Anda di halaman 1dari 14

PERANAN MAHAR DALAM PERNIKAHAN

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

“Fiqh Munakahat”

Dosen pengampu:

Sirojudin Ahmad, S.H.I, M.H

Disusun oleh: HKI E

Muhammad Afrizal Rahman (10122012)


Muhammad Anis Ramdhani (101220124)

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dengan berkat,rahmat


dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini,Sholawat serta
salam semoga senantiasa dihaturkan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad
Saw.

Tentunya dalam penyusunan makalah ini banyak terdapat kekurangan-


kekurangan yang tanpa penulis sadari,oleh karena itu sangat diharapkan kritik dan
saran dari pembaca yang bersifat membangun dari forum diskusi.

Semoga dengan adanya kritik dan saran tersebut dapat bermanfaat dan
menjadi pedoman bagi penulis dalam penyusunan makalah ini pada khususnya
dan para pembaca pada umumnya,segala kelebihan hanya milik Allah dan segala
kekurangan hanya milik hambanya.

Ponorogo, 24 September 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

BAB I: PENDAHULUAN............................................................................... 1

A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 1
C. Tujuan Makalah.................................................................................... 1

BAB II: PEMBAHASAN................................................................................. 2

A. Pengertian Mahar ................................................................................. 2


B. Dalil-dalil Tentang Mahar.................................................................... 3
C. Perbedaan Pandangan Tentang Mahar ................................................. 5
D. Macam-Macam Mahar.......................................................................... 7

BAB III: PENUTUP......................................................................................... 9

A. Kesimpulan…………………………………………………………… 9

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 10

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Mahar di Indonesia sangat banyak perbedaan terhadap apa yang
ingin diberikan kepada pasanganya. Mahar biasanya dibayar dengan emas,
jasa, alat shalat serta yang lainnya.
Mahar merupakan sesuatu yang penting dalam pernikahan, mahar
sebagai pemberi calon suami kepada calon istri sebagai kesungguhan dan
cerminan kasih saying calon suami terhadap calon istrinya yang besar
kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak, dengan penuh
kerelaan hati oleh calon istrinya sebagai tulang punggung keluarga dan
rasa tanggung jawab sebagai seorang suami.
Mahar diberikan oleh calon suami untuk menunjukan kemuliaan
akan pentingnya akad pernikahan dan menetapkan mas kawin bukan
merupakan sebuah timbal balik, kewajiban menyerahkan mahar bukan
berarti calon istri dengan pemberian mahar sepenuhnya telah dimiliki
suaminya, yang seenaknya suami memperlakukan istri. akan tetapi, suami
dan istri sama-sama memiliki hak berkumpul dan satu atap sebagai suami
istri dan dengan adanya akad nikah mereka terikat berbagai hak dan
kewajiban seperti apa yang telah ditetapkan oleh agama islam.

B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian mahar ?
2. Sebutkan dalil-dalil tentang mahar ?
3. Apa perbedaan pandangan tentang mahar ?
4. Macam-macam Mahar

iv
C. Tujuan makalah
Mahasiswa mampu memahami mahar terdiri dari perngertian dasar
hukum, perbedaan mengenai mahar dan macam-macam mahar.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Mahar

Mahar secara etimologi artinya maskawin. Secara teminoligi, mahar


ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai
ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi
seorang istri kepada calon suaminya. Atau suatu pemberian yang
diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk
benda maupun jasa memerdekakan, mengajar.

Di kalangan fuqaha, di samping perkataan mahar, juga digunakan


istilah lainnya, yakni shadaqah, nihlah, dan faridhah yang maksudnya
adalah mahar. Dengan pengertian etimologi tersebut, istilah mahar
merupakan pemberian yang dilakukan oleh mempelai laki-laki kepada
mempelai perempuan yang hukumnya wajib, tetapi tidak ditentukan
bentuk dari jenisnya, besar dan kecilnya dalam Al-Quran merupakan
Hadis.

Madzhab Hanafi mendefinisikan sebagai sesuatu yang didapatkan


seseorang perempuan akibat akad pernikahan atau persetubuhan. Mazhab
Maliki mendefinisikan sebagai suatu pemberian kepada sang istri sebagai
imbalan persetubuhan dengannya Mazhab Syafi’i mendefinisikannya
sebagai sesuatu yang diwajibkan sebab pernikahan atau persetubuhan, atau
lewatnya kehormatan perempuan dengan tanpa daya, seperti akibat susuan
dan mundurnya para saksi. Mazhab Hambali mendefinisikan sebagai
penggant i dalam akad pernikahan, baik mahar ditentukan di dalam akad,

v
atau ditetapkan setelahnya dengan keridhaan kedua belah pihak atau
hakim.1

B. Dasar-dasar Hukum Mahar

Suami berkewajiban memberikan mahar kepada calon istrinya.


Mahar adalah lambang kesiapan dan kesediaan suami untuk
memberikan nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya. Selama
mahar itu bersifat simbolis atau sekedar formalitas, maka
jumlahnya sedikit pun tidak ada masalah. Hal ini sejalan dengan
penjelasan Rasulullah, “Sebaik-baik maskawin adalah seringan-
ringannya.” Maksud dari hadits tersebut adalah, jangan sampai
karena masalah mahar menjadi faktor yang memberatkan bagi
laki-laki, maka tidak ada larangan bagi laki-laki yang mampu untuk
memberikan sebanyak mungkin mahar kepada calon istrinya.
Namun, pernikahan pada dasarnya bukanlah akad jual beli, dan
mahar bukanlah menjadi harga seorang wanita.2 Dalam Al-Quran,
surat An-Nisa ayat 4, Allah SWT berfirman:

‫َو ٰا ُتوا الِّنَس ۤا َء َص ُد ٰق ِتِهَّن ِنْح َلًة ۗ َفِاْن ِط ْبَن َلُك ْم َع ْن َش ْي ٍء ِّم ْنُه َنْفًسا‬
‫َفُك ُلْو ُه َهِنْۤي ًٔـا َّم ِرْۤي ًٔـا‬
Artinya: Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan
(yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan.
Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
(maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah
pemberian itu dengan senang hati.
Maksud dari ayat ini adalah seorang lelaki diwajibkan membayar
mahar kepada calon istrinya sebagai suatu keharusan. Hendaknya hal
1
Theadora Rahmawati, Fiqih Munakahat 1, CV. Duta Media 2021 hal 80-81

2
Ibid hal 81

vi
tersebut dilakukannya dengan senang hati. Sebagaimana seseorang
memberikan hadiahnya secara suka rela, maka seseorang diharuskan
memberikan mahar kepada istrinya secara senang hati pula. Jika pihak
istri dengan suka hati sesudah penyebutan mahar mengembalikan
sebagian dari maskawin itu kepadanya, maka pihak suami boleh
memakannya dengansenang hati dan halal.3

Ayat di atas menyebutkan “Mahar” dengan istilah “shadaq” yang


dimaknakan sebagai pemberian yang penuh keikhlasan. 4 Dalam surat
An-Nisa ayat 25, Allah SWT berfirman sebagai berikut:

‫… َفاْنِكُحْو ُهَّن ِبِاْذ ِن َاْهِلِهَّن َو ٰا ُتْو ُهَّن ُاُجْو َر ُهَّن‬

“…Oleh Karena itu, kawinilah mereka dengan seizin tuan meraka


dan berikanlah maskawin mereka menurut yang patut…”(Q.S. An-Nisa:
25)

Dasar hukum kedua adalah hadis, sebagaimana hadis yang


diriwayatkan oleh Al-Baihaqi “Dari Ibnu Abbas r.a ia berkata telah
bersabda Rasulullah ‫ﷺ‬, “sebaik-baiknya wanita (istri adalah yang
tercantik wajahnya dan termurah maharnya).” (HR Baihaqi).

Kompilasi Hukum Islam mengatur mahar secara panjang lebar


dalam Pasal-pasal 30, 31,32, 33, 34, yang hampir keseluruhannya
mengadopsi dari kitab fiqh menurut jumhur ulama. Lengkapnya
adalah sebagai berikut:
Pasal 30
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita
yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.
Pasal 31
3
Ibid hal 83
4
Hikmatullah, Fiqih Munakahat pernikahan dalam islam , Cipayung, Jakarta Timur, 2021

vii
Penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang
dianjurkan oleh ajaran Islam.
Pasal 32
Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu
menjadi hak pribadinya.

Pasal 33

(1) Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.


(2) Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh
ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belum
ditunaikan penyerahan menjadi utang (calon) mempelai pria.
Pasal 34
(1) Kewajiban penyerahan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan.
(2) Kelalaian menyebut jenis dan jumlah pada waktu akad nikah, tidak
menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya keadaan mahar
masih terutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan.5

C. Perbedaan Pandangan Tentang Mahar


Pada umumnya mahar itu dalam bentuk materi, baik berupa uang atau
barang berharga lainnya. Namun syari’at Islam memungkinkan mahar itu
dalam bentuk jasa melakukan sesuatu. Ini adalah pendapat yang dipegang
oleh jumhur ulama. Mahar dalam bentuk jasa ini ada landasannya dalam Al-
Qur’an dan demikian pula dalam hadis nabi.

lama Hanafiyah berbeda pendapat dengan jumhur ulama dalam hal ini.
Menurut ulama ini bila seorang lakilaki mengawini seorang perempuan
dengan mahar memberikan pelayanan kepadanya atau mengajarinya
AlQur’an, maka mahar itu batal dan oleh karenanya kewajiban suami adalah
mahar misil.

Kalau mahar itu dalam bentuk uang atau barang berharga, maka Nabi
menghendaki mahar itu dalam bentuk yang lebih sederhana. Hal ini

5
Theadora Rahmawati, Fiqih Munakahat 1, CV. Duta Media 2021 hal 83-84

viii
tergambar dalam sabdanya dari ‘Uqbah bin ‘Amir yang dikeluarkan oleh Abu
Daud dan disahkan oleh Hakim, ucapan Nabi: ‫ يرخ قادصال هرسًٔـیأ أ‬artinya:
sebaik-baiknya mahar itu adalah yang paling mudah.

Baik Al-Qur’an maupun hadis Nabi tidak memberikan petunjuk yang


pasti dan spesifik bila yang di jadikan mahar itu adalah uang. Singkatnya,
mahar boleh berupa uang, perhiasan, perabot rumah tangga, binatang jasa,
harta perdagangan atau benda-benda lainnya yang mempunyai harga
(manfaat).

Islam menilai mahar itu bersifat simbolis yaitu peranan kaum pria yang
berfungsi sebagai keamanan dan ekonomi keluarganya. Jadi, mahar bukanlah
suatu tujuan yang tidak harus diutamakan.

Imam Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan fuqaha Madinah dari
kalangan tabi’in berpendapat bahwa bagi mahar tidak ada batas terendahnya.
Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat
dijadikan Mahar.

Segolongan fuqaha mewajibkan penentuan batas terendahnya, tetapi


kemudian mereka berselisih dalam dua pendapat. Pendapat pertama
dikemukakan oleh Imam Malik dan para pengikutnya. Sedangkan pendapat
kedua dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya. Imam
Malik berpendapat bahwa sedikitdikitnya mahar adalah seperempat dinar
emas atau perak seberat 3 dirham timbangan atau barang yang sebanding
dengan 3 dirham tersebut.

Ulama Hanafiyah menetapkan batas minimal mahar sebanyak 10 dirham


perak dan bila kurang dari itu tidak memadai dan oleh karenanya diwajibkan
mahar misil, dengan pertimbangan bahwa itu adalah batas minimal barang
curian yang mewajibkan had terhadap pencurinya.

Pada prinsipnya, mahar itu harus bermanfaat, bukan sesuatu yang dipakai,
dimiliki dan dimakan. Dalam hal ini Ibnu Rusyd mereduksikan mahar hanya
kepada benda saja, ketika ia mengatakan bahwa mahar harus berupa sesuatu

ix
yang dapat ditukar dan ini jelas merujuk kepada sesuatu benda. Padahal,
sesuatu yang bermanfaat itu tidak selalu dikaitkan dengan ukuran umum
tetapi bersifat subjektif sehingga tidak selalu dikaitkan dengan benda. Dalam
hal ini calon istrilah yang mempunyai hak menilai, dan hal ini sangat
kondisional.6

D. Macam-Macam Mahar
1. Mahar Musamma

Mahar musamma adalah mahar yang telah ditetapkan bentuk dan


jumlahnya dalam sighat akad. Mahar musamma ada dua macam, yaitu:
a. Mahar musamma mu’ajjal, yakni mahar yang segera diberikan oleh
calon suami kepada calon istrinya. Menyegerakan pemberian mahar
hukumnya sunnah.
b. Mahar musamma ghair mu’ajjal, yakni: mahar yang pemberiannya
ditanggauhkan.

Dalam kaitannya dengan pemberian mahar, wajib hukumnya membayar


mahar musamma apabila telah terjadi dukhul. Apabila salah seorang dari
suami atau istri meninggal dunia sebagaimana disepakati oleh para ulama;
apabila telah terjadi khalwat (bersepi-sepi), suami wajib membayar mahar.
2. Mahar Mitsil
Mahar mitsil ialah mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut jumlah
yang bisa diterima oleh keluarga pihak istri karena pada waktu akad nikah
jumlah mahar belum ditetapkan bentuknya.
Allah SWT berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 236:

6
Ibid hal 85-87

x
‫اَل ُج َناَح َعَلْيُك ْم ِاْن َطَّلْق ُتُم الِّنَس ۤاَء َم ا ْمَل َمَتُّس ْو ُه َّن َاْو َتْف ِر ُضْو ا ُهَلَّن َفِر ْيَض ًة ۖ َّو َم ِّتُعْو ُه َّن َعَلى اْلُمْو ِس ِع‬
‫ِس ِن‬ ‫ِف‬
‫َقَد ُر هٗ َو َعَلى اْلُم ْق ِرِت َقَد ُر هٗ ۚ َم َتاًعا ِۢباْلَم ْع ُر ْو ۚ َح ًّقا َعَلى اْلُم ْح َنْي‬

“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu


menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka
dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan
suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut
kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula),
Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan
ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Q.S. Al-Baqarah
(2): 236)

Kemungkinan ketiga, yaitu membayar mahar mitsil dipandang


lebih adil dan bijaksana karena hal itu didasarkan kepada kemampuan
pihak suami dengan mengacu pada mahar yang biasa diterima oleh pihak
istri. Hal ini diperkuat oleh hadis yang menyebutkan kasus seorang suami
yang menceraikan istrinya setelah terjadi dukhul, sementara ia belum
menetapkan jumlah maharnya. Begitu pula seorang suami yang
meninggal sebelum terjadi dukhul, sedangkan ia belum sempat
menetapkan maharnya yang harus diberikan kepada istrinya.

Kaitannya dengan penundaan pembayaran mahar, para fukaha


bebeda pendapat. Sebagian fukaha melarang menunda pembayaran
mahar, sementar sebagian ulama membolehkan. Imam malik menegaskan
bahwa: boleh menunda pembayaran mahar, tetapi apabila suami hendak
menggauli istrinya hendaknya ia membayar separuhnya. Cara penundaan
pembayaran mahar harus waktunya dan tidak terlalu lama. oleh karena
itu, batas waktunya harus disepakati oleh kedua belah pihak.

Dianjurkan untuk menunda pembayaran dengan batas waktu yang


jelas dan tidak sampai tibanya ajal salah satu pihak, baik pihak suami atau
istrinya. Akan tetapi, berpendapat bahwa menunda pembayaran mahar
dibolehkan meskipun sampai kematian atau terjadinya perceraian.

xi
Penundaan pembayaran mahar tidak terbatas sebagaimana dalam jual-beli
karena penundaan pembayaran mahar bersifat ibadah. Yang terpenting,
suami tetap wajib membayar.7

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Secara terminologi, mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada
calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih
bagi seorang istri kepada calon suaminya. Di kalangan fuqaha, di samping
perkataan mahar, juga digunakan istilah lainnya, yakni shadaqah, nihlah, dan
faridhah yang maksudnya adalah mahar.

Madzhab Hanafi mendefinisikan sebagai sesuatu yang didapatkan


seseorang perempuan akibat akad pernikahan atau persetubuhan. Mazhab Maliki
mendefinisikannya sebagai sesuatu yang diberikan kepada seorang istri sebai
imbalan persetubuhan dengannya.

Mazhab syaf’I mendefinisikannya sebagai sesuatu yanf diwajibkan sebab


pernikahan atau persetubuhan, atau lewatnya kehormatan perempuan dengan
tanpa daya, seperti akibat susuan dan mundurnya para saksi. Mazhab Hambali
mendefinisikan sebagai pengganti dalam akad pernikahan, baik mahar ditentukan
di dalam akad, atau ditetapkan setelahnya dengan keridhaan kedua belah pihak

7
Hikmatullah, Fiqih Munakahat pernikahan dalam islam , Cipayung, Jakarta Timur, 2021
hal 55 dan 56

xii
atau hakim. Selama mahar itu bersifat simbolis atau sekedar formalitas, maka
jumlahnya sedikit pun tidak ada masalah. Hal ini sejalan dengan penjelasan
Rasulullah, “Sebaik-baik maskawin adalah seringan-ringannya.

Macam-macam mahar : Pertama: mahar musamma yaitu mahar yang


disebutkan bentuk, wujudnya atau nilainya dan besarnya disepakati kedua belah
pihak dan dibayarkan secara tunai atau ditangguhkan atas persetujuan istri dalam
akad. Kedua: bila mahar yang tidak disebutkan jenis dan jumlahnya pada waktu
akad, maka kewajibannya adalah membayar mahar sebesar mahar yang diterima
oleh perempuan lain dalam keluarga istri seperti adik atau kakaknya yang terlebih
dahulu menikah.

DAFTAR PUSTAKA

Rahmawati Theadora, Fiqih Munakahat 1, CV. Duta Media 2021

Hikmatullah, Fiqih Munakahat pernikahan dalam islam , Cipayung, Jakarta


Timur, 2021

xiii
xiv

Anda mungkin juga menyukai