Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

KEDUDUKAN WALI NIKAH DAN KEDUDUKAN MAHAR

Diajukan untuk Memenuhi salah satu tugas mata kuliah

MASAILUL FIQHIYAH
Dosen Pengampu: Moh Sugandi, M.Pd

Disusun oleh :

Abdulah Sape’i Hajami : 210101002

Muhammad Zaky Mubarok : 210101014

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)

AL-BADAR

PURWAKARTA

2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur Tim Penulis panjatkan kepada Allah SWT. yang telah melimpahkan
segala Rahmat dan Karunia-Nya. Berkat Rahmat dan Karunia-Nya lah kami dapat
menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul “Kedudukan Wali Nikah dan
Kedudukan Mahar"” ini tepat pada waktunya. Salawat bermahkota kan Salam kita
hadiahkan kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW. yang telah membawa umatnya
dari alam kebodohan ke alam yang penuh dengan penerangan Islam dan Pengetahuan.

Ucapan terima kasih tak lupa kami haturkan kepada fasilitator, Bapak
pembimbing dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah
ini. Tim Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari titik kesempurnaan. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari Pembaca sangat Tim Penulis
harapkan agar makalah ini mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Akhirnya, Tim
Penulis berharap semoga makalah ini dapat berguna bagi parembaca serta bagi Tim
Penulis sendiri

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................2
DAFTAR ISI..........................................................................................................................3
BAB I...................................................................................................................................4
PENDAHULUAN..................................................................................................................4
A. Latar Belakang........................................................................................................4
B. Rumusan Masalah..................................................................................................4
C. Tujuan....................................................................................................................4
BAB II..................................................................................................................................5
PEMBAHASAN....................................................................................................................5
A. Sebab Sebab Warisan.............................................................................................5
B. PENGHALANG.PENGHALANG WARISAN (MAWAANI’ AL-IRTS)..............................7
1. PENGHALANG PERTAMA: BUDAK (AR-RIQ)........................................................7
2. PENCHALANG KEDUA: MEMBUNUH..................................................................8
3. PENGHALANG KETIGA: PERBEDAAN AGAMA.....................................................8
4. PENGHALANG KEEMPAT: PERBEDAAN DUA NEGARA........................................9
BAB III...............................................................................................................................10
KESIMPULAN....................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................11

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW beberapa ayat dan matan
hadits yang shoheh menyebutkan bahwa Allah menciptakan makhluknya berpasang-
pasangan. Diantaranya makhluk manusia yaitu ada laki-laki dan ada perempuan
(zakarin wa untsa). Allah menciptakan manusia dari diri yang satu (Adam) dan
(Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya. Dan dari keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak (Q.S. An Nisa: 1).
Untuk merumuskan proses hukum yang berkenaan dengan perkawinan ini
para ulama Islam telah membuat kajian yang mendalam dan mendetail secara
komprehensif berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits serta ilmu-ilmu kaidah bahasa
untuk membuat fatwa hukum terkait masalah perkawinan, diantaranya adalah
kedudukan wali dalam pernikahan dan Kedudukan Mahar Dalam Pernikahan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Kedudukan Wali Nikah Dalam Perkawinan ?
2. Apa Kedudukan Mahar dalam Perkawinan ?

C. Tujuan
1. Menyelesaikan Tugas Perkuliahan
2. Mengetahui Apa Kedudukan Wali Nikah Dalam Perkawinan
3. Mengetahui Apa Kedudukan Mahar dalam Perkawinan

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. WALI NIKAH
1. Pengertian
Wali dalam perkawinan adalah merupakan hal yang penting dan menentukan,
menurut pendapat ulama Syâfi’îyah tidak sah perkawinan tanpa adanya wali bagi pihak
perempuan, sedang bagi laki-laki tidak diperlukan wali. Menurut ulama Hanafiyah
bahwa perkawinan tanpa wali dianggap sah bahkan seoarang wanita dapat
mengawinkan dirinya sendiri.

2. Syarat-Syarat Wali Nikah


Seseorang dapat bertindak menjadi wali apabila memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan dalam hukum Islam, dan para ulama ada yang sepakat dan ada yang berbeda
pendapat dalam masalah syaratsyarat yang harus dipenuhi seorang wali. Adapun syarat-
syarat yang harus dipenuhi menurut ulama Syâfi’îyah ada enam, yaitu sebagai berikut:

1) Beragama Islam
2) Baligh
3) Berakal Sehat
4) Merdeka
5) Laki Laki
6) Adil

3. Urutan Wali
Jumhur ulama Syâfi’îyah berpendapat bahwa wali dalam pernikahan adalah
saudara dekat yang termasuk pada ashhab, bukan saudara seibu atau dzaw al-arham
lainnya.

Pernikahan seorang perempuan tidak sah kecuali dinikahkan oleh wali aqrab
(dekat), dan apabila tidak ada oleh wali ab’ad (jauh), dan jika tidak ada maka dinikahkan
oleh penguasa (wali hakim), dan urutan wali sebagai berikut: a. Ayah; b. Kakek; c.
Saudara laki-laki seayah seibu (sekandung); d. Saudara laki-laki seayah; e. Anak laki-laki

2
dari saudara laki-laki sekandung; f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah. g. Paman
sekandung; h. Paman seayah; i. Anak laki-laki dari paman sekandung; j. Anak laki-laki
dari paman seayah; k. Hakim.16 Ini merupakan urutan wali yang berhak menjadi wali
dalam pernikahan, jika seseorang menjadi wali pernikahan sementara hadir wali yang
lebih dekat maka pernikahannya tidak sah, karena menurut ulama Syâfi’îyah hak wali
merupakan hak ‘ashabah sebagaimana menyerupai hak waris.

4. Kedudukan Wali
Ulama Syâfi’îyah berpendapat bahwa perkawinan tanpa wali tidak sah atau dapat
dikatakan bahwa wali adalah merupakan syarat sahnya perkawinan, bahkan wali
merupakan rukun perkawinan. Alasannya antara lain yaitu:

a. Q.s. al-Nur [24]: 32, sebagai berikut:

Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orangorang


yang layak (berkawin) dari hambahamba sahayamu yang lelaki dan hambahamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka
dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.

b. Q.s. al-Baqarah [2]: 221, sebagai berikut:

Dan janganlah kamu menikahi wanitawanita musyrik, sebelum mereka beriman.


Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.

3
dan Allah menerangkan ayatayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran.

Kemudian ayat kedua tersebut ditunjuk kan kepada wali, mereka diminta untuk
menikahkan orang-orang yang tidak ber suami dan orang-orang yang tidak beristri di
satu pihak, dan melarang wali itu untuk menikahkan laki-laki muslimdengan wanita
non-muslim, se baliknya wanita dilarang menikah dengan laki-laki non-muslim
sebelum mereka beriman. Andai kata wanita itu berhak secara langsung menikahkan
dirinya dengan seseorang laki-laki tanpa wali, se mestinya ditunjukkan kepada
wanita itu, karena urusan perkawinan itu urusan wali maka perintah dan larangan
untuk menikahkan wanita itu ditunjukan kepada wali, seperti halnya juga wanita
menikahkan wanita atau wanita menikahkan dirinya sendiri hukumnya haram.
Jelasnya dalam Q.s. al-Nûr [24]: 32 menujukkan bahwa urusan perkawinan urusan
wali.

B. MAHAR NIKAH
1. Pengertian
Pengertian Mahar, Mahar secara etimologi artinya maskawin. Secara
terminologi, mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri
sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi
seorang istri kepada calon suaminya. Atau suatu pemberian yang diwajibkan
bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa
(memerdekakakn, mengajar, dll). 1 Kata “mahar” berasal dari bahasa Arab yang
termasuk katra benda bentuk abstrak atau masdar, yakni “Mahram” atau kata
kerja, yakni fi’il dari “mahara-yamaharumaharan”. Lalau, dibakukan dengan kata
benda mufrad, yakni al-mahr, dan kini sudah diindonesiakan dengan kata yang
sama, yakni mahar atau karena kebiasaan pembayaran mahar dengan mas,
mahar diidentikkan dengan maskawin. yang dimiliki oleh tuannya, dan dia
tidak memiliki harta. Dengan pertimbangan bahwa 'status dimiliki' itu
muncul karena kelemahan dan ketidakmampuan. Sedang 'status memilikii
muncul karena kemampuan dan kemuliaan. Oleh karena itu, keduanya
bertentangan. Semua harta yang ada di tangannya adalah miliktuannya.
Kalau kita memberinya warisan maka kepemilikan itu menjadi milik

4
tuannya. Dengan demikian, hal itu berarti memberikan warisan kepada
orang asing tanpa sebab, dan ini batal menurut ijma ulama.

2. Syarat Syarat Mahar


Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.

a. Harga berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak
ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit, tapi bernilai tetap
sah disebut mahar.
b. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan memberikan
khamar, babi, atau darah, 44 karena semua itu haram dan tidak berharga.
c. Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang
lain tanpa seizinnya namun tidak termasuk untuk memilikinya karena berniat
untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasilghasab
tidak sah, tetapi akadnya tetap sah
d. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan
memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan
jenisnya.

3. Fungsi Fungsi Mahar


Salah satu usaha Islam dalam memperhatikan dan menghargai perempuan yaitu
memberi hak untuk memegang usahanya. Di zaman Jahiliah hak perempuan dan
dihilangkan dan disia-siakan, lalu Islam datang mengembalikan hak-hak itu. Kepadanya
diberi hak mahar dan kepada suami diwajibkan memberi mahar.

kepadanya bukan kepada ayahnya dan kepada orang yang paling dekat
kepadanya. Mahar adalah bagian esensial pernikahan dalam Islam. Tanpa mahar sebuah
pernikahan tidak dapat dinyatakan telah dilaksanakan dengan benar. Mahar harus
ditetapkan sebelum pelaksanaan akad nikah. Merupakan hak mutlak seorang
perempuan untuk menentukan besarnya mahar.

4. Macam Macam Mahar


Semua ulama’ telah sepakat bahwa membayar mahar itu adalah wajib. Sedangkan
macam-macam mahar dapat dibedakan menjadi dua yaitu: Mahar Musammadan Mahar
Mitsil.

5
a. Mahar Musamma

Mahar musamma merupakan mahar yang telah jelas dan ditetapkan bentuk dan
jumlahnya dalam shighat akad. Jenis mahar ini dibedakan lagi menjadi dua yaitu:
Pertama Mahar Musamma Mu’ajjal, yakni mahar yang segera diberikan oleh calon
suami kepada calon isterinya. Menyegerakan pembayaran mahar termasuk perkara yang
sunnat dalam Islam. Kedua Mahar Musamma Ghair Mu’ajjal, yakni mahar yang telah
ditetapkan bentuk dan jumlahnya, akan tetapi ditangguhkan pembayarannya.

b. Mahar Mitsil

Mahar Mitsil adalah mahar yang jumlah dan bentuknya menurut jumlah dan bentuk
yang biasa diterima keluarga pihak isteri karena tidak ditentukan sebelumnya dalam
akad nikah.

5. Kedudukan Mahar
Dalam Islam, disyari’atkannya membayar mahar hanyalah sebagai hadiah yang diberikan
seorang lelaki kepada seorang perempuan yang dipinangnya ketika lelaki itu ingin
menjadi pendampingnya, dan sebagai pengakuan dari seorang lelaki atas kemanusiaan,
kemuliaan dan kehormatan perempuan. Karena itu, dalam al-Qur’an Allah telah
menegaskan dalam surat an-Nisa ayat 4 :

“Berikanlah maskawin kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang
penuh kerelaan”. (QS. an-Nisa’: 4)

Pengertiannya adalah, bayarkanlah mahar kepada mereka sebagai pemberian yang


setulus hati. Pemberian itu adalah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas
persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas.

6
BAB III
KESIMPULAN
1. Warisan bergantung pada tiga hal: adanya sebab-sebab warisan, syarat-
syaratnya, dan ketiadaan penghalang-penghalangnya. Masingmasing ada
pembahasan khusus. Adapun sebab-sebab warisan yang disepakati ada
tiga, yakni kekerabatan, hubungan suami istri, dan kekuasaan (al –wala’).
2. Mawani'ul Irtsi adalah hilangnya hak ahli waris untuk memperoleh harta
warisan dari perwaris karena adanya hal-hal yang melarangnya menerima
harta warisan. Para ahli waris yang kehilangan hak-hak mewarisi yang
disebabkan adanya mawani'ul irtsi disebut mahrum dan halangannya
disebut hirman.
3. Macam-macam pengahalang hak waris di antaranya adalah:
a) Perbudakan
b) Pembunuhan
c) Perbedaan agama
d) Perbedaan Negara

7
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdul Gani, Pengantar KHI dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gema Insani
Pres, 1994. Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Jogjakarta: Fak. Hukum UII,
1977 Dawud, Abu, Sunan Abi Dawud, Bairut: Dar al-Fiqr, 2003. Hamdani, al-, Risalah
Nikah, terjemah: Agus Salim, Jakarta: Pustaka Amani, 1989 Husayn, al-, Taqiy al-Din,
Kifayah al-Ahyar Fi Hilli Ghayatu al-Ikhtishar, Indonesia: Darul Ihya, tt. Husen, Ibrahim,
Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah Thalak dan Rujuk, Jakarta: Yayasan Ihya
Ulumuddin, 1971 Muchtar, Kamal, Azas-azas Hukum Islam Tentang Perkawinan,
Jogjakarta: Tiga A, 1974. Muhy al-Dîn, Muhammad, al-Ahwal alShahshiyyah, Bayrut:
Maktabah Alamiyah, 2007. Muslim, Imam, Shahih Muslim, Semarang: Thaha Putra, tt.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang- 178|
AL-‘ADALAH Vol. X, No. 2 Juli 2011 undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
Ramulyo, Idris, Tinjauan Beberapa Pasal tentang Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan, Jakarta: Indo Hilco, 1986 Shan’ani, al-, Subul al-Salam, Bandung:
Dahlan, tt. Syafi’i, Imam, al-Umm, Mesir: Maktabah al-Halabi, tt. Syairazi, al-, Abi Ishak,
al-Muhaddzab Fi Fiqhi Imam Al-Syafi’I, Semarang: Thaha Putra t.t. Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Zahrah, Abû, al-Ahwal al-Syahshiyah, Bairut:
Darul Fikri al-Arabi, 1957. Zuhaylî, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa ‘Adillatuhu, Syiria: Dar
al-Fikr, 2004. Abdullah, Abdul Gani, Pengantar KHI dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta:
Gema Insani Pres, 1994. Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Jogjakarta: Fak.
Hukum UII, 1977 Dawud, Abu, Sunan Abi Dawud, Bairut: Dar al-Fiqr, 2003. Hamdani, al-,
Risalah Nikah, terjemah: Agus Salim, Jakarta: Pustaka Amani, 1989 Husayn, al-, Taqiy al-
Din, Kifayah al-Ahyar Fi Hilli Ghayatu al-Ikhtishar, Indonesia: Darul Ihya, tt. Husen,
Ibrahim, Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah Thalak dan Rujuk, Jakarta: Yayasan
Ihya Ulumuddin, 1971 Muchtar, Kamal, Azas-azas Hukum Islam Tentang Perkawinan,
Jogjakarta: Tiga A, 1974. Muhy al-Dîn, Muhammad, al-Ahwal alShahshiyyah, Bayrut:
Maktabah Alamiyah, 2007. Muslim, Imam, Shahih Muslim, Semarang: Thaha Putra, tt.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang- 178|
AL-‘ADALAH Vol. X, No. 2 Juli 2011 undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
Ramulyo, Idris, Tinjauan Beberapa Pasal tentang Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan, Jakarta: Indo Hilco, 1986 Shan’ani, al-, Subul al-Salam, Bandung:
Dahlan, tt. Syafi’i, Imam, al-Umm, Mesir: Maktabah al-Halabi, tt. Syairazi, al-, Abi Ishak,
al-Muhaddzab Fi Fiqhi Imam Al-Syafi’I, Semarang: Thaha Putra t.t. Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Zahrah, Abû, al-Ahwal al-Syahshiyah, Bairut:
Darul Fikri al-Arabi, 1957. Zuhaylî, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa ‘Adillatuhu, Syiria: Dar
al-Fikr, 2004.

Anda mungkin juga menyukai