Disusun Oleh:
Sem. IIIA/Muamalah
Farhan Tribowo Hidayat 0204223138
Segala puji bagi Allah swt. Yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-
Nya serta pengetahuan yang telah dititipkan kepada manusia. Karena hanya atas
izin- Nyalah saya dapat menyelesaikan sebuah makalah yang berjudul “Warisan”.
Penulis
q 12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum waris adalah merupakan bagian dari hukum Islam dan menduduki
tempat yang sangat penting dalam Hukum Islam. Ayat Alquran mengatur sebab
masalah warisan pasti dialami oleh setiap orang. Kecuali itu, hukum waris
langsung menyangkut harta benda yang apabila tidak diberikan ketentuan pasti
dialami oleh setiap orang. Hukum waris adalah suatu ketentuan nyang mengatur
tentang masalah harta, apabila tidak diatur secara rinci hal ini akan mengakibatkan
timbulnya sengketa dalam keluarga bahkan perselisihan itu akan berakibat sanagt
patal, bahkan sampai pertumpahan darah diantara keluarga sendiri, ada kalanya
karena masih sangat kental pengaruh kebiasaan ataupun hukum adat, yakni dengan
penundaan pembagian harta peninggalan pewaris hal ini akan berakibat fatal baik
kepada ahli waris maupun terhadap harta peninggalan tersebut habis tidak terbagi
sebagaimana mestinya. Sebagai contoh : A sorang laki-laki menikah dengan
seorang perempuan yang bernama B, mempunyai seorang anak laki-laki dan 3
orang anak perempuan. Si A meninggal dunia dan meninggalkan harta waris baik
harta gono gini maupun harta bawaan yang diperoleh sebelum perkawinan, namun
demikian harta tersebut tidak pernah terbagi pada para ahli waris yang berhak
menerimanya hingga pada suatu saat si janda/isteri menikah lagi dengan seorang
laki-laki yang bernama C. Dalam perkawian kedua ini lahirlah seorang anak laki-
laki dan dua orang anak perempuan, seiring perjalanan waktu anak-anak dari
perkawinan kedua ini beranjak dewasa, dan atas pengaruh suami sambung ini harta
yang dibawa oleh oleh si janda diatas namakan pada suami dan anak-anak dari
hasil perkawinan dengan suami kedua ini. Ketika si Istri meninggal, maka harta
peninggalan suami pertama seluruhnya dimiliki oleh anak-anak dari perkawian
kedua. Masih banyak lagi contoh kasus yang masih hidup dalam masyarakat yang
membagi harta warisan dengan berbagai sistem waris adat yang sangat beragam
yang masih hidup dalam masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Warisan?
2. Apakah sebab-sebab Pewarisan?
3. Bagaimana bagian-bagian Warisan?
4. Apa yang dimaksud dengan Kalalah?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian Warisan
2. Mengetahui sebab-sebab Pewarisan
3. Mengetahui bagian-bagian Warisan
4. Mengetahui pengertian Kalalah
q 12
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Warisan
1
. Al Qowim, 2011, Cara mudah membagikan harta waris, Yayasan Pon Pes Nurul Iman, Cimahi.
Hlm. 9.
q 12
3. Hukum waris Islam lebih cendrung untuk membagikan harta warisan kpada
sebanyak mungkin ahli waris, dengan membagikan bagian tertentu kepada
ben]berapa ahli waris. Misalnya,apabila ahli waris terdiri dari ayah, ibu, suami
atau istri dan anak-anak, mereka semua berhak atas harta warisan.
4. Hukum waris Islam tidak mmbedakan hak anak atas harta warisan.Anak
yang sudah besar, yang masih kecil, yang baru saja lahir, semuanya berhak atas
harta warisan orang tuanya. Nmun perbedaan besar kecilnya bagian diadakan
sejalan dengan perbedaan besar kecilnya beban kewajiban yang harus ditunaikan
dalam keluarga. Misalanya anak laki-laki yang memikul beban tanggungan nafkah
keluarga mempunyai hak lebih besar dari pada anak perempuan yang tidak
dibebani dibebani tanggungan nafkah keluarga.
5. Hukum waris Islam membedakan besar kecilnya bagian tertentu ahli waris
diselaraskan dengan kebutuhannya dalam hidup sehari-hari, disamping
memandang jauh dekat hubungannya denjgan mayit (pewaris). Bagian tertentu
dari harta itu adalah 2/3, ½, 1/3, ¼, 1/6, 1/8. Ketentuan tersebut termasuk hal yang
sifatnya ta’abbudi, yang wajib dilaksanakan karena telah menjadi ketentuan
Alquran suat An Nisaa‟ayat 13, adanya ketentuan bagia ahli waris yang bersifat
ta’abbudi itu merupakan salah satu ciri hukum waris Islam.2
B. Sebab-Sebab Pewarisan
Untuk dapat dijadikan sebagai ahli waris, atau orang yang berhak mendapatkan
bagian harta peninggalan pewaris haruslah disebabkan oleh beberapa sebab,
diantaranya :
1. Adanya hubungan kekerabatan atau nasab, seperti ayah, ibu, anak, cucu,
saudara-saudara kandung, saudara-saudara seayah maupun saudara-saudara seibu,
begitu juga kakek dan nenek keturuna keatas.
Q.S An Nisaa :7
Artinya : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
2
. Ahmad Azhar Basyir, loccit. Hlm. 11-12
q 12
ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan.”
Tafsir: (Bagi laki-laki) baik anak-anak maupun karib kerabat (ada bagian) atau
hak (dari harta peninggalan ibu bapak dan karib kerabat) yang meninggal dunia
(dan bagi wanita ada bagian pula dari harta peninggalan ibu bapak dan karib
kerabat,baik sedikit dari padanya) maksudnya dari harta itu (atau banyak)yang
dijadikan Allah (sebagai hak yang telah ditetapkan) artinya hak yang pasti yang
harus diserahkan kepada mereka.
Q.S An Nisaa :8
Artinya: “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan
orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang baik.”
Tafsir: (Dan apabila pembagian harta warisan dihadiri oleh karib kerabat )
yakni dari golongan yang tidak beroleh warisan (dan anak-anak yatim serta orang-
orang miskin, maka berilah mereka dari padanya sekadarnya) sebelum dilakukan
pembagian (dan ucapkanlah) hai para wali (kepada mereka) yakni jika mereka
masih kecil-kecil (kata-kata yang baik) atau lemah-lembut , seraya meminta maaf
kepada kaum kerabat yang tidak mewarisi itu, bahwa harta peninggalan ini bukan
milik kalian tetapi milik ahli waris yang masih kecil-kecil. Ada yang mengatakan
bahwa hukum ini yakni pemberian kepada kaum kerabat yang tidak mewarisi telah
dinaskhkan/dihapus. Tetapi ada pula yang mengatakan tidak, hanya manusialah
yang mempermudah dan tidak melakukannya. Berdasarkan itu maka hukumnya
Sunnah, tetapi Ibnu Abbas mengatakan wajib.
ُي و ِص ي ُك ُم ال َّل ُه ِف ي َأ ْو اَل ِد ُك ْم ۖ ِل ل َّذ َك ِر ِم ْث ُل َح ِّظ ا ُأْل ْن َث َيْي ِن ۚ َف ِإ ْن ُك َّن ِنَس ا ًء َف ْو َق ا ْث َن َت ْي ِن َف َل ُه َّن ُث ُل َث ا َم ا
َو َل ٌد ۚ َف ِإ ْن َل ْم َي ُك ْن َل ُه َو َل ٌد َو َو ِر َث ُه َأ َب َو ا ُه َفُأِل ِّم ِه ال ُّث ُلُث ۚ َف ِإْن َك اَن َل ُه ِإ ْخ َو ٌة َفُأِل ِّم ِه ال ُّس ُد ُس ۚ ِم ْن َبْع ِد
ۗ َو ِص َّيٍة ُي و ِص ي ِب َه ا َأ ْو َد ْي ٍن ۗ آ َب اُؤ ُك ْم َو َأ ْب َن اُؤ ُك ْم اَل َتْد ُر وَن َأ ُّيُه ْم َأْق َر ُب َل ُك ْم َن ْف ًع اۚ َف ِر ي َض ًة ِم َن ال َّل ِه
q 12
anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,
maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan
itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia
buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-
anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Tafsir: ketentuan pemberian kepada setiap pemilik warisan atau ahli waris.
Ayat di atas juga memberi penegasan bahwa ada hak untuk laki-laki maupun
perempuan berupa bagian tertentu dari warisan ibu, bapak, dan kerabat yang diatur
oleh Allah Yang Maha Tinggi.
Dikutip dari buku Hukum Islam karya Palmawati Tahir dan Dini Handayani,
kandungan inti dari ayat di atas adalah syariat tentang pembagian warisan seorang
anak laki-laki yang sama dengan bagian dua orang anak perempuan dengan
perbandingan 2:1.
Selain itu, ayat di atas juga mengandung keunikan ilmu warisan dalam Islam
yang mengatur hak warisan dengan mengggunakan sistem yang matematis.
Pembagian hak warisan ini menggunakan angka pecahan sehingga tidak lebih dari
satu bagian, seperti ½, 1/3, ¼, 1/6, 1/8, dan 2/3.
َو َلُك ْم ِنْص ُف َم ا َتَر َك َأْز َو اُج ُك ْم ِإْن َلْم َيُك ْن َلُهَّن َو َلٌد َف ِإْن َك اَن َلُهَّن َو َل ٌد َفَلُك ُم الُّر ُب ُع ِم َّم ا َت َر ْك َن ِم ْن َبْع ِد َو ِص َّيٍة
ُيوِص يَن ِبَها َأْو َدْيٍن َو َلُهَّن الُّر ُبُع ِم َّم ا َتَر ْكُتْم ِإْن َلْم َيُك ْن َلُك ْم َو َلٌد َفِإْن َك اَن َلُك ْم َو َل ٌد َفَلُهَّن الُّثُم ُن ِم َّم ا َت َر ْكُتْم ِم ْن
َبْعِد َو ِص َّيٍة ُتوُصوَن ِبَه ا َأْو َدْيٍن َو ِإْن َك اَن َرُج ٌل ُي وَر ُث َكاَل َل ًة َأِو اْم َر َأٌة َو َل ُه َأٌخ َأْو ُأْخ ٌت َفِلُك ِّل َو اِح ٍد ِم ْنُهَم ا
الُّسُد ُس َفِإْن َك اُنوا َأْك َثَر ِم ْن َذ ِلَك َفُهْم ُش َر َك اُء ِفي الُّثُلِث ِم ْن َبْعِد َو ِصَّيٍة ُيوَص ى ِبَها َأْو َدْيٍن َغ ْيَر ُم َض اٍّر َو ِص َّيًة
) ِم َن ِهَّللا َو ُهَّللا َع ِليٌم١٢(
q 12
Artinya: Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah
dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka
para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.
Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara
seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,
sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya
dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang
demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Penyantun.
Tafsir: (Dan bagi kamu, suami-suami, seperdua dari harta peninggalan istri-
istrimu jika mereka tidak mempunyai anak) baik dari kamu maupun dari bekas
suaminya dulu. (Tetapi jika mereka mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta peninggalan, yakni setelah dipenuhinya wasiat yang mereka
buat atau dibayarnya utang mereka.) Dalam hal ini cucu dianggap sama dengan
anak menurut ijmak. (Dan bagi mereka) artinya para istri itu baik mereka
berbilang atau tidak (seperempat dari harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak; dan jika kamu mempunyai anak) baik dari istrimu itu maupun
dari bekas istrimu (maka bagi mereka seperdelapan dari harta peninggalanmu,
yakni setelah dipenuhinya wasiat yang kamu buat atau dibayarnya utangmu).
Dalam hal ini cucu dianggap sama dengan anak menurut ijmak. (Jika seorang
laki-laki yang diwarisi itu) menjadi sifat, sedangkan khabarnya: (kalalah) artinya
tidak meninggalkan bapak dan tidak pula anak (atau perempuan) yang mewaris
secara kalalah (tetapi ia mempunyai) maksudnya yang diwarisi itu (seorang
saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan) maksudnya yang seibu, dan
jelas-jelas dibaca oleh Ibnu Masud dan lain-lain (maka masing-masing jenis
saudara itu memperoleh seperenam) harta peninggalan.
q 12
C. Pembagian Warisan
c. Cara Gharawain Masalah gharawain ini terjadi ketika ahli waris hanya
terdiri dari suami atau istri, ibu dan bapak saja. Prinsip dasarnya adalah bahwa ibu
menerima 1/3 dan bapak sisanya (2/3) dengan kata lain bagian laki-laki dua kali
bagian perempuan (li al-dzakari misl hazh al-unsayain) keadaan ini tetap berlaku
mana kala ibu dan bapak bersama-sama dengan ahli waris suami atau istri. Jadi
setelah bagian suami atau istri diserahkan ibu menerima 1/3 dan bapak sisanya.5
Q.S An Nisaa :7
Artinya : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian
yang telah ditetapkan.”
Tafsir: (Bagi laki-laki) baik anak-anak maupun karib kerabat (ada bagian)
atau hak (dari harta peninggalan ibu bapak dan karib kerabat) yang meninggal
dunia (dan bagi wanita ada bagian pula dari harta peninggalan ibu bapak dan
karib kerabat,baik sedikit dari padanya) maksudnya dari harta itu (atau
banyak)yang dijadikan Allah (sebagai hak yang telah ditetapkan) artinya hak yang
pasti yang harus diserahkan kepada mereka.
3
. Ahmad Rofiq. (1998). hlm. 84.
4
. Ahmad Rofiq. (1998). hlm. 97.
5
. Ahmad Rofiq. (1998). hlm. 108.
q 12
Q.S An Nisaa : 11
ُي و ِص ي ُك ُم ال َّل ُه ِف ي َأ ْو اَل ِد ُك ْم ۖ ِل ل َّذ َك ِر ِم ْث ُل َح ِّظ ا ُأْل ْن َث َيْي ِن ۚ َف ِإ ْن ُك َّن ِنَس ا ًء َف ْو َق ا ْث َن َت ْي ِن َف َل ُه َّن ُث ُل َث ا َم ا
َو َل ٌد ۚ َف ِإ ْن َل ْم َي ُك ْن َل ُه َو َل ٌد َو َو ِر َث ُه َأ َب َو ا ُه َفُأِل ِّم ِه ال ُّث ُلُث ۚ َف ِإْن َك اَن َل ُه ِإ ْخ َو ٌة َفُأِل ِّم ِه ال ُّس ُد ُس ۚ ِم ْن َبْع ِد
ۗ َو ِص َّيٍة ُي و ِص ي ِب َه ا َأ ْو َد ْي ٍن ۗ آ َب اُؤ ُك ْم َو َأ ْب َن اُؤ ُك ْم اَل َتْد ُر وَن َأ ُّيُه ْم َأْق َر ُب َل ُك ْم َن ْف ًع اۚ َف ِر ي َض ًة ِم َن ال َّل ِه
Tafsir: ketentuan pemberian kepada setiap pemilik warisan atau ahli waris.
Ayat di atas juga memberi penegasan bahwa ada hak untuk laki-laki maupun
perempuan berupa bagian tertentu dari warisan ibu, bapak, dan kerabat yang
diatur oleh Allah Yang Maha Tinggi.
Dikutip dari buku Hukum Islam karya Palmawati Tahir dan Dini Handayani,
kandungan inti dari ayat di atas adalah syariat tentang pembagian warisan seorang
anak laki-laki yang sama dengan bagian dua orang anak perempuan dengan
perbandingan 2:1.
Selain itu, ayat di atas juga mengandung keunikan ilmu warisan dalam Islam
yang mengatur hak warisan dengan mengggunakan sistem yang matematis.
Pembagian hak warisan ini menggunakan angka pecahan sehingga tidak lebih dari
satu bagian, seperti ½, 1/3, ¼, 1/6, 1/8, dan 2/3.
q 12
Q.S An Nisaa : 12
َو َلُك ْم ِنْص ُف َم ا َتَر َك َأْز َو اُج ُك ْم ِإْن َلْم َيُك ْن َلُهَّن َو َلٌد َفِإْن َك اَن َلُهَّن َو َلٌد َفَلُك ُم الُّر ُبُع ِم َّم ا َتَر ْك َن ِم ْن َبْعِد
َو ِص َّيٍة ُيوِص يَن ِبَها َأْو َدْيٍن َو َلُهَّن الُّر ُبُع ِم َّم ا َتَر ْكُتْم ِإْن َلْم َيُك ْن َلُك ْم َو َلٌد َفِإْن َك اَن َلُك ْم َو َلٌد َفَلُهَّن الُّثُم ُن ِم َّم ا َتَر ْكُتْم
ِم ْن َبْعِد َو ِصَّيٍة ُتوُصوَن ِبَها َأْو َدْيٍن َو ِإْن َك اَن َر ُج ٌل ُيوَر ُث َكاَل َلًة َأِو اْم َر َأٌة َو َلُه َأٌخ َأْو ُأْخ ٌت َفِلُك ِّل َو اِحٍد ِم ْنُهَم ا
الُّسُد ُس َفِإْن َك اُنوا َأْك َثَر ِم ْن َذ ِلَك َفُهْم ُش َر َك اُء ِفي الُّثُلِث ِم ْن َبْعِد َو ِصَّيٍة ُيوَص ى ِبَها َأْو َدْيٍن َغ ْيَر ُم َض اٍّر َو ِص َّيًة
) ِم َن ِهَّللا َو ُهَّللا َع ِليٌم١٢(
Tafsir: (Dan bagi kamu, suami-suami, seperdua dari harta peninggalan istri-
istrimu jika mereka tidak mempunyai anak) baik dari kamu maupun dari bekas
suaminya dulu. (Tetapi jika mereka mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta peninggalan, yakni setelah dipenuhinya wasiat yang mereka
buat atau dibayarnya utang mereka.) Dalam hal ini cucu dianggap sama dengan
anak menurut ijmak. (Dan bagi mereka) artinya para istri itu baik mereka
berbilang atau tidak (seperempat dari harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak; dan jika kamu mempunyai anak) baik dari istrimu itu maupun
dari bekas istrimu (maka bagi mereka seperdelapan dari harta peninggalanmu,
yakni setelah dipenuhinya wasiat yang kamu buat atau dibayarnya utangmu).
Dalam hal ini cucu dianggap sama dengan anak menurut ijmak. (Jika seorang
laki-laki yang diwarisi itu) menjadi sifat, sedangkan khabarnya: (kalalah) artinya
tidak meninggalkan bapak dan tidak pula anak (atau perempuan) yang mewaris
secara kalalah (tetapi ia mempunyai) maksudnya yang diwarisi itu (seorang
saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan) maksudnya yang seibu, dan
jelas-jelas dibaca oleh Ibnu Masud dan lain-lain (maka masing-masing jenis
saudara itu memperoleh seperenam) harta peninggalan.
(Tetapi jika mereka itu) maksudnya saudara-saudara yang seibu itu,baik laki-
laki maupun perempuan (lebih daripada itu) maksudnya lebih dari seorang (maka
mereka berserikat dalam sepertiga harta) dengan bagian yang sama antara laki-
laki dan perempuan (sesudah dipenuhinya wasiat yang dibuatnya atau dibayarnya
utangnya tanpa memberi mudarat) menjadi hal dari dhamir yang terdapat pada
yuushaa; artinya tidak menyebabkan adanya kesusahan bagi para ahli waris,
q 12
misalnya dengan berwasiat lebih dari sepertiga harta (sebagai amanat) atau pesan,
dan merupakan mashdar yang mengukuhkan dari yuushiikum (dari Allah, dan
Allah Maha Mengetahui) faraid atau tata cara pembagian pusaka yang diatur-Nya
buat makhluk-Nya (lagi Maha Penyantun) dengan menangguhkan hukuman
terhadap orang-orang yang melanggarnya. Kemudian mengenai pembagian
pusaka terhadap ahli-ahli waris tersebut yang mengandung keraguan dengan
adanya halangan seperti pembunuhan atau perbedaan agama dan menjadi murtad,
maka penjelasannya diserahkan pada sunah.
D. Kalalah
Kata Kalalah adalah mashdar dari “Kalla”, yang artinya penat atau letih
6
ia. Kala-Kalalah, kepenatan atau keletihan.
2. Di dalam Tafsir al-Manar disebutkan bahwa Kalla Yakillu dengan arti al-
kalal yaitu kepenatan atau jauh selain kerabat anak dan bapak, karena lemahnya
hubungan kepada kerabat Ushul dan Furu’.7
3. Di dalam Kitab Tafsir Ibnu Kasir dijelaskan bahwa Kalalah diambil dari
kata Iklil yaitu mahkota yang membelit di kepala dari samping. Dan dimaksud
disini adalah orang yang menjadi ahli waris si mayit dari kerabat menyamping
atau hawasyi, tidak ada ushul dan furu’nya.8
Dari beberapa kutipan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kalalah adalah
ahli waris yang ditinggalkan si mayit tidak ada dari jurusan atas dan bawah (suhul
dan furu’), ahli warisnya hanya dari samping (hawasyi).
Orang tua dan anak merupakan dua ujung seseorang karena itu bila kedua
ujung itu tidak ada, dan yang mengelilingi si mayit hanya saudara-saudaranya
saja, diumpamakan seperti mahkota yang membelit di kelapa itulah sebabnya
disebut Kalalah.
6
. Muhammad Idris al-Marbawy, Kamus al-Marbawiy Juz. II, Cet. III, Mustafa al-Baby al-Halaby,
Mesir 1354 H – 1935 M, hlm. 192
7
. Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Jilid IV, Cet. IV, Mathba’ah Muhammad ali Shubh
wa Auladuh, Al Azhar, Mesir, 1374, hlm. 422
8
. Abil Fida’ Ismail bin Kasir al-Qurasyu, Tafsir Ibn Kasir, Juz. I, Al-Baby Al-Halaby wa Syirkah,
Mesir, tt. Hlm. 460
q 12
Ulama berbeda pendapat dalam memahami lafaz ‘walad dalam kalimat laisa
lahu walad. Sebagian mengatakan maksud walad hanya anak laki-laki saja tidak
termasuk anak perempuan. Tetapi menurut pendapat ulama muhaqqiqun yang
dimaksud dengan walad adalah anak laki-laki dan perempuan.9
1. Saudara perempuan tidak akan mendapat seperdua dari harta warisan jika
ada anak perempuan, jika ia bersama-sama dengan anak perempuan
kedudukannya hanya sebagai asabah ma’al qhair. Memang ada kemungkinan
saudara perempuan mendapat seperdua, dengan syarat ahli waris hanya dia
bersama-sama dengan seorang anak perempuan saja. Tetapi bagian ini pun dari
sebab kedudukannya sebagai asabah, bukan merupakan bagian tetapnya atau
fardhnya.
2. Saudara laki-laki tidak akan mendapat seluruh harta jika ada anak
perempuan, dia hanya mendapat sisa harta setelah bagian anak perempuan.
Dalam hal ini anak perempuanlah yang mendapat bagian seperdua harta,
sedangkan saudara perempuan hanya sebagai asabah dengan sebab dia bersama-
sama dengan anak perempuan.
Selanjutnya bahwa pengertian walad juga mencakup cucu laki-laki dari anak
laki-laki si mayit, sebab cucu laki-laki tersebut menduduki banyak fungsi, jika
ayahnya tidak ada lagi, yaitu sebagai pendinding saudara-saudara dan
kedudukannya sebagai asabah.
Jadi walaupun si mayit tidak mempunyai anak laki-laki atau perempuan, tetapi
mempunyai cucu laki-laki dari anak laki-laki maka saudara-saudara si mayit
terdinding. Dan jelaslah bahwa kehadiran cucu mempengaruhi bagian-bagian
saudara seperti tercantum dalam ayat Kalalah.
9
. Muhammad Ali al-Sais, Tafsir Ayat Ahkam, Jilid II, Masba’ah Muhammad Ali Shabih wa
Auladuh, al-Azhar Mesir, 1373 H 1953 H, hlm. 152
q 12
Istilah walad secara mutlak mencakup anak turun si mayit (Far’u Warits)
betapapun jauh derajat menurunnya.
Salah seorang ulama ilmu faraidh yang terkenal yaitu Zaid bin Sabid
mengatakan bahwa cucu laki-laki dari anak laki-laki menduduki tempat anak laki-
laki, bila si mayit tidak meninggalkan anak, laki-laki atau perempuannya mereka
(cucu-cucu itu) seperti laki-laki dan perempuannya anak si mayit. Mereka juga
dapat menghijab sebagaimana anak-anak mayit menghijab.10 10
Secara umum, yang dimaksud dengan ushul ialah ayah dan ibu si mayit.
Tetapi dalam masalah ini yang dimaksud ushul disini hanyalah ayah saja. Tidak
termasuk ibu sebab ayahlah yang dapat mendinding bagian saudara, sederhana ibu
tidak dapat mendinding saudara.
Jadi jika seseorang meninggal dunia, tidak ada meninggalkan furu’ waris dan
ayah, tetapi mempunyai ibu dan saudara, maka bagian saudara-saudara tersebut
adalah seperti yang tercantum dalam kalalah. Kehadiran ibu sebagai ahli waris
tidak mempengaruhi bagian saudara-saudara. Bahkan sebaliknya saudara-
saudaralah yang mempengaruhi bagian ibu, sebab dengan adanya dua orang
saudara atau lebih dapat menghijab nuqshan ibu.
10
. Fatchur Rahman, Ilmu Waris, PT. Al-Ma’arif, Bandung Cet. II, 1981, hlm. 195
q 12