Anda di halaman 1dari 27

SUMBER HUKUM KEWARISAN ISLAM DAN

HUBUNGANNYA DENGAN HUKUM KEWARISAN


NASIONAL

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hukum Kewarisan
Islam 1 Program Studi Hukum Keluarga Islam
Dosen Muammar Hasri, M.H
20 HKI 3

Oleh:

NURFAHMI
742302020068

ISTIQAMAH
742302020074

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) BONE
2022
KATA PENGANTAR

‫ِب ۡس ِم ٱللَّ ِهٱل َّر ۡح ٰ َمنِٱل َّر ِحيم‬

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas yang berjudul “Sumber
Hukum Kewarisan Islam Dan Hubungannya Dengan Hukum Kewarisan
Nasional” Ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dari Dosen Dosen Muammar Hasri, M.H pada tugas mata kuliah Hukum
Kewarisan Islam 1 program studi Hukum Keluarga Islam, fakultas Syariah dan
Hukum Islam. Selain itu, tugas ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang bagaimana hubungan sumber hukum kewarisan islam dengan hukum
kewarisan nasional.

Saya ucapkan terimah kasih kepada Dosen Muammar Hasri, M.H selaku
dosen mata kuliah Hukum Kewarisan Islam 1 yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi
yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
ini. Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna
Oleh karena itu, kritik dan saran nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Watampone, 1 April 2022

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................i

DAFTAR ISI.........................................................................................................ii

BAB I

PENDAHULUAN.................................................................................................1

A. Latar Belakang........................................................................................1

B. Rumusan Masalah...................................................................................2

C. Tujuan....................................................................................................2

BAB II

PEMBAHASAN...................................................................................................3

A. Sumber Hukum Kewarisan Islam............................................................3

B. Sumber Hukum Kewarisan Nasional.....................................................12

C. Hubungan Sumber Hukum Kewarisan Islam dengan Hukum Kewarisan


Nasional……………………………………………………………….20

BAB III

PENUTUP...........................................................................................................21

A. Simpulan................................................................................................21

B.Saran........................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................24

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Kata waris berasal dari bahasa Arab yaitu warasa-yurisu-warisan yang


berarti berpindahnya harta seseorang kepada seseorang setelah meninggal dunia.
Adapun dalam al-Quran ditemukan banyak kata warasa yang berarti
menggantikan kedudukan, memberi atau menganugerahkan, dan menerima
warisan. Sedangkan al-miras menurut istilah ulama’ ialah berpindahnya hak
kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup
baik yang ditinggalkan itu berupa harta, tanah, atau apa saja yang berupa hak
milik legal secara syar’i.1
Penggunaan kata hukum awalnya mengandung arti seperangkat aturan
yang mengikat dan menggunakan kata Islam dibelakang mengandung arti dasar
hukum yang menjadi rujukan, dengan demikian dengan segala titik lemahnya,
hukum kewarisan Islam dapat diartikan dengan seperangkat peraturan tertulis
berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Nabi tentang hal ikhwal peralihan harta atau
berwujud harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan
diyakini berlaku mengikat untuk semua yang beragama Islam.2

Kewarisan Islam memiliki sumber-sumber hukum yang menjadi dalil


atau dasar sebagai penguat hukum kewarisan tersebut. Diantara sumber-sumber
hukum kewarisan dalam Islam diantaranya adalah, sebagai berikut3 :

1. Dalil-dalil yang bersumber dari al-Qur’an.


2. Dalil-dalil yang bersumber dari as-Sunnah.
3. Dalil-dalil yang bersumber dari ijma’ dan ijtihad para ulama’

Dalam kompilasi hukum Islam dijelaskan pula mengenai pengertian


hukum kewarisan, yaitu hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, dan menentukan siapa saja yang

1
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2011), 17.
2
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), 6.
3
Otje Salman, Hukum Waris Islam, (Bandung : Aditama, 2006), 6.

1
berhak menjadi ahli waris dan masing-masing bagiannya. Dasar hukum kewarisan
yang kedua yaitu dasar hukum yang terdapat dalam hadits.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana sumber hukum kewarisan islam?
2. Bagaimana sumber hukum kewarisan nasional?
3. Bagaimana hubungan sumber hukum kewarisan islam dengan sumber
hukum kewarisan nasional?
C. Tujuan Makalah
Dalam sebuah penelitian tentunya mempunyai tujuan dan maksud
tertentu yang mendasarinya adapun berikut ini adalah tujuan dari penelitian:
1. Untuk mengetahui legislasi sumber hukum kewarisan islam;
2. Untuk mengetahui sumber hukum kewarisan nasional;
3. Untuk mengetahui hubungan sumber hukum kewarisan islam dengan
sumber hukum kewarisan nasional.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sumber Hukum Kewarisan Islam


1. Al-Qur`an

Di antara hukum yang mengatur hubungan manusia dengan sesama yang


sudah ditetapkan Allah sebagai al-Shar`i’ adalah aturan tentang harta waris.
Hukum mengenai peralihan harta yang diakibatkan adanya kematian. Keberadaan
hukum waris sangatlah penting untuk mengatur distribusi harta peninggalan
tentang siapayang berhak menerimanya, berapa bagian masing-masing dan
bagaimana cara pembagiannya4.

Hukum waris dalam Islam diatur secara tegas melalui sumber hukum
utama, yaitu al-Qur’an dan hadisth. Meskipun demikian tidak menutup
kemungkinan adanya cara pembagian, jumlah bagian, siapa yang berhak
menerimanya sesuai dengan pandangan tradisi dan kearifan lokal. Karena itu
penerapan hukum waris Islam selalu memunculkan wacana baru yang
berkelanjutan di kalangan para pemikir hukum Islam, sehingga membutuhkan
rumusan hukum dalam bentuk ajaran yang bersifat normatif. Dalam konteks umat
Islam di Indonesia, hukum waris sudah menjadi hukum positif yang digunakan
oleh para hakim di pengadilan agama untuk memutuskan suatu perkara
pembagian harta warisan5.

Sistem hukum waris Islam pada dasarnya melanjutkan dan sekaligus


merombak sistem hukum waris yang sudah dikenal oleh kebanyakan masyarakat
arab pada masa jahiliyah. Artinya, masyarakat arab jahiliyah sudah mengenal
sistem hukum waris, meskipun belum formal dan tidak berdasarkan pada aturan
yang dapat memenuhi rasa keadilan. Sebagian kalangan memandang bahwa
sistem hukum waris jahiliyah sebagai hukum yang berlandaskan hawa nafsu

4
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Kencana, 2004), 3.
5
Ibid,. 4

3
karena kekuatanfisik dan keharusan laki-laki dan dewasa menjadi tolok ukur
utamanya6.

Ketika Islam datang dengan membawa aturan baru mengenai sistem


hukum waris, mereka merasa terganggu. Islam datang dengan merubah beberapa
sistem hukum yang sudah dipakai secara turun temurun. Salah satunya dengan
memberikan bagian kepada ahli waris kerabat tanpa membedakan jenis kelamin,
anak-anak ataupun dewasa. Al-Qur’an menjelaskannya sebagai berikut:

‫ك ْال َوا لِ ٰد ِن َوا اْل َ ْق َربُوْ نَ ِم َّما‬ ِ َ‫ك ْال َوا لِ ٰد ِن َوا اْل َ ْق َربُوْ نَ  ۖ  َولِلنِّ َسٓا ِء ن‬
َ ‫صيْبٌ ِّم َّما ت ََر‬ َ ‫صيْبٌ ِّم َّما تَ َر‬
ِ َ‫لِلرِّ َجا ِل ن‬
‫ص ْيبًا َّم ْفرُوْ ضًا‬
ِ َ‫قَ َّل ِم ْنهُ اَوْ َكثُ َر ۗ ن‬

Terjemahnya:

"Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua


orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bagian yang telah ditetapkan." (QS. An-Nisa' 4: Ayat 7)7

Ayat di atas dipandang sebagai ayat pertama turun mengenai hukum


waris Islam. Kandungan ayat ini secara mendasar merubah secara fundamental
sistem waris jahiliyah yang tidak memberikan bagian sama sekali kepada kaum
perempuan. Maka dengan turunnya ayat tersebut berarti telah ditetapkan adanya
bagian warisanyang dapat diterima oleh laki-laki maupun perempuan tanpa
terkecuali. Sifat “lemah” perempuan tidak dapat menghalangi dirinya untuk
memperoleh hak bagiannya. Justru sebaliknya, karena perempuan punya sifat
lemah, maka ia seharusnya diprioritaskan untuk mendapatkan hak bagian dari
peninggalan orang tua dan kerabatnya. Karena ia juga mempunyai hak untuk
hidup dan karenanya ia harus dipenuhi kebutuhanhidupnya. Dalam ayat lain yang
lebih terperinci dijelaskan:

6
Dja’far, “Kewarisan”, Ensiklopedi, 106. Lihat juga dalam, Rofiq, Fiqh Mawaris, 8.
7
Kementerian Agama, Al-Qur’an &Terjemahnya (Jakarta: PT. Lentera Abadi, 2011),
78.

4
‫ا‬rr‫ا َم‬rrَ‫ق ْاثنَتَي ِْن فَلَه َُّن ثُلُث‬ َ ْ‫و‬rrَ‫ٓا ًء ف‬r‫اِ ْن ُك َّن نِ َس‬rَ‫ ظِّ ااْل ُ ْنثَيَ ْي ِن ۚ ف‬r‫ ُل َح‬r‫ذ َك ِر ِم ْث‬r َّ r‫ص ْي ُك ُم هّٰللا ُ فِ ۤ ْي اَوْ اَل ِد ُك ْم لِل‬
ِ ْ‫يُو‬
َ‫ا ن‬rr‫ركَ اِ ْن َك‬r َ rَ‫ ُدسُ ِم َّما ت‬r‫الس‬ ُّ ‫َت َوا ِح َدةً فَلَهَا النِّصْ فُ  ۗ وَاِل َ بَ َو ْي ِه لِ ُك ِّل َوا ِح ٍد ِّم ْنهُ َما‬ ْ ‫ ْن َكا ن‬rِ‫ۚ وا‬ َ   َ‫تَ َرك‬
‫ث ۗ فَاِ ْن َكا نَ لَهٗۤ اِ ْخ َوةٌ فَاِل ُ ِّم ِه ال ُّس ُدسُ ِم ۢ ْن بَ ْع ِد‬ ُ ُ‫لَهٗ َولَ ٌد ۚ فَاِ ْن لَّ ْم يَ ُك ْن لَّهٗ َولَ ٌد َّو َو ِرثَهٗۤ اَبَ ٰوهُ فَاِل ُ ِّم ِه الثُّل‬
َ‫ةً ِّمن‬r‫ْض‬ َ ‫ا ۗ فَ ِري‬rr‫ربُ لَـ ُك ْم نَ ْف ًع‬r َ r‫ ْدرُوْ نَ اَيُّهُ ْم اَ ْق‬rَ‫ٓا ُؤ ُك ْم ۚ اَل ت‬rrَ‫ٓا ُؤ ُك ْم َواَ ْبن‬rrَ‫ص ْي بِهَ ۤا اَوْ َد ْي ٍن  ٰۗ اب‬ ِ ْ‫صيَّ ٍة يُّو‬ ِ ‫َو‬
‫هّٰللا ِ ۗ اِ َّن هّٰللا َ َكا نَ َعلِ ْي ًما َح ِك ْي ًما‬

Terjemahnya:

“Allah mensyari’atkan (mewajibkan) kepadamu tentang


(pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki
sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Jika anak itu semuanya
perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia
memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak,
bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan,jika dia (yang
meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak
dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam. (pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi
wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya. (tentang) orang
tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh Allah
Maha mengetahui, Maha bijaksana.” (QS. al-Nisa’: 11)8

Pada dasarnya ayat di atas menjelaskan bagian anak-anak, baik laki-laki


maupun perempuan. Bagian seorang anak laki-laki sama dengan dua kali bagian
seorang anak perempuan. Anak perempuan jika sendirian mendapat bagian
separuh harta, sedangkan jika lebih dari seorang, maka bagian anak perempuan
duapertiga. Selanjutnya, QS. al-Nisa’: 11 di atas memaparkan bagian bapak dan
ibu dalam beberapa kondisi, yaitu kondisi ada ahli waris anak atau tidak ada

8
QS. Al-Nisa;4 (11), dan terjemahnya

5
mereka, yang berimplikasi pada ketentuan bagian yang diperoleh oleh masing-
masing bapak atau ibu.

Ayat terperinci lainnya berbicara tentang ketentuan hak bagian harta


waris yang disebabkan hubungan perkawinan, yaitu:

َ rَ‫ ُع ِم َّما ت‬r ُ‫ك اَ ْز َوا ُج ُك ْم اِ ْن لَّ ْم يَ ُك ْن لَّه َُّن َولَ ٌد ۚ فَاِ ْن َكا نَ لَه َُّن َولَ ٌد فَلَـ ُك ُم الرُّ ب‬
َ‫ر ْكن‬r َ ‫َولَـ ُك ْم نِصْ فُ َما ت ََر‬
‫ ْن َكا نَ لَـ ُك ْم‬rِ‫ص ْينَ بِهَ ۤا اَوْ َد ْي ٍن ۗ  َولَه َُّن الرُّ بُ ُع ِم َّما تَ َر ْكتُ ْم اِ ْن لَّ ْم يَ ُك ْن لَّ ُك ْم َولَ ٌد ۚ فَا‬ ِ ‫ِم ۢ ْن بَ ْع ِد َو‬
ِ ْ‫صيَّ ٍة يُّو‬
ً‫ة‬rَ‫ث َك ٰلل‬ُ ‫ ٌل يُّوْ َر‬r‫ا نَ َر ُج‬rr‫ا اَوْ َد ْي ٍن ۗ  َواِ ْن َك‬rۤ rَ‫صيَّ ٍة تُوْ صُوْ نَ بِه‬ ِ ‫َولَ ٌد فَلَه َُّن الثُّ ُمنُ ِم َّما تَ َر ْكتُ ْم ِّم ۢ ْن بَ ْع ِد َو‬
‫ َر َكٓا ُء فِى‬r ‫ت فَلِ ُك ِّل َوا ِح ٍد ِّم ْنهُ َما ال ُّس ُدسُ  ۚ فَاِ ْن َكا نُ ۤوْ ا اَ ْكثَ َر ِم ْن ٰذلِكَ فَهُ ْم ُش‬ ٌ ‫اَ ِو ا ْم َراَ ةٌ َّولَهٗۤ اَ ٌخ اَوْ اُ ْخ‬
 ‫صيَّةً ِّمنَ هّٰللا ِ ۗ  َوا هّٰلل ُ َعلِ ْي ٌم َحلِ ْي ٌم‬
ِ ‫ۚ و‬
َ   ٍّ‫ضٓا ر‬ َ ‫ بِهَ ۤا اَوْ َد ي ٍْن ۙ  َغي َْر ُم‬r‫صى‬ ٰ ْ‫صيَّ ٍة يُّو‬ ِ ‫ث ِم ۢ ْن بَ ْع ِد َو‬ِ ُ‫الثُّل‬

Terjemahnya:

“Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang


ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka
(istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta
yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan
setelah dibayar) hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka
para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah
dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) hutang-hutangmu.
Jika seorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam
bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau
(dansetelah dibayar) hutangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris).
Demikianlah ketentuan Allah, Allah Maha mengetahui, Maha Penyantun. (QS. al-
Nisa’: 12)9

9
QS. Al-Nisa;4 (12), dan terjemahnya

6
Ayat di atas menjelaskan hak-hak bagian suami (duda) ketika istrinya
meninggal dunia terlebih dahulu dengan memperhatikan kondisi yang berbeda
antara sang istri meninggalkan anak dengan tidak meninggalkan anak. Begitu pula
sebaliknya, ayat tersebut menjelaskan hak bagian istri (janda) jika suatu ketika
ditinggal mati suaminya yang juga memperhatikan kondisi dan keberadaan anak-
anak yang ditinggalkan.

Lebih lanjut ayat al-Qur’an surat al-Nisa’: 12 tersebut juga menegaskan


ketentuan kalalah. Yaitu seseorang (baik laki-laki maupun perempuan) yang
meninggal dalam kondisi tidak mempunyai bapak dan tidak ada anak. Namun
mempunyai saudara laki atau perempuan seibu. Maka masing-masing untuk
saudara bagian seperenam. Dan jika saudara laki-laki atau perempuan lebih dari
seorang, maka mereka bersama-sama memperoleh bagian sepertiga harta tanpa
membedakan jenis kelamin.

Berkaitan dengan kala`ah juga dipertegas dengan ayat selanjutnya yang


merinci pembagian bagi saudara laki-laki dan saudara perempuan sekandung,
yaitu:

ٌ ‫ْس لَهٗ َولَ ٌد َّولَهٗۤ اُ ْخ‬ ‫هّٰللا‬


 ۚ  َ‫ت فَلَهَا نِصْ فُ َما ت ََرك‬ َ ‫ هَلَكَ لَـي‬r‫يَ ْستَ ْفتُوْ نَكَ  ۗ قُ ِل ُ يُ ْفتِ ْي ُك ْم فِى ْالـ َك ٰللَ ِة ۗ اِ ِن ا ْم ُرٌؤ ا‬
‫ا‬rr‫ۗ واِ ْن َكا نُ ۤوْ ا اِ ْخ َوةً ِّر َج‬ َ   َ‫َوهُ َو يَ ِرثُهَ ۤا اِ ْن لَّ ْم يَ ُك ْن لَّهَا َولَ ٌد ۗ فَاِ ْن َكا نَـتَا ْاثنَتَ ْي ِن فَلَهُ َما الثُّلُ ٰث ِن ِم َّما تَ َرك‬
‫ هّٰلل ُ بِ ُك ِّل َش ْي ٍء َعلِ ْي ٌم‬r‫ۗ وا‬ ‫هّٰللا‬
ِ َ‫ر ِم ْث ُل َحظِّ ااْل ُ ْنثَيَ ْي ِن ۗ يُبَيِّنُ ُ لَـ ُك ْم اَ ْن ت‬rِ ‫لذ َك‬
َ  ‫ضلُّوْ ا‬ َّ ِ‫اًل َّونِ َسٓا ًء فَل‬

Terjemahnya:

“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah),


katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika
seorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara
perempuan, maka bagiannya (saudara perempuan itu) seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara
perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu
dua orang, maka bagi keduanya duapertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan
jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan

7
perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua
saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak
sesat. Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”(QS. al-Nisa’: 176).10

Ayat di atas menjelaskan mengenai kala`lah, dan bagian saudara


perempuan sekandung jika sendirian, begitu juga bagian saudara baik laki-laki
maupun perempuan dengan pembagian 2: 1 untuk seorang perempuan. Beberapa
ayat di atas, merupakan perincian terhadap ketentuan bagian warisan kepada para
ahli waris yang berhak menerima.

2. As-Sunnah

Sumber hukum waris Islam selain merujuk langsung kepada al-Qur’an


juga terdapat dalam beberapa haditsh nabi baik dalam bentuknya yang masih
umum (global) maupun yang secara terperinci. Haditsh dalam bentuknya yang
masih global tersebut antara lain adalah:

‫حدثنا موسى بن إسماعيل حدثنا وهيب حدثنا ابن طاوس عن أبيه عن ابن عباس – رضي هللا‬
‫و‬r‫ا بقي فه‬r‫ فم‬، ‫ا‬r‫رائض بأهله‬r‫وا الف‬r‫ال « ألحق‬r‫ ق‬- ‫لم‬r‫ه وس‬r‫لى هللا علي‬r‫ ص‬- ‫بي‬r‫ عن الن‬- ‫عنهما‬
‫ألولى رجل ذكر‬

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma’il telah


menceritakan kepada kami Wuhaib telah menceritakan kepada kami Ibn Thawus
dari ayahnya dari Ibnu Abbas RA dari Nabi SAW. bersabda: "Berikanlah fara`id}
(bagian-bagian yang telah ditentukan) kepada yang berhak, dan selebihnya
berikanlah kepada laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat." (HR. Bukhari
dan Muslim)

Hadisth di atas menjelaskan mengenai kewarisan anak baik laki-laki


maupun perempuan, sebagai bentuk penjelas dari al-Qur’an yang belum secara
rinci memberikan bagian kepada anak laki-laki. Juga diketahui bahwa anak laki-
laki berposisi sebagai penerima sisa harta waris (‘as}abah). Mengenai perolehan
anak perempuan berpindah dari bagian yang telah ditentukan (al-Furuid al-
10
QS. Al-Nisa;4 (176), dan terjemahnya

8
Muqaddarah) menjadi memperoleh bagian sisa (‘as abah) jika bersama dengan
anak laki-laki dengan bagian antara anak laki-laki dan anak perempuan 2 : 1
setelah sebelumnya diberikan bagian-bagian tertentu kepada ahli waris lain yang
menyertainya, misalnya bapak atau ibu dan sebagainya.

‫رحمن بن‬rr‫د ال‬rr‫فيان عن عب‬rr‫ع عن س‬rr‫حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وعلى بن محمد قاال حدثنا وكي‬
r‫اري‬rr‫نيف األنص‬rr‫اد بن ح‬rr‫ عن حكيم بن حكيم بن عب‬r‫زرقي‬rr‫ة ال‬rr‫الحارث بن عياش بن أبي ربيع‬
‫ال‬rr‫ه وارث إال خ‬rr‫ه وليس ل‬rr‫هم فقتل‬rr‫نيف أن رجالً رمى رجال يس‬rr‫عن أبي أمامة بن سهل بن ح‬
-‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ‫أن النّبي‬
ّ ‫فكتب في ذلك أبو عبيدة بن الجراح إلى عمر فكتب إليه عمر‬
. » ‫قال « هللا ورسوله مؤلى من ال مؤلى له والخال وارث من ال وارث له‬

Terjemahnya:

“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Shaibah


dan Ali bin Muhammad, keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami
Waki’ dari Sufyan dari Abdurrahman bin al-Harith bin ‘Ayyasi bin Abu Rabi’ah
al-Zuraqqi dari Hakim bin Hakim bin Abbad bin Huneif al-Ansari dari Abu
Umamah bin Sahl bin Huneif, seseorang melempar seorang laki-laki lain dengan
panahnya hingga membunuhnya, laki-laki ini tidak mempunyai ahli waris kecuali
saudara laki-laki ibunya (paman), kemudian Abu ‘Ubaidah mengirim surat
kepada Umar, dan Umar membalasnya bahwa Rasulllah SAW bersabda: “Allah
dan Rasulnya adalah wali bagi mereka yang tidak punya wali, dan saudara laki-
laki ibu(paman) menjadi ahli waris bagi yang tidak ada ahli warisnya.”(HR. Ibn
Majah)

Hadist di atas dipandang sebagai hadist Sahih. Kandungannya berisi


tentang kewarisan dhawi al-arham. Yaitu para kerabat yang tidak termasuk dalam
ahli waris penerima sisa dan penerima bagian tertentu berjumlah 12 rumpun 11.
Kelompok kerabat ini adalah mereka yang berhak memperoleh warisan jika dalam
kelompok kerabat penerima furud al-muqaddarah dan penerima sisa tidak ada

11
Ahmad al-‘Adawy, Ihda’ al-Dibajah bi Sharh Sunan Ibn Majah (Kairo: Maktabah Dar
al-Yaqin, t.th.), 23.

9
seorangpun yang tersisa mespkipun di sana masih terdapat suami atau istri.
Meskipun demikian ada di antara para ulama yang berpendapat bahwa dhawi al-
arham tidak berhak menerima harta waris meskipun kelompok ahli waris lain
tidak ada sama sakali, bahkan kalaupun ada kelebihan harta, menurut pendapat
ulama ini diberikan kepada bait al-mal dan bukan kepada dhawi al-arham, ulama
ini antara lain Zaid Ibn Tsabit dari kalangan sahabat, yang diikuti oleh Imam
Malik, al-Auza’i, al-Shafi’i dan sebagainya.

3. Ijtihad

Ijtihad dari segi istilah berarti menggunakan seluruh kemampuan dengan


semaksimal mungkin untuk menetapkan hukum syara` Orang yang berijtihad
disebut mujtahid. Ijtihad dapat dilakukan perorangan disebut ijtihad fardi, dan bila
dilakukansecara kolektif disebut Ijtihad jama`i. 12Dimuka telah disebutkan bahwa
ijtihad merupakan sumber hukum setelah Al-Qur„an dan As-Sunnah, dasar hukum
ijtihad sebagai sumber hukum adalah hadist Mu„adz ibnu Jabal ketikan Rasulullah
SAW, mengutus ke Yaman untuk menjadi hakim di Yaman.

Raulullah SAW bertanya: ―Dengan apa kamu menghukum? Ia


menjawab, Dengan apa yang ada dalam Kitab Allah, Bertanya Rasulullah: Jika
kamu tidak mendapatkannya dalam kitab Allah, Dia menjawab: Aku memutuskan
dengan apa yang diputuskan Rasulullah, Rasul bertanya lagi. Jika tidak
mendapatkan dalam ketetapan Rasulullah? Berkata Mu`adz, Aku berijtihad
dengan pendapatku. Rasulullah bersabda, aku bersyukur kepada Allah yang telah
menyepakati utusan dari Rasul-Nya13.

Ijtihad dalam hukum warisan sejak zaman dulu telah dilakukan oleh
umat Islam, kemudian yang menonjol adalah golongan Ahli Sunnah dan golongan
Syi„ah. Kemudian diIndonesia ijtihad hukum warisan ini dilakukan oleh Hazairin.
Dan hasil dari ijtihad akan dijelaskan dalam sub bab kemudian seperti yang telah
12
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Adat Bagi Umat Islam, (Jogyakarta :Perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1990), h 14.
13
Hadits ini dikutip dari buku Ilmu Ushul Fiqih Rahmad Syafi‟i, yang diterbitkan
Pustaka Setia Bandung, cet ke 3, h. 103.

10
disebutkan di muka. Perbedaan pokok diantara mereka ialah pada pemhaman
terhadap kedudukan perempuan dalam sistem hukum warisan. Hal ini dikarenakan
dasar analisis pengembangan hukum warisan yang diatur dalam Al-Qur`an
berbeda. Menurut Ahlu sunnah berdasarkan sistem patrilinel yang menjadi budaya
Arab sebelum Islam, sedangkan Syi„ah selain tersebut adanya suatu prinsip atas
dasar kepentingan perempuan14, sehingga kedudukan laki-laki dengan perempuan
saderajat. Sedangkan Hazairin atas dasar sistem bilateral atau parental yang
berprinsip kedudukan antara laki-laki dengan perempuan sama, sehingga
pandangan Syi„ah dan Hazairin hampir tidak jauh berbeda.

Di samping adanya perbedaan pandangan para ahli hukum Islam,


terdapat pula kesamaan dalam usaha menggali dan merumuskan pengembangan
hukum warisan Islam, yang disebut ijmak, baik berlaku secara formal atau ijmak
sarih maupun secara tidak formal atau ijmak sukuti. Ijmak sarih menurut
pandangan ahlu sunah ditempatkan kedudukan yang berssifat mengikat, 15

sebagaimana Kompilasi Hukum Islam yang merupakan ijmak sarih yang berupa
hasil Loka Karya para Ulama seta Cendikiawan Muslam seluruh Indonesia pada
tanggal 2 sampai dengan 5 Pebruari 1988, sebelum dikeluarkannya Intruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun
1991.

B. Hukum Kewarisan Nasional


1. Kompilasi Hukum Islam

Hukum kewarisan sebagaimana diatur, dalam KHI, pada dasarnya;


merupakan hukum kewarisan yang diarigkat dari pendapat jumhur fuqaha
(termasuk Syafi'iyyah di dalamnya). Namun dalam beberapa hal terdapat
pengecualian. Beberapa ketentuan hukum kewarisan yang merupakan
pengecualian tersebut antara lain, adalah yang berkaitan dengan masalah wasiat
wajibah, 'yakni mengenai anak atau orang tua angkat dan ahli waris pengganti;
14
Ahmad Siddik, Hukum Waris Islam dan Perkembangannya di seluruh DuniaIslam,
(Jakarta : Wijaya, 1980), h.7.
15
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, hal. 17

11
yang berkaitan dengan masalah naqishah (Radd), yaitu mengenai pengembalian
sisa harta peninggalan para ahli waris dan tentarig pengertian anak (walad).

Ketentuan wasiat wajibah kepada ahli waris yang orang tuanya telah ·
meninggal 'terlebih dahulu dari pewaris, pada hakikatnya, diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia sebagaimana termaktub dalam pasal di bawah ini.

Pasal185:

1) Ahli waris yang meninggallebih dahulu dari pada si pewaris maka


kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang
tersebut dalam pasal 173.
2) Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli
waris yang sederajat dengan yang diganti.

Pasal 185 di atas menunjukkan bahwa ahli waris yang orang tuanya telah
meninggal terlebih dahulu dari pewaris, ia menggantikan kedudukan orang tuanya
(penerima warisan, seandainya ia masih hidup). dalam menerima harta
peninggalan pewaris. Dalam keadaan dernikian, kedudukannya menjadi ahli waris
pengganti, sebagaimana dalam BW dikenal dengan istilah Plaatsvervulling.
Pemberian bagian kepada ahli waris pengganti (terutama bagi para cucu),
walaupun tidak seperti Plaatsvervulling dalam BW ini, sejalan dengan Doktrin
Mawali Hazirin dan cara succession perstrepsi dan prinsip representasi yang
dapat dipakai oleh golongan Syi'ah. Namun demikian, dalam pasal 185 ayat (2)
tersebut bagian ahli waris dibatasi, tidak boleh dilebihi bagian ahli waris yang
sederajat dengan ahli waris yang diganti.

Prinsip penggantian tempat (ahli waris pengganti) tersebut tidak dikenal


dan tidak dipergunakan oleh jumhur ulama, termasuk empat Imam Madzhab.
Namun demikian, khusus terhadap nasib para cucu yang orang tuanya telah
meninggal terlebih dahulu, oleh beberapa ulama tetap diperhatikan melalui
ketentuan wasiat wajibah, sebagaimana telah dituangkan dalam Kitab Undang-
undang Wasiat Mesir Nomor 71 Tahun 1946.

12
Pasal 185 KHI ini tidak menjelaskan bagaimana hubungan pewaris
dengan ahli waris yang digantikan. Ketentuan ini menjadikan pasal tersebut
bersifat fleksibel, artinya setiap ahli waris yang meninggal terlebih dahulu
sebelum pewaris, kedudukan ahli waris tersebut digantikan oleh anaknya.
Ketentuan ini tentu dengan memperhatikan norma-norma yang berlaku dalam
hukum kewarisan, seperti terdapatnya. hubungan yang menyebabkan seseorang
bisa menjadi ahli waris dari pewaris.

Begitu pula dalam hal bagian yang akan diberikan kepada ahli waris
pengganti tidak dijelaskan oleh KHI. Apakah bagian yang akan diberikan kepada
mereka akan mengurangi seluruh bagian ahli waris sehingga seakan-akan terjadi
'aul, seperti cara penghitungan yang dilakukan oleh Hasanain Muhammad
Makhluf16, atau hanya mengurangi bagian dari kelompok tertentu (kelompok yang
sederajat dengan ahli waris yang digantikan), dengan menganggap seolah-olah
ahli waris yang digantikan masih hidup, seperti konsep Mawali Hazairin 17, atau
memberikan ahli waris pengganti tersebut bagian yang seharusnya diterima oleh
ahli waris yang digantikannya (maksimal sepertiga bagian), kemudian
memberikan sisanya kepada ahli waris lainnya sesuai kadar bagian masing-
masing, seperti cara penyelesaian Hasbi, Ash-Shiddiqy18, atau memberikan
sepertiga bagian pada ahli waris pengganti, dan kemudian sisanya diberikan
kepada ahli waris lainnya sesuai, kadar bagian masing-masing, seperti konsep
Syahatah al-Husaini.19

Ketidak jelasan pasal tersebut di atas, tentunya menyebabkan masih


rancunya pemahaman para hakim terhadap ketentuan ahli waris pengganti yang

16
Hasanain Muhammad Makhluf, AI-Mawarits fi ai-Syari'at ai-Islamtyah, (Kairo:
Lajnah al-Bayan al-Araby, 1958), 62.
17
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurnt Qur'an dan Hadits, (jakarta:
Tintamas, 1982), hal.24-29
18
Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawarits, Qakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 299-300.
19
Suparman Usman, Wasiat Wajibah , Uraian Singkat Wasiat Wajibah dan
Hubungannya dengan plaatservulling dalam BW, (Serang: Fakultas Syari'ah lAIN Sunan Gunung
Djati, 1988), hal. 166.

13
berakibat terjadinya disparitas (perbedaan) produk hukum yang keluar dari
Pengadilan Agama. Walaupun anak atau orang tua angkat, menurut hukum
kewarisan Islam bukan ahli waris, para pembuat KHI tampaknya memandang
perlu memberi bagian kepada mereka melalui wasiat wajibah. Hal ini
dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada. mereka dalam
mendapatkan sebagian harta peninggalan anaka atau orang tua angkatnya,
manakala mereka tidak mendapat/menerima wasiat dari orang tua atau anak
angkatnya.

Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, perihal anak atau orang tua
angkat ini dapat dilihat dari pasal-pasal di bawah ini.

Pasal 171 (h):

Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya
sehari-hari , biaya pendidikan, dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari
orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan.

Pasal 209:

a) Harta Peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai


dengan 193 tersebut diatas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang
tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari
harta warisan anak angkatnya.
b) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

Dari uraian di atas, dapatlah dipahami bahwa Kompilasi Hukum Islam di


Indonesia telah memberlakukan/memberikan ketentuan wasiat wajibah kepada
ahli waris yang orang tuanya telah lebih dahulu meninggal dunia dari pada
pewaris, yakni dalam kedudukannya sebagai ahli waris pengganti, dan kepada
anak atau onmg tua angkat yang tidak mendapatkan atau tidak diberi wasiat oleh
orang tua atau anak angkatnya. Namun demikian, pemberian wasiat wajibah

14
kepadaanak atau orang tua angkat, justru lebih mendapat penekanan/perhatian dari
para pembuat KHI.

Dalam masalah naqishah (Radd), KHI mengikuti pendapat Utsman ibn


Affan yang menyatakan bahwa apabila dalam pembagian harta warisan terjadi
kelebihan harta, maka kelebihan tersebut dikembalikan kepada seluruh ahli waris,
tanpa terkecuali. Hal ini sebagaimana termaktub dalam pasal 193:

"Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli waris


dzawil furudh menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil dari pada
penyebut, sedangkan tidak ada waris ashabah, maka pembagian harta warisan
tersebut dilakukan secara radd, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli
waris, sedang sisanya dibagi berimbang di antara mereka"

Sikap tegas yang ditempuh KHI yang hanya memberikan satu pilihan, agar
dalam menyelesaikan pembagian warisan tidak menimbulkan keraguan bagi
pihak-pihak yang mempedomaninya, sedangkan menurut jumhur fuqaha, suami
atau istri tidak berhak menerima radd.

Dalam meriafsirkan kata-kata walad pada ayat 176 surat al-Nisa,


Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, agaknya mengambil pendapat Ibnu Abbas
yang berpendapat, pengertiannya mencakup baik anak laki-laki maupun anak
perempuan. Karenanya, selama masih ada anak, baik laki-laki maupun
perempuan, maka hak waris dari orang-orang yang mempunyai hubungan darah
dengan pewaris, kecuali orang tua suami atau isteri menjadi terhijab. Hal ini
tersirat dari ketentuan pasal di bawah ini:

Pasal 182:

“Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak, sedang ia


mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat
separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara
perempuan sekandung atau seayah dua orang atau lebib, maka mereka bersama-
sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-

15
sama dengan saudara laki-laki sekandung atau seayah, maka bagian saudara
laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan.”

Jadi selama masih ada anak, (walaupun perempuan) seluruh saudara


pewaris, baik sekandung maupun sebapak, laki-laki maupun perempuan, tidak
dapat mendapat warisan.

2. KUH Perdata

Dasar hukum seseorang ahli waris mewarisi sejumlah harta pewaris


menurut sistem hukum waris Hukum Perdata (BW) ada dua cara, yaitu:

a) Menurut ketentuan undang-undang (ab intestato) Undang-undang


berprinsip bahwa seseorang bebas menentukan kehendaknya tentang harta
kekayaannya setelah ia meninggal dunia, namun bila ternyata orang
tersebut tidak menentukan sendiri ketika masih hidup maka undang-
undang kembali akan menentukan perihal pengaturan harta yang
ditinggalkan seseorang tersebut. Ahli waris menurut undang-undang
berdasarkan hubungan darah, terdapat empat golongan, yaitu:
1) Golongan I: keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak dan
keturunan mereka beserta suami atau isteri yang hidup paling lama.
2) Golongan II: keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan
saudara, baik laki-laki maupun perempuan serta keturunan mereka.
3) Golongan III: kakek, nenek dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris.
4) Golongan IV: anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak
keluarga lainnya sampai derajat keenam.

Undang-undang tidak membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan,


juga tidak membedakan urutan kelahiran. Hanya ada ketentuan bahwa ahli waris
golongan pertama jika masih ada maka akan menutup hak anggota keluarga
lainnya dalam garis lurus ke atas maupun ke samping. Demikian pula, golongan
yang lebih tinggi derajatnya menutup yang lebih rendah derajatnya.

b) Ditunjuk dalam surat wasiat (testamen)

16
Surat wasiat (testamen) merupakan suatu pernyataan tentang apa yang
dikehendaki setelah ia meninggal dunia20. Sifat utama surat wasiat adalah
mempunyai kekuatan berlaku setelah pembuat surat wasiat meninggal dunia dan
tidak dapat ditarik kembali. Ahli waris menurut surat wasiat jumlahnya tidak tentu
sebab bergantung pada kehendak si pembuat wasiat. Dari kedua macam ahli waris
tersebut, ahli waris yang diutamakan adalah ahli waris menurut undang-undang.
Hal ini terbukti beberapa peraturan yang membatasi kebebasan seseorang untuk
membuat surat wasiat agar tidak sekehendak hatinya, yaitu Pasal 881 ayat (2),
yaitu “suatu pengangkatan waris atau pemberian hibah, pihak yang mewariskan
atau pewaris tidak boleh merugikan para ahli warisnya yang berhak atas sesuatu
bagian mutlak”

3. Hukum Waris Adat

Pandangan hukum adat terhadap hukum kewarisan sangat ditentukan


oleh persekutuan hukum adat itu sendiri. Beberapa persekutuan itu diantaranya
pertama persekutuan genealogis (berdasarkan keturunan) dan persekutuan
territorial (berdasarkan kependudukan yakni persekutuan hukum teritorial).

Dalam persekutuan yang geneologis, anggota-anggotanya merasa diri


terikat satu sama lain, karena mereka berketurunan dari nenek moyang yang sama,
sehingga diantara mereka terdapat hubungan keluarga. Sementara persatuan
hukum territorial anggota-anggotanya merasa terikat satu sama lain karena mereka
bertempat kedudukan di suatu daerah yang sama.

Persekutuan genelogis disebut desa atau gampong di Aceh dan sebagian


daerah melayu Sumatera. Sedangkan persekutuan hukum yang dipengaruhi
teritorial dan geneologis terdapat di beberapa daerah seperti Mentawai yang
disebut Uma, di Nias disebut Euri di Minangkabau disebut dengana Nagari dan di
Batak disebut Kuria atau Huta. Dalam persekutuan geneologis ini terbagi pula
menjadi tiga tipe tata susunan yaitu patrilineal (kebapaan), matrilineal (keibuan)
dan parental (bapak-ibu).

20
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1985), h.78

17
Menurut sistem patrilineal ini keturunan diambil dari garis bapak, yang
merupakan pancaran dari bapak asal dan menjadi penentu dalam keturunan anak
cucu. Dalam hal ini perempuan tidak menjadi saluran darah yang menghubungkan
keluarga. Wanita yang kawin dengan laki-laki ikut dengan suaminya dan anaknya
menjadi keluarga ayahnya. Sistem pertalian seperti ini terjadi di Nias, Gayo,
Batak dan sebagian di Lampung, Bengkulu, Maluku dan Timor. Dalam hukum
waris, persekutuan ini lebih mementingkan keturunan anak laki-laki daripada anak
perempuan.

Sementara matrilineal adalah keturunan yang berasal dari Ibu, sehingga


yang menjadi ukuran hanyalah pertalian darah dari garis ibu yang menjadi ukuran
dan merupakan suatu persekutuan hukum. Wanita yang kawin tetap tinggal dan
termasuk dalam gabungan keluarga sendiri, sedangkan anak-anak mereka masuk
dalam keturunan ibunya. Sistem matrilineal ini terdapat di Minangkabau, Kerinci,
Semendo dan beberapa daerah Indonesia Timur. Sesuai dengan persekutuannya,
matrilineal lebih menghargai ahli waris dari pihak perempuan daripada ahli waris
dari pihak laki-laki. Selama masih ada anak perempuan, anak laki-laki tidak
mendapatkan tirkah.

Sedangkan yang terakhir, pertalian darah dilihat dari kedua sisi, bapak
dan ibu serta nenek moyang. Kedua keturunan sama-sama penting bagi persekutan
ini (bilateral). Golongan masyarakat inilah yang meletakkan dasar-dasar
persamaan kedudukan antar suami dan isteri di dalam keluarga masing-masing21.

Di dalam hukum waris adat dikenal beberapa prinsip yaitu:

1) Prinsip asas umum yang menyatakan “Jika pewarisan tidak dapat


dilaksanakan secara menurun, maka warisan ini dilakukan secara keatas
atau kesamping. Artinya yang menjadi ahli waris ialah pertama-tama anak
laki atau perempuan dan keturunan mereka. Kalau tidak ada anak atau
keturunan secara menurun, maka warisan itu jatuh pada ayah, nenek dan
seterusnya keatas. Kalau ini juga tidak ada, yangmewarisi adalah saudara-

21
Sudarsono.Hukum Waris dan Sistem Bilateral.Jakarta : Rineka Cipta.1991. h. 6.

18
saudara sipeninggal harta dan keturunan mereka yaitu keluarga sedarah
menurut garis kesamping, dengan pengertian bahwa keluarga yang
terdekat mengecualikan keluarga yang jauh.
2) Prinsip penggantian tempat (Plaats Vervulling) yang menyatakan bahwa
jika seorang anak sebagai ahli waris dari ayahnya, dan anak tersebut
meninggal dunia maka tempat dari anak itu digantikan oleh anak-anak dari
yang meninggal dunia tadi (cucu dari sipeninggal harta). Dan warisan dari
cucu ini adalah sama dengan yang akan diperoleh ayahnya sebagai bagian
warisan yang diterimanya. Dikenal adanya lembaga pengangkatan anak
(adopsi), dimana hak dan kedudukan juga bisa seperti anak sendiri
(Kandung)

Pembagian harta warisan menurut hukum adat umumnya tidak


menentukan kapan waktu harta warisan itu akan dibagi atau kapan sebaiknya
diadakan pembagian, begitu pula siapa yang menjadi juru bagi tidak ada
ketentuannya. Menurut adat kebiasaan waktu pembagian setelah wafat pewaris
dapat dilaksanakan setelah upacara sedekeh atau selamatan yang disebut tujuh
hari, empat puluh hari, seratus hari, atau seribu hari setelah pewaris wafat. Sebab
pada waktu-waktu tersebut para anggota waris berkumpul.

C. Hubungan Sumber Hukum Kewarisan Islam dengan Hukum Kewarisan


Nasional

Hubungan antara sumber hukum kewarisan islam dengan hukum


kewarisan nasional yaitu adanya kesamaan yang disebabkan karena pola dan
kebutuhan masyarakat yang universal itu adalah sama, sedangkan perbedaan-
perbedaan itu disebabkan karena cara berfikir orang-orang barat adalah abstrak,
analistis dan sistematis, dan pandangan hidup mereka adalah individulaistis dan
materialistis, sedangkan hukum Islam dilatar belakangi oleh cara berfikir yang
logis, riil dan konkrit, dan pandangan hidup dalam hukum Islam didasarkan pada
sistem kekeluargaan dan bersifat rohani (magis).

19
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Agama Islam merupakan mayoritas agama yang dianut oleh warga
negara Indonesia, maka sistem hukum kewarisan Islam menjadi salah satu sistem
hukum yang berlaku di Indonesia. Hukum kewarisan Islam merupakan nilai-nilai
agama Islam yang telah diyakini umatnya, kemudian dijadikan sistem kehidupan
untuk mengatur hubungan sesama manusia, yang selanjutnya menjadi sistem
hukum kewarisan. Sistem hukum warisan Islam sebagai bagian dari sistem
syari„at merupakan dalam aspek sistem hukum mu„amalah atau juga dalam
lingkungan hukum perdata. Dalam ajaran Islam hukum warisan ini tidak dapat
dipisahkan dengan hukum Islam dan ibadah Karenanya dalam penyusunan

20
kaidah-kaidah hukum warisan harus berdasarkan sumber-sumber hukum Islam
seperti hukum-hukum Islam yang lainnya.

1. Sumber Hukum kewarisan Islam

Sumber-sumber hukum warisan Islam adalah pertama al-Qur’an, kedua


Sunnah Rasulullah SAW, dan yang ketiga ialah ijtihad para ahli hukum Islam.
Dengan adanya kekurangjelasan ayat-ayat Al-Qur„an tersebut memberikan
lapangan yang luas bagi akal manusia untuk menggali hukum berdasarkan kepada
ayat-ayat Al-Qur„an dan Hadist Rasulullah SAW. Selain itu kemungkinan
munculnya faktor lain, seperti pengetahuan masyarakat dalam hal hukum
kewarisan, meskipun masyarakat telah memeluk agama Islam.

Dimuka telah disebutkan bahwa ijtihad merupakan sumber hukum


setelah AlQur„an dan As-Sunnah, dasar hukum ijtihad sebagai sumber hukum
adalah hadist Mu„adz ibnu Jabal ketikan Rasulullah SAW, mengutus ke Yaman
untuk menjadi hakim di Yaman. Ijtihad dalam hukum warisan sejak zaman dulu
telah dilakukan oleh umat Islam, kemudian yang menonjol adalah golongan Ahli
Sunnah dan golongan Syi„ah. Kemudian di Indonesia ijtihad hukum warisan ini
dilakukan oleh Hazairin. Dan hasil dari ijtihad akan dijelaskan dalam sub bab
kemudian seperti yang telah disebutkan di muka.

2. Sumber Hukum Kewarisan Nasional

Hukum kewarisan sebagaimana diatur, dalam KHI, pada dasarnya;


merupakan hukum kewarisan yang diarigkat dari pendapat jumhur fuqaha
(termasuk Syafi'iyyah di dalamnya). Namun dalam beberapa hal terdapat
pengecualian. Beberapa ketentuan hukum kewarisan yang merupakan
pengecualian tersebut antara lain, adalah yang berkaitan dengan masalah wasiat
wajibah, 'yakni mengenai anak atau orang tua angkat dan ahli waris pengganti;
yang berkaitan dengan masalah naqishah (Radd), yaitu mengenai pengembalian
sisa harta peninggalan para ahli waris dan tentarig pengertian anak (walad).

21
Hukum kewarisan adat adalah peralihan harta kekayaan dari seseorang
yang telah meninggal dunia kepada seseorang yang masih hidup, peralihan
tersebut pada waktu seorang yang telah meninggal dunia, baik masih hidup
ataupun setelah meninggal dunia.

3. Hubungan Sumber Hukum Kewarisan Islam dengan Hukum


Kewarisan Nasional

Hubungan antara sumber hukum kewarisan islam dengan hukum


kewarisan nasional yaitu adanya kesamaan yang disebabkan karena pola dan
kebutuhan masyarakat yang universal itu adalah sama, sedangkan perbedaan-
perbedaan itu disebabkan karena cara berfikir orang-orang barat adalah abstrak,
analistis dan sistematis, dan pandangan hidup mereka adalah individulaistis dan
materialistis, sedangkan hukum Islam dilatar belakangi oleh cara berfikir yang
logis, riil dan konkrit, dan pandangan hidup dalam hukum Islam didasarkan pada
sistem kekeluargaan dan bersifat rohani (magis).

B. Saran
Demikianlah makalah ini kami susun, kami sadar bahwa masih banyak
kesalahan dan kekurangan baik dalam penyusunan maupun penyampaian dalam makalah
ini. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna
memperbaiki penyusunan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
semua orang.

22
DAFTAR PUSTAKA

Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta:


Kencana, 2011), 17.

Syarifuddin Amir, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), 6.

Salman Otje, Hukum Waris Islam, (Bandung : Aditama, 2006), 6.

Syarifuddin Amir, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Kencana, 2004), 3.

Ibid,. 4

Dja’far, “Kewarisan”, Ensiklopedi, 106. Lihat juga dalam, Rofiq, Fiqh Mawaris,
8.

23
Kementerian Agama, Al-Qur’an &Terjemahnya (Jakarta: PT. Lentera Abadi,
2011), 78.

QS. Al-Nisa;4 (11), dan terjemahnya

QS. Al-Nisa;4 (12), dan terjemahnya

QS. Al-Nisa;4 (176), dan terjemahnya

Adawy Ahmad al-‘, Ihda’ al-Dibajah bi Sharh Sunan Ibn Majah (Kairo: Maktabah
Dar al-Yaqin, t.th.), 23.

Azhar Ahmad Basyir, Hukum Adat Bagi Umat Islam, (Jogyakarta :Perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1990), h 14.

Hadits ini dikutip dari buku Ilmu Ushul Fiqih Rahmad Syafi‟i, yang diterbitkan
Pustaka Setia Bandung, cet ke 3, h. 103.

Siddik Ahmad, Hukum Waris Islam dan Perkembangannya di seluruh


DuniaIslam, (Jakarta : Wijaya, 1980), h.7.

Syarifuddin Amir, Hukum Kewarisan Islam, hal. 17

Muhammad Hasanain Makhluf, AI-Mawarits fi ai-Syari'at ai-Islamtyah, (Kairo:


Lajnah al-Bayan al-Araby, 1958), 62.

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurnt Qur'an dan Hadits, (jakarta:


Tintamas, 1982), hal.24-29

Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawarits, Qakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 299-
300.

Usman Suparman, Wasiat Wajibah , Uraian Singkat Wasiat Wajibah dan


Hubungannya dengan plaatservulling dalam BW, (Serang: Fakultas
Syari'ah lAIN Sunan Gunung Djati, 1988), hal. 166.

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1985), h.78

Sudarsono. Hukum Waris dan Sistem Bilateral. Jakarta : Rineka Cipta.1991. h. 6.

24

Anda mungkin juga menyukai