Anda di halaman 1dari 23

“TUGAS RUTIN”

HUKUM WARIS ISLAM


Dosen Pengampu : Sri Hadiningrum, S.H.,M.Hum.

Disusun Oleh : Kelompok 6

Nursuhailiza (31831110310
Silviyani Br Tarigan (3183111032)
Santana Lopianna Lumbantoruan (3183311028)
Dian Ermayani Sigalingging (3183111037)

Kelas: V/D PPKn 2018

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis persembahkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

atas limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga Penulis dapat menyelesaikan

makalah “HUKUM WARIS ISLAM“. Pada makalah ini Penulis banyak mengambil

dari berbagai sumber dan refrensi dan pengarahan dari berbagai pihak .oleh sebab

itu, dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-sebesarnya

kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari

sempurna, untuk itu Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat

membangun guna kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata Penulis mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini

dapat bermanfaat untuk semua pihak yang membaca.

Medan, 24 Oktober 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Cover

Kata Pengantar.............................................................................................. ii

Daftar Isi....................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

A. Latar Belakang .................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ............................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan .............................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................. 3

BAB III PENUTUP ...................................................................................... 19

A. Kesimpulan ....................................................................................... 19
B. Saran ................................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum keluarga dan
sungguh sangat erat kaitannya dengan masyarakat, karena pada hakikatnya manusia
yang hidup pasti akan mengalami kematian, sehingga masalah waris merupakan
suatu hal yang kemungkinan besar ada dalam kehidupan masyarakat karena,
Pengertian waris adalah proses peralihan harta dari orang yang telah meninggal
kepada ahli waris. Proses peralihan harta tersebut merupakan peristiwa kewarisan
dari yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup dan merupakan
keturunannya secara otomatis. Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur
peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang
berhak, seperti keluarga dan masyarakat yang lebih berhak.

Pengaturan Hukum Waris di Indonesia adalah Prulalisme karena Indonesia


adalah negara yang kaya akan budaya dan adat istiadat, begitupun dengan rakyatnya
yang terdiri dari berbagai macam suku, adat yang masih eksis sampai saat ini, dan
berbagai keyakinan atau agama yang dianut oleh masyarakatnya.

Hukum Waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni: hukum Waris Adat,
hukum Waris Islam dan hukum Waris Perdata. Setiap daerah memiliki hukum yang
berbeda-beda sesuai dengan sistem kekerabatan yang mereka anut. Sumber utama
dalam hukum Waris Islam adalah Al-Qur'an surat An-Nisa' ayat 11, 12, dan 176.
hukum Waris Islam atau ilmu faraidh adalah ilmu yang diketahui. siapa yang berhak
mendapat waris dan siapa yang tidak berhak, dan juga berapa ukuran untuk setiap
ahli waris. Ilmu Faraidh termasuk ilmu yang paling mulia tingkat bahayanya, paling
tinggi kedudukannya, paling besar ganjarannya, oleh karena pentingnya, bahkan
sampai Allah sendiri yang menentukan takarannya, Dia terangkan jatah harta
warisan yang didapat oleh setiap ahli waris, dijabarkan kebanyakannya dalam
beberapa ayat yang jelas, karena harta dan pembagiannya merupakan sumber

1
ketamakan bagi manusia, sebagian besar dari harta warisan adalah untuk pria dan
wanita, besar dan kecil, mereka yang lemah dan kuat, sehingga tidak terdapat
padanya kesempatan untuk berpendapat atau berbicara dengan hawa nafsu.

B. Rumusan Masalah
Berdarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam
pembutan tugas makalah ini adalah “tentang warisan dalam hukum islam”. Dari
rumusan masalah tersebut dapat kami uraikan menjadi sebagai berikut:

1. Bagaimana landasan hukum waris islam?


2. Apa saja yang menjadi rukun dalam hukum waris islam?
3. Bagaimanakah sistem pembagaian waris menurut hukum islam?
4. Bagaiamana kedudukan wasiat dalam hukum waris islam?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan pembutan makalah ini pada uamanya yaitu sebagai pemenuhan salah
satu tugas rutin dalam mata kuliah Hukum Islam, kemudian diharapkan sebagai
sesuatu yang hendak dicapai dan dapat memberikan arahan dan penjelasan terkait
hukum waris islam. Berpatokan pada rumusan masalah diatas, maka tujuan yang
dicapai dalam pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana
pelaksanaan warisan yang sesuai dengan ketentuan hukum islam.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. LANDASAN HUKUM

Hukum waris islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang
berkenaan dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan
seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. Adapun landasan
hukum waris islam yang pertama tertera dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Kemudian telah diubah menjadi
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan terakhir diubah dengan Undang-
Undang Nomor 50 Tahun 2009 sebagai Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dan yang kedua yaitu Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum
Islam. Dasar hukum waris dalam al-Quran tertuang dalam surat an-nisa ayat 7,
11, 12, 33, dan 176.

B. RUKUN WARIS

Rukun merupakan bagian dari permasalahan dari setiap perkara. Suatu


perkara tidak akan sempurna jika salah satu rukun tidak dipenuhi. Misalnya
perkara sholat, apabila salah satu rukun shalat tidak dipenuhi maka shalat
seseorang itu tidak sah. Begitu juga dengan perkara waris, jika rukun waris tidak
dipenuhi maka perkara waris mewaris tidak sah. Adapun rukun waris adalah
pewaris (muwarits), ahli waris (warits), dan harta warisan (mauruts atau tirkah)

Rukun waris ada tiga yaitu:

a. Al-Muwarrits, yaitu orang yang meninggal dunia atau mati, baik mati
hakiki maupun mati hukmiy suatu kematian yang dinyatakan oleh
keputusan hakim atas dasar beberapa sebab, kendati sebenarnya ia
belum mati, yang meninggalkan harta atau hak.

3
b. Al-Warits, yaitu orang hidup atau anak dalam kandungan yang
mempunyai hak mewarisi, meskipun dalam kasus tertentu akan
terhalang. Dengan demikian, seseorang dinyatakan sebagai ahli waris,
jika: masih hidup, tidak ada penghalang bagi dirinya sebagai ahli waris,
dan tidak tertutup oleh ahli waris utama. Seseorang dinyatakan sebagai
ahli waris, jika mempunyai hubungan darah atau perkawinan.

c. Al-Mauruts, yaitu harta warisan yang menjadi warisan. Sebagian ulama


faraid menyebutnya dengan mirats atau irts. Termasuk dalam warisan
adalah harta-harta atau hak-hak yang mungkin dapat diwariskan, seperti:
Kebendaan dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan. Misalnya
benda-benda tetap, benda-benda bergerak, piutang-piutang mayit yang
menjadi tanggungan orang lain, denda wajib dan lain sebagainya.

SISTEM PEMBAGIAN WARISAN DALAM HUKUM ISLAM

Ahli waris dalam islam antara lain:

1. Ahli waris nasabiyah yaitu ahli waris yang mendapat warisan karena
hubungan darah.
2. Ahli waris sababaiyah yaitu ahli waris yang mendapat warisan karena
adanya perkawinan yang sah dan atau karena memerdekakan hamba sahaya.

❖ Ahli waris nasabiyah (kekerabatan) antara lain:


1) Anak Turun Si Mati (Furu’ul Mayyit)
1. Anak perempuan shulbiyah
Anak perempuan shulbiyah adalah anak perempuan yang dilahirkan
secara langsung dari orang yang meninggal, baik yang
meninggalkan itu ibunya atau ayahnya. Bagian anak perempuan
sulbiyah adalah

4
a. Setengah, bila iya hanya seorang diri dan tidak mewarisi
bersama-sama dengan saudara laki-laki yang menjadikan dia
sebagai ashabah. Aturan ini didasarkan kepada firman Allah
:”........Jika ia hanya seorang diri bagiannya separoh”. (QS.
4:11).
b. Dua pertiga, bila anak perempuan itu dua orang atau lebih
dan tidak bersama-sama dengan saudara laki-laki yang
menjadikannya sebagai ashabah bersama (‘asbah bilgair).
Aturan ini tercantum dalam firman Allah “....maka jika
mereka itu perempuan-perempuan lebih dari dua orang, bagi
mereka dua pertiga dari harta peninggalannya” (QS.4:11).
c. Ushubah, bila ia mewarisi bersama-sama dengan saudara
laki-lakinya, baik anak perempuan itu tungal maupun banyak
dan baik anak laki-lakinya tunggal atau banyak. Ketentuan
ini tercantum dalam firman Allah (QS. 4: 7).

2. Anak laki-laki
Anak laki-laki tidak termasuk ashabul furudh, ahli waris yang
mendapatkan bagian yang sudah ditentukan kadarnya, tetapi ia
termasuk ahli waris ashabah, penerima sisa peninggalan dari ashabul
furudh atau penerima seluruh harta peninggalan bila tidak ada
dzawil furudh seorangpun. Sebagai ahli waris utama, kendatipun
kedudukannya dalam mewarisi hanya sebagai penerima sisa, ia tidak
pernah dirugikan. Sebab ia dapat menghalangi ahli waris lain untuk
mempusakai dengan hijab nuqsannya, sedangkan ia sendiri tidak
dapat dihijab oleh ahli waris manapun dan bahkan ia dapat menarik
saudarinya untuk menerima ushubah bersama dengan penerimaan
yang berlipat dua dari pada penerimaan saudarinya. Berdasarkan QS
4:11 bahwa anak laki-laki adalah ushubah. Adapun cara-cara dalam
mempusakai dirinci sebagai berikut :

5
1. Jika orang yang mati hanya meninggalkan seorang atau beberapa
orang anak laki-laki saja, maka anak laki-laki mewarisi selruh
harta secara ta’shib.
2. Jika orang yang mati meninggalkan seorang atau beberapa orang
anak laki-laki tidak meninggalkan anak perempuan seorangpun.
3. Jika orang yang mati meninggalkan anak laki-laki dan anak
perempuan atau atau ashabul furudh, maka seluruh harta atau
sisa harta peninggalan setelah diambil oleh ashabul furudh dibai
dua, dengan ketentuan anak laki-laki mendapat dua kali lipat
anak perempuan. Kebanyakan ahli waris dapat dihijab oleh anak
laki-laki, kecuali : Ibu, Bapak, Suami, Istri, Anak perempuan,
Kakek, Nenek.

3. Cucu Perempuan Pancar Laki-laki


Cucu perempuan pancar laki-laki ialah anak perempuan dari anak
laki-laki orang yang meninggal dunia (bintul ibni) dan anak
perempuannya cucu laki-laki pancar laki-laki (bintu-ibnil ibni)
sampai ke bawah. Hak pusaka cucu perempuan pancar laki-laki ada
6 macam :
a. Setengah, bila ia seorang diri
b. Dua pertiga, bila ia dua orang atau lebih. Penerimaan
setengan setengah dan dua pertiga ini bila bersama-sama
dengan ahli waris yang menjadikan mereka ashabah bersama
(mu’ashabah ma’al ghair)
c. Ushubah, bila ia mewarisi bersama-sama dengan ahli waris
yang menjadikannya ‘asbah bersama. Dalam hal ini ada tiga
kemungkinan,yaitu :
• Jika tidak ada ashabul furudh seorang pun, mereka
menerima seluruh harta peninggalm secara ‘ushubah,
dengan ketentuan bahwa mereka yang laki-laki
mendapat bagian dua kali lipat bagian perempuan.

6
• Jika ada ashabul furudh, mereka hanya menerima
sisa harta dari ashabul furudh juga dengan cara
pembagian seperti diatas.
• Jika harta peninggalan telah dihabiskan oleh ashabul
furudh mereka tidak menerima bagian sedikitpun.
Cucu perempuan pancar laki-laki dapat menghijab ahli waris Saudara
(si mati) seibu dan Saudari (si mati) seibu. Ia dapat dihijab oleh ahli
waris :
1. Dua orang anak perempuan shulbiyah
2. Dua orang cucu perempuan pancar laki-laki yang lebih tinggi
derajatnya, bila tidak ada mu’ashib yang mendampinya.
3. Far’ul warist laki-laki yang lebih tinggi derajatnya, seperti anak
laki-laki atau cucu laki-laki yang lebih tinggi derajatnya, baik ia
tunggal atau banyak, baik bersama-sama dengan mua’ashib
maupun tidak.

4. Cucu Laki-laki Laki-laki Pancar Laki-laki


Cucu laki-laki pancar laki-laki adalah termasuk far’ul warits, yaitu
anak turunan si mati yang mempunyai hak mewarisi. Hak pusaka
far’ul warits itu adakalanya dengan jalan fardh, seperti anak
perempuan dan cucu perempuan pancar laki-laki sampai kebawah,
dan adakalanya dengan jalan ‘ushubah dengan ketentuan sebagai
berikut :
a. Jika si mati tidak mempunyai anak dan tidak ada ahli warist yang
lain, ia menerima seluruh harta peninggalan secara ‘ushubah.
Dan jika ada ahli waristashabul furudh, ia menerima sisa ashabul
furudh.
b. Jika cucu itu mewarisi bersama-sama dengan saudari-
saudarinya, ia membagi seluruh harta peninggalan atau sisia
harta dari ashbul furudh dengan saudari saudarinya menurut
perbandingan 2:1. Untuk laki-laki menerima dua kali lipat
bagian perempuan.

7
Kebanyakan ahli warist dapat dihijab oleh cucu laki-laki pancar laki-
laki, kecuali: Ibu, Ayah, Suami, Istri, Anak perempuan, Cucu
perempuan pancar laki-laki, Kakek shalih dan Nenek shalihah.
Ia sendiri dapat dihiajab oleh setiap orang laki-laki yang lebih tinggi
derajatnya. Selain yang telah disebutkan diatas ada dua ahli waris
yang termasuk juga kepada furu’ul waris, yaitu anak dalam
kandungan, anak zina dan anak li’an. Anak dalam kandungan
tergolong ahli warisyang berhak menerima warisan dengan syarat-
syarat :
a. Sudah mempunyai ujud pada saat orang yang mewariskan mati
dengan asumsi bahwa sperma yang berada dalam rahim apabila
tidak hancur, mempunyai zat hidup, karena itu dihukumkan
hidup.
b. Dilahirkan dalam keadaan hidup dengan tanda-tanda hidup,
seperti menangis, bergerak dan lain-lain, seperti disabdakan
Nabi : “Apabila anak yang dilahirkan itu berteriak, maka diberi
pusaka” (Riwayat Ashabus Sunah).

Oleh karena anak dalam kandungan tergolong ahli waris dan menerima
warisan apabila dilahirkan dalam keadaan hidup, apabila dalam keadaan begini
sebaiknya harta pusaka tidak dibagikan dahulu sampai anak dalam kandungan
dilahirkan, agar dapat secara jelas diketahui bagiannya, jika ia laki-laki atau
perempuan, sendiri atau kembar. Anak zina ialah anak yang dilahirkan diluar
perkawinan menurut syariat. Para ahli sepakat bahwa anak sepertiitu tidak
dinasabkan kepada bapak nya sebagai anak sah kalau anak itu dilahirkan kurang
dari 6 bulan dari akad perkawinan. Adapun anak li’an ialah anak yang dihukumi
tidak bernasab dengan ayahnya setelah terjadi tuduh menuduh zina antara kedua
suami istri menurut sifat-sifat yang telah dijelaskan didalam al-quran.
Kedua macam anak tersebut putus hubungan nasab dengan ayahnya, tetapi
pertalian nasap dengan ibunya masih tetap utuh. Oleh karena itu mereka
mempusakai orang yuanya dari pihak ibu dan keluarga-keluarga ibunya, bukan dari
puhak bapaknya. Hal ini didasarkan kepada Sabda Nabi : Dari Ibn Umar RA.

8
Menjelaskan bahwa seorang laki-laki yang li’an istrinya pada zaman nabi
Muhammad SAW dan mengingkari anak istri tersebut, maka Nabi menceraikan
keduanya dan mempertemukan nasab anaknya kepada ibunya’.
(Bukhari dan Abu Daud).

2) Leluhur mayat
1. Ibu
Bagain ibu ada tiga macam :
a. Seperenam dengan ketentuan bila ia mewarisi bersama-bersama
sengan far’ul warits bagi si mati, baik far’ul warits itu seorang atau
lebih, laki-laki atau pun perempuan atau ia bersama denga saudara-
saudara simati baik kandung, seibu maupun seayah, atau campuran
seibu dan seayah. Aturan ini didasarkan kepada firman Allah SWT
“.....Dan untuk ibu bapak, masing-masing nya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal mempunyai anak.....”QS. 4:
11
b. Sepertiga denga ketentuan tidak bersama-sama dengan far’ul warits
bagi simati ataupun bersama-sama dengan dua orang atau lebih
sudari-saudari simati yang mewarisi hanya ia sendiri dengan ayah
simati tanpa salah seorang suami-istri si mati.
c. Apabila si mati bersama dengan far’u ghairu warits bagi si mati atau
bersama dengan seorang saudari-saudari bagi simati, maka ia tidak
terhijab dari 1/3 menjadi 1/6 fardh. Bila ia mewarisi bersama dengan
ayah salah seorang suami atau istri, ia mendapat 1/3 sisa
peninggalan. Dasar hukun seperti ini adalah : “......jika yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya
(saja), maka ibunya mendapat sepertiga......” (QS. 4:11).
Tidak ada ahli warits yang dapat menghijab hirman terhadap ibu,
tetapi ada 2 ahli warits yang dapat menghijab muqshan padanya,
yaitu : Far’ul warits secara mutlak dan Dua orang saudara, secara
mutlak. Sedangkan Ibu dapat menghijab ahli warits, yaitu : Ibunya
Ibu (Ummul Umi) dan Ibunya Ayah (Ummul Abi) keatas.

9
2. Nenek
Nenek shalihah ialah leluhur perempuan (nenek) yang dipertalikan
kepada si mati tanpa memasukkan kakek ghairu shalih. Bagian nenek
adalah seperenam dengan ketentuan bila ia tidak bersama- sama ibu baik
sendiri ataupun beberapa orang. Para ahli waris yang dapat menghijab
nenek adalah: Ibu, Ayah, Kakek shalih, dan Nenek yang dekat.
3. Ayah
Seseorang ayah mempusakai harta peninggalan anaknya dengan tiga
macam bagian, yaitu:
a. Seperenam, dengan ketentuan bila anak yang diwarisi mempunyai
far’u warist mudzakkar (anak turun si mati yang berhak mewarisi
yang laki-laki), yaitu anak laki-laki dan cucu laki-laki pancar laki-
laki sampai ke bawah.
b. Seperenam dan ‘ushubah, dengan ketentuan bila anak yang diwarisi
mempunyai far’u warits muannats (anak turun simati yang
perempuan), yakni anak perempuan dan cucu perempuan pancar
laki-laki sampai kebawah. Hal ini didasarkan pada firman Allah
SWT : “......Dan untuk ibu bapak, masing-masing seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal mempunyai
anak....(QS. 4:11)
c. ‘Ushubah, bila anak yang diwarisi harta peninggalannya tidak
mempunyai far’u warits sama sekali, baik laki-laki maupun
perempuan, sesuai firman Allah “......(tetapi) jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu dan
bapaknya (saja), maka untuk ibunya sepertiga bagian....”(QS 4:11).

4. Kakek
Istilah kakek dalam ilmu ilmu faraidl ada dua arti, yaitu kakek shahih
dan kakek ghair shahih. Kakek shahih, ialah kakek yang hubungan
nasabnya dengan si mati tanpa diselangi oleh perempuan. Seperti
ayahnya ayah (abul ab) dan ayah dari ayahnya ayah (abul abil ab) sampai
ke atas. kakek ghair sahih, yaitu kakek yang hubungan nasabnya dengan

10
si mati diselingi oleh perempuan. Seperti ayahnya ibu (abul um) dan
ayah dari ibunya ayah (abu umi ab). Kakek dapat menduduki statusnya
ayah bila tidak ada ayah dan saudara-saudara atau saudari-saudari
sekandung atau seayah, karena itu ia mendapat bagian pusaka seperti
bagian ayah, yaitu :
a. Seperenam bila si mati mempunyai anak turun yang berhak waris
yang laki-laki (far’warits-mudzkkar)
b. Seperenam dan sisa dengan jalan ‘ushubah bila si mati mempunyai
anak turun yang berhak waris yang perempuan (far’warits-
muannats)
c. ‘Ushubah, bila simati tidak mempunyai far’ul warits secara mutlak,
baik laki-laki maupun perempuan, atau bila ia mempunyai anak
turun yang tidak berhak menerima usaka (far’u ghairu waits), seperti
cucu perempuan pancar laki-laki.

Para ahli warits yang termahjub oleh kakek shahih ialah :


1. Saudara-saudara sekandung
2. Saudara-saudara seayah
3. Saudara-saudara seibu
4. Anak laki-laki saudara sekandung
5. Anak laki-laki nya saudara
6. Paman sekandung
7. Paman seayah
8. Anak laki-laknya paman sekandung
9. Anak laiki-lakinya seayah
Adapun ahli warits yang menghijabnya adalah Ayah dan Kakek shahih
yang lebih dekat dengan si mati.

3) Kerabat Menyamping
1. Saudari Sekandung
Saudari kandung dalam mewarisi warisan ada lima macam:

11
a. Separuh, bila ia hanya seorang diri dan tidak mewarisi bersama
dengfan saudara kandung yang menjadikannya asobah
b. Dua pertiga, bila saudari tersebut dua orang atau lebih dan tidak
mewarisi bersama dengan saudari kandung yang menjadikannya
asobah.
c. Ushubah (bil ghair), baik tunggal maupun banyak. Mereka semua
dapat menerima seluruh harta peninggalan dengan ketentuan bahwa
penerimaan saudara adalah dua kali lipat penerimaan saudari.
d. Ushubah (ma’al ghair), bila ia mewarisi bersama-sama:
• Seseorang atau beberapa anak perempuan
• Seseorang atau beberapa orang cucu perempuan pancar laki-
laki
• Anak perempuan dan cucu perempuan pancar laki-laki,
dengan ketentuan saudari kandung tersebut tidak bersama
dengan saudara kandung yang menjadi ma’ashibnya.
e. Bila ada saudara kandung, sebagai konsekuensinya jika sudah tidak
ada sisa setelah pembagian kepada dzawil furudh ia tidak menerima
apa-apa.
Bila seorang atau beberapa orang saudari kandung bersama dengan anak
perempuan atau cucu perempuan pancar laki-laki mereka dapat
menghijab ahli waris: saudara seayah, anak laki-laki saudara seayah
seibu, anak laki-laki saudara seayah, paman seayah seibu, paman
seayah, anak laki-laki paman seayah seibu, dan saudari seayah.
Kemudian yang dapat menghijab saudari kandung antara lain: anak laki-
laki, cucu laki-laki pancar laki-laki, dan ayah.

2. Saudara kandung
Hak warisan saudara kandung adalah h’ushubah, dengan ketentuan
apabila mereka tidak bersama-sama dengan ahli warits yang dapat
menghijabnya dan tidak bersama-sama kakek shahih. Kalau mereka

12
bersama-sama kakek shahih mereka membagi rata dengan kakek shahih.
Secara terperinci warisan mereka sebagai berikut :
a. Kalau tidak ada ahli waris selain seorang saudara, maka ia mendapat
seluruh harta.
b. Kalau ahli waris semuanya terdiri dari saudara-saudara kandung,
maka seluruh harta peninggalan dibagi rata antar mereka.
c. Kalau ahli waris nya terdiri dari saudara dan saudari sekandung,
seluruh harta peninggalan dibagi antar mereka dengan ketentuan
yang laki-laki mendapat dua kali perempuan.
d. Kalau mereka mewarisi bersama-sama dengan saudara-saudara
seibu dan kebetulan tidak ada sisa yang tinggal untuknya, maka ia
menggabunggkan diri dengan saudara-saudara ibu dalam menerima
1/3.
e. Kalau mereka mewaris bersama-sama dengan ahli waris selain dari
golongan ashabul furudh, mereka menerima sisa dari ashabul
furudh.

Para ahli waris yang terhijab oleh saudara laki-laki sekandung adalah :
Saudara seayah, Anak laki-laki saudara sekandung, Anak laki-laki
saudara seayah, Paman sekandung, Paman seayah, Anak laki-laki
paman sekandung, Anak laki-laki paman seayah.
Sedangkan yang menghijab saudara sekandung adalah : Ayah, Anak
laki-laki, dan Cucu laki-laki pancar laki-laki.

❖ Ahli waris karena adanya perkawinan


1. Istri
Istri dalam mempusakai harta peninggalan suaminya mempunyaidua
macam
bagian, yaitu :
a. Seperempat, istri memperoleh bagian seperempat bila suami yang
diwarisnya tidak mempunyai far’ul waist, yait anak turun si mayit yang
berhak waris baik secara bagian (fardl), seperti anak perempuan dan

13
cucu perempuan pancar laki-laki terus kebawah, maupun secara
‘ushubah, seperti anak lak-laki dan cucu laki-laki pancar laki-laki terus
kebawah.
b. Seperdelapan. Istri memperoleh seperdelapan, bila yang lahir melalui
istri pewris ini maupun istri yang lain.

Istri tidak terjihab (hijab hirman) olrh ahli waris manapun, tetapi dapat
terkurangi bagiannya (hijab nuqshan) oleh Anak laki-laki/ perempuan dan
oleh cucu laki-laki/ perempuan yang bagian yang bagiannya seperti telah
disebutkan diatas.

2. Suami
Dalam mempusakai harta peninggalan istrinya, suami mempunyai dua
macam bagian, yaitu :
a. Separoh. Suami mempusakai harta istrinya dengan setengah bagian bila
istrinya tidak mempunyaifar’ul waris.
b. Seperempat, suami mempunyai bagian seperempat bila istrinya
meninggalkan far’ul waris. Far’ul waris yang dimaksutkan adalah anak
yang lahir dari suami yang menjadi pewaris atau suami lain (terdahulu).
Sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS 4:12.
Suami tidak terhijab (hirman) oleh siapapun, tetapi terkena pengurangan
(hijab nuqshan), yang bagiannya seperti tersebut diatas.

Orang-orang yang berhak menerima harta waris dari seseorang yang


meninggal sebanyak 25 orang yang terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10
orang dari pihak perempuan. Golongaan ahli waris dari pihak laki-laki, yaitu:

a. Anak laki-laki.
b. Anak laki-laki dari anak laki-laki(cucu) dari pihak anak laki-laki, terus
kebawah, asal pertaliannya masih terus laki-laki.
c. Bapak.
d. Kakek dari pihak bapak, dan terus ke atas pertalian yang belum putus dari
pihak bapak.

14
e. Saudara laki-laki seibu sebapak.
f. Saudara laki-laki sebapak saja.
g. Saudara laki-laki seibu saja.
h. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak.
i. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja.
j. Saudara laki-laki bapak (paman) dari pihak bapak yang seibu sebapak.
k. Saudara laki-laki bapak yang sebapak saja.
l. Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki (paman) yang seibu sebapak.
m. Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki (paman) yang sebapak saja.
n. Suami.
o. Laki-laki yang memerdekakannya (mayat)

Apabila 10 orang laki-laki tersebut di atas semua ada, maka yang mendapat harta
warisan
hanya 3 orang saja, yaitu:
a. Bapak.
b. Anak laki-laki.
c. Suami.

Golongan dari pihak perempuan, yaitu :


a. Anak perempuan.
b. Anak perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, asal
pertaliannnya dengan yang meninggal masih terus laki-laki.
c. Ibu.
d. Ibu dari bapak.
e. Ibu dari ibu terus ke atas pihak ibu sebelum berselang laki-laki.
f. Saudara perempuan seibu sebapak.
g. Saudara perempuan yang sebapak.
h. Saudara perempuan seibu.
i. Istri.
j. Perempuan yang memerdekakan si mayat.

15
Apabila 10 orang tersebut di atas ada semuanya, maka yang dapat mewarisi dari
mereka itu hanya 5 orang saja, yaitu :
a. Isteri.
b. Anak perempuan.
c. Anak perempuan dari anak laki-laki.
d. Ibu.
e. Saudara perempuan yang seibu sebapak.

Sekiranya 25 orang tersebut di atas dari pihak laki-laki dan dari pihak
perempuan semuanya ada, maka yang pasti mendapat hanya salah seorang dari dua
suami isteri, ibu dan bapak, anak laki-laki dan anak perempuan. Anak yang berada
dalam kandungan ibunya juga mendapatkan warisan dari keluarganya yang
meninggal dunia sewaktu dia masih berada di dalam kandungan ibunya. Sabda
Rasulullah SAW. “apabila menangis anak yang baru lahir, ia mendapat pusaka.”
(HR. Abu Dawud) Beberapa hak yang bersangkutan dengan harta waris. Sebelum
di lakukan pembagian harta waris terdapat beberapa hak yang harus di dahulukan.
Hak-hak tersebut adalah :
➢ Hak yang bersangkutang dengan harta itu, seperti zakat dan sewanya.
➢ Biaya untuk mengururs mayat, seperti harga kafan, upah menggali tanah
kubur, dan sebagainya. Sesudah hak yang pertama tadi di selesaikan,
sisanya barulah di pergunakan untuk biaya mengurus mayat.
➢ Hutang yang di tinggalkan oleh si mayat.
➢ Wasiat si mayat. Namun banyaknya tidak lebih dari sepertiga dari harta
penginggalan si mayat.

KEDUDUKAN WASIAT DALAM HUKUM WARIS ISLAM


Kata wasiat (washiyah) itu diambil dari kata washshaitu asy-syaia, uushiihi,
artinya aushaltuhu (aku menyampaikan sesuatu). Maka muushii (orang yang
berwasiat) adalah orang yang menyampaikan pesan di waktu dia hidup untuk
dilaksanakan sesudah dia mati. Dalam istilah syara’ wasiat itu adalah pemberian
seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang ataupun manfaat untuk

16
dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat mati. Sebagian
fuqoha mendefinisikan bahwa wasiat itu adalah pemberian hak milik secara
sukarela yang dilaksanakan setelah pemberinya mati.
Wasiat juga dikenal di dalam hukum islam, hal ini dikemukakan pada
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171 dan dipertegas pada pasal 195. KHI
menyatakan bahwa wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang
lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Selain
pembagian harta peninggalan, dalam kewarisan Islam juga diatur tentang peralihan
harta peninggalan oleh karena peristiwa kematian pewaris. Tata cara peralihan harta
peninggalan pewaris kepada ahli waris dapat dilakukan dengan cara wasiat.
Perihal wasiat dalam al-Quran antara lain diatur dalam surat al-Baqarah ayat
180 yang menyatakan bahwa “kalau kamu meninggalkan harta yang banyak,
diwajibkan bagi kamu apabila tanda-tanda kematian datang kepadamu, untuk
berwasiat kepada ibu bapak dan karib kerabatnya secara baik”. Dalam ayat tersebut
secara eksplisit mengandung arti bahwa wasiat adalah kewajiban orang-orang yang
bertakwa kepada-Nya. Dalam surat al-Baqarah ayat 240 juga dinyatakan bahwa
orang yang meninggalkan isteri atau isteri-isteri hendaklah berwasiat bagi isteri
atau isteri-isterinya berupa nafkah selama setahun dan tidak boleh dikeluarkan dari
rumah tempat tinggalnya selama itu. Dari beberapa dalil tentang wasiat, maka
mayoritas ulama berpendapat bahwa status hukum wasiat itu tidak mengandung
hukum fardu „ain, baik wasiat kepada orang tua maupun kepada kerabat yang
menerima warisan atau kerabat jauh yang tidak menerima warisan.
Lain halnya dengan Imam Azzuhri dan Imam Abu Mijlaz yang berpendapat
bahwa wasiat itu wajib hukumnya bagi setiap muslim yang akan meninggal dunia
dan ia meninggalkan harta. Sementara ahli hukum dikalangan mazhab Masruq,
Iyas, Qatadah dan Ibnu Jarir berpendapat bahwa yang wajib wasiat tersebut adalah
hanya kepada orang tua dan karib kerabat yang oleh karena sesuatu hal tidak
mendapat waris dari orang yang berwasiat itu. Bahkan Abu Daud, Ibnu Hazm dan
Ulama Salaf berpendapat bahwa wasiat hukumnya adalah fardhu ain. Mereka
beralasan dengan al-Qur‟an surat
al-Baqarah ayat 180 dan surat an-Nisa ayat 11 dan 12.

17
Dikalangan ahli hukum mazhab Hambali dijelaskan bahwa wasiat menjadi
wajib apabila wasiat yang apabila tidak dilakukan akan membawa akibat hilangnya
hak-hak atau peribadatan, seperti diwajibkan bagi orang yang menanggung
kewajiban zakat, haji atau kifarat ataupun nazar. Wasiat menjadi sunnah jika
berwasiat kepada kerabat yang fakir dan tidak bias mewaris, dengan syarat orang
yang meninggal dunia meninggalkan harta yang banyak dan tidak melebihi
sepertiga harta. Wasiat menjadi makruh jika wasiat dilaksanakan oleh orang yang
tidak meninggalkan harta yang cukup, sedangkan ia mempunyai ahli waris yang
membutuhkannya. Wasiat menajadi haram jika wasiat dilaksanakan melebihi
sepertiga harta yang dimilikinya, atau berwasiat kepada orang yang berburu harta
dan merusak. Wasiat menjadi mubah apabila dilaksanakan tidak sesuai dengan
petunjuk syar‟i, seperti wasiat kepada orang kaya.
Wasiat begitu penting dalam kewarisan hukum Islam karena tidak hanya
dinyatakan dalam surat al-Baqarah, akan tetapi juga dinyatakan dalam surat an-
Nisaa ayat 11 dan ayat 12. Dalam ayat-ayat ini dinyatakan kedudukan wasiat yang
harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum dilakukan pembagian harta peninggalan
perwaris kepada anak/anak-anak, duda, janda/janda-janda dan saudara/saudara-
saudara pewaris. Wasiat diartikan sebagai pernyataan keinginan pewaris sebelum
kematian atas harta kekayaannya sesudah meninggalnya.

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan yang
memegang peranan penting, bahkan menentukan dan mencerminkan sistem
kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat. Hukum kewarisan sangat
erat hubungannya dengan kehidupan manusia karena terkait dengan harta
kekayaan dan manusia yang satu dengan yang lainnya. Kematian atau
meninggal dunia adalah peristiwa yang pasti akan dialami oleh seseorang,
karena kematian merupakan akhir dari perjalanan hidup seorang manusia.
Jika orang yang meninggal dunia yang dikenal dengan pewaris
meninggalkan keluarga dan harta kekayaan yang disebut warisan. Menurut
hukum kewarisan Islam, bagian yang diterima ahli waris pengganti belum
tentu sama dengan bagian orang yang digantikan, dan juga tidak boleh
melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti, tetapi
mungkin berkurang, dalam pembagian harta warisan ahli warispengganti
laki-laki menerima lebih banyak dari pada perempuan. Menurut hukum
kewarisan Islam bahwa penggantian ahli waris dalam garis lurus keatas,
garis lurus kebawah dan gariske samping. Hak pewarisan bisa gugur
disebabkan karena ahli waris yang murtad, hijab, pembunuhan.

B. Saran
Saran saya sebagai pembaca :
1. Semoga makalah ini bermanfaat bagi masyarakat
2. Semoga makalah ini juga bisa menjadi bahan referensi bagi
pembaca lain.

19
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Bab II Hukum Waris Islam Menurut Fikih Dan Kompilasi Hukum Islam
Buku Ajar Pendidikan Agama Islam
Jaya, Putra. 2020. Hukum Kewarisan Di Indonesia. Zara Abadi.

Artikel jurnal
Sanjaya, Umar Haris. 2018. Kedudukan Surat Wasiat Terhadap Harta Warisan
Yang Belum Dibagikan Kepada Ahli Waris. Jurnal yuridis. Vol. 5 No. 1.
Syafi’i. 2017. Wasiat Wajibah Dalam Kewarisan Islam Di Indonesia. Misykat. Vol.
2 No.2
Agus Wantaka, d. (2019). Pembagian Warisan dalam Perspektif Hukum Islam dan
Hukum Adat Jawa (Studi Komparasi). 13-33.

Sriani, E. (2018). Fiqih Mawaris Kontemporer : Pembagian Waris Berkeadilan


Gender. Tawazun : Journal of Sharia Economic Law , 133-147.

20

Anda mungkin juga menyukai