Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TINGGI DENPASAR NOMOR

197/PDT/2019/PT.DPS DAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR

321.K/PDT/2017

Diajukan untuk Memenuhi Komponen Nilai Ujian Tengah Semester


Mata Kuliah Hukum Kontrak Internasional

Oleh:
Zeira Nabilla
110620190002

Dosen:
Prof. Huala Adolf, S.H.,LL.M.,Ph.D.
Prita Amalia, S.H.,M.H.

MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2020
A. KASUS I (PUTUSAN NOMOR 808 K/PDT.SUS/2011)

1. Fakta Hukum

 Penggugat:

PT. DIRECT VISION (diwakili oleh PAUL MONTOLALU selaku Direktur)

Melawan

 Tergugat:

1. ASTRO NUSANTARA INTERNATIONAL B.V, berkedudukan di Amsterdam, Belanda;

2. ASTRO NUSANTARA HOLDING B.V, berkedudukan di Amsterdam, Belanda;

3. ASTRO MULTIMEDIA CORPORATION N.V, berkedudukan di Belanda;

4. ASTRO MULTIMEDIA N.V, berkedudukan di Belanda;

5. ASTRO OVERSEAS LIMITED, Berkedudukan di Bermuda;

6. ASTRO ALL ASIA NETWORKS Pls, berkedudukan di Malaysia;

7. MEASAT BROADCAST NETWORK SYSTEAMS SDN BHD, berkedudukan di Malaysia;

8. ALL ASIA MULTIMEDIA NETWORKS FZ – LLC, berkedudukan di United Arab

Emirates.

2. Permasalahan Hukum

Dasar dari permohonan Kasasi ini adalah Putusan Arbitrase Internasional

SIAC Tahun 2010 yang telah didaftarkan di PN Jakarta Pusat, dalam hal ini

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diberikan kewenangan oleh Pasal 66 Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa untuk melakukan eksekusi tetapi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

1
menolak untuk melaksanakan eksekusi tersebut sehingga pemohon kasasi yang

merupakan penggugat mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung

berdasarkan pasal 68 ayat (2) UU Arbitrase yang berbunyi “Terhadap putusan

Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66

huruf d yang menolak untuk mengakui dan melaksanakan suatu Putusan Arbitrase

Internasional, dapat diajukan kasasi.”

Permohonan eksekusi tersebut ditolak oleh PN Jakarta Pusat karena

dianggap bahwa substansi Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan Peraturan SIAC

No. 062 of 2008 (ARB062/08/JL) tersebut melebihi kewenangan yang sudah ditetapkan

yaitu telah menginterfensi pelaksanaan proses peradilan di Indonesia yang telah berjalan

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (sesuai tertib hukum), maka

Putusan Arbitrase Internasional tersebut tidak dapat dijalankan (Non Eksekutorial).

Putusan tersebut dianggap menginterfensi peradilan di Indonesia karena sebelum

penggugat mendaftarkan perkara tersebut kepada lembaga arbitrase, penggugat juga

telah terlebih dahulu mendaftarkan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) pada

tanggal 2 September 2008 di PN Jakarta Selatan dengan register perkara nomor

1100/Pdt.G/2008/PN.JKT.SEL dan sampai permohonan kasasi ini diajukan, perkara di PN

Jakarta Selatan tersebut belum diputus oleh majelis hakim.

Pendaftaran Sengketa Arbitrase SIAC dan seluruh putusan yang dihasilkan dari

proses pemeriksaan Sengketa Arbitrase SIAC tersebut (Putusan Arbitrase Internasional

SIAC Tahun 2009 dan Putusan Arbitrase Internasional SIAC Tahun 2010), dianggap

bertujuan untuk mengintervensi, merusak dan menghancurkan dengan mendahului

2
proses pemeriksaan dan putusan atas perkara di pengadilan Indonesia, maka eksekusinya

ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

3. Argumen Para Pihak

Keberatan pembanding terhadap putusan PN Jakarta Pusat didasarkan

pada fakta-fakta bahwa majelis hakim pada PN Jakarta Pusat telah salah

menafsirkan hukum. Faktanya adalah, PT. Direct Vision memang mendaftarkan

sengketa arbitrase terhadap para terbanding pada tanggal 6 Oktober 2008,

sedangkan yang mendaftarkan gugatan PMH ke PN Jakarta Selatan pada 2

September 2008 adalah PT. Ayunda Prima Mitra (salah satu pemegang saham

pada PT. Direct Vision) sehingga terjadi silang sengketa di antara perusahaan-

perusahaan tersebut.

Terbanding berargumen bahwa Putusan SIAC Tahun 2009 telah melanggar tertib

hukum di Indonesia, yaitu berupa ”intervensi terhadap pelaksanaan proses peradilan di

Indonesia”, hal ini sejalan dengan pertimbangan Putusan PN Jakarta Pusat yang

menyatakan ”Menimbang, bahwa substansi Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan

Peraturan SIAC No. 062 of 2008 (ARB062/08/JL), tersebut diatas adalah melebihi

kewenangan yang sudah ditetapkan yaitu telah mengintervensi pelaksanaan proses

peradilan di Indonesia yang telah berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku (sesuai tertib hukum), maka Putusan Arbitrase Internasional dimaksud tidak

dapat dijalankan (Non Eksekutorial);” Pertimbangan tersebut diatas lebih lanjut lagi

dikuatkan dalam Putusan MARI No. 01/2010, di mana Majelis Hakimnya dipimpin

3
langsung oleh Yang Mulia Dr. Harifin A. Tumpa (Ketua Mahkamah Agung RI), yang telah

memutuskan (kutipan dengan tambahan penekanan dalam pembahasan): “Bahwa

penolakan pemberian eksekuatur oleh Judex Facti adalah sudah benar dan tepat karena:

Perintah dalam putusan arbitrase tersebut untuk menghentikan proses peradilan di

Indonesia, adalah melanggar asas Souvereignity dari Negara Republik Indonesia tidak ada

sesuatu kekuatan asing pun yang dapat mencampuri proses hukum yang sedang berjalan

di Indonesia. Hal ini jelas melanggar ketertiban umum (public order) di Indonesia.”

4. Putusan Hakim

Dalam putusan Mahkamah Agung ini, majelis hakim memutuskan menolak

permohonan banding dari Pemohon Banding PT. Direct Vision tersebut. Menurut

pertimbangan hakim, Pemohon Kasasi/Penggugat dan Para Termohon Kasasi/Para

Tergugat telah mengadakan perjanjian kerjasama usaha (joint venture agreement) dan

dalam perjanjian itu para pihak juga telah mengadakan perjanjian penyelesaian

perselisihan yang memilih Arbitrase Internasional Singapura (SIAC) sebagai forum

penyelesaian petrselisihan. Ternyata telah timbul perselisihan atau sengketa. Tetapi

Pemohon Kasasi/Penggugat justru membawa sengketa ke Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan dengan menggugat Para Termohon Kasasi/telah melakukan perbuatan melawan

hukum. Pengajuan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan oleh Pemohon

Kasasi/Penggugat karena timbulnya perselisihan terkait pelaksanaan Perjanjian kerjasama

usaha jelas telah bertentangan dengan perjanjian arbitrase. Sebab perjanjian arbitrase

adalah pilihan para pihak dalam perkara a quo dan menempuh pengadilan daripada

arbitrase yang telah disepakati berarti pula pelanggaran perjanjian. Baik hukum Indonesia

(Pasal 1338 KUH Perdata) menegaskan tiap perjanjian berlaku bagai undang-undang bagi

4
pembuatnya maupun hukum internasional mengenal pula adagium “pacta sunt servanda”

yang maknanya perjanjian haruslah ditaati. Pada saat bersamaan Pemohon

Kasasi/Penggugat telah digugat oleh Para Termohon Kasasi/Para Tergugat dalam forum

SIAC. SIAC telah menerbitkan putusan atas perselisihan para pihak dan Pemohon

Kasasi/Penggugat a quo dinyatakan sebagai pihak yang dihukum, sehingga dengan

demikian Pemohon Kasasi/Penggugat telah memiliki kesempatan yang cukup untuk

membela kepentingan hukumnya

5. Analisis

Ketentuan hukum yang mengatur tentang penolakan eksekusi Putusan Arbitrase

Internasional diatur dalam UUA dan APS, serta dalam Konvensi New York 1958. Masing-

masing mengatur tentang penolakan dan pembatalan Putusan Arbitrase Internasional,

tetapi teknisnya berbeda. Norma di dalam UUA dan APS mengatur penolakan ditujukan di

pengadilan di negara yang termohon tereksekusi yaitu di Indonesia. Konvensi New York

1958 bukan saja mengatur masalah penolakan ditujukan di negara termohon tereksekusi,

tetapi juga mengatur tentang pembatalan Putusan Arbitrase Internasional hanya boleh

diajukan di negara di mana putusan itu dijatuhkan bukan di negara termohon tereksekusi.

Alasan-alasan majelis hakim terhadap penolakan permohonan eksekusi Putusan

Arbitrase Internasional yang diajukan oleh PT. Direct Vision dalam Putusan Mahkamah

Agung Nomor 808 K/Pdt.Sus/2011 tidak memberikan kepastian hukum bagi PT. Direct

Vision sebab dinyatakan harus menunggu adanya penetapan eksekusi dari Ketua PN

Jaksel atas perkara gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan oleh PT. Ayunda

Prima Mitra (pemegang saham PT. Direct Vision).

5
Akibat hukum penolakan majelis hakim terhadap eksekusi Putusan Arbitrase

Internasional dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 808 K/Pdt.Sus/2011

mengakibatkan putusan tersebut menjadi non eksekutorial, dan masih ada kesempatan

bagi PT. Direct Vision untuk membela kepentingan hukumnya setelah Perkara Perdata

Nomor 1100/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Sel., berkekuatan hukum tetap. Tetapi UUA dan APS

menjadi tidak efektif dan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pihak dalam

pelaksanaan (eksekusi) Putusan Arbitrase Internasional khususnya Putusan-Putusan SIAC

Tahun 2010. Sebab UUA dan APS tidak mengatur batas waktu sampai kapan pendafataran

Putusan Arbitrase Internasional berlaku.

B. KASUS II (PUTUSAN NOMOR 212 K/PDT.SUS-ARBT/2013)

1. Fakta Hukum

 Penggugat:

PT. GLOBAL MEDIACOM TBK (MCOM), berkedudukan di Indonesia, diwakili

oleh direksi:

1. M. Budi Rustanto

2. Handhianto Suryokentjono

Melawan:

 Tergugat:

KT CORPORATION, berkedudukan di Korea Selatan.

2. Permasalahan Hukum

6
Terhadap putusan Badan Arbitrase Nasional/Internasional Nomor 6722/ CYK

tanggal 18 November 2010, Pemohon Pembatalan telah mengajukan permohonan

pembatalan di depan persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang pada

pokoknya sebagai berikut: Di dalam pemeriksaan di Arbitrase Internasional ICC

International Court of Arbitration Majelis Arbiter pada tanggal 18 November 2010

telah menjatuhkan putusannya No. 16772 secara in absentia (tanpa kehadiran

Penggugat).

Adapun yang menjadi pokok persengketaan di dalam perkara No. 16772 di ICC

tersebut adalah mengenai pelaksanaan Put and Call Option Agreement (untuk

selanjutnya disebut "Perjanjian Opsi 9 Juni 2006") yang secara lebih terperinci

mengatur hal-hal sebagai berikut:

a. Penggugat wajib membeli saham PT. Mobile 8 milik Tergugat dengan harga

yang sudah ditetapkan dalam hal tergugat mengirimkan perintah membeli

girimkan perintah membeli (notice to put exercise);

b. Sebaliknya dalam hal Penggugat mengirimkan perintah menjual (notice to call

exercise), maka Tergugat harus menjual saham PT. Mobile 8 milik mereka

kepada Penggugat dengan harga yang sudah ditetapkan.

Perjanjian tersebut dicurangi oleh tergugat sehingga berakhir di arbitrase,

tetapi dalam pemeriksaan sengketa, tergugat menggunakan timu muslihat dengan

cara memanfaatkan ketidakhadiran penggugat dan menyembunyikan dokumen-

dokumen Bapepam tentang kontrak berjangka dan opsi atas efek.

3. Argumen Para Pihak

7
Pemohon pembatalan putusan arbitrase (tergugat) berargumen berdasarkan

ketentuan Article V ayat 2 New York Convention, suatu putusan Arbitrase tidak dapat

dilaksanakan apabiia bertentangan dengan ketertiban umum.

“Recognition and enforcement of an arbitral award may also be refused if the

competent authority in the country where recognition and enforcement is sough finds

that: a The subject matter of the difference is not capable of settlement by arbitration

under the law of that country; or ; b The recognition or enforcement of the award

would be contrary to the public policy of that country.";

Bahwa yang dimaksud dengan ketertiban umum sebagaimana didefinisikan dalam

Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Rl No. 1 tahun 1990 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing adalah sendi-sendi asasi dari seluruh sistem

hukum dan masyarakat di Indonesia. Dalam Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata, salah

satu syarat sahnya perjanjian adalah perjanjian tersebut mempunyai kausa/sebab

yang halal. Pasal 1337 KUHPerdata menjelaskan bahwa suatu sebab adalah terlarang

jika sebab itu dilarang oleh Undang-Undang atau bila sebab itu bertentangan dengan

kesusilaan atau dengan ketertiban umum. Hal tersebut membuktikan bahwa sistem

hukum dan masyarakat di Indonesia melarang adanya kausa/sebab yang tidak halal

dalam membuat suatu perjanjian dan karenanya melarang segala bentuk

penyelundupan hukum sebagai suatu sebab/kausa dalam suatu perjanjian.

Penggugat juga berpendapay bahwa perjanjian Opsi 9 Juni 2006 yang merupakan

obyek sengketa di dalam perkara ICC No. 16772 tersebut juga dibuat dengan

melakukan "penyelundupan hukum" demi untuk mendapatkan keuntungan dalam

jumlah besar yang tidak wajar dalam hal Tergugat melakukan notice to put exercise

8
sebagaimana dijelaskan di atas. Penyelundupan hukum tersebut dilakukan dengan

cara membuat Perjanjian Opsi yang dari awal sudah direncanakan untuk dieksploitasi

sehubungan dengan rencana diadakannya Penawaran Umum Perdana ("IPO") atas

saham Mobile 8 di bursa saham, dimana berdasarkan Shareholder Agreement tanggal

9 Juni 2006 Tergugat telah mengetahui bahwa PT. Mobile 8 akan mengadakan

Penawaran Umum Perdana (intial public offering). Adapun pada akhirnya PT. Mobile 8

Telecom melakukan penawaran umum perdananya pada tanggal 29 November 2006.

Sementara menurut termohon pembatalan putusan arbitrase (penggugat)

meenurut huruf (e) Pasal V Konvensi New York Tahun 1958 berbunyi sebagai berikut:

"1. Recognition and enforcement of the award may be refused, at the request of the

party against whom it revoked, only if the party furnishes to the competent authority

where the recognition and enforcement is sought, proof that: (e) the award has not yet

become binding on the parties, or has been set aside or suspended by competent

authority of the country in which, or under the law, that award was made";

Terjemahannya: "1. Pengakuan dan pelaksanaan putusan Arbitrase dapat ditolak, atas

permintaan dari pihak terhadap siapa itu dipanggil, hanya jika pihak menyediakan

kepada pejabat yang berwenang dimana pengakuan dan pelaksanaan dicari,

membuktikan bahwa: (e) putusan belum mengikat para pihak, atau telah

dikesampingkan atau ditangguhkan oleh pejabat yang berwenang dari Negara dimana,

atau berdasarkan hukum dimana putusan itu dibuat", sehingga menegaskan bahwa

berdasarkan hukum yang berlaku di wilayah hukum Negara Republik Indonesia, suatu

Putusan Arbitrase Internasional tidaklah dapat dimintakan pembatalannya kepada

9
lembaga peradilan di Indonesia. Oleh sebab itu Putusan Arbitrase No. 16772/CYK tidak

dapat dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Ketentuan Pasal 70 s/d Pasal 72 UU No. 30/1999 tidak dapat dipergunakan sebagai

landasan hukum untuk membatalkan keputusan Arbitrase Internasional. Hal tersebut

disebabkan oleh karena putusan Arbitrase Internasional tersebut dijatuhkan di wilayah

Negara lain sehingga berlaku hukum Arbitrase Negara yang bersangkutan (lex loci

arbitri), sehingga tidak dapat dinilai dan dibatalkan berdasarkan hukum Indonesia (UU

No. 30/1999). Lagipula berlakunya hukum Indonesia, termasuk UU No. 30/1999

terbatas di wilayah hukum Negara Republik Indonesia. Dengan perkataan lain hukum

Indonesia, termasuk UU No. 30/1999, tidak dapat diberlakukan di wilayah Negara lain,

termasuk untuk menilai dan membatalkan putusan arbitrase internasional yang

dijatuhkan di negara yang bersangkutan.

4. Putusan Hakim

Pada kasus ini majelis hakim menerima p ermohonan dari Pemohon: PT.

GLOBAL MEDIACOM TBK. (MCOM) tersebut dan menguatkan putusan Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat Nomor 188/Pdt.G/ Arb/2012/PN.Jkt.Pst tanggal 08 November

2012 karena dianggap telah tepat dan benar dengan alasan bahwa terhadap Putusan

Arbitrase Internasional Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk

memeriksa perkara a quo,

5. Analisis

10
Dalam membuat sebuah kontrak internasional, Menurut teori Lex Loci

Solutions adalah hukum tempat dimana perjanjian dilaksanakan, jadi bukan

tempat dimana kontraknya ditandatangani akan tetapi dimana kontrak itu

dilaksanakan, kemudian terdapat teori Lex Situs yaitu apabila obyek gugatan

benda tidak bergerak maka jika terjadi sengketa maka gugatan diajukan

dimana obyek tersebut berada, dalam hal ini Indonesia.

Pasal 21 ayat 1 undang undang nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan

dasar pokok-pokok agraria menyebutkan “Hanya warga-negara Indonesia

dapat mempunyai hak milik”, dengan demikian warga negara asing atau badan

usaha asing tidak mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia. namun warga

negara asing dapat memiliki tanah di Indonesia dengan Hak Guna Usaha (HGU),

Hak guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP) dan Hak sewa Untuk Bangunan.

Kesemua hak yang diberikan kepada warga negara asing oleh pemerintah

dinyatakan sudah cukup untuk memberikan peran kepada warga negara asing

untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan di Indonesia. Hak-hak ini

diberikan kepada asing untuk memajukan perekonomian di Indonesia tanpa

mencederai dari asas nasionalitas dan asas kebangsaan yang dianut dalam

UUPA. Hal ini secara garis besar telah diatur dalam Pasal 41 & Pasal 42 Undang-

Undang Pokok Agraria (UUPA) dan diatur lebih lanjut dalam PP No. 40 tahun

1996 tentang Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak

Pakai (HP) atas tanah. Akan tetapi, layaknya sebuah produk hukum bahwa

11
tidak ada yang sempurna, ada saja celah bagi warga Negara asing untuk dapat

memiliki tanah di Indonesia, salah satunya dengan perjanjian nominee.

Meskipun begitu majelis hakim menimbang walaupun para penggugat tidak

dapat mempunyai hak milik atas tanah tersebut, hal itu tidak menghalangi

rencana usaha yang akan dijalankan oleh para penggugat untuk berinvestasi di

Bali dengan adanya pembelian tanah dimaksud, sehingga tergugat tetap dapat

dihukum karena dianggap melakukan perbuatan melawan hukum.

C. KESIMPULAN

Pada kasus I dan kasus II terdapat kesamaan yaitu keduanya memiliki objek

gugatan yang sama, yaitu tanah yang berada di wilayah Republik Indonesia,

meskipun terdapat sedikit perbedaan dimana pada kasus I tergugat dihukum

karena melakukan wanprestasi, sementara pada kasus I tergugat dihukum karena

perbuatan melawan hukum.

Pada dasarnya, ketika berbicara tentang tanah sebagai objek sengketa dari

suatu kontrak internasional, Pasal 21 ayat 1 undang undang nomor 5 tahun 1960

tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria menyebutkan “Hanya warga-negara

Indonesia dapat mempunyai hak milik”, dengan demikian warga negara asing atau

badan usaha asing tidak mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia. namun

warga negara asing dapat memiliki tanah di Indonesia dengan Hak Guna Usaha

(HGU), Hak guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP) dan Hak sewa Untuk Bangunan.

12
Kesemua hak yang diberikan kepada warga negara asing oleh pemerintah

dinyatakan sudah cukup untuk memberikan peran kepada warga negara asing

untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan di Indonesia.

Perjanjian pinjam nama (nominee) yang dilakukan oleh penggugat dan

tergugat di kedua kasus yang telah dipaparkan adalah termasuk dalam perjanjian

yang tidak diatur di dalam KUHPerdata. Perjanjian ini tidak dilarang dalam

penerapannya sehari-hari karena perjanjian ini adalah jenis perjanjian yang

tumbuh dan berkembang di budaya masyarakat dimana banyak ditemui

perjanjian-perjanjian lainnya yang tidak diatur oleh KUHPerdata namun

berdasarkan kesepakatan di antara para pihak, kesepakatan para pihak inilah yang

kemudian melahirkan hubungan terikatnya para pihak terhadap isi dari perjanjian

itu sendiri sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata bahwa perjanjian berlaku

sebagai undang-undang bagi para pihak.

Sejauh ini pembuatan perjanjian Nominee memang tidak dilarang dalam

pembuatan kontrak internasional di Indonesia, tetapi jika terjadi sengketa seperti

pada Kasus I, perlu dicermati bahwa hak milik atas tanah yang menjadi objek

sengketa adalah atas nama seorang WNI meskipun ia hanya dipinjam namanya

oleh WNA dengan menggunakan perjanjian nominee, sehingga yang seharusnya

menjadi penggugat pada kasus tersebut adalah WNI.

13

Anda mungkin juga menyukai