Anda di halaman 1dari 12

FIQIH KONTEMPORER

HAK WARIS ANAK BEDA AGAMA

Dosen Pengampu : Sumiyati Bode, S. Hi, M. H

Disusun Oleh:

Satriyani Fauzi
Mirna Udin Teng
Andi Samar Gandi
Junaidi S Muhammad
Nurlini S Arsad

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

TERNATE 2023

1
Kata Pengantar

”Assalamualaikum Warrahmatullahi wabarakatuh”

Segala puji bagi Allah SWT yang naungan rahmat-Nya lebih luas dibanding
dunia dan seisinya. Berkat limpahan rahmat-Nya, saya bisa menyelesaikan
makalah yang berjudul “Hak Waris Anak Beda Agama”. Selawat serta salam
semoga senantiasa tercurahlimpahkan kepada Nabi akhir zaman Muhammad
SAW, keluarga, sahabat serta seluruh umatnya.
Saya ucapkan terima kasih kepada ibu Sumiyati Bode, S. Hi, M. H yang
telah membimbing kami dalam mata kuliah fiqih kontemporer sehingga kami
mampu mengerjakan makalah ini dengan baik.
Saya menyadari bahwa masih banyak kekeliruan dan kekurangan dalam
makalah ini,maka besar kiranya harapan saya untuk mendapat kritik dan saran
yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Dan saya berharap bahwa
makalah ini dapat menambah wawasan serta, dapat memberikan manfaat bagi
semua pihak,dan juga bagi diri kami sendiri.

Ternate, 20 Maret 2023

Kelompok 13

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar................................................................................................................2
DAFTAR ISI....................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................4
A. Latar Belakang.....................................................................................................4
B. Rumusan Masalah................................................................................................4
C. Tujuan Penulisan.................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................5
A. Pengertian Hukum Waris....................................................................................5
B. Ketentuan Hukum Waris.....................................................................................5
C. Hak Waris Anak Beda Agama Menurut Hukum Islam....................................8
BAB III PENUTUP........................................................................................................10
A. Kesimpulan.........................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................11

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara

keseluruhan dan merupakan bagian kecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris

sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap

manusia pasti akan mengalami peristiwa kematian.

Banyak kasus di pengadilan seputar harta warisan, salah satunya tentang

kewarisan beda agama. Bahwa, seseorang muslim tidak dapat mewarisi atau

diwarisi oleh orang non muslim, apapun agamanya, hal ini telah Rasulullah SAW

sampaikan dalam hadits-hadist beliau tentang orang yang berbeda agama yang

tidak akan mendapat warisan dari keluarganya, dan banyak ulama kita

memberikan fatwa-fatwa dalam persoalan warisan yang tentu menjadi acuan atau

pedoman bagi kaum muslim di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana status hak waris anak beda agama menurut hukum Islam?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui status hak waris anak beda agama menurut hukum Islam?

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Waris

Kata faraid, merupakan bentuk jamak dari kata faridah yang berasal dari

kata farada yang artinya adalah ketentuan. Dengan demikian kata faraid atau

faridah artinya adalah ketentuan-ketentuan tentang siapa yang termasuk ahli waris

yang berhak mendapatkan warisan, ahli waris yang tidak berhak mendapatkannya

dan berapa bagian masing-masing.1

Selanjutnya, dalam Kompilasi Hukum Islamm (KHI) bab II mengatur

tentang Hukum Kewarisan, berdasarkan ketentuan Pasal 171 huruf a Kompilasi

Hukum Islam (KHI), yang dimaksud dengan Hukum Kewarisan adalah hukum

yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah)

pewaris menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa besar

bagiannya masing-masing.2

B. Ketentuan Hukum Waris

Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman bagi hakim lembaga Pengadilan

Agama dan menjadi hukum positif di Indonesia menyebutkan bahwa pewaris

adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal

berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan

harta peninggalan.3 Sedangkan ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal

1
A. Khinsi, Hukum Waris Islam (Semarang UNISSULA Press, 2013), hlm. 1
2
Tim Penyusun, Kompilasi Hukum Islam, Permata Press, h. 53
3
Ibid, h. 53

5
dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris,

beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.4

Dalam ketentuan hukum Islam, sebab-sebab untuk dapat menerima warisan

secara umum, yaitu:

1. Hubungan kekerabatan

Dasar hukum kekerabatan sebagai ketentuan bahwa laki-laki dan perempuan

sama-sama mempunyai hak waris seperti yang dinyatakan dalam QS. An-

Nisaa: 7 “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu,

bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian dari harta

peninggalan ibu-bapak dan kerabat, baik sedikit atau banyak menurut bagian

yang telah ditetapkan”. Demikian juga dinyatakan dalam QS. Al-Anfal: 75,

“Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebahagiannya lebih

berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) menurut kitab

Allah”. Islam tidak membedakan status hukum seorang dalam pewarisan dari

segi kekuatan fisiknya, tetapi semata-mata karena pertalian darah atau

kekerabatan.

2. Hubungan perkawinan

Perkawinan yang sah menyebabkan adanya hukum saling mewarisi antara

suami dan istri. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang syarat dan

rukunya terpenuhi, baik menurut ketentuan hukum agama maupun ketentuan

administratif sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

4
Ibid, Pasal 171 (c)

6
Adapun syarat pembagian warisan serta halangan untuk menerima warisan

adalah:

1. Ada tiga syarat untuk mendapatkan warisan, yaitu

a. Pewaris benar-benar telah meninggal dunia. Baik meninggal (mati)

hakiki, yaitu kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa harus melalui

pembuktian bahwa seseorang telah meninggal dunia, maupun mati hukmi,

adalah kematian seseorang yang secara yuridis ditetapkan melalui putusan

hakim dinyatakan meninggal dunia. Ini bisa terjadi seperti dalam kasus

seseorang yang dinyatakan hilang tanpa diketahui dimana dan bagaimana

keadaannya.

b. Ahli waris benar-benar masih hidup ketika pewaris meninggal dunia, atau

dengan putusan hakim dinyatakan masih hidup pada saat pewaris

meninggal dunia.

c. Benar-benar dapat diketahui adanya sebab warisan pada ahli waris, atau

dengan kata lain, benar-benar dapat diketahui bahwa ahli waris

bersangkutan berhak waris.

2. Adanya berbagai sebab dan syarat waris belum cukup menjadi alasan adanya

hak waris, kecuali jika tidak terdapat salah satu penghalang sebagai berikut:

a. Berbeda agama antara pewaris dan ahli waris. Dalam sebuah hadis yang

diriwayatkan Bukhari dan Muslim dikatakan: “Orang muslim tidak

mewarisi orang kafir (begitu juga sebaliknya) orang kafir tidak mewarisi

orang muslim”. (HR Bukhari dan Muslim).

7
b. Pembunuhan. Pembunuhan penghalang seseorang untuk mendapatkan

hak warisan dari orang yang dibunuhnya. Hal ini didasarkan kepada hadis

Rasulullah SAW dari Abu Hurairah menurut riwayat Abu Dawud dan

Ibnu Majah yang mengatakan “Barang siapa membunuh seorang korban,

maka ia tidak dapat mewarisinya, walaupun korban tidak mempunyai ahli

waris selain dirinya sendiri”.

C. Hak Waris Anak Beda Agama Menurut Hukum Islam

Ada tiga hal menjadi penghalang waris dalam Hukum Islam yaitu
pembunuhan, beda agama dan perbudakan. Beda agama adalah apabila antara ahli
waris dan pewaris salah satunya beragama Islam dan yang lain tidak beragama
Islam.
Apabila seseorang yang meninggal dunia dan memiliki harta untuk dibagi
kepada ahli waris yang berbeda agama, maka tidak terjadi pewarisan antara
keduanya. Adapun dalil yang menjadi dasar hukumnya adalah sabda Rasulullah

SAW yaitu: ‫سلِ َم‬ ُ ‫الَيَ ِر‬


‫ث ا ل ُم سلِ ُم ال َكافِ َر َوالَ ا ل َكافِ ُر ا ل ُم‬
Artinya: “Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi harta orang kafir, dan
tidak berhak pula orang kafir mewarisi harta seorang muslim”. (HR. Bukhari dan
Muslim).

Dalam pandangan konsep fiqih konvensional seorang muslim tidak bisa


mewarisi harta seorang non muslim dan sebaliknya seorang non muslim tidak
dapat mewarisi harta seorang muslim.

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama mengatakan


bahwa ahli waris muslim tetap mendapat harta warisan dari pewaris yang kafir.
Mereka mengaku bersandar pada pendapat Mu’adz bin Jabal ra, yang mengatakan
bahwa seorang muslim boleh mewarisi harta orang kafir, tetapi tidak boleh
mewariskan hartanya kepada orang kafir.

8
Sebagian ulama lainnya mengatakan tidak bisa mewariskan. Jumhur ulama
termasuk yang berpendapat demikian adalah ke empat Imam Mujtahid yaitu Imam
Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbali.

Apabila dilihat dari sudut pandang Hukum Waris Islam, maka anak yang
lahir dari perkawinan beda agama atau ahli waris yang berbeda agama dengan
pewaris tidak mempunyai hak untuk mendapatkan harta warisan apabila tidak
seagama dengan pewaris yang dalam hal ini pewaris beragama Islam.

Meskipun hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewarisi antar
orang-orang yang berbeda agama (antara muslim dan non muslim), tetapi terdapat
ketentuan yang menyatakan bahwa pemberian harta antar orang berbeda agama
hanya dapat dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah.

Hal tersebut mengacu pada ketentuan Fatwa Majelis Ulama Indonesia


(MUI) Nomor : 5/MUNAS VII/9/2005 tentang Kewarisan Beda Agama, yang
menetapkan bahwa :

1. Hukum Waris Islam tidak memberikan hak saling mewarisi antar orang-orang
yang berbeda agama (antara muslim dengan non muslim)
2. Pemberian harta antar orang berbeda agama hanya dapat dilakukan dalam
bentuk hibah, wasiat dan hadiah.5
Maka dapat disimpulkan bahwa, dilihat dari sudut pandang Hukum Islam,
maka apabila pewaris itu muslim dan anaknya sebagai ahli waris non muslim,
anak tersebut tidak berhak mewarisi.

Terkait dengan hak waris beda agama, Kompilasi Hukum Islam lebih merujuk
pada pendapat para ulama klasik yang menegaskan bahwa perbedaan agama
antara pewaris dengan ahli waris menjadi penghalang terjadinya proses kewarisan.
Hal ini bisa dibaca dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 171 huruf b
menyatakan bahwa :”Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau
yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam,
meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan”. Sedangkan dalam KHI dengan

5
Fatwa MUI Nomor 5/MUNAS VII/9/2005 tentang Kewarisan Beda Agama.

9
pasal yang sama yakni Pasal 171 huruf c menyatakan bahwa: “ahli waris adalah
orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena
hukum untuk menjadi ahli waris”. Ketentuan beragama seseorang dapat
ditentukan lewat identitasnya, hal ini jelas dalam KHI pada Pasal 172 yang
berbunyi: “ahli waris yang dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu
identitas aau pengakuan atau amalah atau kesaksian, sedangkan bayi yang baru
lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau
lingkungannya”.
Ketentuan dalam KHI memang tidak dinyatakan secara tegas bahwa
perbedaan agama sebagai penghalang untuk dapat mewarisi, namun Pasal 171
huruf c KHI tersebut menyatakan bahwa pewaris dan ahli waris harus dalam
keadaan beragama Islam maka diantara keduanya, apabila salah satunya tidak
beragama Islam maka diantara keduanya tidak dapat saling mewarisi, maka dalam
ketentuan hak kewarisan otomatis terputus ketika berkaitan dengan perbedaan
agama.

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Harta kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang
berkenan dengan peralihan hak atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang
setelah ia meninggal dunia, kepada ahli warisnya. Di dalam hukum kewarisan
Islam sudah dijelaskan secara rinci tentang tata cara pembagian dan peralihan
harta warisan kepada ahli waris, serta hal-hal yang menghalangi harta warisan
kepada ahli waris.
Perbedaan agama menjadi penghalang seseorang menerima bagian dari
harta peninggalan pewaris. Dilihat dari sudut pandang hukum Islam, maka apabila
pewaris itu muslim dan anaknya sebagai ahli waris non muslim, maka anak
tersebut tidak berhak mewarisi harta peninggalan pewaris.

11
DAFTAR PUSTAKA

A. Khinsi, Hukum Waris Islam (Semarang UNISSULA Press, 2013)


Tim Penyusun, Kompilasi Hukum Islam, Permata Press.
Fatwa MUI Nomor 5/MUNAS VII/9/2005 tentang Kewarisan Beda
Agama.

12

Anda mungkin juga menyukai