TESIS
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
JAKARTA
JANUARI, 2013
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Hukum
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
JAKARTA
JANUARI, 2013
ii
Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : Jakarta
iii
Universitas Indonesia
Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
mulai dari awal perkuliahan sampai dengan penyusunan tesis ini, maka akan sulit
bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Dengan segala kerendahan hati,
perkenankan saya menghaturkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Rosa Agustina, S.H., M.H., sebagai Ketua Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang telah banyak memberikan
pencerahan dan menambah wawasan saya selama mengikuti perkuliahan di
Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia ;
2. Bapak Dr. Yoni Agus Setyono, S.H., M.H, sebagai dosen pembimbing yang
telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
penyusunan tesis ini ;
3. Bapak Heru Susetyo S.H., LL.M., M.Si sebagai dewan penguji ;
4. Bapak dan Ibu dosen pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia yang telah memberikan pencerahan serta bimbingan sehingga
menambah wawasan saya selama mengikuti perkuliahan di Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia ;
5. Pimpinan Mahkamah Agung, Pimpinan Program Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, dan Pimpinan United States Agency for
International Development (USAID) yang telah melakukan kerjasama dalam
Program Beasiswa Magister Hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia
sehingga saya dapat diberi kesempatan untuk mengikuti program tersebut
yang sangat berguna bagi pengembangan ilmu dan pengetahuan di bidang
ilmu hukum ;
iv
Universitas Indonesia
v
Universitas Indonesia
Akhir kata, saya berharap agar Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas
segala kebaikan dan memberkati semua pihak yang telah membantu. Saya
menyadari bahwa tesis ini belumlah sempurna bahkan jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, dengan segala kerendahan hati, saya mengharapkan masukan, saran
bahkan kritik yang membangun bagi penyempurnaan maupun perbaikan Tesis ini.
Saya sangat berharap semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
hukum.
Penulis
vi
Universitas Indonesia
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia /
formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
memublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak
Cipta.
Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : 21 Januari 2013
Yang Menyatakan
vii
Universitas Indonesia
Tesis ini membahas tentang pengaruh penemuan hukum yang dilakukan oleh
hakim melalui putusan pengadilan tentang gugatan warga negara (citizen lawsuit)
dalam memperbarui undang-undang tentang hukum acara perdata. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian normatif dan empiris, bersifat deskriptif dan
preskriptif. Data penelitian dianalisis dengan menggunakan metode bersifat
kualitatif. Hasil penelitian ini menyarankan agar hakim harus mampu menguasai
metode penemuan hukum terutama dalam mengadili gugatan warga negara agar
menyamakan persepsi tentang konsep gugatan warga negara dan agar pembentuk
undang-undang segera mengakomodir mekanisme gugatan warga negara ke dalam
undang-undang hukum acara perdata dimana putusan-putusan pengadilan sebagai
salah satu sumber hukumnya.
Kata kunci :
Gugatan warga negara (citizen lawsuit), hukum acara perdata, putusan pengadilan,
penemuan hukum, pembaruan hukum acara perdata.
viii
Universitas Indonesia
The thesis discusses the effect of the lawmaking by the judge through a court
decision on the citizen lawsuit against renewal the law of civil procedure. This
study uses empirical and normative research, descriptive and prescriptive. The
research data were analyzed using qualitative method. The researcher suggests
that judges must have the ability of lawmaking method, especially in adjudicate of
citizen lawsuit in order to make the perception of the concept of citizen lawsuit
and that the legislators promptly accommodate citizen lawsuit mechanism in the
law of civil procedure in Indonesia.
Keywords:
Citizen lawsuit, the law of civil procedure, court decisions, judicial lawmaking,
renewal the law of civil procedure.
ix
Universitas Indonesia
1. PENDAHULUAN …………..………………………………….……….. 1
1.1. Latar Belakang ………………………………………………..……… 1
1.2. Identifikasi Permasalahan dan Pokok Permasalahan ………................... 9
1.3. Kerangka Teori ………….………………………………………........ 10
1.3.1 Teori Realisme Hukum oleh
Oliver Wendell Holmes Jr (1841-1935) ……………………….. 11
1.3.2 Teori Hukum Pembangunan oleh
Mochtar Kusumaatmadja ……………….................................... 17
1.4 Kerangka Konsepsional …………………………………………........ 21
1.4.1 Pengaruh ………………………………………………………. 21
1.4.2 Putusan Pengadilan ………………………………………..…… 22
1.4.3 Penemuan Hukum ………………………………………………. 23
1.4.4 Gugatan Warga Negara (citizen lawsuit) ………………………. 23
1.4.5 Pembaruan Hukum ………………………………………..…… 24
1.4.6 Hukum Acara Perdata ……………………………………….… 25
1.5 Metode Penelitian Hukum …………………………………………… 27
1.5.1 Jenis Penelitian …………………………………………….…... 27
1.5.2Jenis Data ………………………………………..……….. 29
1.5.3Alat Pengumpulan Data ……………………………………. 31
1.5.4 Analisis Data ……………………………………………………. 37
1.6 Tujuan Penelitian …………………………….……………………….. 38
1.7 Manfaat Penelitian ……………………………….…………………… 38
x
Universitas Indonesia
xi
Universitas Indonesia
xii
Universitas Indonesia
xiii
Universitas Indonesia
xiv
Universitas Indonesia
xv
Universitas Indonesia
1
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, http://jimly.com/makalah/ namafile/57/
Konsep_Negara_ Hukum_ Indonesia.pdf. Diakses pada tanggal 12 Desember 2011, hal.1, Sebelum
adanya perubahan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, baik pada bagian Pembukaan maupun
bagian Batang Tubuh (pasal-pasalnya), tidak ada satu perkataan atau kalimat yang menyatakan
bahwa Indonesia adalah negara hukum, tetapi hal tersebut dimuat dalam Penjelasan Bagian Umum
Tentang Sistem Pemerintahan Negara, Pokok Pikiran I yang menyatakan bahwa “Negara
Indonesia adalah berdasar atas hukum (Rechtstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka
(Machtstaat), untuk lebih jelasnya lihat Joeniarto, Negara Hukum, (Yogyakarta : Yayasan Badan
Penerbit Gadjah Mada, 1968), hal 1-2. Satjipto Rahardjo menyatakan “Memang sudah menjadi
rumusan klasik di negeri kita, bahwa negeri ini “berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan
kekuasaan semata”. Indonesia adalah negara yang dalam konstitusinya dengan cukup bagus dan
jelas menggambarkan kaitan antara hukum dan kekuasaan”, Satjipto Rahardjo Penegakan Hukum
Progresif ( Jakarta : PT Kompas Media Nusantara, 2010), hal. 154.
2
Bambang Kesowo, Negara Hukum, Program Legislasi Nasional Dan Kebutuhan Desain Besar
Bagi Perencanaannya, Pidato disampaikan pada Rapat Senat Terbuka dalam rangka Dies Natalis
ke-66 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 17 Pebruari 2012, hal. 3.
1
Universitas Indonesia
Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.
2
Gagasan, cita, atau ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep
‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan konsep
‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan
nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau
‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’
adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam
penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah
nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip
hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggris yang
dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule
of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of
Law, and not of Man”. Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin
adalah hukum itu sendiri, bukan orang.3
3
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, op. cit., Hal. 2. Berkaitan dengan negara
hukum di mana hukum sebagai pemimpin Charles Himawan dengan mengutip perkataan Thomas
Paine (1737-1809) yang berkata “Dalam negara Demokrasi, Hukum adalah Raja (The Law is
King), berpendapat bahwa hukum dapat dipergunakan sebagai media untuk menegakkan unsur-
unsur demokrasi, lihat Charles Himawan, Hukum Sebagai Panglima Abun Sanda. Ed. (Jakarta :
PT Kompas Media Nusantara, 2003), hal 185-186.
4
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, .(Jakarta : PT Bhuana Ilmu
Populer, 2009), hal. 395
5
Ibid. hal, 396, lihat juga Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, (Jakarta : Erlangga,
Cetakan kedua, 1985), hal. 16.
Universitas Indonesia
1. Supremacy of Law.
2. Equality Before the Law.
3. Due Process of Law. 6
6
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, loc. cit.
7
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari
segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Medinah dan Masa Kini, (Jakarta :
Kencana, 2004), hal. 90-91.
8
Utrecht sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie membedakan antara Negara Hukum Formil
atau Negara Hukum Klasik, dan Negara Hukum Materiel atau Negara Hukum Modern. Negara
Hukum Formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti
peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan yang kedua, yaitu Negara Hukum Materiel
yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di dalamnya, lihat Jimly Asshiddiqie,
Gagasan Negara Hukum Indonesia, op. cit., hal. 3, berkaitan dengan Negara Hukum Formil atau
Negara Hukum Klasik, dan Negara Hukum Materiel atau Negara Hukum Modern ini lihat juga
Joeniarto, op. cit., hal 18-21.
Universitas Indonesia
9
Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia (Studi Tentang Interaksi Politik dan
kehidupan Ketatanegaraan), (Jakarta : Rineka Cipta, 2003), hal. 30. Selanjutnya Mahfud MD
menyatakan bahwa “Negara Hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
mengambil konsep prismatik atau integratif dari dua konsepsi tersebut sehingga “kepastian
hukum” dalam Rechtsstaat dipadukan dengan prinsip “keadilan” dalam the Rule of Law. Indonesia
tidak memilih salah satunya tetapi memasukkan unsur-unsur baik dari keduanya”, lihat Moh.
Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta : Rajawali Press,
2011), hal. 26.
10
Oemar Seno Adji, op. cit., hal. 167.
Universitas Indonesia
umum, model gugatan perdata ada dua macam, yaitu gugatan yang
dilakukan melalui peradilan disebut litigasi, dan gugatan yang dilakukan di
luar pengadilan alternatif penyelesaian sengketa. Gugatan perdata atas
hubungan perdata dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, orang
yang bersangkutan atau ahli warisnya. Kedua, sekelompok orang yang
mempunyai kepentingan yang sama. Model-model gugatan yang
mengatasnamakan kepentingan orang banyak atau kepentingan umum ini
beragam, dan dikenal dengan sebutan gugatan-gugatan class action, actio
popularis, citizen lawsuit. dan NGO's standing.11
11
Susanti Adi Nugroho, Class Action dan Perbandingannya dengan Negara Lain, (Jakarta :
Kencana, 2010) hal. 384.
12
Bambang H. Mulyono, Citizen Lawsuit Perlukah PERMA untuk Implementasi?, (Jakarta :
IKAHI, Varia Peradilan Tahun ke XXIV No. 286, September 2009), hal. 48.
13
Ibid.
Universitas Indonesia
14
Ibid., hal. 48-49.
15
Sudikno Mertokusumo, Actio Popularis, http://sudiknoartikel.blogspot.com/2008/03/actio-
popularis.html, 19 Maret 2008, diakses tanggal 12 Desember 2011.
16
Afridal Darmi, Mari Mengenal Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit),
http://www.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=601:mari-
mengenal-gugatan-warga-negara-citizen-lawsuit&catid=73:politik-hukum-ham-resolusi-
konflik&Itemid=124, 11 Agustus 2011 dan diakses pada tanggal 12 Desember 2011.
Universitas Indonesia
17
Ibid. Majelis hakim PN Jakarta Pusat menyatakan bahwa gugatan model Citizen Lawsuit sah-sah
saja, Lihat juga http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol19251/melalui-citizen-lawsuit-
masyarakat-bisa-gugat-pemerintah, diakses pada tanggal 12 Desember 2011.
18
Ibid, lihat juga Arko Kanandito, Konsep Citizen Lawsuit di Indonesia,
http://kanadianto.wordpress.com/2008/01/23/konsep-citizen-lawsuit-di-indonesia/, 23 Januari
2008, diakses pada tanggal 12 Desember 2011.
19
Kasus “Rokok Bentoel” dengan Penggugat R.O. Tambunan melawan P.T. Rokok Bentoel,
Pemerintah RI cq. Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Pemerintah RI cq. Menteri
Kehakiman cq. Dirjen Hukum dan Perundang-Undangan RI, cq. Dirjen Paten dan Hak Cipta, serta
Pengusaha Radio Prambors, dengan Putusan PN Jakarta Pusat No. 533/Pdt/G/1987/PN Jkt.Pst jo.
Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 158/ Pdt/1989/PT. DKI, lihat E. Sundari, Pengajuan
Gugatan Secara Class Action, (Suatu Studi Perbandingan & Penerapannya di Indonesia),
(Yogyakarta : Universitas Atmajaya, 2002), hal. 113-115.
20
Kasus “Demam Berdarah” dengan Penggugat Mochtar Pakpahan melawan para Tergugat adalah
Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, serta Kepala Dinas/ Kantor Wilayah Kesehatan
Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, dengan putusan PN Jakarta Pusat No. 251/Pdt/G/1988/PN
Jkt.Pst, lihat Ibid., hal. 115-116.
21
Ibid., hal 113-116, lihat juga Paulus Effendi Lotulung Paulus Effendi Lotulung, Penegakan
Hukum Lingkungan oleh Hakim Perdata, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 62-63.
Universitas Indonesia
22
Afridal Darmi, Ibid, lihat juga Arko Kanandito, Ibid, lihat juga Susanti Adi Nugroho, op. cit.,
hal. 391.
23
Dalam Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Perdata tahun 2008 khususnya Bab II
TUNTUTAN HAK Bagian Kesatu Gugatan dan Permohonan, Pasal 2 sampai dengan Pasal 12,
mengatur tentang pengajuan gugatan yang dilakukan oleh setiap orang, gugatan perwakilan kelompok
dan Legal Standing, belum mengatur mengenai Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit), untuk
lengkapnya lihat Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia, Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor … Tahun
… Tentang Hukum Acara Perdata (Draft Maret 2008), (Jakarta : Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2008), begitu
juga dalam naskah akademis tentang Rancangan Hukum Acara Perdata tahun 2011 khususnya Bab V
tentang Jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan Undang-Undang Hukum
Acara Perdata, huruf B Materi Yang akan Diatur, hanya membahas tentang pengajuan gugatan
oleh individu maupun gugatan perwakilan kelompok (class action) untuk lebih lengkapnya lihat
Tim Penyusun Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata,
Naskah Akademik tentang Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Perdata tahun 2011,
tanggal 30 Nopember 2011,
http://www.bphn.go.id/data/documents/Naskah%20Akademis%20RUU%20Tentang%20Hukum%20Aca
ra%20Perdata%20%202011.pdf, diakses pada tanggal 11 Agustus 2012, hal. 68-69.
Universitas Indonesia
Hukum Acara yang berlaku saat ini, HIR (Het Herziene Indonesisch
Reglement) dan Rbg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten),
berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-
Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan,
Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil, maupun dalam Rancangan Undang-
Undang tentang Hukum Acara Perdata tahun 2008 serta naskah akademis
tentang Rancangan Hukum Acara Perdata tahun 2011 juga belum mengatur
maupun membahas mengenai mekanisme gugatan warga negara (citizen
lawsuit).
Universitas Indonesia
24
Erman Rajagukguk, Filsafat Hukum (Materi Kuliah Pada Program Pasca Sarjana Ilmu hukum
Universitas Indonesia), 2011, hal. 2.
Universitas Indonesia
25
Ibid, hal. 3.
26
Ibid, hal. 8.
27
Hikmahanto Juwana, Hukum Internasional Dalam Konflik Kepentingan Ekonomi Negara
Berkembang dan Negera Maju, Pidato pengukuhan diucapkan pada upacara pengukuhan Jabatan
Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 10 Nopember 2001.
28
Ibid.
Universitas Indonesia
29
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta : Yayasan Kanisius,
1982), hal. 178.
30
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung : Penerbit Alumni, 1982) hal. 267-268.
31
Ibid.
32
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta : Buku Kompas, 2007), hal.39.
Universitas Indonesia
33
Ibid.
34
Steven Vago Law and Society (New Jersey : Pearson Education, Inc. ninth edition, 2009), hal.
56.
35
Theo Huijbers, Loc. cit. Lihat juga Steven Vago, Loc. Cit, yang menyatakan bahwa “The
distinguished American judge and legal philosopher Oliver Wendell Holmes, is considered one of
the founders of the “legal realism” shool, Suri Ratnapala juga menyatakan bahwa : “Realist
thinking was introduced to American jurisprudence by Oliver Wendell Holmes Jr (1841-1935)”,
Lihat Suri Ratnapala, Jurisprudence (Cambridge : Cambridge University Press, 2009), hal. 97.
Universitas Indonesia
36
Oliver Wendell Holmes, The Path of the Law, 10 Harvard Law Review 457 (1897),
http://www.constitution.org/lrev/owh/path_law.htm, diakses pada tanggal 7 Julis 2012.
37
John Finch, Introduction to Legal Theory ( London : Sweet & Maxwell, second edition,1974),
hal. 174.
Universitas Indonesia
Holmes stresses the limits that are set to the use of deductive
logic in the solution of legal problems”. He postulates that the
life of law has been experience and not logic and maintains that
only a judge or a lawyer who is acquainted with the historical,
social, and economic aspects of the law will be in position to
fulfill his or her functions properly.38
In His often-quoted essay “The Path of the Law”, Holmes
outlines some of his basic propositions and states that “a legal
duty so called is nothing but a prediction that if a man does or
omits certain things he will be made to suffer on this or that way
by judgement of a court”. A pragmatic approach to law, he
declares, must view the law from the point of view of the “bad
man.39
38
Steven Vago, loc. cit.
39
Ibid., hal. 57.
Universitas Indonesia
40
Suri Ratnapala, op. cit, hal. 97-98.
41
Theo Huijbers, Op. cit., hal. 179.
Universitas Indonesia
42
Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif (Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum
Pembangunan dan Teori Hukum Progresif), (Yogyakarta : Genta Publishing, 2012), hal. 60, lihat
juga Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung : PT.
Fikahati Aneska, 2012), hal. 183.
43
Otje Salman dan Eddy Damian (ed), Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan dari Prof.
Dr. Mochtar Kusumaatmadja,S.H.,LL.M., (Bandung : Penerbit PT.Alumni, 2002), hal. V.
Universitas Indonesia
44
Ibid., hal. 13-14.
45
Berkaitan dengan kata “pembaharuan” ini sebagaimana dikutip dari sumbernya, akan tetapi
untuk selanjutnya peneliti menggunakan kata “pembaruan” menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) sejauh tidak mengutip dari sumbernya.
46
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Perubahan Hukum Nasional, (Bandung :
Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum-Universitas Padjadjaran 1976,
Binacipta, Tanpa Tahun), hal. 12.
47
Ibid., hal. 12-13.
48
Ibid., hal. 13.
Universitas Indonesia
49
Romli Atmasasmita, op. cit., hal, 65-66.
50
Ibid., hal. 66-68.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
1.4.1 Pengaruh53
51
Masri Singarimbun dkk, ed. Metode Penelitian Survei, (Jakarta : LP3ES, 1989), hal. 34, lihat
juga Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986).hal. 132.
52
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Raja Grafindo, 1998), hal. 3.
53
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “Pengaruh” diartikan sebagai “daya yg
ada atau timbul dr sesuatu (orang, benda) yg ikut membentuk watak, kepercayaan, atau perbuatan
seseorang”, lihat Kementerian Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses pada tanggal 24 September 2012.
Universitas Indonesia
54
Teuku May Rudy, Teori, Etika dan Kebjiakan Hubungan Internasional, (Bandung : Angkasa,
1993), hal 26.
55
Ibid., hal 24-25.
56
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta : Liberty, 1993), hal. 174.
Universitas Indonesia
57
Direktorat Jenderal Perundang-Undangan Kemenkumham, Rancangan Undang-Undang Hukum
Acara Perdata tahun 2008, loc.cit.
58
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum (Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta,
2010), hal. 49.
59
Terminologi Gugatan warga negara ini di negara-negara yang menganut sistem hukum Common
Law ada yang menyebutnya dengan istilah Citizen Suits, lihat David Mossop Citizen Suits – Tools
for Improving Compliance with Environmental Laws,
http://www.aic.gov.au/publications/previous%20series/proceedings/1-
27/~/media/publications/proceedings/26/mossop.ashx, hal. 2, diakses pada tanggal 24 September
2012, Andrew J. Currie menyatakan bahwa Citizen-initiated environmental lawsuits (“citizen
suits” or “citizen lawsuits”) have been used as one possible alternative method for enforcing
environmental provisions in general, lihat juga Andrew J. Currie, The Use of Environmentally
Beneficial Expenditures In Lieu of Penalties as Settlement of Citizen Lawsuit : a “Win-Win
Solution?, (Detroit College of Law at Michigan State University Law Review Fall, 1996), hal. 653,
untuk selanjutnya peneliti menggunakan terminologi citizen lawsuit yang dalam bahasa Indonesia
disebut sebagai Gugatan Warga Negara.
Universitas Indonesia
60
Susanti Adi Nugroho, op. cit, hal. 384.
61
Afridal Darmi, Mari Mengenal Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit), loc.cit.
62
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “pembaruan” sebagai “proses, cara,
perbuatan membarui”. Membarui itu sendiri menurut KBBI bermakna (1) memperbaiki supaya
menjadi baru, (2) mengulangi sekali lagi, memulai lagi dan (3) mengganti dengan yang baru,
memodernkan, lihat Kementerian Pendidikan Nasional, loc. cit.
63
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya. Ifdhal
Kasim dkk (Ed.)., (Jakarta : ELSAM dan HUMA, 2002), hal. 355-357.
Universitas Indonesia
64
Ibid., hal. 357-361, Barda Nawawi Arief sebagaimana dikutip oleh Hari Purwadi dalam
tulisannya Reformasi Hukum Nasional : Problem dan Prospeknya, menyatakan bahwa “Reformasi
hukum tidak hanya sebatas reformasi peraturan perundang-undangan, tetapi mencakup reformasi
sistem hukum secara keseluruhan, yaitu reformasi materi/substansi, struktur, dan budaya hukum”,
Satya Arinanto, Ninuk Triyanti, (Ed.), Memahami Hukum dari Konstruksi sampai Implementasi
(Jakarta : Rajawali Pers, Cetakan kedua, 2011), hal. 61
65
Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
UU Nomor 12 tahun 2011, Lembaran Negara (LN) NOMOR 82 TAHUN 2011, Tambahan
Lembaran Negara (TLN) Nomor 5234.
66
R. Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta : Fasco, 1985), hal. 12.
Universitas Indonesia
67
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Bandung : Sumur, cetakan keenam,
1975), hal. 13.
68
Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,
2000), hal. 15.
69
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, edisi keenam,
2000), hal. 2.
Universitas Indonesia
70
A. Hamid S Attamimi, Teori Perundang-undangan di Indonesia, Pidato pengukuhan diucapkan
pada upacara pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta, 25 April 1992, hal. 18.
71
Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang
Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu
Hukum Nasional Indonesia (Bandung : Mandar Maju, 2000), hal. 193.
72
Soerjono Soekanto, op. cit., hal. 51, sedangkan Soetandyo Wignyosoebroto membagi penelitian
hukum menjadi penelitian hukum doktrinal (yang lazim disebut normatif) dan penelitian hukum
non-doktrinal (yang lazim disebut empiris), lebih jelasnya lihat Soetandyo Wignyosoebroto, op.
cit., hal. 145-147.
Universitas Indonesia
73
Soerjono Soekanto, loc, cit. Karena prosedur (mekanisme) hukum acara perdata citizen lawsuit,
merupakan konsep dari common law system, maka metode penelitian perbandingan hukum yang
dimaksud adalah melakukan serangkaian pentahapan pengkajian yang meliputi : mempelajari
bagaimana sistem hukum negara lain yang telah memberikan pengaturan tentang citizen lawsuit,
mengkaji tentang hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan citizen
lawsuit menjajarkan kedua sistem hukum dengan menitikberatkan pada : struktur hukum,
termasuk lembaga hukum; substansi hukum, meliputi norma kaidah dan perilaku; budaya hukum
meliputi perangkat nilai yang dianut, lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum
Normatif, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2001), hal. 8, sebagaimana dikutip Indro Sugianto,
Kasus Nunukan : Hak Gugat Warga negara (Citizen Lawsuit) Terhadap Negara, dalam Dictum
Jurnal Kajian Putusan Pengadilan Edisi 2, (2004), hal. 53.
74
Untuk lebih jelasnya lihat Soetandyo Wignyosoebroto, op. cit., hal. 151-160.
75
Ibid, hal. 161.
Universitas Indonesia
perdata.
76
Soerjono Soekanto, op. cit, hal. 9-10.
77
Ibid., hal. 10.
78
Ibid., hal. 51.
79
Ibid, hal. 52.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
80
Ibid, hal. 51.
81
Ibid, hal. 66, Soerjono Soekanto, menyatakan bahwa “Di dalam penelitian lazimnya dikenal
paling sedikit tiga jenis alat pengumpulan data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka,
pengamatan atau observasi, dan wawancara atau interview. Ketiga jenis alat pengumpulan data
tersebut, dapat dipergunakan masing-masing, maupun secara bergabung untuk mendapatkan hasil
yang semaksimal mungkin”. Selanjutnya beliau menyatakan bahwa “Penelitian hukum senantiasa
harus didahului dengan penggunaan studi dokumen atau bahan pustaka”.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
82
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa “Wawancara dipergunakan dengan tujuan-tujuan sebagai
berikut : 1. memperoleh data mengenai persepsi manusia, 2. mendapatkan data mengenai
kepercayaan manusia, 3. mengumpulkan data mengenai perasaan dan motivasi seseorang, 4.
Universitas Indonesia
memperoleh data antisipasi ataupun orientasi ke masa depan dari manusia, 5. memperoleh
informasi mengenai perilaku pada masa lampau, 6. mendapatkan data mengenai perilaku yang
sifatnya sangat pribadi atau sensitif”, Ibid, hal. 67 dan hal. 229.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
83
Ibid, hal. 250.
Universitas Indonesia
84
Ibid., hal. 251.
85
Soetandyo Wignyosoebroto, op. cit., hal. 171-172.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Dengan berdasarkan uraian pada Bab II dan Bab III, maka uraian
tersebut digunakan untuk membahas permasalahan pada Bab IV yang akan
dibahas yaitu tentang penemuan hukum oleh hakim berkaitan dengan
gugatan warga negara (citizen lawsuit) dan putusan pengadilan sebagai
sumber pembaruan undang-undang hukum acara perdata.
Universitas Indonesia
86
Susanti Adi Nugroho, op. cit., hal. 371, lihat juga Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara
Perdata Indonesia., op. cit., hal. 65. Paulus Effendi Lotulung menyatakan bahwa “Apabila
seseorang tidak mempunyai kepentingan, maka ia tidak dapat mengajukan gugatan, seperti yang
dikatakan adagium point d’interet point d’action atau tidak ada kepentingan maka tidak ada aksi,
lihat Paulus Effendi Lotulung, op. cit., hal. 51.
87
Susanti Adi Nugroho, op. cit., hal. 363.
88
Ibid., hal. 364.
41
Universitas Indonesia
Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.
42
89
Ibid., hal. 364-365.
90
Susanti Adi Nugroho, op. cit., hal. 384, Erna Herlinda menyatakan bahwa “Perkembangan
hukum konsep hak gugat konvensional berkembang secara pesat seiring pula dengan
perkembangan hukum yang menyangkut hajad hidup orang banyak (public interest law) di mana
seorang atau sekelompok orang atau organisasi dapat bertindak sebagai penggugat walaupun tidak
memiliki kepentingan hukum secara langsung, tetapi dengan didasari oleh suatu kebutuhan untuk
memperjuangkan kepentingan, masyarakat luas atas pelanggaran hak-hak publik seperti
lingkungan hidup, perlindungan konsumen, hak-hak Civil dan Politik. lihat Erna Herlinda,
Tinjauan Tentang Gugatan Class Actions Dan Legal Standing Di Peradilan Tata Usaha Negara,
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1531/1/fh-erna5.pdf, diakses pada tanggal 6
Oktober 2012, hal. 4. Pendapat di atas sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Paulus
Effendi Lotulung, yang menyatakan dalam bidang lingkungan hidup dapat terjadi suatu keadaan
dimana suatu organisasi atau kelompok orang mengajukan gugatan dengan mendasarkan kepada
kepentingan yang tidak bersifat diri pribadi mereka atau kelompok mereka, tetapi
mengatasnamakan kepentingan umum atau kepentingan orang banyak (masyarakat) atau yang
disebut sebagai “algemeen belang”, lihat Paulus Effendi Lotulung, op. cit., hal 51-52.
91
Bambang H. Mulyono, loc.cit.
Universitas Indonesia
92
Indro Sugianto, op. cit., hal. 34, berkaitan dengan sejarah gugatan warga negara (citizen lawsuit)
ini, nanti akan peneliti uraikan dalam sub bab di bawah ini.
93
Berkaitan dengan terminologi gugatan warga negara ini sebagaimana diuraikan pada bab
sebelumnya, bahwa ada yang menyebutnya dengan istilah Citizen Suits, untuk selanjutnya peneliti
menggunakan terminologi citizen lawsuit yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai Gugatan
Warga Negara.
94
David Mossop, Loc cit.
95
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary eighth edition, Bryan A Garner et. al, Ed., (St.
Paul, Minnesota : Thomson West, 2004), hal. 261.
96
David Mossop, op. cit., hal. 6.
Universitas Indonesia
97
Susanti Adi Nugroho, op. cit, hal. 384.
98
Indro Sugianto, op. cit., hal. 35.
99
Afridal Darmi, Mari Mengenal Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit),
http://www.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=601:mari-
mengenal-gugatan-warga-negara-citizen-lawsuit&catid=73:politik-hukum-ham-resolusi-
konflik&Itemid=124, 11 Agustus 2011 dan diakses pada tanggal 12 Desember 2011.
100
Phillip Karugaba, Public Interest Litigation in Uganda Practice & Prucedure Shipwrekcs and
Seamarks, disampaikan pada Judicial Symposium on Environmental Law for The Judges of The
Universitas Indonesia
Supreme Court an Court of Appeal, Imperial Botanical Beach Hotel Entebbe, 11-13 September
2005, hal. 2.
101
Ibid.
102
Indro Sugianto, op. cit. hal. 34.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Hal ini juga senada dengan apa yang diutarakan oleh Mas
Ahmad Santosa yaitu “awal mula munculnya pengakuan gugatan
dengan prosedur citizen lawsuit adalah juga dari pengajuan perkara
ke Pengadilan, kemudian dimuat dalam peraturan perundangan
pertama kali pada tahun 1970 dalam Clean Air Act (pasal 304), juga
dapat ditemukan pada undang-undang lainnya antara lain Clean
Water Act (pasal 505), Comprehenship Environmental Response
Compensation and Liability Act (pasal 310). Menjamin secara
hukum bahwa setiap orang dapat menuntut pemerintah di Pengadilan
untuk menjalankan kewajiban yang diperintahkan oleh undang-
undang”.105
104
David Mossop, op. cit., hal. 4, lihat juga Timothy Belevetz, hal. 106.
105
Mas Ahmad Santosa, Gugatan AJI : Perluasan Hak Gugat Organisasi (Legal Standing), dalam
(Dictum Jurnal Kajian Putusan Pengadilan Edisi 2, 2004), hal. 62, Daniel Riesel, Steven C. Russo
and Elizabeth A. Read menyatakan bahwa “The major federal environmental statutes enacted
between 1970 and 1980 all contain provisions allowing private citizens to bring suit against
alleged violators of the statutes, See, e.g., Clean Water Act (“CWA”), 33 U.S.C. §1365; Toxic
Substances Control Act (“TSCA”), 15 U.S.C. §2619; Endangered Species Act (“ESA”), 16 U.S.C.
§1540(g); Solid Waste Disposal Act, 42 U.S.C. §6972(a)(1)(B); Resource Conservation and
Universitas Indonesia
Recovery Act of 1976 (“RCRA”) §7002); Clean Air Act (“CAA”), 42 U.S.C. §7604,
Comprehensive Environmental Response, Compensation and Liability Act (“CERCLA”) 42
U.S.C. §9659”, untuk lebih jelasnya lihat Daniel Riesel, Steven C. Russo and Elizabeth A. Read,
Defending Citizen Suits, http://www.sprlaw.com/pdf/spr_defending_citizen_suits.pdf, diakses pada
tanggal 1 Oktober 2012, hal 1.
106
West Group (Selected Environmental Law Statues 2000-2001 Educational Edition), (St. Paul,
Minn : West Group, 2000), hal. 945, lihat juga Federal Water Pollution Control Act (Clean Water
Act) ( § 505 ) 33 U.S.C.A § 1365, ibid., hal. 453.
Universitas Indonesia
Terjemahan bebasnya :
(a) Kewenangan untuk mengajukan gugatan perdata; yurisdiksi
Kecuali sebagaimana diatur dalam ayat (b) bagian ini, setiap
orang dapat mengajukan gugatan perdata atas nama sendiri
(1) Terhadap setiap orang termasuk (i) negara Amerika
Serikat, dan (ii) setiap lembaga pemerintah lain sebagaimana
yang diijinkan oleh Amandemen Kesebelas Konstitusi, yang
diduga melanggar (jika ada bukti bahwa dugaan pelanggaran
telah dilakukan berulang) atau berada dalam pelanggaran (A)
suatu standar emisi atau pembatasan berdasarkan bab ini atau
(B) perintah yang dikeluarkan oleh Negara atau Administrator
(penyelenggara negara) yang dibatasi dalam suatu peraturan.
(2) terhadap Administrator (penyelenggara negara) di mana
ada dugaan kegagalan Administrator untuk melakukan
tindakan atau tugas berdasarkan bab ini dengan tidak
melakukan diskresioner yang dimiliki Administrator
(penyelenggara negara), atau
(3) terhadap setiap orang yang mengusulkan untuk
membangun atau membangun setiap fasilitas emisi baru atau
Universitas Indonesia
107
Ibid., hal. 1114.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
108
Timothy Belevetz, op. cit., hal. 103-104.
109
Mas Ahmad Santosa, op. cit., hal. 62, David Mossop menyatakan bahwa “Today, the only
citizen suit provisions of any worth in practice are those in New South Wales. The first, the best
known and most used provision allowing citizen suits is s. 123 of the Environmental Planning and
Assesment Act 1979 No. 203. This allows any person to bring proceedings to remedy or restrain a
breach of the act whether or not any (private) right of that person has been infringed. As a result it
allows both the civil enforcement type action and the judicial review type action”, lihat juga David
Mossop, op. cit., hal. 5, untuk bunyi pasal 123 tersebut, lihat
http://www.austlii.edu.au/au/legis/nsw/consol_act/epaaa1979389/s123.html, diakses pada tanggal
10 Desember 2012.
Universitas Indonesia
110
Indro Sugianto, op. cit., hal. 40.
Universitas Indonesia
111
David Mossop, op. cit., hal. 6.
112
Jona Razzaque, Public Interest Environmental Litigation in India, Pakistan and Bangladesh,
(Netherlands : Kluwer Law International, 2004), hal. 217-218.
Universitas Indonesia
113
Susanti Adi Nugroho, op. cit, hal.385.
114
Sudikno Mertokusumo, Actio Popularis, loc. Cit.
115
E. Sundari, op. cit., hal. 15-16.
Universitas Indonesia
1. Belanda
116
Peter De Smedt, Legal Tools to Encourage Citizen Participation in Environmental Enforcement
in The Flemish Region (Belgium), http://inece.org/conference/9/papers/Smedt_Flanders_final.pdf,
dikases pada tanggal 2 Oktober 2012, hal. 1.
117
Sudikno Mertokusumo, Actio Populrais, loc.cit.
118
Hanna Tolsma, Kars de Graaf dan Jan Jans, The Rise and Fall of Access to Justice in The
Netherlands, (Oxford University Press : Journal of Environmental Law 21:2, 2009), hal. 315-316.
Article 1:2 GALA (Dutch General Administrative Law Act) : 1. “Interested party” means a person
whose interest is directly affected by an order.
Universitas Indonesia
119
Peter De Smedt, op. cit., hal. 9. Article 18.14 Environmental Management Act : 1. Any person
may request an administrative authority authorised to apply executive coercion, impose an order
for a monetary penalty or withdraw a licence or exemption to give a decision to this effect.
120
Jonathan Verschuuren, http://www.portill.nl/articles/verschuuren/jv8.PDF, diakses pada tanggal
11 Oktober 2012, hal. 5.
Universitas Indonesia
121
Convention on Access to Information, Public Participation in Decision-Making and Access to
Justice in Environmental Matters yang lebih dikenal dengan konvensi Aarhus ditandatangani pada
tanggal 25 Juni 1998 di Aarhus, Denmark, untuk lebih jelasnya lihat
http://www.unece.org/fileadmin/DAM/env/pp/documents/cep43e.pdf, diakses pada tanggal 18
Oktober 2012.
122
Peter De Smedt, op. cit., hal. 1.
Universitas Indonesia
123
Ibid, hal. 2-3.
Universitas Indonesia
3. Hungaria
124
Mate Julesz The Individual and the Environment: the New Hungarian Civil Code, (The Open
Law Journal, Volume 3, 2010), hal. 2.
Universitas Indonesia
hukum civil law memiliki persamaan dan perbedaan dengan istilah citizen
lawsuit di negara yang menganut sistem hukum common law.125 Persamaan dan
perbedaan tersebut sebagaimana diuraikan dalam tabel 2.1 di bawah ini.
Tabel 2.1
Persamaan dan Perbedaan antara
Gugatan warga negara (Citizen Lawsuit) dengan Actio Popularis
Citizen Lawsuit Actio Popularis
Persamaan 1.sejarahnya sama-sama dikenal dalam 1.sejarahnya sama-sama dikenal
perkara lingkungan. dalam perkara lingkungan.
2.sama-sama bertujuan untuk 2.sama-sama bertujuan untuk
melindungi kepentingan umum melindungi kepentingan umum
Perbedaan 1.berasal dari common law system, 1.berasal dari civil law system,
seperti Amerika Serikat, Australia seperti Hungaria dan Belgia
khususnya negara bagian New khususnya wilayah Flemish,
South Wales, dan India sedangkan di Belanda telah
dihapuskan.
2.yang berhak mengajukan gugatan 2.di Hungaria, yang berhak
adalah setiap orang (any person). mengajukan gugatan adalah “a
civil organization or the public
prosecutor in the name of the
people”, sedangkan di Belgia
khususnya wilayah Flemish,
yang berhak mengajukan
gugatan adalah perorangan
atau badan hukum.
125
Susanti Adi Nugroho, op. cit. hal. 384-385, Emerson Yuntho juga menyatakan bahwa : “Prinsip
actio popularis dalam sistem hukum civil law sama dengan prinsip citizen lawsuit dalam sistem
hukum common law, misalnya dalam gugatan terhadap pelanggaran pencemaran lingkungan yang
diajukan oleh warga negara, lepas apakah warga negara tersebut mengalami secara langsung atau
tidak langsung dari pencemaran tersebut. Hal ini dikarenakan masalah perlindungan lingkungan
merupakan kepentingan umum atau kepentingan masyarakat luas, maka setiap warga negara
berhak menuntutnya”, Emerson Yuntho, Class Action Sebuah Pengantar, (Jakarta : Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat, 2005), hal. 7- 8.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
128
Susanti Adi Nugroho, op. cit, hal. 390.
129
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, LN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 140, TLN
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5059
130
Dalam Pasal 53 (1) UU Nomor 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 tahun 2004 Jo. UU No. 51 tahun
2009, tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan bahwa “Orang atau badan hukum
perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat
mengajukan gugatan tertulis….”, hal ini menjelaskan bahwa gugatan hanya bisa dilakukan oleh
orang atau badan hukum yang merasa kepentingannya dirugikan, hal tersebut bertentangan
dengan konsep gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang menyatakan bahwa setiap orang bisa
melakukan gugatan tanpa harus merasa kepentingannya dirugikan, sehingga ketentuan pasal 93
ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 ini bertentangan dengan Pasal 93 ayat (1), Lihat
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Universitas Indonesia
LN TAHUN 1986 NOMOR 77, TLN NOMOR 3344, Republik Indonesia, Undang-Undang
Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, LN TAHUN 2004 NOMOR 35, TLN NOMOR 4380, Republik
Indonesia, Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, LN TAHUN 2009 NOMOR 160,
TLN NOMOR 5079.
131
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Nomor : 533/Pdt/G/1987/PN Jkt.Pst, tanggal 1 Juni
1988, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Nomor : 251/Pdt/G.IX/1988/PN Jkt.Pst, tanggal 2
Agustus 1988, lihat juga E. Sundari, op. cit., hal 113-116, lihat juga Paulus Effendi Lotulung, op.
cit., hal. 62-63.
132
E. Sundari, op. cit., hal 113-116, Susanti Adi Nugroho, op. cit, hal. 390, lihat juga Bambang H.
Mulyono, op.cit, hal. 51-52.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
133
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Sela Nomor : 145/Pdt.G/2009/PN.JKT.PST. tanggal
03 Juni 2009.
Universitas Indonesia
134
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Sela Nomor : 476/PDT.G/2009 /PN.JKT.PST, antara
David M.L. Tobing, SH., MKn, dkk (2 orang) melawan Negara Republik Indonesia cq. Presiden
Republik Indonesia, tanggal 19 Agustus 2010.
135
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Sela Nomor : 111/PDT.G/2010 /PN.JKT.PST, antara
Febri Irwansyah dkk, melawan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia dkk, tanggal 13 Oktober
2011.
136
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Sela Nomor : 500/PDT.G/2010/PN.JKT.PST, tanggal
13 Oktober 2011 antara Prof. Dr. Adler H Manurung dkk, melawan melawan Negara Republik
Indonesia cq. Kementerian Badan Usama Milik Negara (BUMN) dkk.
137
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Nomor 278/PDT.G/2010 /PN.JKT.PST, antara Ir. H.
Said Iqbal, M.E, dkk (120 orang) melawan Negara Republik Indonesia cq. Presiden Republik
Indonesia dkk, tanggal 13 Juli 2011.
Universitas Indonesia
1. Gugatan citizen lawsuit atas kenaikan BBM oleh LBH APIK. Gagal,
dinyatakan bahwa bentuk gugatan Citizen Lawsuit tidak diterima Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 139
2. Gugatan citizen lawsuit atas Operasi Yustisi oleh LBH Jakarta. Gagal,
dinyatakan bahwa bentuk Citizen Lawsuit tidak diterima Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 140
3. Gugatan citizen lawsuit Marwan Batubara dkk dalam perkara No.
278/Pdt.G/2008/PN.JKT.PST kandas lantaran tidak memenuhi syarat
formil gugatan citizen lawsuit. Pasalnya, gugatan dilayangkan tanpa ada
notifikasi sebelumnya.141
4. Gugatan warga negara (citizen lawsuit) Masyarakat Sipil untuk
Kesejahteraan Rakyat (MSKR) Nusa Tenggara Barat (NTB) melawan
pemerintah terkait divestasi tujuh persen saham PT Newmont Nusa
Tenggara (NNT). Jangka waktu pemberian notifikasi adalah dua bulan
atau selambat-lambatnya enam puluh hari sebelum gugatan dibacakan.
Namun, MSKR NTB hanya menotifikasi para tergugat dalam jangka
waktu tujuh hari. Atas dalil ini, majelis secara tegas menyatakan gugatan
MSKR NTB tidak memenuhi syarat notifikasi.142
138
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Sela Nomor : 53/PDT.G/2012/PN.JKT.PST, tanggal
25 Juli 2012, antara Agustinus Dawarja, dkk melawan Pemerintah Propinsi DKI dkk
139
Susanti Adi Nugroho, lo. cit, lihat juga Bambang H. Mulyono, lo. cit.
140
Ibid.
141
Mon, Gugatan Citizen Lawsuit Marwan Batubara Cs Kandas,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol22594/gugatan-icitizen-lawsuiti-marwan-batubara-
cs-kandas, 16 Juli 2009, diakses pada tanggal 28 Nopember 2012.
142
Hrs, Newmont Gagalkan Citizen Lawsuit Masyarakat,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50adb8386f0f9/newmont-gagalkan-icitizen-law-suit-i-
masyarakat, 22 Nopember 2012, diakses pada tanggal 28 Nopember 2012.
Universitas Indonesia
143
Gugatan CLS (Citizen Lawsuit) ditolak PRT ajukan banding,
http://pahamindonesia.org/publikasi/berita-dunia-seputar-ham/77-gugatan-cls-citizen-law-suit-
ditolak,-prt-ajukan-banding.html, diakses pada tanggal 28 Nopember 2012.
144
Hrs, Pengadilan Lanjutkan Perseteruan Masyarakat dan Ancol
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50b03aca3830d/pengadilan-lanjutkan-perseteruan-
masyarakat-dan-ancol, 24 Nopember 2012, diakses pada tanggal 28 Nopember 2012.
145
Eh, ICW dkk Gugat Swastanisasi Air Minum Jakarta,
http://metro.news.viva.co.id/news/read/369148-icw-dkk-gugat-swastanisasi-air-minum-jakarta, 21
Nopember 2012, diakses pada tanggal 28 Nopember 2012.
146
Susanti Adi Nugroho, op. cit, hal. 391-392, lihat juga Arko Kanandito, loc.cit.
Universitas Indonesia
147
Indro Sugianto, op.cit., hal. 37, Timothy Belevetz juga menyatakan bahwa “A citizen suit
defendant may challenge the plaintiffs standing to prosecute the action”, lihat Timothy Belevetz,
op. cit., hal. 110.
148
Henry Campbell Black, Bryan A Garner et. al, Ed., op. cit., hal. 1442, padanan dalam bahasa
Indonesia menurut Peraturan MK (PMK) No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam
Pengujian Undang-Undang, Pasal 5 huruf b menyebut istilah kedudukan hukum yang
dipersamakan dengan istilah Legal Standing.
149
Timothy Belevetz, op. cit., hal. 110-111, penggugat harus memenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu: (1)
injury-in-fact; (2) causation; and (3) redressability, lihat Joshua L. Sohn, The Case for Prudential
Standing, http://works.bepress.com/cgi/viewcontent.cgi?article=1001&context=joshua_sohn,
diakses pada tanggal 10 Desember 2012, lihat juga Gregory Apgar, Prudential Standing
Limitations on Lanham Act False Advertising Claims, (Fordham Law Review, Vol. 76, 2008), hal.
2393.
Universitas Indonesia
grievance standing, (2) the zone of interests test and (3) limitations on third-
party standing.150
150
Shriver Center's, Standing, http://federalpracticemanual.org/node/19, diakses pada tanggal 10
Desember 2012.
151
Ibid., hal. 2394.
152
Indro Sugianto, loc.cit.
153
Timothy Belevetz, op. cit., hal. 111.
Universitas Indonesia
154
Ibid.
155
Ibid.
156
Ibid., hal. 113.
157
Ibid., hal 114.
158
Mas Ahmad Santosa, Gugatan AJI : Perluasan Hak Gugat Organisasi (Legal Standing), dalam
Dictum Jurnal Kajian Putusan Pengadilan Edisi 2, (2004), hal. 58.
Universitas Indonesia
159
Timothy Belevetz, op. cit., hal. 103-104.
160
Ibid., hal. 120.
161
F. Andrew Hessick, Standing, Injury In Fact and Private Rights, CORNELL LAW REVIEW
Vol. 93:275, (2008), hal. 300.
162
Mas Ahmad Santosa, op. cit., hal. 74.
Universitas Indonesia
163
Ibid.
Universitas Indonesia
164
Indro Sugianto, op.cit., hal. 39-40.
165
Ibid., hal. 40.
Universitas Indonesia
166
Surya Deva, Public Interest Litigation in India: A Critical Review,
http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/apcity/unpan047384.pdf, diakses pada
tanggal 12 Nopember 2012, hal. 31.
167
Mas Ahmad Santosa, op. cit., hal. 70.
168
Ibid.
Universitas Indonesia
169
Ibid., hal. 75.
170
Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Perdata tahun 2008, loc. cit.
Universitas Indonesia
171
Indro Sugianto, op. cit., hal. 41.
172
Ibid., hal. 43.
173
Karen P. Ryan menyatakan bahwa :Eight circuit courts have addressed the issue of whether the
citizen suit notice requirements in federal environmental statutes require jurisdictional or
pragmatical interpretation. The circuits are evenly divided regarding the proper approach.Lihat,
Karen P. Ryan, HALLSTROM v. TILLAMOOK COUNTY: Interpreting The Notice Provisions Of
Environmental Statutes, (Pace Environmental Law Review, 255, 1990), hal. 3.
Universitas Indonesia
untuk pelepasan hak, modifikasi yang adil dan penyembuhan (allowing for
waiver, equitable modification, and cure).174
174
Ibid., hal. 3-5.
175
Ibid., hal. 8-9.
176
Ibid., hal 10.
Universitas Indonesia
177
Henry Campbell Black, op.cit., hal. 1266.
178
Sudikno Mertokusumo, Kepentingan Umum,
http://sudiknoartikel.blogspot.com/2008/03/kepentingan-umum.html, 17 Maret 2008, diakses pada
tanggal 12 Oktober 2012.
Universitas Indonesia
179
UU Nomor 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 tahun 2004 Jo. UU No. 51 tahun 2009, loc. cit.
180
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia, LN TAHUN 2004 NOMOR 67, TLN NOMOR 4401.
181
E. Sundari, op. cit. hal. 16.
Universitas Indonesia
182
Ibid. hal. 16-17.
183
Ibid, hal. 17.
184
Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, (Bandung : Alumni,
1982), hal. 8.
Universitas Indonesia
185
Ibid.
186
M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1979),
hal. 17.
187
Ibid., hal. 27, lihat juga Rachmat Setiawan, op. cit., hal. 9.
Universitas Indonesia
188
Ibid.
189
Ibid., hal. 10, lihat juga M.A. Moegni Djojodirdjo, op. cit., hal. 57.
190
R. Setiawan, op. cit., hal. 7-33.
191
M.A. Moegni Djojodirdjo, op. cit., hal. 13.
Universitas Indonesia
192
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta : Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2003) hal. 11.
193
Ibid., hal. 51.
194
Ibid., hal. 52-56, bandingkan dengan Rachmat Setiawan, op. cit., hal. 17-21, dan M.A. Moegni
Djojodirdjo, op. cit., hal. 35-46, berdasarkan Putusan Hoge Raad 31 Januari 1919 perbuatan
melawan hukum diartikan luas yaitu sebagaimana 4 (empat) kriteria, di mana kriteria ini bersifat
alternatif karena dalam uraian perbuatan melawan hukum oleh M.A. Moegni Djojodirdjo maupun
Rachmat Setiawan terdapat kata atau di akhir kalimat setiap kriteria-kriteria tersebut.
195
Djuhaendah Hasan sebagaimana dikuti oleh Rosa Agustina, op. cit., hal. 53.
Universitas Indonesia
Kesalahan
196
Ibid.
197
Rachmat Setiawan, op. cit., hal. 18-19.
198
M.A. Moegni Djojodirdjo, op. cit., hal. 44.
199
Rachmat Setiawan, op. cit., hal. 20-21.
Universitas Indonesia
Kerugian
200
Rosa Agustina, op. cit., hal. 64.
201
Wirjono Prodjodikoro, sebegaimana dikutip oleh Rosa Agustina, Ibid., lihat juga M.A. Moegni
Djojodirdjo, op. cit., hal. 66.
202
Ibid., hal. 76.
Universitas Indonesia
Karena terlalu luas ajaran Von Buri maka ajaran tersebut tidak
digunakan baik dalam hukum pidana maupun hukum perdata.
203
Ibid. Bunyi Pasal 1371 yaitu “Penyebab luka atau cacatnya suatu anggota badan dengan
sengaja atau kurang hati-hati, memberikan hak kepada korban, selain penggantian biaya-biaya
penyembuhan, juga menuntut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat
tersebut”.
204
M.A. Moegni Djojodirdjo, op. cit., hal. 83. Rosa Agustina menyatakan bahwa “Teori ini
melihat bahwa tiap-tiap masalah yang merupakan syarat untuk timbulnya suatu akibat adalah
menjadi sebab dari akibat, lihat Rosa Agustina, op. cit., hal. 91.
205
Ibid., hal. 92.
Universitas Indonesia
2.4 Perbandingan Antara Citizen Lawsuit atau Actio Popularis dengan Class
Action
206
Ibid., hal. 96.
207
Untuk lebih jelasnya lihat Adi Nugroho, op. cit, hal. 362-396, lihat juga Emerson Yuntho, op.
cit,
208
hal. 7-9.
Yanis Maladi , Dokirin Strict Liability, Class Action, Dan Legal Standing Sebagai Landasan
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Di Indonesia,
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/92065866_1410-8771.pdf, diakses pada tanggal 24 September
2012, hal. 62.
Universitas Indonesia
a. gugatan yang berisi tuntutan melalui proses pengadilan yang diajukan oleh
satu atau beberapa orang yang bertindak sebagai wakil kelompok (class
representative) ;
b. perwakilan kelompok itu bertindak mengajukan gugatan tidak hanya untuk
dan atas nama mereka, tetapi sekaligus untuk dan atas nama kelompok
209
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata tahun 2008 khususnya Bab I Ketentuan
Umum, Pasal 1 angka 5, lihat Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor …
Tahun … Tentang Hukum Acara Perdata (Draft Maret 2008), op. cit.
210
Emerson Yuntho, op. cit., hal. 1.
211
Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok, Pasal 1 huruf a, ditetapkan tanggal 26 April 2002. Gugatan Perwakilan
Kelompok merupakan terjemahan resmi di Indonesia terhadap istilah class action, untuk lebih
jelasnya lihat Susanti Adi Nugroho, op. cit. hal. 6.
Universitas Indonesia
212
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta : Sinar Grafika, cetakan kesembilan, 2009), hal.
139.
213
Emerson Yuntho, op. cit., hal. 9, lihat juga Susanti Adi Nugroho, op. cit. hal, 8.
Universitas Indonesia
Tabel 2.2.
Perbedaan citizen lawsuit dengan class action
No. Citizen Lawsuit Class Action
214
Susanti Adi Nugroho, op. cit. hal, 67.
215
Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok, loc. cit.
216
Untuk lebih jelasnya lihat Hakim Bingung Soal Citizen Lawsuit dan Class Action
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16280/hakim-bingung-soal-citizen-law-suit-dan-
class-action, 27 Pebruari 2007, diakses pada tanggal 10 September 2012, dan Ant, Calon Hakim
Agung Tak Paham “Ctitizen Lawsuit”, http://www.harianbhirawa.co.id/nasional/34181-calon-
hakim-agung-tak-paham-qcitizen-lawsuitsq, 26 Juli 2011, diakses pada tanggal 10 September
2012.
217
Untuk lebih jelasnya lihat Susanti Adi Nugroho, op. cit. hal, 395-396.
Universitas Indonesia
2.5 Perbandingan antara Citizen Lawsuit atau Actio Popularis dengan Legal
Standing
Universitas Indonesia
Definisi secara bebas dari legal standing adalah suatu tata cara
pengajuan gugatan secara perdata yang dilakukan oleh satu atau lebih
lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat atas suatu tindakan
atau perbuatan atau keputusan orang perorangan atau lembaga atau
pemerintah yang telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat.220
Tidak semua organisasi atau LSM yang dapat mengajukan hak gugat
LSM (legal standing). Untuk bidang Lingkungan Hidup menyebutkan
bahwa hanya organisasi Lingkungan Hidup /LSM Lingkungan Hidup yang
218
Ibid., hal. 382, lihat juga Emerson Yuntho, op. cit., hal. 8.
219
Emerson Yuntho, Ibid., hal. 8-9.
220
Ibid., hal. 9.
221
Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum Acara Perdata tahun 2008 khususnya Bab I Ketentuan
Umum, Pasal 1 angka 6, untuk lengkapnya lihat Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Rancangan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor … Tahun … Tentang Hukum Acara Perdata (Draft Maret 2008), op. cit.
Universitas Indonesia
Tabel 2.3.
Perbedaan class action dengan legal standing
No. Class Action Legal Standing
1. Yang berhak mengajukan Yang berhak mengajukan
gugatan yaitu wakil kelas dan gugatan lembaga yang
anggota kelas yang pada umumnya memperjuangkan dan mewakili
berjumlah banyak, keduanya sama- kepentingan masyarakat luas
sama merupakan pihak korban atau atau kepentingan publik, tidak
pihak yang nyata dirugikan. selalu sebagai pihak yang juga
ikut sebagai pihak yang
dirugikan atau pihak korban.
2. Syarat perwakilan (adequacy of Syarat perwakilan tidak lagi
representation)dalam class action diserahkan sepenuhnya kepada
222
Emerson Yuntho, op. cit., hal. 9, lihat juga Pasal 92 Undang-undang nomor 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, op. cit.
223
Susanti Adi Nugroho, op. cit. hal, 363-364.
224
Untuk lebih jelasnya lihat Ibid., hal, 380-382, Emerson Yuntho, op. cit., hal. 8.
Universitas Indonesia
Tabel 2.4.
Perbedaan Citizen Lawsuit, Class Action, Legal Standing
dan Gugatan Perdata Biasa
Bentuk Penggugat Tergugat Tuntutan Keterangan
Gugatan
Citizen individu Pemerintah / pelayanan atau Tanpa ada
perlindungan yang keharusan bahwa
225
Lihat juga http://www.elsam.or.id/downloads/1262942628_Legal_standing-Sulistiono.pdf,
diakses pada tanggal 5 Oktober 2012, lihat juga Kms, Menggugat Kenaikan Tarif Tol Lewat Class
Action atau Citizen Lawsuit, 12 September 2007,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17567/menggugat-kenaikan-tarif-tol-lewat-iclass-
actioni-atau-icitizen-lawsuiti, diakses pada tanggal 5 oktober 2012.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
226
R. Subekti, Hukum Acara Perdata, (Bandung : Binacipta, 1977), hal. 7, lihat juga Abdul Kadir
Muhammad, op. cit., hal. 7.
227
R. Subekti, loc. Cit, lihat juga Abdul Kadir Muhammad, loc. cit.
228
Ibid., hal. 9.
98
Universitas Indonesia
Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.
99
229
Ibid., hal. 9-10.
Universitas Indonesia
Jawa dan Madura sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan Pasal 145
Peraturan tentang Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Pengadilan, dapat
buat seluruhnya atau buat sebagian dan untuk selamanya oleh Gubernur
Jenderal tertimbang patut, tetap diberlakukan olehnya. Akan tetapi, dia akan
mengadakan peraturan istimewa tentang pengadilan di luar Jawa dan
Madura pada waktu yang sama dengan undang-undang baru, apa yang dia
anggap perlu untuk menjamin berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang di daerah-daerah
tersebut secara tertib. Demikian bunyi Pasal 6 Keputusan Raja Stb. No. 23
Tahun 1847.230
Universitas Indonesia
Jadi hukum acara perdata yang dinyatakan resmi berlaku adalah HIR
untuk Jawa dan Madura dan RBg untuk luar Jawa dan Madura. Reglement
op de Burgerlijke Rechtsvordering (BRv.) merupakan sumber juga dari
hukum acara perdata. Menurut Supomo, dengan dihapuskannya Raad
Justitie dan Hoggerecthshof, maka Rv sudah tidak berlaku lagi, sehingga
dengan demikian hanya HIR dan Rbg sajalah yang berlaku, akan tetapi di
dalam praktik acara dari Rv tetap diterapkan.234
233
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, op. cit., hal. 7, lihat juga Abdul
Kadir Muhammad, op. cit., hal. 13,
234
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, loc. cit, lihat juga Mahkamah Agung
RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku I dan II, (Jakarta :
Mahkamah Agung RI, 2007/2008), hal. 60 dan hal 126, lihat juga Naskah Akademik tentang
Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Perdata tahun 2011, op. cit., hal. 37 yang
menyatakan bahwa ‘BRV yang dimuat dalam Stb. No.52/1847 mulai berlaku pada tanggal 1 Mei
1848 adalah reglement yang berisi ketentuan Hukum Acara Perdata yang berlaku khusus untuk
golongan Eropa dan yang dipersamakan dengan mereka untuk berperkara di muka Pengadilan
untuk orang Eropa yaitu dalam Raad Van Justitie dan Residentie gerecht. BRV sampai sekarang
tidak berlaku lagi, tetapi dalam kenyataan praktik berlaku di muka Pengadilan sekarang, beberapa
lembaga hukum dalam peraturan tersebut sering dipakai sebagai contoh, karena sangat dibutuhkan
dalam perkara, sebab lembaga seperti itu tidak terdapat dalam HIR maupun RBg. Praktiknya hal
ini disebut sebagai yurisprudensi, ini di dasarkan tidak menyebutkan pasal-pasal dari reglement
tersebut’.
Universitas Indonesia
235
Naskah Akademik tentang Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Perdata tahun 2011,
op. cit., hal. 1.
236
Ibid., hal. 37.
237
Ibid., hal 38.
238
Ibid., Lihat juga Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, op. cit., hal. 7-8.
Universitas Indonesia
Beberapa masalah yang tidak diatur dalam HIR dan R.Bg, apabila
dirasakan perlu dan berguna bagi praktik pengadilan, dapat dipakai
peraturan-peraturan yang terdapat dalam Reglement of de Burgerlijke
Rechtsvordering (Rv). Misalnya perihal penggabungan, penjaminan dan
rekes sipil.239
239
Naskah Akademik tentang Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Perdata tahun 2011,
op. cit., hal. 38.
Universitas Indonesia
240
Ibid., hal 38-39.
241
Ibid., hal. 39.
242
Ibid.
Universitas Indonesia
Suatu hukum acara yang baik adalah yang menjamin bahwa roda
Pengadilan dapat berjalan lancar, dengan perkataan lain, agar
penetapan oleh Pengadilan tentang bagaimanakah hukumnya
dalam perkara yang dihadapkan kepadanya itu dapat diperoleh
dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, bahwa penetapan
tentang apakah yang hukum itu berjalan dengan adil, tidak berat
sebelah, dan bahwa biaya yang diperlukan untuk memperoleh
keputusan Pengadilan itu beserta realisasinya, tidak terlampau
memberatkan para pencari keadilan. Terkenal adalah semboyan
yang, dalam hubungan itu, seringkali dikemukakan, yaitu supaya
peradilan itu dilaksanakan dengan “cepat, tepat dan murah”.243
Karena hukum acara itu sifatnya mengabdi kepada hukum
materiil, maka dengan sendirinya setiap perkembangan dalam
hukum materiil itu sebaiknya selalu diikuti dengan penyesuaian
hukum acaranya.244
243
R. Subekti, op. cit., hal. 14.
244
Ibid.
245
Naskah Akademik tentang Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Perdata tahun 2011,
op. cit., hal. 62, R. Subekti juga pernah berpendapat bahwa “dalam pembentukan Undang-Undang
Hukum Acara Perdata nasional nanti, hendaknya diusahakan supaya semua hukum acara yang sekarang
secara bercera-berai terdapat dalam berbagai macam undang-undang itu, dikumpulkan menjadi satu
dalam satu undang-undang, yaitu Undang-Undang Hukum Acara Perdata, lihat juga R. Subekti op. cit.,
hal. 17.
Universitas Indonesia
gugatan ini memang belum diatur dalam peraturan hukum acara perdata di
Indonesia – HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) dan Rbg
(Rechtsreglement Buitengeweten) –. Hal ini berbeda dengan bentuk gugatan
class action yang telah diakomodasi dalam Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA) No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan
Kelompok.246
1. Tuntutan Hak
246
Susanti Adi Nugroho, op. cit., hal. 391.
247
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia, Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor … Tahun … Tentang
Hukum Acara Perdata (Draft Maret 2008), loc. cit.
248
Tim Penyusun Naskah Akademik RUU HAP, Naskah Akademik tentang Rancangan Undang-
Undang tentang Hukum Acara Perdata tahun 2011, lo. cit.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Kalau kita bicara tentang hukum pada umumnya kita hanya melihat
kepada peraturan hukum dalam arti kaedah atau peraturan perundang-
undangan, terutama bagi praktisi.249
249
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, (Yogyakarta : Citra
Aditya Bakti, cetakan ke I, 1993), hal. 3, lihat juga Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra, op.
cit., hal. 163-164.
250
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, loc. cit.
251
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, op. cit., hal. 48-49, selanjutnya Sudikno
Mertokusumo menyatakan bahwa “oleh karena undang-undangnya tidak lengkap atau tidak jelas,
maka hakim harus mencari hukumnya, harus menemukan hukumnya. Ia harus melakukan
penemuan hukum (rechtsvinding), lihat Sudikno Mertokusumo dan A Pitlo, op. cit., hal. 4.
252
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, op. cit., hal. 47, Thomas David juga menyatakan
bahwa “Pemakaian kata penemuan hukum (rechtsvinding) tidak disepakati oleh semua ahli. Ada juga
yang Iebih memilih penggunaan istilah "pembentukan hukum" dengan alasan, hakim bukan hanya
menemukan hukum, tetapi membentuk hukum, dan hukum yang dibentuk hakim itu melalui
Universitas Indonesia
putusannya dinamai: judge made law”, lihat Thomas David, Penemuan Hukum dan Legalitas
Hakim, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum Vol. 1 Nomor 2, Oktober tahun 2007, hal. 15.
253
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, loc. cit.
254
Ibid., hal. 47-48.
255
Ibid., hal. 48.
Universitas Indonesia
diciptakan: dari tidak ada menjadi ada. Hukum bukanlah selalu berupa
kaedah baik tertulis maupun tidak, tetapi dapat juga berupa perilaku atau
peristiwa. Di dalam perilaku itulah terdapat hukumnya. Dari perilaku itulah
harus diketemukan atau digali kaedah atau hukumnya (lihat pas.5 (1) UU no
48 th 2009). Sehingga menurut Sudikno Mertokusumo “Maka kiranya
istilah penemuan hukumlah yang tepat”.256
Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra257 serta Bernard Arief
Sidharta258 lebih cenderung memakai istilah pembentukan hukum, sedangkan
sebagaimana diuraikan di atas Sudikno Mertokusumo lebih cenderung
menggunakan istilah penemuan hukum dan Achmad Ali lebih setuju dengan
istilah penemuan hukum259, karena mengandung arti yang lebih luas, yaitu
selain pembentukan hukum juga menemukan hukum yang sebenarnya lebih
menunjukkan kita proses yang dilalui hakim sebelum menjatuhkan
putusannya.
256
Ibid.
257
Dalam formulasi kombinatif ini fungsi pembentukan hukum dapat dilakukan baik oleh hakim,
lembaga legislatif, maupun badan-badan administratif yang melakukan fungsi semacam itu, lihat
Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra, op. cit., hal. 162-163.
258
Bernard Arief Sidharta mengatakan: “Proses pembentukan hukum itu berlangsung melalui
proses politik yang menghasilkan perundangundangan, proses peradilan yang menghasilkan
yurisprudensi, putusan birokrasi, pemerintahan yang menghasilkan ketetapan, prilaku hukum ‘varga
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, dan pengembangan ilmu hukum (pembentukan doktrin)”,
lihat Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang
Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu
Hukum Nasional Indonesia (Bandung: Penerbit CV Mandar Maju, 2000) hal. 189.
259
Thomas David, op. cit., hal. 15.
Universitas Indonesia
260
Abdul Manan, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan
Agama, http://rakernas.mahkamahagung.go.id/index.php/rakernas-2010/peradilan-
agama?download=9%3Apenemuan-hukum-oleh-hakim-h-abdul-manan, diakses pada tanggal 12
Oktober 2012, hal. 2.
261
Thomas David, op. cit., hal. 15-16.
262
Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa “kegiatan hakim berupa pembentukan hukum
(rechtsvorming), analogi (rechtsanalogie), penghalusan hukum (rechtsverfijning) atau penafsiran
(interpretatie), dalam sistem hukum kontinental disebut sebagai penemuan hukum (rechtsvinding),
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana, cetakan ketiga, 2009), hal.
333, Bagir Manan juga menyatakan bahwa “Agak berbeda dengan tradisi kontinental. Paling tidak
yang kita kenal di Belanda dan Indonesia, pembentukan hukum oleh hakim tercakup dalam
sistematik penemuan hukum (rechtsvinding). Pembentukan hukum oleh hakim merupakan salah
satu bentuk penemuan hukum (rechtsvinding)”, lihat Bagir Manan, Konsekuensi Yuridis
Keputusan Menteri Yang Dinyatakan Tidak Berlaku Lagi, (Jakarta : IKAHI, Varia Peradilan No.
286, September 2009), hal. 12.
Universitas Indonesia
263
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, op. cit., hal. 49, selanjutnya Sudikno Mertokusumo
mengatakan bahwa “Penemuan hukum bukan semata-mata hanya penerapan peraturan-peraturan
hukum terhadap peristiwa konkret, tetapi sekaligus juga penciptaan dan pembentukan hukum”,
lihat Sudikno Mertokusumo dan A Pitlo, op. cit., hal. 9.
264
Ahmad Ali, Nurhadi, Ed., Menguak Tabir Hukum, Edisi Kedua, (Jakarta : Ghalia Indonesia,
2008), hal. 113-120.
265
Ibid., hal 114.
Universitas Indonesia
“Lagi pula, bagi siapa pun yang mengatakan bahwa teks undang-undang
sudah sangat jelas sehingga tidak membutuhkann interpretasi lagi,
sebenarnya yang menyatakan demikian sudah melakukan interpretasi
sendiri. Pernyataannya tentang jelasnya teks, sudah merupakan hasil
interpretasinya terhadap teks tersebut”.267
“Oleh karena itu, Penulis tidak pernah sependapat jika dikatakan bahwa
seorang yuris yang baik harus mampu membaca seperti sarjana lain dan
titik! Pernyataan seperti itu tidak tepat. Seorang yuris tidak hanya
membutuhkan sekadar kemampuan membaca seperti orang lain, tetapi ia
266
Ibid.
267
Ibid., hal. 115.
Universitas Indonesia
juga harus mampu menafsirkan dengan tepat apa yang ia baca itu dan
menghubungkannya dengan konteks untuk apa bacaan itu dibaca”.268
268
Ibid.
269
Ibid., hal 119.
270
Ibid., hal 120. Untuk lebih jelasnya lihat juga Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, op.
cit., hal. 101-119.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
276
Ibid., hal.111.
277
Ibid., hal. 111-112.
Universitas Indonesia
278
Sudikno Mertokusumo dan A Pitlo, op. cit., hal. 13.
279
Ibid., hal. 21.
Universitas Indonesia
280
Ahmad Ali, Nurhadi, Ed., op. cit., hal. 122.
281
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks,
(Yogyakarta : UII Pres, 2005), hal 53.
282
Ahmad Ali, Nurhadi, Ed., loc. cit., lihat juga Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto,
Perundang-Undangan dan Yurisprudensi, (Bandung : Alumni, 1979), hal. 21-22, bandingkan
dengan Sudikno Mertokusumo yang menyatakan bahwa metode penemuan hukum dapat berupa
interpretasi (jika peraturannya ada, tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya),
sedangkan metode berpikir analogi, serta metode penyempitan hukum dan metode a contrario
(jika tidak ada peraturannya yang khusus), Sudikno Mertokusumo, op. cit, hal 13 dan 21.
Universitas Indonesia
283
Berkaitan dengan metode-metode interpretasi dalam penemuan hukum ini, lihat , Achmad Ali,
Nurhadi, Ed., op. cit., hal. 127-139, Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, op. cit., hal. 73-86,
Jazim Hamidi, op. cit., hal. 53-63, Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, loc. cit.
Universitas Indonesia
284
Ahmad Ali, Nurhadi, Ed., op. cit., hal. 138.
285
Berkaitan dengan metode-metode konstruksi dalam penemuan hukum ini, lihat Ibid., hal. 139-
147, Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, op. cit., hal. 86-93, dan Purnadi Purbacaraka dan
Soerjono Soekanto, op. cit., hal. 22.
Universitas Indonesia
286
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, op. cit., hal. 63-64.
287
Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
op. cit., pasal 1 angka 2.
288
Ibid., Pasal 1 angka 3.
289
Ahmad Ali, Nurhadi, Ed., op. cit., hal. 93.
290
Ibid., hal. 98.
Universitas Indonesia
291
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, op. cit., hal. 68.
292
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspekatif Hukum Progresif, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2011), hal. 50
293
Ibid., hal. 51.
Universitas Indonesia
294
Sebastian Pompe, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, Terj. Noor Cholis, (Jakarta :
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, 2012) Terj. dari The Indonesian
Supreme Court, A Study of Institutional Collapse, hal. 605.
295
Ibid.
Universitas Indonesia
296
Ibid., hal. 605-606, berkaitan dengan yurisprudensi tetap Ahmad Kamil dan M. Fauzan
sebagaimana dikutip oleh Ahmad Rifai, menguraikan bahwa Yurisprudensi tetap memiliki
tahapan-tahapan sebagai berikut : Adanya putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap,
Atas perkara atau kasus yang belum ada atau belum jelas aturan hukumnya, memiliki muatan
keadilan dan kebenaran, telah diikuti berulang kali oleh hakim berikutnya dalam memutus perkara
yang sama, telah melalui uji eksaminasi atau anotasi oleh tim yurisprudensi yang terdiri atas para
Hakim Agung di Mahkamah Agung, telah direkomendasikan sebagai yurisprudensi tetap yang
berlaku dan mengikat dan wajib diikuti oleh hakim-hakim di kemudian hari dalam memutus
perkara yang sama, lihat Ahmad Rifai, op. cit., hal. 52.
297
Ibid., hal. 51.
Universitas Indonesia
298
Ahmad Ali, Nurhadi, Ed., op. cit., hal. 100.
299
Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor 48 tahun
2009, tanggal 29 Oktober 2009, LN NOMOR 157 TAHUN 2009, TLN Nomor 5076.
Universitas Indonesia
300
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, op. cit., hal. 52-53 dan 61.
301
Ibid, hal. 61.
302
Ibid., Pasal 22 A.B berbunyi : “Bilamana seorang hakim menolak menyelesaikan suatu perkara
dengan alasan bahwa peraturan undang-undang yang bersangkutan tidak menyebutnya, tidak jelas,
atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut karena menolak mengadili”.
Universitas Indonesia
303
Abdulkadir Muhammad, op. cit., hal. 147.
304
Ibid., hal 148.
305
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia Op. cit., hal. 174.
Universitas Indonesia
Selanjutnya Pasal 185 ayat 1 HIR (ps. 196 ayat 1 Rbg) membedakan
antara putusan akhir dan putusan yang bukan putusan akhir. Putusan akhir
adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu
tingkatan peradilan tertentu. Putusan akhir ini ada yang bersifat menghukum
(condemnatoir), ada yang bersifat menciptakan (constitutif) dan ada pula
yang bersifat menerangkan atau menyatakan (declaratoir).308
306
Direktorat Jenderal Perundang-Undangan Kemenkumham, Rancangan Undang-Undang Tentang
Hukum Acara Perdata tahun 2008, loc.cit.
307
Menurut penelitian yang dilakukan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) tahun
1994/1995, bahwa “ suatu putusan Hakim dapat disebut sebagai Yurisprudensi apabila putusan itu
sekurang-kurangnya memiliki 5 (lima) unsur pokok yaitu :keputusan atas suatu peristiwa hukum
yang belum jelas pengaturan perundang-undangannya; keputusan tersebut harus sudah merupakan
keputusan tetap; telah berulangkali diputus dengan keputusan yang sama dalam kasus yang sama;
memenuhi rasa keadilan; keputusan itu dibenarkan oleh Mahkamah Agung”. Lihat Mahkamah
Agung, Naskah Akademis tentang Pembentukan Hukum Melalui Yurisprudensi, (Jakarta :
Mahkamah Agung, 2005), hal. 28.
308
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, op. cit., hal. 221, mengenai putusan
akhir lihat juga Abdulkadir muhammad, op. cit., hal. 149.
Universitas Indonesia
309
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, loc. cit., lihat juga Abdulkadir
Muhammad, op. cit., hal. 149.
310
Ibid., hal. 149-150.
Universitas Indonesia
karena tidak menetapkan hak atas suatu prestasi tertentu, maka akibat
hukumnva atau pelaksanaannya tidak tergantung pada bantuan daripada
pihak lawan yang dikalahkan. Perubahan keadaan atau hubungan hukum itu
sekaligus terjadi pada saat putusan itu diucapkan tanpa memerlukan upaya
pemaksa. Pengampuan dan kepailitan misalnya terjadi pada saat putusan
yang dijatuhkan. 311
311
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, op. cit., hal. 221-222, lihat juga
Abdulkadir Muhammad, op. cit., hal. 151.
312
Ibid.
Universitas Indonesia
313
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, op. cit., hal. 222, lihat juga
Abdulkadir Muhammad, op. cit., hal. 150.
314
Ibid.
315
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, loc. cit., Abdulkadir Muhammad
juga menyatakan bahwa “Persamaan antara ketiga jenis putusan akhir tersebut adalah selalu
terdapat pernyataan hukum. Sedangkan perbedaannya adalah: putusan kondemnator menuju
kepada pelaksanaan putusan dengan paksaan bila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan
dengan suka rela, putusan deklarator dan konstitutif tidak memerlukan pelaksaaan dengan
paksaan karena sejak diucapkan putusan sudah mempunyai akibat hukum, lihat Abdulkadir
Muhammad, op. cit., hal. 151.
Universitas Indonesia
Putusan sela ini menurut pasal 185 ayat 1 HIR (ps. 196 ayat 1 Rbg)
sekalipun harus diucapkan di dalam persidangan tidak dibuat secara terpisah,
tetapi ditulis dalam berita acara persidangan.317 Selanjutnya pasal 190 ayat 1
HIR (ps. 201 ayat 1 Rbg) menentukan bahwa putusan sela hanya dapat
dimintakan banding bersama-sarna dengan permintaan banding terhadap
putusan akhir.318
316
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, loc. cit.
317
Walaupun pasal 185 ayat 1 HIR (ps. 196 ayat 1 Rbg) mengatur demikian, akan tetapi dalam
praktik, putusan sela dibuat secara terpisah dalam bentuk putusan sela, M. Yahya Harahap
menyatakan bahwa “apabila hakim berpendapat, bahwa ia berwenang memeriksa dengan
mengadili perkara dengan alasan, apa yang diperkarakan termasuk yurisdiksi absolut atau relatif
PN yang bersangkutan, maka eksepsi tergugat ditolak dalam bentuk putusan sela (interlocutory),
lihat M. Yahya Harahap, op. cit, hal. 427.
318
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, op. cit., hal. 223.
319
Ibid., lihat juga M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 880.
320
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, loc. cit., M. Yahya Harahap
menyatakan bahwa putusan ini merupakan bentuk khusus putusan sela yang dapat berisi
bermacam-macam perintah sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai hakim, lihat M. yahya
Harahap, op. cit., hal. 881.
Universitas Indonesia
Tabel 3.1
Perbandingan Putusan Sela dan Putusan Akhir
Fungsi Jenis / Sifat
Putusan Sela memperlancar - Praeparatoir (putusan sebagai persiapan
pemeriksaan perkara putusan akhir, tanpa mempunyai
pengaruhnya atas pokok perkara atau
putusan akhir),
321
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, loc. cit.
322
Ibid.
323
Ibid.
324
Ibid.
Universitas Indonesia
325
Sampai dengan penelitian ini dilakukan gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang dikabulkan
sampai dengan putusan akhir oleh pengadilan negeri adalah sebanyak 3 (tiga) putusan, dan hanya
2 (dua) Perkara Gugatan Warga Negara (citizen lawsuit) yang sampai pada Putusan Mahkamah
Agung, lihat Mahkamah Agung RI, Putusan Nomor : 2596 K/PDT/2008, Jakarta, 14 September
2009, dan Mahkamah Agung, putusan kasasi nomor 2801 K/Pdt/2009, tanggal 8 Juni 2010.
Universitas Indonesia
326
Bagir Manan, Hakim Sebagai Pembaharu Hukum, (Jakarta : IKAHI, Varia Peradilan Tahun ke
XXII No. 254, Januari, 2007), hal. 5.
327
Mochtar Kusumaatmadja, op. cit, hal. 12.
328
Ibid., hal. 12-13.
Universitas Indonesia
329
Ibid., hal. 13.
330
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung : Alumni,
2000), hal. 97.
Universitas Indonesia
331
Ibid., hal. 98.
332
Ibid., hal. 99.
333
Ibid.
Universitas Indonesia
334
Bagir Manan, Hakim Sebagai Pembaharu Hukum, op. cit., hal. 6.
335
Ibid., hal. 14.
Universitas Indonesia
336
Setiawan, Pengaruh Yurisprudensi Terhadap Peraturan Perundang-Undangan suatu tinjauan
sekilas, dalam Varia Peradilan Tahun VI No. 65 Februari 1991, (Jakarta : IKAHI, 1991), hal. 134.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
339
Ibid., hal. 15-16.
340
Ibid., hal. 16.
341
Ahmad Rifai, op. cit., hal. 59.
Universitas Indonesia
342
Soetandyo Wignjosoebroto, op. cit., hal. 355-357.
343
Ibid., hal. 357-361, Barda Nawawi Arief sebagaimana dikutip oleh Hari Purwadi dalam
tulisannya Reformasi Hukum Nasional : Problem dan Prospeknya, menyatakan bahwa “Reformasi
hukum tidak hanya sebatas reformasi peraturan perundang-undangan, tetapi mencakup reformasi
sistem hukum secara keseluruhan, yaitu reformasi materi/substansi, struktur, dan budaya hukum”,
Satya Arinanto, Ninuk Triyanti, (Ed.), Memahami Hukum dari Konstruksi sampai Implementasi
(Jakarta : Rajawali Pers, Cetakan kedua, 2011), hal. 61
Universitas Indonesia
344
Bagir Manan, Hakim Sebagai Pembaharu Hukum, op. cit., hal. 14
Universitas Indonesia
345
Soetandyo Wignjosoebroto, op. cit., hal. 350.
Universitas Indonesia
148
Universitas Indonesia
Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.
149
346
Untuk lebih jelasnya lihat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Sela Nomor :
28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst, tanggal 10 Juni 2003, hal. 6-32, lihat juga Putusan Akhir Nomor :
28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst, tanggal 8 Desember 2003, hal. 8-63.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
347
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Sela Nomor : 28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst, tanggal 10
Juni 2003, hal. 32.
Universitas Indonesia
Dalam Eksepsi :
348
Ibid., hal. 31.
349
Untuk lebih jelasnya lihat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan Akhir Nomor ::
28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst, tanggal 8 Desember 2003, hal. 55-62.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
350
Bambang H. Mulyono, loc. cit., lihat juga Isrok, Rizki Emil Birham, Citizen Lawsuit
“Penegakan Hukum Alternatif bagi Warga Negara”, (Malang : Universitas Brawijaya Press,
2010), hal. 24, lihat juga Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor: 480/PDT/2005/PT.DKI,
Jakarta, 4 April 2006, hal. 1-12.
351
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman, LN TAHUN 1970 NOMOR 74, TLN NOMOR 2951, Republik
Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, LN TAHUN
2004 NOMOR 8, TLN NOMOR 4358,
Universitas Indonesia
352
Republik Indonesia,UU Nomor 48 tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman, op. cit.
353
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum, LN
TAHUN 1986 NOMOR 20, TLN NOMOR 3327, Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8
tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan
Umum, LN TAHUN 2004 NOMOR 34, TLN NOMOR 4379, Republik Indonesia, Undang-
Undang Nomor 49 tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun
1986 tentang Peradilan Umum, LN TAHUN 2009 NOMOR 158, TLN NOMOR 5077.
Universitas Indonesia
Tuntutan hak yang di dalam pasal 118 ayat 1 HIR (pasal 142 ayat
1 Rbg) disebut sebagai tuntutan perdata (burgerlijke vordering) tidak
lain adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dan lazimnya
disebut gugatan.357
354
Abdulkadir Muhammad, op. cit., hal. 17.
355
Ibid.
356
M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 47.
357
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, op. cit., hal. 49.
358
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia, Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor … Tahun … Tentang
Hukum Acara Perdata (Draft Maret 2008), loc. cit.
Universitas Indonesia
359
Ibid., hal. 48.
360
Ibid., hal. 49.
361
Paulus Effendi Lotulung menyatakan bahwa “Apabila seseorang tidak mempunyai kepentingan,
maka ia tidak dapat mengajukan gugatan, seperti yang dikatakan adagium point d’interet point
d’action atau tidak ada kepentingan maka tidak ada aksi, lihat Paulus Effendi Lotulung, op. cit.,
hal. 51.
Universitas Indonesia
362
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, loc. cit.
363
Lebih jelasnya lihat Erna Herlinda, loc. cit.
364
Paulus Effendi Lotulung, op. cit., hal. 51-52.
Universitas Indonesia
365
Indro Sugianto, op. cit., hal. 34.
366
Ibid.
367
David Mossop, op. cit., hal. 5.
368
John C. Dernbach, Citizen Suits and Sustainability, Widener Law Review, Vol. 10:503, 2004,
hal. 505.
Universitas Indonesia
pada lingkup peradilan umum dalam hal ini perkara perdata. Oleh
karena itu, atas dasar kelalaiannya, maka dalam petitum gugatan,
negara dihukum untuk mengeluarkan suatu kebijakan yang bersifat
mengatur (regeling) agar kelalaian tersebut tidak terjadi lagi di
kemudian hari.369
369
Susanti Adi Nugroho, op. cit, hal. 384.
Universitas Indonesia
370
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan Akhir Nomor : 228/PDT.G/2006/PN. Jkt.Pst, op. cit.,
hal. 61.
371
Ibid., hal. 62.
Universitas Indonesia
372
Mengenai Pasal 1365 KUH Perdata maupun 1366 KUH Perdata ini lihat Rachmat Setiawan, op.
cit., hal. 10, lihat juga M.A. Moegni Djojodirdjo, op. cit., hal. 57.
373
M.A. Moegni Djojodirdjo, op. cit., hal. 7-33.
374
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan Akhir Nomor : 228/PDT.G/2006/PN. Jkt.Pst, loc. cit.
375
Ibid.
376
Ibid., hal. 61-62.
Universitas Indonesia
377
Ibid., hal. 52-56, bandingkan dengan Rachmat Setiawan, op. cit., hal. 17-21, dan M.A. Moegni
Djojodirdjo, op. cit., hal. 35-46, berdasarkan Putusan Hoge Raad 31 Januari 1919 perbuatan
melawan hukum diartikan luas yaitu sebagaimana 4 (empat) kriteria, di mana kriteria ini bersifat
alternatif karena dalam uraian perbuatan melawan hukum oleh M.A. Moegni Djojodirdjo maupun
Rachmat Setiawan terdapat kata atau di akhir kalimat setiap kriteria-kriteria tersebut.
Universitas Indonesia
378
Rosa Agustina, op. cit., hal. 85, sedangkan Moegni Djojodirdjo menyatakan bahwa “Pasal 1365
KUH Perdata memberikan kemungkinan beberapa jenis penuntutan yakni antara lain : 1. ganti
kerugian atas kerugian dalam bentuk uang, 2. ganti kerugian atas kerugian dalam bentuk natura
Universitas Indonesia
atau pengembalian keadaan pada keadaan semula, 3. pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan
adalah bersifat melawan hukum, 4. larangan untuk melakukan suatu perbuatan, 5. meniadakan
sesuatu yang diadakan secara melawan hukum, 6. pengumuman daripada keputusan atau dari
sesuatu yang telah diperbaiki, lihat Moegni Djojodirdjo, op. cit., hal. 102.
Universitas Indonesia
379
Untuk lebih jelasnya lihat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Sela Nomor :
228/PDT.G/2006/PN. Jkt.Pst, dalam perkara Gugatan Warga Negara antara Kristiono dkk
melawan Negara Republik Indonesia cq. Presiden Republik Indonesia dkk, Jakarta, tanggal 15
Nopember 2006, hal 4-26. lihat Putusan Akhir Nomor : 228/PDT.G/2006/PN. Jkt.Pst, tanggal 21
Mei 2007, hal. 5-136.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
380
Ibid., hal. 32.
381
Ibid., hal. 26-31.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
382
Untuk lebih jelasnya lihat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan Akhir Nomor :
228/PDT.G/2006/PN. Jkt.Pst, dalam perkara Gugatan Warga Negara antara Kristiono dkk
melawan Negara Republik Indonesia cq. Presiden Republik Indonesia dkk, Jakarta, tanggal 21 Mei
2007, hal. 136-158.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
383
Untuk lebih jelasnya tentang Putusan Kasasi tersebut lihat, Mahkamah Agung RI, Putusan
Nomor : 2596 K/PDT/2008, Jakarta, 14 September 2009, lihat juga Isrok, Rizki Emil Birham, op.
cit., hal. 83-144.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
oleh John Finch, di mana Holmes menyatakan bahwa “The life of the law
has not been logic : it has been experience …. The prophecies of what
the courts will do in fact, and nothing more pretentious, are what I mean
by the law”.384
384
John Finch, op. cit., hal. 174.
385
Ibid., hal. 145.
Universitas Indonesia
satu mata pelajaran, dengan selisih nilai rata-rata berkisar pada angka
0,26 sedangkan nilai-nilai, lainnya ditetapkan lulus, dinyatakan tidak
lulus UN Ketidaklulusan telah mengacu pada standar kelulusan UN
tanpa rnempertimbangkan nilai-nilai diperoleh lainnya;
- Tindakan Para Tergugat tersebut sekaligus melanggar kaidah
tata susila, dan bertentangan dengan asas kepatutan, dan
ketelitian serta kehati-hatian yang seharusnya dimiliki;
- Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 1366 KUH Perdata yang telah
disebutkan pada awal pembahasan, bahwa, "Setiap orang
bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya, tetapi juga yang disebabkan karena kelalaian".
Universitas Indonesia
386
M.A. Moegni Djojodirdjo, op. cit., hal. 57.
Universitas Indonesia
387
Lebih jelasnya lihat pertimbangan hukum putusan akhir Nomor : 228/PDT.G/2006/PN. Jkt.Pst,
op. cit., hal. 157.
388
Susanti Adi Nugroho, op. cit, hal. 384.
Universitas Indonesia
389
Untuk lebih jelasnya lihat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Sela Nomor :
278/PDT.G/2010/PN.Jkt.Pst, dalam perkara Gugatan Warga Negara antara Ir. H. SAID IQBAL,
M.E., dkk melawan Negara Republik Indonesia cq. Presiden Republik Indonesia dkk, Jakarta,
tanggal 17 Januari 2011, hal. 15-130, lihat juga Putusan Akhir Nomor :
278/PDT.G/2010/PN.Jkt.Pst, , tanggal 13 Juli 2011, hal16-143.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
390
Putusan Sela Nomor : 278/PDT.G/2010/PN.Jkt.Pst, tanggal 17 Januari 2011, op. cit., hal. 147-
148.
391
Ibid., hal. 142-147.
Universitas Indonesia
- Citizen lawsuit adalah sebagai suatu hak gugat warga negara yang
pada hakekatnya merupakan akses orang perorangan atau warga
negara untuk kepentingan keseluruhan warga negara atau
kepentingan publik termasuk mengajukan gugatan di pengadilan
guna menuntut agar pernerintah melakukan penegakan hukum yang
diwajibkan kepadanya atau untuk memulihkan Kerugian publik yang
terjadi atau dengan kata lain, citizen lawsuit memberikan kekuatan
kepada warga negara untuk rnenggugat pihak tertentu (privat) yang
melanggar undang-undang selain kekuatan kepada warga negara
untuk rnenggugat kepada negara den lernbaga-iernbaga
pemerintahan yang melakukan pelanggaran undang-undang atau
yang gagal darn memenuhi kewajibannya dalam pelaksanaan
(implementasi) undang-undang;
- Bahwa dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia
belum mengatur tentang presedur gugatan citizen lawsuit, demikian
pula tidak satupun undang-undang di Indonesia yang mengaturnya,
namun demikian dalam praktek peradilan hal tersebut sangat
dibutuhkan;
- Bahwa dalam Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman disebutkan :"Hakim dan hakim konstitusi
wajib menggali, mengikuti, dan memaharni nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Jo Pasal 10 ayat (1)
menyatakan Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya;
- Bahwa hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 16 ayat (1) UU
Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
rnenyatakan " Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan daiih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya". dan Pasal 28 ayat (1) UU No. 4
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
392
Untuk lebih jelasnya lihat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan Akhir Nomor :
278/PDT.G/2010/PN.Jkt.Pst, dalam perkara Gugatan Warga Negara antara Ir. H. SAID IQBAL,
M.E., dkk melawan Negara Republik Indonesia cq. Presiden Republik Indonesia dkk, Jakarta,
tanggal 13 Juli 2011, hal. 206-243.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
393
Ibid., hal 224-243
Universitas Indonesia
394
Ibid., hal. 243-245.
Universitas Indonesia
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
3. Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, mengatur bahwa “Setiap orang. tanpa diskiriminasi, berhak
untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan.
pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata,
maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang
bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang
menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil
untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”.
Universitas Indonesia
395
Putusan Sela Nomor : 278/PDT.G/2010/PN.Jkt.Pst,, op. cit. hal. 142-143.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
396
Putusan Akhir Nomor : 278/PDT.G/2010/PN.Jkt.Pst,, op. cit. hal. 241.
397
Ibid., hal. 242.
Universitas Indonesia
398
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, Cetakan kedua,
2011) hal. 273.
399
Ibid.
400
Ibid., hal. 274.
Universitas Indonesia
401
Henry Campbell Black, op. cit., hal. 261.
402
David Mossop, op. cit., hal. 6.
403
Susanti Adi Nugroho, op. cit, hal. 384.
404
Indro Sugianto, op. cit., hal. 35.
Universitas Indonesia
Terlepas dari hal tersebut, dari uraian Putusan akhir yang telah
diuraikan di atas, maka sifat kondemnatoir dari suatu putusan tentang
gugatan warga negara (citizen lawsuit) telah berkembang dari putusan-
putusan sebelumnya, yaitu negara dihukum untuk mengeluarkan suatu
kebijakan yang bersifat mengatur (regeling) agar kelalaian tersebut
tidak terjadi lagi di kemudian hari.405
405
Susanti Adi Nugroho, op. cit, hal. 384.
Universitas Indonesia
Tabel 4.1
Perkembangan penemuan hukum gugatan warga negara (citizen lawsuit)
dalam putusan pengadilan di Indonesia
No. URAIAN PENEMUAN HUKUM
1. SUMBER Putusan Nomor 28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst, tanggal 8
HUKUM Desember 2003 :
Undang-Undang :
- Pasal 14 ayat (1) UU tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman (UU No. 14 tahun 1970 sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 35 tahun 1999 : "Pengadilan tidak
boleh menolak untuk memeriksa, dan mengadili suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada
atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya" ;
- Pasal 27 UU tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman (UU No. 14 tahun 1970 sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 35 tahun 1999 : "Hakim sebagai
penegak hukum Wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat” ;
Doktrin :
Bahwa citizen lawsuit, yakni prosedur pengajuan gugatan yang
melibatkan kepentingan umum (public interest) secara
perwakilan..
406
Sumber dari 3 (tiga) putusan Pengadilan Negeri yang mengabulkan gugatan warga negara
(citizen lawsuit) dan diolah oleh peneliti.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Desember 2003 :
- Tidak mempertimbangkan soal notifikasi.
Putusan Nomor : 228/PDT.G/2006/PN.JKT.PST,
tertanggal 21 Mei 2007 :
- Tidak mempertimbangkan soal notifikasi.
Putusan Nomor 278/PDT.G/2010 /PN.JKT.PST, tanggal 13
Juli 2011 :
- Tidak mempertimbangkan soal notifikasi.
4. AMAR Putusan Nomor 28/PDT.G/2003/PN. Jkt.Pst, tanggal 8
PUTUSAN Desember 2003 :
AKHIR - Para Tergugat dinyatakan telah lalai;
- Sifat kondemnatoir dari suatu putusan tentang gugatan
warga negara (citizen lawsuit) adalah negara dihukum
untuk mengeluarkan suatu kebijakan untuk melakukan
suatu perbuatan agar kelalaian tersebut tidak terjadi lagi
di kemudian hari.
- Majelis hakim tidak berwenang menghukum Para Tergugat
untuk segera membentuk Undang-Undang, meratifikasi
konvensi Internasional PBB Tahun 1990.
Putusan Nomor : 228/PDT.G/2006/PN.JKT.PST,
tertanggal 21 Mei 2007 :
- Para Tergugat dinyatakan telah lalai;
- Sifat kondemnatoir dari suatu putusan tentang gugatan
warga negara (citizen lawsuit) adalah negara dihukum
untuk mengeluarkan suatu kebijakan untuk melakukan
suatu perbuatan agar kelalaian tersebut tidak terjadi lagi
di kemudian hari.
Putusan Nomor 278/PDT.G/2010 /PN.JKT.PST, tanggal 13
Juli 2011 :
- Para Tergugat dinyatakan telah lalai;
- Sifat kondemnatoir dari suatu putusan tentang gugatan
warga negara (citizen lawsuit) adalah negara dihukum
untuk mengeluarkan suatu kebijakan umum yang bersifat
mengatur (regeling) dan bukan menuntut untuk melakukan
suatu perbuatan lain, agar kelalaian tersebut tidak terjadi
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
kelompok yang diwakilinya yakni para orang tua, remaja dan generasi
muda di seluruh Indonesia. Penggugat dalam prosedur pengajuan
gugatannya terlebih dahulu tidak mengajukan permohonan secara
terpisah untuk berperkara melalui prosedur class action. Terhadap
pengajuan gugatan tersebut pengadilan juga tidak memberikan
penetapan terlebih dahulu tentang diperbolehkan tidaknya berperkara
secara class action, melainkan langsung memeriksa dan memutus
bersama-sama dengan pokok perkaranya. Setelah mengadakan
pemeriksaan, hakim juga tidak memerintahkan penggugat untuk
memberitahukan perihal adanya gugatan tersebut kepada orang-orang
yang diwakilinya gugatan diajukan ke pengadilan, orang-orang yang
diwakili penggugat juga tidak ada yang membuat surat pernyataan
keberatan atau menyetujui terhadap kapasitas penggugat yang
mewakilinya beserta gugatan yang diajukan
409
E. Sundari, op. cit., hal 114, lihat juga Putusan nomor 533/Pdt/G/1987/PN Jkt.Pst, op. cit., hal.
56-60.
Universitas Indonesia
410
Putusan nomor : 533/Pdt/G/1987/PN Jkt.Pst, op. cit., hal. 60-61, lihat juga E. Sundari, op. cit.,
hal 114.
411
Pengadilan Tinggi Jakarta, Putusan Nomor : 158/ Pdt/1989/PT. DKI, op. cit., hal. 3-4, lihat juga
E. Sundari, op. cit., hal 114-115.
412
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Nomor : 251/Pdt/G.IX/1988/PN Jkt.Pst, tanggal 2
Agustus 1988, yang termuat dalam
http://www.hukumonline.com/pusatdata/download/fl41786/parent/23496, lihat juga E. Sundari,
op. cit., hal 115.
413
Ibid., hal. 115-116, lihat juga Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Nomor :
251/Pdt/G.IX/1988/PN Jkt.Pst, yang termuat dalam
http://www.hukumonline.com/pusatdata/download/fl41786/parent/23496, op. cit., hal. 157-171
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
414
Ibid., hal. 116, lihat juga Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Nomor :
251/Pdt/G.IX/1988/PN Jkt.Pst, yang termuat dalam
http://www.hukumonline.com/pusatdata/download/fl41786/parent/23496, op. cit., hal. 157-182.
Universitas Indonesia
415
Ibid., hal. 182.
416
Ibid., hal. 116.
417
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Sela Nomor : 145/Pdt.G/2009/PN.JKT.PST. tanggal
03 Juni 2009.
418
Ibid., hal. 4-19.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
419
Ibid., hal. 20-30..
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
bahwa waktu 7 (tujuh) hari kerja yang diberikan oleh Para Penggugat
merupakan waktu yang tidak wajar, karena para tergugat tidak mungkin
dapat merespon atau melakukan Pemilu susulan dalam waktu 7 (tujuh)
hari kerja, sehingga syarat waktu pemberitahuan ini tidak terpenuhi.
420
Mahkamah Agung, putusan kasasi nomor 2801 K/Pdt/2009, tanggal 8 Juni 2010, hal. 1-23.
421
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Sela Nomor : 476/PDT.G/2009 /PN.JKT.PST,
tanggal 12 Mei 2010, dan Putusan Akhir Nomor : 476/PDT.G/2009 /PN.JKT.PST, tanggal 19
Agustus 2010.
422
Putusan Sela Nomor : 476/PDT.G/2009 /PN.JKT.PST, op. cit., hal. 4-19 dan Putusan Akhir
Nomor : 476/PDT.G/2009 /PN.JKT.PST, op. cit., hal. 2-80.
Universitas Indonesia
induk tegangan ekstra tinggi Cawang (Gardu Cawang) milik PLN karena
terjadi kerusakan pada salah satu trafo pada Gardu Cawang tersebut.
Universitas Indonesia
423
Lihat Putusan Sela Nomor : 476/PDT.G/2009 /PN.JKT.PST, op. cit., hal. 66-71, dan Putusan
Akhir Nomor : 476/PDT.G/2009 /PN.JKT.PST, op. cit., hal. 80-91.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
424
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Sela Nomor : 111/PDT.G/2010 /PN.JKT.PST,
tanggal 13 Oktober 2011
425
Lihat Putusan Sela Nomor : 111/PDT.G/2010 /PN.JKT.PST, op. cit., hal. 2-37.
Universitas Indonesia
yang memiliki penggemar yang terbesar, sebagai wujud dari peran serta
masyarakat atas terselenggaranya pembinaan dan pengembangan
olahraga di Indonesia.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
426
Ibid., hal. 38-48.
Universitas Indonesia
satu sama lain antara subyek (pihak berperkara) dengan obyek sengketa
dan dalil hak atau peristiwa hukum yang dikemukakan dalam surat
gugatan a quo.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
adalah tepat dan beralasan hukum, sehingga sudah selayaknya dan adil
menyatakan Eksepsi tersebut harus diterima dan menyatakan gugatan
tidak dapat diterima.
427
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Nomor 500/PDT.G/2010/PN.JKT.PST, tanggal 13
Oktober 2011.
428
Ibid., hal. 2-64.
Universitas Indonesia
Dalam gugatan ini hak mengajukan gugat bagi warga negara atas
nama kepentingan umum adalah tanpa syarat, sehinggga orang yang
mengambil inisiatif gugat, tidak harus orang yang mengalami dampak
secara kerugian langsung dan juga tidak memerlukan surat kuasa khusus
dari anggota masyarakat yang diwakilinya.
Universitas Indonesia
429
Ibid., hal. 78-80.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
430
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Sela Nomor : 53/PDT.G/2012/PN.JKT.PST, tanggal
25 Juli 2012.
431
Ibid., hal. 3-29.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
432
Ibid., hal. 45.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tabel 4.2
Perkembangan putusan pengadilan selain ketiga putusan pengadilan
yang mengabulkan gugatan warga negara (citizen lawsuit)
No. NOMOR PUTUSAN URAIAN PUTUSAN
433
Sumber dari 7 (tujuh) putusan Pengadilan Negeri yang memeriksa dan mengadili gugatan
warga negara (citizen lawsuit) dan diolah oleh peneliti.
Universitas Indonesia
PENGADILAN
1 533/Pdt/G/1987/PN Jkt.Pst, Pada dasarnya yang berhak menggugat
tanggal 1 Juni 1988 adalah orang yang mempunyai kepentingan
sesuai asas point d’interet point d’action.
Walaupun Majelis Hakim mengetahui
tentang konsep gugatan warga negara (Actio
Popularis), akan tetapi karena belum diatur
dalam perundang-undangan di Indonesia,
sehingga gugatan tidak dapat diterima.
2 251/Pdt/G/1988/PN Jkt.Pst, Majelis Hakim mengetahui tentang konsep
tanggal 2 Agustus 1988 gugatan warga negara (Actio Popularis),
akan tetapi karena belum diatur dalam
perundang-undangan di Indonesia, maka
gugatan tidak bisa mengatasnamakan
kepentingan umum / masyarakat (actio
popularis), akan tetapi Hakim menafsirkan
gugatannya harus diartikan dan dianggap
sebagai diajukan sepanjang petitum yang
menyangkut atas nama dirinya sendiri
saja.
3 145/Pdt.G/2009/PN.Jkt.Pst, Gugatan warga negara (citizen lawsuit) juga
tanggal 03 Juni 2009 diakui dan diterima dalam praktik peradilan,
hakim mendasarkan kepada Gugatan warga
negara (citizen lawsuit) yang diatur dalam
perundang-undangan di Amerika Serikat
dan putusan-putusan pengadilan
sebelumnya, akan tetapi hakim menerapkan
hal tersebut secara utuh, baik standing dan
notifikasi (pemberitahuan). Gugatan
Penggugat telah memenuhi syarat
standing yaitu setiap orang utnuk
kepentingan publik, akan tetapi tidak
terpenuhinya syarat formil, yaitu tidak
memenuhi syarat jangka waktu
notifikasi. Putusan Pengadilan “Gugatan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
434
Wawancara, dengan Andi Samsan Nganro, tanggal 2 Oktober 2012.
435
Wawancara, dengan Pri Pambudi Teguh, tanggal 14 Desember 2012.
Universitas Indonesia
436
Wawancara dengan Noor M. Aziz, tanggal 1 Nopember 2012.
437
Wawancara dengan Virza Roy Hizzal, tanggal 18 Desember 2012.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
haruslah disertai dengan pertimbangan hukum yang jelas, dan bukan dengan
alasan bahwa hal tersebut belum diatur dalam peraturan perundang-
undangan, maka syarat notifikasi tersebut ditafsirkan sebagai syarat yang
tidak mutlak diterapkan dalam praktik di Indonesia, seharusnya hakim
mempertimbangkannya sebagaimana hakim Amerika Serikat yaitu dengan
interpretasi pragmatis, ketujuh walaupun terdapat perbedaan pemahaman di
antara para hakim terhadap prosedur atau mekanisme gugatan warga negara
(citizen lawsuit), akan tetapi putusan-putusan tersebut menunjukkan bahwa
gugatan warga negara (citizen lawsuit) sudah bisa diterima oleh Pengadilan
Negeri sebagai prosedur baru dalam pengajuan gugatan perdata untuk
menegakkan kepentingan umum (public interest litigation).
438
Wawancara dengan Andi Samsan Nganro, lo. cit.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
441
Wawancara dengan Marsudin Nainggolan, tanggal 12 Desember 2012.
442
Wawancara dengan Ennid Hasanuddin, tanggal 9 Nopember 2012.
443
Wawancara dengan Gede Pasek Suardika, tanggal 24 Oktober 2012.
444
Wawancara dengan Noor M. Aziz, lo. cit.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
447
Wawancara dengan Virza Roy Hizzal, loc. cit.
Universitas Indonesia
hukum yang bisa diambil dari penemuan hukum tersebut dalam lingkup
hukum acara perdata adalah sebagai berikut :
1. mengenai standing, di mana setiap orang (any person), setiap warga
negara (any citizen) tanpa memerlukan surat kuasa dari warga negara
lain dan tanpa harus membukti kerugian riil atau tangible (nyata), berhak
untuk mengajukan gugatan warga negara (citizen lawsuit) demi
kepentingan publik (pro bono publico).
2. gugatan warga negara (citizen lawsuit) ditujukan hanya kepada
penyelenggara negara atas dasar adanya perbuatan melawan hukum
(baik aktif maupun pasif) sebagaimana diatur dalam pasal 1365
KUHPerdata.
3. syarat formal suatu gugatan yaitu adanya standing, dan uraian
kepentingan umum yang jelas.
4. berkaitan dengan syarat notifikasi (pemberitahuan kepada tergugat)
masih terdapat perbedaan penafsiran dalam putusan pengadilan, ada
hakim yang mewajibkan ada juga hakim yang tidak mewajibkan hal
tersebut.
5. tuntutan (petitum) dalam gugatan tidak boleh membatalkan suatu
keputusan tata usaha negara, membatalkan suatu perundang-undangan
dan juga membatalkan peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang.
6. pengadilan cenderung tidak mengabulkan tuntutan ganti rugi yang
diajukan oleh penggugat.
7. pengadilan pada dasarnya hanya menjatuhkan putusan yang amarnya
yaitu negara dihukum untuk mengeluarkan suatu kebijakan untuk
melakukan suatu perbuatan dan juga kebijakan umum yang bersifat
mengatur (regeling) agar kelalaian tersebut tidak terjadi lagi di
kemudian hari.
Universitas Indonesia
Hal ini juga sebagaimana apa yang diutarakan Andriani Nurdin yang
berpendapat yaitu “terhadap putusan-putusan tersebut mencerminkan bahwa
Hakim benar-benar telah menggunakan kewenangan yang diberikan
Undang-Undang (UU) untuk menciptakan hukum dan menemukan hukum.
Bahwa hakim telah melakukan tugasnya untuk menggali dan mengikuti
perkembangan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Hakim yang progresif
dituntut untuk tidak bersikap sebagai corong/terompet UU. Hakim semacam
inilah yang dapat diharapkan akan dapat mewujudkan visi Mahkamah
Agung untuk mewujudkan peradilan yang agung”.449
448
Wawancara dengan Andi Samsan Nganro, loc. cit.
449
Wawancara dengan Andriani Nurdin, loc. cit.
450
Wawancara dengan Ennid Hasanuddin, loc. cit.
451
Wawancara dengan J. Djohansjah, loc. cit.
Universitas Indonesia
Hal ini juga disetujui oleh Virza Roy Hizzal yang berpendapat :
452
Wawancara dengan VMF Dwi Rudatiyani, loc. cit.
453
Wawancara dengan Virza Roy Hizzal, loc. cit.
Universitas Indonesia
454
Oliver Wendell Holmes, The Path of the Law, 10 Harvard Law Review 457 (1897),
http://www.constitution.org/lrev/owh/path_law.htm.
Universitas Indonesia
455
Mochtar Kusumaatmadja, op. cit, hal. 12.
456
Ibid., hal. 12-13.
457
Ibid., hal. 13.
458
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Aidharta, op. cit., hal. 97.
Universitas Indonesia
cukup penting tidak saja di dalam menemukan hukum tetapi juga di dalam
mengembangkan hukum”.459
459
Ibid., hal. 98.
460
Ibid., hal. 99.
461
Ibid.
Universitas Indonesia
462
Bagir Manan, Hakim Sebagai Pembaharu Hukum, op. cit., hal. 6.
463
Ibid., hal. 14.
Universitas Indonesia
464
Ibid., hal. 14-15.
Universitas Indonesia
4. Suatu kaidah hukum mencakup peristiwa hukum yang tidak secara nyata
diatur dalam kaidah hukum tersebut; atau
5. Suatu kaidah hukum tidak mencakup suatu peristiwa hukum; atau
6. Suatu kaidah hukum dikendorkan terhadap peristiwa hukum tertentu”.466
465
Ibid., hal. 15.
466
Ibid., hal. 15-16.
467
Ibid., hal. 16.
Universitas Indonesia
468
Doktrin point d’interet point d’action ini sudah menjadi yurisprudensi tetap dan sering dirujuk
dan diikuti dalam berbagai putusan pengadilan di Indonesia. Seseorang dikatakan memiliki
kepentingan yang memadai atau locus standi, jika mempunyai kaitan dengan pokok masalah
perkara yang diajukan, lihat Susanti Adi Nugroho, op. cit., hal. 363.
Universitas Indonesia
Hal ini juga sebagaimana apa yang diutarakan oleh Andriani Nurdin
yang berpendapat, yaitu sebagai berikut :
Universitas Indonesia
469
Wawancara dengan Andriani Nurdin, loc. cit.
470
Wawancara dengan Virza Roy Hizzal, loc. cit.
471
Indro Sugianto, op.cit., hal. 37, Timothy Belevetz juga menyatakan bahwa “A citizen suit
defendant may challenge the plaintiffs standing to prosecute the action”, lihat Timothy Belevetz,
op. cit., hal. 110.
Universitas Indonesia
Tabel 4.3
Pembaruan Hukum Acara Perdata Berkaitan dengan Standing
HIR / Rancangan Undang- Rancangan Undang-
RBG Undang (RUU) tentang Undang tentang Hukum
Hukum Acara Perdata Acara Perdata
(Draft November 2005) (Draft Maret 2008)
Standing hanyalah dimiliki Standing yang telah Standing yang telah
oleh orang perorangan dan diatur dalam RUU adalah diatur dalam RUU adalah
badan hukum. orang perorangan dan orang perorangan,
gugatan perwakilan. gugatan perwakilan, dan
legal standing.
Pasal 118 HIR dan pasal 142 Pasal 1 angka 1 “Orang Pasal 1 angka 1 “Orang
Rbg bahwa barang siapa yang adalah orang adalah orang
merasa hak pribadinya perseorangan atau badan perseorangan atau badan
dilanggar oleh orang lain hukum, baik menurut hukum, baik menurut
sehingga mendatangkan hukum perdata maupun hukum perdata maupun
kerugian, maka ia dapat menurut hukum publik”. menurut hukum publik”.
meminta Pengadilan untuk
menyelesaikan masalah itu
sesuai dengan hukum yang
berlaku.
472
Lihat juga Tim Peneliti Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, RUU tentang Hukum
Acara Perdata Ringkasan Eksekutif Penelitian, (Jakarta : Komisi Hukum Nasional Republik
Indonesia, 2012), hal. 6.
473
Sumber dari HIR dan RBg, serta Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Perdata
(Draft November 2005 dan Draft Maret 2008), yang diolah oleh peneliti.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
474
Undang-Undang tentang Hukum Acara Perdata, masuk dalam program legislasi nasional tahun
2010-2014, nomor 217, lihat. http://www.djpp.depkumham.go.id/prolegnas-2010-2014.html,
diakses pada tanggal 18 Desember 2012.
475
Setiawan, op. cit., hal. 138-139, dalam pasal 162.2. The Civil Code of Netherlands,
menguraikan yaitu “Except where there are grounds for justification, the following are deemed
tortious : the violation of the right and an act or omission breaching a duty imposed imposed by
law or a rule unwritten law pertaining to proper social conduct”, lihat, Hans Warendorf, et. al.,
trans.,The Civil Code of Netherlands, (Netherlands : Kluwer Law International, 2009), hal. 677.
476
Tim Peneliti Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, loc. cit.
Universitas Indonesia
477
Ibid., hal. 7.
478
Ibid.
479
Ibid., hal. 71.
480
Wawancara, dengan Andi Samsan Nganro, loc. cit.
Universitas Indonesia
481
Wawancara, dengan Pri Pambudi Teguh, loc. cit.
482
Wawancara dengan Marsudin Nainggolan, loc. cit.
Universitas Indonesia
Hal ini juga disetujui oleh Noor M. Aziz, yang menyatakan “bahwa
putusan pengadilan berkaitan dengan mekanisme gugatan warga negara
(citizen lawsuit) tersebut dapat memengaruhi pembentukan Undang-Undang
(UU) khususnya UU tentang Hukum Acara Perdata, apalagi jika putusan
tersebut berupa yurisprudensi. Di Indonesia perlu didorong agar para hakim
berani membuat putusan yang menjadi yurisprudensi. Jika Undang-Undang
belum bisa direalisasikan saat ini, maka Mahkamah Agung dengan
kewenangan yang dimilikinya dapat membentuk Peraturan Mahkamah
Agung yang mengatur mengenai citizen lawsuit”.484
483
Wawancara dengan Andriani Nurdin, loc. cit.
484
Wawancara dengan Noor M. Aziz, loc. cit.
Universitas Indonesia
485
Wawancara dengan Virza Roy Hizzal, loc. cit.
Universitas Indonesia
486
Wawancara dengan VMF. Dwi Rudatiyani, loc. cit.
487
Wawancara dengan Gede Pasek Suardika, loc. cit.
488
Wawancara dengan J. Djohansjah, loc. cit.
Universitas Indonesia
in The Third World sebagaimana dikutip Teuku May Rudy yang diuraikan
pada bab sebelumnya, yang berpendapat bahwa: “Pengaruh adalah hasil
yang timbul sebagai kelanjutan dari situasi dan kondisi tertentu sebagai
sumbernya, dalam hal ini syaratnya adalah bahwa terdapat keterkaitan
(relevansi) yang kuat dan jelas antara sumber dengan hasil”.489
489
Teuku May Rudy, op. cit., hal 26.
Universitas Indonesia
490
Mochtar Kusumaatmadja, op. cit., hal. 12-13.
491
Ibid., hal. 13.
Universitas Indonesia
276
Universitas Indonesia
Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.
277
Universitas Indonesia
dalam putusan hakim tersebut dapat semakin lebih baik. Perlu diadakan
pelatihan dan kursus bagi kalangan hakim guna menyamakan persepsi
atau pola pikir dan pemahaman tentang konsep penemuan hukum,
ataupun metode penemuan hukum yang jelas. Pelatihan tersebut
diharapkan dapat membuka pola pikir dan pemahaman hakim tentang
konsep penemuan hukum dan metodenya yang jelas sehingga di waktu
yang akan datang hakim dapat melakukan penemuan hukum yang lebih
baik berkaitan prosedur / mekanisme gugatan warga negara (citizen
lawsuit) dengan menggunakan metode penemuan hukum yang tepat.
2. Pembentuk undang-undang hukum acara perdata di masa yang akan
datang (dalam hal ini pihak legislatif) perlu mengakomodir pengaturan
mengenai gugatan warga negara (citizen lawsuit). Putusan-putusan
pengadilan yang merupakan hukum in concreto sudah saatnya mendapat
tempat utama sebagai sumber hukum pembaruan undang-undang
hukum acara perdata. Diharapkan undang-undang hukum acara perdata
di masa yang akan datang khususnya mengenai gugatan warga negara
(citizen lawsuit) dapat sejalan dengan kaidah hukum putusan pengadilan
sebagaimana diuraikan di atas. Dengan adanya sinkronisasi dan saling
mengisi antara penemuan hukum oleh hakim dengan pembentukan
undang-undang oleh badan legislatif berkaitan dengan gugatan warga
negara (citizen lawsuit) tersebut, maka diharapkan pertama dapat
meminimalkan adanya ketentuan undang-undang yang tidak dapat
dilaksanakan oleh penegak hukum, kedua berlaku prinsip preferensi
yang wajib dipatuhi hakim, yaitu ketentuan bahwa undang-undang
"prevail" (berlaku) terhadap hukum tidak tertulis, termasuk putusan
hakim yang telah diatur dalam undang-undang, ketiga tidak akan lagi
terjadi atau setidak-tidaknya meminimalkan perbedaan penafsiran
sesama hakim berkaitan dengan gugatan warga negara (citizen lawsuit),
keempat tidak akan terjadi putusan pengadilan yang tidak dapat
dilaksanakan (dieksekusi), kelima dapat menjadi pedoman bagi pencari
keadilan dalam mengajukan gugatan dengan prosedur atau mekanisme
gugatan warga negara (citizen lawsuit)
Universitas Indonesia
A. BUKU
Adji, Oemar Seno, Peradilan Bebas Negara Hukum, (Jakarta : Erlangga, Cetakan
kedua, 1985).
Ali, Ahmad, Nurhadi, Ed., Menguak Tabir Hukum, Edisi Kedua, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 2008).
Arinanto, Satya, Ninuk Triyanti, (Ed.), Memahami Hukum dari Konstruksi sampai
Implementasi (Jakarta : Rajawali Pers, Cetakan kedua, 2011).
Black, Henry Campbell, Bryan A Garner et. al, Ed., Black’s Law Dictionary
eighth edition, (St. Paul, Minnesota : Thomson West, 2004).
279
Universitas Indonesia
Pengaruh putusan..., Ben Ronald P. Situmorang, FH UI, 2013.
280
Finch, John, Introduction to Legal Theory ( London : Sweet & Maxwell, second
edition, 1974).
Isrok, Rizki Emil Birham, Citizen Lawsuit “Penegakan Hukum Alternatif bagi
Warga Negara”, (Malang : Universitas Brawijaya Press, 2010).
Universitas Indonesia
Nugroho, Susanti Adi, Class Action dan Perbandingannya dengan Negara Lain,
(Jakarta : Kencana, 2010).
Universitas Indonesia
Rasjidi, Lili dan Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung
: PT. Fikahati Aneska, 2012).
Universitas Indonesia
Sidharta, Bernard Arief, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian
tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai
Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia (Bandung :
Mandar Maju, 2000).
Singarimbun, Masri dkk, ed., Metode Penelitian Survei, (Jakarta : LP3ES, 1989).
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : PT.
RajaGrafindo Persada, 2001).
Sundari, E., Pengajuan Gugatan Secara Class Action, (Suatu Studi Perbandingan
& Penerapannya di Indonesia), (Yogyakarta : Universitas Atmajaya, 2002).
Supomo, R., Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta : Fasco, 1985).
Vago, Steven, Law and Society (New Jersey : Pearson Education, Inc. ninth
edition, 2009).
Universitas Indonesia
Yuntho, Emerson, Class Action Sebuah Pengantar, (Jakarta : Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat, 2005).
Dernbach, John C., Citizen Suits and Sustainability, (Widener Law Review, Vol.
10:503, 2004).
Julesz, Mate, The Individual and the Environment: the New Hungarian Civil
Code, (The Open Law Journal, Volume 3, 2010).
Universitas Indonesia
Santosa, Mas Ahmad, Gugatan AJI : Perluasan Hak Gugat Organisasi (Legal
Standing), dalam (Dictum Jurnal Kajian Putusan Pengadilan Edisi 2,
2004).
Sugianto, Indro, Kasus Nunukan : Hak Gugat Warga negara (Citizen Lawsuit)
Terhadap Negara, dalam (Dictum Jurnal Kajian Putusan Pengadilan Edisi
2, 2004).
Tolsma, Hanna, Kars de Graaf dan Jan Jans, The Rise and Fall of Access to
Justice in The Netherlands, (Oxford University Press : Journal of
Environmental Law 21:2, 2009).
C. WAWANCARA
Universitas Indonesia
Rajagukguk, Erman, Filsafat Hukum (Materi Kuliah Pada Program Pasca Sarjana
Ilmu hukum Universitas Indonesia), 2011.
Universitas Indonesia
Tim Peneliti Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, RUU tentang Hukum
Acara Perdata Ringkasan Eksekutif Penelitian, (Jakarta : Komisi Hukum
Nasional Republik Indonesia, 2012).
E. KASUS PENGADILAN
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pengadilan Tinggi Jakarta, Putusan Nomor : 158/ Pdt/1989/PT. DKI, antara R.O.
Tambunan melawan P.T. Rokok Bentoel, Pemerintah RI cq. Gubernur
Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta dkk, tanggal 26 April 1989.
F. INTERNET
Universitas Indonesia
Herlinda, Erna, Tinjauan Tentang Gugatan Class Actions Dan Legal Standing Di
Peradilan Tata Usaha Negara,
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1531/1/fh-erna5.pdf,
diakses pada tanggal 6 Oktober 2012.
Holmes, Oliver Wendell, The Path of the Law, 10 Harvard Law Review 457
(1897), http://www.constitution.org/lrev/owh/path_law.htm, diakses pada
tanggal 12 Desember 2011.
Universitas Indonesia
http://www.austlii.edu.au/au/legis/nsw/consol_act/epaaa1979389/s123.html,
diakses pada tanggal 10 Desember 2012.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol19251/melalui-citizen-lawsuit-
masyarakat-bisa-gugat-pemerintah, diakses pada tanggal 4 Juli 2012.
http://www.elsam.or.id/downloads/1262942628_Legal_standing-Sulistiono.pdf,
diakses pada tanggal 5 Oktober 2012.
Kms, Menggugat Kenaikan Tarif Tol Lewat Class Action atau Citizen Lawsuit,
12 September 2007,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17567/menggugat-kenaikan-
tarif-tol-lewat-iclass-actioni-atau-icitizen-lawsuiti, diakses pada tanggal 5
oktober 2012.
Maladi, Yanis , Dokirin Strict Liability, Class Action, Dan Legal Standing
Sebagai Landasan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Di Indonesia,
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/92065866_1410-8771.pdf, diakses
pada tanggal 24 September 2012.
Manan, Abdul, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Praktik Hukum Acara di
Peradilan Agama,
Universitas Indonesia
http://rakernas.mahkamahagung.go.id/index.php/rakernas-2010/peradilan-
agama?download=9%3Apenemuan-hukum-oleh-hakim-h-abdul-manan,
diakses pada tanggal 12 Oktober 2012.
Riesel, Daniel, Steven C. Russo and Elizabeth A. Read, Defending Citizen Suits,
http://www.sprlaw.com/pdf/spr_defending_citizen_suits.pdf, diakses pada
tanggal 1 Oktober 2012.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia