Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

KEWARISAN DALAM ISLAM

DISUSUN OLEH:
NAMA : SHINTYA NALLI RATIH

NIM : 2037004

PRODI : TEKNIK INFORMATIKA

DOSEN PEMBIMBING : ISMIYATUL RAHMAH,M.Pd

FAKULTAS ILMU KOMPUTER

UNIVERSITAS PASIR PANGARAIAN


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga saya
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya saya
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang
kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Saya mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga saya mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam dengan judul
“Kewarisan Dalam Islam”.

Saya tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Kemudian apabila terdapat banyak
kesalahan pada makalah ini saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Rambah Utama, 17 Desember 2020

Shintya Nalli Ratih


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Kewarisan islam sebagai bagian dari syari’at islam dan lebih khusus lagi sebagai
bagian dari aspek muamalah subhukum perdata, tidak dapat dipisahkan dengan aspek-aspek
lain dari ajaran Islam. Karena itu, penyusunan kaidah-kaidahnya harus didasarkan pada
sumber yang sama seperti halnya aspek-aspek yang lain dari ajaran islam tersebut. Sumber-
sumber Islam itu adalah Al-Qur’an, sunah rasul dan ijtihad.

Secara terminologi, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur


pembagian warisan, mengetahui bagian-bagian yang diterima dari harta peninggalan itu
untuk setiap ahli waris yang berhak. Dalam redaksi lain, Hasby Ash-shiddieqy
mngemukakan, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur siapa-siapa orang yang
mewarisi dan tidak mewarisi, penerimaan setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya.

B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian Kewarisan Islam
2. Apa kedudukan hukum Kewarisan Islam
3. Sebab-sebab, syarat dan penghalang dalam Kewarisan Islam

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari Kewarisan Islam
2. Mengetahui kedudukan hukum Kewarisan Islam
3. Mengetahui sebab-sebab, syarat dan penghalang dalam Kewarisan Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kewarisan Dalam Islam

Warisan atau kewarisan yang sudah populer dalam bahasa Indonesia merupakan kata
yang diambil dari bahasa Arab ‫ یرث – ورث‬-‫ ارثا‬yang artinya mewarisi atau dari kata -‫ ورثا‬-‫وراثھ‬
‫ ورث‬-‫ یرث‬yang berarti berpindahnya harta si fulan (mempusakai harta si fulan).

Secara istilah ilmu waris adalah ilmu yang mempelajari tentang proses perpindahan
harta pusaka peninggalan si mayit kepada ahli warisnya. Warits adalah orang yang mewarisi.
Muwarrits adalah orang yang memberikan waris (mayit). Al-Irts adalah harta warisan yang
siap dibagi. Warasah adalah harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris. Tirkah adalah
semua harta peninggalan orang yang meninggal. Ilmu waris juga sering disebut ilmu Faraidh.

Secara etimologi kata “Faraid” yang merupakan jamak (plural) dari Faridhah dengan
makna Ma’ruf (objek) mafrud berarti sesuatu yang ditentukan jumlahnya. Secara istilah
disebutkan “ Hak-hak kewarisan yang jumlahnya telah ditentukan secara pasti dalam Al-
Qur’an dan Sunnah Nabi”.

B. Kedudukan Hukum Kewarisan Islam

Hukum waris menduduki tempat amat penting dalam hukum Islam. Ayat Alqur’an
mengatur hukum waris dengan jelas dan terperinci. Hal ini dapat dimengerti, sebab masalah
warisan pasti dialami oleh setiap orang. Apabila tidak diberikan ketentuan pasti, amat mudah
menimbulkan sengketa diantara ahli waris.

Dalam system hukum Nasional, hukum adat, hukum Islam dan hukum perdata
berlaku dan diakui dalam penyelesaian masalah-masalah hukum. Begitu pula hukum Waris,
hukum waris adat diakui dan berlaku bagi masyarakat adat setempat, hukum waris Islam
diperuntukkan bagi umat Islam dalam pembagian waris, sedangkan hukum waris perdata bagi
masyarakat atau golongan non-muslim dalam pembagian dan atau penyelesaian masalah
waris. Namun demikian, penulis akan fokuskan pembahasan pada hukum waris Islam dan
hukum waris adat.

Hukum Islam telah mengatur secara jelas dan gamblang mengenai hukum waris, siapa
yang berhak menjadi ahli waris, berapa bagian masing-masing ahli waris dan sebagainya. Hal
ini dapat dilihat dalam Al-qur`an terutama dalam Surat An-nisa dan juga Hadist Nabi. Lalu
mengapa pembagian waris perlu diatur ?. Karena dengan aturan tersebut, setiap proses
pembagian harta warisan bisa mengikuti satu pedoman dan aturan yang bermuara pada
terciptanya keadilan serta kesetaraan diantara para ahli waris.
Para ahli hukum Islam memandang keutamaan peng kajian/mempelajari hukum waris
Islam atau ilmu faroid dalam dua dimensi, baik sebagai khasanah ilmu pengetahuan maupun
kemasyarakatan.

C. Sebab-sebab, Syarat dan Penghalang Dalam Kewarisan Islam

Sebab-sebab kewarisan yang menjadikan seseorang berhak mewarisi harta warisan


mayit ada tiga, yaitu:

1. Hubungan nasab (kerabat hakiki). Yaitu: ayah dan ibu, anak-anak, Saudara, paman
(saudara laki-laki ayah), dan sebagainya. Secara ringkas dapat dikatakan ayah dan ibu,
anak-anak, dan siapa saja yang bernasab kepada mereka. Dalam buku yang disusun
oleh komite fakultas syari‟ah Universitas al-Azhar Mesir memperinci ahli waris dari
sebab nasab (kekerabatan) dalam tiga golongan yaitu golongan ush l (leluhur) si mayit,
fur ‟ (keturunan) mayit, dan haw syi si mayit (keluarga mayit dari jalur horizontal)12.
Golongan ush l adalah ayah, kakek dan jalur keatasnya; ibu, nenek (ibunya suami dan
ibunya istri), dan jalur keatasnya. Golongan fur ‟ adalah anak laki-laki, cucu, cicit dan
jalur kebawahnya; anak perempuan, cucu, cicit dan jalur kebawahnya. Sedangkan
golongan haw syi adalah saudara laki-laki dan saudara perempuan secara mutlak, baik
saudara sekandung, seayah atau seibu; anak-anak saudara kandung atau seayah;
paman sekandung, seayah dan anak laki-lakinya paman yang sekandung.
2. Hubungan nikah yaitu, akad pernikahan yang sah antara suami-istri walaupun mereka
belum pernah melakukan hubungan intim suami- istri atau berkhalwah (tinggal berdua).
Adapun pernikahan yang sah atau tidak sah tidak menimbulkan hubungan kewarisan
sama sekali.
3. Hubungan wal ‟ yang merupakan kerabat hukmy yang juga disebut wal ‟ al-„itqi atau
wal ‟ al-ni„mah. Yaitu hubungan kerabatan yang disebabkan karena memerdekakan
hamba sahaya. Jika seorang tuan memerdekakan hambanya, maka ia mempungai
hubungan kekerabatan dengan hamba yang telah dimerdekakannya yang disebut
dengan wal ‟ al-itqi. Dengan sebab itu si tuan berhak mewarisi hartanya karena ia telah
berjasa memerdekakan dan mengembalikan nilai kemanusiaannya. Hukum Islam
(syara„) memberikan hak waris kepada tuan yang memerdekakan, bila budak itu tidak
meninggalkan ahli waris sama sekali, baik berdasarkan hubungan kekerabatan maupun
hubungan pernikahan (suami-istri).

Adapun syarat-syarat kewarisan Islam ada tiga, yaitu:

1. Wafatnya al-Muwarrits (pewaris), baik sebenarnya (haq qatan), maupun dianggap atau
dinyatakan telah meninggal (hukman).Menurut ulama‟ yang terdapat dalam buku yang
di susun oleh Komite fakultas syari‟ah Universitas al-Azhar mesir, disebutkan pula
mati menurut perkiraan, Mati haqqy adalah hilangnya nyawa seseorang (yang semula
nyawa itu berwujud padanya), baik kematian itu disaksikan dengan pengujian atau
dengan pendeteksian dan pembuktian. Kemudian Yang disebut dengan mati hukmy
adalah suatu kematian yang dinyatakan dengan keputusan hakim, misalnya orang yang
hilang dan tidak diketahui keberadaannya apakah ia masih hidup atau sudah mati,
kemudian hakim memutuskan bahwa orang tersebut sudah wafat berdasarkan beberapa
bukti atau indikasi. Dan yang dimaksud dengan Wafat taqd ry adalah suatu kematian
yang semata-mata berdasarkan dugaan yang sangat kuat, seperti kematian bayi yang
baru dilahirkan akibat terjadi kekerasan. Misalnya, kematian bayi yang baru dilahirkan
akibat terjadi pemukulan terhadap perut ibunya, atau pemaksaan ibunya meminum
racun, jadi hanya semata-mata karena kekerasan dan tidak langsung terhadap sang bayi

2. Adanya kepastian masih hidupnya al-W rits (ahli waris) pada waktu pewaris wafat.
Berhubung ahli waris adalah orang yang akan menggantikan kedudukan pewaris dan
kepemilikan harta berpindah kepadanya melalui proses kewarisan, maka ketika pewaris
wafat ia (ahli waris) harus benar-benar dalam keadaan hidup. Dengan demikian ia
benar-benar layak menerima kedudukan sebagai pengganti. Karena bila sudah mati, ia
tidak layak memiliki sesuatu baik melalui proses kewarisan maupun yang lain.

3. Mengetahui sisi kekerabatan dan jalur kewarisannya, seperti ikatan suami istri, ikatan
kekerabatan dan tingkat kekerabatan.

Penghalang waris, Zarkasih menjelaskan, adalah sesuatu yang membuat seseorang


terhalang untuk mendapatkan jatah warisan. Berikut tiga hal yang disepakati oleh ulama
tentang penghalang waris.

1. Pembunuhan. Orang yang terbukti secara nyata atau hukum sebagai pembunuh
pewarisnya, maka ia tidak mendapatkan jatah warisan.
2. Perbedaan agama. Perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris membuat keduanya
tidak bias saling mewarisi.
3. Perbudakan. Artinya budak tidak bisa mendapatkan warisan dari ayah atau kerabat
yang merdeka. Sementara itu, Prof. Dr. Wahbah al-Zuhailiy dalam kitabnya al-Fiqh
al-islami wa Adillatuhu menyebutkan. “Ulama bersepakat tentang tiga hal yang
menjadi penghalang waris; perbudakan, pembunuhan dan perbedaan agama,” katanya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisa penulis tentang status harta kemayyitan yang diambil dari harta
waris, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Harta kemayyitan yang diambil dari harta waris adalah harta yang diambil ahli waris
dari pewaris yang meninggal dunia, dan tidak dihitung kembali ketika pembagian
warisan oleh ahli waris yang telah menjaga dan merawat pewaris semasa hidup hingga
meninggal dunia.
2. Perolehan harta lebih oleh ahli waris Rusniya yang merawat orang tuanya semasa
hidupnya, menunjukkan bahwa ada ketidak sesuaian antara syariat islam dengan
peraktek yang dilakukan oleh keluarga salehan (alm), karena perolehan harta lebih oleh
ahli waris Rusniya tidak melalui jalan yang dibenarkan oleh syariat Islam (faraidh), dan
tidak pula dengan musyawarah mufakat antara ahli waris lain.
3. Dalam hukum islam yang dimaksud dengan harta waris adalah segala sesuatu yang
ditinggalkan oleh pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ahli warisnya, dan
yang dimaksud dengan harta waris dalam Islam adalah harta bawaan ditambah bagian
dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai
meninggalnya, biaya pengurusan.

B. Saran

Setiap warga negara hendaknya taat pada hukum yang berlaku, hukum yang telah
ditetapkan di Negara Republik Indonesia yang tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Dalam membagi harta warisan harus sesuai dengan ketentuan peratuaran yang berlaku dan
hukum islam. Para tokoh dan kyai hendaklah bisa berperan aktif dalam memberikan
pemahaman tentang hukum islam kepada masyarakatnya dengan menerapkan azas keadilan
dalam menyelesaikan setiap permasalahan seperti halnya permasalahan harta waris yang
seharusnya berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah serta aturan yang berlaku di
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai