- Bahwa hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 16 ayat (1) UU
Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
rnenyatakan " Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan daiih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya". dan Pasal 28 ayat (1) UU No. 4

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


187

Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan "Hakim


wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat;
- Bahwa ketentuan tersebut mengamanatkan kepada hakim dan
pengadilan bahwa hakim harus terus menerus mempelajari dan
mengikuti perkembangan hukum yang ada di tengah masyarakat
sebagai sumber hukum dalam pengambilan keputusan atas perkara
konkrit yang sedang ditanganinya, dalam konteks yang demikian
hakim harus menemukan hukumnya", maka dengan alasan tersebut
ternyata dalam praktik peradilan di Indonesia telah diakui adanya
beberapa perkara gugatan citizen lawsuit;
- Bahwa namun oleh karena penerapan prosedur gugatan "Hak
gugatan warga negara (citizen lawsuit atau actio popularis)" di
Indonesia belum diatur dalarn Hukum Acara yang bersifat permanen,
maka sepanjang relevan Majelis hakim dalam memeriksa dan
mengadili gugatan a quo akan menggunakan hukum acara yang
berlaku adalah HIR dan peraturan lain yang berlaku sepanjang
relevan dengan perkara ini yaitu PERMA No. 01 Tahun 2008 tentang
Mediasi, PERMA No. 01 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok, pendapat para ahli dan praktek peradilan di
negara lain yang telah lama menerapkan gugatan citizen lawsuit
untuk dijadikan sebagai sumber hukum acara dan sebagai
perbandingan. Namun demikian oleh karena belum ada hukum acara
perkara citizen lawsuit yang bersifat permanent, maka dalam perkara
ini Majelis Hakim akan lebih menitik beratkan pada penggunaan
hukum acara perdata yang berlaku pada peradilan perdata yaitu HIR
(Stbl 1941 No. 44) ;
- Bahwa yang menjadi pokok persoalan Penggugat mengajukan
gugatan warga negara (citizen lawsuit) kepada para Tergugat I s.d.
Tergugat XI adalah karena para Tergugat telah melakukan perbuatan
melawan hukum yaitu karena tidak melaksanakan pasal 23 H ayat (3)

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


188

jo pasal 34 ayat (2) UUD 1945 dan UU Nornor 40 tahun 2004


tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional ;
- Bahwa pasal 2 huruf (b) UU Nomor 5 tahun 1986 jo pasal 2 ayat (2)
UU Nomor 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
menentukan bahwa : Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan
pengaturan yang bersifat umum, tidak termasuk ke dalam Keputusan
Tata Usaha Negara" sehingga oleh karenanya sengketa yang
menyangkut hal tersebut bukan termasuk kwalifikasi yang menjadi
yurisdiksi Peradilan Tata Usaha Negara karena yang menjadi
kompetensi dan yurisdiksi Peradilan Tata Usaha Negara adalah
sengketa atas Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara ye ig berupa
suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukurn perdata, sebagaimana
ditentukan dalam pasal 1 angka 3 UU 5 tahun 1986 ;
- Bahwa oleh karena yang menjadi pokok persoalan gugatan
Penggugat adalah tentang tidak dilaksanakannya amanat pasal 5 ayat
(1) UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional untuk membentuk undang-undang tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial, untuk rnembuat 11 Peraturan
Pemerintah dan 10 Peraturan Presiden sebagaimana diperintahkan
oleh undang-undang kepada Pernerintah, sehingga hal tersebut
adalah merupakan yurisdiksi hukum publik yang bersifat mengatur,
sehingga bukan dan tidak menjadi kompetensi Peradilan Tata Usaha
Negara ;
- Bahwa jika benar halnya demikian, rnaka diajukannya gugatan oleh
para Penggugat dalam perkara citizen lawsuit ini menurut Majelis
kiranya dapat berfungsi sebagai "kontrol sosial formal" kepada para
Tergugat (pemerintah) khususnya menyangkut fungsi legislasi
(legislatif dan eksekutif), yang merupakan salah satu bentuk

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


189

kepedulian atau partisipasi masyarakat (community participation)


sebagai salah satu unsur good governance, untuk melakanakan
fungsi legislasinya secara optimal, sebagai bagian panting dari
reformasi birokrasi ;
- Bahwa berkaitan dengan pokok gugatan para Penggugat, dan
berkaitan dengan pengertian citizen lawsuit sebagaimana telah
dikemukakan bahwa citizen lawsuit dimaksudkan untuk rnelindungi
warga Negara dari kemungkinan terjadinya kerugian sebagai akibat
dari tindakan pembiaran (omisi) dari pemerintah atau otoritas
Negara, maka yurisdiksi yang paling tepat menangani citizen lawsuit
adalah Peradilan Umum dan bukan Peradilan Tata Usaha Negara.

4.1.3.3 Pertimbangan Hukum Putusan Akhir

Kemudian dalam Putusan Akhir yang diucapkan pada tanggal 13


Juli 2011, Majelis Hakim memberikan pertimbangan392 bahwa dasar
gugatan Para Penggugat adalah perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh para Tergugat karena tidak melaksanakan UU Nomor 40
tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional sesuai Pasal 1365
KUH Perdata yang menyebutkan bahwa "Setiap perbuatan melawan
hukum, yang menimbulkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan
orang yang karena kesalahannya rnenyebabkan kerugian tersebut
mengganti kerugian”.

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1366 KUH Perdata


disebutkan bahwa "Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk
kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga yang
disebabkan karena kelalaian atau kekurang hati-hatiannya".

392
Untuk lebih jelasnya lihat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan Akhir Nomor :
278/PDT.G/2010/PN.Jkt.Pst, dalam perkara Gugatan Warga Negara antara Ir. H. SAID IQBAL,
M.E., dkk melawan Negara Republik Indonesia cq. Presiden Republik Indonesia dkk, Jakarta,
tanggal 13 Juli 2011, hal. 206-243.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


190

Majelis Hakim menguraikan bahwa dari ketentuan Pasal 1365


KUH Perdata, perbuatan melawan hukum baru dapat dituntut ganti
kerugian apabila telah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Harus ada perbuatan melawan hukum;
2. Harus ada unsur kesalahan;
3. Harus ada kerugian yang diderita;
4. Harus ada hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian yang
ditimbulkannya;

Mengenai konsep perbuatan melawan hukum, Majelis Hakim


dengan berdasarkan pada Putusan Hoge Raad 31 Januari 1919 dalam
perkara Lindenbaum-Cohen, berpendapat ada 4 (empat) kriteria
perbuatan melawan hukum, yaitu:
1. Melanggar Undang-Undang.
2. Melanggar hak subyektif orang lain.
3. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban si pelaku.
4. Melanggar kaidah tata susila dan atau kepatutan.

Selanjutnya berdasarkan dalil-dalil dan fakta-fakta kedua belah


pihak – Para Penggugat maupun Para Tergugat –, untuk membuktikan
apakah Para Tergugat telah memenuhi semua kriteria perbuatan
melawan hukum sebagaimana diuraikan sebelumnya, Majelis Hakim
mempertimbangkan yaitu sebagai berikut :
- Bahwa citizen lawsuit adalah sebagai suatu hak gugat warga negara
yang pada hakekatnya merupakan akses prang perorangan atau
warga negara untuk kepentingan keseluruhan warga negara atau
kepentingan publik termasuk mengajukan gugatan di pengadilan
guna menuntut agar pemerintah melakukan penegakan hukum yang
diwajibkan kepadanya atau untuk memulihkan kerugian publik yang
terjadi atau dengan kata lain, citizen lawsuit memberikan kekuatan
kepada warga negara untuk menggugat pihak tertentu (privat) yang
melanggar undang-undang selain kekuatan kepada warga negara
untuk menggugat kepada negara dan lembaga-lembaga pemerintahan

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


191

yang melakukan pelanggaran undang-undang atau yang gagal dalam


memenuhi kewajibannya dalam pelaksanaan (implementasi) undang-
undang dan bukan terhadap Undang-Undang Dasar ;
- Bahwa berdasarkan pengertian, dasar tujuan, dan batasan citizen
lawsuit tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa citizen lawsuit
mempunyai ciri-ciri antara lain sebagai berikut :
1. Citizen lawsuit merupakan akses orang perorangan atau warga
negara untuk rnengajukan gugatan di pengadilan untuk dan atas
nama kepentingan keseluruhan warga negara atau kepentingan
publik;
2. Citizen lawsuit dimaksudkan untuk melindungi warga Negara
dari kemungkinan terjadinya kerugian sebagai akibat dari
tindakan atau pembiaran dari negara atau otoritas negara;
3. Citizen lawsuit memberikan kekuatan kepada warga Negara
untuk menggugat negara dan institusi pemerintah yang
melakukan pelanggaran undang-undang atau yang meiakukan
kegagalan dalam memenuhi kewajibannya dalam pelaksanaan
(implementasi) undang-undang;
4. Orang perorangan warga negara yang menjadi Penggugat dalam
citizen lawsuit, tidak perlu membuktikan adanya kerugian
langsung yang bersifat riil atau tangible;
5. Secara umum, peradilan cenderung reluctant terhadap tuntutan
ganti kerugian jika diajukan dalam perkara gugatan citizen
lawsuit;
- Bahwa kendatipun belum ada hukum acara yang mengatur hak gugat
warga Negara di pengadilan, namun sesuai dengan ketentuan pasal
10 ayat (1) UU nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman
untuk mengisi kekosongan hukum maka hakim / pengadilan harus
menemukan hukumnya melalui putusannya (yurisprudensi), sesuai
dengan asas – the persuasive force of precedent – hakim dapat
memperhatikan putusan-putusan hakim sebelumnya untuk dijadikan
sebagai pedoman dalam beracara, dalam memutus perkara khususnya

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


192

perkara citizen lawsuit baik dari perkara yang ada di Indonesia


maupun di Negara lain ;
- Bahwa berdasarkan beberapa kasus citizen lawsuit yang pernah
diajukan di Indonesia dan di Negara lain, dan dari berbagai sumber
referensi (buku dan website), secara spesifik dapat dijabarkan
beberapa syarat karakteristik sebagai berikut :
1. Tergugat dalam citizen lawsuit adalah Penyelenggara Negara,
mulai dari Presiden dan Wakil Presiden sebagai pimpinan teratas,
Menteri dan terus sampai kepada pejabat negara di bidang yang
dianggap telah melakukan kelalaian dalam memenuhi hak warga
negaranya. Dalam hal ini pihak selain penyelengcara negara tidak
boleh dimasukkan sebagai pihak baik sebagai Tergugat maupun
Turut Tergugat, karena inilah bedanya antara citizen lawsuit
dengan gugatan perdata biasa, ;
2. Petitum dalam gugatan tidak boleh meminta adanya ganti rugi
materiel, karena kelompok warga negara yang menggugat bukan
kelompok yang dirugikan secara materiel dan memiliki kesamaan
kerugian dan kesamaan fakta hukum sebagaimana gugatan class
action ;
3. Petitum gugatan citizen lawsuit harus berisi permohonan agar
negara mengeluarkan suatu kebijakan yang mengatur umum
(Regeling) agar perbuatan melawan hukum berupa kelalaian
dalam pemenuhan hak warga negara tersebut di masa yang akan
datang tidak terjadi lagi ;
4. Petitum gugatan tidak boleh berisi pembatalan atas suatu
Keputusan Penyelenggara Negara (Keputusan Tata Usaha
Negara) yang bersifat konkrit, individual dan final karena hal
tersebut merupakan kewenangan dari peradilan TUN ;
5. Petitum gugatan citizen lawsuit juga tidak boleh memohon
pembatalan atas suatu Undang-undang atau suatu peraturan,
karena hal tersebut merupakan kewenangan dari Mahkamah
Konstitusi sebagaimana diatur dalam pasal 24 C ayat (1) UUD 45

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


193

(perubahan ketiga). Selain itu petitum gugatan Citizen Lawsuit


juga tidak boleh meminta pembatalan atas Peraturan perundang-
undangan di bawah Undang-undang (UU) karena hal tersebut
merupakan kewenangan Mahkamah Agung (MA) sebagaimana
diatur dalam pasal 24 A UUD 45 (perubahan ketiga) jo. Pasal 31
A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung j.o Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (2)
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Hak Uji Materil ;

- Bahwa contoh klasik dalam perkara gugatan warga Negara terhadap


pemerintah (citizen lawsuit / actio popularis) adalah kasus citizen
lawsuit yang cukup dikenal adalah di Amerika Serikat yaitu gugatan
seorang Warga Negara Amerika atas kelalaian pemerintah dalam
melakukan pelestarian terhadap spesies kelelawar langka di Amerika.
Gugatan tersebut dikabulkan dan hasilnya adalah pemerintah
Amerika "membuat Act (undang-undang)" tentang konservasi
kelelawar langka tersebut. Kemudian di India terdapat gugatan
seorang Warga Negara India atas kelalaian Pemerintah India dalam
melestarikan sungai Gangga yang merupakan sungai suci bagi umat
Hindu. Hasilnya adalah Pemerintah India "membuat peraturan" yang
melarang pabrik-pabrik di sekitar sungai Gangga melakukan
pencemaran terhadap sungai ;
- Bahwa oleh karena itu dalam rangka membangun "partisipasi publik"
dalam pembangunan bangsa dan Negara, maka acces to court dan
acces to justice bagi warga Negara harus diberikan ruang yang cukup
dan legal agar tidak terjadi tindakan eigenrechting, tindakan
anarkhis, dan pemaksakan kehendak yang dilakukan dengan
mobilisasi massa dan cara-cara lain yang illegal, sebagai akibat
tertutupnya access bagi masyarakat untuk mendapatkan hak-haknya
(dalam arti luas) sebagai seorang warga Negara ;

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


194

- Bahwa gugatan dapat diajukan oleh warga Negara tanpa melihat


kualitas personal yang bersangkutan, dan jumlahnya tidak perlu
banyak orang ;
- Bahwa yang menjadi iandasan jundis tentang UU No. 40/2004
tentang jaminan sosial di Indonesia adalah berdasarkan ketentuan
Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 dinyatakan: "Setiap Orang berhak atas
jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara
utuh sebagai manusia yang bermartabat." Dan dalam Pasal 34 ayat
(2) UUD 1945 dinyatakan: "Negara mengembangkan sistem jaminan
sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang
lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.";
- Bahwa berkenaan dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) yang sudah ada seperti Askes, Jamsostek, Taspen dan Asabri
tersebut, pasal 52 ayat (2) menyatakan bahwa SEMUA
KETENTUAN yang mengatur mengenai Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan
dengan Undang-Undang ini paling lambat 5 (lima) tahun sejak
Undang-Undang ini diundangkan. Sedangkan dalam pasal 5 ayat (1)
menentukan bahwa BPJS harus dibentuk dengan undang-undang ;
- Bahwa mengenai kelangsungan dan kedudukan BPJS yang sudah
ada tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 5 ayat (2) dan (3) ternyata
berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor
007/PIJU-111/2005 tanggal Agustus 2005, dinyatakan bahwa Pasal 5
ayat (2),(3), dan (4) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara RI 1945 dan tidak mernpunyai kekuatan hukum mengikat,
sehingga dengan demikian pertautan pasal yang berkaitan erat
tentang "pengaturan BPJS yang sudah ada" dalam pasal 52 (2) adalah
dengan pasal 5 ayat (1) ;
- Bahwa dengan demikian secara sylogisme dapat disimpulkan
bahwa oleh karena menurut pasal 52 (2) ditentukan bahwa SEMUA
KETENTUAN yang mengatur mengenai BPJS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan undang-undang ini

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


195

paling lambat 5 (lima) tahun sejak undang-undang ini diundangkan,


sedangkan pasal 5 (1) menentukan bahwa BPJS harus dibentuk
dengan undang-undang, maka undang-undang yang akan menjadi
sandaran penyesuaian atas BPJS yang sudah ada tersebut yaitu UU
BPJS nya juga harus sudah dibentuk dalam kurun waktu yang
bersamaan artinya harus juga sudah dibentuk dalam waktu 5 tahun
sejak UU Nomor 40/2004 tersebut diundangkan ;
- Bahwa faktanya sampai sekarang RUU BPJS tersebut masih dalam
taraf pembahasan di DPR namun belum mendapat persetujuan
bersama sebagaimana dalam jawaban Para Tergugat ;
- Bahwa namun membuat suatu undang-undang tidaklah mudah,
karena harus dilakukan tahapan-tahapan seperti pengharmonisasian,
pembulatan, pemantapan dan pembahasan secara menyeluruh dan
terintegrasi, agar antara peraturan yang satu tidak tumpang tindih dan
tidak saling bertentangan dengan peraturan yang lain, dan
pembahasan suatu undang-undang menyangkut pertimbangan
berbagai aspek yang complicated dan berbagai fihak terkait dan
memerlukan waktu ;
- Menimbang, bahwa ketentuan yang mengatur tentang jangka waktu
secara umum ada dalam basal 39 (3) UU Nomor 10 tahun 2004 yang
menentukan bahwa : Setiap Undang-Undang WAJIB mencantumkan
BATAS WAKTU penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan
lainnya sebagai pelaksanaan Undang-Undang tersebut.
- Bahwa oleh karena jangka waktu pembahasan RUU BPJS telah
cukup lama dan telah melewati 5 tahun, dan sampai saat ini RUU
BPJS ternyata belum mendapat persetujuan bersama, belum semua
peraturan pelaksana yaitu Peraturan Pemerintah dan Peraturan
Presiden dibuat, dan ketentuan-ketentuan tentang keempat BPJS
sebagaimana diperintahkan dalam pasal 52 ayat (2) juga belum
disesuaikan dengan UU Nomor 40/2004, maka telah cukup alasan
bagi Majelis Hakim untuk menyatakan bahwa Para Tergugat telah
melakukan perbuatan melawan hukum, atau dalam konteks citizen

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


196

lawsuit terminologinya adalah bahwa Para Tergugat telah !alai atau


telah melakukan pembiaran (omisi) karena tidak melaksanakan UU
Nomor 40/2004 sehingga petitum gugatan angka (2) dapat
dikabulkan untuk sebagian ;
- Bahwa oleh karena Para Tergugat telah lalai tidak melaksanakan
amanat UU Nomor 40/2004 khususnya tidak segera mengesahkan
dan mengundangkan UU BPJS, maka Para Tergugat khususnya
Tergugat I dan II harus dihukum untuk segera memberikan
persetujuan bersama dan mengundangkan UU tentang BPJS sesuai
dengan perintah pasal 5 ayat (1) UU No 40/2004, menerbitkan
Peraturan pelaksana sebagaimana diperintahkan oleh UU Nomor
40/2004, dan melakukan penyesuaian terhadap ketentuan yang
mengatur keempat BPJS sebagaimana diperintahkan dalam pasal 52
ayat (2) UU nomor 40/2004 ;
- Bahwa oleh karena gugatan penggugat diajukan dengan metode
citizen lawsuit, maka petitum dalam gugatan citizen lawsuit hanya
berisi agar Negara mengeluarkan suatu kebijakan umum yang
bersifat mengatur (regeling) dan bukan menuntut untuk melakukan
suatu perbuatan lain ;
- Bahwa berkenaan dengan petitum Penggugat angka (3) tentang
permohonan maaf dan petitum angka (5) tentang ganti rugi, oleh
karena gugatan diajukan dengan model citizen lawsuit dan bukan
perkara perdata biasa, maka sesuai dengan karakteristik dari gugatan
citizen lawsuit adalah hanya untuk menuntut agar negara
rnengeluarkan suatu kebijakan yang mengatur umum (Regeling)
berupa membuat suatu peraturan, maka tuntutan permintaan maaf
dan ganti rugi tidak pada tempatnya dan harus dinyatakan ditolak.393

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum tersebut,


selanjutnya Majelis Hakim memutuskan : “Menolak eksepsi Para
Tergugat ; Mengabulkan gugatan Para Penggugat sebagian; Menyatakan

393
Ibid., hal 224-243

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


197

Para Tergugat telah lalai tidak melaksanakan UU Nomor 40 tahun 2004


tentang Sistem Jaminan sosial Nasional ; Menghukum Para Tergugat
untuk SEGERA melaksanakan UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (UU Sistem Jaminan Sosial Nasional)”.394

4.1.3.4 Analisis Putusan Sela dan Putusan Akhir

Berkaitan dengan Putusan Sela Nomor :


278/PDT.G/2010/PN.Jkt.Pst, tanggal 17 Januari 2011, Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memberi putusan bahwa
“Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang memeriksa, mengadili dan
memutus perkara a quo”.

Dari Putusan Sela tersebut, maka nampaklah telah terjadi


perkembangan yang dilakukan oleh Majelis Hakim dibandingkan dengan
putusan-putusan sebelumnya dalam melakukan penemuan hukum
terhadap gugatan warga negara (citizen lawsuit) ini.

Yang menjadi dasar hukum bagi Majelis Hakim dalam


menginterpretasikan gugatan warga negara (citizen lawsuit) adalah :
1. Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman disebutkan :"Hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memaharni nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Jo Pasal 10 ayat (1)
menyatakan Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya”.
2. Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menguraikan bahwa “Pengadilan dilarang menolak untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan

394
Ibid., hal. 243-245.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


198

dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
3. Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, mengatur bahwa “Setiap orang. tanpa diskiriminasi, berhak
untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan.
pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata,
maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang
bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang
menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil
untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”.

Kemudian Majelis Hakim menyatakan bahwa oleh karena


penerapan prosedur gugatan "Hak gugat warga negara (citizen lawsuit
atau actio popularis)" di Indonesia belum diatur dalarn Hukum Acara
yang bersifat permanen, maka sepanjang relevan Majelis hakim dalam
memeriksa dan mengadili gugatan a quo akan menggunakan hukum
acara yang berlaku adalah HIR dan peraturan lain yang berlaku
sepanjang relevan dengan perkara ini yaitu PERMA No. 01 Tahun 2008
tentang Mediasi, PERMA No. 01 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok, pendapat para ahli dan praktek peradilan di
negara lain yang telah lama menerapkan gugatan Citizen lawsuit untuk
dijadikan sebagai sumber hukum acara dan sebagai perbandingan”.

Selanjutnya Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa “jika


benar halnya demikian, maka diajukannya gugatan oleh para Penggugat
dalam perkara citizen lawsuit ini menurut Majelis kiranya dapat
berfungsi sebagai "kontrol sosial formal" kepada para Tergugat
(pemerintah) khususnya menyangkut fungsi legislasi (legislatif dan
eksekutif), yang merupakan salah satu bentuk kepedulian atau partisipasi
masyarakat (community participation) sebagai salah satu unsur good
governance, untuk melakanakan fungsi legislasinya secara optimal,
sebagai bagian panting dari reformasi birokrasi”.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


199

Majelis Hakim kemudian juga memberikan karakteristik


citizen lawsuit antara lain :395
Pertama, citizen lawsuit merupakan akses orang perorangan atau
warga negara untuk mengajukan gugatan di pengadilan untuk dan
atas nama kepentingan keseluruhan warga negara atau kepentingan
publik.
Kedua, citizen lawsuit dimaksudkan untuk melindungi warga negara
dari kemungkinan terjadinya kerugian sebagai akibat dari tindakan
atau pembiaran dari negara atau otoritas negara.
Ketiga, citizen lawsuit memberikan kekuatan kepada warga negara
untuk menggugat negara dan institusi pemerintah yang melakukan
pelanggaran undang-undang atau yang melakukan kegagalan dalam
memenuhi kewajibannya dalam pelaksanaan (implementasi) undang-
undang.
Keempat, orang perorangan warga negara yang menjadi penggugat
dalam citizen lawsuit, tidak perlu membuktikan adanya kerugian
langsung yang bersifat riil atau tangible.
Kelima, secara umum, peradilan cenderung enggan untuk
mengabulkan tuntutan ganti kerugian jika diajukan citizen lawsuit.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, Peneliti berpendapat bahwa


Majelis hakim dengan berdasarkan pengertian atas gugatan warga negara
(citizen lawsuit), yang secara tegas diuraikan dalam pertimbangan hukum
Putusan Sela, telah melakukan interpretasi komparatif yaitu dengan
membandingkan konsep gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang
berasal dari sistem common law

Selanjutnya dalam Putusan Akhirnya, Peneliti berpendapat


bahwa Majelis Hakim telah melakukan interpretasi ekstensif yaitu
dengan konsep gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang berasal dari
sistem common law telah memperluas konsep hak gugat konvensional
yang diatur dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia, yang semula

395
Putusan Sela Nomor : 278/PDT.G/2010/PN.Jkt.Pst,, op. cit. hal. 142-143.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


200

hanya individu atau badan hukum yang mempunyai kepentingan yang


berhak mengajukan gugatan (point d’interet point d’action), menjadi
setiap warga negara – walaupun tidak mempunyai kepentingan – berhak
mengajukan gugatan mengatasnamakan kepentingan umum (public
interest).

Kemudian Majelis Hakim menyatakan bahwa Para Tergugat


telah melakukan perbuatan melawan hukum, atau dalam konteks citizen
lawsuit terminologinya adalah bahwa Para Tergugat telah !alai atau
telah melakukan pembiaran (omisi) karena tidak melaksanakan UU
Nomor 40/2004 sehingga petitum gugatan angka (2 ) dapat dikabulkan
untuk sebagian.

Berkaitan dengan pendapat Majelis Hakim tersebut, Peneliti


berpendapat bahwa sebagaimana diuraikan sebelumnya, gugatan warga
negara (citizen lawsuit) dimaksudkan untuk melindungi warga negara
dari kemungkinan terjadinya kerugian sebagai akibat dari tindakan atau
pembiaran (omisi) dari negara atau otoritas negara.

Dengan adanya arrest Hoge Raad 31 Januari 1919 rumusan pasal


1366 KUH Perdata dalam hal ini kelalaian tidak lagi perlu dipersoalkan,
karena sudah termasuk ke dalam perumusan pengertian perbuatan
melawan hukum. Selanjutnya Assers berpendapat bahwa kedua hal
tersebut tidak perlu dipersoalkan, karena tidak akan ada yang
menyangkal bahwa baik berbuat maupun tidak berbuat dapat merupakan
perbuatan melawan hukum.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut Peneliti berpendapat


Majelis Hakim cukup menyatakan para tergugat telah memenuhi unsur
perbuatan melawan hukum tanpa harus menyebutkan “dalam konteks
kelalaian”, sehingga tidak perlu lagi menguraikan Pasal 1366 KUH
Perdata.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


201

Selanjutnya berkaitan dengan Putusan Akhir, Majelis Hakim juga


menyatakan karena para tergugat telah lalai tidak melaksanakan amanat
UU Nomor 40/2004 khususnya tidak segera mengesahkan dan
mengundangkan UU BPJS, maka para tergugat khususnya Tergugat I
dan II harus dihukum untuk segera memberikan persetujuan bersama dan
mengundangkan UU tentang BPJS sesuai dengan perintah pasal 5 ayat
(1) UU No 40/2004, menerbitkan Peraturan pelaksana sebagaimana
diperintahkan oleh UU Nomor 40/2004, dan melakukan penyesuaian
terhadap ketentuan yang mengatur keempat BPJS sebagaimana
diperintahkan dalam pasal 52 ayat (2) UU nomor 40/2004.396

Bahwa oleh karena gugatan penggugat diajukan dengan metode


citizen lawsuit, maka petitum dalam gugatan citizen lawsuit hanya berisi
agar Negara mengeluarkan suatu kebijakan umum yang bersifat
mengatur (regeling) dan bukan menuntut untuk melakukan suatu
perbuatan lain.397

Kebijakan yang bersifat mengatur (regeling) menurut Majelis


Hakim adalah :

- Menghukum Para Tergugat untuk SEGERA melaksanakan UU No.


40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU Sistem
Jaminan Sosial Nasional), dengan langkah-langkah konkret berikut:
- Mengundangkan UU tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial, sesuai perintah pasal 5 ayat (1) UU No. 40 tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional ;
- Membentuk Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden
sebagaimana diperintahkan oleh UU No. 40 tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional ;
- Melakukan penyesuaian terhadap "KETENTUAN" keempat
badan penyelenggara jaminan sosial, yaitu PT Jamsostek, PT

396
Putusan Akhir Nomor : 278/PDT.G/2010/PN.Jkt.Pst,, op. cit. hal. 241.
397
Ibid., hal. 242.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


202

Askes, PT Asabri, dan PT Taspen dengan UU Nomor 40/2004


tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Dari uraian dalam amar putusan akhir ini jika dihubungkan


dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim, yang menjadi pertanyaan
apakah amar putusan tersebut dapat dikatakan sebagai suatu kebijakan
umum yang bersifat mengatur (regeling).

Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa “Disebut “beleids”,


“policy”, atau kebijakan, karena secara formal tidak dapat disebut atau
memang buka berbentuk peraturan yang resmi. Umpamanya, surat
edaran dari seorang menteri atau seorang Direktur Jenderal yang
ditujukan kepada seluruh jajaran pegawai negeri sipil yang berada dalam
lingkup tanggung jawabnya, dapat dituangkan dalam bentuk surat biasa,
buka berbentuk peraturan resmi, seperti Peraturan Menteri. Akan tetapi,
isinya bersifat mengatur (regeling) dan memberi petunjuk dalam rangka
pelaksanaan tugas-tugas kepegawaian. Surat edaran semacam inilah
yang biasa dinamakan “policy rule” atau “beleidregels”.398

Oleh para sarjana hukum, istilah “beleidregels” atau “policy rule”


ini biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “peraturan
kebijakan”. Untuk membedakannya dari bentuk peraturan resmi,
sebaiknya kita tidak menyebutnya dengan peraturan kebijakan melainkan
“aturan kebijakan”.399 Aturan-Aturan kebijakan ini memang dapat dibuat
dalam berbagai macam bentuk dokumen tertulis yang bersifat
membimbing, menuntun, memberi arahan kebijakan, dan mengatur suatu
pelaksanaan tugas dan pekerjaan.400

Berdasarkan uraian tersebut, maka Peneliti tidak sependapat


dengan amar putusan yang diartikan sebagai suatu kebijakan yang

398
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, Cetakan kedua,
2011) hal. 273.
399
Ibid.
400
Ibid., hal. 274.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


203

bersifat mengatur (regeling). Tuntutan dalam gugatan warga negara


(citizen lawsuit) dapat berupa :
1. To seek injunctive relief and penalties.401
2. Illuminate regulatory conduct and hence assist in promoting
regulatory behaviour in accordance with the law (Menjelaskan
tindakan yang berkaitan dengan pengaturan dan karena itu membantu
dalam mengembangkan tindakan pengaturan sesuai dengan
402
hukum).
3. Negara dihukum untuk mengeluarkan suatu kebijakan yang bersifat
mengatur (regeling) agar kelalaian tersebut tidak terjadi lagi di
kemudian hari.403
4. Menuntut pemerintah melakukan penegakan hukum yang diwajibkan
kepadanya atau untuk memulihkan kerugian publik yang terjadi. 404

Jika dikaitkan dengan tuntutan dalam gugatan warga negara


(citizen lawsuit) sebagaimana diuraikan di atas, maka Peneliti
berpendapat bahwa dalam pertimbangan putusan Majelis Hakim tidak
menyatakan bahwa dalam gugatan citizen lawsuit hanya berisi agar
Negara mengeluarkan suatu kebijakan umum yang bersifat mengatur
(regeling) dan bukan menuntut untuk melakukan suatu perbuatan lain,
akan tetapi seharusnya menyatakan tuntutan dalam gugatan warga
negara (citizen lawsuit) dapat berupa menghukum pemerintah untuk
melakukan penegakan hukum yang diwajibkan kepadanya, oleh karena
Pemerintah tidak melaksanakan UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional di mana pasal 52 ayat (2) menyatakan bahwa
“Semua Ketentuan yang mengatur mengenai Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan
Undang-Undang ini paling lambat 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang
ini diundangkan”. Sedangkan dalam pasal 5 ayat (1) menentukan bahwa
BPJS harus dibentuk dengan undang-undang.

401
Henry Campbell Black, op. cit., hal. 261.
402
David Mossop, op. cit., hal. 6.
403
Susanti Adi Nugroho, op. cit, hal. 384.
404
Indro Sugianto, op. cit., hal. 35.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


204

Terlepas dari hal tersebut, dari uraian Putusan akhir yang telah
diuraikan di atas, maka sifat kondemnatoir dari suatu putusan tentang
gugatan warga negara (citizen lawsuit) telah berkembang dari putusan-
putusan sebelumnya, yaitu negara dihukum untuk mengeluarkan suatu
kebijakan yang bersifat mengatur (regeling) agar kelalaian tersebut
tidak terjadi lagi di kemudian hari.405

Jadi dari uraian-uraian tersebut di atas, maka penemuan hukum


yang dilakukan oleh Majelis Hakim adalah kesatu berkaitan dengan
standing di mana, setiap warga negara atau setiap orang atas nama
kepentingan warga negara dapat bertindak sebagai penggugat atas nama
kepentingan warga negara RI, tanpa perlu menjelaskan apakah
penggugat mempunyai kepentingan atau tidak dalam mengajukan suatu
tuntutan hak, kedua berkaitan dengan hukuman kepada pihak yang
kalah, ganti kerugian sebagaimana diatur dalam 1365 KUHPerdata
ditafsirkan oleh hakim sebagai Menghukum Para Tergugat untuk
melaksanakan UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (UU Sistem Jaminan Sosial Nasional), dengan langkah-langkah
konkret berikut: Mengundangkan UU tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial, sesuai perintah pasal 5 ayat (1) UU No. 40 tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional ; Membentuk Peraturan
Pemerintah dan Peraturan Presiden sebagaimana diperintahkan oleh UU
No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional ; Melakukan
penyesuaian terhadap "KETENTUAN" keempat badan penyelenggara
jaminan sosial, yaitu PT Jamsostek, PT Askes, PT Asabri, dan PT
Taspen dengan UU Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional, ketiga Majelis Hakim telah menguraikan karakterisitik gugatan
warga negara dengan metode perbandingan dengan negara yang telah
mengatur dan menerapkan gugatan warga negara tersebut.

405
Susanti Adi Nugroho, op. cit, hal. 384.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


205

4.2 Perkembangan Penemuan Hukum Gugatan Warga Negara (Citizen


Lawsuit) berdasarkan Putusan Pengadilan Yang Mengabulkan Gugatan
Warga Negara (Citizen Lawsuit) Sampai Dengan Putusan Akhir

Setelah menguraikan tiga putusan – sebagaimana diuraikan


sebelumnya – maka perkembangan penemuan hukum di Indonesia mengenai
gugatan warga negara (citizen lawsuit) ini secara ringkas sebagaimana
termuat dalam tabel 4.1. :406

Tabel 4.1
Perkembangan penemuan hukum gugatan warga negara (citizen lawsuit)
dalam putusan pengadilan di Indonesia
No. URAIAN PENEMUAN HUKUM
1. SUMBER Putusan Nomor 28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst, tanggal 8
HUKUM Desember 2003 :
Undang-Undang :
- Pasal 14 ayat (1) UU tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman (UU No. 14 tahun 1970 sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 35 tahun 1999 : "Pengadilan tidak
boleh menolak untuk memeriksa, dan mengadili suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada
atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya" ;
- Pasal 27 UU tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman (UU No. 14 tahun 1970 sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 35 tahun 1999 : "Hakim sebagai
penegak hukum Wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat” ;
Doktrin :
Bahwa citizen lawsuit, yakni prosedur pengajuan gugatan yang
melibatkan kepentingan umum (public interest) secara
perwakilan..

406
Sumber dari 3 (tiga) putusan Pengadilan Negeri yang mengabulkan gugatan warga negara
(citizen lawsuit) dan diolah oleh peneliti.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


206

Putusan Nomor : 228/PDT.G/2006/PN.JKT.PST,


tertanggal 21 Mei 2007 :
Undang-Undang :
- Pasal 4 ayat (2) UU No.4 Tahun 2004 tentang kekuasaan
Kehakiman yang berbunyi : “Peradilan dilakukan dengan
sederhana, cepat dan biaya ringan” ;
- Pasal 16 ayat (1) UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman menyatakan bahwa : "Pengadilan tidak boleh
menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada
atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya" ;
- Pasal 28 ayat (1) UU no. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan
Kehakiman menyatakan "Hakim Wajib menggali, mengikuti
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat”.
- pasal 8 UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
menyebutkan bahwa “perlindungan, pemajuan,
perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia terutama
menjadi tanggung jawab Pemerintah”.
Doktrin :
- Gugatan Citizen lawsuit adalah konsep gugatan yang berasal
dari sistem Comon Law yang merupakan gugatan
perwakilan dengan mengatasnamakan kepentingan umum
yang diajukan oleh warga Negara atau sekelompok Warga
Negara. Dalam bentuk gugatan ini warga Negara yang
menunjukan gugatan tidak perlu membuktikan bahwa
dirinya mewakili kepentingan hukum atau sebagai pihak
yang mengalami kerugian secara langsung (rii1) ;
- Bahwa Michael D. Axline, dalam bukunya Environmental
Citizen Suits, menyebutkan : terminology "Citizen Suit"
digunakan sedemikian luasnya. Semua bentuk tindakan
dimana warga Negara mencari perlindungan terhadap hak-
hak publik, termasuk tindakan-tindakan yang menentang
peraturan pemerintah.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


207

Putusan Nomor 278/PDT.G/2010 /PN.JKT.PST, tanggal 13


Juli 2011 :
Undang-Undang :
- Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman disebutkan :"Hakim dan hakim
konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memaharni nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat”.
- Pasal 10 ayat (1) menyatakan “Pengadilan dilarang
menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada
atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya”.
- Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, mengatur bahwa “Setiap orang. tanpa
diskiriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan
mengajukan permohonan. pengaduan, dan gugatan, baik
dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta
diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak
memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin
pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil
untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”.
Putusan Pengadilan :
- Putusan Nomor 28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst, tanggal 8
Desember 2003.
- Putusan Nomor : 228/PDT.G/2006/PN.JKT.PST,
tertanggal 21 Mei 2007.
Doktrin :
Citizen Lawsuit mempunyai ciri-ciri antara lain sebagai
berikut :
1. Citizen Lawsuit merupakan akses orang perorangan atau
warga negara untuk rnengajukan gugatan di pengadilan
untuk dan atas nama kepentingan keseluruhan warga
negara atau kepentingan publik;
2. Citizen Lawsuit dimaksudkan untuk melindungi warga

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


208

Negara dari kemungkinan terjadinya kerugian sebagai


akibat dari tindakan atau pembiaran dari negara atau
otoritas negara;
3. Citizen Lawsuit memberikan kekuatan kepada warga
Negara untuk menggugat negara dan institusi pemerintah
yang melakukan pelanggaran undang-undang atau yang
meiakukan kegagalan dalam memenuhi kewajibannya
dalam pelaksanaan (implementasi) undang-undang;
4. Orang perorangan warga negara yang menjadi Penggugat
dalam Citizen Lawsuit, tidak perlu membuktikan adanya
kerugian langsung yang bersifat riil atau tangible;
5. Secara umum, peradilan cenderung reluctant terhadap
tuntutan ganti kerugian jika diajukan dalam perkara
gugatan Citizen Lawsuit;
2. STANDING Putusan Nomor 28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst, tanggal 8
PENGGUGAT Desember 2003 :
- Bahwa setiap warga negara atas nama kepentingan warga
negara untuk bertindak sebagai Penggugat atas nama
kepentingan warga negara RI yang menjadi buruh migran di
Malaysia dan dideportasi melalui Nunukan, tanpa harus
orang yang mengalami sendiri kerugian secara langsung,
tidak memerlukan surat kuasa khusus dari anggota
masyarakat yang diwakilinya.
Putusan Nomor : 228/PDT.G/2006/PN.JKT.PST,
tertanggal 21 Mei 2007 :
- Bahwa apabila Negara, atau Pemerintah "dianggap" tidak
melaksanakan tanggung jawabnya tersebut setiap warga
Negara berhak untuk mengajukan gugatan atas kelalaian
Negara atau Pemerintah.
Putusan Nomor 278/PDT.G/2010 /PN.JKT.PST, tanggal 13
Juli 2011 :
- Gugatan dapat diajukan oleh warga Negara tanpa melihat
kualitas personal yang bersangkutan, dan jumlahnya tidak
perlu banyak orang.
3. NOTIFIKASI Putusan Nomor 28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst, tanggal 8

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


209

Desember 2003 :
- Tidak mempertimbangkan soal notifikasi.
Putusan Nomor : 228/PDT.G/2006/PN.JKT.PST,
tertanggal 21 Mei 2007 :
- Tidak mempertimbangkan soal notifikasi.
Putusan Nomor 278/PDT.G/2010 /PN.JKT.PST, tanggal 13
Juli 2011 :
- Tidak mempertimbangkan soal notifikasi.
4. AMAR Putusan Nomor 28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst, tanggal 8
PUTUSAN Desember 2003 :
AKHIR - Para Tergugat dinyatakan telah lalai;
- Sifat kondemnatoir dari suatu putusan tentang gugatan
warga negara (citizen lawsuit) adalah negara dihukum
untuk mengeluarkan suatu kebijakan untuk melakukan
suatu perbuatan agar kelalaian tersebut tidak terjadi lagi
di kemudian hari.
- Majelis hakim tidak berwenang menghukum Para Tergugat
untuk segera membentuk Undang-Undang, meratifikasi
konvensi Internasional PBB Tahun 1990.
Putusan Nomor : 228/PDT.G/2006/PN.JKT.PST,
tertanggal 21 Mei 2007 :
- Para Tergugat dinyatakan telah lalai;
- Sifat kondemnatoir dari suatu putusan tentang gugatan
warga negara (citizen lawsuit) adalah negara dihukum
untuk mengeluarkan suatu kebijakan untuk melakukan
suatu perbuatan agar kelalaian tersebut tidak terjadi lagi
di kemudian hari.
Putusan Nomor 278/PDT.G/2010 /PN.JKT.PST, tanggal 13
Juli 2011 :
- Para Tergugat dinyatakan telah lalai;
- Sifat kondemnatoir dari suatu putusan tentang gugatan
warga negara (citizen lawsuit) adalah negara dihukum
untuk mengeluarkan suatu kebijakan umum yang bersifat
mengatur (regeling) dan bukan menuntut untuk melakukan
suatu perbuatan lain, agar kelalaian tersebut tidak terjadi

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


210

lagi di kemudian hari.

4.3 Putusan Pengadilan Selain Ketiga Putusan Pengadilan Yang


Mengabulkan Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit)

4.3.1 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor


533/Pdt.G.IX/1987/PN Jkt.Pst, tanggal 1 Juni 1988 jo. Putusan
Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 158/ Pdt/1989/PT. DKI antara
R.O. Tambunan melawan P.T. Rokok Bentoel, Pemerintah RI cq.
Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta dkk.407

4.3.1.1 Kasus posisi :408

Kasus tersebut bukan sengketa tentang masalah lingkungan.


Dalam gugatan tersebut, penggugatnya adalah R.0 Tambunan,S.H,
dengan demikian penggugat yang maju ke pengadilan adalah manusia
pribadi, bukan badan hukum. yayasan atau Organisasi non Pemerintah
(OrnoP). Tergugatnya adalah P.T Rokok Bentoel, Pemerintah RI,cq
Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pemerintah Republik
Indonesia, cq Menteri Kehakiman. cq Dirjen Hukum dan Perundang-
undangan, cq Dirjen Paten dan Hak Cipta, serta Pengusaha Radio
Prambors.

Penggugat yang maju ke pengadilan dalam surat gugatannya


hanya menyatakan bahwa ia bertindak untuk kepentingan sendiri
sekaligus mengatasnamakan kepentingan orang lain, yakni para orang
tua, remaja dan generasi muda di seluruh Indonesia yang sama-sama
menghisap rokok Bentoel dan sama-sama dirugikan akibat
mengkonsumsi rokok tersebut, tanpa mendapat kuasa dari kelompok
yang ikut diwakili kepentingannya tersebut. Penggugat adalah salah satu
407
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Nomor : 533/Pdt/G/1987/PN Jkt.Pst, tanggal 1 Juni
1988, lihat juga Pengadilan Tinggi Jakarta, Putusan Nomor : 158/ Pdt/1989/PT. DKI, tanggal 26
April 1989 dan E. Sundari, op. cit., hal 113.
408
Ibid., hal. 113-115, lihat juga Gugatan tertanggal 20 Agustus 1987 yang terdaftar di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 22 Agustus 1987 dengan nomor
533/Pdt/G/1987/PN Jkt.Pst, hal. 1-7.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


211

orang tua yang berdomisili di Indonesia serta penghisap rokok Bentoel.


Orang-orang yang diwakilinya adalah para orang tua serta remaja dan
generasi muda yang berdomisili di seluruh Indonesia yang juga sama-
sama menghisap rokok Bentoel.

Pihak yang kepentingannya dirugikan adalah para orang tua,


remaja serta generasi muda di seluruh Indonesia, dengan demikian
jumlah tersebut dapat lebih dari lima puluh juta orang. Fakta hukum
yang dialami baik oleh penggugat yang maju ke pengadilan serta orang-
orang yang diwakilinya adalah bahwa penggugat serta orang-orang yang
diwakilinya sama-sama para penghisap rokok Bentoel yang bertempat
tinggal di seluruh Indonesia dan sama-sama dirugikan akibat tidak
adanya pengawasan oleh instansi pemerintah yang terkait terhadap
kandungan nikotin dalam produksi rokok Bernoel, akibat iklan rokok
Bentoel dan radio Prambors serta akibat menghisap kandungan nikotin
dalam produksi rokok Bentoel tersebut hingga mennyebabkan gangguan
kesehatan penggugat pribadi serta para orang tua, remaja dan generasi
muda di seluruh Indonesia yang diwakilinya. Para tergugat dianggap
telah melakukan perbuatan melawan hukum hingga menyebabkan
kerugian pada penggugat pribadi serta para orang tua serta remaja dan
generasi muda di seluruh Indonesia yang diwakilinya. Tuntutan yang
diajukan oleh penggugat meliputi juga bagi orang-orang yang
diwakilinya yakni mohon agar pemerintah mencabut ijin usaha dari
perusahaan P.T Rokok Bentoel, mohon agar Perusahaan Radio Prambors
yang mengiklankan serta perusahaan P.T Rokok Bentoel yang
memproduksi rokok Bentoel secara tanggung renteng dihukum untuk
membayar ganti kerugian uang guna biaya perawatan kesehatan kepada
penggugat serta para orang tua, remaja dan generasi muda di seluruh
Indonesia.

Penggugat dalam penyusunan surat gugatannya tidak


menyebutkan identitas seluruh pihak yang diwakilinya sate persatu,
melainkan hanya menyebut identitas penggugat sendiri serta menyebut

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


212

kelompok yang diwakilinya yakni para orang tua, remaja dan generasi
muda di seluruh Indonesia. Penggugat dalam prosedur pengajuan
gugatannya terlebih dahulu tidak mengajukan permohonan secara
terpisah untuk berperkara melalui prosedur class action. Terhadap
pengajuan gugatan tersebut pengadilan juga tidak memberikan
penetapan terlebih dahulu tentang diperbolehkan tidaknya berperkara
secara class action, melainkan langsung memeriksa dan memutus
bersama-sama dengan pokok perkaranya. Setelah mengadakan
pemeriksaan, hakim juga tidak memerintahkan penggugat untuk
memberitahukan perihal adanya gugatan tersebut kepada orang-orang
yang diwakilinya gugatan diajukan ke pengadilan, orang-orang yang
diwakili penggugat juga tidak ada yang membuat surat pernyataan
keberatan atau menyetujui terhadap kapasitas penggugat yang
mewakilinya beserta gugatan yang diajukan

4.3.1.2 Pertimbangan hukumnya :409

Hakim dalam putusannya mempertimbangkan bahwa gugatan


penggugat yang mengatasnamakan kepentingan para orang tua, remaja
dan generasi muda di seluruh Indonesia (kepentingan umum atau demi
kepentingan masyarakat atau kepentingan sekelompok masyarakat)
adalah tidak tepat karena tidak didasari dengan adanya surat kuasa.
Selain itu menurut hakim hubungan hukum antara penggugat dengan
orang-orang yang diwakilinya juga tidak jelas. Lebih lanjut oleh hakim,
dikemukakan bahwa gugatan penggugat tersebut mirip dengan prinsip
actio popularis, yakni gugatan yang diajukan oleh seseorang dengan
mengatasnamakan kepentingan umum tanpa ada kuasa dari yang
diwakili. Karena prinsip tersebut belum dikenal di Indonesia, menurut
hakim gugatan penggugat dengan prinsip actio popularis tersebut tidak
dapat diterima.

409
E. Sundari, op. cit., hal 114, lihat juga Putusan nomor 533/Pdt/G/1987/PN Jkt.Pst, op. cit., hal.
56-60.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


213

Atas dasar pertimbangan tersebut hakim dalam amar putusan


mengabulkan eksepsi para tergugat dan menyatakan bahwa gugatan
penggugat tidak dapat diterima. 410 Terhadap amar putusan ini penggugat
mengajukan banding. Hakim Pengadilan Tinggi dalam pertimbangan
hukumnya berpendapat bahwa pertimbangan putusan Pengadilan Negeri
jakarta Pusat telah benar, oleh karena itu putusan tersebut dikuatkan.
Terhadap amar Putusan Pengadilan Tinggi DKI tersebut para pihak tidak
mengajukan upaya kasasi.411

4.3.2 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor


251/Pdt/G.IX/1988/PN Jkt.Pst, tanggal 2 Agustus 1988 antara
Mochtar Pakpahan melawan Gubernur Daerah Khusus Ibukota
(DKI) Jakarta, serta Kepala Dinas/ Kantor Wilayah Kesehatan
Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta.412

4.3.2.1 Kasus posisi :413

Kasus tersebut bukan sengketa tentang lingkungan. Penggugat


dalam kasus ini adalah Mochtar Pakpahan, dengan demikian penggugat
yang maju ke pengadilan merupakan manusia pribadi bukan badan
hukum atau yayasan. Para tergugatnya adalah Gubemur Daerah Khusus
Ibukota (DKI) Jakarta, serta Kepala Dinas/Kantor Wilayah Kesehatan
Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Penggugat dalam surat gugatannya hanya mendalilkan bahwa ia


bertindak untuk kepentingannya sendiri sekaligus kepentingan orang
lain, yakni para warga di wilayah DKI Jakarta lairuiya yang sama-sama

410
Putusan nomor : 533/Pdt/G/1987/PN Jkt.Pst, op. cit., hal. 60-61, lihat juga E. Sundari, op. cit.,
hal 114.
411
Pengadilan Tinggi Jakarta, Putusan Nomor : 158/ Pdt/1989/PT. DKI, op. cit., hal. 3-4, lihat juga
E. Sundari, op. cit., hal 114-115.
412
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Nomor : 251/Pdt/G.IX/1988/PN Jkt.Pst, tanggal 2
Agustus 1988, yang termuat dalam
http://www.hukumonline.com/pusatdata/download/fl41786/parent/23496, lihat juga E. Sundari,
op. cit., hal 115.
413
Ibid., hal. 115-116, lihat juga Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Nomor :
251/Pdt/G.IX/1988/PN Jkt.Pst, yang termuat dalam
http://www.hukumonline.com/pusatdata/download/fl41786/parent/23496, op. cit., hal. 157-171

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


214

menderita demam berdarah, namun ia tidak mendapat kuasa dari orang-


orang yang diwakilinya untuk mengajukan gugatan atas nama mereka..

Pihak yang dirugikan kepentingannya oleh para tergugat adalah


para warga di wilayah DKI Jakarta yang menderita sakit demam
berdarah pada saat berjangkitnya penyakit tersebut di wilayah DKI
Jakarta pada tahun 1988. Jumlah mereka cukup banyak, karena mereka
hampir memenuhi tiap rumah sakit di DKI Jakarta, yakni Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo, Rumah Sakit Cikini, Rumah Sakit St.Carolus,
Rumah Sakit Universitas Kristen Indonesia, Rumah Sakit Harapan Kita,
Rumah Sakit Sumber Waras, serta Rumah Sakit Fatmawati. Fakta dan
permasalahan hukum yang dialami oleh penggugat dan orang-orang
yang diwakilinya adalah bahwa mereka sama-sama warga DKI yang
menderita demam berdarah pada saat berjangkitnya penyakit tersebut di
wilayah DKI pada tahun 1988 dan harus dirawat di rumah sakit, bahkan
tidak sedikit yang meninggal dunia karenanya.

Perbuatan para tergugat tersebut oleh penggugat dianggap


sebagai perbuatan melawan hukum hingga menyebabkan kerugian
kepada penggugat dan orang-orang yang diwakilinya. Ada dua tuntutan
yang diajukan oleh penggugat, yakni tuntutan agar pemerintah DKI
Jakarta segera melalaikan tindakan penyemprotan dan tuntuan agar para
tergugat dihukum untuk membayar ganti kerugian, namun hanya terbatas
pada ganti kerugian atas biaya perawatan yang telah dikeluarkan oleh
penggugat pribadi beserta anak dan saudaranya saja, tidak sekaligus bagi
orang-orang diwakilinya.

Di dalam surat gugatannya penggugat tidak menyebutkan


identitas para pihak yang diwakilinya satu persatu, melainkan hanya
menyebutkan identitas dirinya serta menyebutkan kelompok yang
diwakili kepentingannya, yakni para warga DKI Jakarta yang sama-sama
menderita demam berdarah pada saat berjangkitnya penyakit tersebut di
DKI Jakarta pada tahun 1988. Penggugat dalam prosedur pengajuan

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


215

gugatannya terlebih dahulu tidak mengajukan permohonan secara


terpisah untuk dapat berperkara secara class action. Terhadap pengajuan
gugatan tersebut hakim juga tidak mengeluarkan penetapan terlebih
dahulu tentang dikabulkan tidaknya gugatan tersebut diajukan secara
class action, melainkan memeriksa dan memutus bersama-sama dengan
pokok perkaranya. Setelah dilakukan pemeriksaan, hakim juga tidak
memerintahkan kepada penggugat untuk memberitahukan perihal adanya
gugatan tersebut kepada para pihak yang diwakilinya. Para pihak yang
diwakili kepentingannya juga tidak membuat pernyataan untuk
mengajukan keberatan atau persetujuan terhadap kapasitas penggugat
yang mewakili kepentingan mereka serta terhadap diajukannya gugatan
tersebut.

4.3.2.2 Pertimbangan hukumnya :414

Hakim dalam putusannya mempertimbangkan bahwa gugatan


tersebut merupakan suatu perkara yang termasuk kategori “perbuatan
melawan hukum oleh penguasa” (onrechtmatige overheids daad) yang
berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung memang merupakan
perkara yang termasuk dalam wewenang Peradilan Umum (perdata).

Kemudian Majelis Hakim berpendapat bahwa gugatan yang


diajukan oleh penggugat adalah gugatan dengan prinsip actio popularis.
Menurut hakim, sekalipun atas dasar gugatan dengan prinsip actio
popularis setiap orang dapat bertindak sebagai penggugat dengan
mengatasnamakan kepentingan umum atau masyarakat, akan tetapi
terbukanya prinsip actio popularis tersebut harus tertuang di dalam
perundang-undangan tentang masalah yang bersangkutan.

Majelis hakim berpendapat bahwa sekalipun gugatan penggugat


tidak dapat begitu saja mengatasnamakan kepentingan umum /

414
Ibid., hal. 116, lihat juga Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Nomor :
251/Pdt/G.IX/1988/PN Jkt.Pst, yang termuat dalam
http://www.hukumonline.com/pusatdata/download/fl41786/parent/23496, op. cit., hal. 157-182.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


216

masyarakat (actio popularis), tidak seluruhnya harus dinyatakan tidak


dapat diterima, namun Hakim menafsirkan gugatannya harus diartikan
dan dianggap sebagai diajukan sepanjang petitum yang menyangkut atas
nama dirinya sendiri saja, dengan mengesampingkan kualitasnya yang
berpretensi sebagai kuasa dari masyarakat.

Berdasarkan pertimbangan tersebut hakim menyatakan bahwa


gugatan penggugat yang dimaksudkan mengatasnamakan kepentingan
para warga lainnya yang juga sama-sama menderita demam berdarah
(kepentingan umum) tidak dapat diterima, akan tetapi Hakim mengakui
kapasitas penggugat hanya sebagai pribadi bukan sebagai penggugat
yang mengatasnamakan kepentingan umum.

Terhadap gugatan penggugat dalam kapasitasnya sebagai pribadi,


hakim mempertimbangkan bahwa tidak ada bukti yang dapat
mendukung, adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian yang
dialami penggugat dengan perbuatan yang dilakukan oleh para tergugat.
Jumlah kerugian yang dialami Penggugat secara pribadi juga tidak dapat
dibuktikan dari mana asalnya, sehingga dalam amar putusannya hakim
menyatakan bahwa menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya.415
Atas bunyi amar putusan tersebut para pihak tidak mengajukan upaya
hukum.416

4.3.3 Putusan Sela Perkara Nomor 145/Pdt.G/2009/PN.JKT.PST. tanggal


03 Juni 2009, antara Standarkiaa dkk melawan Negara Republik
Indonesia cq. Komisi Pemilihan Umum dan Negara Republik
Indonesia cq. Presiden Republik Indonesia.417

4.3.3.1 Kasus posisi :418

415
Ibid., hal. 182.
416
Ibid., hal. 116.
417
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Sela Nomor : 145/Pdt.G/2009/PN.JKT.PST. tanggal
03 Juni 2009.
418
Ibid., hal. 4-19.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


217

Kasus ini berkaitan dengan warga negara yang tidak dapat


menikmati hak memilih dalam Pemilihan Umum legislatif 9 April 2009.
Penggugat adalah Standarkiaa dan kawan-kawan (sebanyak 10 orang)
yang diwakili oleh Patra M. Zen dkk yang memilih domisili hukum di
Kantor Yayasan LBH Jakarta.

Para Penggugat merupakan warga negara yang sama halnya


dengan jutaan warga negara yang tidak dapat mengikuti Pemilihan
Umum pada tanggal 9 April 2009, berhak mendapatkan jaminan dan
perlindungan hukum serta memiliki kedudukan yang sama di depan
hukum sebagaimana dilindungi oleh Undang-Undang Dasar tahun 1945.
Akan tetapi, jutaan warga negara tersebut tidak disebutkan oleh para
penggugat.

Para penggugat mengajukan gugatan kepada Negara Republik


Indonesia cq. Komisi Pemilihan Umum dan Negara Republik Indonesia
cq. Presiden Republik Indonesia.

Para Penggugat sebagai warga negara mempunyai hak untuk


melakukan segala upaya hukum untuk memperjuangkan dan membela
hak asasi, termasuk hak untuk memilih dalam Pemilu, sebagai
dinyatakan dalam UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 17,
yaitu: "Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh
keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan dan gugatan baik
dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui
proses peradilan yang bebas dan tidak memihak sesuai dengan hukum
acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh Hakim yang jujur
dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”.

Sebelum gugatan ini diajukan, para penggugat telah meminta


secara terbuka dan melalui surat kepada para tergugat untuk
menyelenggarakan Pemilu susulan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari
kerja terhitung sejak 14 April 2009.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


218

Para penggugat mengajukan gugatan warga negara dengan dasar


hukum berupa adanya beberapa putusan pengadilan negeri yang telah
mengakui mekanisme gugatan warga negara (citizen lawsuit).

Para penggugat mendalilkan bahwa para tergugat telah


melakukan perbuatan melawan hukum sebagai berikut :

a. Adanya perbuatan melawan hukum, dengan tidak menyelenggarakan


Pemilu susulan, jelas para tergugat menutup mata atas terjadinya
pelanggaran hak asasi manusia. para tergugat juga jelas tidak
mengindahkan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang
mewajibkan para tergugat memenuhi hak setiap warga negara untuk
memilih dalam Pemilu.
b. Adanya kerugian yang ditimbulkan di mana jutaan warga negara
yang mempunyai hak untuk memilih, tidak dapat menikmati haknya
sebagai warga negara, yaitu ikut serta dalam Pemilu untuk memilih
para anggota DPR, DPD, dan DPRD.
c. Adanya kesalahan para tergugat yang tidak melaksanakan atau tidak
menyelenggarakan Pemilu susulan, telah mengakibatkan hilangnya
hak suara jutaan warga negara karena tidak dapat menjalankan
haknya sebagai warga negara sebagaimana dijamin dalam konstitusi
maupun aturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Adanya hubungan kausalitas (sebab-akibat) kerugian dan
pelanggaran hak tersebut, merupakan akibat dari tidak
dilaksanakannya Pemilu susulan yang menjadi kewajiban, tanggung
jawab, serta kewenangan KPU dan Pemerintah.

Tuntutan para penggugat adalah dalam Provisi : Menunda


Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sebelum adanya
keputusan yang berkekuatan hukum tetap atas gugatan ini. Sedangkan
dalam pokok perkara, Primair : menerima dan mengabulkan gugatan
para penggugat untuk seluruhnya, menyatakan bahwa para tergugat telah
melakukan perbuatan melawan hukum, memerintahkan para tergugat

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


219

meminta maaf kepada para penggugat melalui 12 (dua belas) media


cetak, memerintahkan para tergugat untuk melaksanakan Pemilu
susulan.

Terhadap gugatan para penggugat tersebut para tergugat tidak


menyampaikan jawabannya, sehingga secara hukum majelis hakim
berpendapat bahwa para tergugat tidak akan menggunakan haknya, maka
perneriksaan dilanjutkan dengan putusan sela untuk menilai apakah
gugatan para penggugat telah memenuhi bentuk formil akan sahnya
gugatan citizen lawsuit.

4.3.3.2 Pertimbangan Hukumnya :419

Dalam pertimbangan hukum putusannya, Majelis Hakim


berpendapat bahwa dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku di
Indonesia belum mengatur tentang prosedur gugatan citizen lawsuit,
demikian pula tidak satupun undang-undang di Indonesia yang
mengaturnya, namun demikian praktik peradilan dengan alasan Pasal 16
ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 Undang-undang
Tentang Kekuasaan Kehakiman "Hakim tidak boleh menolak perkara
dan hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat"
dimana ketentuan ini mengamanatkan bahwa hakim harus terus menerus
mempelajari dan mengakui perkembangan hukum yang ada di tengah
rnasyarakat sebagai sumber hukum dalam pengambilan keputusan atas
perkara konkret yang sedang ditanganinya, dalam konteks yang
demikian hakim harus menemukan hukumnya", maka dengan alasan
tersebut praktek peradilan di Indonesia telah dikenal dan diakui adanya
gugatan citizen lawsuit.

Kemudian Majelis Hakim menyatakan bahwa untuk


implementasi prosedur hukum acara perdata citizen lawsuit, majelis
hakim akan melakukan pendekatan perbandingan hukum yakni

419
Ibid., hal. 20-30..

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


220

melakukan serangkaian pentahapan pengkajian yang meliputi :


mempelajari bagaimana sistem hukum negara lain yang telah
memberikan pengaturan tentang citizen lawsuit, mengkaji tentang
hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia yang bcrkaitan dengan
citizen lawsuit rnenjajarkan kedua sistem hukum dengan
menitikberatkan pada : struktur hukum, termasuk lembaga hukum;
substansi hukum, meliputi norma kaidah dan perilaku; budaya hukum
meliputi perangkat nilai yang dianut.

Kemudian majelis hakim menguraikan teori dan konsep citizen


lawsuit di negara yang telah menganutnya yaitu di Amerika Serikat,
selanjutnya akan mempertimbangkan apakah gugatan Para Penggugat
telah memenuhi syarat formil tentang sahnya bentuk gugatan citizen
lawsuit sebagai berikut : apakah para penggugat berhak atau mempunyai
hak gugat "standing" untuk mengajukan gugatan a quo; apakah bentuk
surat gugatan para penggugat telah memenuhi notifikasi sebagai syarat
prosedural citizen lawsuit, a. notifikasi (pemberitahuan) dalam citizen
lawsuit, b. bentuk dan isi pemberitahuan, c. waktu pemberitahuan.

Berdasarkan doktrin citizen lawsuit, majelis hakim berpendapat


setiap warga negara atas nama kepentingan umum (on behalf on the
public interest) dapat menggugat negara atau pemerintah atau siapa saja
yang melakukan perbuatan melawan hukum yang nyata-nyata merugikan
kepentingan publik dan kesejahteraan luas (pro bono publico), hal ini
sesuai dengan hak asasi manusia mengenai "acces to justice" yaitu akses
untuk mendapatkan keadilan apabila negara diam atau tidak melakukan
tindakan apapun untuk kepentingan warga negaranya. Dalam instrument
citizen lawsuit atau actio popularis, hak mengajukan gugatan bagi warga
negara atas nama kepentingan publik adalah tidak harus orang yang
mengalami sendiri kerugian secara langsung, dan juga tidak memerlukan
surat kuasa khusus dari anggota masyarakat yang diwakilinya.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


221

Selanjutnya majelis hakim berpendapat baik dalam gugatan class


action maupun gugatan citizen lawsuit, pemberitahuan (notice) sifatnya
adalah imperatif yaitu harus dilakukan oleh Para Penggugat, dan dalam
gugatan citizen lawsuit pemberitahuan kepada tergugat atau calon
tergugat dilakukan sebelum gugatan diajukan, lain halnya dengan
gugatan class action notifikasi dilakukan oleh wakil kelas kepada
anggota kelas untuk menyatakan setuju atau menolak sebagai anggota
kelas melalui mekanisme "opt-in" atau "opt-out”.

Selanjutnya dalam dalil gugatannya menyatakan sebelum


gugatan ini diajukan, para penggugat telah meminta secara terbuka dan
melalui surat kepada para tergugat untuk menyelenggarakan Pemilu
susulan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal
14 April 2009, tapi tidak direspon oleh para tergugat sehingga
mengakibatkan jutaan prang yang telah kehilangan hak untuk memiiih
dalam Pemilu legislatif 9 April 2009, sehingga syarat notifikasi sebagai
prosedur formil gugatan citizen lawsuit telah terpenuhi.

Kemudian majelis hakim menyatakan bahwa pemberitahuan


(notice) tersebut berupa suatu "mini statement" (pernyataan singkat)
tentang kasus dan dibuat sesuai dengan syarat-syarat notifikasi yang
telah diatur dalam peraturan perundang-undangan atau peraturan lain
yang mengatur tentang notifikasi ini. Notifikisasi harus
mengindentifikasi pelanggaran dan tuntutan spesifik yang kemudian
menjadi dasar pengajuan gugatan, disusun oleh penggugat untuk
diberikan kepada peianggar dan instansi yang bertanggung jawab
menerapkan peraturan perundang-undangan yang membari hak citizen
lawsuit.

Majelis hakim selanjutnya berpendapat bahwa Para Penggugat


telah mengirimkan pemberitahuan (notice) dan memberikan waktu
selama 7 (tujuh) hari kerja untuk memenuhi tuntutan Para Penggugat
terhitung sejak tanggal 14 April 2009. Majelis Hakim berpendapat

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


222

bahwa waktu 7 (tujuh) hari kerja yang diberikan oleh Para Penggugat
merupakan waktu yang tidak wajar, karena para tergugat tidak mungkin
dapat merespon atau melakukan Pemilu susulan dalam waktu 7 (tujuh)
hari kerja, sehingga syarat waktu pemberitahuan ini tidak terpenuhi.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Majelis Hakim menyatakan


dalam amar putusannya bahwa gugatan para penggugat prematur karena
tidak memenuhi syarat “jangka waktu pemberitahuan (notice) untuk
pengajuan gugatan citizen lawsuit dan secara hukum menyatakan bahwa
gugatan para penggugat dinyatakan tidak dapat diterima.

Atas putusan tersebut pihak penggugat mengajukan upaya hukum


kasasi, dan berdasarkan putusan kasasi nomor 2801 K/Pdt/2009, tanggal
8 Juni 2010, Permohonan Kasasi Para Pemohon tidak dapat diterima,
dengan pertimbangan hukum bahwa karena Pemohon Kasasi
mengajukan kasasi terhadap putusan pengadilan negeri pada hal
seharusnya yang bersangkutan harus lebih dahulu mengajukan upaya
hukum banding.420

4.3.4 Putusan Sela Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor


476/PDT.G/2009 /PN.JKT.PST, tanggal 12 Mei 2010, dan Putusan
Akhir Nomor 476/PDT.G/2009 /PN.JKT.PST, tanggal 19 Agustus
2010, antara David M.L. Tobing, SH., MKn, dkk melawan Negara
Republik Indonesia cq. Presiden Republik Indonesia dkk.421

4.3.4.1 Kasus posisi :422

Kasus ini berkaitan dengan pemadaman listrik bergilir di


beberapa wilayah Indonesia termasuk Jakarta yang dilakukan oleh
Perusahaan Listrik Negara (PLN), sebagai akibat terbakarnya gardu

420
Mahkamah Agung, putusan kasasi nomor 2801 K/Pdt/2009, tanggal 8 Juni 2010, hal. 1-23.
421
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Sela Nomor : 476/PDT.G/2009 /PN.JKT.PST,
tanggal 12 Mei 2010, dan Putusan Akhir Nomor : 476/PDT.G/2009 /PN.JKT.PST, tanggal 19
Agustus 2010.
422
Putusan Sela Nomor : 476/PDT.G/2009 /PN.JKT.PST, op. cit., hal. 4-19 dan Putusan Akhir
Nomor : 476/PDT.G/2009 /PN.JKT.PST, op. cit., hal. 2-80.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


223

induk tegangan ekstra tinggi Cawang (Gardu Cawang) milik PLN karena
terjadi kerusakan pada salah satu trafo pada Gardu Cawang tersebut.

Para penggugat adalah David M.L. Tobing dan Agus Soetopo


(para advokat) yang mendalilkan gugatannya dengan mekanisme
gugatan warga negara (citizen lawsuit) atau actio popularis. Di mana
gugatan warga negara (citizen lawsuit) telah menjadi yurisprudensi
dalam peradilan di Indonesia yaitu Putusan Pengadilan tentang Ujian
Nasional.

Para penggugat adalah korban langsung akibat tidak dipenuhinya


hak-hak konsumen ketenagalistrikan sebagaimana masyarakat konsumen
lainnya di seluruh wilayah Indonesia.

Dalil gugatan para penggugat yaitu bahwa para tergugat telah


melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal
1365 KUHPerdata.

Perbuatan para tergugat adalah tergugat III (PLN) telah


melakukan pemadaman bergilir, tidak melakukan kewajiban hukumnya
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketenagalistrikan,
seharusnya juga tergugat III mempunyai cadangan listrik agar dapat
memenuhi penyediaan listrik bagi masyarakat secara terus menerus,
sedangkan tergugat I (Presiden) dan Tergugat II (Menteri Sumber Daya
Mineral Republik Indonesia) melanggar asas kepatutan yaitu tidak
mengambil inisiatif dalam mengambil kompensasi atas kerugian yang
diterima konsumen ketenagalistrikan.

Akibat dari perbuatan para tergugat tersebut, para penggugat


menderita kerugian baik materiil maupun immateriil, akan tetapi para
penggugat mendalilkan bahwa kerugian yang diderita para penggugat
tidak kurang dari Rp. 1.000,00 (seribu rupiah).

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


224

Berdasarkan dalil-dalil gugatannya tersebut, para penggugat


memohon kepada majelis hakim dengan petitum yaitu menyatakan
mengabulkan gugatan para penggugat untuk seluruhnya, menyatakan
para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum, menghukum
tergugat II membayar ganti rugi sebesar Rp. 1.000,00 (seribu rupiah),
memerintahkan para tergugat untuk membentuk tim atau komisi
pembayaran ganti rugi.

Terhadap gugatan para penggugat tersebut, para tergugat telah


mengajukan jawaban yang di dalam jawaban tersebut, para tergugat juga
mengajukan eksepsi atas gugatan para penggugat tersebut.

Eksepsi para tergugat pada pokoknya adalah berpendapat bahwa


gugatan yang diajukan oleh para penggugat dengan prosedur
(mekanisme) gugatan warga negara (citizen lawsuit) tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Berikutnya para tergugat berpendapat bahwa Pengadilan Negeri


Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili perkara a quo, karena dalil
gugatan para penggugat berkaitan dengan kebijakan, dengan dasar
yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 8383 K/sip/1970, tanggal 3
Maret 1971 pada intinya menyebutkan bahwa perbuatan kebijakan
penguasa tidak termasuk kompetensi pengadilan untuk menilainya.

Dalam pokok perkara, para tergugat menyangkal dalil para


penggugat dan berpendapat bahwa para tergugat tidak melakukan
perbuatan melawan hukum karena kebakaran di gardu cawang tersebut
bukan karena kesalahan atau kelalaian para tergugat.

4.3.4.2 Pertimbangan hukumnya :423

423
Lihat Putusan Sela Nomor : 476/PDT.G/2009 /PN.JKT.PST, op. cit., hal. 66-71, dan Putusan
Akhir Nomor : 476/PDT.G/2009 /PN.JKT.PST, op. cit., hal. 80-91.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


225

Dalam putusan sela, Majelis Hakim berpendapat bahwa jika


mencermati gugatan Para Penggugat maka nampak nyata bahwa
fundamentum petendi dalam gugatan tersebut adalah mengenai
Perbuatan Melawan Hukum yang didalilkan oleh Para Penggugat telah
dilakukan oleh Tergugat I yaitu tidak melaksanakan kewajiban
hukumnya sebagaimana diatur secara tegas dalam Pasal 3 ayat (2)
Undang-Undang No.30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan yaitu
untuk melakukan pengawasan terhadap penyediaan tenaga listrik yang
dilakukan oleh Tergugat III dan tidak sekalipun merumuskan dan
melaksanakan kebijakan mengenai pemberian ganti rugi maupun
kompensasi kepada konsumen ketenagalistrikan yang telah dirugikan
akibat adanya pemadaman listrik yang dilakukan oleh Tergugat III,
sedangkan Perbuatan Melawan Hukum yang didalilkan telah dilakukan
oleh Tergugat II adalah telah menjanjikan untuk melaksanakan SK
Dirjen LPE tersebut sebagai bentuk kompensasi atas kerugian akibat
pemadaman listrik a quo, sebagaimana dikutip dari harian Kompas,
Rabu tanggal 11 November 2009 dan Tergugat III telah pula melakukan
Perbuatan Melawan Hukum yaitu telah tidak melaksanakan
kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b Undang-
undang Ketenagalistrikan, berupa pemadaman listrik, sehingga
penyediaan tenaga listrik bagi konsumen tidak dapat diberikan secara
terus menerus sesuai standar mutu dan keandalan, dan bukan menguji
tentang kebijakan / policy ataupun menuntut hak yang didasarkan pada
Undang-Undang berlindungan konsumen, namun sepenuhnya tentang
Perbuatan Melawan Hukum yang diidalilkan telah dilakukan oleh Para
Tergugat tersebut, meskipun tentang terbukti tidaknya dalil-dalil gugatan
Para Penggugat tersebut masih akan diuji dalam proses pembuktian
pokok perkara.

Selanjutnya Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa oleh


karena gugatan Para Penggugat bukan menggugat mengenai sebuah
kebijakan / policy namun suatu perbuatan (baik aktif maupun pasif) yang
didalilkan telah dilakukan oleh Para Tergugat yang menurut Para

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


226

Penggugat perbuatan tersebut terkualifikasi sebagai Perbuatan Melawan


Hukum, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat menyatakan berwenang untuk memeriksa dan mengadili
perkara a quo, sehingga menyatakan eksepsi kompetensi absolut yang
diajukan Para tergugat tidak dapat diterima dan menyatakan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara
tersebut.

Kemudian dalam pertimbangan putusan akhir, Majelis Hakim


mempertimbangkan bahwa mengenai mekanisme citizen lawsuit
walaupun mekanisme tersebut belum diatur dalam hukum acara perdata
di Indonesia, gugatan ini harus tetap diperiksa karena secara materiil
Undang-Undang memberikan hak kepada setiap warga negara republik
Indonesia untuk mempertahankan haknya melalui gugatan pada forum
pengadilan perdata apabila warga negara yang bersangkutan merasa ada
hak atau kepentingannya yang dilanggar baik oleh orang perorangan
maupun badan hukum.

Majelis hakim selanjutnya mempertimbangkan mengenai eksepsi


selain eksepsi kompetensi absolut yang diajukan oleh para tergugat, dan
berdasarkan pertimbangan majelis hakim, akhirnya menolak eksepsi
yang diajukan oleh para tergugat.

Dalam pertimbangan pokok perkara, Majelis Hakim berpendapat


bahwa peristiwa kebakaran travo pada GIS Cawang baru dapat
dikategorikan sebagai peristiwa overmacht, yaitu peristiwa yang terjadi
di luar kehendak dan di luar kemampuan manusia biasa untuk
mencegahnya. Penggugat juga tidak dapat membuktikan kebakaran
tersebut merupakan kesalahan para tergugat dalam implementasi seluruh
peraturan dan kebijakan yang ada mengenai ketenagalistrikan.

Majelis hakim juga berpendapat bahwa secara riil para tergugat


telah melakukan tindakan-tindakan yang sepatutnya harus ditempuh
sehingga dalam waktu tidak terlalu lama kerusakan dapat diatasi dan

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


227

pasokan tenaga listrik kepada konsumen telah berjalan relative normal


sampai saat ini.

Berdasarkan pasal 1245 KUHPerdata dan telah diikuti dalam


yurisprudensi Mahkamah Agung tidak seorang pun dapat dituntut ganti
rugi dalam peristiwa overmacht, sehingga berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat menolak
gugatan para penggugat untuk seluruhnya, dan menghukum para
penggugat untuk membayar biaya perkara.

4.3.5 Putusan Sela Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor


111/PDT.G/2010 /PN.JKT.PST, tanggal 13 Oktober 2011, antara
Febri Irwansyah dkk, melawan Persatuan Sepakbola Seluruh
Indonesia dkk.424

4.3.5.1 Kasus posisi :425

Kasus ini berkaitan dengan tidak dilakukannya kewajiban


menggantikan Ketua Umum PSSI oleh Tergugat I sebagai pimpinan
tertinggi Persatuan sepakbola di Indonesia.

Para penggugat adalah Febri Irwansyah dan Revoldi Koleangan


yang diwakili oleh Muhammad Joni, dkk mengajukan gugatan kepada
Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia dan Menteri Pemuda dan
Olahraga Republik Indonesia.

Para Penggugat tersebut melalui kuasa hukumnya tidak secara


tegas menyatakan bentuk gugatan Para Penggugat tersebut, apakah
dengan cara legal standing, class action atau gugatan warga negara
(citizen lawsuit). Dasar gugatan yang didalilkan oleh para penggugat
adalah orang dan warga masyarakat Indonesia yang memiliki perhatian
serta menggemari olahraga sepakbola yang dikenal luas dan olah raga

424
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Sela Nomor : 111/PDT.G/2010 /PN.JKT.PST,
tanggal 13 Oktober 2011
425
Lihat Putusan Sela Nomor : 111/PDT.G/2010 /PN.JKT.PST, op. cit., hal. 2-37.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


228

yang memiliki penggemar yang terbesar, sebagai wujud dari peran serta
masyarakat atas terselenggaranya pembinaan dan pengembangan
olahraga di Indonesia.

Para Penggugat sebagai bagian dari warga masyarakat yang


merupakan stakeholder sistem keolahragaan nasional, secara normatif
diakui peran sertanya melakukan pengawasan kegiatan keolahragaan
dalam hal ini sepakbola sebagaimana dijamin oleh Undang-undang.

Para penggugat mendalilkan bahwa para tergugat telah


melakukan perbuatan melawan hukum yaitu melanggar kewajiban
sebagaimana diatur dalam Pasal 123 ayat (2) PP No. 16/2007 yang
berbunyi sebagai berikut "Dalam hal ketua umum induk organisasi
cabang olahraga atau induk organisasi olaraga fungsional berhalangan
tetap dan/atau menjalani pidana penjara berdasarkan keputusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuaan hukum tetap, ketua umum
induk organisasi wajib diganti melalui forum tertinggi organisasi sesuai
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga".

Berdasarkan posita (dalil-dalil gugatan), para penggugat


memohon kepada majelis hakim yaitu sebagai berikut :

1. Menerima gugatan PARA. PENGGUGAT untuk seluruhnya;


2. Menyatakan TERGUGAT I melakukan Perbuatan Melawan Hukum
(onrechtmatge daad), karena tidak melaksanakan kewajiban Pasal
123 ayat (2) PP No. 16/2007 dalam Kongres PSSI;
3. Menghukum TERGUGAT I melaksanakan kewajiban Pasal 123 ayat
(2) PP No. 16/2007 dalam Kongres PSSI yang dilaksanakan
TERGUGAT I;
4. Menyatakan TERGUGAT I melakukan Perbuatan Melawan Hukum
(onrechtmatge daad) karena telah mengubah dan atau membuat
berbeda ketentuan Pasal 35 ayat (4) Statuta PSSI yang tidak sesuai
dengan Pasal 123 ayat (2) PP No. 16/2007, Pasal 32 ayat (4) Statuta
FIFA, Pasal 68 (b) AFC Disciplinary Code, dan Pasal 62 ART KOI;

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


229

5. Menghukum TERGUGAT I mencabut dan/atau menyatakan tidak


berlaku ketentuan Pasal 35 ayat (4) Statuta PSSI yang tidak mengacu
kepada Pasal 123 ayat (2) PP No. 16/2007 dan Pasal 32 ayat (4)
Statuta FIFA, Pasal 68 (b) AFC Disciplinary Code, dan Pasal 62
ART KOI;
6. Menyatakan TERGUGAT I melakukan Perbuatan Melawan Hukum,
karena tidak membuka, menjelaskan dan atau memberikan informasi
dan atau surat larangan FIFA kepada TERGUGAT II dan PARA
PENGGUGAT;
7. Memerintahkan TERGUGAT I untuk membuka, menjelaskan dan
atau memberikan informasi dan atau surat larangan FIFA dimaksud
kepada TERGUGAT II dan PARA PENGGUGAT;
8. Menyatakan TERGUGAT II telah melakukan Perbuatan Melawan
Hukum (onrechtmatge daad), karena tidak melaksanakan kewajiban
Pasal 123 ayat (2) PP No. 16/2007 dalam Kongres PSSI;
9. Menghukum TERGUGAT II wajib mengawasi dan mengendalikan
TERGUGAT I untuk melaksanakan kewajiban atas pelaksanaan
Pasal 123 ayat (2) PP No. 16/2007 dalam Kongres PSSI;
10. Menyatakan TERGUGAT II berkewajiban melakukan pembinaan
dan pengawasan pelaksanaan Kongres PSSI yang dilaksanakan
TERGUGAT I sesuai dengan UU No. 3/2005, PP No. 16/2007, dan
peraturan perundangan lainnya serta mengacu kapada Pasal 32 avat
(4) Statua FIFA, Pasal 68 (b) AFC Disciplinary Code, dan Pasal 62
ART KOI;
11. Menghukum TERGUGAT II berkewajiban melakukan pembinaan
dan pengawasan pelaksanaan Kongres PSSI yang dilaksanakan
TERGUGAT I sesuai dengan UU No. 3/2005, PP No. 16/2007, dan
peraturan perundangan lainnya serta mengacu kapada Pasal 32 avat
(4) Statua FIFA, Pasal 68 (b) AFC Disciplinary Code, dan Pasal 62
ART KOI;

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


230

12. Menghukum TERGUGAT I dan Tergugat II secara tanggung renteng


membayar kerugian immaterial sebesar Rp. 10.000.000.000,-
(sepuluh miliar rupiah)

Atas gugatan para penggugat tersebut, para tergugat mengajukan


jawaban yang di dalam berisi eksepsi yang pada intinya menyatakan
pengadilan negeri jakarta pusat tidak berwenang mengadili perkara a
quo. Selanjutnya para tergugat juga pada pokoknya berpendapat, bahwa
para penggugat tidak mempunyai kedudukan hukum (standing) untuk
mengajukan gugatan.

Sedangkan dalam pokok perkara, para tergugat menolak seluruh


dalil gugatan para penggugat. Para tergugat berpendapat bahwa para
tergugat tidak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum
sebagaimana yang didalilkan para penggugat.

4.3.5.2 Pertimbangan hukumnya :426

Dalam pertimbangan hukum putusan sela, Majelis Hakim


sebelum mempertimbangkan mengenai eksepsi kompetensi absolut,
Majelis Hakim akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum
(legal standing) para Penggugat dalam perkara a quo, hal ini berkaitan
erat juga dengan eksepsi Para Tergugat mengenai legal standing Para
Penggugat.

Walaupun dalam Surat Gugatan Para Penggugat a quo memang


tidak secara tegas menyatakan bentuk gugatan Para Penggugat tersebut,
apakah dengan cara legal standing, class action atau gugatan warga
negara, Para Penggugat yang diwakili oleh Kuasa Hukumnya hanya
menyatakan sebagai orang dan warga masyarakat Indonesia yang
memiliki perhatian serta menggemari olahraga sepakbola, Majelis
Hakim berpendapat bahwa apakah Gugatan Para Penggugat termasuk
Gugatan Warga Negara (citizen lawsuit) harus dilihat dalam kaitannya

426
Ibid., hal. 38-48.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


231

satu sama lain antara subyek (pihak berperkara) dengan obyek sengketa
dan dalil hak atau peristiwa hukum yang dikemukakan dalam surat
gugatan a quo.

Dalam praktek peradilan di Indonesia telah dikenal dan diakui


adanya gugatan Citizen Lawsuit, meskipun belum diatur secara jelas
dalam Hukum Acara Perdata dengan alasan Pasal 10 ayat (1) dan Pasal
50 ayat (1) UU RI No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman “
Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya” dan
“Putusan Pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga
memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili”, dengan demikian Hakim selaku pejabat pengadilan tidak
boleh menolak perkara dan hakim sebagai penegak hukum dan keadilan
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup di
dalam masyarakat” dimana ketentuan ini merupakan asas judge made
law, karenanya hakim harus terus menerus mempelajari dan mengakui
perkembangan hukum yang ada di tengah masyarakat sebagai sumber
hukum dalam pengambilan keputusan atas perkara konkrit yang sedang
ditanganinya, dalam konteks yang demikian hakim harus menemukan
hukumnya baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis”.

Berdasarkan konsep gugatan warga negara (citizen lawsuit) di


mana Penggugat untuk mengajukan gugatan citizen lawsuit harus
memiliki standing, sesuai dengan norma “any person” (siapapun) atau
“any citizen” (setiap warga negara) yang ada di dalam peraturan
perundang-undangan yang menetapkan adanya suatu penyebab
dimungkinkannya pengajuan suatu gugatan, majelis hakim berpendapat
para penggugat telah memiliki standing, maka kedua penggugat tersebut
dapat diterima sebagai pihak dalam mengajukan gugatan warga Negara
(citizen lawsuit) terhadap Pemerintah Indonesia.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


232

Selanjutnya Majelis hakim berpendapat dengan mencermati dalil


gugatan Penggugat di atas ini, majelis hakim beropendapat bahwa dalil
tersebut bukan dalil kepentingan umum atau kepentingan warga Negara,
melainkan kepentingan internal PSSI.

Majelis Hakim kemudian mempertimbangkan bahwa obyek


sengketa dan dalil hak atau peristiwa hukum yang didalilkan oleh Para
Penggugat, maka Pihak Tergugat I bukan penyelenggara Negara atau
lembaga pemerintah, dan obyek sengketa serta dalil hak atau peristiwa
hukum, yang didalilkan oleh Para Penggugat tidak termasuk obyek
sengketa dan peristiwa hukum dalam gugatan citizen law suit, karenanya
gugatan para Penggugat ini merupakan suatu gugatan yang kabur,
karenanya harus dinyatakan tidak dapat diterima.

Berikutnya Majelis Hakim berpendapat bahwa berdasarkan


subyek, obyek gugatan atau perselisihan dalam surat gugatan para
Penggugat dan hak atau peristiwa hukum didalilkan oleh para Penggugat
sebagaimana di pertimbangkankan di atas, jelas merupakan subyek
hukum Keperdataan, dan obyek gugatan atau perselisihan adalah
perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang masih
kewenangan Pengadilan Negeri, karenanya substansi gugatan perkara
yang diajukan oleh Penggugat adalah termasuk dalam yurisdiksi
Pengadilan umum/Negeri.

Gugatan para penggugat menurut majelis hakim lampau waktu


(daluwarsa) karena Posita Gugatan Para Penggugat sangat erat kaitannya
dengan Ketua Umum PSSI pada waktu itu Drs. H.A.M. Nurdin Halid,
sejak 4 April 2011 PSSI (Tergugat I) tidak lagi dipimpin oleh Drs.
H.A.M. Nurdin Halid sebagai Ketua Umum.

Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas,


Majelis Hakim berpendapat Eksepsi yang diajukan oleh Tergugat I
tentang Gugatan Para Penggugat sudah Daluwarsa, karena Posita
Gugatan sudah Tidak Sesuai Dengan fakta yang terjadi sekarang ini

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


233

adalah tepat dan beralasan hukum, sehingga sudah selayaknya dan adil
menyatakan Eksepsi tersebut harus diterima dan menyatakan gugatan
tidak dapat diterima.

4.3.6 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor


500/PDT.G/2010/PN.JKT.PST, tanggal 13 Oktober 2011 antara
Prof. Dr. ADLER H. MANURUNG dkk, melawan Negara Republik
Indonesia cq. KEMENTERIAN NEGARA BADAN USAHA MILIK
NEGARA (BUMN) dkk.427

4.3.6.1 Kasus posisi :428

Para penggugat mengajukan gugatan oleh karena Pemerintah


melalui Tergugat I telah mengeluarkan keputusan untuk penjualan
saham Perseroan Terbatas (PT) Krakatau Steel (KS) dengan harga yang
sangat murah.

Para Penggugat adalah Prof. Dr. Adler H. Manurung, dkk


mengajukan gugatan kepada Negara Republik Indonesia cq.
Kementerian Badan Usama Milik Negara (BUMN), PT. Krakatau Steel
(PERSERO) Tbk, Badan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan (BAPEPAM-LK) Departemen Keuangan Republik Indonesia.

Dalil gugatan para penggugat adalah gugatan yang PARA


PENGGUGAT ajukan dalam kasus perkara ini adalah citizen lawsuit,
pada intinya adalah mekanisme bagi Warga Negara untuk menggugat
tanggung jawab Penyelenggara Negara yang melibatkan kepentingan
umum secara perwakilan atas kelalaian yang didalilkan sebagai
Perbuatan Melawan Hukum, sehingga Citizen lawsuit diajukan pada
lingkup peradilan umum dalam hal ini perkara Perdata.

427
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Nomor 500/PDT.G/2010/PN.JKT.PST, tanggal 13
Oktober 2011.
428
Ibid., hal. 2-64.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


234

Dalam gugatan ini hak mengajukan gugat bagi warga negara atas
nama kepentingan umum adalah tanpa syarat, sehinggga orang yang
mengambil inisiatif gugat, tidak harus orang yang mengalami dampak
secara kerugian langsung dan juga tidak memerlukan surat kuasa khusus
dari anggota masyarakat yang diwakilinya.

Para Penggugat mengambil inisiatif mengajukan citizen lawsuit


ini mengatasnamakan kepentingan umum dan demi membela
kepentingan rakyat Indonesia karena sangat prihatin atas keputusan
penjualan saham milik PT Krakatau Steel (Persero) Tbk melalaui
mekanisme penawaran ke masyarakat umum melalui pasar modal (go
public) dengan harga yang sangat murah, padahal PT Krakatau Steel saat
cukup pasti menjadi komoditi andalan ekspor.

Para Penggugat mendalilkan bahwa Pemerintah melalui


TERGUGAT I telah mengeluarkan keputusan untuk melakukan
penjualan saham PT Krakatau steel (Persero) Tbk dengan harga yang
sangat murah yakni Rp. 850,00/lembar saham, dimana nilai perusahaan
sejenis dengan PER rata-rata industri 11-12 kali sebesar Rp. 1100,
terhadap hal ini terjadi adanya Pelanggaran terhadap Undang-Undang
No. 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

Berdasarkan posita (dalil-dalil gugatan), para penggugat


memohon kepada majelis hakim yaitu : Mengabulkan gugatan Para
Penggugat untuk seluruhnya; Menyatakan tergugat I, tergugat II dan
tergugat III telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum atas penjualan
Saham PT Krakatau Steel dengan harga yang sangat Murah, Menyatakan
batal demi hukum penjualan saham milik PT Krakatau Steel (Persero)
Tbk, Menghukum PARA TERGUGAT memulihkan keberadaan dan
kedudukan hukum PT. Krakatau Steel sebagai akibat dari
dilaksanakannya privatisasi, Agar Para tergugat diusut secara hukum,
Menghukum PARA TERGUGAT untuk membayar biaya perkara yang
timbul dalam semua tingkat persidangan, Apabila Majelis berpendapat

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


235

lain, mohon agar dijatuhkan putusan berdasarkan keadilan (ex aequo et


bono).

Terhadap gugatan tersebut para tergugat mengajukan jawaban


yang didalamnya terdapat eksepsi yang pada pokoknya menyatakan
bahwa gugatan dalam bentuk citizen law suit belum diatur dalam
hukuman acara di Indonesia. Gugatan yang diakui di Indonesia
hanyalah Gugatan Perwakilan Kelompok (class action) lewat peraturan
Mahkamah Agung (Perma) No. 1/2002. Gugatan citizen lawsuit hanya
dikenal dalam system hukum common law dan bukannya system hukum
civil law seperti di Indonesia. Selain eksepsi tersebut, para tergugat juga
menyatakan bahwa gugatan yang diajukan oleh para penggugat kurang
para pihak.

Selanjutnya dalam eksepsinya, para tergugat menyatakan bahwa


Para Penggugat secara implisit meminta pembatalan Surat Efektif
BAPEPAM tersebut di atas, yang merupakan suatu Keputusan Tata
Usaha Negara berdasarkan Pasal 1 butir 3 Undang-undang No. 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana terakhir kali
diubah berdasarkan Undang-undang No. 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, sehingga pengadilan negeri Jakarta Pusat tidak
berwenang mengadili perkara a quo.

Sedangkan dalam pokok perkara, para tergugat menolak seluruh


dalil gugatan para penggugat. Para tergugat berpendapat bahwa para
tergugat tidak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum
sebagaimana yang didalilkan para penggugat.

4.3.6.2 Pertimbangan hukumnya :429

Dalam pertimbangan hukum putusan, Majelis Hakim


berpendapat bahwa terhadap gugatan Penggugat tersebut, para Tergugat

429
Ibid., hal. 78-80.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


236

telah mengajukan keberatan atas kedudukan hukum Penggugat (standio


in judicio) selaku pihak Penggugat dalam perkara a quo dan keberatan
tentang kompetensi absolut, dimana keberatan-keberatan tersebut telah
diputuskan dalam putusan sela tertanggal 24 Maret 2011 yang
menetapkan gugatan hak gugat warga Negara (citizen lawsuit) yang
diajukan pada Penggugat adalah sah menurut hukum dan menyatakan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang secara absolute mengadili
perkara a quo.

Selain eksepsi tersebut di atas, para Tergugat juga telah


mengajukan keberatan bahwa gugatan Para Penggugat kekurangan
pihak (plurium litis consortium) yaitu tidak mengikutkan DPR RI,
dimana DPR RI adalah selaku pihak yang memberikan persetujuan atas
izin melakukan penawaran umum Perdana saham Tergugat II
sebagaimana dalam Surat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI No.
PW.01/5972/DPR RI/IX/2009 tanggal 16 September 2009 , juga para
Penggugat tidak mengikutkan PT. Bahana Securitas, PT. Danareksa
Securitas, dan PT. Mandiri Securitas sebagai pihak Tergugat yang
menentukan harga perdana Saham Tergugat II.

Majelis Hakim dalam mempertimbangkan kurang pihak tersebut,


berpendapat bahwa inti pokok gugatan Para Penggugat adalah masalah
Penawaran saham Tergugat II kepada masyarakat umum melalui pasar
modal (go public) dengan harga yang sangat murah tidak wajar hanya
Rp 850/lembar dimana nilai perusahaan sejenis dengan per rata-rata
industri 11 -12 kali sebesar Rp. 1100,-sehingga perbuatan para Tergugat
telah merugikan Negara.

Selanjutnya perihal eksepsi para Tergugat tentang kurangnya


pihak karena tidak mengikutkan pihak DPR RI dan dengan melihat
substansi gugatan para Penggugat tentang masalah Penawaran saham
Tergugat II (PT. Krakatau Steel) kepada masyarakat umum melalui
pasar modal (go public), maka menurut majelis hakim dengan

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


237

memperhatikan ketentuan Pasal 1 PP No. 59 Tahun 2009 tentang


Perubahan terhadap Pasal 12 ayat (7) PP No. 33 Tahun 2005 perihal
persetujuan DPR RI dalam pelaksanaan privatisasi BUMN dan dalam
hal ini telah diperoleh Surat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI No.
PW.01/5972/DPR RI/IX/2009 tanggal 16 September 2009, maka
keberatan para Tergugat yang menyatakan bahwa gugatan para
Penggugat kekurangan pihak adalah beralasan hukum.

Majelis Hakim berdasarkan pertimbangannya menyatakan bahwa


karena kurangnya pihak yang beralasan hukum di atas, maka gugatan
para Penggugat harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijke
verklaard).

4.3.7 Putusan Sela Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor


53/PDT.G/2012/PN.JKT.PST, tanggal 25 Juli 2012, antara
Agustinus Dawarja, dkk melawan Pemerintah Propinsi Daerah
Khusus Ibukota (DKI) Jakarta dkk.430

4.3.7.1 Kasus posisi :431

Gugatan yang diajukan oleh para penggugat tersebut mengenai


kemacetan kota Jakarta dengan menggunakan mekanisme gugatan warga
negara (citizen lawsuit), di mana para penggugat yaitu Agustinus
Dawarja dan Ngurah Anditya Ari Firnanda dan para tergugat adalah
Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta, Negara Republik Indonesia cq.
Presiden Republik Indonesia, dkk.

Para penggugat adalah warga negara Indonesia yang berprofesi


sebagai advokat dan tinggal di Jakarta, yang menggunakan seluruh ruas
jalan di Jakarta sebagai fasilitas umum yang seharusnya berhak atas rasa

430
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Sela Nomor : 53/PDT.G/2012/PN.JKT.PST, tanggal
25 Juli 2012.
431
Ibid., hal. 3-29.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


238

nyaman dengan lancarnya perjalanan saat melalui ruas jalanan di DKI


Jakarta.

Para penggugat mendalilkan bahwa rasa nyaman tersebut tidak


bisa dirasakan karena kemacetan di kota Jakarta dan keadaan macet
tersebut akan semakin parah jika sedang diguyur hujan.

Kemudian Para penggugat mendalilkan bahwa para tergugat


telah melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam
pasal 1365 KUHPerdata dan pasal 1366 KUHPerdata.

Berdasarkan dalil-dalil gugatan tersebut, para penggugat mohon


kepada majelis hakim untuk menerima gugatan para penggugat untuk
seluruhnya, menyatakan gugatan citizen lawsuit para penggugat adalah
sah, menyatakan tergugat I, II dan III serta turut tergugat telah
melakukan perbuatan melawan hukum, menyatakan tergugat I, II dan III
serta turut tergugat telah lalai dalam menjalankan kewajibannya untuk
memenuhi dan melindungi hak asasi penggugat termasuk hak asasi
warga kota Jakarta.

Terhadap gugatan para penggugat tersebut, atas kesempatan yang


diberikan oleh majelis hakim berkaitan dengan syarat formil gugatan
citizen lawsuit, para tergugat telah mengajukan tanggapan terhadap legal
standing para penggugat yang pada pokoknya para penggugat tidak
mempunyai kedudukan hukum (standing) untuk mengajukan gugatan.

Hal tersebut dinyatakan oleh para tergugat didasarkan karena


citizen lawsuit belum diatur dalam hukum positif Indonesia, citizen
lawsuit hanya dikenal di negara yang menganut sistem hukum common
law.

Selanjutnya para tergugat berpendapat bahwa gugatan yang


diajukan oleh para penggugat tidak memenuhi syarat formil gugatan
citizen lawsuit, yaitu posita (dalil) gugatan para penggugat tidak

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


239

menguraikan mengenai unsur kepentingan umum dalam gugatan citizen


lawsuit.

Dalam tanggapannya, para tergugat juga menguraikan bahwa


gugatan para penggugat tidak memenuhi syarat formil gugatan citizen
lawsuit, yaitu tidak adanya notifikasi (pemberitahuan) oleh para
penggugat kepada Para tergugat, sebelum gugatan tersebut diajukan ke
pengadilan.

Berdasarkan dalil-dalil yang diajukan para tergugat dalam


tanggapannya terhadap legal standing para penggugat, para tergugat
mohon kepada majelis hakim untuk menerima tanggapan para tergugat,
menyatakan para penggugat tidak mempunyai hak (standing) untuk
mengajukan gugatan citizen lawsuit, menyatakan gugatan para
penggugat tidak dapat diterima.

4.3.7.2 Pertimbangan hukumnya :432

Dalam pertimbangan hukum putusannya, Majelis Hakim


berpendapat bahwa dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku di
Indonesia belum mengatur tentang prosedur gugatan citizen lawsuit,
demikian pula tidak satupun undang-undang di Indonesia yang
mengaturnya.

Selanjutnya Majelis Hakim menyatakan oleh karena terdapat


kekososngan hukum dalam menangani perkara ini, majelis hakim
melakukan penciptaan hukum, penemuan hukum sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 10 ayat (1) UU RI No. 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya” dan pasal 5 ayat (1) UU RI No. 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman “Hakirn dan Hakim Konstitusi

432
Ibid., hal. 45.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


240

wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup di


dalam masyarakat".

Kemudian Majelis Hakim menyatakan bahwa citizen lawsuit


belum dijumpai pengaturannya dalam sistem hukum Indonesia, majelis
hakim akan rnelakukan pendekatan perbandingan hukum yakni
melakukan serangkaian pentahapan pengkajian yang meliputi :
mempelajari bagaimana sistem hukum negara lain yang telah
memberikan pengaturan tentang citizen lawsuit, mengkaji tentang
hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia yang bcrkaitan dengan
citizen lawsuit menjajarkan kedua sistem hukum dengan menitikberatkan
pada : struktur hukum, termasuk lembaga hukum; substansi hukum,
meliputi norma kaidah dan perilaku; budaya hukum meliputi perangkat
nilai yang dianut.

Selanjutnya majelis hakim menyatakan bahwa standing


seseorang (individu) atau organisasi, dalam citizen lawsuit sebagian
diatur dan ditentukan sesuai dengan rumusan bahasa “any person”
(siapapun) atau “any citizen” (setiap warga negara) yang ada di dalam
peraturan perundang-undangan yang menetapkan adanya suatu penyebab
dimungkinkannya pengajuan suatu gugatan.

Dalam pertimbangan hukum mengenai standing para penggugat,


majelis hakim berpendapat bahwa berdasarkan konsep gugatan warga
negara (citizen lawsuit) di mana Penggugat untuk mengajukan gugatan
citizen lawsuit harus memiliki standing, sesuai dengan norma “any
person” (siapapun) atau “any citizen” (setiap warga negara) yang
mengalami kerugian. Dalam sistem hukum India, kerugian tersebut tidak
perlu dibuktikan adanya kerugian langsung yang bersifat riil dan
tangible. Di Amerika Serikat siapapun yang dirugikan dengan tindakan
lembaga negara dapat mengajukan gugatan.

Majelis hakim berpendapat bahwa para penggugat adalah pihak


yang secara materiil langsung mengalami kerugian kemacetan lalu lintas

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


241

di Jakarta dan secara formil pihak yang hadir di persidangan,


mengajukan gugatan kepada para tergugat, sehingga para penggugat
memiliki standing dalam perkara ini.

Selanjutnya mengenai syarat adanya notifikasi dalam suatu


gugatan warga negara (citizen lawsuit), majelis hakim
mempertimbangkan bahwa keharusan adanya notice dalam gugatan
citizen lawsuit sebagaimana berlaku di negara-negara dengan sitem
hukum common law dapat dikesampingkan dengan alasan hal tersebut
belum diatur dalam hukum positip yang berlaku di Indonesia. Rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat membutuhkan hukum yang
terbuka dan responsif terhadap tuntutan warganya.

Berdasarkan pertimbangan tersebut maka Majelis Hakim


menyatakan dalam amar putusan sela yaitu “menyatakan penggunaan
prosedur gugatan warga negara atau citizen lawsuit yang diajukan oleh
para penggugat tersebut adalah sah”.

4.4. Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Selain Ketiga Putusan


Pengadilan Yang Mengabulkan Gugatan Warga Negara (Citizen
Lawsuit)

Dari ketujuh putusan-putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat


tentang gugatan warga negara (citizen lawsuit) tersebut di atas, maka
terdapat berbagai penafsiran tentang syarat formal gugatan warga negara
(citizen lawsuit) yang secara ringkas sebagaimana termuat dalam tabel 4.2 di
bawah ini.433

Tabel 4.2
Perkembangan putusan pengadilan selain ketiga putusan pengadilan
yang mengabulkan gugatan warga negara (citizen lawsuit)
No. NOMOR PUTUSAN URAIAN PUTUSAN

433
Sumber dari 7 (tujuh) putusan Pengadilan Negeri yang memeriksa dan mengadili gugatan
warga negara (citizen lawsuit) dan diolah oleh peneliti.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


242

PENGADILAN
1 533/Pdt/G/1987/PN Jkt.Pst, Pada dasarnya yang berhak menggugat
tanggal 1 Juni 1988 adalah orang yang mempunyai kepentingan
sesuai asas point d’interet point d’action.
Walaupun Majelis Hakim mengetahui
tentang konsep gugatan warga negara (Actio
Popularis), akan tetapi karena belum diatur
dalam perundang-undangan di Indonesia,
sehingga gugatan tidak dapat diterima.
2 251/Pdt/G/1988/PN Jkt.Pst, Majelis Hakim mengetahui tentang konsep
tanggal 2 Agustus 1988 gugatan warga negara (Actio Popularis),
akan tetapi karena belum diatur dalam
perundang-undangan di Indonesia, maka
gugatan tidak bisa mengatasnamakan
kepentingan umum / masyarakat (actio
popularis), akan tetapi Hakim menafsirkan
gugatannya harus diartikan dan dianggap
sebagai diajukan sepanjang petitum yang
menyangkut atas nama dirinya sendiri
saja.
3 145/Pdt.G/2009/PN.Jkt.Pst, Gugatan warga negara (citizen lawsuit) juga
tanggal 03 Juni 2009 diakui dan diterima dalam praktik peradilan,
hakim mendasarkan kepada Gugatan warga
negara (citizen lawsuit) yang diatur dalam
perundang-undangan di Amerika Serikat
dan putusan-putusan pengadilan
sebelumnya, akan tetapi hakim menerapkan
hal tersebut secara utuh, baik standing dan
notifikasi (pemberitahuan). Gugatan
Penggugat telah memenuhi syarat
standing yaitu setiap orang utnuk
kepentingan publik, akan tetapi tidak
terpenuhinya syarat formil, yaitu tidak
memenuhi syarat jangka waktu
notifikasi. Putusan Pengadilan “Gugatan

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


243

para Penggugat tidak dapat diterima”.


4 476/PDT.G/2009 /PN. Jkt.Pst, Gugatan warga negara (citizen lawsuit) juga
tanggal 19 Agustus 2010 diakui dan diterima dalam praktik peradilan,
hakim mendasarkan kepada Gugatan warga
negara (citizen lawsuit) yang diatur dalam
perundang-undangan di Amerika Serikat
dan putusan-putusan pengadilan
sebelumnya, walaupun tidak menerapkan
hal tersebut seluruhnya. Putusan pengadilan
“Gugatan ditolak karena Para Tergugat
tidak terbukti melakukan Perbuatan
Melawan Hukum”.
5 111/PDT.G/2010 /PN. Jkt.Pst, Gugatan warga negara (citizen lawsuit) juga
tanggal 13 Oktober 2011 diakui dan diterima dalam praktik peradilan,
walaupun dalam Surat Gugatan Para
Penggugat a quo memang tidak secara
tegas menyatakan bentuk gugatan Para
Penggugat tersebut, apakah dengan cara
legal standing, class action atau gugatan
warga negara. Hakim mengakui standing
penggugat yaitu setiap orang atau setiap
warga negara. Akan tetapi karena gugatan
bukan merupakan kepentingan publik,
maka putusan pengadilan, “Gugatan tidak
dapat diterima”.
6 500/PDT.G/2010/PN. Jkt.Pst, Hakim mendasarkan kepada Gugatan warga
tanggal 13 Oktober 2011 negara (citizen lawsuit) yang diatur dalam
perundang-undangan di Amerika Serikat,
hakim tidak menerapkan hal tersebut
seluruhnya yaitu tidak memberlakukan
notifikasi (pemberitahuan) karena belum
ada pengaturannya, akan tetapi gugatan
para Penggugat tidak dapat diterima (niet
onvankelijkverklaard) karena kurang
pihak.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


244

7 53/PDT.G/2012/PN. Jkt.Pst, Gugatan warga negara (citizen lawsuit) juga


tanggal 25 Juli 2012 diakui dan diterima dalam praktik peradilan,
hakim mendasarkan kepada Gugatan hak
gugat warga negara (citizen lawsuit) yang
yang diatur dalam perundang-undangan di
Amerika Serikat dan putusan-putusan
pengadilan sebelumnya, hakim tidak
menerapkan hal yang diatur dalam
perundang-undangan di Amerika tersebut
seluruhnya yaitu tidak memberlakukan
notifikasi (pemberitahuan) karena belum
ada pengaturannya, Putusan sela
“menyatakan penggunaan prosedur
gugatan warga negara atau citizen lawsuit
yang diajukan oleh para penggugat
tersebut adalah sah” perkara sampai
dengan sekarang masih berjalan dan
sampai dengan saat penelitian ini
dilakukan belum ada putusan pengadilan.

Dari 7 (tujuh) putusan yang dikumpulkan peneliti tersebut di atas,


sebelum Putusan Nomor 28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst, tanggal 8 Desember
2003 tentang gugatan citizen lawsuit atas nama Munir dkk dalam kasus
penelantaran negara terhadap TKI Migran yang dideportasi di Nunukan,
maka terdapat 2 (dua) putusan yang mirip dengan gugatan warga negara
(citizen lawsuit), walaupun Majelis Hakim memahami konsep gugatan
warga negara yang disebut sebagai actio popularis, akan tetapi Majelis
hakim menafsirkan penggugat tidak dapat mengajukan gugatan atas dasar
kepentingan umum, sehingga Penggugat hanya bertindak untuk dan atas
nama pribadi penggugat. Gugatan warga negara demi kepentingan umum
tidak dapat diterima oleh Majelis Hakim.

Akan tetapi setelah adanya Putusan Nomor 28/PDT.G/2003/PN.


Jkt.Pst, tanggal 8 Desember 2003 terdapat perkembangan penafsiran hakim
terhadap gugatan atas dasar kepentingan umum, di mana hakim memperluas

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


245

kedudukan hukum pihak yang mengajukan gugatan yang awalnya adalah


hak untuk mengajukan gugatan di depan pengadilan adalah perorangan atau
badan hukum (melalui wakilnya) yang mempunyai kepentingan (asas point
d’interet point d’action serta asas legitima persona standi in judicio),
menjadi setiap warga negara atau setiap orang dapat mengajukan gugatan
warga negara demi kepentingan umum, di mana warga negara tersebut tidak
perlu membuktikan adanya kepentingan atau kerugian yang riil dan tangible.

Setelah putusan Nomor 28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst, tanggal 8


Desember 2003 tersebut, kemudian diikuti oleh putusan-putusan
pengadilan sebagaimana diuraikan di atas, sehingga mempertegas
pengakuan standing yaitu setiap warga negara atau setiap orang dapat
mengajukan gugatan warga negara demi kepentingan umum dan hal ini
semakin mengakui gugatan warga negara (citizen lawsuit) sebagai
mekanisme gugatan perdata melalui pengadilan negeri.

Selain persamaan pandangan hakim tentang standing dalam gugatan


warga negara (citizen lawsuit) tersebut, ternyata terdapat perbedaan
penafsiran hakim dalam menerapkan konsep gugatan warga negara (citizen
lawsuit) yang diadopsi dari common law system, di mana terdapat 4 (empat)
putusan yang tidak menerapkan syarat formal gugatan warga negara (citizen
lawsuit) yang diatur dalam perundang-undangan Amerika Serikat secara
utuh yaitu tanpa mempersoalkan atau menerapkan syarat pemberitahuan
(notifikasi), sedangkan 1 (satu) putusan yang menerapkan syarat formal
gugatan warga negara (citizen lawsuit) tersebut secara utuh yaitu
menerapkan syarat pemberitahuan (notifikasi).

Bagi Hakim yang tidak menerapkan syarat pemberitahuan


(notifikasi) alasan hukumnya adalah karena hal ini belum diatur dalam
perundang-undangan, sedangkan Hakim yang menerapkan syarat
pemberitahuan (notifikasi) alasan hukumnya adalah karena syarat tersebut
bersifat imperatif dan harus dipenuhi oleh pihak penggugat yaitu dengan

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


246

memberikan pemberitahuan (notifikasi) kepada pihak tergugat dalam jangka


waktu 60 (enam puluh) hari sebelum penggugat mengajukan gugatannya.

Berkaitan dengan beragamnya putusan mengenai gugatan warga


negara (citizen lawsuit) ini, Andi Samsan Nganro berpendapat “ini
menandakan bahwa hakim tidak terikat dengan putusan hakim sebelumnya,
akan tetapi putusan tersebut bisa sebagai pedoman, dan hal ini juga
menandakan perlunya suatu perundang-undangan sebagai pedoman terhadap
mekanisme gugatan warga negara (citizen lawsuit) tersebut”.434

Sedangkan Pri Pambudi Teguh menyatakan bahwa :


Hal ini menunjukkan gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang
merupakan prosedur baru dalam beracara perdata di Indonesia,
masih menjadi prosedur yang belum banyak dipahami oleh para
Hakim, karena adanya perbedaan pengalaman dan interpretasi
mengenai prosedur tersebut, bahkan ada hakim yang
mencampuradukkan antara gugatan warga negara (citizen lawsuit)
dengan Class Action. Perbedaan putusan Hakim tersebut
menandakan bahwa Hakim juga tidak menjadikan hambatan bagi
penegakan hukum terhadap hak-hak warga negara di Indonesia
melalui prosedur gugatan warga negara (citizen lawsuit), Hakim
tidak tinggal diam atau menolak perkara yang diajukan kepadanya
dengan alasan gugatan warga negara (citizen lawsuit) tidak diatur
dalam perundang-undangan atau hukumnya tidak jelas, Hakim
menciptakan hukum dengan pola penemuan hukum, walaupun
penemuan hukum tersebut masih berbeda-beda di antara para
Hakim.435

Kemudian Noor M. Aziz menyatakan “bahwa perbedaan putusan


pengadilan menujukkan hakim melakukan penemuan hukum terhadap
mekanisme yang sampai dengan saat ini belum diatur dalam perundang-

434
Wawancara, dengan Andi Samsan Nganro, tanggal 2 Oktober 2012.
435
Wawancara, dengan Pri Pambudi Teguh, tanggal 14 Desember 2012.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


247

undangan di Indonesia, diharapkan penemuan hukum tersebut semakin lama


semakin diikuti oleh hakim-hakim selanjutnya (yurisprudensi) sehingga
dapat memperbarui hukum acara perdata di Indonesia”.436

Virza Roy Hizzal (praktisi hukum, pengacara) menyatakan bahwa :


Walaupun sudah terdapat beberapa gugatan citizen lawsuit
yang mekanismenya dikabulkan oleh majelis hakim, misalnya
dalam perkara gugatan citizen lawsuit Nunukan dan Ujian
Nasional. Namun dalam praktiknya beberapa hakim masih
kebingungan akibat ketiadaan pedoman dan acuan yang jelas
dalam menyidangkan gugatan citizen lawsuit. Sehingga
terdapat putusan yang berbeda sebagaimana dalam gugatan
citizen lawsuit atas kenaikan BBM oleh LBH Apik dan gugatan
citizen lawsuit “Operasi Yustisi” oleh Slamet bin Saleh dkk
diwakili LBH Jakarta, yang gugatannya kandas oleh majelis
hakim dalam putusan selanya menyatakan gugatan tersebut
secara prosedural tidak memenuhi tata cara dan persyaratan
gugatan perwakilan kelompok alias class action. Sehingga
menurut majelis hakim penggunaan prosedur gugatan warga
negara (citizen law suit) oleh para penggugat harus dinyatakan
tidak dapat diterima. Apalagi menurut pertimbangan majelis
hakim tersebut menyebutkan bahwa gugatan citizen lawsuit
belum diatur dalam hukum acara di Indonesia. Terhadap hal
tersebut, mekanisme gugatan citizen lawsuit ini perlu diatur
oleh suatu bentuk peraturan undang-undang yang akan menjadi
pedoman bagi hakim maupun pengacara dalam berpekara, agar
tidak mengalami kebingungan dan tidak menimbulkan
disparitas putusan.437

Selain pendapat-pendapat tersebut di atas, sebagaimana yang


diuraikan pada bab kedua berkaitan dengan pemberitahuan (notifikasi) ini, di

436
Wawancara dengan Noor M. Aziz, tanggal 1 Nopember 2012.
437
Wawancara dengan Virza Roy Hizzal, tanggal 18 Desember 2012.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


248

Amerika Serikat sendiri syarat pemberitahuan (notifikasi) masih bisa


ditafsirkan oleh hakim yaitu pertama melalui interpretasi jurisdictional atau
kedua melalui interpretasi pragmatis.

Dalam pendekatan jurisdictional (jurisdictional interpretation) pada


intinya yaitu menyatakan bahwa persyaratan yang diatur dalam perundang-
undangan adalah bersifat mutlak yang harus dipenuhi oleh penggugat.
Sedangkan interpretasi pragmatis (pragmatic interpretation) pada intinya
adalah persyaratan notifikasi (pemberitahuan) tersebut tidak bersifat mutlak
dan bisa diinterpretasikan secara pragmatis (kemanfaatan).

Dari berbagai putusan pengadilan yang beraneka ragam mengenai


gugatan warga negara (citizen lawsuit) khususnya berkaitan dengan
penafsiran tentang penerapan notifikasi (pemberitahuan) dihubungkan
dengan pendapat-pendapat tersebut, peneliti berpendapat bahwa pertama
terdapat perbedaan penafsiran antara sesama Hakim terhadap pemahaman
gugatan warga negara (citizen lawsuit) karena belum diaturnya gugatan
warga negara (citizen lawsuit) dalam perundang-undangan di Indonesia,
kedua walaupun belum diatur dalam perundang-undangan, Hakim tetap
wajib melakukan penemuan hukum dalam memeriksa, mengadili dan
memutuskan perkara dengan prosedur atau mekanisme gugatan warga
negara (citizen lawsuit), ketiga perbedaan penafsiran tersebut menandakan
bahwa Hakim Indonesia tidak terikat terhadap putusan pengadilan
sebelumnya yang telah memeriksa, mengadili dan memutuskan gugatan
warga negara (citizen lawsuit), akan tetapi tetap menjadikan putusan
sebelumnya sebagai sumber hukum, keempat Hakim juga ada yang belum
memahami mengenai gugatan warga negara (citizen lawsuit) tersebut karena
masih bersifat legalistik, kelima tidak bisa dipungkiri bahwa dengan
semakin meningkatnya pengajuan gugatan warga negara (citizen lawsuit),
mewajibkan hakim terus menggali dan mengikuti perkembangan nilai-nilai
keadilan dalam masyarakat, di tengah-tengah keterbatasan hakim terhadap
pemahaman mekanisme gugatan warga negara (citizen lawsuit), keenam
perbedaan penafsiran di kalangan hakim adalah hal yang wajar, akan tetapi

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


249

haruslah disertai dengan pertimbangan hukum yang jelas, dan bukan dengan
alasan bahwa hal tersebut belum diatur dalam peraturan perundang-
undangan, maka syarat notifikasi tersebut ditafsirkan sebagai syarat yang
tidak mutlak diterapkan dalam praktik di Indonesia, seharusnya hakim
mempertimbangkannya sebagaimana hakim Amerika Serikat yaitu dengan
interpretasi pragmatis, ketujuh walaupun terdapat perbedaan pemahaman di
antara para hakim terhadap prosedur atau mekanisme gugatan warga negara
(citizen lawsuit), akan tetapi putusan-putusan tersebut menunjukkan bahwa
gugatan warga negara (citizen lawsuit) sudah bisa diterima oleh Pengadilan
Negeri sebagai prosedur baru dalam pengajuan gugatan perdata untuk
menegakkan kepentingan umum (public interest litigation).

4.5 Putusan Pengadilan sebagai Sumber Pembaruan Hukum Acara


Perdata

Sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya, sejak Putusan


Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst,
gugatan warga negara (citizen lawsuit atau actio popularis) telah diakui
dalam praktik peradilan Indonesia, maka terjadi peningkatan pengajuan
gugatan warga negara (citizen lawsuit) ke Pengadilan Negeri khususnya
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Menanggapi peningkatan pengajuan gugatan warga negara (citizen
lawsuit) ke Pengadilan Negeri khususnya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
berikut pendapat beberapa narasumber :
1. Hakim Agung Andi Samsan Nganro berpendapat yaitu “ini menandakan
bahwa adanya indikasi instrumen gugatan warga negara (citizen lawsuit)
dibutuhkan oleh masyarakat sebagai salah satu alternatif dalam rangka
penegakan hukum, di mana setiap warga negara mempunyai hak untuk
mengajukan gugatan kepada pemerintah”.438
2. Hakim Andriani Nurdin mengemukakan bahwa :
Peningkatan pengajuan gugatan warga negara (citizen lawsuit)
akhir-akhir ini, merupakan suatu fenomena dimana standing

438
Wawancara dengan Andi Samsan Nganro, lo. cit.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


250

atau prosedur gugatan perwakilan yang ada yaitu Gugatan Non


Government Organization (NGO) dan Class Action (CA) tidak
cukup memuaskan ekspektasi masyarakat, karena tidak
mencerminkan kemudahan akses kepada keadilan (Acces to
Justice). Gugatan NGO dan CA harus memenuhi persyaratan-
persyaratan, antara lain untuk Gugatan NGO harus berbentuk
Badan Hukum, harus tercantum dalam anggaran dasar dan
telah melakukan kegiatan dibidangnya, dan bagi CA Wakil
Klas dan Anggota Klas harus memiliki persamaan hukum,
persamaan peristiwa hukum, persamaan kepentingan hukum
dan persamaan tuntutan hukum (Wakil klas dan anggota klass
harus pihak yang mengalami penderitaan). Sedangkan (citizen
lawsuit) tidak menuntut adanya persyaratan seperti itu, tidak
harus pihak yang dirugikan, cukup dilakukan demi kepentingan
umum dan diajukan ketika melakukan pembiaran dan tidak
melaksanakan kewajibannya untuk memberikan kesejahteraan
dan melindungi hak asasi warganya. Sedangkan lembaga yang
ada yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak melakukan
apa-apa.439
3. Hakim Pri Pambudi Teguh berpendapat yaitu “meningkatnya pengajuan
Gugatan warga negara (citizen lawsuit) menunjukkan bahwa Gugatan
warga negara (citizen lawsuit) merupakan gugatan yang menjadi hak
warga negara mengajukan gugatan terhadap penyelenggara negara,
karena itu Gugatan warga negara (citizen lawsuit) merupakan prosedur
bagi orang perorangan atau kelompok orang dalam menggugat
penyelenggara negara, tidak boleh mengikutsertakan pihak lain sebagai
tergugat atau turut tergugat karena jika demikian sama saja dengan
gugatan perdata biasa”.440
4. Hakim Marsudin Nainggolan menyatakan bahwa “meningkatnya
pengajuan Gugatan warga negara (citizen lawsuit) menunjukkan bahwa
masyarakat sudah memahami akan keterbukaan access to justice demi
439
Wawancara dengan Andriani Nurdin, tanggal 18 Nopember 2012.
440
Wawancara dengan Pri Pambudi Teguh, loc. cit.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


251

memperjuangkan kepentingan umum (pro bono publico) yang dilindungi


oleh undang-undang”.441
5. Hakim Ennid Hasanuddin mengemukakan bahwa “peningkatan
pengajuan Gugatan warga negara (citizen lawsuit) menunjukkan bahwa
semakin meningkatnya pemahaman masyarakat akan kesadaran hukum
dan warga negara sekarang lebih memilih jalur pengadilan sebagai
tempat untuk menegakkan hak-hak asasi warga negara yang diabaikan
oleh negara, daripada menggunakan jalur kekerasan”.442
6. Gede Pasek Suardika (Ketua Komisi III DPR Republik Indonesia)
menyatakan bahwa “Peningkatan pengajuan gugatan warga negara
(Citizen lawsuit) akhir-akhir ini yaitu : Pertama sebagai suatu petunjuk
bahwa warga negara tersebut semakin sadar hukum, kedua bahwa
mekanisme tersebut sebagai penyelesaian permasalahan hukum yang
utama untuk perlindungan hak-hak hukum masyarakat, dan ketiga bisa
memberikan efek yang positif untuk lompatan-lompatan di dalam
pembenahan hukum itu sendiri”.443
7. Noor M. Aziz (Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia), berpendapat bahwa “BPHN
merespon positif dengan semakin meningkatnya pengajuan gugatan
warga negara (citizen lawsuit)”.444
8. J. Djohansyah, Mantan Hakim Agung dan sebagai Ketua tim Naskah
Akademik Rancangan Undang Undang Hukum Acara Perdata
berpendapat “bahwa gugatan warga negara memang masih baru dalam
sistem hukum kita, peningkatan pengajuan gugatan warga negara (citizen
lawsuit) ini menandakan bahwa telah terjadi pergeseran atau
percampuran sistem hukum antara civil law system dan common law
system, tapi fakta ini dapat menjadi masukan bagi tim perumus Naskah

441
Wawancara dengan Marsudin Nainggolan, tanggal 12 Desember 2012.
442
Wawancara dengan Ennid Hasanuddin, tanggal 9 Nopember 2012.
443
Wawancara dengan Gede Pasek Suardika, tanggal 24 Oktober 2012.
444
Wawancara dengan Noor M. Aziz, lo. cit.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


252

Akademik Rancangan Undang Undang Hukum Acara Perdata ke


depan”.445
9. VMF. Dwi Rudatiyani (praktisi hukum, pengacara) menyatakan
“Sehubungan dengan fenomena peningkatan gugatan warga negara
(citizen lawsuit), yakni gugatan warga negara kepada penyelenggara
negara yang tidak menjalankan kewajiban hukumnya untuk
menyelenggarakan negara sesuai dengan hukum atau ketentuan yang
berlaku, akan membawa dampak yang positif dan lebih memberikan
suatu keadaan kondusif dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, dan
akan menjadi salah satu instrumen kontrol dari warga negara/masyarakat
kepada penyelenggara negara”.446
10. Virza Roy Hizzal (praktisi hukum, pengacara) menyatakan bahwa :
Terhadap fenomena tersebut, memperlihatkan bahwa
penguatan masyarakat sipil (Civil Society) di era reformasi dan
5 tahun belakangan ini, sudah berjalan lebih baik. Selaras
bahwa Indonesia yang merupakan Negara hukum sebagaimana
amanat konstitusi Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, maka hukum
harus diletakkan sebagai panglima tertinggi, untuk itu
penegakan hukum harus diutamakan dalam setiap persoalan-
persoalan hukum yang timbul di masyarakat. Atas adanya
peningkatan kesadaran hukum tersebut, Masyarakat sudah
tidak mau lagi jika hanya tinggal diam melihat pelanggaran dan
kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh penguasa yang
otoriter seperti yang diterapkan rezim orde baru.
Didukung dengan media informasi dan komunikasi yang
semakin maju, maka suatu peristiwa hukum dipelosok terpencil
sekalipun, saat ini gampang tercium oleh media dan
informasinya mudah tersebar di masyarakat. Sehingga
mekanisme gugatan citizen lawsuit menjadi sesuatu yang
popular bagi Advokat dalam upaya mengadvokasi hak-hak
Kliennya agar perkaranya menjadi perhatian publik. Dengan
445
Wawancara dengan J. Djohansyah, tanggal 1 Nopember 2012.
446
Wawancara dengan VMF. Dwi Rudatiyani, tanggal 14 Desember 2012.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


253

menempuh mekanisme gugatan citizen lawsuit, dukungan


masyarakat akan lebih luas sehingga akan menimbulkan efek
yang lebih besar pula memberikan tekanan kepada Pemerintah
yang dianggap telah lalai atau melanggar.
Selain itu, mekanisme gugatan citizen lawsuit sebagai suatu
media pengawasan/chek and balance dari masyarakat kepada
Pemerintah agar dalam menjalankan roda pemerintahan tetap
berada pada jalurnya/rule of law yang ada.447

Dari berbagai pendapat tersebut di atas, peneliti berpendapat bahwa


peningkatan pengajuan gugatan warga negara (citizen lawsuit), walaupun
belum diatur dalam perundang-undangan di Indonesia, dan prosedur ini
berasal dari common law system, menunjukkan adanya suatu fenomena,
yaitu pertama pengadilan (dalam hal ini) pengadilan negeri telah membuka
kemudahan akses kepada keadilan (Acces to Justice) bagi setiap warga
negara, kedua warga negara beranggapan bahwa prosedur gugatan
perwakilan yang ada yaitu Gugatan Non Government Organization dan
Class Action tidak cukup memuaskan ekspektasi mereka, karena prosedur
yang mungkin terlalu sulit, ketiga warga negara sudah semakin sadar hukum
dan penguatan masyarakat sipil (Civil Society) untuk memilih jalur
pengadilan sebagai tempat menegakkan hukum, keadilan dan hak asasi
manusia, tidak dengan jalur kekerasan, keempat gugatan warga negara
(citizen lawsuit) sudah bisa diterima oleh Pengadilan sebagai prosedur baru
dalam pengajuan gugatan perdata untuk menegakkan kepentingan umum
(public interest litigation).

Peningkatan pengajuan gugatan warga negara (citizen lawsuit)


diiringi dengan semakin meningkatnya putusan-putusan pengadilan
sebagimana diuraikan sebelumnya. Dari berbagai macam putusan
pengadilan yang memeriksa dan mengadili gugatan warga negara (citizen
lawsuit), sejak putusan Nomor 28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst, tanggal 8
Desember 2003, Hakim telah melakukan penemuan hukum, di mana kaidah

447
Wawancara dengan Virza Roy Hizzal, loc. cit.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


254

hukum yang bisa diambil dari penemuan hukum tersebut dalam lingkup
hukum acara perdata adalah sebagai berikut :
1. mengenai standing, di mana setiap orang (any person), setiap warga
negara (any citizen) tanpa memerlukan surat kuasa dari warga negara
lain dan tanpa harus membukti kerugian riil atau tangible (nyata), berhak
untuk mengajukan gugatan warga negara (citizen lawsuit) demi
kepentingan publik (pro bono publico).
2. gugatan warga negara (citizen lawsuit) ditujukan hanya kepada
penyelenggara negara atas dasar adanya perbuatan melawan hukum
(baik aktif maupun pasif) sebagaimana diatur dalam pasal 1365
KUHPerdata.
3. syarat formal suatu gugatan yaitu adanya standing, dan uraian
kepentingan umum yang jelas.
4. berkaitan dengan syarat notifikasi (pemberitahuan kepada tergugat)
masih terdapat perbedaan penafsiran dalam putusan pengadilan, ada
hakim yang mewajibkan ada juga hakim yang tidak mewajibkan hal
tersebut.
5. tuntutan (petitum) dalam gugatan tidak boleh membatalkan suatu
keputusan tata usaha negara, membatalkan suatu perundang-undangan
dan juga membatalkan peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang.
6. pengadilan cenderung tidak mengabulkan tuntutan ganti rugi yang
diajukan oleh penggugat.
7. pengadilan pada dasarnya hanya menjatuhkan putusan yang amarnya
yaitu negara dihukum untuk mengeluarkan suatu kebijakan untuk
melakukan suatu perbuatan dan juga kebijakan umum yang bersifat
mengatur (regeling) agar kelalaian tersebut tidak terjadi lagi di
kemudian hari.

Berkaitan dengan penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim


dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan gugatan warga negara
(citizen lawsuit) ini Andi Samsan Nganro berpendapat “Penemuan hukum
dilakukan jika undang-undang tidak jelas atau belum mengatur prosedur

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


255

gugatan warga negara (citizen lawsuit), karena hakim terpanggil untuk


menyesuaikan dengan perkembangan dalam masyarakat, apalagi gugatan
warga negara (citizen lawsuit) berkaitan dengan kepentingan warga negara
(kepentingan publik), penemuan hukum juga diwajibkan oleh Undang-
Undang khususnya Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman”.448

Hal ini juga sebagaimana apa yang diutarakan Andriani Nurdin yang
berpendapat yaitu “terhadap putusan-putusan tersebut mencerminkan bahwa
Hakim benar-benar telah menggunakan kewenangan yang diberikan
Undang-Undang (UU) untuk menciptakan hukum dan menemukan hukum.
Bahwa hakim telah melakukan tugasnya untuk menggali dan mengikuti
perkembangan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Hakim yang progresif
dituntut untuk tidak bersikap sebagai corong/terompet UU. Hakim semacam
inilah yang dapat diharapkan akan dapat mewujudkan visi Mahkamah
Agung untuk mewujudkan peradilan yang agung”.449

Begitu juga Ennid Hasanuddin berpendapat bahwa “Penemuan


hukum wajib dilakukan oleh hakim dalam memeriksa, mengadili dan
memutus suatu perkara di mana undang-undang tidak jelas atau undang-
undang belum mengatur mekanisme / prosedur khususnya gugatan warga
negara (citizen lawsuit), karena Hakim mengadili menurut hukum dan
keadilan, jadi bukan sekadar legalistik”.450

J. Djohansjah juga menyatakan bahwa “Hakim tidak boleh menjadi


corong undang-undang, Hakim harus sebagai hakim yang memberikan rasa
keadilan, Hakim harus mengikuti perkembangan masyarakat, Hakim
menafsirkan undang-undang dalam melakukan penemuan hukum menuju
keadilan, tetap harus ada dasar hukum dalam melakukan penemuan
hukum”.451

448
Wawancara dengan Andi Samsan Nganro, loc. cit.
449
Wawancara dengan Andriani Nurdin, loc. cit.
450
Wawancara dengan Ennid Hasanuddin, loc. cit.
451
Wawancara dengan J. Djohansjah, loc. cit.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


256

Selanjutnya VMF Dwi Rudatiyani (praktisi hukum, pengacara)


berpendapat “Kami setuju dengan Hakim yang melakukan penemuan hukum
yang tertuang melalui putusan gugatan warga negara (citizen lawsuit)
tersebut, dengan alasan bahwa hal tersebut merupakan tugas atau kewajiban
dari seorang Hakim untuk memeriksa dan mengadili dengan seadil-adilnya
suatu perkara yang diajukan di Pengadilan. Di sisi lain, hal tersebut
menunjukkan bahwa seorang Hakim harus moderat dan visioner, yang selalu
peka dengan perkembangan hukum di tengah-tengah kehidupan sosial
Warga Negara/Masyarakat”.452

Hal ini juga disetujui oleh Virza Roy Hizzal yang berpendapat :

“Menurut saya hakim telah tepat dalam beberapa putusan yang


mengakui prosedur/mekanisme gugatan citizen lawsuit ini
walaupun belum ada peraturan yang mengatur mekanisme
gugatan tersebut. Landasan bagi hakim dalam melakukan
terobosan dan penemuan hukum tersebut diatur dalam Undang-
Undang tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
dimana menyebutkan bahwa “Hakim sebagai penegak hukum
dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-
nilai yang hidup di dalam masyarakat.” Selain itu undang-
undang tersebut juga mengamanatkan bahwa “Pengadilan tidak
boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa tidak atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilanya”.453

Dari putusan-putusan tentang gugatan warga negara (citizen lawsuit),


dihubungkan dengan pendapat-pendapat sebagaimana yang diuraikan
sebelumnya, maka dapatlah disimpulkan hakim telah melakukan penemuan
hukum di mana prosedur atau mekanisme gugatan warga negara (citizen
lawsuit) belum diatur dalam peraturan perundang-undangan khususnya

452
Wawancara dengan VMF Dwi Rudatiyani, loc. cit.
453
Wawancara dengan Virza Roy Hizzal, loc. cit.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


257

Hukum Acara Perdata (sebagaimana berdasarkan UU Darurat No. 1 tahun


1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan
Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil, Hukum Acara
Perdata adalah HIR dan RBg), akan tetapi hakim melalui putusannya
“memberikan hak kepada setiap orang (any person), setiap warga negara
(any citizen) untuk mengajukan gugatan di pengadilan untuk dan atas
nama kepentingan keseluruhan warga negara atau kepentingan publik, tidak
perlu membuktikan kerugian langsung yang bersifat riil atau tangible”.

Berdasarkan analisis peneliti berkaitan dengan adanya penemuan


hukum berkaitan dengan gugatan warga negara (citizen lawsuit), peneliti
berpendapat hal ini menguatkan teori realisme hukum yang dipelopori oleh
Oliver W. Holmes Jr, yang menyatakan bahwa “The life of the law has not
been logic : it has been experience … what the courts will do in fact, and
nothing more pretentious, are what I mean by the law”.454

Selanjutnya berkaitan dengan permasalahan penemuan hukum dalam


putusan pengadilan sangatlah penting bagi pembaruan hukum di Indonesia,
berdasarkan kerangka teori sebagaimana diuraikan dalam bab satu dan
ditambah dengan uraian mengenai konsep pembaruan hukum sebagaimana
diuraikan pada bab tiga sebelumnya, maka teori tersebut dipergunakan untuk
menganalisis hubungan antara penemuan hukum oleh Hakim melalui
putusan pengadilan tentang gugatan warga negara (citizen lawsuit) (sebagai
sumbernya) terhadap pembaruan undang-undang hukum acara perdata
(sebagai hasilnya).

Bahwa sebagaimana yang diutarakan oleh Mochtar Kusumaatmadja


dalam bukunya Hukum, Masyarakat dan Perubahan Hukum Nasional yang
diuraikan dalam kerangka teori sebelumnya, menyatakan bahwa :

Walaupun perundang-undangan merupakan teknik utama untuk


melaksanakan pembaharuan hukum, pembaharuan kaidah-kaidah

454
Oliver Wendell Holmes, The Path of the Law, 10 Harvard Law Review 457 (1897),
http://www.constitution.org/lrev/owh/path_law.htm.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


258

dan azas serta penemuan arah atau bahan bagi pembaharuan


kaidah demikian juga menggunakan sumber-sumber hukum lain
yaitu keputusan badan-badan peradilan (yurisprudensi).455
Perubahan yang teratur melalui prosedur hukum, baik ia
berwujud perundang-undangan atau keputusan badan-badan
peradilan lebih baik daripada perubahan yang tak teratur dengan
menggunakan kekerasan semata-mata.456
Di Indonesia di mana undang-undang merupakan cara
pengaturan hukum yang utama pembaharuan masyarakat dengan
jalan hukum berarti pembaharuan hukum terutama melalui
perundang-undangan.457

Selain itu juga Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa “Dalam


hal penerapan dan pengembangan hukum ini, sangat menarik dan penting
untuk dipelajari kedudukan Pengadilan atau Hakim. Berlainan dengan
pendapat kuno yang antara lain diucapkan oleh Montesquieu dalam bukunya
"L'Esprit de Lois" yang menyatakan bahwa Hakim itu hanya mulut atau
corong dari badan legislatif, orang sekarang mengetahui bahwa selain
menerapkan undang-undang, Pengadilan atau Hakim itu juga menemukan
atau bahkan sering membentuk hukum baru. Hal ini disebabkan karena di
dalam sistem hukum Indonesia dikenal asas yang menyatakan bahwa
Pengadilan atau Hakim itu tidak boleh menolak untuk memeriksa satu
perkara dengan alasan bahwa hukum mengenai perkara itu tidak ada atau
tidak jelas”.458

“Pengadilan atau Hakim dalam sistem hukum Indonesia bukanlah


Hakim yang pasif yang merupakan corong belaka dari badan perundang-
undangan seperti digambarkan oleh Montesquieu, namun aktif berperan di
dalam menemukan hukum atau membentuk hukum baru. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa Pengadilan atau Hakim itu merupakan unsur yang

455
Mochtar Kusumaatmadja, op. cit, hal. 12.
456
Ibid., hal. 12-13.
457
Ibid., hal. 13.
458
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Aidharta, op. cit., hal. 97.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


259

cukup penting tidak saja di dalam menemukan hukum tetapi juga di dalam
mengembangkan hukum”.459

Jelas bahwa pengadilan mempunyai kedudukan penting dalam sistem


hukum kita, karena ia melakukan fungsi yang pada hakikatnya melengkapi
ketentuan-ketentuan hukum tertulis melalui pembentukan hukum
(rechtsvorming) dan penemuan hukum (rechtsvinding) Dengan perkataan
lain hakim/pengadilan dalam sistem hukum kita yang pada dasarnya tertulis
itu mempunyai fungsi membuat hukum baru (creation of new law). Karena
itu sistem hukum Indonesia, walaupun merupakan sistem hukum tertulis,
namun merupakan sistem yang terbuka (open system).460

Fungsi membentuk hukum (baru) oleh pengadilan / hakim di atas


harus dilakukan olehnya untuk mengisi kekosongan dalam hukum dan
mencegah tidak ditanganinya suatu perkara karena hukum (tertulis) tidak
jelas atau tidak ada. Fungsi yang sangat penting ini dilakukan hakim /
pengadilan dengan jalan interpretasi, konstruksi dan penghalusan hukum.461

Menanggapi konsep Mochtar Kusumaatmadja, selanjutnya Bagir


Manan menguraikan, yaitu :

Mochtar Kusumaatmadja menyadari sumber utama kaidah hukum


kita adalah undang-undang atau peraturan perundang-undangan,
buka putusan hakim (civil law system). Berdasarkan sistem kaidah
hukum yang berbeda tersebut, maka Mochtar Kusumaatmadja dan
para pemikir serupa memberi arti “hukum” pada “hukum sebagai
sarana pembaharuan sosial” lebih memberi perhatian terhadap
undang-undang atau peraturan perundang-undangan. … Namun
perlu dicatat, pendekatan ini tidak boleh diartikan mengabaikan
putusan hakim atau peran hakim dalam pembaharuan masyarakat.
Peran Putusan hakim atau yurisprudensi sangat penting. Hal ini

459
Ibid., hal. 98.
460
Ibid., hal. 99.
461
Ibid.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


260

nampak dalam kebijakan atau politik hukum yang selalu


memasukkan pengadilan sebagai salah satu obyek pembangunan
hukum”.462

Bagir Manan kemudian menyatakan bahwa “Ilmu Hukum telah lama


menerima bahwa hakim adalah pembentuk hukum. Setiap putusan hakim
adalah membentuk hukum. Tetapi yang diterima secara umum (communist
opinio), adalah membentuk hukum dalam arti konkret (law in concreto).
Putusan hakim adalah hukum dalam arti konkret yang disandingkan (belum
tentu berlawanan) dengan hukum dalam arti abstrak (law in abstracto) yang
ditetapkan pembentuk undang-undang atau pembuat peraturan perundang-
undangan. Telah dikemukakan, hukum yang dibentuk hakim bersifat
individual, tidak berlaku umum. Hukum dalam arti konkrit yang bersifat
individual adalah hukum bagi pihak-pihak yang berperkara atau terkait
dengan perkara dan pihak-pihak lain yang harus patuh (taat) dan wajib
melaksanakan putusan tersebut”.463

Putusan pengadilan bisa diadopsi dalam perundang-undangan, hal ini


sebagaimana yang diutarakan Bagir Manan pada uraian dalam bab
sebelumnya yang berpendapat : “Paling tidak, ada dua kemungkinan putusan
hakim sebagai hukum in concreto menjadi hukum in abstracto :
3. Diambil alih pembentuk undang-undang. Hukum-hukum yang lahir dari
putusan hakim menjadi materi muatan undang-undang. Apakah dengan
demikian sifat hukum dari putusan hakim akan hilang?. Sama sekali
tidak. Namun di sini akan berlaku prinsip preferensi yang wajib dipatuhi
hakim, yaitu ketentuan bahwa undang-undang "prevail" terhadap hukum
tidak tertulis, termasuk putusan hakim yang telah diatur dalam undang-
undang. Prinsip preferensi ini juga berlaku apabila ternyata undang-
undang baru bertentangan atau mengatur secara berbeda dengan putusan
hakim. Terhadap hal yang disebut terakhir, hakim dapat menyimpang
apabila undang-undang tersebut mengandung hal-hal yang bertentangan

462
Bagir Manan, Hakim Sebagai Pembaharu Hukum, op. cit., hal. 6.
463
Ibid., hal. 14.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


261

dengan prinsip-prinsip yang diterima secara umum dalam masyarakat;


bertentangan dengan ketertiban umum atau berisi alasan atau
pertimbangan yang tidak atau kurang masuk akal atau kurang layak
(reasonable doubt).
4. Putusan hakim diikuti dalam praktik hukum. Hal ini sangat dipengaruhi
oleh tradisi hukum yang berlaku.
a. Tradisi hukum Anglo Saksis yang diikuti sistem "precedent".
Putusan hakim adalah "binding law", untuk kasus-kasus serupa di
kemudian hari. Dengan demikian. putusan tersebut akan berlaku
umum terhadap setiap orang yang mcnghadapi persoalan hukum
yang serupa dengan putusan hakim yang bersangkutan. Kalau sudah
berlaku pada setiap orang, berarti putusan itu telah berubah atau
diterima sebagai kaidah umum, yang menjadi salah satu ciri hukum
dalam arti abstrak. Lebih jauh, seperti di Inggris, putusan-putusan
tersebut berkembang menjadi "Common Law", semacam Hukum
Adat di Indonesia. Di Indonesia, meskipun ada teori keputusan
(beslissingenleer) Ter Haar, tidak pernah ada kepastian, benarkah
Hukum Adat berasal dari putusan fungsionaris adat (hakim adat),
atau hukum yang semata-mata tumbuh dari pergaulan masyarakat
yang kemudian diterima sebagai. hukum, seperti hukum kebiasaan
pada tradisi kontinental.
b. Tradisi Kontinental. Pada asasnya, sistem Kontinental tidak
menjalankan sistem precedent. Saat ini sistem precedent hanya
berlaku untuk putusan Mahkamah Uni Eropa. Pengadilan anggota
Uni Eropah wajib mengikuti putusan-putusan Mahkamah Uni Eropa.
Untuk hal-hal lain, kekuatan mengikat putusan hakim hanya
mengikat secara persuasif (non binding) terhadap kasus serupa yang
datang kemudian. Namun dalam praktek, telah menjadi kelaziman
bahwa hakim, terutama hakim tingkat lebih rendah, mengikuti
putusan terdahulu dari badan peradilan tingkat lebih tinggi, terutama
Mahkamah Agung.464

464
Ibid., hal. 14-15.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


262

Putusan pengadilan tersebut dapat sebagai pembaruan hukum, Bagir


Manan menyatakan bahwa “fungsi menemukan dan menciptakan hukum
yang relevan dengan fungsi pembaruan kaidah hukum”.465 “Pembaruan
kaidah hukum melalui penemuan hukum. Dalam arti yang longgar,
menemukan hukum mencakup pula "memasangkan" kaidah hukum yang
tepat atau dianggap tepat terhadap suatu peristiwa hukum tertentu
(rechttoepassing). … Sebagai pekerjaan jahit menjahit yaitu melekatkan
potongan yang satu dengan potongan lain sesuai pola yang sudah ada. Saya
masukkan hal tersebut sebagai suatu bentuk penemuan hukum, karena
bagaimanapun juga hukum yang tepat harus dicari dan diketemukan untuk
dipasangkan pada peristiwa hukum yang bersangkutan. Dalam arti yang
lebih rigid, menemukan hukum adalah upaya agar :

4. Suatu kaidah hukum mencakup peristiwa hukum yang tidak secara nyata
diatur dalam kaidah hukum tersebut; atau
5. Suatu kaidah hukum tidak mencakup suatu peristiwa hukum; atau
6. Suatu kaidah hukum dikendorkan terhadap peristiwa hukum tertentu”.466

Perlu ditegaskan, penemuan hukum hanya bermaksud memberi


makna baru tanpa meniadakan eksistensi kaidah hukum itu sendiri. Namun
harus diakui dapat terjadi, akibat penemuan itu, suatu kaidah dalam
kenyataan (riil) menjadi sekedar huruf-huruf mati (the dead letters).
Menemukan makna baru yang mengubah isi atau maksud kaidah hukum
yang lama sekaligus berarti memperbarui dan membentuk hukum baru.
Disebut memperbarui karena makna kaidah hukum yang ada harus
disesuaikan dengan hasil penemuan hukum. Disebut membentuk, karena
hukum yang nyata tidak lain dari hukum hasil penemuan hukum yang
bersangkutan.467

Jika dikaitkan antara pendapat-pendapat tersebut di atas dengan


putusan-putusan pengadilan terhadap gugatan warga negara (citizen lawsuit),

465
Ibid., hal. 15.
466
Ibid., hal. 15-16.
467
Ibid., hal. 16.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


263

maka peneliti berpendapat bahwa penemuan hukum tentang gugatan warga


negara (citizen lawsuit) ini telah memperbarui kaidah hukum acara perdata,
di mana kaidah hukum yang sebelumnya yaitu : pada dasarnya yang
mempunyai hak untuk mengajukan gugatan di depan pengadilan adalah
perorangan atau badan hukum (melalui wakilnya) yang mempunyai
kepentingan (asas point d’interet point d’action serta asas legitima persona
standi in judicio),468 menjadi setiap orang (any person), setiap warga negara
(any citizen) tanpa memerlukan surat kuasa dari warga negara lain dan tanpa
harus membukti kerugian riil atau tangible (nyata), berhak untuk
mengajukan gugatan warga negara (citizen lawsuit) demi kepentingan publik
(pro bono publico).

Selanjutnya pembaruan kaidah hukum dalam penemuan hukum


tentang putusan hakim tentang gugatan warga negara (citizen lawsuit)
tersebut masih merupakan hukum in concreto karena masih terdapat dalam
putusan pengadilan dan berlaku bagi para pihak yang berperkara. Akan
tetapi putusan tersebut dapat menjadi hukum in abstracto jika “Putusan
hakim diikuti dalam praktik hukum”.

Dalam praktiknya, putusan tentang gugatan warga negara (citizen


lawsuit) telah diikuti oleh hakim-hakim selanjutnya, walaupun masih
terdapat perbedaan syarat formal suatu gugatan warga negara (citizen
lawsuit), yaitu perlu tidaknya notifikasi (pemberitahuan) kepada calon
tergugat, dengan demikian maka bisa disimpulkan bahwa putusan tentang
gugatan warga negara (citizen lawsuit) telah menjadi hukum in abstracto.

Putusan pengadilan belumlah cukup sebagai suatu sumber hukum,


walaupun dia telah menjadi hukum in abstracto (dalam hal ini Putusan
hakim diikuti dalam praktik hukum), karena sistem hukum Indonesia lebih
mengutamakan peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum yang

468
Doktrin point d’interet point d’action ini sudah menjadi yurisprudensi tetap dan sering dirujuk
dan diikuti dalam berbagai putusan pengadilan di Indonesia. Seseorang dikatakan memiliki
kepentingan yang memadai atau locus standi, jika mempunyai kaitan dengan pokok masalah
perkara yang diajukan, lihat Susanti Adi Nugroho, op. cit., hal. 363.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


264

utama. Jika dicermati pendapat Mochtar Kusumaatmadja sebelumnya,


walaupun pengadilan juga merupakan institusi pembaruan hukum, akan
tetapi perundang-undangan merupakan teknik utama untuk melaksanakan
pembaruan hukum, sehingga putusan hakim tentang gugatan warga negara
(citizen lawsuit) sebaiknya diserasikan dengan hukum in abstracto dalam hal
ini diakomodir dalam undang-undang hukum acara perdata, sehingga
mewujudkan pembaruan hukum acara perdata di Indonesia.

Hal ini juga sebagaimana apa yang diutarakan oleh Andriani Nurdin
yang berpendapat, yaitu sebagai berikut :

Hukum selalu berkembang mengikuti perkembangan


masyarakat, sedangkan Undang-Undang (UU) tidak dapat
cepat mengakomodir perubahan masyarakat tersebut. Sejak UU
Pokok Kehakiman Tahun 1970 (Pasal 14), yang sekarang
diperbaharui dengan UU Kekuasaaan Kehakiman Tahun
2009 (Pasal 10), hakim telah diberi kewenangan untuk
menemukan hukum apabila hukum/UU tidak jelas mengatur
dan menciptakan hukum apabila hukum/UU tidak mengatur.
Hakim wajib menggali memahami dan mengikuti
perkembangan nilai-nilai yang didup dalam masyarakat.
Putusan Hakim merupakan sarana untuk merubah masyarakat
dan juga merupakan sumber hukum. Manakala Legislatif
belum dapat mengakomodir adanya perkembangan hukum,
maka diharapkan setelah hakim melakukan penemuan atau
menciptakan hukumnya Legislatif segera mengakomodir dalam
perundang-undangan. Hal ini telah ada contohnya, yaitu
mengenai gugatan Walhi terhadap pemerintah dalam perkara
lingkungan, yang dulu tidak dikenal, namun setelah adanya
putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (salah satu
anggotanya Paulus Lotulung) yang menerima gugatan
NGO/LSM, maka selanjutnya dalam UU Lingkungan, UU

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


265

Perlindungan Konsumen dan UU Kehutanan telah


469
diakomodir.

Begitu juga Virza Roy Hizzal yang menyatakan bahwa “Beberapa


putusan Pengadilan yang sudah ada tidak cukup. Perlu diatur dalam suatu
perundang-undangan, karena dalam pelaksanaannya terdapat kebingungan
bagi kalangan hakim untuk membedakan yang mana antara gugatan citizen
lawsuit dengan gugatan class action. Perundang-undangan tersebut
hendaknya sejalan dengan apa yang telah dilakukan oleh pengadilan melalui
putusan-putusannya”.470

Selanjutnya jika dikaitkan dengan apa yang diutarakan Andriani


Nurdin tersebut di atas di mana sudah ada contoh terhadap pembaruan
hukum terkhusus standing di Indonesia, maka perlulah diutarakan mengenai
pengaruh putusan pengadilan terhadap pembaruan standing dalam hukum
acara perdata. Terlebih lagi penemuan hukum mengenai gugatan warga
negara (citizen lawsuit) berkaitan erat dengan standing, karena untuk
mengajukan citizen lawsuit, penggugat harus memiliki `standing" untuk
melakukan gugatan citizen lawsuit ini. Tergugat dapat menuntut
pembatalan gugatan citizen lawsuit apabila penggugat tidak memiliki
"standing" untuk menjadi penggugat citizen lawsuit.471

Istilah standing sendiri adalah hak-hak para pihak dalam mengajukan


tuntutan hukum atau meminta penegakan hukum melalui pengadilan
terhadap suatu hak dan kewajiban, yang dalam hukum acara perdata di
Indonesia pada awalnya adalah individu atau badan hukum (melalui
wakilnya) yang mempunyai kepentingan (asas point d’interet point d’action
serta asas legitima persona standi in judicio).

469
Wawancara dengan Andriani Nurdin, loc. cit.
470
Wawancara dengan Virza Roy Hizzal, loc. cit.
471
Indro Sugianto, op.cit., hal. 37, Timothy Belevetz juga menyatakan bahwa “A citizen suit
defendant may challenge the plaintiffs standing to prosecute the action”, lihat Timothy Belevetz,
op. cit., hal. 110.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


266

Akan tetapi standing tersebut berkembang seiring dengan


berkembangnya praktik peradilan di Indonesia, seperti yang telah diuraikan
sebelumnya, mulai dari diakuinya class action (gugatan perwakilan
kelompok) sampai dengan gugatan yang dilakukan oleh organisasi badan
hukum non pemerintah (legal standing, NGO’s standing).472

Penemuan hukum dalam putusan pengadilan berkaitan dengan


standing telah menyebabkan pembaruan hukum acara perdata, hal ini bisa
terlihat dalam tabel 4.3. berikut ini :473

Tabel 4.3
Pembaruan Hukum Acara Perdata Berkaitan dengan Standing
HIR / Rancangan Undang- Rancangan Undang-
RBG Undang (RUU) tentang Undang tentang Hukum
Hukum Acara Perdata Acara Perdata
(Draft November 2005) (Draft Maret 2008)
Standing hanyalah dimiliki Standing yang telah Standing yang telah
oleh orang perorangan dan diatur dalam RUU adalah diatur dalam RUU adalah
badan hukum. orang perorangan dan orang perorangan,
gugatan perwakilan. gugatan perwakilan, dan
legal standing.
Pasal 118 HIR dan pasal 142 Pasal 1 angka 1 “Orang Pasal 1 angka 1 “Orang
Rbg bahwa barang siapa yang adalah orang adalah orang
merasa hak pribadinya perseorangan atau badan perseorangan atau badan
dilanggar oleh orang lain hukum, baik menurut hukum, baik menurut
sehingga mendatangkan hukum perdata maupun hukum perdata maupun
kerugian, maka ia dapat menurut hukum publik”. menurut hukum publik”.
meminta Pengadilan untuk
menyelesaikan masalah itu
sesuai dengan hukum yang
berlaku.

472
Lihat juga Tim Peneliti Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, RUU tentang Hukum
Acara Perdata Ringkasan Eksekutif Penelitian, (Jakarta : Komisi Hukum Nasional Republik
Indonesia, 2012), hal. 6.
473
Sumber dari HIR dan RBg, serta Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Perdata
(Draft November 2005 dan Draft Maret 2008), yang diolah oleh peneliti.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


267

Pasal 1 angka 17 Pasal 1 angka 5 “Gugatan


“Gugatan perwakilan perwakilan adalah
adalah gugatan yang gugatan yang diajukan
diajukan oleh satu atau oleh satu atau beberapa
beberapa orang yang orang yang bertindak
bertindak untuk untuk kepentingan diri
kepentingan sendiri dan sendiri dan sekaligus
sekaligus sebagai wakil sebagai wakil kelompok
kelompok yang juga yang juga merupakan
merupakan korban”. korban”.
Pasal 1 angka 6 Gugatan
oleh Legal Standing
(kedudukan hukum)
adalah gugatan yang
diajukan oleh organisasi
kemasyarakatan atau
lembaga swadaya
masyarakat atas alasan
untuk kepentingan
masyarakat.
Pasal 2 sampai dengan
pasal 12 diuraikan
mengenai prosedur
gugatan dan permohonan,
di mana di dalamnya
terdapat uraian menegani
gugatan yang dilakukan
oleh orang perorangan,
gugatan perwakilan dan
legal standing.

Pembaruan tersebut menandakan bahwa pembentuk undang-undang


memperhatikan perkembangan yang ada dalam praktik-praktik peradilan di
Indonesia. Walaupun masih bersifat Rancangan Undang-Undang (RUU)
karena sampai dengan saat ini, Undang-Undang tentang Hukum Acara

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


268

Perdata belum disahkan oleh Lembaga / Badan Legislatif sebagai suatu


Undang-Undang474, akan tetapi dari RUU tersebut, dapatlah disimpulkan
bahwa telah terjadi pengaruh putusan pengadilan terhadap pembaruan
standing dalam hukum acara perdata.

Berkaitan dengan pengaruh putusan pengadilan terhadap pembaruan


Undang-Undang, Setiawan berpendapat bahwa “yurisprudensi telah
mendorong pengubahan undang-undang”, dimana dalam menguraikan
pendapatnya tersebut, ia membandingkannya dengan menguraikan pengaruh
putusan terhadap pembaruan hukum perdata di Belanda tentang perbuatan
melawan hukum yang diatur dalam pasal 1401 B.W (pasal 1365 KUH
Perdata), yang pada pokoknya menguraikan bahwa putusan Hoge Raad
dalam perkara Lidenbaum – Cohen, telah memengaruhi pembentuk undang-
undang dalam mengubah pasal 1401 B.W (pasal 1365 KUH Perdata),
sehingga pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas dari
sebelumnya.475

Selanjutnya Tim Peneliti Komisi Hukum Nasional Republik


Indonesia menguraikan mengenai pengaruh putusan pengadilan terhadap
pembaruan Undang-Undang Hukum Acara Perdata dalam hal gugatan
warga negara (citizen lawsuit), yaitu sebagai berikut :
Salah satu perkara keperdataan yang ditangani dan diakui di
pengadilan negara-negara Amerika, Inggris dan Belanda, misalnya
dibolehkannya organisasi (legal standing), gugatan kelompok atau
perwakilan (class action), dan gugatan warga negara (citizen
lawsuit).476

474
Undang-Undang tentang Hukum Acara Perdata, masuk dalam program legislasi nasional tahun
2010-2014, nomor 217, lihat. http://www.djpp.depkumham.go.id/prolegnas-2010-2014.html,
diakses pada tanggal 18 Desember 2012.
475
Setiawan, op. cit., hal. 138-139, dalam pasal 162.2. The Civil Code of Netherlands,
menguraikan yaitu “Except where there are grounds for justification, the following are deemed
tortious : the violation of the right and an act or omission breaching a duty imposed imposed by
law or a rule unwritten law pertaining to proper social conduct”, lihat, Hans Warendorf, et. al.,
trans.,The Civil Code of Netherlands, (Netherlands : Kluwer Law International, 2009), hal. 677.
476
Tim Peneliti Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, loc. cit.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


269

Gugatan warga negara diakui dengan lahirnya putusan Pengadilan


Negeri Jakarta Pusat pada kasus pelanggaran hak asasi manusia
terhadap buruh migran Indonesia dan anggota keluarganya di
Malaysia, di mana mereka dideportasi paksa secara massal dari
Malaysia ke Nunukan, Kalimantan Timur.477
Selain itu diakui juga dalam perkara gugatan warga negara (citizen
lawsuit) Ujian Nasional yang tertuang dalam putusan Penetapan
No. 228/PDT.G/2006/PN.JKT.PST. Ketiadaan peraturan yang
mengatur memberikan kewenangan kepada hakim untuk
menciptakan hukum yaitu dengan melakukan judicial activism,
baik dengan melakukan penafsiran hukum atau mencari dasar-
dasar serta asas-asasnya guna menegakkan keadilan.478
Dan diakhir penelitian tersebut, Tim Peneliti memberikan
rekomendasi sementara yaitu perlu diatur mengenai model
gugatan warga negara (citizen lawsuit).479

Senada dengan hal tersebut Andi Samsan Nganro berpendapat


“putusan hakim terhadap gugatan warga negara (citizen lawsuit) ini
diharapkan akan dipakai sebagai pedoman dalam pembentukan perundang-
undangan hukum acara perdata, sehingga undang-undang tersebut dapat
sebagai sumber hukum positif bagi hakim dalam memeriksa, mengadili dan
memutus gugatan warga negara (citizen lawsuit) tersebut”.480

Pri Pambudi Teguh menyatakan bahwa “pembaruan hukum acara


perdata di Indonesia harus selalu mengacu kepada putusan-putusan
pengadilan karena putusan pengadilan merupakan penyelesaian terhadap
kasus konkret yang merupakan pembentukan hukum oleh hakim terhadap
kasus yang diajukan kepadanya. Oleh karena itu pembaruan hukum acara
perdata selain berbasis akademis (teori) juga harus memberikan ruang

477
Ibid., hal. 7.
478
Ibid.
479
Ibid., hal. 71.
480
Wawancara, dengan Andi Samsan Nganro, loc. cit.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


270

kepada perkembangan hukum acara yang terjadi dalam praktik, terutama


terhadap hukum acara gugatan warga negara (citizen lawsuit)”.481

Marsudin Nainggolan juga menguraikan “bahwa tumbuhnya


lembaga-lembaga dalam hukum acara perdata seperti gugatan warga negara
(citizen lawsuit) dalam praktik peradilan, menyebabkan perlunya mendapat
perhatian pengaturan lembaga hukum acara perdata baru tersebut ke dalam
Rancangan Hukum Acara Perdata. Putusan Pengadilan dapat dijadikan
sebagai sumber dalam pembaruan hukum acara perdata tersebut, jika
Legislatif belum mengakomodir hal tersebut, maka sudah saatnya
Mahkamah Agung mengeluarkan Perma yang mengatur mengenai citizen
lawsuit”.482

Demikian juga Andrian Nurdin berpendapat bahwa :

Sudah saatnya gugatan warga negara (citizen lawsuit) diakomodir


dalam Hukum Acara Perdata kita, karena kenyataannya lembaga
ini sudah diterima di pengadilan. Lagipula dengan diatur dalam
Undang-Undang (UU) akan mengatur mengenai batasan-batasan
sejauh mana citizen lawsuit ini dapat dipergunakan, apakah dalam
semua jenis perkara, baik perkara tentang bisnis, perkara
lingkungan hidup dll. Dengan diakomodir dalam UU akan
mencegah terjadinya tindakan main hakim sendiri dari warga
masyarakat bahkan kadang cenderung anarkhis. Dengan diaturnya
dalam UU akan mencegah disparitas putusan hakim, dimana
sebagaian hakim akan menerima citizen lawsuit dan ada sebagian
yang tidak menerima citizen lawsuit karena tidak diatur dalam UU.
Putusan Hakim merupakan sarana untuk merubah masyarakat dan
juga merupakan sumber hukum. Manakala Legislatif belum dapat
mengakomodir adanya perkembangan hukum, maka diharapkan
setelah hakim melakukan penemuan atau menciptakan hukumnya

481
Wawancara, dengan Pri Pambudi Teguh, loc. cit.
482
Wawancara dengan Marsudin Nainggolan, loc. cit.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


271

Legislatif segera mengakomodir dalam perundang-undangan. Jika


Legislatif belum mengakomodir hal tersebut, maka sudah saatnya
Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung
(Perma) yang mengatur mengenai citizen lawsuit. Perlu diketahui
bahwa dalam Kelompok Kerja (POKJA) Sertifikasi Hakim
Lingkungan, juga termasuk POKJA pembuatan Pedoman
Penanganan Perkara Tindak Pidana, perkara Perdata dan perkara
Tata Usaha Negara (dimana saya sebagai anggota) telah diatur
mekanisme citizen lawsuit.483

Hal ini juga disetujui oleh Noor M. Aziz, yang menyatakan “bahwa
putusan pengadilan berkaitan dengan mekanisme gugatan warga negara
(citizen lawsuit) tersebut dapat memengaruhi pembentukan Undang-Undang
(UU) khususnya UU tentang Hukum Acara Perdata, apalagi jika putusan
tersebut berupa yurisprudensi. Di Indonesia perlu didorong agar para hakim
berani membuat putusan yang menjadi yurisprudensi. Jika Undang-Undang
belum bisa direalisasikan saat ini, maka Mahkamah Agung dengan
kewenangan yang dimilikinya dapat membentuk Peraturan Mahkamah
Agung yang mengatur mengenai citizen lawsuit”.484

Sedangkan Virza Roy Hizzal (praktisi hukum, pengacara),


berpendapat, bahwa :

Putusan pengadilan berkaitan dengan mekanisme gugatan gugatan


warga negara (citizen lawsuit) dapat memengaruhi pembentukan
undang-undang khususnya Undang-Undang (UU) Hukum Acara
Perdata. Undang-undang yang dibuat legislatif ternyata memiliki
banyak kelemahan-kelemahan, terbukti sejak adanya Mahkamah
Konstitusi sudah puluhan undang-undang yang dianulir oleh MK
karena dinilai bertentangan dengan konstitusi. Itu artinya legislatif
yang saat ini kewenangannya sebagai pembentuk undang-undang

483
Wawancara dengan Andriani Nurdin, loc. cit.
484
Wawancara dengan Noor M. Aziz, loc. cit.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


272

tidak luput dari kesalahan. Tidak sedikit pasal dalam undang-


undang yang ternyata dalam pelaksanaannya menimbulkan
masalah akibat substansinya tidak jelas dan multi tafsir. Untuk
itulah diperlukan pengaruh dari penemuan-penemuan hakim untuk
dapat membentuk adanya sumber-sumber hukum baru yang akan
lebih memberikan kepastian hukum dalam masyarakat serta
sebagai acuan bagi legislator dalam membuat undang-undang,
dalam hal ini pengaturan gugatan gugatan warga negara (citizen
lawsuit) dalam UU Hukum Acara Perdata. Dasar yang menjadi
pertimbangan bagi hakim dalam memutus perkara yang bersifat
final dan tetap, dan ternyata dipakai bagi hakim lainnya secara
berulang dan terus-menerus maka menjadi suatu sumber hukum
yang berlaku di Indonesia. Kendatipun telah menjadi
Yurisprudensi, sesuai sifatnya Indonesia yang masih menganut
eropa kontinental maka harus pula diperkuat dan dibarengi dengan
adanya peraturan perundang-undangan. Jika Legislatif belum
mengakomodir hal tersebut, maka sudah saatnya Mahkamah
Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) yang
mengatur mengenai citizen lawsuit, seperti halnya Peraturan
Mahkamah Agung tentang Class Action.485

Sementara itu VMF. Dwi Rudatiyani (praktisi hukum, pengacara),


berpendapat, bahwa :

Putusan Pengadilan berkaitan dengan mekanisme Gugatan Warga


Negara (Citizen Lawsuit) tersebut dapat mempengaruhi
Pembentukan Undang-Undang (UU) khususnya UU Hak Acara
Perdata yang mengatur tentang mekanisme oleh legislator,
walaupun masih diperlukan adanya Sumber-Sumber Hukum yang
lain, yang terkait dengan gugatan warga negara (citizen lawsuit)
dan diperlukan kajian-kajian lebih mendalam/detail agar
Masyarakat dan tentunya Para Penegak Hukum (Hakim dan

485
Wawancara dengan Virza Roy Hizzal, loc. cit.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


273

Pengacara) memiliki pemahaman yang jelas tentang apa itu


gugatan warga negara (citizen lawsuit) dan apa itu Class Action
sehingga dalam implementasinya tidak akan rancu nantinya.
Dalam waktu dekat bisa dibentuk Peraturan Mahkamah Agung
yang mengatur mengenai citizen lawsuit. 486

Selanjutnya Gede Pasek Suardika berpendapat “putusan pengadilan


tentang gugatan warga negara (citizen lawsuit) berdampak positif bagi
perkembangan atau pembaruan hukum terkhusus hukum acara perdata,
walaupun gugatan warga negara (citizen lawsuit) bersumber dari common
law system. Putusan Pengadilan terutama yurisprudensi sangat bisa menjadi
sumber bagi pembaruan hukum acara perdata, contoh konkret adalah
putusan sengkon dan karta yang menghasilkan hukum acara pidana yang
mengatur tentang peninjauan kembali, kemudian ada contoh dalam
pembahasan tentang Undang-Undang Pemilihan Umum yang pernah saya
ikuti, di mana putusan pengadilan bisa menjadi sumber dalam pembaruan
suatu Undang-Undang. Karena pembentukan undang-undang memerlukan
mekanisme yang agak lama, maka untuk mengakomodir hal tersebut, sudah
saatnya Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung
(Perma) yang mengatur mengenai citizen lawsuit”.487

Kemudian J. Djohansjah berpendapat bahwa “Putusan pengadilan


tentang gugatan warga negara (citizen lawsuit) pada dasarnya dapat
memengaruhi pembaruan hukum acara perdata di Indonesia, akan tetapi
dengan syarat jika telah menjadi yurisprudensi, dan hal itu pun tetap harus
dikaji lagi lebih lanjut, apakah bisa atau tidak diatur dalam undang-undang
di Indonesia”.488

Selanjutnya berkaitan dengan pengaruh putusan pengadilan tersebut


terhadap Pembaruan Hukum Acara Perdata, maka patut juga diuraikan
pendapat Alvin Z. Rubenstein dalam bukunya Soviet and Chinese Influence

486
Wawancara dengan VMF. Dwi Rudatiyani, loc. cit.
487
Wawancara dengan Gede Pasek Suardika, loc. cit.
488
Wawancara dengan J. Djohansjah, loc. cit.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


274

in The Third World sebagaimana dikutip Teuku May Rudy yang diuraikan
pada bab sebelumnya, yang berpendapat bahwa: “Pengaruh adalah hasil
yang timbul sebagai kelanjutan dari situasi dan kondisi tertentu sebagai
sumbernya, dalam hal ini syaratnya adalah bahwa terdapat keterkaitan
(relevansi) yang kuat dan jelas antara sumber dengan hasil”.489

Berdasarkan pendapat berbagai narasumber (baik dari praktisi


hukum, hakim, dari pihak Badan Pembinaan Hukum Nasional, dan Ketua
Komisi Tiga Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia) dan juga
pendapat dari Tim Peneliti Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia
sebagaimana tersebut di atas, maka dapat disimpulkan :
1. Bahwa Hukum Acara Perdata yang berlaku saat ini berdasarkan Undang-
Undang (UU) Darurat No. 1 tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan
Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan
Acara Pengadilan Sipil adalah HIR dan RBg, belum mengatur
mekanisme / acara tentang gugatan warga negara (citizen lawsuit)
2. Putusan tentang gugatan warga negara (citizen lawsuit) telah diikuti oleh
hakim-hakim selanjutnya, walaupun masih terdapat perbedaan syarat
formal suatu gugatan warga negara (citizen lawsuit), yaitu perlu tidaknya
notifikasi (pemberitahuan) kepada calon tergugat, dan bahkan putusan
pengadilan yang mengakui dan menerima gugatan warga negara (citizen
lawsuit) dijadikan sebagai dasar oleh penggugat untuk mengajukan
gugatannya, sehingga peneliti berpendapat putusan tersebut bisa
dikatakan sebagai yurisprudensi, walaupun bukan merupakan
yurisprudensi tetap.
3. Bahwa penemuan hukum dalam putusan pengadilan tentang gugatan
warga negara (citizen lawsuit) sebagai sumber mempunyai keterkaitan
(relevansi) yang kuat dan jelas dengan hasilnya yaitu adanya
pembahasan dan usulan konkret untuk memasukkan prosedur gugatan
warga negara (citizen lawsuit) ke dalam undang-undang tentang hukum
acara perdata di Indonesia yang akan datang.

489
Teuku May Rudy, op. cit., hal 26.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


275

Berdasarkan analisis di atas, maka peneliti berpendapat :


1. Hukum Acara Perdata yang berlaku saat ini berdasarkan Undang-
Undang (UU) Darurat No. 1 tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan
Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan
Acara Pengadilan Sipil adalah HIR dan RBg, masih belum mengatur
mekanisme / acara tentang gugatan warga negara (citizen lawsuit).
Putusan pengadilan (dalam hal ini yurisprudensi) merupakan sumber
hukum dalam memengaruhi pembaruan undang-undang hukum acara
perdata dan diharapkan pembentuk undang-undang dalam hal ini
legislatif mengakomodir hal tersebut, sehingga undang-undang hukum
acara perdata nasional yang akan datang dapat sejalan dengan penemuan
hukum hakim dalam putusan pengadilan tentang gugatan warga negara
(citizen lawsuit).
2. Hasil penelitian ini menguatkan teori hukum pembangunan yang
diutarakan Mochtar Kusumaatmadja yaitu “Putusan pengadilan
(Yurisprudensi) dan Peraturan Perundang-undangan merupakan sarana
pembaruan kaidah-kaidah dan azas serta penemuan arah atau bahan bagi
pembaruan hukum, pembaruan kaidah. Perubahan yang teratur melalui
prosedur hukum, baik ia berwujud perundang-undangan atau keputusan
badan-badan peradilan lebih baik daripada perubahan yang tak teratur
dengan menggunakan kekerasan semata-mata”.490 Di Indonesia di mana
undang-undang merupakan cara pengaturan hukum yang utama
pembaharuan masyarakat dengan jalan hukum berarti pembaharuan
hukum terutama melalui perundang-undangan.491 Walaupun pengadilan
juga merupakan institusi pembaruan hukum, akan tetapi perundang-
undangan merupakan teknik utama untuk melaksanakan pembaruan
hukum, sehingga putusan-putusan pengadilan yang merupakan hukum in
concreto dan dapat menjadi hukum in abstracto jika telah menjadi
yurisprudensi, sudah saatnya mendapat tempat utama sebagai sumber
hukum dalam pembaruan undang-undang hukum acara perdata.

490
Mochtar Kusumaatmadja, op. cit., hal. 12-13.
491
Ibid., hal. 13.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan sebagaimana diuraikan pada
bab-bab sebelumnya, maka peneliti menyimpulkan yaitu sebagai berikut :
1. Dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara pengadilan
dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya, dan wajib
melakukan penemuan hukum. Berkaitan dengan gugatan warga negara
(citizen lawsuit), walaupun masih terdapat perbedaan di kalangan hakim,
akan tetapi hakim telah melakukan penemuan hukum oleh karena
prosedur / mekanisme gugatan warga negara (citizen lawsuit) diakui
dalam sistem hukum common law (Amerika Serikat, India dan Selandia
Baru), belum diatur dalam perundang-undangan di Indonesia. Pelopor
diakuinya gugatan warga negara (citizen lawsuit) adalah Putusan Nomor
28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst, tanggal 8 Desember 2003. Dari beberapa
putusan pengadilan, maka kaidah hukum yang bisa diambil dari
penemuan hukum tersebut dalam lingkup hukum acara perdata adalah
pertama mengenai standing, di mana setiap orang (any person), setiap
warga negara (any citizen) tanpa memerlukan surat kuasa dari warga
negara lain dan tanpa harus membukti kerugian riil atau tangible (nyata),
berhak untuk mengajukan gugatan warga negara (citizen lawsuit) demi
kepentingan publik (pro bono publico). Kedua gugatan warga negara
(citizen lawsuit) ditujukan hanya kepada penyelenggara negara atas dasar
adanya perbuatan melawan hukum (baik aktif maupun pasif)
sebagaimana diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata. Ketiga gugatan
harus memenuhi syarat formal suatu gugatan yaitu adanya standing, dan
uraian kepentingan umum yang jelas. Keempat berkaitan dengan syarat
notifikasi (pemberitahuan kepada tergugat) masih terdapat perbedaan
penafsiran dalam putusan pengadilan, ada hakim yang mewajibkan ada
juga hakim yang tidak mewajibkan hal tersebut. Kelima tuntutan

276
Universitas Indonesia
Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.
277

(petitum) dalam gugatan tidak boleh membatalkan suatu keputusan tata


usaha negara, membatalkan suatu perundang-undangan dan juga
membatalkan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
Keenam pengadilan cenderung tidak mengabulkan tuntutan ganti rugi
yang diajukan oleh penggugat. Ketujuh pengadilan pada dasarnya hanya
menjatuhkan putusan yang amarnya yaitu negara dihukum untuk
mengeluarkan suatu kebijakan untuk melakukan suatu perbuatan dan
juga kebijakan umum yang bersifat mengatur (regeling) agar kelalaian
tersebut tidak terjadi lagi di kemudian hari.
2. Bahwa Hukum Acara Perdata yang berlaku saat ini berdasarkan UU
Darurat No. 1 tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk
Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan
Sipil, yaitu HIR dan RBg, belum mengatur mekanisme / acara tentang
gugatan warga negara (citizen lawsuit). Penemuan hukum dalam putusan
pengadilan tentang gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang
merupakan sumbernya, mempunyai keterkaitan (relevansi) yang kuat
dan jelas dengan hasilnya yaitu adanya pembahasan dan usulan konkret
untuk memasukkan prosedur gugatan warga negara (citizen lawsuit) ke
dalam undang-undang tentang hukum acara perdata di Indonesia yang
akan datang. Dengan demikian putusan pengadilan tentang gugatan
warga negara (citizen lawsuit) walaupun belum berupa yurisprudensi
tetap, dapat memengaruhi pembaruan undang-undang hukum acara
perdata.
5.2 Saran
1. Dalam melakukan penemuan hukum, hakim diharapkan dapat lebih
menggali dan lebih memahami konsep gugatan warga negara (citizen
lawsuit) yang memang bukan berasal dari sistem hukum Indonesia, akan
tetapi dari common law system. Berkaitan dengan syarat formal gugatan
warga negara (citizen lawsuit) yaitu, standing, notifikasi (pemberitahuan
kepada tergugat), dan kepentingan umum, hakim harus memberikan
alasan hukum yang tepat dalam mempertimbangkan hal tersebut
disesuaikan dengan sistem hukum Indonesia, sehingga penemuan hukum

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


278

dalam putusan hakim tersebut dapat semakin lebih baik. Perlu diadakan
pelatihan dan kursus bagi kalangan hakim guna menyamakan persepsi
atau pola pikir dan pemahaman tentang konsep penemuan hukum,
ataupun metode penemuan hukum yang jelas. Pelatihan tersebut
diharapkan dapat membuka pola pikir dan pemahaman hakim tentang
konsep penemuan hukum dan metodenya yang jelas sehingga di waktu
yang akan datang hakim dapat melakukan penemuan hukum yang lebih
baik berkaitan prosedur / mekanisme gugatan warga negara (citizen
lawsuit) dengan menggunakan metode penemuan hukum yang tepat.
2. Pembentuk undang-undang hukum acara perdata di masa yang akan
datang (dalam hal ini pihak legislatif) perlu mengakomodir pengaturan
mengenai gugatan warga negara (citizen lawsuit). Putusan-putusan
pengadilan yang merupakan hukum in concreto sudah saatnya mendapat
tempat utama sebagai sumber hukum pembaruan undang-undang
hukum acara perdata. Diharapkan undang-undang hukum acara perdata
di masa yang akan datang khususnya mengenai gugatan warga negara
(citizen lawsuit) dapat sejalan dengan kaidah hukum putusan pengadilan
sebagaimana diuraikan di atas. Dengan adanya sinkronisasi dan saling
mengisi antara penemuan hukum oleh hakim dengan pembentukan
undang-undang oleh badan legislatif berkaitan dengan gugatan warga
negara (citizen lawsuit) tersebut, maka diharapkan pertama dapat
meminimalkan adanya ketentuan undang-undang yang tidak dapat
dilaksanakan oleh penegak hukum, kedua berlaku prinsip preferensi
yang wajib dipatuhi hakim, yaitu ketentuan bahwa undang-undang
"prevail" (berlaku) terhadap hukum tidak tertulis, termasuk putusan
hakim yang telah diatur dalam undang-undang, ketiga tidak akan lagi
terjadi atau setidak-tidaknya meminimalkan perbedaan penafsiran
sesama hakim berkaitan dengan gugatan warga negara (citizen lawsuit),
keempat tidak akan terjadi putusan pengadilan yang tidak dapat
dilaksanakan (dieksekusi), kelima dapat menjadi pedoman bagi pencari
keadilan dalam mengajukan gugatan dengan prosedur atau mekanisme
gugatan warga negara (citizen lawsuit)

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Adji, Oemar Seno, Peradilan Bebas Negara Hukum, (Jakarta : Erlangga, Cetakan
kedua, 1985).

Agustina, Rosa, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta : Program Pascasarjana


Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003).

Ali, Ahmad, Nurhadi, Ed., Menguak Tabir Hukum, Edisi Kedua, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 2008).

Arinanto, Satya, Ninuk Triyanti, (Ed.), Memahami Hukum dari Konstruksi sampai
Implementasi (Jakarta : Rajawali Pers, Cetakan kedua, 2011).

Asshiddiqie, Jimly, Menuju Negara Hukum yang Demokratis (Jakarta : PT


Bhuana Ilmu Populer, 2009).

--------------, Perihal Undang-Undang, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, Cetakan


kedua, 2011).

Atmasasmita, Romli, Teori Hukum Integratif (Rekonstruksi Terhadap Teori


Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif), (Yogyakarta : Genta
Publishing, 2012).

Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-


Prinsipnya Dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode
Negara Medinah dan Masa Kini, (Jakarta : Kencana, 2004).

Black, Henry Campbell, Bryan A Garner et. al, Ed., Black’s Law Dictionary
eighth edition, (St. Paul, Minnesota : Thomson West, 2004).

Djojodirdjo, M.A. Moegni, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta : Pradnya


Paramita, 1979).

279
Universitas Indonesia
Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.
280

Finch, John, Introduction to Legal Theory ( London : Sweet & Maxwell, second
edition, 1974).

Hamidi, Jazim, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru dengan


Interpretasi Teks, (Yogyakarta : UII Pres, 2005).

Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,


Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta : Sinar Grafika,
cetakan kesembilan, 2009).

Himawan, Charles, Hukum Sebagai Panglima Abun Sanda. Ed. (Jakarta : PT


Kompas Media Nusantara, 2003).

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta : Yayasan


Kanisius, 1982).

Isrok, Rizki Emil Birham, Citizen Lawsuit “Penegakan Hukum Alternatif bagi
Warga Negara”, (Malang : Universitas Brawijaya Press, 2010).

Joeniarto, Negara Hukum, (Yogyakarta : Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada,


1968).

Kusumaatmadja, Mochtar, Hukum, Masyarakat dan Perubahan Hukum Nasional,


(Bandung : Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum-
Universitas Padjadjaran 1976, Binacipta, Tanpa Tahun).

Kusumaatmadja, Mochtar dan B. Arief Aidharta, Pengantar Ilmu Hukum,


(Bandung : Alumni, 2000)

Lotulung, Paulus Effendi, Penegakan Hukum Lingkungan oleh Hakim Perdata,


(Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993).

Mahkamah Agung, Naskah Akademis tentang Pembentukan Hukum Melalui


Yurisprudensi, (Jakarta : Mahkamah Agung, 2005).

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


281

------------, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku I dan


II, (Jakarta : Mahkamah Agung RI, 2007/2008).

Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana, cetakan


ketiga, 2009).

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta : Liberty,


1993).

-------------, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, edisi


keenam, 2000).

-------------, Penemuan Hukum (Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta,


2010).

Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum,


(Yogyakarta : Citra Aditya Bakti, cetakan ke I, 1993).

Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia (Studi Tentang


Interaksi Politik dan kehidupan Ketatanegaraan), (Jakarta : Rineka Cipta,
2003).

-------------, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta :


Rajawali Press, 2011).

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung : PT. Citra


Aditya Bakti, 2000).

Nugroho, Susanti Adi, Class Action dan Perbandingannya dengan Negara Lain,
(Jakarta : Kencana, 2010).

Pompe, Sebastian, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, Terj. Noor Cholis,


(Jakarta : Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan,
2012) Terj. dari The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional
Collapse.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


282

Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Bandung : Sumur,


cetakan keenam, 1975).

Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto, Perundang-Undangan dan


Yurisprudensi, (Bandung : Alumni, 1979).

Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah


Agung RI, Class Action & Citizen Lawsuit Laporan Penelitian
(Megamendung : Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat
Kumdil Mahkamah Agung RI, 2009).

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum (Bandung : Penerbit Alumni, 1982).

-------------, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta : Buku Kompas, 2007).

-------------, Penegakan Hukum Progresif ( Jakarta : PT Kompas Media Nusantara,


2010).

Rasjidi, Lili dan Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung
: PT. Fikahati Aneska, 2012).

Razzaque, Jona, Public Interest Environmental Litigation in India, Pakistan and


Bangladesh, (The Hague, The Netherlands : Kluwer Law International,
2004).

Ratnapala, Suri, Jurisprudence (Cambridge : Cambridge University Press, 2009).

Rifai, Ahmad, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspekatif Hukum


Progresif, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011).

Rudy, T. May, Teori, Etika dan Kebjiakan Hubungan Internasional, (Bandung :


Angkasa, 1993).

Salman, Otje dan Eddy Damian (ed), Konsep-Konsep Hukum dalam


Pembangunan dari Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja,S.H.,LL.M.,
(Bandung : Penerbit PT.Alumni, 2002).

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


283

Setiawan, Rachmat, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, (Bandung :


Alumni, 1982).

Sidharta, Bernard Arief, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian
tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai
Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia (Bandung :
Mandar Maju, 2000).

Singarimbun, Masri dkk, ed., Metode Penelitian Survei, (Jakarta : LP3ES, 1989).

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986).

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : PT.
RajaGrafindo Persada, 2001).

Subekti, R., Hukum Acara Perdata, (Bandung : Binacipta, 1977).

Sundari, E., Pengajuan Gugatan Secara Class Action, (Suatu Studi Perbandingan
& Penerapannya di Indonesia), (Yogyakarta : Universitas Atmajaya, 2002).

Supomo, R., Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta : Fasco, 1985).

Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Raja Grafindo, 1998).

Vago, Steven, Law and Society (New Jersey : Pearson Education, Inc. ninth
edition, 2009).

Warendorf, Hans, et. al., trans.,The Civil Code of Netherlands, (Netherlands :


Kluwer Law International, 2009).

West Group (Selected Environmental Law Statues 2000-2001 Educational


Edition), (St. Paul, Minn : West Group, 2000).

Wignyosoebroto, Soetandyo, Hukum, Paradigma, Metode, dan Dinamika


Masalahnya. Ifdhal Kasim dkk (Ed.)., (Jakarta : ELSAM dan HUMA,
2002).

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


284

Yuntho, Emerson, Class Action Sebuah Pengantar, (Jakarta : Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat, 2005).

B. ARTIKEL, JURNAL, MAJALAH ILMIAH

Apgar, Gregory, Prudential Standing Limitations on Lanham Act False


Advertising Claims, (Fordham Law Review, Vol. 76, 2008).

Belevetz, Timothy, The Impact on Standing Doctrine in Environmental Litigation


of the Injury in Fact Requirement in Lujan v. National Wildlife
Federation, (William & Mary Journal of Environmental Law, Volume 17
Issue 1 article 6 : 103, 1992).

Currie, Andrew J., The Use of Environmentally Beneficial Expenditures In Lieu of


Penalties as Settlement of Citizen Lawsuit : a “Win-Win Solution?, (Detroit
College of Law at Michigan State University Law Review, 1996).

David, Thomas, Penemuan Hukum dan Legalitas Hakim, (Jurnal Ilmiah


Kebijakan Hukum Vol. 1 Nomor 2, Oktober tahun 2007).

Dernbach, John C., Citizen Suits and Sustainability, (Widener Law Review, Vol.
10:503, 2004).

Hessick, F. Andrew, Standing, Injury In Fact and Private Rights, (CORNELL


LAW REVIEW Vol. 93:275, 2008).

Julesz, Mate, The Individual and the Environment: the New Hungarian Civil
Code, (The Open Law Journal, Volume 3, 2010).

Manan, Bagir, Konsekuensi Yuridis Keputusan Menteri Yang Dinyatakan Tidak


Berlaku Lagi, (Jakarta : IKAHI, Varia Peradilan Tahun XXIV No. 286,
September 2009).

----------------, Hakim Sebagai Pembaharu Hukum, (Jakarta : IKAHI, Varia


Peradilan Tahun ke XXII No. 254, Januari 2007).

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


285

Mulyono, Bambang H., Citizen Lawsuit Perlukah PERMA untuk Implementasi?,


(Jakarta : IKAHI, Varia Peradilan Tahun ke XXIV No. 286, September
2009).

Ryan, Karen P., HALLSTROM v. TILLAMOOK COUNTY: Interpreting The


Notice Provisions Of Environmental Statutes, (Pace Environmental Law
Review, 255, 1990).

Santosa, Mas Ahmad, Gugatan AJI : Perluasan Hak Gugat Organisasi (Legal
Standing), dalam (Dictum Jurnal Kajian Putusan Pengadilan Edisi 2,
2004).

Setiawan, Pengaruh Yurisprudensi Terhadap Peraturan Perundang-Undangan


suatu tinjauan sekilas, dalam (Jakarta : IKAHI, Varia Peradilan Tahun VI
No. 65 Februari 1991).

Sugianto, Indro, Kasus Nunukan : Hak Gugat Warga negara (Citizen Lawsuit)
Terhadap Negara, dalam (Dictum Jurnal Kajian Putusan Pengadilan Edisi
2, 2004).

Tolsma, Hanna, Kars de Graaf dan Jan Jans, The Rise and Fall of Access to
Justice in The Netherlands, (Oxford University Press : Journal of
Environmental Law 21:2, 2009).

C. WAWANCARA

Wawancara dengan Andi Samsan Nganro, tanggal 2 Oktober 2012.

Wawancara dengan Andriani Nurdin, tanggal 18 Nopember 2012.

Wawancara dengan Ennid Hasanuddin, tanggal 9 Nopember 2012.

Wawancara dengan Gede Pasek Suardika, tanggal 24 Oktober 2012.

Wawancara dengan J. Djohansyah, tanggal 1 Nopember 2012.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


286

Wawancara dengan Marsudin Nainggolan, tanggal 12 Desember 2012.

Wawancara dengan Noor M. Aziz, tanggal 1 Nopember 2012.

Wawancara dengan Pri Pambudi Teguh, tanggal 24 Oktober 2012.

Wawancara dengan VMF. Dwi Rudatiyani, tanggal 14 Desember 2012.

Wawancara dengan Virza Roy Hizzal, tanggal 18 Desember 2012.

D. SKRIPSI, TESIS, DISERTASI dan DATA / SUMBER YANG TIDAK


DITERBITKAN

Attamimi, A. Hamid S, Teori Perundang-undangan di Indonesia, Pidato


pengukuhan diucapkan pada upacara pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 25 April 1992.

Juwana, Hikmahanto, Hukum Internasional Dalam Konflik Kepentingan Ekonomi


Negara Berkembang dan Negera Maju, Pidato pengukuhan diucapkan pada
upacara pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Depok, 10 Nopember 2001.

Karugaba, Phillip, Public Interest Litigation in Uganda Practice & Prucedure


Shipwrekcs and Seamarks, disampaikan pada Judicial Symposium on
Environmental Law for The Judges of The Supreme Court an Court of
Appeal, Imperial Botanical Beach Hotel Entebbe, 11-13 September 2005.

Kesowo, Bambang, Negara Hukum, Program Legislasi Nasional Dan Kebutuhan


Desain Besar Bagi Perencanaannya, Pidato disampaikan pada Rapat Senat
Terbuka dalam rangka Dies Natalis ke-66 Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, 17 Pebruari 2012.

Rajagukguk, Erman, Filsafat Hukum (Materi Kuliah Pada Program Pasca Sarjana
Ilmu hukum Universitas Indonesia), 2011.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


287

Tim Peneliti Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, RUU tentang Hukum
Acara Perdata Ringkasan Eksekutif Penelitian, (Jakarta : Komisi Hukum
Nasional Republik Indonesia, 2012).

E. KASUS PENGADILAN

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Nomor : 533/Pdt/G/1987/PN Jkt.Pst,


antara R.O. Tambunan melawan P.T. Rokok Bentoel, Pemerintah RI cq.
Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta dkk, tanggal 1 Juni 1988.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Sela Nomor : 28/PDT.G/2003/PN.


Jkt.Pst, antara Munir dkk diwakili oleh Surya Tjandra, S.H.,LL.M, dkk
melawan NEGARA REPUBLIK INDONESIA cq. PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA, dkk, tanggal 10 Juni 2003.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Akhir Nomor : 28/PDT.G/2003/PN.


Jkt.Pst, antara Munir dkk diwakili oleh Surya Tjandra, S.H.,LL.M, dkk
melawan NEGARA REPUBLIK INDONESIA cq. PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA, dkk, tanggal 8 Desember 2003.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Sela Nomor : 228/PDT.G/2006/PN.


Jkt.Pst, dalam perkara Gugatan Warga Negara antara Kristiono dkk
melawan Negara Republik Indonesia cq. Presiden Republik Indonesia dkk,
Jakarta, tanggal 15 Nopember 2006

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan Akhir Nomor : 228/PDT.G/2006/PN.


Jkt.Pst, dalam perkara Gugatan Warga Negara antara Kristiono dkk
melawan Negara Republik Indonesia cq. Presiden Republik Indonesia dkk,
Jakarta, tanggal 21 Mei 2007.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Putusan Sela Nomor :


40/Pdt.G/2008/PN.JKT.Sel, antara Ir. Tjandra Tedja dkk yang
mengatasnamakan Tim Advokasi Masyarakat Pengguna Jalan Tol
(TAMPOL) melawan Negara Republik Indonesia cq. Presiden Republik
Indonesia dkk, tanggal 19 Mei 2008.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


288

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Sela Nomor :


145/Pdt.G/2009/PN.JKT.PST, antara Standarkiaa dkk yang
mengatasnamakan warga negara pemegang hak untuk memilih dalam
Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 melawan Negara Republik Indonesia cq.
Komisi Pemilihan Umum dan Negara Republik Indonesia cq. Presiden
Republik Indonesia, tanggal 03 Juni 2009.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Sela Nomor : 476/PDT.G/2009


/PN.JKT.PST, antara David M.L. Tobing, SH., MKn, dkk (2 orang)
melawan Negara Republik Indonesia cq. Presiden Republik Indonesia,
tanggal 19 Agustus 2010.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Sela Nomor : 111/PDT.G/2010


/PN.JKT.PST, antara Febri Irwansyah dkk, melawan Persatuan Sepakbola
Seluruh Indonesia dkk, tanggal 13 Oktober 2011.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Sela Nomor :


278/PDT.G/2010/PN.Jkt.Pst, dalam perkara Gugatan Warga Negara
antara Ir. H. SAID IQBAL, M.E., dkk melawan Negara Republik
Indonesia cq. Presiden Republik Indonesia dkk, Jakarta, tanggal 17 Januari
2011.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Akhir Nomor :


278/PDT.G/2010/PN.Jkt.Pst, dalam perkara Gugatan Warga Negara
antara Ir. H. SAID IQBAL, M.E., dkk melawan Negara Republik
Indonesia cq. Presiden Republik Indonesia dkk, Jakarta, tanggal 13 Juli
2011.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Nomor 500/PDT.G/2010/PN.JKT.PST,


tanggal 13 Oktober 2011 antara Prof. Dr. ADLER H. MANURUNG dkk,
melawan melawan Negara Republik Indonesia cq. KEMENTERIAN
NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN) dkk.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


289

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Sela Nomor :


53/PDT.G/2012/PN.JKT.PST, antara Agustinus Dawarja, dkk melawan
Pemerintah Propinsi DKI dkk, tanggal 25 Juli 2012.

Pengadilan Tinggi Jakarta, Putusan Nomor : 158/ Pdt/1989/PT. DKI, antara R.O.
Tambunan melawan P.T. Rokok Bentoel, Pemerintah RI cq. Gubernur
Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta dkk, tanggal 26 April 1989.

Pengadilan Tinggi Jakarta, Putusan Nomor: 480/PDT/2005/PT.DKI, antara Munir


dkk diwakili oleh Surya Tjandra, S.H.,LL.M, dkk melawan NEGARA
REPUBLIK INDONESIA cq. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, dkk,
tanggal 4 April 2006.

F. INTERNET

Ant, Calon Hakim Agung Tak Paham “Ctitizen Lawsuit”,


http://www.harianbhirawa.co.id/nasional/34181-calon-hakim-agung-tak-
paham-qcitizen-lawsuitsq, 26 Juli 2011, diakses pada tanggal 10
September 2012.

Asshiddiqie, Jimly, Gagasan Negara Hukum Indonesia,


http://jimly.com/makalah/ namafile/57/ Konsep_Negara_ Hukum_
Indonesia.pdf. Diakses pada tanggal 12 Desember 2011.

Convention on Access to Information, Public Participation in Decision-Making


and Access to Justice in Environmental Matters
http://www.unece.org/fileadmin/DAM/env/pp/documents/cep43e.pdf,
diakses pada tanggal 18 Oktober 2012.

Darmi, Afridal, Mari Mengenal Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit),


http://www.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article
&id=601:mari-mengenal-gugatan-warga-negara-citizen-
lawsuit&catid=73:politik-hukum-ham-resolusi-konflik&Itemid=124, 11
Agustus 2011, diakses pada tanggal 12 Desember 2011.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


290

Deva, Surya, Public Interest Litigation in India: A Critical Review,


http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/apcity/unpan04738
4.pdf, diakses pada tanggal 12 Nopember 2012.

Eh, ICW dkk Gugat Swastanisasi Air Minum Jakarta,


http://metro.news.viva.co.id/news/read/369148-icw-dkk-gugat-
swastanisasi-air-minum-jakarta, 21 Nopember 2012, diakses pada tanggal
28 Nopember 2012.

Gugatan CLS (Citizen Lawsuit) ditolak PRT ajukan banding,


http://pahamindonesia.org/publikasi/berita-dunia-seputar-ham/77-gugatan-
cls-citizen-law-suit-ditolak,-prt-ajukan-banding.html, diakses pada tanggal
28 Nopember 2012.

Hakim Bingung Soal Citizen Lawsuit dan Class Action


http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16280/hakim-bingung-soal-
citizen-law-suit-dan-class-action, 27 Pebruari 2007, diakses pada tanggal
10 September 2012.

Herlinda, Erna, Tinjauan Tentang Gugatan Class Actions Dan Legal Standing Di
Peradilan Tata Usaha Negara,
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1531/1/fh-erna5.pdf,
diakses pada tanggal 6 Oktober 2012.

Holmes, Oliver Wendell, The Path of the Law, 10 Harvard Law Review 457
(1897), http://www.constitution.org/lrev/owh/path_law.htm, diakses pada
tanggal 12 Desember 2011.

Hrs, Newmont Gagalkan Citizen Lawsuit Masyarakat,


http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50adb8386f0f9/newmont-
gagalkan-icitizen-law-suit-i-masyarakat, 22 Nopember 2012, diakses pada
tanggal 28 Nopember 2012.

----------, Pengadilan Lanjutkan Perseteruan Masyarakat dan Ancol


http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50b03aca3830d/pengadilan-

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


291

lanjutkan-perseteruan-masyarakat-dan-ancol, 24 Nopember 2012, diakses


pada tanggal 28 Nopember 2012.

http://www.austlii.edu.au/au/legis/nsw/consol_act/epaaa1979389/s123.html,
diakses pada tanggal 10 Desember 2012.

http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses pada tanggal 24 September


2012.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol19251/melalui-citizen-lawsuit-
masyarakat-bisa-gugat-pemerintah, diakses pada tanggal 4 Juli 2012.

http://www.elsam.or.id/downloads/1262942628_Legal_standing-Sulistiono.pdf,
diakses pada tanggal 5 Oktober 2012.

http://www.djpp.depkumham.go.id/prolegnas-2010-2014.html, diakses pada


tanggal 18 Desember 2012.

Kanandito, Arko, Konsep Citizen Lawsuit di Indonesia,


http://kanadianto.wordpress.com/2008/01/23/konsep-citizen-lawsuit-di-
indonesia/, 23 Januari 2008, diakses pada tanggal 12 Desember 2011.

Kms, Menggugat Kenaikan Tarif Tol Lewat Class Action atau Citizen Lawsuit,
12 September 2007,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17567/menggugat-kenaikan-
tarif-tol-lewat-iclass-actioni-atau-icitizen-lawsuiti, diakses pada tanggal 5
oktober 2012.

Maladi, Yanis , Dokirin Strict Liability, Class Action, Dan Legal Standing
Sebagai Landasan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Di Indonesia,
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/92065866_1410-8771.pdf, diakses
pada tanggal 24 September 2012.

Manan, Abdul, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Praktik Hukum Acara di
Peradilan Agama,

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


292

http://rakernas.mahkamahagung.go.id/index.php/rakernas-2010/peradilan-
agama?download=9%3Apenemuan-hukum-oleh-hakim-h-abdul-manan,
diakses pada tanggal 12 Oktober 2012.

Mertokusumo, Sudikno, Actio Popularis,


http://sudiknoartikel.blogspot.com/2008/03/actio-popularis.html, 19 Maret
2008, diakses tanggal 12 Desember 2011.

-----------------, Kepentingan Umum,


http://sudiknoartikel.blogspot.com/2008/03/kepentingan-umum.html, 17
Maret 2008, diakses pada tanggal 12 Oktober 2012.

Mon, Gugatan Citizen Lawsuit Marwan Batubara Cs Kandas,


http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol22594/gugatan-icitizen-
lawsuiti-marwan-batubara-cs-kandas, 16 Juli 2009, diakses pada tanggal
28 Nopember 2012.

Mossop, David, Citizen Suits – Tools for Improving Compliance with


Environmental Laws,
http://www.aic.gov.au/publications/previous%20series/proceedings/1-
27/~/media/publications/proceedings/26/mossop.ashx, diakses pada tanggal
24 September 2012.

Riesel, Daniel, Steven C. Russo and Elizabeth A. Read, Defending Citizen Suits,
http://www.sprlaw.com/pdf/spr_defending_citizen_suits.pdf, diakses pada
tanggal 1 Oktober 2012.

Shriver Center's, Standing, http://federalpracticemanual.org/node/19, diakses pada


tanggal 10 Desember 2012.

Smedt, Peter De, Legal Tools to Encourage Citizen Participation in


Environmental Enforcement in The Flemish Region (Belgium),
http://inece.org/conference/9/papers/Smedt_Flanders_final.pdf, dikases
pada tanggal 2 Oktober 2012.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


293

Sohn, Joshua L., The Case for Prudential Standing,


http://works.bepress.com/cgi/viewcontent.cgi?article=1001&context=josh
ua_sohn, diakses pada tanggal 10 Desember 2012.

Tim Penyusun Naskah Akademik RUU HAP, Naskah Akademik tentang


Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Perdata tahun 2011,
tanggal 30 Nopember 2011,
http://www.bphn.go.id/data/documents/Naskah%20Akademis%20RUU%20Tent
ang%20Hukum%20Acara%20Perdata%20%202011.pdf, diakses pada tanggal
11 Agustus 2012.

Verschuuren, Jonathan, http://www.portill.nl/articles/verschuuren/jv8.PDF,


diakses pada tanggal 11 Oktober 2012.

G. PERATURAN DASAR, PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


DAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG

Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak


Asasi Manusia Republik Indonesia, Rancangan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor … Tahun … Tentang Hukum Acara Perdata (Draft Maret
2008), (Jakarta : Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2008).

Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002 tentang


Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), Undang-Undang


Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta : Sekretariat
Jenderal MPR RI, 2002).

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-


Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, LN TAHUN 1970 NOMOR 74,
TLN NOMOR 2951.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


294

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan


Umum, LN TAHUN 1986 NOMOR 20, TLN NOMOR 3327.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata


Usaha Negara, LN TAHUN 1986 NOMOR 77, TLN NOMOR 3344.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi


Manusia, LN TAHUN 1999 NOMOR 165, tanggal 23 September 1999,
TLN NOMOR 3886.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan


Kehakiman, LN TAHUN 2004 NOMOR 8, TLN NOMOR 4358.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 tahun 2004 tentang Perubahan


atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Umum, LN
TAHUN 2004 NOMOR 34, TLN NOMOR 4379.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan


atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, LN TAHUN 2004 NOMOR 35, TLN NOMOR 4380.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan


Republik Indonesia, LN TAHUN 2004 NOMOR 67, TLN NOMOR 4401.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, LN TAHUN 2009 NOMOR 140,
TLN NOMOR 5059

Republik Indonesia, UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Undang-Undang Tentang


Kekuasaan Kehakiman, LN NOMOR 157 TAHUN 2009, tanggal 29
Oktober 2009, TLN Nomor 5076.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 49 tahun 2009 tentang Perubahan


kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan
Umum, LN TAHUN 2009 NOMOR 158, TLN NOMOR 5077.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


295

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan


kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, LN TAHUN 2009 NOMOR 160, TLN NOMOR 5079.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011 tentang Perubahan


atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, LEMBARAN NEGARA (LN) REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2011 NOMOR 70, tanggal 20 Juli 2011, TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA (TLN) REPUBLIK INDONESIA NOMOR
5226.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Undang-


Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
Lembaran Negara (LN) NOMOR 82 TAHUN 2011, Tambahan Lembaran
Negara (TLN) Nomor 5234.

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.


296

Universitas Indonesia

Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.

Anda mungkin juga menyukai