MAWARIS
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 8
Lintang Saputra
Fikri Nur Iksan.S
Muhammad Raffel Jhoyya
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………………….……………. i
Daftar Isi……………………………………………………………….…... ii
Bab 1 Pendahuluan…………………………………………………….….. 1
A. Latar Belakang………………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………… 2
C. Tujuan……………………………………………………………….. 2
Bab 2 Pembahasan……………………………………………..……….….. 3
Bab 3 Penutup…………………………………………………...………… 18
A. Kesimpulan……………………………………………….………… 18
B. Saran………………………………………………………………... 18
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Diantara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan Allah adalah
aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan pemilikan yang tinbul sebagai akibat dari suatu
kematian. Harta yang ditinggalkan oleh seorang yang meninggal dunia memerlukan pengaturan
tentang siapa yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya, dan bagaimana cara
mendapatkannya.
Aturan tentang waris tesebut ditetapkan oleh Allah melalui firmannya yang terdapat
dalam Al-Quran, terutama surah an-nisa ayat 7,8,11,12, dan 176, pada dasarnya ketentuan Allah
yang berkenaan dengan warisan telah jelas maksud, arah dan tujuannya.
Ditinjau dari perspektif sejarah, implementasi hokum kewarisan islam pada zaman
penjajahan belanda ternyata tidak berkembang, bahkan secara politis posisinya dikalahkan oleh
sistem kewarisan hokum adat. Pada masa itu diintrodusir teori persepsi yang bertujuan untuk
mengangkat hokum kewarisan adat dan menyisihkan penggunaan hokum kewarisan islam[1].
Banyak para sarjana hukum barat menganggap hokum kewarisan islam tidak
mempunyai sistemdan hukum islam itu hanya bersandar pada asas patrilineal. Sementara itu,
diklalangan umat islam sendiri banyak pula yang mengira tidak ada sistem tertentu dalam
hukum kewarisan islam, sehingga menimbulkan sebuah anggapan seolah-olah hukum
kewarisan islam merupakan hokum yang sangat rumit dan sulit. Kondisi yang demikian itulah
yang menyebabkan hukum kewarisan islam menurut fiqh kebudayaan arab itu sangat sulit
diterima masarakat islam di Indonesia.
1
A. Rumusan Masalah
B. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Ilmu mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang cara pembagian harta yang
telah di tentukan dalam Alquran dan Hadits.cara pembagian menurut ahli mawarits
adalah yang terbaik, seadil-adilnya dengan tanpa melupakan hak seorang ahli waris
sekalipun terhadap anak-anak yang masih kecil.
Ilmu mawaris disebut juga dengan ilmu faraidh, ilmu faraidh merupakan suatu
cara yang sangat efektif untuk mendapat pembagian warisan-warisan yang berprinsip
dan nilai-nilai keadilan yang sesungguhnya .
Ilmu mawaris dan ilmu faraidh pada prinsipnya adalah sama yaitu ilmu yang
membicarakan tentang segala sesuatu yang berkenan dengan harta peninggalan orang
yang meninggal dunia.
4
Syarat Pewarisan
a. Kematian
Orang yang telah meninggal dunia dan mempunyai harta maka akan di wariskan harta
peninggalannya.karna sudah merupakan ketentuan hukumnya.harta warisan tidak
mungkin di bagikan sebelum orang yang mempunyai harta peninggalan itu di nyatakan
meninggal dunia secara hakiki.
b. Ahli waris harus masih hidup
Ahli waris yang akan menerima harta warisan dari orang yang meninggal dunia harus
masih hidup. Artinya Apabila ada ahli waris yang sudah meninggal itu tidak berhak
mendapat harta peninggalan.
c. Ahli waris harus jelas posisinya
Masing-masing ahli waris harus dapat di ketahui posisinya secara pasti, supaya bagian-
bagian harta warisan itu dapat di peroleh sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sebab
ketentuan hukum pewrisan selalu berubah-ubah sesuai dengan tingkatan ahli waris.
Rukun Pewarisan
a. Muwaris
Yaitu Orang yang meninggal dunia atau orang yang meninggalkan harta kepada orang-
orang yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam
b. Waris
Yaitu Orang yang berhak menerima harta peninggalan dari Muwarits karena sebab-
sebab tertentu. Waris di sebut juga dengan Ahli Waris.
c. Miras
Yaitu Harta yang di tinggalkan oleh muwaris yang akan di bagikan kepada orang-orang
yang berhak menerimanya ( ahli waris ). Miras itu bermacam-macam harta, misalnya
tanah, rumah, uang, kendaraan, dan lain sebagainya.
5
B. Sebab-Sebab Menerima Harta Warisan dan Penghalang Mendapatkan Warisan
Dalam Agama islam sebab-sebab menerima harta warisan, adalah sebagai
berikut:
a) Hubungan Kekeluargaan
Dalam hubungan kekeluargaan tidak membedakan antara ahli waris laki-laki dan
perempuan, orang tua dan anak-anak, orang yang kuat dan Lemah. Sesuai ketentuan
yang berlaku semuanya harta warisan.
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT, Dalam Alquran surah An-nisa ayat 7 :
ﻞ ِﻣْﻨُﻪ َأْو َﻛُﺜَﺮ
َّ ن ِﻣَّﻤﺎ َﻗ
َ ن َوٱْﻟَﺄْﻗَﺮُﺑﻮ
ِ ك ٱْﻟَٰﻮِﻟَﺪا
َ ﺐ ِّﻣَّﻤﺎ َﺗَﺮ
ٌ ﺼﻴ
ِ ﺴٓﺎِء َﻧ
َ ن َوِﻟﻠِّﻨ
َ ن َوٱْﻟَﺄْﻗَﺮُﺑﻮ
ِ ك ٱْﻟَٰﻮِﻟَﺪا
َ ﺐ ِّﻣَّﻤﺎ َﺗَﺮ
ٌ ﺼﻴ
ِ ل َﻧ
ِ ﺟا َ ِّﻟﻠِّﺮ
ﺿﺎ
ً ﺼﻴًﺒﺎ َّﻣْﻔُﺮوِ ۚ َﻧ
Artinya; Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya,
dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya,
baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
Hubungan kekeluargaan ini bila di lihat dari penerimaannya ada tiga kelompok:
1. Dzawil Furudh
Yaitu ahli waris yang memperoleh bagian tertentu seperti suami mendapat
seperdua bila orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan mendapat seperempat
bila orang yang meninggal mempunyai anak.
2. Dzawil arham
Yaitu keluarga yang hubungan kekeluargaan nya jauh, mereka tidak termasuk
ahli waris yang mendapat bagian tertentu, tetapi mereka mendapat warisan jika ahli
waris yang dekat tidak ada.
3. Ahlul Ashabah
Yaitu Ahli waris yang mendapat sisa harta atau menghabiskan sisa, setelah ahli
waris yang memperoleh bagian tertentu mengambil bagian masing-masing.
6
b) Hubungan Perkawinan
Selama perkawinan masih utuh bisa menyebabkan adanya saling waris mewarisi.
Akan tetapi, jika perkawinan sudah putus maka gugurlah saling waris mewarisi, kecuali
istri dalam keadaan masa iddah pada talak raji.
d) Hubungan Agama
Apabila ada orang yang meninggal dunia tidak mempunyai ahli waris, baik dari
hubungan kekeluargaan, perkawinan, wala, maka harta warisannya itu di berikan kepada
kaum muslimin, yaitu diserahkan ke baitul Mal untuk kemashlahatan umat islam.
a. Status Budak
Orang yang berstatus budak, apa pun jenisnya, tidak bisa menerima harta warisan karena bila
seorang budak menerima warisan maka harta warisan yang ia terima itu menjadi milik tuannya,
padahal sang tuan adalah bukan siapa-siapanya (ajnabiy) orang yang meninggal yang diwarisi
hartanya.
Seorang budak juga tidak bisa diwarisi hartanya karena sesungguhnya ia tidak memiliki apa-apa.
Bagi seorang budak diri dan apa pun yang ada bersamanya adalah milik tuannya.
b. Membunuh
Orang yang membunuh tidak bisa mewarisi harta peninggalan dari orang yang dibunuhnya, baik
ia membunuhnya secara sengaja atau karena suatu kesalahan. Karena membunuh sama saja
dengan memutus hubungan kekerabatan, sedangkan hubungan kekerabatan merupakan salah
satu sebab seseorang bisa menerima warisan.
7
Imam Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadits dari kakeknya Amr bin Syuaib, bahwa Rasulullah
bersabda:
ﻲٌء
ْ ﺷ
َ ﻞ
ِ ﺲ ِﻟْﻠَﻘﺎِﺗ
َ َﻟْﻴ
Artinya: “Tak ada bagian apa pun (dalam warisan) bagi orang yang membunuh”.
Sebagai contoh, bila ada seorang anak yang membunuh bapaknya maka anak tersebut tidak
bisa menerima harta warisan yang ditinggalakan oleh sang bapak.
Namun demikian, orang yang dibunuh bisa menerima warisan dari orang yang membunuhnya.
Misalnya, seorang anak melukai orang tuanya untuk dibunuh. Sebelum sang orang tua benar-
benar meninggal ternyata si anak lebih dahulu meninggal. Pada kondisi seperti ini orang tua
yang dibunuh tersebut bisa mendapatkan warisan dari harta yang ditinggalkan anak tersebut,
meskipun pada akhirnya sang orang tua meninggal dunia juga.
Orang yang beragama non-Islam tidak bisa mendapatkan harta warisan dari keluarganya yang
meninggal yang beragama Islam. Juga sebaliknya seorang Muslim tidak bisa menerima warisan
dari harta peninggalan keluarganya yang meninggal yang tidak beragama Islam.
َ ﺴِﻠ
ﻢ ْ ث اﻟَﻜﺎِﻓُﺮ اْﻟُﻤ
ُ وﻻ َﻳِﺮ،ﻢ اﻟَﻜﺎِﻓَﺮ
ُ ﺴِﻠ
ْ ث اْﻟُﻤ
ُ ﻻ َﻳِﺮ
Artinya: “Seorang Muslim tidak bisa mewarisi seorang kafir, dan seorang kafir tidak bisa
mewarisi seorang Muslim.”
Bagaimana dengan sesama orang kafir namun beda agama? Dalam hal warisan ini para ulama
menghukumi bahwa agama apa pun selain Islam dianggap sebagai satu agama sehingga
mereka yang beragama non-Islam dapat saling mewarisi satu sama lain. Maka bila dalam satu
keluarga ada beda-beda agama selain Islam di antara angggota keluarganya mereka bisa saling
mewarisi satu sama lai
8
C. Pengelompokkan Ahli Waris dan Hak Masing-Masing
Mengenal kedudukan ayah dan kakek memang strategis, satu sisi mereka adalah
dzaul furudh tetapi disisi lain mereka juga jadi ashabah, tentu manakala atau cucu laki-
laki tidak ada, ayah dan kakek tetap menjadi dzaul furudh.
2. Anak perempuan dari anak laki-laki ( cucu perempuan ), Apabila hanya seorang, selama
tidak ada anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki
3. Saudara perempuan seayah, jika hanya seorang saja, dan tidak juga tsb pada point 1
dan 2
4. Suami, jika tidak ada anak, dan tidak ada cucu laki-laki dan anak laki-laki
9
b. Yang menerima seperempat (1/4)
1. Suami, jika tidak ada anak atau cucu laki-laki dari anak laki-laki
2. Istria tau beberapa orang istri, jika tidak ada anak atau cucu laki-laki dari anak laki-laki
1. Istri atau beberapa orang istri bila ada anak atau cucu dari anak laki-laki
1. Dua orang anak perempuan atau lebih jika mereka tidak mempunyai saudara laki-laki
2. Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak lak-laki, selama tidak ada anak
perempuan atau saudara laki-laki
3. Dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih, jika tidak ada anak perempuan
atau anak perempuan dari anak laki-laki, atau saudara laki-laki mereka.
4. Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih, jika tidak ada yang tsb dari point 1,2,
3
1. Ibu, jika tidak terhalang, jika tidak meninggalkan anak atau cucu laki-laki. Atau tidak
pula meninggalkan dua orang saudara baik laki-laki maupun perempuan , baik seibu
seayah atau bukan.
2. Dua orang laki-laki atau lebih, juga saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih, jika
tidak ada pokok dan cabang (ayah atau kakek dan anak atau cucu).itulah yang di
maksud dengan “kalalah”. Selain itu jumlah mereka harus ada dua orang atau lebih baik
mereka lelaki atau perempuan.
1. Ibu, jika ada anak, atau cucu laki-laki dari anak laki-laki, atau dua orang atau lebih dari
saudara laki-laki dan perempuan.
10
2. Ayah, jika tidak ada anak atau cucudari anak laki-laki
4. Cucu perempuan dari anak laki-laki, jika bersama-sma dengan seoranganak perempuan
sekandung.
Anak perempuan dari saudara laki-laki kandung atau seayah dan anaknya
Anak laki-laki atau perempuan dari saudara seibu dan seterusnya ke bawah
Saudara perempuan ( kandung, seayah, atau ibu) dari ayah dan anaknya.
Saudara laki-laki atau perempuan seibu dari ayah dan seterusnya ke bawah.
Saudara laki-laki atau perempuan ( kandung, seayah, atau ibu) dari ibu dan
seterusnya ke bawah
11
Cara membagi Waris
Sebagaimana di ketahui bahwa pembagian dalam harta warisan telah di tetapkan
bagian masing-masing ahli waris, yaitu ada ahli waris yang menerima bagian tertentu
yang berupa seberapa dari warisan, di sebut furudhul muqaddarah, dan ahli waris
menerima seluruh yang tersisa setelah di ambil oleh bagian ahli waris yang termasuk
alquran-furudhul muqaddarah disebut ashabah.
Ashal masalah ialah angka yang menjadi dasar pembagian harta warisan dalam
sesuatu masalah yakni di bagi menjadi berapa bagiankah keseluruhan harta pusaka itu,
sehingga bagian masing-masing ahli waris dapat di terimakan sebagaimana mestinya.
1. Mudakhalah, Yaitu Apabila angka-angka pembagi pada bagian-bagian yang ada pada
suatu kasus itu saling memasuki, artinya angka pembagi yang kecil dapat di masukkan
kedalam angka pembagi yang besar, dengan kata lain angka pembagi yang besar dapat
habis dengan angka pembagi yang kecil.
3. Mubayanah, Yaitu Apabila angka-angka pembagian pada bagian yang ada dalam suatu
kasus itu berbeda yang satu dengan lain, maka pembagian yang satu tidak habis di bagi
dengan angka pembagi yang lain serta tidak mempunyai pembagi yang sama antara
angka-angka pembagian yang ada.
4. Muwafaqah, Yaitu apabila angka-angka pembagi pada bagian-bagian yang ada dalam
suatu kasus berbeda antara yang satu yang lain, tetapi angka-angka pembagi tersebut
mempunyai pembagian yang sama.
c. Ayah
d. Datuk laki-laki
3. Bagian saudara Laki-laki sekandung menjadi gugur, karena ada salah seorang dari tiga
ahli waris yaitu :
a. Anak Laki-laki
c. Ayah
4. Bagian Anak Ayah( Saudara laki-laki atau perempuan seayah ) manjadi gugur, karena
adanya salah seorang tersebut di atas, yakni anak laki-laki, cucu laki- laki dari anak laki-
laki atau ayah.Dan jika ada saudara laki-laki seayah seibu.
a. Anak laki-laki
a. Masalah Aul
Ialah keadaan yang berlebihnya saham —saham para di pecah-pecah sejumlah angka
asal masalah pasti tidak cukup untuk memenuhi saham-saham dzawil furudh.
13
b. Masalah Rad
Menurut fuqaha ialah pengambilan apa yang tersisa dari bagian dzawil furudh
nasabiyah kepada merekasesuai dengan besar kecilnya bagian mereka bila tidak ada
orang lain yang berhak untuk menerimanya.
Untuk menyelesaikan secara tuntas pembagian harta warisan terdapat sisa lebih dan
di radkan, atau mengandung masalah rad, terlebih dahulu haruslah di teliti apakah
dalam kasus di maksud terdapat ahli waris yang ditolak menerima rad ataukah tidak.
Jika dari Antara ahli waris ashabul furudh itu tidak terdapat seorang pun yang ditolak
menerima tambahan dari sisa lebih yang diradkan itu.
14
E. Pentingnya Hukum Waris Islam
Dalam Islam, setiap orang yang telah meninggal dunia maka diwajibkan untuk
segera menyelesaikan beberapa hal penting diantaranya menyelesaikan pembayaran
hutang si ahli kubur, menunaikan wasiat yang telah diberikan dan melaksanakan nazar
ahli kubur. Pelunasan terhadap hutang piutang yang dimiliki oleh ahli kubur, diambil dari
harta yang ditinggalkan. Namun demikian, bila ternyata tidak memiliki harta benda yang
mencukupi, maka keluarganya lah yang berhak membayarkan hutang-hutang si ahli
kubur. Bagaimanakah dengan pembagian waris Islam itu sendiri? Perlukah disegerakan
atau menunggu masa tertentu? Hal ini sebetulnya relatif.
Artinya tidak ada keterangan kuat bahwa pembagian waris dalam Islam harus
disegerakan, juga tidak keterangan yang sama kuat untuk mengabaikan atau menunda-
nunda pembagian waris. Idealnya adalah ketika seluruh anggota keluarga dan ahli waris
berkumpul, kemudian seluruh kewajiban kepada yang meninggal telah dilaksanakan
termasuk melunasi seluruh hutang piutangnya, kemudian berkumpul untuk
membagikan harta warisan. Dengan demikian tak seorang pun dari ahli waris yang akan
terganggu atau teraniaya hak-haknya.
Namun sekali lagi tidak ada anjuran waktu mutlak dalam Islam untuk
melaksanakan pembagian harta waris. Hanya saja Islam menganjurkan, apabila
dikhawatirkan terjadi berbagai konflik internal dalam keluarga, maka dianjurkan untuk
segera melakukan pembagian harta warisan tersebut.
Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah apakah pembagian harta waris
tersebut harus mutlak berdasarkan pembagian harta waris Islam atau sesuai dengan
aturan ilmu mawaris (Faraid)? Bagaimana hukumnya dengan mereka yang terbiasa
melakukan pembagian harta warisan dengan memakai hukum suku atau hukum adat?
Pembagian harta warisan menurut hukum adat jelas sangat jauh berbeda dengan
hukum Islam. Ada juga yang membagikan harta warisan secara kekeluargaan. Di sana
disepakati bagian masing-masing ahli waris secara damai tanpa mengundang berbagai
pertikaian sesama ahli waris. Yang manakah lebih utama dari hal di atas?
Pembagian waris Islam mutlak diterapkan sebagai upaya pencegahan terjadinya
konflik pertikaian yang dapat muncul akibat rasa ketidakadilan yang dirasakan oleh para
ahli waris terhadap bagian masing-masing. Jadi apabila sesama ahli waris mampu
berdamai untuk melakukan pembagian dengan keridhaan masing-masing tanpa adanya
konflik sengketa, hukum pembagian waris Islam bisa untuk tidak dilaksanakan. Namun
kembali kepada pemahaman masing-masing anggota keluarga dan bukan memandang
dari sisi manfaat serta madharatnya.
Warisan merupakan harta orang lain yang diperoleh atas usaha jerih payah orang
lain sewaktu ada di dunia. Harta pemberian orang lain tak akan senikmat harta jerih
payah kita sendiri. Terlebih jika cara memperolehnya dilakukan dengan cara-cara yang
tidak halal dan tidak baik. Tentu saja dengan mengharap mendapat harta warisan dari
15
orang seperti ini, bukanlah perbuatan terpuji.
Namun tidak bisa dipungkiri bila salah satu kebiasaan buruk manusia adalah
terlalu berharap dan menggantungkan nasib hidup terhadap harta warisan keluarganya,
padahal ia sendiri masih mampu melakukan usaha-usaha halal lainnya yang itu akan
lebih mengangkat harkat dan martabat diri sendiri.
Ingatlah bahwa orang yang kaya karena harta warisan keluarganya, tidak akan
terlalu dipandang di tengah-tengah masyarakat. Tentu saja akan begitu gampang
menerima tudingan soal kekayaannya itu, karena orang akan selalu berpikir, dia kaya
karena harta warisan keluarganya. Bandingkan dengan seseorang yang memperoleh
kekayaan dari hasil jerih keringat sendiri. Ia akan lebih dewasa saat menderita
kemiskinan yang mungkin akan dialaminya di kemudian hari. Begitu pula akan lebih
bertanggung jawab dalam menggunakan dan memanfaatkan harta kekayaannya itu.
Tapi terlepas dari masalah itu semua, hukum waris Islam menawarkan jalan
keluar yang baik untuk semua pihak. Sehingga akan terhindari dari kasus adanya yang
teraniaya hak atau perasaan ketidak adilan. Kenyataan tersebut apabila tidak
memperoleh jalan keluar yang baik, akan menyebabkan timbulnya rasa tidak enak.
Apabila terus dipelihara akan semakin memunculkan konflik bahkan pada akhirnya
menjurus kepada pertikaian, padahal masih sesama keluarga.
16
2. Menciptakan keadilan dan mencegah konflik pertikaian
Pembagian waris Islam merupakan pembagian dengan nilai keadilan paling tinggi.
Keadilan yang telah diterapkan tersebut secara otomatis akan mencegah muncul
berbagai konflik dalam keluarga yang dapat berujung pada tragedi pertumpahan darah.
Sekalipun dalam prakteknya selalu saja muncul penentangan-penentangan yang
bersumber dari akal pikiran, yang sebenarnya lebih karena khawatir yang tidak
beralasan. Kalaupun kemudian menggunakan hukum waris adat atau berdasarkan
kekeluargaan yang membagi kekayaan secara rata, bukan jaminan tidak akan
munculnya ketidak adilan. Misalnya seorang anggota keluarga yang selama hidupnya
merasa paling berjasa dan paling memperhatikan kehidupan almarhum atau
almarhumah, tidak akan gampang menerima pembagian yang sama rata ini. Begitu pula
tentang masalah-masalah lain yang tetap saja akan muncul, karena sebenarnya
bersumber dari ketidak puasan hawa nafsu.
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Semua orang muslim wajib mempelajari ilmu mawaris, Ilmu mawaris sangat
penting dalam kehidupan manusia khususnya dalam keluarga karena tidak semua
orang yang ditinggal mati oleh seseorang akan mendapatkan warisan . Hal yang perlu
diperhatikan apabila kita orang muslim mengetahui pertalian darah, hak dan
pembagiannya apabila mendapatkan warisan dari orang tua maupun orang lain.
B. Saran
Bagi para pembaca setelah membaca makalah ini diharapkan lebih memahami
mawaris dalam kehidupan keluarga maupun orang lain sesuai dengan ajaran agama
islam dimana hukum memahami mawaris adalah fardhu kifayah.
18