LANDASAN TEORI
A. Waris
Al-Irts menurut bahasa adalah seseorang ash hidup setelah yang lain mati, di
mana orang yang masih hidu pengambil apa yang ditinggalkan oleh orang yang
meninggal. Menurut fiqih adalah apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal
berupa harta atau hak-hak yang karena kematiannya itu menjadi hak ahli aris atau
mendefinisikan ilmu mirats adalah ilmu tentang pokok-pokok fiqih dan hisab yang
memberi pengertian tentang hak masing-masing ahli waris berupa peninggalan dan
hak-hak mayit. Sebagian ulama mendefinisikan bahwa ilmu mirats adalah ilmu
tentang pokok-pokok fiqih dan hisab yang dengan itu diketahui apa yang menjadi hak
Al-mirats menurut istilah para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari
orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang
ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa milik legal
secara syar’i. Harta waris tidak dibagi-bagi kepada para ahli warisnya, juga tidak
(muwarrits) meninggal dunia. Dengan kata lain, pembagian waris dilakukan setelah
pemilik harta itu meninggal dunia. Yang berhak menerima waris hanyalah orang-
orang yang terdapat di dalam daftar ahli waris dan tidak terkena hijab hirman.1
pembagian warisan. Sebab, faraid adalah bentu jamak dari fariidhah yang diambil
dari kata fardhu yang berarti ‘penentuan’, dan faridhah bermakna ‘yang ditetapkan’,
karena di dalamnya ada bagian-bagian yang telah ditetapkan. Al-faraid adalah bagian-
1
Ahmad Sarwat, Fiqih Mawaris, (DU CENTER,2017)h.30-31
bagian yang ditentukan. Oleh karena itu, kata al-faraid lebih banyak digunakan
daripada yang lain. Pengkhususan istilah ini adalah karena Allah SWT
menamakannya dengan nama itu. Allah SWT berfirman dalam Q.s at-Taubah :60
Belajarlah faraid
keadaan ahli waris karena posisinya sebagai shahib fardh (pemilik bagian), ashabah,
atau dzawil arham, juga hal-hal yang datang kemudian seperti hujub (penghalan
mendapatkan warisan karena ada pewaris lain) radd, dan halangan mendapatkan
warisan. Oleh karena itu, ilmu faraid mengandung tiga unsur, yaitu mengetahui
keadaan orang yang mendapatkan warisan, orang yang tidak mendapatkan warisan,
mengetahui bagian masing-masing ahli waris, dam hisab (hitungan) yang mebawa ke
situ.
Adapun penggaliannya adalah dari Al-Kitab, As-Sunnah, dan Ijma’ Qiyas dan
ijtihad tida bisa masu dalam ilmu faraid kecuali ketika sudah menjadi ijma. Realitanya
Hukum waris adalah aturan yang mengatur pengalihan harta dari seorang yang
meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hal ini berarti menentukan siapa saja yang
menjadi ahli waris, porsi bagian masing-masing ahli waris, menentukan harta
peninggalan dan harta warisan bagi orang yang meninggal dunia tersebut. Dasar huku
waris Islam adalah al-Qur’an dan Hadits, pendapat para sahabat Rasullullah, dan juga
1. Ayat-ayat Al-Qur’an
QS. An-Nisa ayat 7
Ketentuan pada ayat ini merupakan landasan utama yang menunjukkan bahwa
dalam Islambaik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang sama dalam
harta warisan. Ayat ini juga mengakui bahwa laki-laki dan perempuan merupakan
subjek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Sebelum turun
ayat ini, laki-laki dewasa memonopoli dalam pengambilan harta warisan. Wanita
dan anak-anak tidak mendapat pembagian sedikit pun dari harta yang
ditinggalkan oleh ibu, bapak atau kerabat. Maka al-Qur’an mengubah sistem yang
cenderung menindas kaum lemah ini. Ayat 7 surah an-Nisa menetapkan bahwa
semua karib kerabat mendapatkan bagian dari harta warisan, baik laki-laki,
yang satu dengan yang lain, sesuai fungsi dan tanggungjawab masing-masing.
Qs an-Nisa ayat 8
yang tidak mempunyai hak warisan dari harta benda pusaka yang telah ditetapkan
oleh hukum Islam. Seperti cucu tidak akan mendapatkan warisan jika masih ada
anak dari pewaris, begitu juga dengan saudara dari pewaris tidak dapat menjadi
ahli waris jika si pewaris memiliki anak laki-laki dan masih ada yang lainnya.
Apabila mereka para kerabat yang tidak mendapatkan harta warisan tersebut
sekadarnya. Begitu pula jika pada saat pembagian hadir anak-anak yatim dan
orang miski, maka hendaklah mereka juga diberi sekadarnya yang dimaksud di
sini adalah berdasarkan pada hukum wasiat, yaitu tidak boleh lebih dari 1/3 harta
peninggalan. Hal ini diperlukan untuk menjaga jang erjadi rasa iri di hati mereka.
Kemudian di akhir ayat ini hendaklah kita berkata-kata dengan ucapan yang
santun dan lemah lembut, seraya meminta maaf kepada kaum kerabat yang tidak
mewarisi itu, dan dengan perkataan yang tidak menyakiti hati mereka dengan
menjelaskan bahwa ada ahli waris yang lebih berhak untuk mendapatkan harta
warisan.
QS an-Nisa ayat 9
ayat ini ditujukan kepada mereka yang menjadi wali anak-anak yatim, agar
kepada anak-anaknya yang lemah bila kelak para wali itu meninggal dunia.
QS an-Nisa ayat 10
Dikatakan bahwa ayat ini merupakan ancaman yang dapat terjadi di dunia ini
bagi mereka yang mengabaikan hak-hak kaum lemah, apalagi anak-anak yatim
1. Asas Ijbari yang terdapat dalam hukum waris islam mengandung arti pengalihan harta
dari seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya
menurut ketentuan Allah tanpa digantungkan dengan kehendak pewaris atau ahli
warisnya. Asas ijbari dapat dilihat dari segi , pengalihan harta yang pasti terjadi setelah
orang meninggal dunia. Hal dapat terlihat pada QS an-Nisa ayat 7 yang menjelaskan
bahwa bagi laki-laki dan perempuanada bagian waris dari harta peninggalan ibu, ayah,
dan keluarga dekatnya, dari kata nasyibun (bagian) dapat diketahui dalam jumlah harta
yang ditinggalkan oleh pearis, terdapat bagian ahli waris. Oleh karena itu pewaris tidak
perlu menjanjikan sesuatu yang akan diberikan kepada ahli warisnya sebelum dia
meninggal dunia.
Unsur ijbari dapat dilihat dari jumlah harta yang sudah ditentukan bagi masing-masing
ahli waris, istilah ini sering disebut dengan furudhul muqaddarah yang bermakna bahwa
apa yang ditentukan dan diperhitungkan oleh Allah wajib dilaksanakan oleh seorang
yang beragama Islam. Asas ijbari ini mengandung makna paksaan, jadi asas ini
menekankan bahwa segala sesuatu yang Allah tetapkan tentang hukum waris, baik itu
penentuan ahli waris ataupun jumlah warisan yang diterima adalah harus sesuai dengan
1. Rasionalitas
Roger Leyor Miller dalam Adiwrmn A. Karim yang dimaksud dengan asumsi
rasionalitas adalah anggapan bahwa manusia berprilaku secara rasional (masuk akal) dan
tidak akan secara sengaja membuat keputusan yang akan menjadikan mereka lebih buruk
Sebagai sebuah ukuran yang normatif keputusan seseorang dan keyakinan yang
mendasarinya dapat dinilai sebagai benar dalam arti rasional atau tidak. Rasionalitas
dalam satu situasi dapat dibandingkan kadarnya dari rasionalitas pada situasi yang lain.
Demikian pula rasionalitas pada seseorang dapat dibandingkan dengan kadar rasionalitas
2. Imam Malik
2
Rahmat Hidayat, Rasionalitas : Overview terhadap pemikiran dalam 50 tahun terakhir, (Jurnal,Buletin
Psikologi,Vol.24,No.2,101-222)
Imam Maliki dilahirkan dikota Madinah daerah negeri Hijaz pada tahun 93 H (712
M). Nama beliau adalah Maliki bin Abi Amir, Kakeknya Abu Amir seorang sahabat yang
Imam Malik ialah seorang imam dari kota Madinah dan Imam bagi penduduk Hijaz.
Ia salah seorang dari ahli fiqih yang terakhir bagi kota Madinah dan juga yang terakhir
bagi fuqaha Madinah, Beliau berumur hampir 90 tahun. Imam Malik dilahirkan pada
zaman pemerintahan Al-Walid bin Abdul Malik Al-Umawi. Dia meninggal dunia pada
hidupnya Imam Malik dapat mengalami dua corak pemerintahan, Umayyah dan
Abbasiyah di mana terjadi perselisihan hebat di antara dua pemerintahan tersebut. Di masa
itu pengaruh ilmu pengetahuan Arab, Persi dan Hindi (India) tumbuh dengan subur di
kalangan masyarakat di kala itu. Bermacam-macam pula perubahan yang terjadi seperti di
bidang pertanian, perniagaan, pertukangan dan bermacam corak kehiupan yang mana
semuanya dengan menggunakan beberapa dalih menurut kacamata agama dan hukum-
hukum fiqih dan di masa inilah permulaan penyusunan ilmu hadis, fiqih, dan masalah
hukum-hukum.4
c. Ijmak para ulama Madinah, tetapi kadang-kadang beliau menolak hadits apabila
d. Qiyas
3
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta : PT RajaGrafindo, 2002), h.195
4
Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, (Jakarta : Amzah, 2015),h.71-72
Istishlah adalah mengekalkan apa yang telah ada karena suatu hal yang belum
Imam Maliki adalah seorang yang terkenal alim besar, tetapi amat berhati-hati dan
amat teliti dalam urusan hukum-hukum keagamaan, terutama dalam urusan riwayat yang
dikatakan hadits dari Nabi. Ringkasnya bahwa cara-cara beliau memberi fatwa bisa dilihat
kepada beliau.
Imam Syafi’i berkata : “Sungguh aku telah menyaksikan Imam Maliki, bahwa beliau
pernah ditanya masalah-msalah sebanyak empat puluh delapan masalah, beliau menjawab
“saya belum tahu”. Dari pernyataan ini jelaslah, bahwa beliau adalah seorang yang amat
Beberapa ulama meriwayatkan, Imam Maliki berkata : “Saya tidak memberi fatwa-
fatwa dan meriwayatkan hadits, sehingga tujuh puluh ulama membenarkan dan
mengakui”. Artinya bahwa segala masalah yang difatwakan oleh beliau kepada orang lain
setelah disaksikan oleh tujuh puluh orang ulama dan mereka itu menetapkan dan sepakat,
bahwa beliau seorang yang ahli dalam masalah yang difatwakannya itu.
Rasul (yang pada masa itu telah banyak berkembang dalam masyarakat), baik oleh
golongan Khawarij yang menuduh Usman, Ali, Amr ibn Ash, Muawiyyah dan lain-lain
telah menjadi kafir, maupun golongan Syi’ah mencela Abu Bakar ddan Usman, beliau
berkata : “jika di Madinah berkembang penistaan terhadap para sahabat, ajiblah kita keluar
terinci dalam sebagian ucapannya dan sikapnya. Dapat kita lihat pendapat beliau, bahwa
khalifah itu tidak harus dipegang oleh keluarga Hasyimi (Alami) dan jalan memilih
khalifah menurut Maliki ialah dengan jalan istikhlaf, asal yang menunjuk itu tidak
dipengaruhi oleh hawa nafsu, atau engan dimusyawarahkan oleh panitia negara yang
dibentuk untuk itu, dan pengangkatan itu dilakukan dengan bai’at kaum muslimin.
Menurut pendapat Maliki apabila seseorang merebut kekuasaan, tetapi berlaku adil
dan masyarakat senang menerimanya, maka kita tidak boleh memberontak terhadapnya,
kita harus mentaatinya. Tetapi jika tidak berlaku adil beliau tidak membolehkannya.
Beliau mengambil jalan maslahat dalam bidang politik dan menghindari bencana yang
lebih besar.5
3. Waris
a. Pengertian Waris
Secara bahasa , kata Muwarits yaitu merupakan jamak dari mirats (irts, wirts,
waritsah dan turats dimaknakan dengan mauruts) adalah “harta peninggalan orang yang
diwariskan kepada para warisnya.” Orang yang meninggalkan disebut muwarits. Sedang
Menurut istilah, kata waris diartikan sebagai suatu perpindahan berbagai hak dan
kewajiban serta kekayaan orang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih
hidup.
b. Dasar Hukum
1) Al-Qur’an
5
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta : PT RajaGrafindo, 2002), h.199-201
6
Pasal 171 huruf a KHI
Dalam sistem hukum islam, hukum waris menempati posisi yang strategis. Ayat-
ayat tentang kewarisan secara eksplisit paling banyak dibicarakan dalam al-quran.
Diantara ayat Al-qur’an yang berkaitan dengan masalah kewarisan yaitu : Al-Qur’an
surat an-Nisa’ ayat 33 yang menyatakan adanya hak bagi ahli waris dari setiap harta
peninggalan.
Artinya: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak
dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya dan (jika ada) orang-orang yang
kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka
2) Hadits
mayoritas ulama berpendapat, bahwa al-hadits merupakan salah satu sumber hukum
Artinya : “Hadits dari Qutaibah, hadits dari Allaist dari Ishak bin Abdillah dari
az-Zuhri dari Humaidi bin Abdurrahman dari Abu Hurairah dari Nabi saw. bersabda:
Artinya : “Telah mengabarkan kepada kami dari Musa bin Ismail dari Wuhaib
dari Ibnu Thaus dari bapaknya dari Ibnu Abbas ra. Dari Nabi SAW. bersabda :
“berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Dan sisanya untuk
orang laki-laki yang lebih utama (dekat kekerabatannya).” (HR Bukhari dan Muslim
7
Anwar Hartono, Hukum Islam Kekuasaannya dan Keadilannya, (Jakarta: Bulan Bintang 1968)h.95
Ijma’ dan ijtihad para sahabat dan mujtahid-mujtahid mempunyai peranan dan
belum dijelaskan oleh nash-nash yang shahih. Misalnya status saudara yang mewarisi
adalah status saudara-saudara bersama-sama dengan ayah atau bersama dengan anak
laki-laki yang dalam kedua keadaan ini mereka tida mendapatkan apa-apa lantaran
pendapat sahabat dan imam-imam mazhab yang menutup pendapat Zaid dan Tsabit,
Ijma’ menurut istilah ahli ushul fiqih adalah kesepakatan seluruh para mujtahid
dikalangan umat islam pada suatu masa setelah Rasullullah saw wafat atas hukum
syara’ mengenai suatu kejadian.9 Dalam hal ini maka kesepakatan tentang ketentuan
warisan yang terdapat dalam al-qur’an maupun al-sunnah disepakati oleh para sahabat
pedoman hukum yang berkenaan dengan kehidupan pribadi dan sosial umat Islam,
hukum yang bisa berubah sesuai dengan perubahan kondisi sosial budaya. Maka dari
itu diperlukan alat yang memungkinkan kaum muslimin untuk memproduk hukum-
hukum baru yang relevan dengan kebutuhan mereka menghadapi sosial, budaya yang
mengeluarkan hukum dari dalil Al-Qur’an maupun sunnah dan hasil ijtihad tersebut
dinamakan ijtihad olehh para mujtahid (pelaku ijtihad). Hasil ijtihad inilah dijadikan
8
Fathur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung : PT.sAl-Ma’arif,1981).h.33
9
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Alih Bahasa Moh.Zuhri dan Ahmad Qorib, (Semarang : Dina
Utama,1994),h.40
sebagai sumber dasar hukum oleh umat Islam dalam menghadapi persoalan-persoalan
Rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian harta
waris di mana bagian harta waris tidak akan ditemukan bila tidak ada rukun-rukunnya.
Rukun-rukun untuk mewarisi terdapat tiga unsur yang perlu diperhatikan dalam waris-
mewarisi, tiap-tiap unsur waris tersebut harus memenuhi persyaratan. Unsur-unsur ini
dalam al-qur’an dinamakan rukun, dan persyaratan itu dinamakan syarat untuk tiap
rukun. Rukun merupakan bagian dari permasalahan yang menjadi pembahasan. 11 Yang
Harta peninggalan (mauruts) adalah harta benda yang ditinggalkan oleh si mayit
yang akan dibagi oleh para ahli waris setelah di ambil untuk biaya-biaya perawatan,
melunasi hutang dan melaksanakan wasiat.12 Dalam kitab fiqih harta peninggalan
disebut dengan tirkah yaitu apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang telah meninggal
dunia berupa harta secara mutlak. Jumhurfuqaha berpendapat bahwa tirkah adalah
segala apa yang menjadi milik seseorang, baik harta benda maupun hak-hak kebendaan
yang diwarisi oleh ahli warisnya setelah meninggal dunia. Jadi, disamping harta benda
juga hak-hak, termasuk hak kebendaan maupun yang bukan kebendaan yang dapat
berpindah kepada ahli warisnya. Seperti piutang, benda-benda yang digadaikan mayit,
barang-barang yang telah dibeli oleh mayit sewaktu masih hidup yang harganya sudah
10
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan diIndonesia Eksistensi dan Adabtabilitas, (Yogyakarta :
Ekonosia,2002),h.13
11
Moh.Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di
Indonesia,(Sinar Grafika,2009),h.56-57
12
Fachtur Rahman, Ilmu Waris.,h.36
13
Moh.Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di
Indonesia,h.57
b) Orang Yang Meninggalkan Harta Waris (Muwarrits)
Dalam kamus bahasa indonesia disebut dengan pewaris dan dalam kitab fiqih disebut
dengan muwarrits. Muwarrits menurut ulama fiqih dibedakan menjai 3 macam yaitu:
Pertama, Mati haqiqy adalah hilangnya nyawa seseorang yang semula nyawa
itu sudah berwujud padanya. Kematian ini apat disaksikan oleh pancaindra dan dapat
dibuktikan dengan alat pembuktian. Sebab dari kematian seluruh harta yang
harta peninggalannya, beralih sendirinya dengan ahli waris yang masih hidup disaat
kematian mawarrits, dengan syarat tidak terdapat salah satu halangan untuk
mempusakainya.14
Kedua, Mati hukmy adalah kematian yang disebabkan oleh adanya hakim,
pada hakikatnya seseorang benar-benar masih hidup, ataupun dalam dua kemungkinan
antara hidup dan mati. Contohnya orang yang divonis mati apadahal ia masih hidup.
Vonis dijatuhkan terhadap orang murtad yang melarikan diri dan bergabung dengan
musuh. Menurut syariat selama tiga hari dia tidak bertaubat harus dibunuh. Demikian
juga vonis terhadap mafqud,orang yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak dikenal
domisilnya dan tidak diketahui hidup dan matinya.jika hakim sudah menjatuhkan vonis
terhadap dua jenis orang tersebut maka berlakunya kematian sejak tanggal yang termuat
dalam vonis itu. Maka dari itu waris yang masih hidup sejak vonis kematiannya, karena
orang yang mewariskan telah mati di saat vonis dijatuhkan dan ahli waris mati
Ketiga, Mati taqdiry adalah suatu kematian yang bukan haqiqy dan bukan
seorang bayi yang baru dilahirkan akibat terjadi pemukulan terhadap perut ibunya atau
14
Fachtur Rahman, Ilmu Waris,h.79
pemaksaan agar ibunya minum racun. Kematian tersebut hanya semata-mata
berdasarkan dugaan keras, dapat juga disebabkan oleh yang lain namun kuatnya
Seperti kedua orang tua (ibu-bapak), anak, cucu,dan saudara serta paman dan bibi.
Singkatnya adalah kedua orang tua, anak dan orang yang bernasab dengam mereka. Allah SWT.
Berfirman dalam Al-Qur’an
Pembunuhan tidak sengaja dalam islam ialah perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang dengan tidak ada unsur kesengajaan yang mengakibatkan orang lain
meninggal dunia, atau pembunuhan yang terjadi tanpa maksud melawan hukum, dan
adalah suatu pembunuhan dimana pelaku tidak mempunyai maksud untuk melakukan
15
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika,2007),h.24