Anda di halaman 1dari 6

Nama: Pashya Nanda Mutya

Prodi: Aqidah dan Filsafat Islam


Kelas: A2
NIM: 07040123065

Pernikahan atau dalam bahasa arab munakahat adalah suatu peristiwa atau momen
sakral dimana dua orang manusia yang berlawanan jenis membuat suatu janji suci untuk
bisa hidup berdampingan sampai ajal menjemput dan memisahkan mereka. Janji
tersebut harus disertai dengan tanggung jawab, komitmen dan kasih sayang di
dalamnya, agar tercipta keluarga yang harmonis dan saling menyayangi serta
menghargai satu sama lain.
Pada hakikatnya pernikahan adalah satu-satunya jalan keluar untuk pemenuhan
kebutuhan biologis manusia yang dihalalkan oleh Allah SWT. Selain itu tujuan dari
pernikahan adalah melanjutkan keturunan yang sudah ada serta membangun rumah
tangga yang seluruh anggota di dalamnya mendapatkan rahmat serta barokah dari Allah
SWT. Nabi Muhammad SAW sangat menganjurkan umatnya untuk melaksanakan
pernikahan. Banyak hadist Nabi Muhammad SAW yang mendukung itu.Beberapa
hadist Nabi yang mendukung pernikahan adalah, “Nikah itu sunnahku, barang siapa
yang tidak suka, bukan golonganku” (HR. Ibnu Majah, dari Aisyah r.a.) lalu “ Empat
macam diantara sunnah-sunnah para Rasul yaitu : berkasih sayang, memakai
wewangian, bersiwak dan menikah” (HR. Tirmidzi) serta “Seburuk-buruk kalian, adalah
yang tidak menikah, dan sehina-hinanya mayat kalian adalah yang tidak menikah” (HR.
Bukhari).
Rasulullah SAW telah memberikan tuntunan bagi umatnya dalam memilih
pasangan hidup. Dalam sebuah hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim, beliau bersabda:
‫ َتِرَبْتَيداَك‬، ‫ فاْظَفْر بذاِتالدِ يِن‬،‫ ِلماِلها وِلَحَس ِبها وَج ماِلها وِلِد يِنها‬:‫ُتْنَك ُحالَم ْر َأُةألْر َبٍع‬
Artinya: “Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena
kedudukannya, karena parasnya, dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih
wanita yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan
merugi.”
Dari hadis ini, kita dapat mengetahui bahwa ada empat kriteria yang biasa menjadi
pertimbangan dalam memilih pasangan hidup, yaitu:
1.Harta
2.Kedudukan
3.Paras
4.Agama
Rukun Pernikahan Dalam Islam Setidaknya terdapat lima rukun nikah yang wajib
dipenuhi oleh calon mempelai muslim yang ingin melangsungkan pernikahan. Kelima
rukun nikah tersebut antara lain:
1. Terdapat calon mempelai pria dan mempelai perempuan yang tidak terhalang
secara syar’i. Penghalang di sini adalah kedua mempelai tidak ada masih ada
hubungan mahram.
2. Terdapat wali dari calon mempelai perempuan
3. Terdapat dua orang saksi laki-laki yang menyaksikan sah tidaknya akad
4. Diucapkan ijab dari pihak wali calon mempelai perempuan atau yang
mewakilinya
5. Diucapkannya kabul dari pengantin laki-laki atau yang mewakilinya.
Persaksian akad nikah tersebut berdasarkan dalil hadits secara marfu:
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” (HR. Al-
Khamsah kecuali An-Nasa`i).
Syarat Pernikahan dalam Islam
Syarat pernikahan dalam islam, Selain harus memenuhi rukun nikah yang sudah
dijelaskan di atas, ada syarat pernikahan yang harus dipenuhi oleh kedua calon
mempelai, Berikut ini syarat pernikahan dalam Islam:
1.Beragama Islam.
2.Bukan mahram.
3.Adanya wali bagi calon pengantin perempuan.
4.Dihadiri 2 orang saksi.
5.Kedua mempelai sedang tidak berikhram atau haji.
6.Tidak ada paksaan.
MAHAR
1. Mahar disunnahkan mudah.
Dalam suatu hadits, Rasulullah bersabda: "Wanita yang paling besar berkahnya
ialah wanita yang paling mudah (murah) maharnya." (H.R. Ahmad, Al-Hakim dan Al-
Baihaqi). Seorang wanita berhak mendapatkan mahar dari calon suaminya. Namun,
permintaan mahar ini alangkah baiknya adalah mahar yang sederhana sesuai
kesanggupan dan tidak membebani calon suami. Sebaliknya, untuk calon suami dengan
penghasilan di bawahnya, sesuaikan mahar dengan kemampuannya.
2. Memberikan mahar yang layak.
Meskipun wanita sebaiknya meringankan maharnya, bukan berarti pihak laki-laki
memberi mahar seenaknya untuk mempelai wanita tanpa dilihat terlebih dahulu
kelayakan maharnya. Dalam Alquran surat An-Nisa ayat 25, Allah berfirman yang
artinya:
"Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini
wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui
keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah
mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut,
sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula)
wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah
menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina),
maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang
bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut
kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran
itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Laki-laki hendaknya memberikan mahar kepada mempelai wanita sesuai dengan
keberadaan wanita tersebut. Keberadaan yang dimaksud dapat dilihat dari segi
hubungan dengan aspek kemasyarakatan, adat kebudayaan, dan tingkat kematangan
akalnya.
Batas minimal ukuran mahar.
Dalam suatu hadits, Rasulullah bersabda: "Carilah (mahar) meskipun berupa
cincin yang terbuat dari besi." ( HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Hadits tersebut menjelaskan batas minimal mahar, yang mana cincin besi
memiliki harga tidak lebih dari 3 dirham. Oleh karena itu, harta baik sedikit maupun
banyak dapat dijadikan mahar. Hadits lain kemudian menyebutkan bahwa memberikan
kemudahan dalam soal mahar lebih diutamakan Islam. Rasulullah bersabda:
"Sesungguhnya pernikahan yang paling besar berkahnya adalah pernikahan yang paling
ringan maharnya." (HR. Ahmad dan Baihaqi dari jalur ‘Aisyah).
MAHRAM
Dalam pelaksanaan mahram, secara garis besar mahram menurut pendapat
penulis itu dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Mahram Nikah (Mahal al-Nikah) Mahram nikah yaitu larangan untuk menikah.
Bentuk kemahraman ini adalah semata-mata mengharamkan pernikahan saja,
tetapi tidak membuat seseorang boleh melihat aurat, berkhalwat dan bepergian
bersama. Menurut pendapat para ulama’ mahram nikah dibagi menjadi dua,
yaitu:
a) keharaman bersifat Abadi (Tahrim Mu’abbad) keharaman yang bersifat
abadi ada yang disepakati da nada juga yang masih diperselisihkan. Yang
disepakati ada tiga, yaitu hubungan keturunan atau nasab, hubungan
kekeluargaan karena tali pernikahan atau besanan, dan hubungan
persusuan.Sedangkan yang diperselisihkan adalah zina dan li’an. Imam
Syafi’I dan Imam Malik berpendapat bahwa zina dengan seorang wanita
tidak menyebabkan haramnya menikahi ibu wanita tersebut atau anak
wanitanya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, Tsauri, dan Auza’I
berpendapat bahwa zina menyebabkan keharaman.
b) keharaman yang bersifat sementara (Tahrim Mu’aqqat) yaitu seorang
perempuan dilarang dikawin selama dalam keadaan tertentu. Jika nanti
keadaan berubah, gugurlah tahrim itu dan menjadi halal. Adapun prempuan-
perempuan yang di larang dinikahi hingga waktu tertentu, yaitu; saudara
perempuan istri, bibinya dari garis ayah dan ibu.isteri orang lain dan
perempuan yang menjalani masa iddah, perempuan yang dijatuhi talak 3,
kawin dengan perempuan pezina hingga ia taubat
THALAK
Talak atau dalam bahasa Arab Thalaq adalah memutuskan hubungan antara
suami-istri dari ikatan pernikahan yang sah menurut syariat Islam.
Hukum talak menjadi wajib Hukum wajib dikenakan apabila terjadi prahara
antara suami-istri yang tidak dapat diselesaikan dan jalan satu-satunya hanya dengan
talak. Seperti dalil dalam surat Al-Baqarah ayat 226 yang berbunyi:

‫ِّلَّلِذ يَن ُيْؤ ُلوَن ِم ن ِّنَس ٓاِئِه ْم َتَر ُّبُص َأْر َبَعِة َأْش ُهٍرۖ َفِإن َفٓاُء و َفِإَّن ٱَهَّلل َغ ُفوٌر َّر ِح يٌم‬
lillażīna yu`lụna min nisā`ihim tarabbuṣu arba'ati asy-hur, fa in fā`ụ fa innallāha gafụrur
raḥīm
Artinya: Bagi orang yang meng-ila' istrinya harus menunggu empat bulan.
Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sungguh, Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang.
Suami Istri yang telah bercerai,artinya sudah terjadi talak di antara mereka, atau
memutuskan ikatan pernikahan di antara suami dan istri.
Buat menyatukannya kembali, mereka harus melakukan rujuk, seperti yang
disyariatkan dalam agama Islam, sebagaimana dengan firman Allah di surat Al Baqarah
ayat 228 yang berbunyi:
‫َو اْلُم َط َّلٰق ُت َي َت َر َّبْص َن ِبَاْنُفِس ِه َّن َث ٰل َث َة ُقُر ْۤو ٍۗء َو اَل َيِحُّل َلُهَّن َاْن َّي ْك ُتْم َن َم ا َخ َلَق ُهّٰللا ِفْٓي َاْر َح اِم ِه َّن ِاْن ُك َّن ُيْؤ ِمَّن ِباِهّٰلل‬
‫َو اْلَي ْو ِم اٰاْل ِخ ِۗر َو ُبُعْو َلُتُهَّن َاَح ُّق ِبَر ِّد ِهَّن ِفْي ٰذ ِلَك ِاْن َاَر اُد ْٓو ا ِاْص اَل ًح اۗ َو َلُهَّن ِم ْث ُل اَّلِذْي َع َلْي ِه َّن ِباْلَم ْع ُرْو ِۖف َو ِللِّر َج اِل َع َلْي ِه َّن‬

‫َد َر َج ٌة ۗ َو ُهّٰللا َع ِز ْي ٌز َح ِكْي ٌم‬

"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak
boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan dalam rahimnya jika mereka
beriman pada Allah swt dan hari akhir. Dan suami-suami berhak merujukinya dalam
masa menanti itu jika mereka menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak
yang seimbang dengan kewajibannya menuntut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para
suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana." (Q.S. al-Baqarah: 228)
Dari ayat tersebut bisa disimpulkan bahwa hukum rujuk adalah mubah atau jaiz,
yaitu diperbolehkan. Akan tetapi proses rujuk ini juga tergantung dari kondisi dan
situasi dari suami istri tersebut. Ada beberapa syarat rujuk yang perlu dipenuhi dalam
ajaran Islam, antara lain:
1. Syarat rujuk yang pertama adakah istri yang telah ditalak pernah melakukan
hubungan seksual dengan suaminya. Apabila suami menalak istri yang belum
pernah melakukan hubungan intim, para ulama sepakat bahwa istri tidak
berhak menerima rujukan tersebut.
2. Kesepakatan rujuk tidak boleh merasa terpaksa dan atas persetujuan kedua
belah pihak.
3. Pasangan yang rujuk adalah yang telah akil balig, dewasa, serta berakal sehat.
4. Talak yang dilakukan bukanlah talak tiga atau talak raj’i.
5. Talak tersebut terjadi tanpa adanya tebusan. Apabila dengan tebusan, istri sudah
menjadi talak bain, atau talak yang dijatuhkan suami pada istrinya yang telah
habis masa iddahnya, sehingga suami tidak berhak mengajak istrinya rujuk.
6. Rujuk ini dilakukan pada masa iddah atau masa menunggu istri. Apabila sudah
lewat masa iddah, suami tidak dapat mengajak istrinya rujuk kembali dan ini
sudah menjadi kesepakatan para ulama.
7. Adanya ucapan yang jelas untuk rujuk atau kembali.
8. Terdapat saksi yang menyaksikan suami serta istri untuk rujuk kembali.
Ketika suami memutuskan untuk rujuk kembali dengan istrinya, keduanya tak
perlu melangsungkan lagi akad nikah. Soalnya akad nikah yang dimiliki oleh keduanya
belum sepenuhnya putus. Namun pada pelaksanaannya, perlu memerhatikan beberapa
syarat yang telah dijelaskan sebelumnya.
IDDAH
Masa Iddah dalam Minhajul Muslim oleh Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi
adalah masa ketika seorang perempuan yang telah menikah kemudian ditalak dan harus
menjalani penantian. Selama masa iddah atau penantian ini, perempuan tidak
diperbolehkan untuk menikah lagi atau diminta menikah.
Dijelaskan juga bahwa hukum dari masa iddah ini adalah wajib bagi setiap
perempuan yang bercerai dengan suaminya, baik karena ditalak ataupun ditinggal wafat.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 228 yang artinya:
‫َو اْلُم َط َّلٰق ُت َي َت َر َّبْص َن ِبَاْنُفِس ِه َّن َث ٰل َث َة ُقُر ْۤو ٍۗء َو اَل َيِحُّل َلُهَّن َاْن َّي ْك ُتْم َن َم ا َخ َلَق ُهّٰللا ِفْٓي َاْر َح اِم ِه َّن ِاْن ُك َّن ُيْؤ ِمَّن ِباِهّٰلل‬
‫َو اْلَي ْو ِم اٰاْل ِخ ِۗر َو ُبُعْو َلُتُهَّن َاَح ُّق ِبَر ِّد ِهَّن ِفْي ٰذ ِلَك ِاْن َاَر اُد ْٓو ا ِاْص اَل ًح اۗ َو َلُهَّن ِم ْث ُل اَّلِذْي َع َلْي ِه َّن ِباْلَم ْع ُرْو ِۖف َو ِللِّر َج اِل َع َلْي ِه َّن‬


‫َد َر َج ٌة ۗ َو ُهّٰللا َع ِز ْي ٌز َح ِكْي ٌم‬

Artinya: "Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga
kali quru'. Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan para suami
mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika mereka
menghendaki perbaikan. Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan
di atas mereka. Allah Maha Perkasa, Mahabijaksana" (QS. Al-Baqarah: 228).

Anda mungkin juga menyukai