Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Pernikahan merupakan suatu akad untuk menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan
dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeuarga yang diridloi oleh Allah SWT. Dari
pengertian itu dapat kita ketahui bawasanya untuk menciptakan kehidupan keluarga yang
bahagia, kemudian menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan, membangun rumah
tangga yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang. Dalam agama islam sudah jelas mana
pernikahan yang dilarang dan mana yang diperbolehkan. Adapun yang dimaksud pernikahan
yang dilarang yakni bentuk-bentuk perkawinan yang tidak boleh dilakukan seperti kawin
Mut’ah, kawi Syighor dan lain-lain. Bentuk perkawinan tersebut merupakan bawaan yang
berasal dari zaman jahiliyah yang mana pada zaman ini orang=orang bagaikan binatang yang
memiliki prinsip siapa kuat dialah yang berkuasa.Adapun pernikahan yang diperbolehkan yaitu
pernikahan yang sesauai dengan syari’at seperti ada kedua mempelai, saksi dan wali serta mahar
dan apabila salah satu diantara syarat-syarat terssebut tidak dipenuhi maka pernikahannya tidak
sah atau batal.

#Rumusan Masalah

Apakah makna pernikahan, tujuan pernikahan, syarat, pernikahan yang dilarang dalam islam,
dan wanita yang haram dinikahi

#Tujuan

Untuk mengetahui makna pernikahan, tujuan pernikahan, syarat, pernikahan yang dilarang dalam
islam, dan wanita yang haram dinikahi

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Prinsip-prinsip Pernikahan dalam Islam

1. Memenuhi dan Melaksanakan Perintah Agama

Perkawinan adalah Sunnah Nabi,berarti bahwa melaksanakan perkawinan pada


hakikatnya merupakan pelaksanaan dari ajaran agama.

2. Kerelaan dan Persetujuan

Syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang melangsungkan perkawinan ialah “Ikhtiyar”
(tidak dipaksa) yang ditandai dengan kata-kata kerelaan calon istri dan suami atau persetujuan
mereka. Sehingga adanya Khithbah ( peminangan sebelum perkawinan, sehingga semua pihak
dapat mempertimbangkan apa yang akan mereka lakukan)

3. Perkawinan untuk Selamanya

Tujuan perkawinan untuk dapat keturunan ,ketenangan, ketentraman dan cinta serta kasih
sayang. Kesemuanya ini dapat dicapai dengan prinsip bahwa perkawinan adalah untuk
selamanya, bukan hanya dalam waktu tertentu saja.

4. Monogami dan Poligami

Monogami artinya seseorang menikah dengan 1 istri,sedang polygami artinya seorang


laki-laki menikah dengan lebih dari 1 istri. Adapun-prinsip monogami dan poligami:

 Dalam Islam dilarang hubungan seksual di luar perkawinan, dengan larangan yang nyata

 Dalam Islam diwajibkan orang bertindak adil dan bertanggung jawab.

 Dalam membolehkan poligami, Islam mensyaratkan keadilan dan tanggung jawab


supaya dipenuhi

5. Suami Sebagai Penanggung Jawab Umum dalam Rumah Tangga.

2
Suami mempunyai kedudukan lebih dari istri, sesuai dengan firman Allah dalam surat
an-Nisa’ ayat 34:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”

B.Praktik Perkawinan Sebelum Datangnya Islam

Perkawinan bangsa Arab masa pra Islam masih kental sekali menampakkan nuansa
patriarkhi dalam pengaturannya. Berbagai bentuk perkawinan yang ada lebih menempatkan
perempuan sebagai objek yang harus tunduk dan mengikuti keinginan laki-laki (suami) daripada
sebagai teman hidup yang bakal memberikan keturunan kepadanya. Perempuan tidak
mempunyai hak dalam menentukan perkawinan. Yang menentukan perkawinannya adalah ayah,
kakak laki-laki, keponakan laki-laki atau saudara laki-lakinya yang lain dari pihak keluarga.
Mereka tidak mempertimbagkan apakah perempuan tadi janda atau gadis, sudah tua atau masih
dibawah umur, yang terpenting adalah menikahkan dengan laki-laki pilihan mereka. Pihak
perempuan itu sendiri harus menerima tanpa dimintai pertimbangan apalagi persetujuan. (C.A.
Soorma, 1996:33).

Bentuk perkawinan yang mendominasi pada masa ini adalah perkawinan yang bersifat
kontraktual. Konsep perkawinan sebagai sebuah akad yang sakral dan bernilai ibadah tidak
tampak. Bentuk perkawinan yang ada dilangsungkan tidak dengan ketentuan syariat Islam yang
berlaku, melainkan cenderung kepada kepentingan pihak-pihak tertentu dengan kesepakatan
tradisi tersebut. Bisa dilihat dalam beberapa contoh praktik perkawinan berikut ini:

Perkawinan al-daizan , yaitu bentuk perkawinan yang menetapkan bahwa apabila suami
dari seorang perempuan meninggal dunia, anaknya yang tertua berhak untuk mengawininya.
Bahkan anak tersebut punya hak untuk mengkawinkannya dengan orang lain atau melarangnya
menikah sama sekali sampai ia meninggal (Q.S An-Nisa, 4:19). Bila perempuan tersebut
meninggal dunia, dia akan mewarisi kekayaannya. Atau, perempan tersebut boleh membebaskan
diri dengan syarat membayar uang tebusan yang disepakati. (Asghar Engineer, 1994:32). Bentuk
perkawinan seperti ini bisa juga disebut dengan perkawinan al-mukti, yaitu pernikahan yang
dilakukan oleh seorang anak laki-laki dengan isteri bapaknya (ibu tiri) setelah bapaknya
3
meninggal, atau setelah bercerai dari bapaknya (Syafiq Hasyim, 2001:147). Tindakan tersebut
dilarang oleh Al-Qur’an, seperti disebutkan dalam An-Nisa , 4:22. Selain melarang tindakan
tersebut, Al-Qur’a lebih rinci lagi menjelaskan pelarangan menikah terhadap sejumlah wanita
yang dianggap sebagai muhrim, atau masih mempunyai ikatan pertalian darah. Disamping itu
juga diatur tentang wanita-wanita mana yang boleh dan tidak boleh dinikahi, juga apa kewajiban
yang harus diberikan oleh laki-laki terhadap perempuan yang akan dinikahinya (Q.S An-Nisa,
4:3-24).

Ada juga bentuk pernikahan yang disebut zawwaj al-badal (salin bertukar isteri). Seorang
dapat meminta laki-laki lain agar melepaskan isterinya untuk diperisteri, dan sebagai gantinya
dia akan menyerahan isterinya untuk diperisteri laki-laki tersebut. Ini terjadi tanpa pemberian
mas kawin. (Asghar Ali Engineer, 1994:33). Bentuk perkawinan yang mempunyai kesamaan
dengan perkawinan ini adalah zawwad al-sighar, yaitu perkawinan dimana pengantin laki-laki
memberikan anak atau saudara perempuannya untuk dinikahkan dengan laki-laki lain yang akan
mengkawinkannya dengan saudara perempuan laki-laki tersebut. Hal ini juga tanpa ada
pemberian mahar.

Bentuk perkawinan yang lain adalah zawwaj al-istibda’, dimana seorang suami akan
meminta isterinya untuk bersetubuh dengan laki-laki yang dianggap mempunyai kekuatan dan
kelebihan, agar isteri tersebut bisa hamil dan mengandung anaknya. Anak yang lahir nantinya
dianggap sebagai suatu hadiah dari orang tersebut. Ada juga yang berpendapat bahwa bentuk
perkawinan ini diprakekkan dengan menyerahkan budak perempuan yang dikirim kepada
seorang laki-laki yang kuat, baik dan terhormat, agar dapat hamil dan melahirkan anak yang
sehat. Anak tersebut nantinya dapat dijual dan dipekerjakan di pasar. Perkawinan ini adalah
semacam bisnis, dan motifnya adalah keuntungan semata (Asghar Ali Engineer, 1994:34).

Bentuk perkawinan yang lain adalah seorang laki-laki yang menikahi tawanan perang
perempuan, disebut nikah al-zainah. Tawanan tersebut tidak dapat menolak, selain karena
statusnya sebagai tawanan, laki-laki tersebut juga mempunyai hak penuh untuk mengawini
budak atau tawanannya. Tidak ada pembayaran maskawin atau penyampaian khutbah nikah. Jika
dia melahirkan anak, perempuan tersebut bisa dibebaskan, atau tetap dijadikan budak , semua
tergantung dari laki-laki tersebut.

4
Masih banyak bentuk bentuk perkawinan yang lain yang dirasa sangat merendahkan
martabat dan kehormatan perempuan, yang terjadi hanya sebatas pemuasan nafsu tanpa ada nilai
ibadah dan penghormatan terhadap lembaga perkawinan. Sebut saja nikahh muth’ah, poligami
tanpa batas, poliandri dan sebagainya. Contoh-contoh perkawinan diatas merupakan beberapa
dari sekian banyak bentuk perkawinan yang mendiskreditkan kaum perempuan, yang sudah
menjadi realitas yang berlangsung selama berabad-abad. Hal ini kemudian memunculkan suatu
hukum tak tertulis bahwa nasib dan kelangsungan hidup wanita sangat ditentukan oleh laki-laki.
Dalam kasus perceraian ,perempuan masa Jahiliyah juga tidak mendapatkan apapun sebagai
nafkahnya. Laki-laki mempunyai hak mutlak dalam hal perceraian , dia bisa menceraikan
isterinya kapan saja serta dengan alasan yang terkadang sangat memojokkan pihak perempuan.
Namun setelah datangya Islam, berbagai masalah dalam perceraian diatur dalam ayat-ayatNya,
yang tujuannya adalah selain untuk mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan, juga
untuk mewujudkan kemaslahatan dalam kelangsungan hubungan keluarga pasca perceraian.

C. Konsep Wali dan Mahar

Konsep perwalian merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dalam sebuah
pernikahan,karena hal itu merupakan salah satu dan persyaratan legal pernikahan Islam yang
harus dipenuhi. Kesepakatan jumhu ulama bahwa pernikahan dipandang tidak sah bila tidak
disertai oleh seorang wali (Safiq Hasyim, 2001:154). Ketentuan ini merujuk pada hadis Nabi
yang diriwayatkan oleh Daruquthni:”Tidak dipandang sah pernikahan tanpa walidan dua orang
saksi”.

Dalam istilah fiqih,wali berarti orang yang memiliki kuasa untuk melakukan tasharruf
tanpa tergantung izin dari orang lain. Laki-laki sebagai kepala rumah tangga mempunyai hak
utama dalam pengambilan keputusan wilayah keluarga (perwalian). Pada masa pra Islam, wali
berhak menentukan jodoh untuk anaknya. Disamping sebagai bentuk kuasa laki-laki atas
perempuan, konsep wali di kalangan Arab pra Islam lebih terkesan sebagai peniadaan kebebasan
dan hak bagi perempuan. (Nassarudin Umar, 2001:140). Demikian juga dengan praktek
pemberian mahar (mas kawin) bagi pengantin perempuan. Hal ini kemudian diartikan bahwa
mahar adalah harga seorang perempuan yang dibeli dari walinya. Adalah wajar bila kemudian

5
suami mempunyai wewewnang penuh terhadap isterinya untuk memperlakukan apa saja,
menjadikan apa saja, termasuk kemudian menikahkannya dengan pria lain (M.Wahyuni Nafis,
1994).

Dalam Islam, konsep wali dan mahar mempunyai makna dan tujuan yang berbeda dengan
masa pra Islam. Wali dianggap sebagai pemandu perempuan Arab pada masa itu yang
kebanyakan masih bodoh, tidak berpendidikan dan tertinggal dalam segala bidang. Sedangkan
mahar, isyarat Al-Qur’an menyebutkan dengan nihlah atau saduqat (pemberian), yang dimaksud
adalah sebagai tanda kesungguhan cinta kasih yang diberika oleh laki-laki kepada perempuan,
yang secara sukarela tidak mengharap imbalan apapun. (Q.S An-Nisa, 4:4). Jadi mahar bukan
diperuntukkan sebagai harga seorang perempuan sebagaimana yang dipahami pada masa pra
Islam.

Dari pemaparan diatas, bisa dicatat bahwa pada dasarnya prinsip-prinsip pernikahan dalam Islam
meliputi:

1. Prinsip kebebasan memilih

Setiap orang mempunyai kebebasan memilih pasangannya selama tidak bertentangan dengan
yang telah disyariatkan dalam Al-Qur’an (Q.S An-Nisa, 4:23-24 ;An-Nuur,24:3&26) serta
HR Abu Hurairah tentang menikahi perempuan karena hartanya, keturunannya,
kecantikannya dan agamanya.

2. Prinsip Mawaddah

Mengosongkan hatinya dari kehendak-kehendak buruk (Q.S Ar-Ruum, 30:21).

3. Prinsip Rahmah

Saling mendorong untuk bersungguh-sungguh dalam rangka memberikan kebaikan pada


pasangannya, saling melengkapi, serta menolak segala hal yang mengganggu hubungan
keduanya (Q.S Al-Baqarah, 2:187).

4. Prinsip Amanah/tanggung jawab

5. Prinsip mu’asyarah bil ma’ruf

6
D. Kontroversi dalam Praktik Pernikahan

 Poligami
Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa, 4:3&129 ;

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun
kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung
(kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika
kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan),maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Salah satu persoalan fiqh munakahat yang sampai saat ini masih ramai menjadi
bahan diskusi adalah persoalan poligami. Membahas persoalan poligami ini pada
umumnya hampir semua kitab fiqh menyoroti sisi kebolehannya saja , tanpa mengkritisi
hakikat dibalik kebolehan tersebut, baik secara historis, sosiologis maupun anthropologis
(Syafiq Hasyim, 2001:161). Para ulama fiqh konvensional, yaitu para ulama empat
mazhab , mencatat bahwa surat An-Nisa ayat 3 adalah mendukung kebolehan poligami
maksimal empat orang. Hanya Imam Syafi’I yang menghubungkan konsep keadilan
7
dalam An-Nisa ayat 3 dan 129. Beliau menyimpulkan bahwa keadilan yang dituntut oleh
surat An-Nisa ayat 3 adalah keadilan yang berhubungan dengan kebutuhan fisik, karena
keadilan batiniah seperti yang tercatat dalam An-Nisa 129, mustahil akan biasa terwujud.
Jadi, sejauh laki-laki memiliki kemampuan adil dalam memenuhi kebutuhan fisik dan
jasmani, poligami diperbolehkan (Khoiruddin Nasution, 2002:107).

Dalam the Holy Qur’an Maulana Muhammad Azad menyatakan: “Ayat ini
memperbolehkan poligami dalam kondisi-kondisi tertentu, tidak menganjurkannya, dan
tidak pula membolehkannya dalam segala kondisi”. Dapat dilihat bahwa penekanan
utamanya adalah kepada berbuat adil terhadap perempuan pada umumnya, dan
khususnya kepada janda dan anak yatim. (Asghar Ali Engineer, 1994:221).

Seperti dikutip oleh Al-Jurjawi, Muhammad Abduh mengatakan dalam fatwanya,


bahwa syariat nabi Muhammad SAW memang memperbolehkan laki-laki menikahi
empat orang perempuan sekaligus, hanya jika laki-laki tersebut mengetahui untuk berbuat
adil. Jika tidak mampu berbuat adil, maka beristeri lebih satu tidak diperbolehkan. Dalam
hal ini Abduh mengutip kelanjutan ayat yang artinya:”Jika kamu tidak mampu berbuat
adil, maka satu saja”. Apabila seorang laki-laki tidak mampu memberikan hak-hak
isterinya, maka rusaklah bangunan rumah tangga. Karena , tiang utama dalam rumah
tangga adalah adanya kesatuan dan saling menyayangi antaranggota keluarga (Ali
Ahmad Al-Jurwawi, t.t:12).

Pendapat Abduh di atas sangat menekankan pada konsep keadilan yang bersifat
kualitatif dan hakiki, seperti rasa sayang, cinta dan perhatian. Hal ini sesuai dengan kata
dalam AlQur’an yang memang mengarah kepada makna yang kualitatif. Adapun
pendapat para ahli fiqh konvensional lebih cenderung kepada konsep keadilan kuantitatif
yang bisa diukur dengan angka-angka (Syafiq Hasyim, 2001:149). Amina Wadud
mencatat bahwa ukuran keadilan yang sejauh ini digunakan dalam memahami kebolehan
poligami adalah ukuran materi. Perkawinan masih dianggap sebagai bentuk penundukan
yang didasarkan kepada kebutuhan wanita untuk diberi nafkah materi oleh laki-laki
(Amina Wadud, 2001:149).

8
Mencermati kembali makna yang terkandung dalam surat An-Nisa ayat 3, ada beberapa
catatan yang perlu diperhatikan:
Pertama, ayat tersebut diwahyukan untuk memberi bimbingan bagi kaum
Muslimin dalam menghadapi kondisi setelah perang Uhud. Banyak para sahabat yang
gugur, sehingga sangat mengurangi jumlah laki-laki yang pada waktu itu memang
merupakan penopang hidup kaum perempuan. Sebagian wali laki-laki yang
bertanggungjawab untuk mengelola harta anak yatim perempuan, yang tidak bisa
menahan diri untuk berbuat adil, disarankan untuk menikahinya, atau menikahi para
janda yang anak-anaknya akan menjadi tanggungjawabnya. Ayat ini jelas berbicara
tentang keadilan: berlaku adil, mengelola harta secara adil, adil kepada anak-anak yatim,
adil kepada isteri-isteri dan anak-anaknya, dan sebagainya. (Amina Wadud, 2001:150).
Akan tetapi, para ahli fiqh lebih sering memahami dalam konsep mubahah
(kebolehannya), daripada konsep adalah (keadilan)nya. Seharusnya, jika aspek adalah,
baik yang kualitatif maupun kuantitatif lebih didahulukan daripada aspek mubahah, maka
poligami akan menjadi sangat sulit dilakukan meskipun atas ijin hokum syara’. Keadilan
yang semata-mata didasarkan kepada aspek kuantitatif seperti yang selama ini dipahami,
lebih menguntungkan laki-laki daripada perempuan (Syafiq Hasyim, 2001:163). Lebih
lanjut Syafiq menyatakan bahwa kalau toh poligami diperbolehkan, hanya sebatas
menikahi janda-janda yang mempunyai anak yatim. Jadi disini, poligami ada unsur
karitatifnya. Sementara realitas poligami yang ada sekarang cenderung lebih mengarah
kepada kepentingan pribadi yang menggunakan Al-Qur’an sebagai rujukan
kebolehannya, tanpa mempertimbangkan aspek persyaratan yang ada.

 Pernikahan Siri

Dalam ajaran Islam, pernikahan tidak boleh dilakukan secara diam-diam, tanpa
saksi-saksi, bahkan seharusnya atau paling tidak dengan restu wali. Islam menganjurkan
agar dilakukan pesta , walau sederhana, dan dirayakan dengan bunyi-bunyian (musik).
Karena itu pula, siapa yang diundang ke walimah (pesta pernikahan), maka dia sangat
dianjurkan untuk menghadirinya. Jika dia tidak berpuasa, maka hendaklah dia makan,

9
tapi bila berpuasa cukup menghadirinya saja. Ini bukan saja untuk menampakkan
kegembiraan dengan terjalinnya pernikahan itu, tetapi juga sebagai kesaksian, sehingga
dapat menampik sekian banyak isu negatif yang boleh jadi muncul atau penganiayaan
yang dapat terjadi atas salah satu pasangan.

Saksi pernikahan minimal dua orang. Memang terjadi perbedaan pendapat,


apakah jika telah hadir dua orang saksi pernikahan, lalu mereka diminta untuk
merahasiakan pernikahan itu, apakah ini termasuk nikah siri atau bukan? Imam Malik
berpendapat bahwa itu termasuk perkawinan siri, yakni terlarang. Pendapat ini sangat
logis dan tepat karena sejalan dengan fungsi penyebarluasan berita perkawinan serta lebih
mendukung penampikan isu-isu negatif terhadap pasangan lelaki dan perempuan.
Dengan diumumkannya perkawinan, maka tidak juga akan hilang hak-hak masing-
masing jika seandainya terjadi perceraian, baik perceraian mati maupun perceraian hidup.
Hak anak yang dilahirkan pun akan menjadi jelas siapa orang tuanya. Dalam kompilasi
Hukum Islam yang berlaku di Indonesia, diharuskan adanya pencatatan pernikahan demi
terjaminnya ketertiban dan menghalangi terjadinya persengketaan tanpa penyelesaian.
Hal ini berlaku hampir di seluruh negeri bermasyarakat Islam.
Perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu
suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejateraan spritual dan
material. Namun kadang apa yang telah dicanangkan tersebut tidak sesuai dengan
harapan. Ditengah perjalanan goncangan dalam berumah tangga tidak dapat dihindari
sehingga bisa berkahir dengan terjadinya perceraian. Sesuatu hal yang tidak diharapkan
ini kapanpun bisa terjadi, apakah perkawinannya resmi dicatat oleh negara atau hanya
berdasarkan agama dan kepercayaannya saja.
Perceraian yang terjadi jika perkawinanya tidak pernah diresmikan oleh negara
maka tidak akan membawa dampak hukum yang sangat merumitkan bagi pelakunya.
Sebab dari awal perkawinan mereka memang dianggap tidak pernah terjadi oleh negara.
Sebaliknya perceraian yang terjadi yang tidak didepan pengadilan sementara
perkawinannya sah secara hukum negara juga tidak akan membawa dampak hukum,

10
mereka masih dianggap sebagai pasangan yang sah walaupun menurut agama mereka
sudah sah bercerai ketika syaratnya terpenuhi.

 Pernikahan Mut’ah

Pernikahan dalam Islam adalah transaksi dan perjanjian yang kuat dan kokoh.
Dibangun diatas niat pergaulan abadi dari kedua belah pihak, untuk merealisasikan buah
psikologisnya, sebagaimana disebutkan dalam Al-qur’an, yakni kedamaian, ketentraman
batin, cinta, dan kasih sayang. Tujuannya adalah memakmurkan bumi ini dengan
melestarikan keturunan dan dan memperkokoh eksistensi manusia.
Lain halnya dengan nikah mut’ah. Ia adalah ikatan nikah antara seseorang laki-laki dan
perempuan, untuk suatu masa yang mereka sepakati bersama, dengan upah tertentu.
Dalam pernikahan macam ini, tidak terealisasi makna yang disebut sebelumnya. Ia
memang pernah diperbolehkan oleh Nabi saw, sebelum syariat Islam ini mapan. Namun,
diperbolehkannya pun hanya dalam perjalanan dan peperangan, kemudian dilarang dan
diharamkan untuk selama-lamanya.
Rahasia pembolehan pada mulanya adalah karena mereka saat itu berada pada
suatu fase, yang dapat kita katakan sebagai fase trasnsisi, dari jahiliyah menuju Islam.
Praktek zina di masa Jahiliyah sedemikian mudahnya dilakukan, bahkan merajalela.
Setelah Islam datang, dan mereka dituntut untuk melakukan perjalanan jauh dalam
rangka jihad dan peperangan, mereka sangat keberatan jika harus meninggalkan istri-istri
mereka. Padahal di antara mereka, disamping yang kuat imannya, ada juga yang lemah.
Untuk mereka yang lemah iman, dikhawatirkan terjerumus dalam perzinaan. Tentu ini
lebih keji dan lebih sesat dari pada mut’ah.

11
KONSEP GENDER DALAM ISLAM
A. Pengertian Gender
Secara etimologis, gender itu berasal dari bahasa latin “GENUS” yang berarti jenis atau
tipe (androsexo). Sedang dalam Kamus Bahasa Inggris dan Indonesia mempunyai arti “jenis
kelamin” (kamus kontemporer, 2001:186), Sedang dalam kamus Bahasa Arab kata yang di
artikan sebagai gender sendiri mengalami banyak perdebatan/penolakan dikalangan cendekiawan
ataupun ulama’ islam sendiri, karena sesungguhnya kata tersebut bukanlah berasal dari akar kata
bahasa Arab, melainkan berasal dari bahasa Yunani (Androsexo, Google.com).
Sedangakan secara terminologis gender artinya suatu konsep, rancangan atau nilai yang
mengacu pada sistem hubungan sosial yang membedakan fungsi serta peran perempuan dan laki-
laki dikarenakan perbedaan biologis atau kodrat, yang oleh masyarakat kemudian dibakukan
menjadi budaya dan seakan tidak lagi bisa ditawar, ini yang tepat bagi laki-laki dan itu yang
tepat bagi perempuan. Dan kemudian dikuatkan oleh nilai ideologi, hukum, politik, ekonomi,
dan sebagainya. Atau dengan kata lain, gender adalah nilai yang dikonstruksi oleh masyarakat
setempat yang telah mengakar dalam bawah sadar kita seakan mutlak dan tidak bisa lagi diganti.
Menurut Women’s Studies Encyclopedia dalam buku Din Al-Islam, gender berarti suatu konsep
kultur yang berupaya membuat perbedaan dalam hal pesan, perilaku, mentalitas, dan
karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyararakat
(Vita Fitria, 2008:160).
Gender diartikan pula sebagai perbedaan peran, fungsi, dan tanggungjawab antara laki-
laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan
perkembangan jaman (Sri Sundari Sasongko, 2009:7).
Dalam pandangan lain, gender diartikan sebagai himpunan luas karakteristik yang
terlihat untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan, membentang dari seks biologis, pada
manusia, peran sosial seseorang atau identitas gender.
Gender itu sendiri merupakan kajian perilaku atau pembagian peran antara laki-laki dan
perempuan yang sudah dibentuk di masyarakat tertentu dan pada masa waktu tertentu. Tidak
hanya itu, bahkan lembaga pendidikan yang ada dengan sengaja atau tanpa sengaja memberikan
peran (perilaku) yang sehingga membuat kita berpikir bahwa memang demikianlah adanya
peran-peran yang harus kita jalankan, dan seakan-akan kita menganggapnya sebagai kodrat.

12
Contohnya di sekolah dasar, yang mana dalam buku bacaan pelajaran juga digambarkan
peran-peran jenis kelamin, seperti “Bapak membaca koran, sementara Ibu memasak di dapur”.
Peran-peran hasil bentukan sosial-budaya inilah yang disebut dengan peran jender. Peran yang
menghubungkan pekerjaan dengan jenis kelamin. Apa yang “pantas” dan “tidak pantas”
dilakukan sebagai seorang laki-laki atau perempuan.
Dari beberapa difinisi tersebut, perlu dipahami bahwa untuk memahami konsep gender
harus di bedakan kata gender dengan kata sex. Meskipun secara etimologis mempunyai arti yang
sama yaitu jenis kelamin, namun secara konseptual, dua hal tersebut sangatlah berbeda. Secara
umun sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan secara biologis,
yang meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi
dan karakteristik biologis lainnya (Vita Fitria, 2008:161).
Seks merupakan jenis kelamin biologis ciptaan Tuhan, seperti perempuan memiliki
vagina, payudara, rahim, bisa melahirkan dan menyusui sementara laki-laki memiliki jakun,
penis, dan sperma, yang sudah ada sejak dahulu kala. Sedangkan gender menyangkut perbedaan
fungsi, dan peran (Nasaruddin Umar, 2002:15).
Berikut table perbedaan antara gender dengan sex :
Gender Seks (jenis kelamin)
- Bisa berubah - Tidak bisa berubah
- Dapat dipertukarkan - Tidak dapat dipertukarkan
- tergantung musim - Berlaku sepanjang masa
- tergantung budaya masing- masing - Berlaku di mana saja
- Bukan kodrat (buatan masyarakat) - Kodrat (ciptaan Tuhan): perempuan
menstruasi, hamil, melahirkan,
menyusui.

Dalam teori nurture dijelaskan tentang adanya perbedaan perempuan dan laki-laki,
namun pada hakikatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan
tugas yang berbeda. Perbedaan tersebut menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan
terabaikan peran dan konstribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.

13
B. Permasalahan Gender
Perbedaan gender sebenarnya tidak menjadi persoalan sepanjang tidak memunculkan
ketidakadilan, namun perlu diperhatikan juga mengenai terjadinya ketidakadilan gender (Vita
Fitria, 2008:162).
Ketidakadilan gender atau diskriminasi gender merupakan akibat dari adanya sistem
(struktur) sosial dimana salah satu jenis kelamin (laki-laki maupun perempuan) menjadi korban.
Hal ini terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang peradaban
manusia dalam berbagai bentuk dan cara yang menimpa kedua belah pihak, walaupun dalam
kehidupan sehari-hari lebih banyak dialami oleh perempuan.
Ketidakadilan atau diskriminasi gender sering terjadi dalam keluarga dan masyarakat
serta di tempat kerja dalam berbagai bentuk, diantaranya yaitu:

1. Stereotip/Citra Baku
Yaitu pelabelan terhadap salah satu jenis kelamin yang seringkali bersifat negatif dan pada
umumnya menyebabkan terjadinya ketidakadilan. Misalnya, karena perempuan dianggap ramah,
lembut, rapi, maka lebih pantas bekerja sebagai sekretaris, guru Taman Kanak-kanak; kaum
perempuan ramah dianggap genit; kaum laki-laki ramah dianggap perayu (Sri Sundari Sasongko,
2009:7).
Sementara itu dalam buku lain diumpamakan stereotipe yang berawal dari asumsi bahwa
perempuan bersolek adalah untuk memancing perhatian laki-laki. Dalam buku karangan Mansur
Fakih dikatakan bahwa setiap ada kasus pelecehan seksual atau pemerkosaan selalu di kaitkan
dengan stereotipe ini, yang berakbat, perempuanlah yang disalahkan oleh masyarakat (Vita
Fitria, 2008:163).

2. Subordinasi/Penomorduaan
Yaitu adanya anggapan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih rendah atau
dinomorduakan posisinya dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya. Contoh: Sejak dulu,
perempuan mengurus pekerjaan domestik sehingga perempuan dianggap sebagai “orang rumah”
atau “teman yang ada di belakang” (Sri Sundari Sasongko, 2009:7).

14
3. Marginalisasi/Peminggiran
Adalah kondisi atau proses peminggiran terhadap salah satu jenis kelamin dari
arus/pekerjaan utama yang berakibat kemiskinan. Misalnya, perkembangan teknologi
menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh
mesin yang pada umumnya dikerjakan oleh lakilaki (Sri Sundari Sasongko, 2009:7).

4. Beban Ganda/Double Burden


Yaitu suatu perlakuan terhadap salah satu jenis kelamin dimana yang bersangkutan bekerja
jauh lebih banyak dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya. Mengapa Beban Ganda bisa
terjadi? Berbagai observasi menunjukkan bahwa perempuan mengerjakan hampir 90 persen dari
pekerjaan dalam rumah tangga. Karena itu, bagi perempuan yang bekerja di luar rumah, selain
bekerja di wilayah publik, mereka juga masih harus mengerjakan pekerjaan domestic (Sri
Sundari Sasongko, 2009:7).
Dalam buku karangan Mansur Fakih dikatakan bahwa kaitanya ini belum terfikirkan
bagaimana bila perempuan bekerja, otomatis beban kerja akan semakin berat, dan ahirnya ada
pelimpahan kerja domestic worker (pekerja rumah tangga) yang mayoritas adalah kaum
perempuan juga (Vita Fitria, 2008:164).

5. Kekerasan/Violence
Yaitu suatu serangan terhadap fisik maupun psikologis seseorang, sehingga kekerasan
tersebut tidak hanya menyangkut fisik (perkosaan, pemukulan), tetapi juga nonfisik (pelecehan
seksual, ancaman, paksaan, yang bisa terjadi di rumah tangga, tempat kerja, tempat-tempat
umum (Sri Sundari Sasongko, 2009:7).

C. Ketidakadilan Gender/Bias Gender


Ketidakadilan gender itu biasanya dikaitkan karena adanya implementasi yang salah
terhadap ajaran agama, dan juga di sebabkan oleh pengaruh faktor sejarah, lingkungan, budaya
dan tradisi yang patriarkat didalam masyarakat, sehingga menimbulkam sikap dan prilaku
individual yang secara turun-temurun menentukan status kaum perempuan dan ketimpangan
jender tersebut. Hal inilah yang kemudian menimbulkan mitos-mitos salah yang disebarkan

15
melalui nilai-nilai dan tafsir-tafsir ajaran agama yang keliru mengenai keunggulan kaum lelaki
dan melemahkan kaum perempuan (Abdul Mu’thi, 2002:54).
Adapun pandangan dasar atau mitos-mitos yang menyebabkan munculnya
ketidakadilan terhadap perempuan adalah :
1. Keyakinan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, sehingga perempuan
dianggap sebagai mahluk kedua yang tidak akan mungkin ada tanpa kehadiran laki-laki.
karenanya keberadaan perempuan hanya sebagai pelengkap dan diciptakan hanya untuk tunduk
di bawah kekuasaan laki-laki.
2. Keyakinan bahwa perempuan sebagai sumber dari terusirnya manusia (laki-laki) dari surga,
sehingga perempuan dipandang dengan rasa benci, curiga dan jijik, bahkan lebih jauh lagi
perempuan dianggap sebagai sumber malapetaka (Zuhad Masduki, 2002:26).
Bias gender yang mengakibatkan kesalahpahaman terhadap ajaran agama terkait pula
dengan hal-hal lain seperti: Pembakuan Tanda Huruf, Tanda Baca dan Qira’ah, Pengertian Kosa
Kata (Mufradat), dan lain-lain (Nasaruddin Umar, 2002:15).
Bias tersebut tercermin dalam tata bahasa Arab seperti setiap nama (isim) dalam bahasa
Arab selalu berjenis kelamin (mudzakkar atau mu’annats), bisa secara hakiki maupun majazi.
Sebagaimana seseorang tidak bisa mengabaikan kelas sosial ketika berbicara bahasa jawa, aturan
di atas menyebabkan seseorang tidak bisa menghindari klasifikasi laki-laki dan perempuan
dalam berbahasa Arab karena dalam bahasa ini tidak ada nama yang netral (Nasaruddin Umar,
2002:16).
Sebagai pemakai bahasa Arab, teks Al-Qur’an juga mengikuti ketentuan ini, sehingga
Allah sebagai Dzat yang tidak berjenis kelamin pun mempunyai nama yang berjenis kelamin,
yaitu mudzakkar (laki-laki) sehingga memakai kata kerja laki-laki (fiil mudzakkar) (Nasaruddin
Umar, 2002:17), sebagaimana ditunjukkan oleh ayat berikut ini:
َ ‫علَى ا أل َع أر ِش يُدَبِ ُر أاْل َ أم َر َما ِم أن‬
‫ش ِفيعٍ ِإ ََّّل ِم أن بَ أع ِد‬ ‫ست َّ ِة أَيَّ ٍام ث ُ َّم ا أ‬
َ ‫ست َ َوى‬ ِ ‫ت َو أاْل َ أرضَ فِي‬
ِ ‫س َم َوا‬َّ ‫ق ال‬ َ َ‫َّللاُ الَّذِي َخل‬ َّ ‫إِنَّ َربَّ ُك ُم‬
)3( َ‫َّللاُ َربُّ ُك أم فَا أعبُدُوهُ أَفَ ََل تَذَك َُّرون‬
َّ ‫إِ أذنِ ِه ذَ ِل ُك ُم‬
“ Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang
akan memberi syafa`at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan
kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?”

16
Ketentuan lain dalam tata bahasa Arab yang mengandung bias gender adalah isim
muannats (nama untuk perempuan) cukup dibentuk hanya dengan cara menambahkan satu huruf
(ta’ marbuthoh) pada nama atau isim yang telah ada bagi laki-laki, seperti kata ustadzah (guru
perempuan) yang dibentuk dari kata ustadz (guru laki-laki), muslimah dari muslim, dan lain-lain.
Tata bahasa ini mencerminkan cara pandang masyarakat Arab terhadap eksistensi perempuan
sebagai bagian (sangat kecil) dari eksistensi laki-laki (Nasaruddin Umar, 2002:15-16).
Pengaruh cara pandang yang mengabaikan eksistensi perempuan ini dalam Al-Qur’an
dapat dilihat pada ayat tentang wudlu sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu
tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu
dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur” (QS.
Al-Maidah (5):6)
Ayat tersebut sangat jelas sedang berbicara hanya pada laki-laki karena ayat tersebut
secara jelas pula menyebutkan menyentuh perempuan (dengan segala konotasinya) sebagai hal
yang menyebabkan batalnya “kesucian” laki-laki. Tidak ada satu ulama fiqh pun yang
mengambil kesimpulan dari ayat di atas bahwasanya perempuan menyentuh perempuan dapat
membatalkan wudlu. Jadi, eksistensi perempuan pada ayat di atas tidak ada dan ketentuan untuk
perempuan pun cukup diturunkan dari ketentuan laki-laki (Abdullah Mu’thi, 2002:93).
Al-Qur’an tidak mengajarkan diskriminasi antara lelaki dan perempuan sebagai
manusia. Dihadapan Allah SWT lelaki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang
sama. Oleh karena itu pandangan-pandangan yang menyudutkan posisi perempuan sudah
selayaknya diubah, karena Qur’an selalu menyerukan keadilan (QS. Al-Nahl (16):90) keamanan
dan ketentraman (QS. An-Nisa (4):58) mengutamakan kebaikan dan mencegah kejahatan (QS.
Ali Imran (3):104). Ayat-ayat inilah yang dijadikan sebagai Maqasid Al-Syari’ah atau tujuan-
tujuan utama syariat. Jika ada penafsiran yang tidak sejalan denganprinsip-prinsip keadilan dan
hak asasi manusia, maka penafsiran itu harus ditinjaukembali.

17
Islam sejak awal menegaskan bahwa diskriminasi peran dan relasi gender adalah salah
satu pelanggaran hak asasi manusia yang harus dieliminir, dijelskan dalam surat An-Nisa’ (4):75:

Yang artinya :
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, member kepada
kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”

D. Gender Dalam Islam


Dalam islam sebetulnya tidak mengenal istilah gender, karena dalam islam tidak
membedakan kedudukan seseorang berdasarkan jenis kelamin dan tidak ada bias gender dalam
islam. Islam mendudukkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang sama dan kemuliaan yang
sama. Contoh konkretnya adalah islam tidak membedakan laki-laki dan wanita dalam hal
tingkatan takwa, dan surga juga tidak dikhususkan untuk laki-laki saja. Tetapi untuk laki-laki dan
perempuan yang bertakwa dan beramal sholeh.
Islam mendudukkan wanita dan laki-laki pada tempatnya. Tak dapat dibenarkan
anggapan para orientalis dan musuh islam bahwa islam menempatkan wanita pada derajat yang
rendah atau di anggap masyarakat kelas dua. Dalam islam, sesungguhnya wanita dimuliakan.
Banyak sekali ayat Al-Qur’an ataupun hadis nabi yang memuliakan dan mengangkat derajat
wanita. Baik sebagai ibu, anak, istri, ataupun sebagai anggota masyarakat sendiri. Tak ada
diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam islam, akan tetapi yang membedakan

18
keduanya adalah fungsionalnya, karena kodrat dari masing-masing. Sebagaimana contoh ayat
dibawah ini :

ِ ‫عا ِش ُرو ُه َّن ِب ْال َم ْع ُر‬


‫وف‬ َ ‫َو‬
Artinya :
Pergaulilah mereka (istrimu) dengan baik (QS. An-Nisa’, (4):19)
Potongan ayat 19 surat An-Nisa’ di atas merupakan Kaidah Robbani yang baku yang
ditujukan kepada kaum laki-laki yang di sebut kaum bapak agar berbuat baik kepada kaum
wanita/ibu, baik dalam pergaulan domestik (rumah tangga) maupun masyarakat luas.
Apabila ditelaah atau dilihat lebih jauh, perlakuan dan anggapan masyarakat yang
merendahkan wanita dan menganggap wanita sebagai masyarakat kelas dua sesungguhnya
merupakan pengaruh cultural (kebudayaan) yang berlaku di masyarakat tertentu. Bukan berasal
dari ajaran islam. Sebagai contoh adalah kultur atau budaya masyarakat jawa, terutama
masyarakat zaman dulu yang menganggap bahwa wanita tidak perlu menuntut ilmu (sekolah)
tinggi-tinggi, karena nantinya mereka hanya akan kembali ke dapur, juga anggapan bahwa
wanita tugasnya 3M (macak, manak, masak) ataupun pandangan bahwa wanita akan ikut
menanggung perbuatan suaminya (surga nunut neraka katut).
Dalam Al-Qur’an sendiri dijelaskan bahwa tiap orang menanggung akibat/dosa dari
perbuatannya masing-masing dan islam tidak mengenal dosa turunan. Bentukan cultural yang
merendahkan wanita ini menyebabkan laki-laki memegang otoritas di segala bidang kehidupan
masyarakat (patriarki), baik dalam pergaulan domestic (rumah tangga), pergaulan sosial ataupun
dalam politik (Sri Suhandjati Sukri, 2002:116).
Ayat Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 34, seringkali di jadikan dalil bagi mereka yang
beranggapan bahwa dalam islam, kedudukan laki-laki lebih mulia dari pada wanita. Padahal jika
di telaah lebih dalam, sesungguhnya ayat tersebut sebenarnya memuliakan wanita karena dalam
ayat tersebut, tugas mencari nafkah di bebankan .
Kepada laki-laki. Ayat tersebut juga menjelaskan secara implisit bahwa tidak ada
diskriminasi antara laki-laki dan wanita, akan tetapi yang membedakan antara keduanya adalah
dari segi fungsionalnya karena kodrat masing-masing. Seperti halnya yang dijelaskan dalam
surat An-Nisa’ (4):34;

19
“kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-
laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka, sebab itu maka wanita yang saleh ialah
yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada. Wanita-wanita yang
kamu khawatirkan nusyuznya maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta’atimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha
Benar”. (QS. An-Nisa’, 4:34).
Di dalam ayat-ayat Al-Qur’an maupun sunnah nabi yang merupakan sumber utama
ajaran islam, terkandung nilai-nilai universal yang menjadi petunjuk bagi kehidupan manusia
dulu, kini dan akan datang. Nilai-nilai tersebut antara lain nilai kemanusiaan, keadilan,
kemerdekaan, kesetaraan dan sebagainya. Berkaitan dengan nilai keadilan dan kesetaraan, Islam
tidak pernah mentolerir adanya perbedaan atau perlakuan diskriminasi diantara umat manusia
(Nasaruddin Umar, 2002:15).

20
Kesimpulan

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Adapun hikmah-hikmah perkawinan adalah dengan
pernikahan maka akan memelihara gen manusia, menjaga diri dari terjatuh pada kerusakan
seksual dll.Nikah ditinjau dari segi hukum syar’i ada lima macam ialah sunnah, mekruh, wajib,
haram dan mubah.Bentuk Perkawinan yang dilarang oleh Islam yaitu poligami, nikah siri, nikah
mut’ah karena pernikahan tersebut memberlakukan wanita secara tidak adil, padahal Islam tidak
pernah mengajarkan adanya perbedaan antar laki – laki dan perempuan karena sesungguhnya
yang membedakan mereka hanyalah tingkat ketakwaannya pada Sang Khalik.

Daftar Pustaka
Abdul Halim Abu Syuqqah.1998.Kebebasan Wanita.Jakarta : Gema Insanni

Iva Misbah. Gender : An Introduction. Dalam acara Mapaba PMII Hasyim Asy’arie dan Gajah
Mada. Pandanaran, 21 November 2009

Nasarudin Umar.1999.Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an.Jakarta : Paramadina

Nasarudin Umar.2002.Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Jender.Yogyakarta : Gama


Media

Nasr Hamid Abu Zayd.2003.Deskontruksi Gender. Yogyakarta : SAHMA

Soebahar, Abd Halim.2005.Poligami Pintu Daruratkah? Debat di Kalangan Tokoh


Agama.Yogyakrta: Gajah Mada University Press

Tim Dosen PAI UNY.2008. Din Al-Islam. Yogyakarta : UNY Press

21

Anda mungkin juga menyukai