Anda di halaman 1dari 17

TUGAS

DOSEN PENGAMPU
TERSTRUKTUR

FIQH Hasbullah, S.Ag, M.H.I

“WARISAN”

OLEH :

KELOMPOK 3

HALIMAH ZUHUD 180101020108

NORNAJJIATI 180101020199

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB
BANJARMASIN
2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, atas petunjuk dan pertolongan Allah, kami dapat menyelesaikan


makalah yang berjudul “WARISAN”. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah
kepada baginda Rasulullah SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya, serta pengikut-
pengikutnya sampai hari akhir nanti.

Kami sangat bersyukur dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya,
kami menyadari bahwa makalah ini masih sangat banyak kekurangan karena itu berasal
dari diri kami, diharapkan pembaca dapat memahami, menghayati, serta menerapkan
dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu kami mengharapkan masukan-masukan yang
sifatnya membangun guna perbaikan makalah berikutnya agar lebih baik.

Banjarmasin, 20 September 2019

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .............................................................................................. ii

Daftar Isi ....................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ............................................................................. 2
C. Tujuan ............................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Waris ............................................................................... 3


B. Dalil-dalil Waris ................................................................................ 4
C. Tafsir Terkait Dalil Waris ................................................................. 5
D. Ahli Waris Beserta Bagiannya .......................................................... 9
E. Sebab-sebab Mendapat Warisan ....................................................... 11
F. Halangan Mendapatkan Warisan ...................................................... 11

BAB III PENUTUP

A. Simpulan ........................................................................................... 13

Daftar Pustaka ............................................................................................... 14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang
sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan
harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan
cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan
kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli
warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan
antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-
hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan
hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan
sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak,
ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya
sebatas saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum
dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang
kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para
ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan
syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu
hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal
demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk
kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping
bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi
individu maupun kelompok masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan waris?
2. Apa saja bagian-bagian ahli waris?
3. Apa yang menyebabkan seseorang mendapat warisan?
4. Apa yang menyebabkan seseorang terhalang mendapat warisan?
5. Apa dalil hukum waris?
6. Bagaimana tafsir yang terkait dengan dalil-dalil waris?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan waris.
2. Untuk mengetahui bagian-bagian ahli waris.
3. Untuk mengetahui sebab-sebab mendapat warisan.
4. Untuk mengetahui sebab-sebab terhalang mewaris.
5. Untuk mengetahui dalil yang menyatakan tentang hukum waris.
6. Untuk mengetahui bagaimana tafsir yang terkait dengan dalil-dalil
waris.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Waris
Hukum waris adalah hukum yang mengatur masalah peralihan
harta dari orang yang telah meninggal kepada keluarganya yang masih
hidup. Hukum waris, dalam bahasa Arab disebut mawarits dan fara’idh.
Disebut mawarits karena mengandung arti sebagai ketentuan yang
mengatur peralihan hak dan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang
kepada ahli warisnya setelah yang bersangkutan meninggal dunia. Dengan
demikian, hukum waris dititikberatkan pada orang-orang yang berhak
mendapat bagian harta yang ditinggal mati seseorang. Adapun hukum
waris yang disebut dengan istilah fara’idh merupakan bagian-bagian
tertentu dari orang-orang tertentu dan dalam keadaan tertentu pula, yang
wajib dibagikan kepada orang-orang tertentu. Dalam pengertian ini hukum
waris dititikberatkan pada bagian-bagian yang harus diterima ahli waris.1
Ada tiga jenis hukum kewarisan yang masih tetap eksis dan hidup
di tengah-tengah masyarakat, yaitu: Pertama, hukum kewarisan
berdasarkan syari’at Islam, seperti tertuang dalam ilmu faraid, kedua,
hukum kewarisan adat yang sangat pluralistis keadaannya dan sifatnya
tidak teertulis, dan ketiga, hukum warisan yang berdasarkan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)/ BW.2
Dari ketiga jenis kewarisan tersebut yang paling dominan dalam
pelaksanaan pembagian warisan masyarakat Indonesia adalah berdasarkan
hukum Islam dan hukum adat. 3

1
H.E. Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2008), hlm.342-343
2
Ahnad Haries, Pembagian Harta Warisan Dalam Islam: Studi Kasus pada Keluarga
Ulama Banjar di Kabupaten Hulu Sungai Utara Provinsi Kalimantan Selatan, Jurnal
Dirkursus Islam, Volume 2, Nomor. 2, 2 Agustus 2014, hlm. 192
3
Ibid, hlm. 192

3
Menurut kompilasi hukum Islam adalah: hukum yang mengatur
tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
siapa yang berhak menjadi ahli waris dan bagian masing-masing ahli waris
itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan pewaris dalam hukum
kewarisan adalah orang yang pada saat meninggalnya atau dinyatakan
telah meninggal berdasarkan pengadilan ia beragama Islam yang
meninggalkan ahli waris dan harta warisan. 4
Menurut Hazairin sebagaimana ditulis oleh Hadikusuma bahwa
hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran
masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem
keturunannya patrilineal, matrilineal, parental atau liberal.5

B. Dalil-dalil Waris6
1. Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 33:

‫م‬Dُْ‫َت َأ ْي ٰ َمنُ ُك ْم فََٔـاتُوه‬ ۚ Dُ‫َان َوٱَأْل ْق َرب‬


ْ ‫ونَ َوٱلَّ ِذينَ عَقَد‬D ِ ‫د‬Dِ‫ك ْٱل ٰ َول‬
َ ‫تَر‬ َ ٰ ‫لٍّ َج َع ْلنَا‬DD‫َولِ ُك‬
َ ‫مَولِ َى ِم َّما‬
‫ ْم ِإ َّن ٱهَّلل َ َكانَ َعلَ ٰى ُك ِّل َش ْى ٍء َش ِهيدًا‬Dُۚ‫صيبَه‬
ِ َ‫ن‬

“Bagi setiap harta peninggalan yang ditinggalkan oleh kedua orang


tua dan kerabat-kerabat, Kami adakan pewaris-pewarisnya. Dan (jika
ada) orang-orang yang telah setia dengan mereka, maka berilah
kepada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala
sesuatu.” (QS. An-Nisa, 4: 33)

2. Hadits riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim:

‫ض بَِأ ْهلِهَا فَ َما بَقِ َي فََأِلوْ لَى َر ُج ٍل َذ َك ٍر‬


َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َأ ْل ِحقُوْ ا ْالفَ َراِئ‬
َ ‫ال النَّبِ ُّي‬
َ َ‫ق‬
)‫(متفق عليه‬
4
Syahdan, Pembagian Harta Warisan Dalam Tradisi Masyarakat Sasak: Studi Pada
Masyarakat Jago Lombok Tengah, Jurnal Studi Keislaman dan Ilmu Pendidikan, Volume
4, Nomor 2, November 2016, hlm. 126
5
Ibid, hlm. 126
6
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 21-23

4
“Nabi Saw. Bersabda: “Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada
orang-orang yang berhak. Sesudah itu sisanya untuk orang laki-
laki yang lebih utama (dekat kekerabatannya).” (HR.al-Bukhari
dan Muslim).

C. Tafsir Terkait Dalil Waris7


1. Al-Qur’an surah An-Nisaa ayat 33

‫م‬Dُْ‫َت َأ ْي ٰ َمنُ ُك ْم فََٔـاتُوه‬ ۚ Dُ‫َان َوٱَأْل ْق َرب‬


ْ ‫ونَ َوٱلَّ ِذينَ عَقَد‬D ِ ‫د‬Dِ‫ك ْٱل ٰ َول‬
َ ‫تَر‬ َ ٰ ‫لٍّ َج َع ْلنَا‬DD‫َولِ ُك‬
َ ‫مَولِ َى ِم َّما‬
‫ ْم ِإ َّن ٱهَّلل َ َكانَ َعلَ ٰى ُك ِّل َش ْى ٍء َش ِهيدًا‬Dُۚ‫صيبَه‬
ِ َ‫ن‬

“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu


bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika
ada) orang-orang yang kammu telah bersumpah setia dengan mereka,
maka berilah kepada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah
menyaksikan segala sesuatau.” (Q.S. 4:33)

Ibnu ‘abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Qaradah, Zaid bin Aslam,
as-Suddi, adh-Dhahhak, Muqatil bin Hayyan dan yang lainnya berkata

َ ِ‫ ٍّل َج َع ْلنَا مَ ٰ َول‬DDD‫“ ) َولِ ُك‬Bagi tiap-tiap (harta


tentang firman-Nya: (‫ى‬
peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib-
kerabatnya), kami jadikan mawali.” Yaitu, ahli waris.

Dalam satu riwayat dari Ibnu ‘Abbas, artinya adalah ‘ashabah.


Ibnu Jarir berkata: “Orang Arab menamakan anak paman dengan
maula, sebagaimana perkataan al-Fadhl bin ‘Abbas:

‫مهال بني عمنا مهال موالينا * ال يظهرون بيننا ما كان مدفونا‬

7
‘Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Pustaka Imam
Syafi’I, 2001), hlm 293-296

5
“Tenanglah wahai anak paman kami, tenanglah dan maula-maula
kami. Janganlah sekali-kali tampak diantara kita sesuatu yang
terpendam di antara kita.”

Ibnu Jarir berkata: ”Yang dimaksud dengan firman Allah ta’ala: (

َ‫ون‬DDُ‫َان َوٱَأْل ْق َرب‬


ِ ‫د‬D ِ‫ ) ِم َّما تَ َركَ ْٱل ٰ َول‬adalah dari warisan peninggalan kedua
orang tua dan kerabat-kerabatnya, maka tafsirnya adalah bagi setiap
kalian hai manusia, kami jadikan ‘ashabah yang akan mewarisi dari
peninggalan kedua orang tua dan kerabat-kerabat ahlinya dari harta
peniggalannya.”

Firman Allah SWT: ( ‫صيبَهُ ۚ ْم‬


ِ َ‫َت َأ ْي ٰ َمنُ ُك ْم فَـَٔاتُوهُ ْم ن‬
ْ ‫“ ) َوٱلَّ ِذينَ َعقَد‬Dan (jika
ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka ,
maka berilah kepada mereka babagiannya.” Yaitu, orang-orang yang
telah bersumpah setia antara kamu dan mereka, maka berikanlah
bagian waris mereka sebagaimana yang telah kamu janjikan dalam
sumpah setia tersebut. Sesungguhnya Allah menjadi saksi diantara
kalian dalam berbagai kontrak dan perjanjiann tersebut. Hal ini berlaku
di masa permulaan Islam, kemudian setelah itu dibatalkan dan mereka
diperintahkan untuk menunaikan hak orang-orang yang telah sepakat
melakukan suatu akad serta tidak melupakannya, setelah turun ayat ini.

َ ِ‫ ٍّل َج َع ْلنَا مَ ٰ َول‬D‫) َولِ ُك‬


Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas: ( ‫ى‬
“Dan bagi setiap harta warisan itu kami jadikan mawali.” Yaitu, ahli
waris. (‫يبَهُ ۚ ْم‬D ‫َص‬
ِ ‫َت َأ ْي ٰ َمنُ ُك ْم فََٔـاتُوهُ ْم ن‬
ْ ‫“ ) َوٱلَّ ِذينَ عَقَد‬Dan orang-orang yang
kamu telah bersumpah setia dengan mereka.” Dahulu, kaum
Muhajirin ketika datang ke Madinah, mereka mewarisi kaum Anshar
tanpa ikatan kerabat, tetapi karena ukhuwwah dimana Nabi SAW
pernah mempersaudarakan antara Quraisy dan Anshar. Maka ketika
turun ayat: (‫ى‬ َ ٰ ‫) َولِ ُك ٍّل َج َع ْلنَا‬, maka dibatalkan/ dihapus. Kemudian
َ ِ‫مَول‬
ِ ‫َت َأ ْي ٰ َمنُ ُك ْم فَـَٔاتُوهُ ْم ن‬
Ibnu ‘Abbas berkata (tentang ayat ini): ( ‫م‬Dْ ُ‫يبَه‬D‫َص‬ ْ ‫) َعقَد‬
“Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia

6
dengan mereka, maka berilah kepada mereka babagiannya,” berupa
pertolongan, bantuan dan nasehat. Sedangkan kewarisannya telah
hilang (karena hukumnya telah dinasakh atau dibatalkan) dan
hendaknya memberikan wasiat kepadanya. Lalu, hal itu ( wasiat)

ِ ‫ض فِى ِك ٰ َت‬
dibatalkan oleh ayat: ( ِۗ ‫ب ٱهَّلل‬ ُ ‫وا ٱَأْل ْر َح ِام َب ْع‬
ٍ ‫ض ُه ْم َأ ْولَ ٰى بِ َب ْع‬ ۟ ُ‫“ ) َوُأ ۟ول‬Dan

orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama


lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab Allah.”
(Q.S Al-Anfaal: 75)

Diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, Mujahid, ‘Atha’, al-Hasan,


Ibnul Musyyab, Abu Shalih, Sulaiman bin Yasar, asy-Sya’bi, ‘Ikrimah,
as-Suddi, adh-Dhahhak, Qatadah dan Muqatil bin Hayyan, bahwa
mereka berkata: “Mereka itu adalah orang-orang yang bersumpah
setia.”

Imam Ahmad meriwayatkan dari Sa’id bin Ibrahim, ia berkata:


“Rasulullah SAW bersabda:

ً‫ش َّدة‬
ِ ‫ساَل ُم ِإاَّل‬ ٍ ‫ َوَأيُّ َما ِح ْل‬،‫الم‬
ْ ‫ف َكانَ فِي ا ْل َجا ِهلِيَّ ِة لَ ْم يَ ِزدْه اِإْل‬ ِ ‫س‬ ْ ‫اَل ِح ْلفَ فِي اإل‬

“Tidak ada sumpah setia dalam Islam dan sumpah setia apapun
yang ada pada masa Jahiliyah, maka Islam tidak menambahkan apapun
kepadanya, melainkan hanya memberatkan.” Demikianlah riwayat
Muslim dan an-Nasa-i.
Pendapat yang benar adalah bahwa pada permulan Islam, mereka
saling waris-mewarisi berdasarkan janji sumpah setia, kemudian
dinasakh (dihapus). Sedangkan pengaruh sumpah tetap diberlakukan,
sekalipun mereka diperintahkan untuk memenuhi berbagai perjanjian,
kontrak dan sumpah setia, yang dahulu mereka ikrarkan. Dan pada
hadits Jubair bin Muth’im yang lalu dijelaskan bahwa: “Tidak ada
sumpah setia dalam Islam, dan sumpah setia apapun yang ada pada

7
masa Jahiliyah, maka Islam tidak menambah apapun kepadanya,
melainkan hanya memberatkan.”
Hal ini merupakan nash yang menolak pendapat yang mengatakan
masih berlakunya waris-mewarisi atas dasar sumpah setia pada hari
ini, sebagaimana pendapat mazhab Abu Hanifah dan para pengikutnya
serta satu riwayat pendapat dari Ahmad bin Hanbal. Pendapat yang
benar adalah pendapat Jumhur (mayoritas) ulama, serta Imam Malik,
Imam Syafi’I, dan berdasarkan penndapat yang terkenal dari Imam

ِ ‫َولِ ُك ٍّل َج َع ْلنَا َم ٰ َولِ َى ِم َّما تَ َركَ ْٱل ٰ َولِد‬


Ahmad. Untuk itu, Allah berfirman: ( ‫َان‬

َ‫ون‬DDDُ‫)وٱَأْل ْق َرب‬
َ “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang
ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-
pewarisnya.” Yaitu, ahli waris dari kerabat dekat dari kedua orang tua
dan para kerabat keduanya. Mereka itu mewarisi tanpa orang-orang
yang lain.
Di dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Ibnu
‘Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda:

‫ض بَِأ ْهلِ َها فَ َما بَقِ َي فَ ُه َو َأِل ْولَى َر ُج ٍل َذ َك ٍر‬


َ ‫ ا ْلفَ َراِئ‬v‫َأ ْل ِحقُوا‬

“Berikanlah fara-idh (bagian-bagian waris) kepada yang berhak


atau pemiliknya (ahlinya). Apa yang tersisa, maka untuk laki-laki yang
lebih utama.”
Artinya, berikanlah oleh kalian harta warisan kepada para penerima
waris yang telah disebutkan Allah dalam dua ayat fara-idh. Apa yang
tersisa setelah itu, maka berikanlah kepada ‘ashabah.
Firman Allah: (‫َت َأ ْي ٰ َمنُ ُك ْم‬
ْ ‫)وٱلَّ ِذينَ َعقَد‬
َ “Dan (jika ada) orang-orang
yang kammu telah bersumpah setia dengan mereka.” Sebellum turun
ayat ini, berikanlah bagian mereka dari harta warisan. Sedang sumpah
setia apa saja yang dilakukan setelah itu, tidak aka nada penngaruhnya.
Satu pendapat mengatakan bahwa ayat ini membatalkan berbagai

8
sumpah setia yang ada pada masa yang akan datang, serta hukum
sumpah setia yang dilakukan pada masa yang lalu, sehingga tidak ada
lagi saling waris-mewarisi dengan sumpah mereka.
Sebagaiman Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia

ِ َ‫“ )فَآتُو ُه ْم ن‬Maka berilah pada mereka bagiannya.”


berkata: (‫يبَ ُه ْم‬vv‫ص‬
Yaitu, pertolongan, nasehat, pembelaan dan wasiat. Dan telah hilang
kewarisannya. (HR. Ibnu Jarir).

D. Ahli Waris Beserta Bagiannya8


1. Golongan Ahli Waris
Berdasarkan besarnya hak yang akan diterima oleh para ahli-waris,
maka ahli-waris di dalam hukum waris Islam dibagi menjadi tiga
golongan, yaitu:
a. Ashchabul Furudh
Ashchabul Furudh, yaitu golongan ahli waris yang bagian
haknya tertentu, yaitu 2/3, ½, 1/3, ¼, 1/6, atau 1/8.
Para ahli fara’idh membedakan ashchabul furudh ke dalam
dua macam, yaitu ashchabul furudh is-sababiyyah dan
ashchabul furudh in-nasabiyyah.

b. Ashabah
Ashabah, yaitu gologan ahli waris yang bagian haknya
tidak tertentu, tetapu mendapatkan ushubah (sisa) dari
Ashchabul Furudh atau mendapatkan semuanya jika tidak ada
Ashchabul Furudh.

c. Dzawil Arham
Dzawil Arham, yaitu golongan kerabat yang tidak termasuk
golongan pertama dan kedua.

84
Otje Salman & Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, (Bandung: PT Refika Aditama,
2010), hlm.51-59

9
2. Bagian Ahli Waris
a. Ahli waris utama
Ahli waris utama di dalam Islam terdiri dari lima, yaitu:
1) Janda, terbagi dua yaitu:
a.) Janda laki-laki
- ¼ bagian jika pewaris mempunyai anak.
- ½ bagian jika pewaris tidak mempunyai anak.
b.) Janda perempuan
- 1/8 bagian jika pewaris mempunyai anak.
- ¼ bagian jika pewaris tidak mempunyai anak.
2) Ibu
- 1/6 bagian jika pewaris mempunyai anak.
- 1/6 bagian jika pewaris mempunyai beberapa
saudara.
- 1/3 bagian jika pewaris tidak mempunyai anak.
3) Bapak
- 1/6 bagian jika pewaris mempunyai anak.
- 1/6 bagian + sisa jika pewaris hanya mempunyai
anak perempuan.
- Sisa, jika pewaris tidak mempunyai anak.
4) Anak perempuan
- ½ bagian jika seorang.
- 2/3 bagian jika beberapa orang.
- Masing-masing 1 bagian dari sisa jika mereka
mewaris bersama anak laki-laki.
5) Anak laki-laki
- Masing-masing 1 bagian dari sisa jika mereka
mewaris bersama dengan anak laki-laki lainnya.
- Masing-masing 2 bagian dari sisa jika mereka
mewaris bersama anak perempuan.

10
b. Ahli waris utama pengganti
1) Nenek
- 1/6 baik sendiri maupun bersama jika tidak ada ibu.
2) Kakek
- 1/6 bagian jika pewaris mempunyai anak.
- 1/6 bagian + sisa jika pewaris hanya mempunyai
satu anak perempuan.
- Sisa, jika pewaris tidak mempunyai anak.

E. Sebab-sebab Mendapat Warisan9


Dalam ketentuan hukum Islam, sebab-sebab mendapat warisan ada
tiga, yaitu:
1. Hubungan kekerabatan (al-qarabah), kekerabatan menjadi sebab
mewarisi adalah terbatas pada laki-laki dewasa
2. Hubungan perkawinan (al-mushaharah), perkawinan yang sah
merupakan salah satu sebab adanya hubungan saling mewarisi antara
suami dan istri
3. Hubungan antara tuan dengan budak (al-wala’), al-wala’ adalah
hubungan saling mewarisi karena seseorang memerdekakan hamba
sahaya, atau melalui perjanjian tolong menolong

F. Halangan Mendapatkan Warisan10


Adapun yang menjadi sebab seseorang tidak mendapat warisan,
yaitu:
1. Halangan kewarisan, yang menjadi penghalang bagi seorang ahli untuk
mendapatkan warisan, yaitu:
a. Pembunuhan, perbuatan membunuh yang dilakukan oleh seorang
ahli waris terhadap si pewaris menjadi penghalang bagi yang

9
Op.cit., hlm.41-45
10
Suhrawardi K. Lubis & Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 1999), hlm.53-59

11
membunuh untuk mendapatkan warisan dari pewaris, disebabkan
alasan-alasan sebagai berikut:
- Pembunuhan itu memutus hubungan silaturrahmi.
- Untuk mencegah seseorang mempercepat terjadinya proses
pewarisan.
- Pembunuhan adalah suatu tindak pidana kejahatan yng di
dalam Islam disebut dengan perbuatan maksiat, sedangkan hak
kewarisan merupakan nikmat, maka dengan sendirinya maksiat
tidak boleh dipergunakan sebagai suatu jalan untuk
mendapatkan nikmat.
b. Perbedaan agama, maksudnya adalah berbedanya agama yang
dianut antara pewaris dan ahli waris, artinya seorang muslim
tidaklah mewaris dari yang bukan muslim, begitu pula sebaliknya.

2. Kelompok keutamaan dan hijab, hukum waris Islam mengenal


pengelompokan ahli waris kepada beberapa kelompok keutamaan,
misalnya anak lebih utama dari cucu, ayah lebih utama dibandingkan
saudara, ayah lebih utama dibandingkan kakek. Kelompok keutamaan
ini juga disebabkan oleh kuatnya hubungan kekerabatan, misalnya
saudara kandung lebih utama dari saudara seayah atau seibu.

12
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Hukum waris, dalam bahasa Arab disebut mawarits dan fara’idh.


Disebut mawarits karena mengandung arti sebagai ketentuan yang
mengatur peralihan hak dan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang
kepada ahli warisnya setelah yang bersangkutan meninggal dunia.
Adapun hukum waris yang disebut dengan istilah fara’idh merupakan
bagian-bagian tertentu dari orang-orang tertentu dan dalam keadaan
tertentu pula, yang wajib dibagikan kepada orang-orang tertentu.

Semua orang muslim wajib mempelajari ilmu waris, ilmu waris


sangat penting dalam kehidupan manusia khususnya dalam keluarga,
karena tidak semua orang yang ditinggal mati oleh seseorang akan
mendapatkan warisan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Syahdan. 2016. Pembagian Harta Warisan Dalam Tradisi Masyarakat sasak: Studi
Pada Masyarakat Jago Lombok Tengah. Jurnal Studi Keislaman dan Ilmu
Pendidikan, 126.

Haries, A. 2014. Pembagian Harta Warisan Dalam Islam: Studi Kasus pada
Keluarga Ulama Banjar di Kabupaten Hulu Sungai Utara Provinsi
Kalimantan Selatan. Jurnal Dirkursus, 192.
Haffas, O. S. 2010. Hukum Waris Islam . Bandung: PT Refika Aditama.

Rofiq, H. A. 2012. Fiqh Mawaris. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Saleh, H. h. 2008. Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer . Jakarta: PT


RajaGrafindo Persada.

Simanjuntak, S. K. 1995. Hukum Waris Islam. Jakarta: Sinar Grafika.

‘Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh. 2001. Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Pustaka
Imamm Syafi’i.

14

Anda mungkin juga menyukai