Npm : 1902011004
Seluruh madzab sepakat bahwa wali dalam pernikahan adalah wali perempuan
yang melakukan akad nikah dengan pengantin laki-laki yang menjadi pilihan
wanita tersebut. Adapun wali ini mempunyai syarat syarat yaitu
Wali nikah terbagi menjadi dua macam yaitu wali nasab dan wali hakim. Wali
nasab adalah wali dari pihak kerabat. Sedangkan wali hakim adalah pejabat yang
diberi hak oleh penguasa untuk menjadi wali nikah dalam keadaan tertentu dan
dengan sebab tertentu.Berikut urutan wali nasab, dari yang paling kuat memiliki
hak perwalian hingga yang paling lemah.
1. Ayah
2. Kakek dari pihak bapak terus ke atas
3. Saudara laki-laki kandung
4. Saudara laki-laki sebapak
5. Anak laki-laki saudara laki-laki kandung
6. Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak
7. Paman (saudara bapak) sekandung
8. Paman (saudara bapak) sebapak
9. Anak laki-laki dari paman sekandung
10. Anak laki-laki dari paman sebapak
11. Hakim
A. Wali Mujbir
Wali mujbir adalah wali yang berhak menikahkan anak perempuannya yang sudah baligh,
berakal, dengan tiada meminta izin terlebih dahulu kepadanya. Hanya bapak dan kakek yang
dapat menjadi wali mujbir.
B. Wali Hakim
Yang dimaksud dengan wali hakim adalah kepala negara yang beragama Islam. Dalam
konteks keindonesiaan tanggung jawab ini dikuasakan kepada Menteri Agama yang
selanjutnya dikuasakan kepada para pegawai pencatat nikah. Dengan kata lain, yang
bertindak sebagai wali hakim di Indonesia adalah para pegawai pencatat nikah.
Wali adhal adalah wali yang tidak mau menikahkan anaknya/cucunya, karena
calon suami yang akan menikahi anak/cucunya tersebut tidak sesuai dengan
kehendaknya. Padahal calon suami dan anaknya/cucunya sekufu.
2. Saksi
a. pengertian
Menurut jumhur ulama, saksi nikah bukan termasuk rukun nikah, melainkan syarat sah
nikah. Dalam pandangan mayoritas ulama, rukun nikah itu ada empat: a. shigat (ijab
qobul), b. isteri, c. suami, dan d. wali (Wahbah Zuhaeli, Juz 7, 1989: 36-37). Adapun saksi
dikelompokkan sebagai syarat sah nikah seperti halnya maskawin. Namun demikian, ada
sebagian ahli fiqh yang menganggap saksi sebagai rukun nikah. Dan pandangan terakhir
inilah yang kemudian diadopsi oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI): “Saksi dalam
perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah” (pasal 24:1), sehingga, “Setiap
perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi” (pasal 24:2).
b. Dasar hukum
Adapun dasar hukum saksi terdapat didalam Al-quran dan Hadits Nabi Muhammad
SAW. Diantaranya Firman Allah SWT dalam surat At-Thalaq 65 : 2.
Artinya : Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka
dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu
karena Allah.
c. Kedudukan Saksi
Kedudukan saksi dalam pernikahan yaitu :
Seperti halnya wali, saksi juga salah satu rukun dalam pernikahan. Tidak sah suatu
pernikahan yang dilaksanakan tanpa saksi.
Saksi dalam pernikahan disyaratkan dua orang laki-laki. Selanjutnya ada dua
pendapat tentang saksi laki-laki dan perempuan. Pendapat pertama mengatakan bahwa
pernikahan yang disaksikan seorang laki-laki dan dua orang perempuan syah.
Sedangkan pendapat kedua mengatakan tidak syah. Pendapat pertama yang
menegaskan bahwa pernikahan yang disaksikan seorang laki-laki dan dua orang
perempuan syah bersandar pada firman Allah ta’ala:
Artinya: “Angkatlah dua orang saksi laki-laki diantara kamu jika tidak ada
angkatlah satu orang laki-laki dan dua orang perempuan yang kamu setujui.” (QS.
Al Baqarah : 282)
Laki-laki
Beragam Islam
Baligh
Mendengar dan memahami perkataan dua orang yang melakukan akad
Bisa berbicara, melihat, berakal
Adil
Pada dasarnya kewajiban suami juga merupakan hak isteri, sehingga jika berbicara tentang
kewajiban suami terhadap isteri, maka bisa juga berarti hak isteri atas suami.
Kewajiban adalah segala hal yang harus dilakukan oleh setiap individu, sementara hak adalah
segala sesuatu yang harus diterima oleh setiap individu
Dari definisi di atas, penulis menyimpulkan bahwa kewajiban adalah segala perbuatan yang
harus dilaksanakan oleh individu atau kelompok sesuai ketentuan yang telah ditetapkan.
Adapun yang menjadi hak istri atau bisa juga dikatakan kewajiban suami terhadap isteri
adalah sebagai berikut:
1. Mahar
Menurut Mutafa Diibul Bigha, Mahar adalah harta benda yang harus diberikan oleh seorang
laki-laki (calon suami) kepada perempuan (calon isteri) karena pernikahan.
Pemberian mahar kepada calon istri merupakan ketentuan Allah SWT. bagi calon suami
sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 4 yang berbunyi:
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Nafkah berasal dari bahasa arab (an-nafaqah) yang artinya pengeluaran. Yakni Pengeluaran
yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu yang baik atau dibelanjakan untuk
orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.
Fuqaha telah sependapat bahwa nafkah terhadap istri itu wajib atas suami yang merdeka dan
berada di tempat. Mengenai suami yang bepergian jauh, maka jumhur fuqaha tetap
mewajibkan suami atas nafkah untuk istrinya
Adapun menyediakan tempat tinggal yang layak adalah juga kewajiban seorang suami
terhadap istrinya sebagaimana Firman Allah SWT berikut:
Artinya “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu (suami) bertempat tinggal
menurut kemampuan kamu,…” (QS. Ath Thalaaq: 6).
Menggauli istri dengan baik dan adil merupakan salah satu kewajiban suami terhadap
istrinya. suami agar berbicara dengan baik terhadap para istri dan bersikap dengan baik dalam
perbuatan dan penampilan. Sebagaimana suami juga menyukai hal tersebut dari istrinya,
maka hendaklah suami melakukan hal yang sama. Sebagaimana hadist dari riwayat ‘A’isyah
ra., bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik
terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku”. Dan di
antara akhlak Rasulullah saw. adalah memperlakukan keluarganya dengan baik, selalu
bergembira bermain dengan keluarga, bermuka manis, bersikap lemah lembut, memberi
kelapangan dalam hal nafkah, dan bersenda gurau bersama istri-istrinya
Sudah menjadi kewajiban seorang kepala rumah tangga untuk memberikan pendidikan agama
kepada istri dan anak-anaknya agar taat kepada Allah dan RasulNya. Dengan ilmu agama
seseorang mampu membedakan baik dan buruknya prilaku dan dapat menjaga diri dari
berbuat dosa. Selain ilmu agama, seorang suami juga wajib memberikan nasehat atau teguran
ketika istrinya khilaf atau lupa atau meninggalkan kewajiban dengan kata-kata bijak yang
tidak melukai hati sang istri.
5. Memberikan cinta dan kasih sayang kepada istri.
Sebagaimana Firman Allah SWT. dalam surat Ar Rum ayat 21 di atas pada kalimat َو َج َع َل بَ ْینَ ُك ْم
ًؕ َّم َو َّدةً َّو َرحْ َمةdapat juga dimaknai bahwa seorang suami wajib memberikan cinta dan kasih
sayang kepada istrinya yang terwujud dalam perlakuan dan perkataan yang mampu membuat
rasa tenang dan nyaman bagi istri dalam menjalankan fungsinya sebagai istri sekaligus ibu
rumah tangga. Adapun bentuk perlakuan tersebut bisa berupa perhatian, ketulusan,
keromantisan, kemesraan, rayuan, senda gurau, dan seterusnya.
Dalam memberikan cinta dan kasih sayang bukanlah atas dasar besar kecilnya rasa cinta kita
kepada istri, akan tetapi hal tersebut merupakan perintah Allah SWT. agar suami istri saling
mencinta dan berkasih sayang sebagai wujud kepatuhan kepada Allah SWT. Jika
memberikan cinta dan kasih sayang antara suami istri sudah disandarkan pada perintah Allah
SWT. maka as-sakiinah (ketentraman) dalam rumah tangga akan mudah kita raih.
Mentaati suami merupakan perintah Allah SWT. sebagaimana yang tersirat dalam Al-Qur’an
Surah An-Nisa ayat 34 sebagai berikut:
ٌ ت ٰحفِ ٰظ ٌ ت ٰقنِ ٰت ّ ٰ َف-ْؕض َّو بِ َمـ ۤـا اَ ْنفَقُــوْ ا ِم ْن اَ ْمـ َوالِ ِه ْم ٰ اَل ِّرجا ُل قَ ٰ ّوموْ نَ َعلَى النِّسآء بما فَ َّ هّٰللا
ب بِ َمــاِ ت لِّ ْل َغ ْی ُ الصـلِ ٰح ٍ ْضـهُ ْم عَلى بَع َ ض َل ُ بَع َِ ِ َ ُ َ
-ؕ فَ ـا ِ ْن اَطَ ْعنَ ُك ْم فَاَل تَ ْب ُغــوْ ا َعلَ ْی ِه َّن َس ـبِ ْیاًل-ضا ِج ِع َو اضْ ِربُوْ ه ۚ َُّن ٰ هّٰللا
َ و الّتِ ْی تَخَافُوْ نَ نُ ُشوْ َزه َُّن فَ ِعظُوْ ه َُّن َو ا ْه ُجرُوْ ه َُّن فِی ْال َم-ؕ
َ ُ ََحفِظ
اِ َّن هّٰللا َ َكانَ َعلِیًّا َكبِ ْیرًا
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita
yang salehah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari
jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Menurut Ibnu Abbas dalam tafsir Ibnu Katsir, yang dimaksud dari اَل ِّر َجـ ا ُل قَ ٰ ّو ُمــوْ نَ َعلَى النِّ َسـآ ِء
adalah kaum laki-laki merupakan pemimpin bagi kaum wanita. Artinya dalam rumah tangga
seorang suami adalah kepala rumah tangga yang harus didengar dan ditaati perintahnya, oleh
karenaa itu sudah seharusnya seorang Istri mentaati suaminya jika memerintahkannya dalam
kebaikan.
Setelah menikah biasanya yang jadi permasalahan suami istri adalah tempat tinggal, karena
kebiasaan orang Indonesia pada masa-masa awal menikah suami istri masih ikut di rumah
orang tua salah satu pasangan lalu kemudian mencari tempat tinggal sendiri. Dalam hal ini
seorang istri harus mengikuti dimana suami bertempat tinggal, entah itu di rumah orang
tuanya atau di tempat kerjanya. Karena hal tersebut merupakan kewajiban seorang istri untuk
mengikuti dimana suami bertempat tinggal, sebagaimana firman Allah SWT sebagai berikut:
Artinya “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu (suami) bertempat tinggal
menurut kemampuan kamu,…” (QS. Ath Thalaaq: 6).
Seorang wanita yang sudah menikah dan memulai rumah tangga maka harus membatasi
tamu-tamu yang datang ke rumah. Ketika ada tamu lawan jenis maka yang harus dilakukan
adalah tidak menerimanya masuk ke dalam rumah kecuali jika ada suami yang menemani dan
seizin suami. Karena perkara yang dapat berpotensi mendatangkan fitnah haruslah dihindari.
Allah SWT berfirman, “Wanita shalihah adalah yang taat kepada Allah dan menjaga diri
ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah memelihara mereka.” (QS. Annisa:34).