Anda di halaman 1dari 12

Hubungan Waris Dan Wasiat

ANITA ZUMAIROH
XI MIA 1
O3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Harta adalah suatu aset kekayaan kebendaan yang di butuhkan, di
cari, dan di miliki oleh manusia. Harta juga sangat berguna bagi semua orang,
karena dengan harta kekayaan manusia dapat memenuhi segala kebutuhan
baik yang di inginkan atau yang sedang di butuhkan. Harta dapat menjadi
kebahagiaan dunia dan akhirat apabila digunakan dalam hal yang benar,
sebaliknya jika digunakan dalam hal yang salah maka akan menjadi suatu
keburukan. Cara memperoleh harta pun kian beragam. Dari cara yang halal
seperti bekerja keras hingga orang yang menggunakan “jalan pintas”. Salah
satu cara memperoleh harta itu adalah melalui jalur warisan yaitu
memperoleh sejumlah harta yang diakibatkan meninggalnya seseorang.
Tentunya cara ini pun harus sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
Khususnya hukum Islam.
Hukum waris dalam Islam adalah aturan yang mengatur mengenai
perpindahan hak kebendaan atau harta dari orang yang meninggal dunia
(pewaris) kepada ahli warisnya dengan bagian masing-masing yang tidak
sama tergantung kepada status kedekatan hubungan hukum antara pewaris
dengan ahli warisnya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Wasiat dan Waris


Menurut pandangan Islam, wasiat tidak sekadar menyangkut masalah
harta benda. Dalam makna luas, wasiat juga berkaitan dengan pesan-pesan
moral kepada umat manusia. Di dalam Alquran, Allah SWT sendiri telah
mengingatkan agar orang-orang beriman senantiasa berwasiat dalam
kebajikan dan kesabaran (QS al-Ashar [103]: 3). Dalam pengertian
khusus, wasiat juga diartikan sebagai pesan yang disampaikan orang yang
hendak meninggal dunia. Pakar konsultasi syariah Aris Munandar, dalam
tulisannya Serba Serbi Wasiat dalam Islam menuturkan, wasiat jenis ini
dibagi menjadi dua kategori Yang pertama adalah permintaan orang yang
akan meninggal kepada orang-orang yang masih hidup untuk melakukan
suatu pekerjaan. “Misalnya, membayarkan utang, memulangkan barang-
barang yang dipinjam atau merawat anak,” ujar Munandar mencontohkan.
Kedua, kata dia, wasiat bisa pula berbentuk harta benda yang ingin diberikan
kepada orang atau pihak tertentu. Wasiat semacam ini dilaksanakan setelah
si pembuat wasiat meninggal dunia.
Wasiat adalah pemberian sesuatu dari seseorang kepada orang lain
ketika dia masih hidup dengan niat sadaqah. Akan tetapi penyerahan
kepemilikannya dilakukan ketika setelah meninggal dunia.  Hal ini
sebagaimana yang telah dijelaskan dalam kitab al-Fiqhu al-Manhaji Ala
Madzhabi al-Imam asy-Syafi’iy:
"Wasiat secara istilah syar’i adalah akad tabarru’ atas hak kepemilikan
harta yang diserahkan setelah meninggal dunia." Jadi pada intinya wasiat
adalah pemberian yang dilakukan oleh si pemilik harta dengan syarat
penyerahan kepemilikan harta tersebut dilakukan setelah si pemilik harta
meninggal dunia. Sebagai contoh ketika orang tua sebelum wafat
mengumpulkan semua anak-anaknya dan mengatakan.

Waris adalah berpindahnya kepemilikan harta dari seseorang yang


meninggal dunia kepada ahli warisnya.  Hal ini sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam kitab al-Fiqhu al-Manhaji Ala Madzhabi al-Imam asy-Syafi’iy.
Waris secara istilah syar’i adalah hak kepemilikan harta untuk kerabat
keluarga atau yang semisalnya seperti karena pernikahan (suami-istri)
setelah meninggalnya si pemilik harta. Jadi pada intinya ketika ada orang
yang meninggal dunia maka secara otomatis harta yang dimiliki almarhum
tersebut langsung berpindah kepemilikannya kepada ahli warisnya.
Ketentuan mengenai harta yang ditinggalkan ini dikenal dengan
sebutan kewarisan atau mawaris.Secara istilah, kewarisan adalah pengalihan
pemilikan harta benda dari seorang yang meninggal dunia kepada orang
yang masih hidup.Dasar hukum kewarisan dalam Islam ini tercantum dalam
Alquran surah An-Nisa ayat 7:“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak
bagian [pula] dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit
atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan," (An-Nisa [4]: 7).

B. Hubungan Waris dan Wasiat


Ahli waris berdasar hubungan darah dan perkawinan meliputi anak
atau keturunannya dan ahli waris berdasar hubungan perkawinan adalah
istri atau suami pewaris. Ahli waris berdasar wasiat adalah ahli waris yang
ditunjuk oleh pewaris dalam surat wasiat. Keturunan anak hanya akan
tampil mewaris menggantikan kedudukan orang tuanya yang telah
meninggal dengan besar bagian warisan sesuai besar bagian anak.
Pembagian warisan pada ahli waris berdasar hubungan dan perkawinan ini
otomatis terjadi manakala pewaris tidak meninggalkan surat wasiat.
Persamaannya dari keduanya yaitu sama- sama mengalihkan
kepemilikan kita kepada orang lain. Perbedaan dari keduanya yaitu:  Waris
terkait dengan harta peninggalan ( tirkah), Wasiat terkait dengan
peninggalan seseorang diberikan ketika orang masih hidup (pelaksanaannya
ketika orang yang berwasiat sudah meninggal). Islam sebagai ajaran yang
universal mengajarkan tentang segala aspek kehidupan manusia,termasuk
dalam hal pembagian harta warisan. Islam mengajarkan tentang pembagian
harta warisan dengan seadil - adilnya agar harta menjadi halal dan
bermanfaat serta tidak menjadi malapetaka bagi keluraga yang
ditinggalkannya. Dalam kehidupan di masyaraakat, tidak sedikit terjadi
perpecahan, pertikaian, dan pertumpahan darah akibat perebutan harta
warisan. Pembagian harta warisan didalam islam diberikan secara detail,
rinci, dan seadil-adilnya agar manusia yang terlibat didalamnya tidak saling
bertikai dan bermusuhan. Hukum Membagi Harta Warisan
Hukum membagi harta warisan itu fardhu kifayah, Para ulama berpendapat
bahwa mempelajari dan mengajarkan fiqh mawaris adalah wajib kifayah.
Artinya kewajiban yang apabila telah ada sebagian orang yang
memenuhinya, dapat menggugurkan kewajiban semua orang. Tetapi apabila
tidak ada seorang pun yang menjalani  kewajiban itu, maka semua orang
menanggung dosa.
Sebelum dilaksanakan pembagian warisan, terlebih dahulu
harus dilaksanakan beberapa hak yang ada sangkut pautnya
dengan harta peninggalan itu.
Hak-hak yang harus diselesaikan dan harus dibayar adalah
1)    Zakat; apabila telah sampai saatnyauntuk mengeluarkan
zakatnya, maka dikeluarkan untuk itu terlebih dahulu
2)    Belanja; yaitu biaya yang dikeluarkan untuk
menyelenggarakan dan pengurusan jenazah, seperti halnya
untuk membeli kain kafan, upah penggali kuburan dan lain
sebagainya.
3)    Hutang; jika mayat itu meninggalkan hutang, maka
hutangnya mesti dibayar terlebih dahulu.
4)    Wasiat; jika mayat meninggalkan pesan (wasiat), agar
sebagaian dari harta peninggalannya diberikan kepada
seseorang, maka wasiat inipun harus dilaksanakan.Apabila
keempat macam hak tersebut di atas ( zakat, biaya penguburan,
hutang dan wasiat ), sudah diselesaikan semua, maka harta
warisan yang selebihnya dapat dibagi-bagikan kepada ahli yang
berhak menerimanya.
Jika pemberi wasiat mempunyai ahli waris maka ia tidak boleh
mewasiatkan lebih dari sepertiga. Jika dia mewasiatkan lebih dari sepertiga
maka wasiat itu tidak dilaksanakan kecuali atas izin dari ahli waris dan
pelaksanakannya diperlukan dua syarat berikut :
1. Dilaksanakan setelah pemberi wasiat meninggal dunia, sebab sebelum
dia meninggal, orang yang memberi izin itu belum mepunyai hak sehingga
izinnya tidak menjadi pegangan. Apabila ahli waris memberikan izin pada
saat pemberi wasiat masih hidup maka orang yang berwasiat boleh
mencabut kembali wasiatnya apabila dia menginginkan. Apabila ahli waris
memberikan izin sesudah orang yang berwasiat wafat maka wasiat itu
dilaksanakan. Az Zuhri dan Rabi’ah berkata bahwa orang yang sudah wafat
itu tidak akan menarik kembali wasiatnya.
2. Mempunyai kemampuan yang sah dan tidak dibatasi karena kedunguan
atau kelalaian, pada saat memberikan izin. Jika orang yang berwasiat tidak
mempunyai ahli waris maka dia pun tidak boleh mewasiatkan lebih dari
sepertiga. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Kalangan pengikut Hanafi, Ishak, Syuraik dan Ahmad dalam satu riwayatnya
membolehkan berwasiat lebih dari sepertiga. Sebab, dalam keadaan seperti
ini orang yang berwasiat itu tidak meninggalkan orang yang dikhawatirkan
kemiskinannya dan juga karena wasiat yang ada didalam ayat tersebut
adalah wasiat secara mutlak hingga dibatasi oleh hadits dengan “mempunyai
ahli waris.” Dengan demikian, wasiat secara mutlak ini tetap terjadi bagi
orang yang tidak mempunyai ahli waris. (Fiqhus Sunnah juz IV hal 467 –
478)Dari sumber lain disebutkan Adapun jika pembagian harta dilakukan
dalam keadaan sakit berat yang kemungkinan akan berakibat kematian,
maka para ulama berbeda pendapat di dalam menyikapinya. Mayoritas
ulama berpendapat bahwa hal tersebut bukanlah termasuk kategori hibah,
tetapi sebagai wasiat,
sehingga harus memperhatikan ketentuan sebagai berikut:
1. Dia tidak boleh berwasiat kepada ahli waris, seperti: anak, istri, saudara,
karena mereka sudah mendapatkan jatah dari harta warisan, sebagaimana
yang tersebut dalam hadist: “Tidak ada wasiat untuk ahli waris.” (HR. Ahmad
dan Ashabu as-Sunan). Tetapi dibolehkan berwasiat kepada kerabat yang
membutuhkan, maka dalam hal ini dia mendapatkan dua manfaat, pertama:
Sebagai bantuan bagi yang membutuhkan, kedua: Sebagai sarana
silaturahim
.2. Dia boleh berwasiat kepada orang lain yang bukan kerabat dan keluarga
selama itu membawa maslahat.
3. Wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 dari seluruh harta yang dimilikinya. Dan
dikeluarkan setelah diambil biaya dari pemakaman.
4. Wasiat ini berlaku ketika pemberi wasiat sudah meninggal dunia.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari rangkaian uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum kewarisan Islam
adalah hukum yang mengatur sedemikian rupa tentang peralihan harta dari seorang
yang meninggal dunia kepada anggota keluarga atau kerabatnya yang masih hidup
atau disebut juga sebagai ahli waris. Agar seseorang berhak mendapatkan sejumlah
harta warisan, ia harus memiliki syarat; adanya hubungan pernikahan, keluarga,
kekerabatan. Namun terlepas dari hak yang diperoleh para ahli waris, seseorang pun
harus memiliki syarat seperti tidak terhijab atau terhalang untuk memperoleh harta
warisan lantaran misalnya melakukan pembunuhan atau percobaan pembunuhan.

 Dan bisa disumpulkan wasiat adalah permohonan atau surat oleh seseorang
yang akan meninggal dunia, agar permohonan tersebut dapat dijalankan sesudah sang
pewasiat meningal dunia.
Hubungan antara waris dan wasiat juga sangat diperlukan dikarenakan
memiliki persamaan dari keduanya yakni sama- sama mengalihkan kepemilikan kita
kepada orang lain. Perbedaan dari keduanya yakni: Waris terkait dengan harta
peninggalan ( tirkah), Wasiat terkait dengan peninggalan seseorang diberikan ketika
orang itu masih hidup.
DAFTAR PUSTAKA

https://
jogja.tribunnews.com/2018/01/14/ini-bedanya-ahli-waris-berdasarkan-hubungan-d
arah-dan-berdasarkan-wasiat

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt588ff5fb6e8c2/hubungan-wasiat-
dengan-surat-wasiat/

http://myahmadsena3.blogspot.com/2016/01/bab-1-bahan-ajar.htmlhttps://
www.kompasiana.com/lidiya/harta-dalam-pandangan-islam_58b2ddf9b27e61aa084
f7f3b

https
://www.republika.co.id/berita/ov6h1t313/wasiat-dalam-pandangan-islamhttps://
tirto.id/kewarisan-pengertian-syarat-rukun-dan-manfaatnya-dalam-islam-gaT1

https://www.republika.co.id/berita/qmq26o430/perbedaan-waris-hibah-dan-
wasiathttp://jonesdot.blogspot.com/2015/02/makalah-fiqh-mawarits-
perbandingan.html

Anda mungkin juga menyukai