Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

RADD DALAM MAWARIS


(Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Mawaris)

Dosen Pengampu :
Syabbul Bachri, M.HI

Disusun Oleh :
1. Farhan Maulana Rahmadani (200203110029)
2. Miftakhul Anam (210203110010)
3. Mia Nur Aida (210202110076)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat, rahmat serta karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Radd Dalam Mawaris”
untuk memenuhi tugas dari bapak Syabbul Bachri, M.HI selaku dosen pengampu mata
kuliah Fiqh Mawaris ini dengan tepat waktu. Tidak lupa pula ucapan terima kasih
kepada teman-teman yang telah berkontribusi dalam mencari materi maupun
menyumbangkan pikirannya sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Kami
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak
yang dengan tulus memberikan doa, saran, dan kritik sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.
Kami pun menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki.
Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk kritik dan saran yang membangun
dari berbagai pihak. Kami berharap dengan adanya makalah ini semoga bisa menambah
pengetahuan bagi pembaca. Dan kami berharap pula semoga makalah ini memberikan
manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.

Malang, 07 Mei 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................i


DAFTAR ISI ..................................................................................................................ii
BAB I ............................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah........................................................................................ 1
C. Tujuan .......................................................................................................... 1
BAB II ............................................................................................................................ 2
PEMBAHASAN ........................................................................................................ 2
A. Konsep Radd................................................................................................ 2
B. Pro dan Kontra Radd ................................................................................... 5
C. Penerapan Radd dalam Mawaris ................................................................. 6
BAB III .......................................................................................................................... 8
PENUTUP................................................................................................................ 10
A. Kesimpulan ................................................................................................ 10
B. Saran .......................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fiqh mawaris merupakan hukum waris dalam perspektif Islam. Secara
umum, hukum waris Islam dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadist. Di samping
itu ada pula pendapat dari beberapa ulama yang berkaitan dengan hukum waris,
dimana pendapat tersebut beragam. Pendapat dari para ulama terdapat banyak
pandangan disebabkan oleh penafsiran dari ayat-ayat dan hadist yang membahas
tentang hukum waris.
Radd merupakan salah satu permasalahan hukum waris, dimana hal ini
disebabkan oleh keadaan ketika terdapat kelebihan harta setelah dibagi sesuai
dengan ketentuannya dan tidak ada ashabah. Dari sini kemudian muncul masalah
tentang pemilik harta ini diberikan selanjutnya. Radd adalah kebalikan dari Aul,
maka dari itu penyelesaiannya tentu berbeda dengan Aul. Oleh karena itu, kami
menyusun makalah ini untuk memberikan pandangan-pandangan mengenai
Radd, dan mengetahui banyaknya perbedaan pendapat terkait dengan Radd.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep Radd dalam Fiqh Mawaris?
2. Bagaimana pro dan kontra Radd terkait banyaknya pendapat ulama yang
berbeda?
3. Bagaimana kondisi serta penerapan Radd dalam Mawaris dalam kehidupan?

C. Tujuan
1. Untuk memahami konsep Radd.
2. Untuk mengidentifikasi pro dan kontra Radd.
3. Untuk mengidentifikasi penerapan Radd dalam Mawaris.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Radd
Kata radd berasal dari bahasa Arab yaitu ‫ َرد ا‬- ‫ َرد – يَ ُرد‬yang berarti kembali.
Sedangkan secara istilah pengertian radd disebutkan oleh Ahmad Kamil al-
Khudri ialah memberikan harta sisa kepada dhawil furud, sesudah diberikan
bagian masing-masing ashabul furud dan tidak bersama dengan ahli waris
ashabah, dibagi sesuai dengan nisbat bagian mereka.1
Menurut Wahbah al-Zuhayli, radd adalah adanya harta yang tersisa dalam
perhitungan dan apa yang tersisa dikembalikan kepada dhawil furud nasab (selain
suami/isteri) sesuai dengan bagian-bagian perhitungan mereka.2 Kemudian,
pembagian sisa harta waris hanya diberikan pada dhawil furud nasabiyyah ketika
tidak terdapat ashabah. Hal ini terjadi karena apabila terdapat ashabah maka
harta dapat dihabiskan oleh ahli waris ashabah. Pengertian yang dijelaskan oleh
Wahbah al-Zuhaili tersebut di atas juga tidak jauh berbeda dengan pendapat Ibnu
Rusyd yang mendefinisikan sebagai berkurangnya jumlah saham dari asal
masalah, sehingga berakibat bertambahnya jatah bagian harta yang diperoleh dari
sisa tersebut. Jelasnya, Ibnu Rusyd mendefinisikan radd adalah berkurangnya
jumlah siham (pembilang dhawil furud) dari asl mas’alah (penyebut/harta waris)
sehingga menyebabkan bertambahnya jatah bagian dan masing-masing pewaris.3
Berdasarkan beberapa pengertian radd di atas, dapat dipahami bahwa radd adalah
suatu perkara pembagian warisan yang terjadi apabila jumlah harta yang dimiliki
ahli waris lebih sedikit dari jumlah semula yang akan dibagi, dalam hal ini harta
yang tersisa terbagi menjadi dibagikan kepada Dhawil Furud Nasabiyyah sesuai
dengan besarnya aturan jika tidak ada ahli waris yang berhak menerimanya.
Persoalan Radd adalah kebalikan dari masalah 'Aul yang terjadi ketika
pembilangnya lebih kecil dari penyebutnya, yaitu kelebihan harta warisan setelah
ahli waris Ashab Furudh mendapatkan bagiannya. Metode Radd digunakan untuk

1
Hilmi Afif Arrifqi, Radd dalam Hukum Waris Islam di Indonesia dan Mesir, Skripsi, (Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah, 2017), 44.
2
Wahbah al-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh: Hak-hak Anak, Wasiat, Wakaf, Warisan, terj.
Abdul Hayyie al-Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2011), 435.
3
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid Jilid 2, terj. Abu Usamah Fakhtur Rokhman (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2007), 704.

2
mengembalikan harta yang tersisa kepada ahli waris secara berimbang, dengan
masing-masing menerima bagian yang proporsional. Sejalan dengan beberapa
pernyataan di atas, Moh Rifa'i menyatakan bahwa Al Raddu adalah pengulangan
dimana sisa harta warisan dibagi di antara para ahli waris Dzu Fardhin menurut
kebijaksanaan masing-masing bagian. Atau dikukuhkan oleh Muslich
Maruzi dengan mengembalikan sisa harta warisan ketika terjadi keadaan jumlah
seluruh bagian ahli waris kurang dari harta warisan yang ada atau harta warisan
lebih besar dari jumlah bagian ahli waris.
Oleh karena itu, Radd dapat dipahami sebagai salah satu warisan yang
timbul ketika jumlah saham yang dimiliki ahli waris kurang dari pengeluaran
awal yang harus dibagi. Jadi ada kelebihan saham yang tidak dibagikan
seluruhnya dan sisa bagian dhawil furud nasabiyyah dikembalikan kepada
mereka sesuai dengan besarnya saham jika tidak ada orang lain yang berhak
atasnya. Sisa saham harus dikembalikan melalui penyelesaian yang dapat
diterima berdasarkan nash. Hal ini untuk mencegah perselisihan antara Dhawil
Furud.
Radd terjadi apabila terpenuhinya tiga rukun yang menjadi penyebab
terjadinya masalah waris tersebut, di antaranya :4
1. Adanya dhawil furud
2. Adanya sisa bagian peninggalan
3. Tidak adanya ‘asabah.
Pelaksanaan Radd tentu memiliki persyaratan yang terbagi kepadal ahli
waris, dan harus memenuhi tiga syarat agar bisa dilakukannya Radd. Diantaranya
adalah :
1. Harus ada pemilik fardhu (shahibul fardh), yaitu seseorang yang menjadi
pewaris sah dari harta warisan.
2. Harus ada sisa harta warisan, yaitu bagian dari harta warisan yang belum
dibagi kepada ahli waris.
3. Tidak ada ahli waris ashobah, yaitu kelompok ahli waris yang menerima sisa
harta warisan secara otomatis, yang terdiri dari anak, cucu, ayah, dan kakek
dari pewaris.

4
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 4, terj. Nor Hasanuddin (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), 503

3
Berdasarkan pengertian, persyaratan, dan penjelasan kasus Radd, jelaslah
bahwa semua ahli waris yang termasuk golongan Ashabul Furudh berhak
menerima Radd kecuali suami atau istri ahli waris (menurut pendapat mayoritas)
dan juga ayah atau kakek (karena mereka dapat berfungsi sebagai Ashobah dalam
situasi tertentu, kecuali dalam situasi lain mereka adalah Ashhabul Furudh.5 Oleh
sebab itu, ahli waris yang berhak mendapat Radd antara lain :
1. Anak perempuan
2. Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan dari anak laki-laki)
3. Saudara perempuan kandung
4. Saudara perempuan seayah
5. Ibu
6. Nenek shahih (ibunya bapak)
7. Saudara perempuan seibu
8. Saudara laki-laki seibu
Berdasarkan delapan ahli waris tersebut di atas, seluruhnya adalah ahli
waris golongan perempuan kecuali satu orang yaitu saudara laki-laki seibu.
Walaupun dia laki-laki, dia tidak termasuk dalam golongan ahli waris Ashobah,
yaitu golongan ahli waris yang menerima sisa harta warisan. Oleh karena itu
termasuk dalam golongan Ashabul-Furudh, dengan pilihan 1/6 atau 1/3 bagian
dalam keadaan tertentu.
Demikian pula, ayah dan kakek ahli waris adalah laki-laki, tetapi mereka
dapat dianggap Ashhabul Furudh dalam situasi tertentu ketika tidak ada laki-laki
utama lain dalam struktur warisan. Saat itu, mereka menjadi ahli waris Ashoba
untuk menerima bagian sisa warisan yang sebelumnya diberikan kepada
Ashhabul Furudh. Oleh karena itu, mereka harus dikecualikan dari penggugat
untuk tambahan sisa atau kompensasi Radd. Sebanyak empat orang tidak
diperbolehkan radd meskipun mereka termasuk dalam kelompok Ashhabul
Furudh yaitu. suami, istri, ayah dan kakek ahli waris. Namun, masih ada
ketidaksepakatan di antara para pengacara tentang metode perhitungan dalam
kasus ini dengan pasangan.

5
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), 97.

4
B. Pro dan Kontra Radd
Adanya konsep radd dalam pewarisan dalam hukum Islam yang merupakan
hasil ijtihad mengakibatkan para ulama fikih berbeda pendapat. Secara global,
perbedaan ini terdiri dari dua kelompok, yaitu satu kelompok yang percaya bahwa
radd tidak ada karena pewarisan dan kelompok lain yang setuju bahwa radd ada.
Perbedaan mengenai Radid ini telah ada sejak masa Sahabat Nabi Muhammad
dan sesudahnya, dan sebelum munculnya pemikiran fikih dan sejak berdirinya
mazhab fikih. Perbedaan itu disebabkan karena aturan pemberian sisa harta
kepada Ashhabul Furudh tidak dijelaskan secara jelas dalam Al-Quran dan
Sunnah Nabi.
Ulama yang menolak adanya radd dalam perkara bagi harta waris di Islam
diantaranya Zayd bin Tsabit, Urwah, az-Zuhri, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan
Ibn Hazm al-Zahiri. Ulama tersebut berpendapat bahwa tidak dapat dikembalikan
harta sisa waris kepada dhawil furud karena masing-masing ahli waris sudah
memiliki ketentuan jumlah harta waris yang diterima, sehingga kelebihan harta
atau sisa harta setelah dibagikannya pada ahli waris yang berhak menerima harus
diserahkan pada baitul mal. Sedangkana ulama yang menyetujui adanya radd
dalam pembagian waris Islam diantaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab,
Utsman bin Affan, Abdullah ibn Mas’ud, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin
Hanbal, dan kalangan mutaakhirin dari golongan hanafiyah, hanabilah,
malikiyah, syafi’iyah, dan zaydiyah. Beberapa ulama tersebut setuju
dibolehkannya radd dalam Islam karena dianggap kerabat lebih berhak terhadap
harta sisa dari pembagian waris dibanding pihak lain yang bukan termasuk
kerabat atau saudara.
Beberapa pendapat lain mengenai Radd, antara lain :
1. Ali bin Abi Thalib berpedapat bahwa radd diberikan pada ahli waris (dhawil
furud) selain suami istri.6 Alasan suami istri tidak mendapat bagian radd
sebab mereka termasuk ahli waris sababiyah daan bukan ahli waris nasabiyah
yang memiliki hubungan darah dengan si pewaris.
2. Usman bin Affan mengatakan bahwa jika ada sisa dalam pembagian harta
warisan, maka harus diberikan kepada semua ahli waris, begitu juga kepada

6
Iwan Setyo Utomo,” Kedudukan Kelebihan Harta Waris (radd) Untuk janda Dan Duda dalam
Hukum Waris Islam”, Arena Hukum, No.2 (2017): 272,
http://dx.doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2017.01002.6.

5
mereka yang mewarisi karena hubungan darah (bi al-nasab aw al-nasl)
atau disebabkan hubungan perbesanan (al-Muaharah). Dasar hukum yang
dikutip bersama dengan dalil tentang waris juga didasarkan pada analogi
hukum dari istilah radd dengan aul. Bilamana terjadi kekurangan harta pada
waktu pembagian harta peninggalan, semua ahli waris tanpa kecuali harus
dikurangi, demikian pula bila ada kelebihan harta, semua ahli waris tanpa
kecuali berhak atas bagian tambahan dari bagian yang tersisa.
3. Menurut Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Talib, setiap ahli waris berhak
menerima tambahan dari sisa harta yang tidak habis dibagikan berdasarkan
bagian tertentu (al-furud al-muqaddarah) masing-masing, dengan
pengecualian suami atau isteri. Pendapat seperti ini digunakan oleh ulama
mazhab Hanafi dan Hanbali. Selain itu, Ibn Abbas menambahkan ahli waris
yang tidak boleh memperoleh tambahan bagian selain suami atau istri, yaitu
nenek, baik dari pihak bapak maupun ibu, apabila nenek mewaris dengan
ibu.7
4. Selain pembatasan ahli waris yang mendapatkan sisa sebagaimana
disebutkan di atas Ibn Mas‘ud juga menambahkan pendapat bahwa cucu
perempuan dari anak laki-laki yang mewaris bersama-sama dengan anak
perempuan, dan saudara perempuan yang mewaris dengan ibu tidak berhak
menerima tambahan dari sisa bagi harta.

C. Penerapan Radd dalam Mawaris


Secara umum, persoalan radd dapat terjadi dalam dua situasi, yaitu :
1. Ketika suami atau istri masih hidup
2. Ketika tidak ada suami atau istri yang menjadi pewaris
Menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya, jika ashhabul furudh bersama-sama
dengan suami atau istri yang tidak memiliki hak untuk menerima radd, maka
bagian suami atau istri tersebut harus diambil terlebih dahulu sebelum bagian dari
ashhabul furudh diberikan sesuai dengan jumlah mereka. Hal ini berlaku baik
jika ashhabul furudh terdiri dari satu kelompok atau beberapa kelompok. 8

7
Ahmad Saukani, Konsep Radd dalam Perspektif Pembagian Kewarisan Islam, Skripsi (Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah, 2010), 60-62.
8
Vide sayyid sabiq, Fiqh al Sunnah, Juz ke 3 (Beirut: Dar al Fikr, 1977), 445.

6
Apabila terdapat lebih dari satu kelompok ashhabul furudh, seperti ibu dan
anak perempuan, maka bagian warisan yang tersisa akan dibagikan kepada
mereka sesuai dengan hak fardh masing-masing. Setelah itu, "sisa bagi" akan
diberikan kepada mereka berdasarkan perbandingan hak fardh yang telah mereka
terima sesuai dengan ketentuan furudhul muqaddarah. Jika tidak ada Ashhabul
Furudh dalam susunan harta peninggalan dengan suami atau istri yang tidak
berhak atas radd, maka sisa harta warisan setelah dipotong berdasarkan ketentuan
Furudhul Muqaddara akan dikembalikan kepada mereka sesuai dengan
jumlahnya. Ini berlaku ketika Ashhabul Furudh hanya terdiri dari satu
kelompok. Jika terdapat lebih dari satu kelompok ashhabul furudh, sisa harta
tersebut akan dibagikan kembali kepada mereka berdasarkan perbandingan hak
fardh yang dimiliki oleh masing-masing kelompok. Oleh karena itu, masing-
masing pewaris akan menerima bagian dari harta warisan yang sebesar hak fardh
mereka ditambah dengan radd. Hal ini berarti bahwa setiap pewaris akan
menerima bagian atas nama dzawil furudh dan atas nama radd secara bersamaan.9
Berdasarkan hal tersebut, kemudian Ali Ash-Shabuny menguraikan Radd
menjadi empat jenis10, yaitu :
1. Ahli waris hanya terdiri dari satu golongan, dan tidak ada suami/istri
2. Ahli waris terdiri dari beberapa golongan, dan tidak ada suami/istri
3. Ahli waris terdiri dari satu golongan, dan bersama dengan salah seorang suami/istri
4. Ahli waris terdiri dari beberapa golongan, dan bersama dengan salah seorang
suami/istri pewaris.
Perhitungan harta warisan dengan menggunakan konsep Radd dapat terjadi
apabila dalam pembagian harta terjadi adanya kelebihan setelah setiap ahli waris
menerima bagian masing-masing sesuai dengan ketentuan hukum waris dalam
ayat waris. Hal tersebut menunjukkan tidak terdapatnya ahli waris asabah di
antara penerima harta warisan. Hal ini karena, jika terdapat asabah, tentu sisa
akan diberikan kepada mereka.

9
Wahidah, Buku Ajar Fikh Waris (Banjarmasin: IAIN Antasari Press, 2014), 41–42.
10
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian waris menurut Islam (Depok: Gema Insani, 1995), 117.

7
Berikut contoh perhitungan dari penerapan Radd :
Pak Dimas adalah seorang pegawai perusahaan. Ia mempunyai seorang istri
dan seorang anak perempuan. Istri Pak Dimas meninggal sebulan yang lalu
karena terkena penyakit kanker yang diderita selama dua tahun terakhir, sehingga
Pak Dimas kehilangan istri yang dicintainya. Akhir-akhir ini kesehatan Pak
Dimas mengalami penurunan akibat penyakit paru-paru yang dideritanya. Rokok
yang merupakan sesuatu yang digandrungi Pak Dimas telah merenggut nyawanya
tahun ini. Pak Dimas meninggalkan, seorang anak perempuan, dan empat orang
cucu perempuan dari anak perempuan. Pak Dimas tergolong orang yang kaya,
ketika dikalkulasikan hartanya sebesar Rp. 6.000.000.000,-.
Kedudukan ahli waris :
- Ashabul furudh
- Dzawil furudh nasabiyah
Ketentuan :
1. Seorang anak perempuan (bagian 1/2 harta waris)
2. Empat orang cucu perempuan (bagian 1/6 harta waris)
Keterangan :
1. Istri : meninggal 4. Menantu laki-laki : tidak dapat
2. Suami : meninggal 5. Cucu Perempuan 4 orang : 1/6
3. Anak perempuan : ½
Penyelesaian :
Ahli Waris Bagian Perhitungan Penerapan Hasil
(asal 24)
Anak ½ ½ x 24 = 12 12/24 x Rp. 6.000.000.000 Rp.
Perempuan 3.000.000.000
Cucu 1/6 1/6 x 24 = 4 4/24 x Rp. 6.000.000.000 Rp.
Perempuan 1.000.000.000
Jumlah Rp.
4.000.000.000

Perhitungan tersebut kurang tepat, karena bagian ahli waris totalnya Rp. 4.000.000.000
dan masih terdapat sisa Rp. 2.000.000.000 dalam penghitungannya. Yang harus
dilakukan adalah penghitungan dengan cara Radd, yaitu:

8
Ahli Waris Bagian Perhitungan Penerapan Hasil
(asal 6) (penyebutnya 3 + 1 = 4)
Anak ½ ½x6=3 3/4 x Rp. 6.000.000.000 Rp. 4.500.000.000
Perempuan
Cucu 1/6 1/6 x 6 = 1 1/4 x Rp. 6.000.000.000 Rp. 1.500.000.000
Perempuan
Jumlah Rp. 6.000.000.000

Berdasarkan hasil penghitungan di atas, setelah dihitung menggunakan penyelesaian


Radd, maka hasil yang di dapatkan adalah anak perempuan mendapatkan Rp.
4.500.000.000,- dan keempat cucu perempuan mendapatkan Rp. 1.500.000.000,-. Hasil
tersebut sesuai, karena jika dijumlah keduanya memiliki hasil Rp. 6.000.000.000.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Radd merupakan kebalikan dari Aul. Radd adalah suatu perkara
pembagian warisan yang terjadi apabila jumlah harta yang dimiliki ahli waris
lebih sedikit dari jumlah semula yang akan dibagi, dalam hal ini harta yang
tersisa terbagi menjadi dibagikan kepada Dhawil Furud Nasabiyyah sesuai
dengan besarnya aturan jika tidak ada ahli waris yang berhak menerimanya.
Konsep radd dalam pewarisan dalam hukum Islam merupakan hasil
ijtihad mengakibatkan para ulama fikih berbeda pendapat. Ulama yang menolak
adanya radd dalam perkara bagi harta waris di Islam diantaranya Zayd bin
Tsabit, Urwah, az-Zuhri, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Ibn Hazm al-Zahiri.
Sedangkan ulama yang menyetujui adanya radd dalam pembagian waris Islam
diantaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Abdullah
ibn Mas’ud, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hanbal, dan kalangan
mutaakhirin dari golongan hanafiyah, hanabilah, malikiyah, syafi’iyah, dan
zaydiyah.
B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini, kami masih menyadari banyak sekali
kekurangan dan terdapat beberapa kesalahan. Dari studi Pustaka yang telah
kami lakukan kami bisa mempertanggungjawabkan makalah ini sebaik
mungkin. Makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami berharap
adanya kritik dan saran yang membangun agar bisa kami perbaiki untuk
kedepannya.

10
DAFTAR PUSTAKA
al-Zuhayli Wahbah. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh: Hak-hak Anak, Wasiat, Wakaf,
Warisan, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. Jakarta: Gema Insani, 2011.

Arrifqi, Hilmi Afif, Radd dalam Hukum Waris Islam di Indonesia dan Mesir, Skripsi,
(Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2017), 44.

Ash-Shabuni, Muhammad Ali, Pembagian waris menurut Islam (Depok: Gema Insani,
1995), 117.

Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), 97.

Rusyd Ibnu, Bidayah al-Mujtahid. jilid 2 terj. Abu Usamah Fakhtur Rokhman .Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007.

Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah. jilid 4. terj. Nor Hasanuddin, Jakarta: Pena Pundi Aksara,
2006.

Sabiq, Vide sayyid, Fiqh al Sunnah, Juz ke 3 (Beirut: Dar al Fikr, 1977), 445.

Saukani, Ahmad, Konsep Radd dalam Perspektif Pembagian Kewarisan Islam, Skripsi
(Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2010), 60-62.

Setyo Utomo, Iwan ”Kedudukan Kelebihan Harta Waris (radd) Untuk janda Dan Duda
dalam Hukum Waris Islam”, Arena Hukum, No.2 (2017): 272,
http://dx.doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2017.01002.6.

Wahidah, Buku Ajar Fikh Waris (Banjarmasin: IAIN Antasari Press, 2014), 41–42.

Anda mungkin juga menyukai