Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

 
A. LATAR BELAKANG
Berpasang-pasangan merupakan salah satu sunnatullah atas seluruh
ciptaan- Nya, tidak terkecuali manusia, hewan, dan tumbuhan-tumbuhan.
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang  pasang agar kamu mengingat
(kebesaran Allah).” (adz-Dzariyat [51]: 49)
Berpasang-pasangan merupakan pola hidup yang ditetapkan oleh Allah
Swt. Bagi umat-Nya sebagai sarana untuk memperbanyak keturunan dan
mempertahankan hidup setelah Dia membekali dan mempersiapkan masing-
masing pasangan agar dapat menjalankan peran mereka untuk mencapai
tujuan tersebut dengan sebaik-baiknya.
Allah swt Telah menetapkan suatu aturan sesuai dengan fitrah mulia
manusia yang dengan fitrah, terjaga harga diri dan kehormatan manusia.
Oleh karena itu, dan menjadikan hubungan laki-laki dan perempuan tercakup
dalam sebuah ikatan sakral pernikahan yang terjalin berdasarkan ridha kedua
nya, terucapnya ijab kabul sebagai bentuk keridhaan masing-masing pihak,
dan kesaksian khalayak bahwa mereka telah sah untuk menjadi bagian satu
sama lama.
Pernikahan seperti itulah yang diridhai oleh Allah swt. Dan disyariatkan
oleh agama Islam.

B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah yang akan dibahas sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan wali?
2. Apa saja dasar hukum wali?
3. Apa saja persyaratan wali?
4. Macam macam dan urutan wali?

1
5. Apa yang dimaksud dengan saksi?
6. Apa saja persyaratan wali?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui Apa yang dimaksud dengan wali
2. Untuk mengetahui Apa yang dimaksud dengan wali
3. Untuk mengetahui Apa saja persyaratan wali
4. Untuk mengetahui Macam macam dan urutan wali
5. Untuk mengetahui Apa yang dimaksud dengan saksi
6. Untuk mengetahui Apa saja persyaratan wali
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN WALI
Makna perwalian menurut bahasa adalah, rasa cinta dan pertolongan,
sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT "Barangsiapa mengambil
Allah, Rasulnya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka
sesungguhnya pengikut (agama) Allah inilah yang pasti menang." (Al-
Maidah: 56) juga firman-Nya, "Orang-orang yang beriman lelaki dan
perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian
yang lain." (at:Taubah: 71).
Bisa juga bermakna kekuasaan dan kemampuan. Dikatakan "al-Waali"
yang berarti pemilik kekuasaan. Kata “wali” menurut bahasa berasal dari
bahasa Arab, yaitu al-Wali dengan bentuk jamak Auliya yang berarti kekasih,
saudara, atau penolong. Sedangkan menurut istilah, kata wali berarti orang
yang menurut hukum (agama, adat) dititipkan untuk mengurus kewajiban
atau menjadi tanggung jawab anak yatim, sebelum anak itu dewasa; pihak
yang mewakili mempelai wanita pada saat melangsungkan perkawinan (yaitu
pihak yang melakukan akad nikah dengan mempelai pria).
Wali dalam perkawinan adalah orang yang menjadi pemegang sahnya
akad nikah, sehingga perkawinan tidak sah tanpa adanya wali. Wali adalah
orang yang mempunyai hak atau wewenang untuk melakukan perbuatan
hukum bagi orang yang diwakilinya untuk kepentingan dan atas nama orang
yang diwakilinya. Sedangkan wali dalam perkawinan adalah orang yang
berhak menikahkan wanita yang diasuhnya (maula) jika dia (wali) mampu
bertindak sebagai wali. Dan jika karena sesuatu hal ia tidak dapat bertindak
sebagai wali maka hak perwaliannya beralih kepada orang lain.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa wali nikah
adalah orang yang mengesahkan perkawinan. Pernikahan tanpa wali adalah

3
tidak sah. Perwalian dalam perkawinan merupakan hukum yang harus
dipenuhi bagi mempelai yang bertindak untuk menikahinya atau merestui
perkawinannya. Wali dapat langsung mengakhiri akad nikah atau
mewakilkannya kepada orang lain.
Perwalian dalam perkawinan merupakan hukum yang harus dipenuhi bagi
mempelai yang bertindak untuk menikahinya atau merestui perkawinannya.
Wali dapat langsung mengakhiri akad nikah atau mewakilkannya kepada
orang lain. Seorang laki-laki yang memenuhi syarat-syarat tertentu bertindak
sebagai wali. Islam memberikan hak untuk menikah karena wanita tidak
diperbolehkan untuk menikah sendiri. Jika seorang wanita menikah dengan
dirinya sendiri, itu berarti dia telah melakukan perzinahan. 

B. DASAR HUKUM WALI


Keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang harus dan
tidak sah akad suatu perkawinan apabila tidak dilakukan oleh wali . Wali itu
ditempatkan sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama.
Memang tidak ada satupun ayat al-Quran yang jelas menghendaki keberadaan
wali dalam akad perkawinan. Tetapi dari ayat tersebut dapat dipahami
menghendaki adanya wali .
Diantara ayat-ayat al-Quran yang mengisyaratkan adanya wali adalah surat
al-Baqarah ayat 232 yang artinya:
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang
ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci.
Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui “
Kalau sang istri telah habis masa iddahnya, dan tidak ada halangan lain
yang ditetapkan agama, maka bekas suami, para wali, atau siapapun tidak
boleh melakukan, yakni menghalang-halangi mereka, wanita itu menetapkan
sendiri masa depannya menyangkut perkawinan. Siapa saja yang dipilihnya

4
baik suami mereka yang telah pernah menceraikannya, maupun pria lain yang
ingin dikawininya dan bakal menjadi suami-suami mereka, maka itu adalah
haknya secara penuh, karena janda berhak atas dirinya daripada yang lain.
Ayat ini ditujukan kepada para wali, jika mereka tidak mempunyai hak dalam
perwalian, tentu mereka tidak dilarang untuk menghalang-halangi.
Dari pemahaman ayat tersebut, jumhur ulama (Malikiyah, Syafi’iyah, dan
Hanabilah) menetapkan keharusan adanya wali dalam perkawinan.
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah dan ulama Syiah Imamiyah
berkesimpulan bahwa perempuan yang sudah dewasa dan sehat akalnya dapat
melakukan sendiri perkawinannya dan tidak perlu wali mengadakannya.
Alasan rasionalnya ialah orang yang telah dewasa dan sehat akalnya dapat
bertindak hukum dengan sendiri tanpa diperlukan bantuan walinya.
Jumhur ulama di samping menggunakan ayat-ayat diatas sebagai dalil
yang mewajibkan wali dalam perkawinan, mereka menguatkan pendapatnya
itu dengan serangkaian hadis dibawah ini:
Hadis Nabi dari Abu Burdah bin Abi Musa menurut riwayat Ahmad
“Tidak boleh nikah tanpa wali.”
Hadis Nabi dari Aisyah yang dikeluarkan oleh empat perawi hadits selain
al-Nasa’i; “Perempuan mana saja yang kawin tanpa izin walinya,
perkawinannya batal .”
Hadis dari Abu Hurairah yang mengutip ucapan Nabi: “Perempuan tidak
boleh mengawinkan perempuan dan perempuan juga tidak boleh
mengawinkan dirinya sendiri.
Hadis tersebut diatas digunakan oleh ulama Hanafiyah dan pengikutnya
untuk menguatkan pendapatnya dalam memahami ayat-ayat al-Quran tersebut
sebelumnya untuk menetapkan tidak wajibnya wali bila yang melangsungkan
perkawinan itu adalah perempuan yang sudah dewasa dan akal sehat.

5
C. PERSYARATAN WALI
Persyaratan seorang wali adalah sebagai berikut :
1. Muslim, tidak sah orang yang tidak beragama islam menjadi wali untuk
muslim.
2. Sudah dewasa (baligh) dan berakal sehat, dalam arti anak kecil atau
orang gila tidak berhak menjadi wali.
3. Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali. Seorang wanita tidak
boleh menjadi wali untuk wanita lain ataupun menikahkan dirinya
sendiri. 
4. Orang merdeka.
5. Adil (orang fasik tidak sah menjadi wali) Telah dijelaskan syarat wali itu
adalah adil, dalam artian yaitu tidak bermaksiat, baik, orang shaleh,
orang yang tidak membiasakan diri munkar. Ada pendapat yang
mengatakan bahwa adil ini diartikan sebagai cerdas yang maksudnya
adalah dapat menggunakan akal pikirannya dengan sebaik mungkin. 
6. Tidak Mahjur bissafah (dicabut hak kewaliannya)
7. Tidak dipakai.
8. Tidak rusak pikirannya sebab tua atau yang lain 
9. Tidak fasik.

D. Macam macam Wali


a) Wali Nasab
Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon
mempelai wanita dan berhak menjadi wali.  Dalam menetapkan wali nasab
terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Perbedaan ini disebabkan
oleh tidak adanya petunjuk yang jelas dari nabi, sedangkan Al-quran tidak
membicarakan sama sekali siapa-siapa yang berhak menjadi wali. Jumhur
ulama membaginya menjadi dua kelompok:
Pertama: wali dekat (wali qarib), yaitu ayah dan kalau tidak ada
ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan mutlak
terhadap anak perempuan yang akan dikawinkannya

6
Kedua: wali jauh (wali ab’ad), yaitu wali dalam garis kerabat
selain dari ayah dan kakek, juga selain dari anak dan cucu. Adapun wali
ab’ad adalah sebagai berikut:
1. Saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
2. Saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada. 
3. Anak saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
4. Anak saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
5. Paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada
6. Paman seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
7. Anak paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
8. Anak paman seayah,
9. Ahli waris kerabat lainya kalau ada

b) Wali Hakim
Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk
bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat
menggantikan wali nasab apabila calon mempelai wanita tidak mempunyai
wali nasab sama sekali
1. Walinya mafqud, artinya tidak tentu kebenarannya.
2. Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang
sederajat dengan dia tidak ada.
3. Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masafatul qasri (sejauh
perjalanan yang membolehkan shalat qashar) yaitu 92,5 km.4.
4. Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai.
5. Wali sedang melakukan ibadah haji atau umroh.
6. Anak Zina (dia hanya bernasab dengan ibunya).
7. Walinya gila atau fasik
 
c) Wali Muhakkam
Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon
suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Orang

7
yang bisa diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang
terpandang, disegani, luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat,
berpandangan luas, adil, islam dan laki-laki
 
E. PENGERTIAN DAN PERSYARATAN SAKSI NIKAH
1. Pengertian
Saksi menurut bahasa berarti orang yang melihat atau mengetahui
sendiri suatu peristiwa (kejadian). Sedangkan menurut istilah adalah
orang yaNg memberitahukan keterangan dan mempertanggungjawabkan
secara apa adanya. rasulullah sendiri dalam berbagai riwayat hadits
walaupun dengan redaksi berbeda- beda menyatakan urgensi adanya
saksi nikah, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits:
Artinya :
“Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi.”
Bahkan dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan Turmudzi
dinyatakan bahwa pelacur-pelacur (al-baghaya) adalah perempuan-
perempuan yang menikahkan dirinya sendiri tanpa dihadiri dengan saksi
(bayyinah).Malikiyah mempunyai pendapat berbeda tentang saksi dalam
pernikahan.Pandangan Malikiyah berangkat dari illat ditetapkannya saksi
sebagai syarat sah nikah.
Malikiyah mengambil pemikiran bahwa untuk sampainya
informasi dan bukti pernikahan tidak harus melembagakan saksi, namun
bisa ditempuh melalui i’lan. Malikiyah membedakan iklan dengan saksi,
dimana i’lan dipahami sebagai media penyambung informasi dari suatu
pernikahan tanpa harus melalui hadirnya sosok saksi dalam proses akad
nikah.
Menurut Malikiyah saksi tidak dibutuhkan kehadirannya pada saat
akad, namun saksi akan diharapkan kehadirannya setelah akad sebelum
suami mencampuri istrinya. Malikiyah justru mengutamakan i’lan nikah
daripada kesaksian itu sendiri,karena dalam i’lan sudah mencakup
kesaksian. Meski demikian mereka tetap menghadirkan dua orang saksi

8
sebagai wujud pengamalan mereka terhadap hadits tersebut. Hal ini
didasarkan pada pandangan Malikiyah, yang benar-benar
mengedepankan praktek ahli Madinah yang pada waktu itu mengamalkan
hadis hadis yang berkaitan dengan i’lan. Adanya dan kehadiran saksi
merupakan rukun perkawinan sebagaimana tercantum dalam Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia disebutkan “Saksi dalam  pernikahan
merupakan rukun pelaksanaan akad nikah, sehingga setiap pernikahan
harus dihadiri dua orang saksi”. Karena itu kehadiran saksi dalam akad
nikah mutlak diperlukan, bila saksi tidak hadir/tidak ada maka akibat
hukumnya adalah pernikahan tersebut dianggap tidak sah. 
UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal (1) menyatakan
dengan sangat tegas: “Perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai
Pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah
atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat
dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan
lurus keatas dari suami istri, jaksa dan suami atau istri”.
Masuknya saksi sebagai rukun Islam dapat dilihat dari keseluruhan rukun
nikah, yaitu :
a. Calon mempelai laki-laki, 
b. Calon mempelai perempuan,
c. saksi
d. wali
e. ijab qobul atau sighat aqad

2. Syarat-Syarat Saksi
Akad pernikahan harus disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada
kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari
pihak-pihak yang berakad di belakang hari. Orang yang menjadi saksi
dalam pernikahan, harus memenuhi syarat sebagai berikut:

9
a) Islam
Dua orang saksi itu harus muslim, menurut kesepakatan para ulama.
Namun Menurut Hanafiyah, ahli kitab pun boleh menjadi saksi
seperti kasus, seorang muslim kawin dengan wanita kitabiyah. 
b) Baligh
Anak-anak tidak dapat menjadi saksi, walaupun sudah mumayyiz
(menjelang baligh), karena kesaksiannya menerima dan
menghormati pernikahan itu belum pantas. Kedua syarat tersebut
diatas disepakati oleh fuqaha dan kedua syarat itu dapat dijadikan
satu, yaitu kedua saksi harus mukallaf.
c) Berakal
Orang gila tidak dapat dijadikan saksi.
d) Mendengar Dan Memahami Ucapan Ijab Qabul
Saksi harus mendengar dan memahami ucapan ijab qabul, antara
wali dan calon pengantin laki-laki.
e) Laki-Laki
Laki-laki merupakan persyaratan saksi dalam akad nikah. Demikian
pendapat jumhur ulama selain Hanafiyah.
f) Bilangan Jumlah Saksi Hanafi dan Hambali dalam riwayat yang
termasyur: kesaksian seorang wanita saja dapat diterima. Maliki dan
Hambali dalam riwayat lainnya mengatakan: kesaksian dengan dua
orang wanita dapat diterima. Syafii: tidak diterima kesaksian
perempuan, kecuali empat orang.
d) Adil
Saksi harus orang yang adil walaupun kita hanya dapat melihat
lahiriahnya saja. Demikian pendapat para jumhur ulama. Selain
hanafiyah)
e) Melihat Syafi'iyah
Berpendapat saksi harus orang yang dapat melihat. Sedangkan
jumhur ulama, dapat menerima kesaksian orang yang buta asal dia

10
dapat mendengar dengan baik ijab qabul itu dan dapat membedakan
suara wali dan calon pengantin laki-laki.
3. Fungsi Dan Tanggung Jawab Saksi
Kehadiran saksi pada saat akad nikah amat penting artinya,
karenamenyangkut kepentingan kerukunan berumah tangga, terutama
menyangkutkepentingan istri dan anak, sehingga tidak ada kemungkinan
suami mengingkarianaknya yang lahir dari istrinya itu. Juga supaya
suami tidak menyia-nyiakanketurunannya (nasabnya) dan tidak kalah
pentingnya adalah menghindari fitnah dantuhmah (persangkaan jelek),
seperti kumpul kebo. Kehadiran saksi dalam akad nikah,adalah sebagai
penentu sah akad nikah itu. Demikian pendapat para jumhur ulama.Jadi,
saksi menjadi syarat sah akad nikah.
Saksi adalah sebagai penentu dan pemisah antara halal dan haram.
Perbuatanhalal biasanya dilakukan secara terbuka dan terang-terangan,
karena tidak adakeraguan.sedangkan perbuatan haram biasanya
dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Logikanya, sebuah pernikahan yang dilandasi oleh cinta-kasih dan
disetujuioleh kedua belah pihak, tidak perlu disembunyikan. Bila tidak
ada saksi pada saatakad nikah, maka akan ada kesan nikah itu dalam
keadaaan terpaksa atau ada sebab sebab lainyang dipandang negatif oleh
masyarakat. Oleh karena itu, disunatkan mengadakan resepsi perkawinan
(walimatul ‘ursy).

11
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Wali adalah orang yang berhak atau berwenang untuk melakukan
suatu perbuatan hukum bagi yang diwakilinya untuk kepentingan dan atas
nama yang diwakili.
Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu:
Wali Nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon
mempelaiwanita dan berhak menjadi wali.
Wali Hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk
bertindaksebagai wali dalam suatu pernikahan.
Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon
suami-istriuntuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka.
Saksi adalah orang yang memberitahukan keterangan dan
mempertanggungjawabkan secara apa adanya.
Dan adapun yang menjadi syarat-syarat wali dan saksi ialah;
muslim, sudahdewasa, berakal, laki-laki, orang merdeka, adil, tidak
mahjur bissafah, Tidak rusak pikirannya sebab tua atau yang lain, tidak
fasiq. Dan syarat bagi saksi ialah; islam, baligh, berakal, mendengarkan
dan memahami ucapan ijab qabul, laki-lak, bilangan jumlah saksi, adil,
melihat.
Kehadiran saksi pada saat akad nikah amat penting artinya, karena
menyangkut kepentingan kerukunan berumah tangga, terutama
menyangkut kepentingan istri dananak, sehingga tidak ada kemungkinan
suami mengingkari anaknya yang lahir dariistrinya itu.
Saksi adalah sebagai penentu dan pemisah antara halal dan haram.
Perbuatanhalal biasanya dilakukan secara terbuka dan terang-terangan,
karena tidak adakeraguan.sedangkan perbuatan haram biasanya dilakukan
secara sembunyi-sembunyi

12
B. SARAN
Makalah ini kami buat untuk sebagai bahan informasi pembaca dan tentu
saja banyak kesalahan serta kekurangan dari karya tulis ini. Namun kami
menyadari bahwa makalahini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kami mohon saran dari para pembaca sekalian yang tentunya sangat
beguna dan berharga bagi kami. Akhir kata,kami ucapkan terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA

https://www.referensimakalah.com/2013/06/dasar-hukum-tentang-wali-
nikah.html
https://kiaton.kontan.co.id/news/urutan-wali-nikah-syaratnya-dan-ketentuan-wali-
hakim?page=all
https://www.academia.edu/41516799/makalah_Fiqih

13

Anda mungkin juga menyukai