Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hukum Kewarisan
Islam 1 Program Studi Hukum Keluarga Islam
Dosen Muammar Hasri, M.H
20 HKI 3
Oleh:
NURFAHMI
742302020068
ISTIQAMAH
742302020074
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas yang berjudul “Sumber
Hukum Kewarisan Islam Dan Hubungannya Dengan Hukum Kewarisan
Nasional” Ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dari Dosen Dosen Muammar Hasri, M.H pada tugas mata kuliah Hukum
Kewarisan Islam 1 program studi Hukum Keluarga Islam, fakultas Syariah dan
Hukum Islam. Selain itu, tugas ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang bagaimana hubungan sumber hukum kewarisan islam dengan hukum
kewarisan nasional.
Saya ucapkan terimah kasih kepada Dosen Muammar Hasri, M.H selaku
dosen mata kuliah Hukum Kewarisan Islam 1 yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi
yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
ini. Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna
Oleh karena itu, kritik dan saran nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Kelompok 3
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................ii
BAB I
PENDAHULUAN.................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................2
C. Tujuan....................................................................................................2
BAB II
PEMBAHASAN...................................................................................................3
BAB III
PENUTUP...........................................................................................................21
A. Simpulan................................................................................................21
B.Saran........................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................24
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2011), 17.
2
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), 6.
3
Otje Salman, Hukum Waris Islam, (Bandung : Aditama, 2006), 6.
1
berhak menjadi ahli waris dan masing-masing bagiannya. Dasar hukum kewarisan
yang kedua yaitu dasar hukum yang terdapat dalam hadits.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana sumber hukum kewarisan islam?
2. Bagaimana sumber hukum kewarisan nasional?
3. Bagaimana hubungan sumber hukum kewarisan islam dengan sumber
hukum kewarisan nasional?
C. Tujuan Makalah
Dalam sebuah penelitian tentunya mempunyai tujuan dan maksud
tertentu yang mendasarinya adapun berikut ini adalah tujuan dari penelitian:
1. Untuk mengetahui legislasi sumber hukum kewarisan islam;
2. Untuk mengetahui sumber hukum kewarisan nasional;
3. Untuk mengetahui hubungan sumber hukum kewarisan islam dengan
sumber hukum kewarisan nasional.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Hukum waris dalam Islam diatur secara tegas melalui sumber hukum
utama, yaitu al-Qur’an dan hadisth. Meskipun demikian tidak menutup
kemungkinan adanya cara pembagian, jumlah bagian, siapa yang berhak
menerimanya sesuai dengan pandangan tradisi dan kearifan lokal. Karena itu
penerapan hukum waris Islam selalu memunculkan wacana baru yang
berkelanjutan di kalangan para pemikir hukum Islam, sehingga membutuhkan
rumusan hukum dalam bentuk ajaran yang bersifat normatif. Dalam konteks umat
Islam di Indonesia, hukum waris sudah menjadi hukum positif yang digunakan
oleh para hakim di pengadilan agama untuk memutuskan suatu perkara
pembagian harta warisan5.
4
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Kencana, 2004), 3.
5
Ibid,. 4
3
karena kekuatanfisik dan keharusan laki-laki dan dewasa menjadi tolok ukur
utamanya6.
ك ْال َوا لِ ٰد ِن َوا اْل َ ْق َربُوْ نَ ِم َّما ِ َك ْال َوا لِ ٰد ِن َوا اْل َ ْق َربُوْ نَ ۖ َولِلنِّ َسٓا ِء ن
َ صيْبٌ ِّم َّما ت ََر َ صيْبٌ ِّم َّما تَ َر
ِ َلِلرِّ َجا ِل ن
ص ْيبًا َّم ْفرُوْ ضًا
ِ َقَ َّل ِم ْنهُ اَوْ َكثُ َر ۗ ن
Terjemahnya:
6
Dja’far, “Kewarisan”, Ensiklopedi, 106. Lihat juga dalam, Rofiq, Fiqh Mawaris, 8.
7
Kementerian Agama, Al-Qur’an &Terjemahnya (Jakarta: PT. Lentera Abadi, 2011),
78.
4
اrrا َمrrَق ْاثنَتَي ِْن فَلَه َُّن ثُلُث َ ْوrrَٓا ًء فrاِ ْن ُك َّن نِ َسrَ ظِّ ااْل ُ ْنثَيَ ْي ِن ۚ فr ُل َحrذ َك ِر ِم ْثr َّ rص ْي ُك ُم هّٰللا ُ فِ ۤ ْي اَوْ اَل ِد ُك ْم لِل
ِ ْيُو
َا نrrركَ اِ ْن َكr َ rَ ُدسُ ِم َّما تrالس ُّ َت َوا ِح َدةً فَلَهَا النِّصْ فُ ۗ وَاِل َ بَ َو ْي ِه لِ ُك ِّل َوا ِح ٍد ِّم ْنهُ َما ْ ْن َكا نrِۚ وا َ َتَ َرك
ث ۗ فَاِ ْن َكا نَ لَهٗۤ اِ ْخ َوةٌ فَاِل ُ ِّم ِه ال ُّس ُدسُ ِم ۢ ْن بَ ْع ِد ُ ُلَهٗ َولَ ٌد ۚ فَاِ ْن لَّ ْم يَ ُك ْن لَّهٗ َولَ ٌد َّو َو ِرثَهٗۤ اَبَ ٰوهُ فَاِل ُ ِّم ِه الثُّل
َةً ِّمنrْض َ ا ۗ فَ ِريrrربُ لَـ ُك ْم نَ ْف ًعr َ r ْدرُوْ نَ اَيُّهُ ْم اَ ْقrَٓا ُؤ ُك ْم ۚ اَل تrrَٓا ُؤ ُك ْم َواَ ْبنrrَص ْي بِهَ ۤا اَوْ َد ْي ٍن ٰۗ اب ِ ْصيَّ ٍة يُّو ِ َو
هّٰللا ِ ۗ اِ َّن هّٰللا َ َكا نَ َعلِ ْي ًما َح ِك ْي ًما
Terjemahnya:
8
QS. Al-Nisa;4 (11), dan terjemahnya
5
mereka, yang berimplikasi pada ketentuan bagian yang diperoleh oleh masing-
masing bapak atau ibu.
َ rَ ُع ِم َّما تr ُك اَ ْز َوا ُج ُك ْم اِ ْن لَّ ْم يَ ُك ْن لَّه َُّن َولَ ٌد ۚ فَاِ ْن َكا نَ لَه َُّن َولَ ٌد فَلَـ ُك ُم الرُّ ب
َر ْكنr َ َولَـ ُك ْم نِصْ فُ َما ت ََر
ْن َكا نَ لَـ ُك ْمrِص ْينَ بِهَ ۤا اَوْ َد ْي ٍن ۗ َولَه َُّن الرُّ بُ ُع ِم َّما تَ َر ْكتُ ْم اِ ْن لَّ ْم يَ ُك ْن لَّ ُك ْم َولَ ٌد ۚ فَا ِ ِم ۢ ْن بَ ْع ِد َو
ِ ْصيَّ ٍة يُّو
ًةrَث َك ٰللُ ٌل يُّوْ َرrا نَ َر ُجrrا اَوْ َد ْي ٍن ۗ َواِ ْن َكrۤ rَصيَّ ٍة تُوْ صُوْ نَ بِه ِ َولَ ٌد فَلَه َُّن الثُّ ُمنُ ِم َّما تَ َر ْكتُ ْم ِّم ۢ ْن بَ ْع ِد َو
َر َكٓا ُء فِىr ت فَلِ ُك ِّل َوا ِح ٍد ِّم ْنهُ َما ال ُّس ُدسُ ۚ فَاِ ْن َكا نُ ۤوْ ا اَ ْكثَ َر ِم ْن ٰذلِكَ فَهُ ْم ُش ٌ اَ ِو ا ْم َراَ ةٌ َّولَهٗۤ اَ ٌخ اَوْ اُ ْخ
صيَّةً ِّمنَ هّٰللا ِ ۗ َوا هّٰلل ُ َعلِ ْي ٌم َحلِ ْي ٌم
ِ ۚ و
َ ٍّضٓا ر َ بِهَ ۤا اَوْ َد ي ٍْن ۙ َغي َْر ُمrصى ٰ ْصيَّ ٍة يُّو ِ ث ِم ۢ ْن بَ ْع ِد َوِ ُالثُّل
Terjemahnya:
9
QS. Al-Nisa;4 (12), dan terjemahnya
6
Ayat di atas menjelaskan hak-hak bagian suami (duda) ketika istrinya
meninggal dunia terlebih dahulu dengan memperhatikan kondisi yang berbeda
antara sang istri meninggalkan anak dengan tidak meninggalkan anak. Begitu pula
sebaliknya, ayat tersebut menjelaskan hak bagian istri (janda) jika suatu ketika
ditinggal mati suaminya yang juga memperhatikan kondisi dan keberadaan anak-
anak yang ditinggalkan.
Terjemahnya:
7
perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua
saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak
sesat. Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”(QS. al-Nisa’: 176).10
2. As-Sunnah
حدثنا موسى بن إسماعيل حدثنا وهيب حدثنا ابن طاوس عن أبيه عن ابن عباس – رضي هللا
وrا بقي فهr فم، اrرائض بأهلهrوا الفrال « ألحقr ق- لمrه وسrلى هللا عليr ص- بيr عن الن- عنهما
ألولى رجل ذكر
8
Muqaddarah) menjadi memperoleh bagian sisa (‘as abah) jika bersama dengan
anak laki-laki dengan bagian antara anak laki-laki dan anak perempuan 2 : 1
setelah sebelumnya diberikan bagian-bagian tertentu kepada ahli waris lain yang
menyertainya, misalnya bapak atau ibu dan sebagainya.
رحمن بنrrد الrrفيان عن عبrrع عن سrrحدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وعلى بن محمد قاال حدثنا وكي
rاريrrنيف األنصrrاد بن حrr عن حكيم بن حكيم بن عبrزرقيrrة الrrالحارث بن عياش بن أبي ربيع
الrrه وارث إال خrrه وليس لrrهم فقتلrrنيف أن رجالً رمى رجال يسrrعن أبي أمامة بن سهل بن ح
- صلى هللا عليه وسلم- أن النّبي
ّ فكتب في ذلك أبو عبيدة بن الجراح إلى عمر فكتب إليه عمر
. » قال « هللا ورسوله مؤلى من ال مؤلى له والخال وارث من ال وارث له
Terjemahnya:
11
Ahmad al-‘Adawy, Ihda’ al-Dibajah bi Sharh Sunan Ibn Majah (Kairo: Maktabah Dar
al-Yaqin, t.th.), 23.
9
seorangpun yang tersisa mespkipun di sana masih terdapat suami atau istri.
Meskipun demikian ada di antara para ulama yang berpendapat bahwa dhawi al-
arham tidak berhak menerima harta waris meskipun kelompok ahli waris lain
tidak ada sama sakali, bahkan kalaupun ada kelebihan harta, menurut pendapat
ulama ini diberikan kepada bait al-mal dan bukan kepada dhawi al-arham, ulama
ini antara lain Zaid Ibn Tsabit dari kalangan sahabat, yang diikuti oleh Imam
Malik, al-Auza’i, al-Shafi’i dan sebagainya.
3. Ijtihad
Ijtihad dalam hukum warisan sejak zaman dulu telah dilakukan oleh
umat Islam, kemudian yang menonjol adalah golongan Ahli Sunnah dan golongan
Syi„ah. Kemudian diIndonesia ijtihad hukum warisan ini dilakukan oleh Hazairin.
Dan hasil dari ijtihad akan dijelaskan dalam sub bab kemudian seperti yang telah
12
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Adat Bagi Umat Islam, (Jogyakarta :Perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1990), h 14.
13
Hadits ini dikutip dari buku Ilmu Ushul Fiqih Rahmad Syafi‟i, yang diterbitkan
Pustaka Setia Bandung, cet ke 3, h. 103.
10
disebutkan di muka. Perbedaan pokok diantara mereka ialah pada pemhaman
terhadap kedudukan perempuan dalam sistem hukum warisan. Hal ini dikarenakan
dasar analisis pengembangan hukum warisan yang diatur dalam Al-Qur`an
berbeda. Menurut Ahlu sunnah berdasarkan sistem patrilinel yang menjadi budaya
Arab sebelum Islam, sedangkan Syi„ah selain tersebut adanya suatu prinsip atas
dasar kepentingan perempuan14, sehingga kedudukan laki-laki dengan perempuan
saderajat. Sedangkan Hazairin atas dasar sistem bilateral atau parental yang
berprinsip kedudukan antara laki-laki dengan perempuan sama, sehingga
pandangan Syi„ah dan Hazairin hampir tidak jauh berbeda.
sebagaimana Kompilasi Hukum Islam yang merupakan ijmak sarih yang berupa
hasil Loka Karya para Ulama seta Cendikiawan Muslam seluruh Indonesia pada
tanggal 2 sampai dengan 5 Pebruari 1988, sebelum dikeluarkannya Intruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun
1991.
11
yang berkaitan dengan masalah naqishah (Radd), yaitu mengenai pengembalian
sisa harta peninggalan para ahli waris dan tentarig pengertian anak (walad).
Ketentuan wasiat wajibah kepada ahli waris yang orang tuanya telah ·
meninggal 'terlebih dahulu dari pewaris, pada hakikatnya, diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia sebagaimana termaktub dalam pasal di bawah ini.
Pasal185:
Pasal 185 di atas menunjukkan bahwa ahli waris yang orang tuanya telah
meninggal terlebih dahulu dari pewaris, ia menggantikan kedudukan orang tuanya
(penerima warisan, seandainya ia masih hidup). dalam menerima harta
peninggalan pewaris. Dalam keadaan dernikian, kedudukannya menjadi ahli waris
pengganti, sebagaimana dalam BW dikenal dengan istilah Plaatsvervulling.
Pemberian bagian kepada ahli waris pengganti (terutama bagi para cucu),
walaupun tidak seperti Plaatsvervulling dalam BW ini, sejalan dengan Doktrin
Mawali Hazirin dan cara succession perstrepsi dan prinsip representasi yang
dapat dipakai oleh golongan Syi'ah. Namun demikian, dalam pasal 185 ayat (2)
tersebut bagian ahli waris dibatasi, tidak boleh dilebihi bagian ahli waris yang
sederajat dengan ahli waris yang diganti.
12
Pasal 185 KHI ini tidak menjelaskan bagaimana hubungan pewaris
dengan ahli waris yang digantikan. Ketentuan ini menjadikan pasal tersebut
bersifat fleksibel, artinya setiap ahli waris yang meninggal terlebih dahulu
sebelum pewaris, kedudukan ahli waris tersebut digantikan oleh anaknya.
Ketentuan ini tentu dengan memperhatikan norma-norma yang berlaku dalam
hukum kewarisan, seperti terdapatnya. hubungan yang menyebabkan seseorang
bisa menjadi ahli waris dari pewaris.
Begitu pula dalam hal bagian yang akan diberikan kepada ahli waris
pengganti tidak dijelaskan oleh KHI. Apakah bagian yang akan diberikan kepada
mereka akan mengurangi seluruh bagian ahli waris sehingga seakan-akan terjadi
'aul, seperti cara penghitungan yang dilakukan oleh Hasanain Muhammad
Makhluf16, atau hanya mengurangi bagian dari kelompok tertentu (kelompok yang
sederajat dengan ahli waris yang digantikan), dengan menganggap seolah-olah
ahli waris yang digantikan masih hidup, seperti konsep Mawali Hazairin 17, atau
memberikan ahli waris pengganti tersebut bagian yang seharusnya diterima oleh
ahli waris yang digantikannya (maksimal sepertiga bagian), kemudian
memberikan sisanya kepada ahli waris lainnya sesuai kadar bagian masing-
masing, seperti cara penyelesaian Hasbi, Ash-Shiddiqy18, atau memberikan
sepertiga bagian pada ahli waris pengganti, dan kemudian sisanya diberikan
kepada ahli waris lainnya sesuai, kadar bagian masing-masing, seperti konsep
Syahatah al-Husaini.19
16
Hasanain Muhammad Makhluf, AI-Mawarits fi ai-Syari'at ai-Islamtyah, (Kairo:
Lajnah al-Bayan al-Araby, 1958), 62.
17
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurnt Qur'an dan Hadits, (jakarta:
Tintamas, 1982), hal.24-29
18
Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawarits, Qakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 299-300.
19
Suparman Usman, Wasiat Wajibah , Uraian Singkat Wasiat Wajibah dan
Hubungannya dengan plaatservulling dalam BW, (Serang: Fakultas Syari'ah lAIN Sunan Gunung
Djati, 1988), hal. 166.
13
berakibat terjadinya disparitas (perbedaan) produk hukum yang keluar dari
Pengadilan Agama. Walaupun anak atau orang tua angkat, menurut hukum
kewarisan Islam bukan ahli waris, para pembuat KHI tampaknya memandang
perlu memberi bagian kepada mereka melalui wasiat wajibah. Hal ini
dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada. mereka dalam
mendapatkan sebagian harta peninggalan anaka atau orang tua angkatnya,
manakala mereka tidak mendapat/menerima wasiat dari orang tua atau anak
angkatnya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, perihal anak atau orang tua
angkat ini dapat dilihat dari pasal-pasal di bawah ini.
Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya
sehari-hari , biaya pendidikan, dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari
orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan.
Pasal 209:
14
kepadaanak atau orang tua angkat, justru lebih mendapat penekanan/perhatian dari
para pembuat KHI.
Sikap tegas yang ditempuh KHI yang hanya memberikan satu pilihan, agar
dalam menyelesaikan pembagian warisan tidak menimbulkan keraguan bagi
pihak-pihak yang mempedomaninya, sedangkan menurut jumhur fuqaha, suami
atau istri tidak berhak menerima radd.
Pasal 182:
15
sama dengan saudara laki-laki sekandung atau seayah, maka bagian saudara
laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan.”
2. KUH Perdata
16
Surat wasiat (testamen) merupakan suatu pernyataan tentang apa yang
dikehendaki setelah ia meninggal dunia20. Sifat utama surat wasiat adalah
mempunyai kekuatan berlaku setelah pembuat surat wasiat meninggal dunia dan
tidak dapat ditarik kembali. Ahli waris menurut surat wasiat jumlahnya tidak tentu
sebab bergantung pada kehendak si pembuat wasiat. Dari kedua macam ahli waris
tersebut, ahli waris yang diutamakan adalah ahli waris menurut undang-undang.
Hal ini terbukti beberapa peraturan yang membatasi kebebasan seseorang untuk
membuat surat wasiat agar tidak sekehendak hatinya, yaitu Pasal 881 ayat (2),
yaitu “suatu pengangkatan waris atau pemberian hibah, pihak yang mewariskan
atau pewaris tidak boleh merugikan para ahli warisnya yang berhak atas sesuatu
bagian mutlak”
20
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1985), h.78
17
Menurut sistem patrilineal ini keturunan diambil dari garis bapak, yang
merupakan pancaran dari bapak asal dan menjadi penentu dalam keturunan anak
cucu. Dalam hal ini perempuan tidak menjadi saluran darah yang menghubungkan
keluarga. Wanita yang kawin dengan laki-laki ikut dengan suaminya dan anaknya
menjadi keluarga ayahnya. Sistem pertalian seperti ini terjadi di Nias, Gayo,
Batak dan sebagian di Lampung, Bengkulu, Maluku dan Timor. Dalam hukum
waris, persekutuan ini lebih mementingkan keturunan anak laki-laki daripada anak
perempuan.
Sedangkan yang terakhir, pertalian darah dilihat dari kedua sisi, bapak
dan ibu serta nenek moyang. Kedua keturunan sama-sama penting bagi persekutan
ini (bilateral). Golongan masyarakat inilah yang meletakkan dasar-dasar
persamaan kedudukan antar suami dan isteri di dalam keluarga masing-masing21.
21
Sudarsono.Hukum Waris dan Sistem Bilateral.Jakarta : Rineka Cipta.1991. h. 6.
18
saudara sipeninggal harta dan keturunan mereka yaitu keluarga sedarah
menurut garis kesamping, dengan pengertian bahwa keluarga yang
terdekat mengecualikan keluarga yang jauh.
2) Prinsip penggantian tempat (Plaats Vervulling) yang menyatakan bahwa
jika seorang anak sebagai ahli waris dari ayahnya, dan anak tersebut
meninggal dunia maka tempat dari anak itu digantikan oleh anak-anak dari
yang meninggal dunia tadi (cucu dari sipeninggal harta). Dan warisan dari
cucu ini adalah sama dengan yang akan diperoleh ayahnya sebagai bagian
warisan yang diterimanya. Dikenal adanya lembaga pengangkatan anak
(adopsi), dimana hak dan kedudukan juga bisa seperti anak sendiri
(Kandung)
19
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Agama Islam merupakan mayoritas agama yang dianut oleh warga
negara Indonesia, maka sistem hukum kewarisan Islam menjadi salah satu sistem
hukum yang berlaku di Indonesia. Hukum kewarisan Islam merupakan nilai-nilai
agama Islam yang telah diyakini umatnya, kemudian dijadikan sistem kehidupan
untuk mengatur hubungan sesama manusia, yang selanjutnya menjadi sistem
hukum kewarisan. Sistem hukum warisan Islam sebagai bagian dari sistem
syari„at merupakan dalam aspek sistem hukum mu„amalah atau juga dalam
lingkungan hukum perdata. Dalam ajaran Islam hukum warisan ini tidak dapat
dipisahkan dengan hukum Islam dan ibadah Karenanya dalam penyusunan
20
kaidah-kaidah hukum warisan harus berdasarkan sumber-sumber hukum Islam
seperti hukum-hukum Islam yang lainnya.
21
Hukum kewarisan adat adalah peralihan harta kekayaan dari seseorang
yang telah meninggal dunia kepada seseorang yang masih hidup, peralihan
tersebut pada waktu seorang yang telah meninggal dunia, baik masih hidup
ataupun setelah meninggal dunia.
B. Saran
Demikianlah makalah ini kami susun, kami sadar bahwa masih banyak
kesalahan dan kekurangan baik dalam penyusunan maupun penyampaian dalam makalah
ini. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna
memperbaiki penyusunan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
semua orang.
22
DAFTAR PUSTAKA
Ibid,. 4
Dja’far, “Kewarisan”, Ensiklopedi, 106. Lihat juga dalam, Rofiq, Fiqh Mawaris,
8.
23
Kementerian Agama, Al-Qur’an &Terjemahnya (Jakarta: PT. Lentera Abadi,
2011), 78.
Adawy Ahmad al-‘, Ihda’ al-Dibajah bi Sharh Sunan Ibn Majah (Kairo: Maktabah
Dar al-Yaqin, t.th.), 23.
Azhar Ahmad Basyir, Hukum Adat Bagi Umat Islam, (Jogyakarta :Perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1990), h 14.
Hadits ini dikutip dari buku Ilmu Ushul Fiqih Rahmad Syafi‟i, yang diterbitkan
Pustaka Setia Bandung, cet ke 3, h. 103.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawarits, Qakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 299-
300.
24