Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

MAHAR ATAU MASKAWIN

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengembangan


Kurikulum
Dosen Pengampu: Muhammad Ali, M.Pd.I

Disusun oleh:
Kelas A
Kelompok 12
Mohamad.Didik Alfian (2201010070)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO

TAHUN AKADEMIK

2022/2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, dengan ini penulis panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas mata kuliah Fiqih Munakahat.

Adapun makalah ini telah penulis usahakan semaksimal mungkin dan tentunya
dengan bantuan dari banyak pihak, sehingga dapat memperlancar proses pembuatan
makalah ini. Oleh sebab itu, penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam pembuatan
makalah ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas kepada
pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun
membutuhkan kritik dan saran dari pembaca yang membangun. Terima kasih.

Metro,28 Februari 2024

Penyusun

2
DAFTAR ISI

JUDUL.............................................................................................................I

KATA PENGANTAR......................................................................................II

DAFTAR ISI....................................................................................................III

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1

A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................1
C. Tujuan Rumusan Masalah.....................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................2

A. Nilai Mahar...........................................................................................2
B. Mahar yang Baik Tidak Memberatkat..................................................6
C. Nikah Mut’ah........................................................................................7

BAB III PENUTUP.........................................................................................11

A. Kesimpulan...........................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................12

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mahar merupakan hadiah yang diminta calon mempelai pria dari calon
mempelai wanita. Atau itu disetujui. Secara teknis, mahar adalah pemberian
yang wajib diberikan oleh calon suami kepada istrinya sebagai bukti
kesetiaannya. Seorang suami yang membuat istrinya mencintainya. Kata
mahar berasal dari bahasa Arab dan mengandung bentuk abstrak dari kata
benda katra atau masdar, yaitu "mahram", atau kata kerja, yaitu "mahara
yamahal mahalan" fiil. Kalau dulu dibakukan dengan kata benda muhurad atau
almar, namun sekarang mahar disamakan dengan mahar karena kata yang
sama dalam bahasa Indonesia: mahar, atau kebiasaan membayar mahar secara
masu. Selain peribahasa, ada juga peribahasa di kalangan pengacara.

Istilah lain yang digunakan untuk “mahar” antara lain sadaqah, nihra, dan
farida yang artinya mahar. Dengan pengertian etimologis tersebut, maka istilah
mahar adalah pemberian dari mempelai laki-laki kepada mempelai
perempuan, wajib secara hukum, namun bentuknya tidak tetap dan ukuran
serta besar kecilnya Al-Qur’an adalah al-hadits. Istilah mahar jarang
digunakan dalam bahasa Arab. Para ahli fikh sering menggunakan kata
“shidak” dalam kitab-kitab Huk. Namun istilah ini sering digunakan di
Indonesia. Kata-katanya adalah mahar dan mahar. Para ulama menyatakan
tidak ada perbedaan mendasar antara Terma ash Sidak dan Terma al-Mahar.
Ada pendapat yang mendukung Shaddak.

Mahar yang baik tidak menjadi beban, meskipun dalam bentuk atau
jumlah yang berharga. Oleh karena itu, Nabi menginginkan mahar yang
bentuknya sederhana. Hal ini terlihat dari hadits Uqba bin Amr yang
diriwayatkan oleh Abu Daud dan dikuatkan oleh para hakim, dimana Nabi
bersabda: “Mahar yang paling baik adalah yang paling sederhana” Sangat
penting untuk memperhatikan calon suaminya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Nilai Mahar
2. Bagaimana Mahar Yang Baik Tidak Memberatkan
3. Bagaimana Nikah Mut’ah

C. Tujuan Rumusan Masalah


1. Untuk Mengetahui Apa Nilai Mahar
2. Untuk Mengetahui Apa Mahar Yang Baik Tidak Memberatkan

1
3. Untuk Mengetahui Apa Itu Nikah Mut’ah

BAB II
PEMBAHASAN

A. Nilai Mahar

Mahar adalah hadiah yang diwajibkan oleh calon mempelai laki-laki


kepada calon mempelai perempuan. atau yang telah disetujui.. Secara
terminologi, mahar adalah pemberian yang harus diberikan oleh calon suami
kepada istri mereka sebagai bukti ketulusan hati mereka. suami untuk
membuat istri mencintai suaminya.1

Kata "mahar" berasal dari bahasa Arab yang termasuk katra benda bentuk
abstrak atau masdar, yakni "Mahram" atau kata kerja, yakni fi'il dari "mahara-
yamaharu- maharan". Lalau, dibakukan dengan kata benda mufrad, yakni al-
mahr, dan kini sudah diindonesiakan dengan kata yang sama, yakni mahar atau
karena kebiasaan pembayaran mahar dengan mas, mahar diidentikkan dengan
maskawin.

Di kalangan fuqaha, di samping perkataan. "mahar", juga digunakan istilah


lainnya, yakni shadaqah, nihlah, dan faridhah yang maksudnya adalah mahar.
Dengan pengertian etimologi tersebut, istilah mahar merupakan pemberian
yang dilakukan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan yang
hukumnya wajib, tetapi tidak ditentukan bentuk dari jenisnya, besar dan
kecilnya dalam al-Quran merupakan al- Hadits.

Dalam bahasa Arab, terma mahar jarang digunakan. Kalangan ahli fiqih
lebih sering menggunakan kata "shidaq" dalam kitab-kitab fuqahanya.
Sebaliknya, di Indonesia terma yang sering digunakan. adalah terma mahar
dan maskawin. Para ulama menyatakan bahwa tidak ada perbedaan mendasar
antara terma ash- shidaq dan terma al-mahar. Ada pendapat yang menegaskan
bahwa shadaq merupakan. sesuatu yang wajib karena nikah, seperti wathi"
seubhat, persusuan, dan menarik kesaksian. Menurut ibnu Qayyim, istilah
mahar dengan shidaq tidak berbeda fungsi jika yang dimaksudkan merupakan
pemberian sesuatu dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan
dalam sebuah perkawinan. Hanya istilah mahar digunakan untuk perkawinan,
sedangkan iatilah shidaq dapat digunakan dalam hal selain perkawinan, karena

1
Abdul Kafi, “Mahar Pernikahan Dalam Pandangan Hukum Dan Pendidikan Islam” Vol. 3, nos.1,
Januari-Juni 2020 (n.d.).

2
istilahnya bersifat umum sebagaimana shadaqah wajib dan shadaqah sunnah/
shadaqah wajib adalah membayar zakat dan membayar mahar.2

Mahar atau mas kawin tidak termasuk dalam syarat-syarat perkawinan,


sehingga perkawinan tanpa mahar dan atau tanpa disebutkan mahar tetap sah
pada saat akad nikah. Padahal, letak mahar pada saat perkawinan sangatlah
penting karena merupakan pemberian wajib dari pihak mempelai pria kepada
mempelai wanita, baik yang tertuang dalam akad nikah maupun tidak.

Mahar adalah harta yang diberikan suami kepada isterinya berdasarkan


suatu kontrak atau hubungan seksual. Menurut sebagian ulama Hanafi, itu
adalah harta milik wanita berdasarkan akad nikah atau hubungan seksual.
Ulama Maliki mendefinisikan mahar sebagai harta yang diberikan kepada
seorang wanita sebagai imbalan kesenangan bersamanya.

Imam Syafi'i menjelaskan mahar merupakan suatu benda yang wajib


diberikan oleh laki-laki dan perempuan guna memelihara seluruh anggota
tubuh. Imam Malik bahkan mengatakan bahwa hukum itu wajib sebagai rukun
perkawinan, karena mahar merupakan syarat sahnya perkawinan.

Berdasarkan Sayyid Sabiq (1992 : 23) Mahar/Mahar adalah suatu barang


atau harta benda yang berguna untuk diberikan kepada calon pengantin.
Disunnahkannya penyebutan mahar/mas kawin dalam akad nikah berdasarkan
nilai nominal dan sifat barangnya. Barang-barang yang bernilai hukum
digunakan sebagai mahar. Hal yang sama berlaku untuk pendapatnya.Karena
mahar merupakan syarat sahnya suatu perkawinan.3

Ulama Syafiyya menggambarkan mahar sebagai harta yang diperlukan


dalam perkawinan dan hubungan seksual. Sebagian ulama Hanabila
mengartikan mahar sebagai imbalan perkawinan, baik yang ditentukan dalam
akad maupun yang selanjutnya diwajibkan atas persetujuan para pihak atau
keputusan pengadilan (Az-zuhalli, 2011).Syed Sabiq menyatakan dalam Fiqih
Sunnahnya bahwa mahar merupakan salah satu harta yang diberikan kepada
wanita (Sayed, 1997).

Mahar atau Shaddak adalah harta benda, baik berupa harta maupun dengan
cara lain, yang diberikan oleh seorang suami kepada isterinya karena
perkawinan. Dimaknai juga sebagai pengganti wajib suami dalam akad nikah
(Tuwayjari, 2009).

2
Abd. Kohar, “Kedudukan Hikmah Mahar Dalam Perkawinan,” n.d., 43.
3
Nur Rahmawati, “Mahar Pernikahan Dalam Perspektif Islam,” n.d., 2–3.

3
Perkawinan memerlukan interaksi yang terkoordinasi dan harmonis.
Ketika rasa saling membutuhkan, saling mengisi kekurangan dan saling
melengkapi, tanpa memenuhi tugas dan hak masing-masing, maka
keharmonisan dan keharmonisan dalam keluarga terguncang, terjadilah
pertengkaran dan pertengkaran.4

a. Macam-macam Mahar

Mahar adalah satu diantara hak istri yang berdasarkan atas kitabullah,
sunnah Rasul, dan ij'ma kaum muslimin, Semua 'Ulama telah sepakat bahwa
membayar mahar itu adalah wajib. Sedangkan macam-macam mahar dapat
dibedakan menjadi dua yaitu: Mahar Musammah dan Mahar Mitsil. (Beni
Ahmad Saebani, 2009:275).

1. Mahar musammah.
Mahar Musammah adalah mahar yang telah jelas dan ditetapkan
bentuk dan. jumlahnya dalam sighat akad. Disepakati oleh kedua belah
pihak yaitu pengantin pria dan. wanita yang disebutkan dalam redaksi
akad, para ulama sepakat bahwa tidak ada jumlah maksimal dalam
mahar tersebut. (Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad A, 2017: 184).

Jenis mahar ini dibedakan menjadi dua. yaitu: pertama mahar


musamma mu'ajjal, yakni mahar yang segera diberikan kepada.
mempelai perempuan. Menyegerakan pembayaran mahar termasuk
perkara yang sunnah dalam Islam. Kedua mahar musamma ghair
mu'ajjal, yakni mahar yang telah ditetapkan bentuk dan jumlahnya,
akan tetapi di tangguhkan pembayarannya. (Nugroho, 2014: 22).

Kompilasi Hukum Islam pasal 34 ayat (1) disebutkan, kewajiban


menyerahkan mahar, bukan merupakan rukun dalam perkawinan dan
selanjutnya dalam pasal (2) di sebutkan kelalaian menyebutkan jenis
dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya
pekawinan, begitu juga halnya dalam keadaan mahar masih terhutang.
tidak mengurangi sahnya perkawinan. (Ery Noor, 2017:6).

Demikian pula dibolehkan membayarkan mahar secara tunai pada


saat berlangsungnya akad pernikahan atau menundanya, ataupun
membayar sebagiannya. dan menunda sebagiannya yang lain,
berdasarkan persetujuan kedua belah pihak atau sesuai dengan
kebiasaan setempat yang berlaku. Namun, sebaiknya melunasi atau
sedikit membayar sebagiannya, segera setelah berlangsungnnya akad
4
Madah rabith, Harsya Khulaili, and Aulia Roh Umdah, “Konsep Mahar Perkawinan Dalam Fiqh
Kontemporer Analisis Mubadah” Vol. 4, 2 (Desember, 2022) (n.d.).

4
nikah. Hal ini berdasarkan riwayat Ibnu Abbas ra bahwa Nabi saw,
memerintahkan kepada Ali r.a. agar menberika sesuatu kepada Fatimah
r.a. sebelum mereka berkumpul. (Muhammad Bagir, 2008): 134-135).
Dalam hal demikian, pembayaran mahar musamma diwajibkan
hukumnya apabila terjadi dukhuul. Bagi suami yang menalak istrinya
sebelum dukhul, ia wajib membayar setengah dari mahar yang telah
diakadkan.. Terdapat dalam Al-Qur'an (Q.S Al-Baqarah Ayat, 237).

‫إن َطَّلْقُتُم وُهَّن ِم ْن َقْبِل َأْن َتَم ُّسو َم ْن َو َقْد َفَر ْض ُتْم َلُهَّن َفِريَض ُه فنصف ما فرضُتْم إال أن َيْع ُفوَن أو‬
‫ عقدة النكاح تنسوا اْلَفْض َل َبْيَنُك ْم ِإَّن َهَّللا ِبَم ا تغفوا أقرب للتقوى وال وأن‬. ‫ َيْع ُفَو اَّلِذ ي ِبَيِدِه‬:
)237( ‫تعملون بصير‬

"Dan jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu


bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah
menentukan maharnya. Maka, bayarlah seperdua dari mahar yang telah
kamu. tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau
dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah dan
pemaafankamu itu lebih dekat kepada taqwa dan janganlah kamu
melupakan keutamaan diantara kamu. Sesungguhnya Allah melihat
segala apa yang kamu kerjakan." (Q.S.Al-Baqara.h; 237)5

2. Mahar mitsil
ialah mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut jumlah yang
biasa diterima oleh oleh keluarga pihak istri, karena pada waktu akad
nikah jumlah mahar belum ditentukan bentuknya. Allah SWT
berfirman dalam QS. Al-Baqarah;236.

‫ُم ْقِتِر َقَدُر ُهَلُهَّنَفِريَض ة َو َم ِّتُعوُهَّنَع َلى اْلُم وِسِع َقَدُر ُهَو َع َلى اْل ِّنَس اَء َم ا‬
236 ‫َلْم َتَم ُّسوُهَّنَأْو َتْفِر ُض وَّاَلُجَناَحَع َلْيُك ْم ِإْنَطَّلْقُتُم ال ا َع َلى اْلُم ْح ِسِنيَن َم َتاع ا ِباْلَم ْعُروِفَح ق‬

“Tidak ada kewajiban membayar mahar atas kamu, jika kamu


menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka
dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu
berikan suatu mut’ah kepada mereka. Orang yang mampu menurut
kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya
(pula), yaitu pemberian menurut yang patut , yang demikian itu
merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Mahar mitsil adalah adalah mahar yang diputuskan untuk wanita


yang menikah tanpa menyebutkan mahar dalam akad, ukuran mahar
disamakan dengan mahar wanita yang ketika menikah dari keluarga

5
Abd. Kafi, “Mahar Pernikahan Dalam Pandangan Hukum Dan Pendidikan Islam” Vol. 3, No. 1,
Januari-Juni 2020 (n.d.).Abd.

5
bapaknya seperti saudara perempuan sekandung dan saudara
perempuan tunggal bapak. (Prof. Dr. Abdul Wahhab, 2017: 186).

Menurur Ulama Syafi’iyah mahar mitsil adalah dengan melihat


beberapa keluarga wanita ashabah perempuan untuk mencari
persamaan ukuran mahar. Yang perlu diperhatikan terhadaap wanita
keluarga ashabah perempuan ketika mencari ukuran mahar mitsil
adalah dari segi status mereka terhadap perempuan, satu sifat
dengannya dan yang paling dekat dengannya. Adapun wanitawanita
dari keluarga dari perempuan tersebut secara tertib, jika tidak terdapat
pada wanita ashabah. . (Prof. Dr. Abdul Wahhab, 2017: 183).6

B. Mahar Yang Tidak Memberatkan


Mahar yang baik adalah yang tidak memberatkan. Apabila calon suami
memberikan mahar berupa uang atau barang berharga lainnya, Nabi
Muhammad SAW berpesan agar mahar tersebut harus secukupnya.
ُ ‫َخْيُر الَّصَداِق َأْيَسَرُه‬
Sabda Nabi Artinya: ``Mahar yang paling baik adalah yang paling
sederhana. Mukhtar Kamal bersabda, mahar yang terlalu besar untuk
dibayarkan bukanlah halangan dalam melangsungkan pernikahan, menurut
saya tidak akan demikian. Wanita yang paham agama tidak akan pernah
meminta mahar yang besar sehingga membebani calon suaminya.
Hal ini sangat penting dan harus diperhatikan. Karena ini adalah salah
satu awal dari membangun hubungan yang harmonis, dan jika memaksakan
sesuatu pasti akan kehilangan sesuatu. Boleh saja, jadi sebaiknya pilihlah
mahar yang sederhana dan tidak membebani calon suami.7
Nilai dan Kadar (Jumlah) Mahar Jumlah nilai maskawin/mahar bersarti
uang ataupun benda, sedangkan syariat islam memungkinkan dalam bentuk
jasa melakukan sesuatu. Besarnya mahar para fuqohah sepakat jika mahar
tidak ada batar tertentu. Nabi brsabda: "carilah, walaupun hanya cincin besi"
yakni dalil bawa mahar bukan. mempunya batas renda. Mahar yang baik
yakni bukan memberatkan kalaupun mahar dalam bentuk dan jumlah yang
berharga. Maka nabi menghendaki mahar dengan bentuk yang sedemikian
sederhana. Hal ini tergambar dari hadist Uqbah bin Amr yang dikeluarkan
oleh abu Dawud dan disakan oleh hakim bahwa nabi bersabda, Yang artinya:
"sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah"."Seorang calon istri yang
solehah ia tidaklah memohon mahar yang sekiranya berat untuk calon
suaminya, dengan demiak penting untuk di perhatikan, karna awal mula dari
kebahagian keluarga kedua belah piak. sesuatu yang dipaksakan akan
mengangibatkan hal yang yang tidak bagus dalam hubungan keluarga dua
6
Muhmmad Ridwan, “Kedudukan Mahar Dalam Perkawinan” Vol. 13, No. 1, Juni 2020 (n.d.).
7
Muhammad Ali, Fiqih Munakahat (Metro-Lampung: Laduny Alifatama, n.d.).

6
belah pihak, ole demikian mahar yang paling baik yaitu tidak memberatkan
calon suami Seseorang yang mampu memberi mahar yang pantas atau
harganya yang lumayan tinggi kepada calon mempelai wanita sedangkan
orang yang tidak mampu maka akan memberi mahar dengan harga yang
rendah. Oleh karenanya memberi mahar/maskawin diberikan untuk kepastian
dan perjanjian antara kedua keluarga agar menetapkan jumlanya.
Imam abu hanifah berpendapat bahwa yang paling sedikit mahar mahar
yakni sepuluh dirham. Riwayat lain ada yang mengatakan empat puluh
dirham. Mukhtar kamal mengatakan jangan ada kata tidak mampu dalam
memberi mahar atau jumlah menjadi halangan karena tidak mampu
daripernikahan" inilah kelebihan dari ajaran islaam tentang mahar, yakni
islam tidak menetapkan jumlah mahar yang harus dibayar melainkan
menyesuaikan dengan kemampuan.

C. Nikah Mut’ah
Nikah mu'tah disebut juga nikah mut'ah (az-zawaj al-mu'aqqat) dan nikah
putus (azwaj al-munqathi'). Dalam catatan perkawinan Mutter, seorang laki-
laki mengadakan akad nikah dengan seorang perempuan selama sehari,
seminggu, sebulan, atau jangka waktu tertentu lainnya.Disebut Mutah karena
laki-laki memanfaatkan perkawinan untuk mempertahankan hubungan dengan
perempuan dalam jangka waktu tertentu.8

Pernikahan Mut'ah Secara etimologis, mut'ah mempunyai arti kenikmatan,


kelezatan, kelebihan atau kebahagiaan. Dalam kitab fiqih, nikah Mu'a disebut
juga Nikah al-Muaqqat (nikah sementara) atau nikah al-Muqati (nikah putus).
Secara terminologis, perkawinan Mua bersifat sementara dan terbatas. Jangka
waktu tetap ini bisa satu minggu, satu bulan, atau satu tahun, tergantung
kesepakatan di antara pasangan.

Muhammad Ali al-Shabni menyatakan bahwa mut'ah berarti laki-laki


membeli seorang wanita (untuk kepuasan seksual) untuk jangka waktu
tertentu, misalnya sehari, seminggu, atau sebulan, lalu pergi., Setelah batas
waktu.Masa terpenuhinya nafsu seksual dan akibat-akibatnya.Menurut Imam
Syi'ah, perkawinan mut'ah adalah perkawinan sementara antara seorang laki-
laki dan seorang perempuan dengan mahar tertentu dan dibatasi pada tanggal
tertentu.9

Muta Nikah Pernikahan dalam Nikah/Indonesia adalah akad yang


menghalalkan persetubuhan antara seorang laki-laki non-Muhrim dengan
seorang perempuan serta menetapkan hak dan kewajiban di antara keduanya,
namun Mut’ah Nikah Berasal dari kata tanmatu, artinya menikmati,
berbahagia, atau bersenang-senang. Adapun istilah “mut’ah” berarti laki-laki
8
Atun Alfi and Burhanita, “Poligami, Poliandri, Nikah Mut’ah, Nikah Siri,” n.d., 13.
9
Mohamad Thoyyib Madani, “Kontroversi Nikah Mut’ah,” n.d., 409.

7
mengawini perempuan dengan memberinya harta tertentu dalam jangka waktu
tertentu.

Perkawinan ini berakhir setelah jangka waktu tertentu, tidak ada


kewajiban untuk memberi nafkah anak atau tempat tinggal, dan tidak ada
warisan bersama di antara keduanya jika terjadi kematian.Sebelum
berakhirnya masa pernikahan Mut’ah. Perkawinan bergumam biasanya disebut
dengan 'perkawinan jangka waktu tetap' dalam pengertian hukum, dalam
artian setelah akad diumumkan maka ikatan perkawinan itu sah untuk jangka
waktu tertentu, dan ikatan perkawinan itu timbul pada saat perkawinan.Anda
mungkin pernah melakukannya. proses perceraian.Pernikahan bergumam
biasanya disebut pernikahan kontrak.

Akad nikah dalam bahasa Arab dikenal dengan nikah muttah. Nikah
Mut'ah merupakan kata majemuk yang terdiri dari dua kata yaitu Nikah dan
Mut'ah. Secara bahasa, pernikahan adalah sebuah kontrak dan sebagainya.
Dalam terminologi ini, perkawinan diartikan sebagai akad, dan kata nikah
dikontraskan dengan kata muttah. Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang
perkawinan suami istri, terlebih dahulu kita akan membahas tentang
pengertian perkawinan. Kata perkawinan berasal dari bahasa Arab nakaha
yankihnikhahan yang berarti perkawinan atau perkawinan. Kata nikah ini
diadopsi dari bahasa Arab dan menjadi kata yang sangat populer di Indonesia.
Sasarannya adalah keinginan orang lain untuk meresmikan perjodohan.
Kata pernikahan kini sering disamakan dengan sesuatu yang negatif dan
bersifat kebinatangan.
Seorang muslim yang melangsungkan perjodohan secara sah dengan
pasangan pilihannya dan disaksikan (diketahui) oleh masyarakat sekitar
dikatakan telah menikah, namun masyarakat yang tinggal bersamanya
mengatakan bahwa perkawinan tersebut berbeda sekali dengan perkawinan.
Saya tidak punya, saya dapat mengatakan bahwa saya sudah menikah. Hewan
diperuntukkan bagi pemenuhan seksual dan tidak mematuhi aturan norma, dan
nilai-nilai sosial yang ditetapkan agama. Nikah mut'ah atau nikah kontrak
(fuqaha) antar ahli hukum disebut juga nikah muakat (nikah sementara) atau
nikah inquita (nikah terputus).

Laki-laki menikahi perempuan untuk jangka waktu tertentu dan dibayar


yen per hari, minggu, atau bulan, tergantung kesepakatan. Disebut perkawinan
Mutter karena pihak laki-laki ingin menikmati kebersamaan dengan pihak
perempuan sampai batas tertentu.

Menurut Imamiyyah Syi'ah, perkawinan Mu'a terjadi bila seorang


perempuan menikah dengan laki-laki tanpa adanya hambatan (dalam keluarga
perempuan) yang menjadikan perkawinan itu tidak sah menurut kaidah Islam
Kanan. Hambatan tersebut dapat berupa nasab, perkawinan, menyusui,

8
hubungan suami istri dengan orang lain, iddah, atau sebab-sebab lain yang
menjadi hambatan dalam agama. Terbebas dari hambatan-hambatan tersebut,
maka seorang perempuan dapat menikah dengan laki-laki dengan mahar
tertentu untuk jangka waktu yang disepakati bersama terlebih dahulu, melalui
akad nikah yang telah ditentukan dan disetujui bersama dan dengan cara akad
nikah yang memenuhi seluruh persyaratan keabsahannya menurut syariat.10

a. . Pendapat Ulama Tentang Nikah Mut'ah


Sayyid Sabiq menulis, nikah mut'ah disebut juga kawin sementara, atau
kawin terputus, karena laki-laki mengawini seorang perempuan untuk waktu
sehari, seminggu atau sebulan. Dinamakan nikah mut'ah karena laki- laki itu
bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja. Seluruh Imam
Madzhab (Sunni) sepakat bahwa nikah seperti itu haram, dengan alasan: (1)
Tidak sesuai dengan pernikahan yang dimaksudkan oleh Al-Qur'an dan tidak
sejalan dengan masalah talak, iddah dan warisan; (2) beberapa hadis dengan
tegas menyebutnya haram; (3) Khalifah Umar mengharamkan nikah mut'ah
dan para sahabat menyetujuinya, padahal mereka tidak akan menyetujui
andaikata mengharamkan kawin mut'ah itu salah; (4) haramnya nikah mut'ah
itu sudah menjadi ijma', kecuali oleh beberapa golongan aliran Syi'ah; (5)
Nikah mut'ah sekedar pelampiasan syahwat, bukan untuk mendapatkan anak
dan memeliharanya.
Sesungguhnya Nabi SAW pada waktu pembukaan kota Makkah beliau
bersabda, "Wahai manuia! Saya telah pernah mengizinkan kamu nikah
mut'ah, tetapi sekarang ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya
sampai hari kiamat... (HR Bukhari dan Muslim).

Diriwayatkan dari Ali RA bahwa Rasulullah SAW telah melarang nikah


mutah pada waktu perang Khaibar dan melarang mereka makan daging
keledai penduduknya. (HR Bukhari dan Muslim)

Golongan Syi'ah Imamiyah membolehkan nikah mut'ah dengan syarat


syarat sebagai berikut: (1) Ijab qabulnya dengan lafal: Zawwajtuka atau
unkihuka (saya nikahkan kamu) atau matta'tuka (saya kawinkan kamu
sementara; (2) Isteri harus seorang muslim atau Ahli Kitab; (3) Dengan
maskawin; (4) Batas waktunya jelas berdasarkan persetujuan masing-
masing, umpamanya sehari, sebulan atau setahun. Menurut mereka, anak
yang lahir mejadi anaknya; tidak ada talak dan li'an, tidak ada hak waris-
mewarisi antara suami-isteri; masa iddah-nya dua kali masa haid.

Ahmad Muhammad Jamal menuturkan, bahwa bagi mahasiswa yang


studi di luar negeri, nikah mut'ah sering menjadi perbincangan yang hangat.
"Bolehkah seorang laki-laki yang sedang tugas belajar di luar negeri
mengawini perempuan di mana ia menuntut ilmu, dan mentalaknya?"
10
Didi Rosadi, “Perspektif Nikah Mut’ah Dalam Hukum Islam,” n.d., 3–4.

9
Pertanyaan ini dijawab sendiri oleh Muhammad Jamal, "Asal nikah tersebut
tak terikat masa, karena nikah adalah untuk meraih ketentraman,
persaudaraan dan cinta kasih, berdasarkan QS. Al-A'raf [7]:189 dan Al-Rum
[30]: 21. Menurut kesepakatan ulama, bila ada syarat waktu tertentu,atau
persetujuan berdua sebelum akad, maka nikahnya batal".

Perempuan merupakan pasangan kaum laki-laki untuk membentuk


keluarga yang sejahtera. Nikah mut'ah yang relatif singkat tidak menjamin
kesejahteraan hidup keluarga dan keturunan. Cinta kasih pun bersifat
sementara dan tanggung jawab berkesinambungan juga tak ada.2 Pandangan
tentang kebolehan nikah mut'ah didasarkan atas firman Allah fama istamsa
tum bihi minhunna fa'atuhunna ujūrahunna (QS 4:24). Menurut Jamal, ayat
tersebut tidak relevan dijadikan sandaran, sebab ayat itu memerintahkan
suami agar memberikan mahar yang layak, sebagai timbal balik
menikmatinya untuk masa yang abadi. Umar bin Khathab meriwayatkan,
"Rasulullah SAW melarang nikah mut'ah," lalu beliau berkata, "Siapa saja
yang kudapati melakukannya akan kurajam dengan batu. Nikah itu telah
menghancurkan sistem nikah, talak, iddah dan Warisan.11

11
Muhammad, “Nikah Mut’ah Kitab Tafsir Al-Qur’an” Vol. 1, No. 2, September 2002, hlm.163–164
(n.d.).

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Mahar merupakan pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri
sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi
seorang istri kepada calon suaminya. Atau suatu pemberian yang diwajibkan
bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa.
Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum
dari mahar. Hal inidisebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia
dalam memberikannya. Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan
kontan atau utang, apakah mau dibayar kontan sebagian dan utang sebagian.
Dan juga bahwa sebagian besar mufassir berpendapat bahwa nikahmut'ah
adalah sesuatuyang terlarang. Salah atu tafsir yang menekankankebolehan'
nikah mut'ah hingga kini adalah Al-Mlzan, karya ulama Syi'ahterkemuka
MuQammad ijusain 1;abataba'i.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abd. Kafi. “Mahar Pernikahan Dalam Pandangan Hukum Dan Pendidikan Islam” Vol.
3, No. 1, Januari-Juni 2020 (n.d.).
Abd. Kohar. “Kedudukan Hikmah Mahar Dalam Perkawinan,” n.d., 43.
Abdul Kafi. “Mahar Pernikahan Dalam Pandangan Hukum Dan Pendidikan Islam”
Vol. 3, nos.1, Januari-Juni 2020 (n.d.).
Alfi, Atun, and Burhanita. “Poligami, Poliandri, Nikah Mut’ah, Nikah Siri,” n.d., 13.
Didi Rosadi. “Perspektif Nikah Mut’ah Dalam Hukum Islam,” n.d., 3–4.
Mohamad Thoyyib Madani. “Kontroversi Nikah Mut’ah,” n.d., 409.
Muhammad. “Nikah Mut’ah Kitab Tafsir Al-Qur’an” Vol. 1, No. 2, September 2002,
hlm.163–164 (n.d.).
Muhammad Ali. Fiqih Munakahat. Metro-Lampung: Laduny Alifatama, n.d.
Muhmmad Ridwan. “Kedudukan Mahar Dalam Perkawinan” Vol. 13, No. 1, Juni
2020 (n.d.).
Nur Rahmawati. “Mahar Pernikahan Dalam Perspektif Islam,” n.d., 2–3.
rabith, Madah, Harsya Khulaili, and Aulia Roh Umdah. “Konsep Mahar Perkawinan
Dalam Fiqh Kontemporer Analisis Mubadah” Vol. 4, 2 (Desember, 2022)
(n.d.).

12

Anda mungkin juga menyukai