Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH :

RADD DAN DZAWIL ARHAM

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK VI

NURBAITI AZIZILLAH 21822027


RINIAYULIA ( 21822035)
DENI SAPUTRA (21922084)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
KENDARI
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan sukur sudah sepantasnya kita panjatkan ke hadirat Allah
SWT yang hingga saat ini masih berkenan memberikan kepercayaan-Nya kepada
kita semua untuk menikmati segala karunia-Nya, dan hanya dengan qudrat dan
iradat-Nyalah penyusun dapat menyelesaikan makalah ini. Adapun makalah ini di
susun untuk memenuhi mata pelajaran Sejarah Indonesia. Semoga dengan
penyusunan makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pemahaman diri
penyusun tentang mata pelajaran ini. Demi kesempurnaannya, penyusun selalu
mengharapkan adanya saran dan masukan dari berbagai pihak. Tidak lupa
penyusun mengucapkan terima kasih kepada guru pembimbing mata pelajaran
Sejarah Indonesia dan kepada semua pihak yang telah mendukung hingga
terselesaikannya makalah ini. Harapan penyusun semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat khususnya bagi penyusun sendiri dan umumnya bagi siapa
saja yang membaca.,

25 Juli

Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Salah satu hukum yang mengatur hubungan sesama manusia
yang ditetapkan Allah adalah hukum kewarisan yang mengatur
tentang harta warisan, yaitu harta yang telah ditinggalkan oleh
seseorang yang telah meninggal. Harta tersebut memerlukan
pengaturan tentang siapa yang berhak menerimanya, berapa
jumlahnya, dan bagaimana cara mendapatkannya .
Dalam praktek kehidupan sehari-hari, persoalan waris
seringkali menjadi krusial yang terkadang memicu pertikaian dan
menimbulkan keretakan hubungan keluarga. Penyebab utamanya
ternyata keserakahan dan ketamakan manusia, disamping karena
kekurangtahuan pihka-pihak yang terkait mengenai hukum
pembagian waris.
Syari’at Islam telah menetapkan sistem kewarisan dalam
aturan yang paling baik, bijak, dan adil. Agama Islam meletakkan
hak pemilikan benda bagi manusia, baik laki-laki maupun
perempuan dalam petunjuk syara’, seperti memindahkan hak milik
seseorang pada waktu masih hidup kepada ahli warisnya atau
setelah dia meninggal, tanpa melihat perbedaan antara anak kecil
dan orang dewasa.
Sumber hukum waris Islam yang berasal dari wahyu
mengandung berbagai asas yang dalam beberapa hal berlaku pula
pada hukum waris yang berdasarkan hasil ijtihad manusia. Di
dalam Al-Qur’an hanya dua kewajiban yang disebutkan secara
berurutan sebagai prasyarat pembagian warisan untuk ahli waris
yaitu wasiat dan hutang. Sekalipun dalam Al-Qur’an Allah
menyebutkan wasiat lebih dahulu dari hutang, namun tidaklah
berarti bahwa dalam pelaksanaannya wasiat harus mendahului
pembayaran hutang. Yang dikehendaki Allah dalam ayat ini ialah
wasiat dan hutang harus lebih dahulu diselesaikan sebelum
pembagian warisan.
Di dalam Hukum Waris Islam ada masalah-masalah kewarisan
yang diselesaikan secara khusus. Masalah-masalah khusus dalam
kewarisan ini adalah persoalan-persoalan kewarisan yang
penyelesaiannya menyimpang dari penyelesaian yang biasa,
dengan kata lain pembagian harta warisan itu tidak dilakukan
sebagaimana biasanya. Masalah-masalah khusus ini timbul karena
adanya kejanggalan apabila penyelesaian pembagian harta warisan
tersebut dilakukan secara biasa. Untuk menghilangkan kejanggalan
tersebut, maka penyelesaian pembagian harta warisan itu dilakukan
secara khusus.

B. Rumus Masalah
1. Apa yang dimaksud mewarisi dengan jalan Radd dan syarat radd?
2. Apa yang dimaksud dzawil arham dan hak mereka terhadap harta
waris?
3. Siapa saja Golongan dan martabat dzawil arham?
4. Bagaimana Jalan memberikan harta waris pada dzawil arham?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud mewarisi dengan jalan Radd
dan syarat radd
2. Untuk mengetahui apa hang dimaksud dzawil arham dan hak
mereka terhadap harta waris
3. Untuk mengetahui siapa saja Golongan dan martabat dzawil arham
4. Untuk mengetahui bagaimana Jalan memberikan harta waris pada
dzawil arham.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian mewarisi dengan jalan Radd dan syarat radd


Kata radd ditinjau dari aspek bahasa bisa berarti “i‟aadah,”
mengembalikan, dan bisa juga berarti “sharf,” memulangkan kembali.
Seperti dikatakan radda „alaihi haqqah, artinya a‟aadahu ilaih: dia
mengembalikan haknya kepadanya dan radda‟anhu kaida„aduwwih: dia
memulangkan kembali tipu muslihatnya.
Selain itu radd juga bisa bermakna penolakan atau penyerahan,
sedangkan radd yang dimaksud menuurut istilah ilmu faraidh (dalam
pengertian syara‟ menurut fuqaha) adalah pengembalian apa yang tersisa
dari bagian dzawil furudh nasabiyah kepada mereka sesuai dengan besar
kecilnya bagian mereka bila tidak ada orang lain yang berhak untuk
menerimanya.
Masalah radd merupakan kebalikan dari masalah „aul yang terjadi
apabila pembilang lebih kecil dari pada penyebut, yakni dalam pembagian
warisan terdapat kelebihan harta setelah ahli waris ashabul furudh
memperoleh bagiannya. Cara radd ditempuh untuk mengembalikan sisa
harta kepada ahli waris seimbang dengan bagian yang diterima masing-
masing proporsional. Senada dengan beberapa pernyataan diatas, Moh
Rifa‟i menyatakan kalau Al raddu itu ialah ulangan membagi sisa pusaka
kepada ahli waris dzu fardhin menurut pertimbangan bagian masing-
masing. Atau ditegaskan oleh Muslich Maruzi dengan dikembalikannya
sisa harta warisan tersebut jika terjadi keadaan dimana jumlah semua
bagian ahli waris ternyata lebih sedikit dari pada jumlah harta warisan
yang ada (harta waris lebih banyak dari pada jumlah bagian-bagian ahli
waris).
Dari berbagai pengertian baik yang ditinjau dari aspek bahasa atau
istilah ini pada intinya sangat terkait dengan persoalan adanya sisa harta
warisan yang terlebih yang akan dikembalikan kepada ahli waris ashabul
furudh secara berimbang sesuai dengan besar kecilnya bagian yang telah
diterimanya berdasarkan furudhul muqaddarah, sehingga akan
berpengaruh pula dengan operasional metode perhitungannya. Dengan
pengertian lain bahwa pengaruh ini nentinya akan menambah perolehan
masing-masing waris yang setelah menerima bagian yang telah ditentukan
berdasarkan al Qur‟an atau hadis Nabi Saw.
Semua sisa harta yang ada dikembalikan kepada ahli waris furudh
yang ada berdasarkan kadar furudh masing-masing, kalau furudh yang ada
adalah 1/3 dari harta maka, radd yang diterimanya adalah 1/3 dari sisa
harta itu dan begitu seterusnya. Ketentuan dan cara pengembalian harta
kepada furudh yang ada itu menjadi perbincangan dikalangan ulama.
Jumhur ulama berpendapat bahwa sisa harta yang ada diserahkan kepada
ahli waris furudh yang ada disebabkan oleh hubungan Rahim. Dengan
demikian, ahli waris furudh yang melalui sebab perkawinan tidak berhak
menerima pengembalian. Alasan pembatasan ini adalah oleh karena yang
menjadi alasan adanya radd tersebut adalah hubungan rahim sedangkan
suami istri atau istri kewarisannya disebabkan hukum dan bukan karena
hubungan rahim.
Diriwayatkan dari Usman bahwa pengembalian yang bernama
radd itu berlaku juga untuk hubungan perkawinan sehingga semua ahli
waris furudh mendapat hak atas radd, menurut mereka alasan pembatasan
itu tidak kuat. Mereka menerima kewajiban yang sama dalam pengurangan
waktu terjadi „aul, tentu tidak ada alasan untuk membedakannya ini pada
waktu menerima kelebihan hak. Jumhur mengemukakan argument
tambahan yang sangat lemah, yaitu harta apa yang diterima suami itu
bukan dari kelebihan harta warisan, melainkan dari baitul mal atau sebagai
ashabah karena ada tambahan hubungan kekerabatan lain.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas‟ud tentang adanya ahli waris yang
tidak berhak atas pengembalan radd itu, yaitu anak perempuan dan anak
laki-laki waktu bersama dengan anak perempuan,saudara perempuan
seayah dengan saudara perempuan kandung dan nenek waktu bersama
dengan orang yang punya saham. Diriwayatkan dari Ibnu Al-Manshur dari
Ahmad bahwa saudara seibu tidak menerima radd ketika saat mewarisi
bersama dengan ibu begitu pula kakek bila saat mewarisi bersama dengan
yang punya saham. Dalam masalah sisa harta ini diberikan kepada siapa,
ada dua pendapat yaitu:
1. Ada yang berpendapat bahwa sisa pembagian tersebut diberikan
kepada baitul mal. diIndonesia tentunya dapat saja diserahkan
kepada Bazis , apabila ini yang dipakai maka tidak ada persoalan
sama sekali
2. Sisa hasil pembagian harta tersebut dikembalikan kepada ahli waris
yang shahibul fardh.
Namun perlu dicatat bahwa istri atau suami tidak boleh mendapat
keuntungan dari pembagian kelebihan harta tersebut sebab suami atau
istri tidak boleh bertambah bagiannya. Dengan demikian, sisa
pembagian harta tersebut hanya dibagikan kepada ahli waris yang
shahibul fardh diluar suami atau istri. Apabila kemungkinan kedua
yang dipakai, maka yang pertama sekali harus dikeluarkan bagian suami
atau istri, baru kemudian sisanya dibagi diantara para ahli waris yang
shahibul fardh yang proporsional.
Kasus atau masalah radd ini tidak akan terjadi kalau tidak
memenuhi rukun (syarat) ini:
1. pertama adanya pemilik fardh (shahibul fardh),
2. kedua adanya sisa harta warisan,
3. ketiga tidak adanya ahli waris ashobah.
Sesuai dengan pengertian radd itu sendiri, sehingga apa yang
menjadi rukun (syarat) terjadnya pun sangat terkait dengan apa yang
menjadi persoalan dalam kasus radd tersebut. Seperti syarat pertama
adanya ashabul furudh, karena mereka itulah orang-orang yang
memiliki bagian tertentu menurut ayat-ayat kewarisan yang mendapat
prioritas pertama dan utama yang memperoleh hak-haknya terhadap
harta warisan, dan kemudian mereka ini pula yang dijadian pusat
perhatian dalam masalah pengembalian sisa harta warisan yang terlebih
(syarat kedua).

Tidak adanya ahli waris ashobah sebagaimana rukun (syarat) ketiga


merupakan penjelasan lebih jauh dari persayaratan sebuah kasus radd
sebba mereka tergolong sebagai kelompok waris penerima sisa.
Sehingga jelaslah ketiadaan mereka ini dijadikan sebagai salah satu
syarat terjadinya radd, atau bahkan ini merupakan penegasan syarat-
syarat lainnya. Maksudnya adalah, persyaratan sebagaimana
ditetapkan oleh kelompok ahlus sunnah, sebab tidak demikian halnya
dengan pendapat golongan syiah, yang tidak mengenal ahli waris
ashobah.

B. Pengertian dzawil arham dan hak mereka terhadap harta waris

Arham adalah bentuk jamak dari kata rahmun/rahim, yang


asalnya dalam bahasa Arab berarti 'tempat pembentukan/menyimpan janin
dalam perut ibu'.5Kemudian dikembangkan menjadi 'kerabat', baik
datangnya dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu.Pengertian ini tentu
saja disandarkan karena adanya rahim yang menyatukan asal
mereka.Dengan demikian, lafazh rahim tersebut umum digunakan
dengan makna kerabat, baik dalam bahasa Arab ataupun dalam istilah
syariat Islam.

Adapun yang dimaksud dengan dzawil arham adalah setiap


kerabat pewaris yang tidak termasuk ashhabul furudh dan ashabah, misalnya
bibi (saudara perempuan ayah atau ibu), paman dari pihak ibu (saudara
laki-laki ibu), keponakan laki-laki dari saudara perempuan, cucu laki-laki
dari anak perempuan, dan sebagainya.
Pendapat Beberapa Imam tentang Dzawul Arham

Para imam mujtahid berbeda pendapat dalam masalah hak waris


dzawil arham, sama halnya dengan perbedaan pendapat yang terjadi di
kalangan para sahabat Rasulullah saw. Dalam hal ini ada dua pendapat:

Golongan pertama berpendapat bahwa dzawil arham atau para


kerabat tidak berhak mendapat waris. Mereka mengatakan bahwa bila
harta waris tidak ada ashhabul furudh atau ashabah yang mengambilnya,
maka harta warisan dilimpahkan kepada baitulmal kaum muslimin
untuk disalurkan demi kepentingan masyarakat Islam pada umumnya.
Dengan demikian, tidak dibenarkan jika harta tersebut diberikan kepada
dzawil arham. Di antara mereka yang berpendapat demikian ialah Zaid
bin Tsabit r.a. dan Ibnu Abbas r.a. dalam sebagian riwayat darinya, dan
juga merupakan pendapat dua imam, yaitu Malik dan Syafi'i
rahimahumullah.

Golongan kedua berpendapat bahwa dzawil arham (kerabat)


berhak mendapat waris, bila tidak ada ashhabul furudh, ataupun ashabah
yang menerima harta pewaris. Mereka berpendapat bahwa dzawil arham
lebih berhak untuk menerima harta waris dibandingkan baitulmaal, sebab
dzawil arham memiliki kekerabatan dengan pewaris. Pendapat ini
merupakan jumhur ulama, di antaranya Umar bin Khathab, Ibnu
Mas'ud, dan Ali bin Abi Thalib. Juga merupakan pendapat Imam Abu
Hanifah dan Ahmad bin Hambal rahimahumullah.

C. Golongan dan martabat dzawil arham

a. Orang-orang yang bernisbat kepada pewaris, yakni:

1) Cucu dari keturunan anak perempuan, dan seterusnya ke bawah,


baik laki-laki ataupun perempuan

2) Cicit dari keturunan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki,


dan seterusnya ke bawah, baik laki-laki ataupun perempuan.

b. Orang-orang yang dinisbati kekerabatan oleh pewaris, yakni


1) Kakek yang bukan sahih, dan seterusnya ke atas, seperti ayah dari
ibu, ayah dari ayahnya ibu (kakek dari ibu).

2) Nenek yang bukan sahih, dan seterusnya ke atas, seperti ibu dari
ayahnya ibu, ibu dari ibu ayahnya ibu.

c. Orang-orang yang bernisbat kepada kedua orang tua pewaris, yakni:

1) Keturunan saudara perempuan sekandung, atau yang seayah, atau


yang seibu, baik keturunan laki-laki ataupun perempuan.

2) Keturunan perempuan dari saudara laki-laki sekandung, atau


seayah, seibu, dan seterusnya.

3) Keturunan dari saudara laki-laki seibu dan seterusnya.

d. Orang-orang yang bernisbat kepada kedua kakek pewaris atau kedua


nenek pewaris, yakni:

1) Bibi (saudara perempuan ayah) pewaris, baik bibi kandung, seayah,


atau seibu. Kemudian paman (saudara laki-laki ibu) pewaris, dan bibi
(saudara perempuan ibu), dan paman (saudara ayah) ibu.

2) Seluruh keturunan kelompok diatas.

3) Bibi dari ayah pewaris, baik yang kandung, seayah, ataupun seibu.
Juga semua pamannya dan bibinya (paman dan bibi dari ayah).
Juga pamannya (saudara ayah) yang seibu (mencakup semua
paman dan bibi dari ibu, baik yang kandung maupun yang seayah).

4) Seluruh keturunan kelompok diatas.

5) Paman kakak yang seibu, dan juga paman nenek. Kemudian


paman dan bibi, baik dari ayah maupun ibu, dari kakek dan nenek.

6) Seluruh keturunan kelompok diatas.

D. Jalan memberikan harta waris pada dzawil arham


Di antara ulama fiqh terjadi perbedaan pendapat mengenai tata
cara memberikan hak waris kepada para kerabat, dan dalam hal ini
terbagi menjadi tiga kelompok pendapat sebagai berikut:
1. Menurut Ahlur-Rahmi
Mengenai cara pembagian hak waris para kerabat, ahlur-rahmi
menyatakan bahwa semua kerabat berhak mendapat waris secara
rata, tanpa membedakan jauh-dekatnya kekerabatan, dan tanpa
membeda-bedakan antara laki-laki dengan perempuan.Misalnya,
seseorang wafat dan meninggalkan seorang cucu perempuan
keturunan anak perempuan, seorang keponakan perempuan dari
saudara perempuan, bibi dari pihak ayah (saudara perempuan ayah),
bibi dari pihak ibu (saudara perempuan ibu), dan keponakan laki-
laki keturunan saudara laki-laki seibu.Maka dalam hal ini mereka
mendapatkan bagian waris secara rata, tanpa melebihkan atau
mengurangi salah seorang dari ahli waris yang ada.
Mazhab ini dikenal dengan sebutan ahlur-rahmi disebabkan orang-
orang yang menganut pendapat ini tidak mau membedakan antara
satu ahli waris dengan ahli waris yang lain dalam hal pembagian,
mereka juga tidak menganggap kuat serta lemahnya kekerabatan
seseorang. Yang menjadi landasan mereka ialah bahwa seluruh ahli
waris menyatu haknya karena adanya ikatan kekerabatan.
Mazhab ini tidak masyhur, bahkan dhaif dan tertolak.Karenanya
tidak ada satu pun dari ulama atau para imam mujtahid vang
mengakuinya apalagi mengikuti pendapat ini dengan alasan telah
sangat nyata bertentangan dengan kaidah syar'iyah yang masyhur
dalam disiplin ilmu mawarits.
2. Menurut Ahlut-Tanzil
Golongan ini disebut ahlut-tanzil dikarenakan mereka
mendudukkan keturunan ahli waris pada kedudukan pokok (induk) ahli
waris asalnya.Mereka tidak memperhitungkan ahli waris yang ada
(yang masih hidup), tetapi melihat pada yang lebih dekat dari ashhabul
furudh dan para ashabahnya. Dengan demikian, mereka akan
membagikan hak ahli waris yang ada sesuai dengan bagian ahli
waris yang lebih dekat, yakni pokoknya. Inilah pendapat mazhab
Imam Ahmad bin Hambal, juga merupakan pendapat para ulama
mutakhir dari kalangan Maliki dan Syafi'i.
Perhatikan contoh berikut:
Bila seseorang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan
anak perempuan, keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan
sekandung, dan keponakan perempuan keturunan saudara laki-laki
seayah. Maka keadaan ini dapat dikategorikan sama dengan
meninggalkan anak perempuan, saudara perempuan sekandung, dan
saudara laki-laki seayah. Oleh karena itu, pembagiannya seperti berikut:
a) Cucu perempuan keturunan anak perempuan mendapat 1/2
bagian
b) Keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan sekandung
mendapat 1/2 bagian
c) Keponakan perempuan keturunan saudara laki-laki seayah tidak
mendapat bagian karena terhalang oleh keponakan laki-laki
keturunan saudara perempuan sekandung. Sebab keponakan laki-
laki keturunan saudara perempuan sekandung di sini sebagai
ashabah, karena itu ia mendapatkan sisanya.
Seseorang wafat dan meninggalkan keponakan perempuan
keturunan saudara perempuan sekandung, keponakan perempuan
keturunan saudara perempuan seayah, keponakan laki-laki
keturunan saudara perempuan seibu, dan sepupu perempuan
keturunan paman kandung (saudara laki-laki seayah). Kasus ini
diibaratkan pewaris meninggalkan saudara perempuan sekandung,
saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, dan paman
kandung. Maka pembagiannya adalah sebagai berikut:

a) Keponakan perempuan keturunan saudara perempuan


sekandung mendapatkan 1/2 bagian
b) Keponakan perempuan keturunan dari saudara perempuan
seayah mendapat 1/6 sebagai penyempurna 2/3
c) Keponaka laiki-laki dan keturunan saudara
d) perempuan seibu mendapatkan 1/6 bagian secara fardh
e) Sepupu perempuan anak dari paman kandung juga mendapatkan
1/6 bagian sebagai ashabah.

Begitulah cara pembagiannya, yakni dengan melihat kepada yang


lebih dekat derajat kekerabatannya kepada pewaris yang tergolong
ashhabul furudh dan ashabah.Adapun yang dijadikan dalil oleh mazhab
ahlut-tanzil ini ialah riwayat yang marfu' (sampai sanadnya) kepada
Rasulullah saw.. Ketika beliau memberi hak waris kepada seorang bibi
(saudara perempuan ayah) dan bibi (saudara perempuan ibu)
kebetulan saat itu tidak ada ahli waris lainnya, maka beliau memberi
bibi (dari pihak ayah) dengan dua per tiga (2/3) bagian, dan sepertiga
lagi diberikannya kepada bibi (dari pihak ibu).Selain itu, juga
berlandaskan fatwa Ibnu Mas'ud r.a. ketika ia menerima pengaduan
tentang pembagian waris seseorang yang wafat dan meninggalkan
cucu perempuan keturunan anak wanita, dan keponakan perempuan
keturunan saudara perempuan sekandung. Maka Ibnu Mas'ud
memberikan setengah bagian untuk cucu perempuan dan setengah
bagian lainnya untuk keponakan perempuan. Lebih jauh mazhab ini
menyatakan bahwa hadits Rasulullah saw. dan keputusan yang
dilakukan Ibnu Mas'ud menunjukkan betapa kuatnya pendapat
mereka.

Adapun dalih orang-orang yang memperkuat mazhab kedua ini,


yang tampak sangat logis, adalah bahwa memberikan hak waris kepada
dzawil arham tidak dibenarkan kecuali dengan berlandaskan pada
nash-nash umum, yang justru tidak memberikan rincian mengenai
besarnya bagian mereka masing- masing dan tidak ada pentarjihan
secara jelas. Oleh karena itu, dengan mengembalikan kepada
pokoknya, karena memang lebih mendekatkan posisinya kepada
pewaris, jauh lebih utama dan bahkan lebih berhak. Sebab, rincian
besarnya bagian ashhabul furudh dan para ashabah telah dijelaskan.
Maka tidak ada jalan lain untuk mengenali dan menuntaskan masalah
ini kecuali dengan mengembalikan atau menisbatkannya kepada pokok
ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya kepada pewaris.

3. Menurut Ahlul Qarabah


Mazhab ini merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib r.a. dan diikuti
oleh para ulama mazhab Hanafi. Menurut Ahlul Qarabah, hak waris para
dzawil arham ditentukan dengan melihat derajat kekerabatan mereka
kepada pewaris. Hal ini, menurut mereka, dilakukan dengan
mengqiyaskannya pada hak para ashabah, berarti yang paling berhak
diantara mereka (para ashabah) adalah yang paling dekat kepada pewaris
dari segi dekat dan kuatnya kekerabatan.
Sebagaimana telah diungkapkan, dalam hal melaksanakan pembagian
waris untuk dzawil arham, mazhab ini membaginya secara kelompok.
Dalam prakteknya sama seperti membagi hak waris para ashabah, yaitu
melihat siapa yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan
pewaris, kemudian barulah yang lebih kuat di antara kerabat yang ada.
Selain itu, pelaksanaannya tetap mengikuti kaidah umum pembagian
waris, yakni bagian laki-laki adalah dua kali bagian wanita.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Radd juga bisa bermakna penolakan atau penyerahan, sedangkan radd


yang dimaksud menuurut istilah ilmu faraidh (dalam pengertian syara‟
menurut fuqaha) adalah pengembalian apa yang tersisa dari bagian
dzawil furudh nasabiyah kepada mereka sesuai dengan besar kecilnya
bagian mereka bila tidak ada orang lain yang berhak untuk menerimanya.

Kedudukan dzaul arham memang tidak tersurat dalam al-Quran tapi


kedudukanya sudah menjadi ijma para ulama masih diperhitungkan
dengan beberapa syarat diantaranya tidak ada ashhabul furudh. Sebab, jika
ada ashhabul furudh, mereka tidak sekadar mengambil bagiannya, tetapi
sisanya pun akan mereka ambil karena merupakan hak mereka secara radd.
Sedangkan kita ketahui bahwa kedudukan ahli waris secara ar-radd dalam
penerimaan waris lebih didahulukan dibandingkan dzawil arham.Kedua, tidak
ada ashabah. Sebab ashabah akan mengambil seluruh hak waris yang ada, bila
ternyata tidak ada ashhabul furudh. Dan bila ada ashhabul furudh, maka para
ashabahakan menerima sisa harta waris yang ada, setelah diambil hak para
ashhabul furudh.Dan terakhir, apabila ashhabul furudh hanya terdiri dari suami
atau istri saja, maka ia akan menerima hak warisnya secara fardh, dan sisanya
diberikan kepada dzawul arham. Sebab kedudukan hak suami atau istri
secara radd itu sesudah kedudukan dzawul arham.Dengan demikian, sisa
harta waris akan diberikan kepada dzawul arham.

B. Saran
Dalam penulisan makalah ini, pemakalah menyadari banyaknya
kekurangan-kekurangan, baik dari segi isi maupun dalam penulisan. Untuk
itu kami sebagai pemakalah sangat mengharapkan sekali Saran perbaikan
kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

Kuzari, Ahmad. Sistem Asabah. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta : 1996


Ash Shiddiegi, Teungku Muhammad Hasbi, Fiqih Mawaris, PT Pustaka Riski
Putra, Semarang : 1997

Lubis, Suhrawardi K dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Sinar


Grafika, Jakarta : 1995

Siddik, Abdullah, Hukum Waris Islam, Bina Pustaka, Jakarta : 1984

Syarifuddin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Kencana Pranada Media, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai