Anda di halaman 1dari 27

Makalah Lengkap Tentang Munakahat Dan Mawaris Terbaru 2015

Munakahat

A.Definisi
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang berarti bertemu, berkumpul. Menurut istilah nikah ialah suatu
ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah
tangga melalui aqad yang dilakukan menurut hukum syariat Islam. Menurut U U No : 1 tahun 1974,
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan YME. Keinginan
untuk menikah adalah fitrah manusia, yang berarti sifat pembawaan manusia sebagai makhluk Allah
SWT. Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani rokhaninya pasti membutuhkan teman
hidup yang berlainan jenis, teman hidup yang dapat memenuhi kebutuhan biologis yang dapat dicintai
dan mencintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi, yang dapat diajak bekerja sama untuk mewujudkan
ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan hidup berumah tangga. Rasulullah SAW bersabda :

َ َ‫هاور( ٌءاَجِو ُهَل ُهَّنِ َإف ِمْو َّصل ِاب ِهْيَلَعَف ْع ِ َطتْسَي ْمَل ْنَمَو ِج ْ َرفْلِل ُن َص َْحأَو ِرَصَبْلِل ُّض‬
‫غأ ُهَّنِإَف ْجَّو َ َزتَيْلَف َةَءاَبْلا ُمُكْن ِم َعاَ َطتْسا ِنَم ِباَبَّشلا َرَشْعَم اَي‬
‫)ملسم و ىراخبلا‬

Artinya :”Hai para pemuda, barang siapa diantara kamu telah sanggup menikah, maka nikahlah. Karena
nikah itu dapat menundukkan mata dan memelihara faraj (kelamin) dan barang siapa tidak sanggup
maka hendaklah berpuasa karena puasa itu dapat melemahkan syahwat”. (HR. Bukhori Muslim).

1. Pengertian
Munakahatberarti pernikahan atau perkawinan. Menurut bahasa Indonesia, kata nikah berarti
berkumpul atau bersatu. Dalam istilah syariat, nikah itu berarti melakukan suatu akad atau
perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan serta
menghasilkan hubungan kelamin antara keduanya dengan suka rela dan persetujuan bersama,
demi terwujudnya keluarga (rumah tangga) bahagia, yang di ridai oleh Allah SWT.

2. Hukum Nikah

Menurut sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah, artinya boleh dikerjakan dan boleh
ditinggalkan. Meskipun demikian ditinjau dari segi kondisi orang yang akan melakukan pernikahan,
hukum nikah dapat berubah menjadi wajib, sunat, makruh dan haram. Adapun penjelasannya adalah
sebagi berikut :

1. Jaiz, artinya dibolehkan dan inilah yang menjadi dasar hukum nikah.

2. Wajib, yaitu orang yang telah mampu/sanggup menikah sedangkan bila tidak menikah
khawatir akan terjerumus ke dalam perzinaan.
3. Sunat, yaitu orang yang sudah mampu menikah namun masih sanggup mengendalikan
dirinya dari godaan yang menjurus kepada perzinaan.

4. Makruh, yaitu orang yang akan melakukan pernikahan dan telah memiliki keinginan atau
hasrat tetapi ia belum mempunyai bekal untuk memberikan nafkah tanggungan-nya.

5. Haram, yaitu orang yang akan melakukan perkawinan tetapi ia mempunyai niat yang
buruk, seperti niat menyakiti perempuan atau niat buruk lainnya.

1. Tujuan Nikah

Secara umum tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat manusia (pria terhadap
wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga yang bahagia, sesuai dengan
ketentuan-ketentuan agama Islam. Secara umum tujuan pernikahan dalam Islam dalam diuraikan
sebagai berikut:

1. Untuk memperoleh kebahagiaan dan ketenangan hidup (sakinah). Ketentraman dan


kebahagiaan adalah idaman setiap orang. Nikah merupakan salah satu cara supaya hidup
menjadi bahagia dan tentram. Allah SWT berfirman Yang Artinya :” Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya“. (Ar-Rum : 21)

2. Membina rasa cinta dan kasih sayang. Nikah merupakan salah satu cara untuk membina kasih
sayang antara suami, istri dan anak. ( lihat QS. Ar- Rum : 21 yang Artinya :”Dan dijadikan-Nya di
antaramu rasa kasih dan sayang. “)

3. Untuk memenuhi kebutuhan seksual yang syah dan diridhai Allah SWT

4. Melaksanakan Perintah Allah swt. Karena melaksanakan perintah Allah swt maka menikah akan
dicatat sebagai ibadah. Allah swt., berfirman yang Artinya :” Maka nikahilah perempuan-
perempuan yang kamu sukai”. (An-Nisa’ : 3)

5. Mengikuti Sunah Rasulullah saw. Rasulullah saw., mencela orang yang hidup membujang
dan beliau menganjurkan umatnya untuk menikah. Sebagaimana sabda beliau dalam
haditsnya:

َ ‫سنَّتِى فَلَ ْي‬


‫س ِمنِِّى‬ َ ‫سنَّتِى فَ َم ْن َر ِغ‬
ُ ‫ب ع َْن‬ ُ ‫(رواه البخارى و مسلم)أَلنِِّكَا‬
ُ ‫ح‬
Artinya :”Nikah itu adalah sunahku, barang siapa tidak senang dengan sunahku, maka bukan
golonganku”. (HR. Bukhori dan Muslim)

6. Untuk memperoleh keturunan yang syah. Allah swt., berfirman yang Artinya :” Harta
dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia “. (Al-Kahfi : 46)
Sebelum pernikahan berlangsung dalam agama Islam tidak mengenal istilah pacaran akan tetapi
dikenal dengan nama “khitbah”. Khitbah atau peminangan adalah penyampaian maksud atau
permintaan dari seorang pria terhadap seorang wanita untuk dijadikan istrinya baik secara langsung
oleh si peminang atau oleh orang lain yang mewakilinya. Yang diperbolehkan selama khitbah, seorang
pria hanya boleh melihat muka dan telapak tangan. Wanita yang dipinang berhak menerima pinangan
itu dan berhak pula menolaknya. Apabila pinangan diterima, berarti antara yang dipinang dengan yang
meminang telah terjadi ikatan janji untuk melakukan pernikahan. Semenjak diterimanya pinangan
sampai dengan berlangsungnya pernikahan disebut dengan masa pertunangan. Pada masa pertungan ini
biasanya seorang peminang atau calon suami memberikan suatu barang kepada yang dipinang (calon
istri) sebagai tanda ikatan cinta yang dalam adat istilah Jawa disebut dengan peningset.

Hal yang perlu disadari oleh pihak-pihak yang bertunangan adalah selama masa pertunangan,
mereka tidak boleh bergaul sebagaimana suami istri karena mereka belum syah dan belum terikat oleh
tali pernikahan. Larangan-larang agama yang berlaku dalam hubungan pria dan wanita yang bukan
muhrim berlaku pula bagi mereka yang berada dalam masa pertunangan.
Adapun wanita-wanita yang haram dipinang dibagi menjadi 2 kelolmpok yaitu :

– Yang haram dipinang dengan cara sindiran dan terus terang adalah wanita yang termasuk muhrim,
wanita yang masih bersuami,wanita yang berada dalam masa iddah talak roj’i dan wanita yang sudah
bertunangan.

– Yang haram dipinang dengan cara terus terang, tetapi dengan cara sindiran adalah wanita yang
berada dalam iddah wafat dan wanita yang dalam iddah talak bain (talak tiga).

1. Rukun Nikah Dan Syaratnya

Syah atau tidaknya suatu pernikahan bergantung kepada terpenuhi atau tidaknya rukun serta syarat
nikah. ( lihat tabel )
Keterangan :

– Contoh Ijab : Wali perempuan berkata kepada pengantin laki-laki : “Aku nikahkan anak
perempuan saya bernama si Fulan binti …… dengan ……. dengan mas kawin seperangkat sholat
dan 30 juz dari mushaf Al-Qur’an”.

ََ‫ت فُالَنَة َو َز َّوجْ ت ُكَِ أ َ ْنكَحْ ت ُك‬


َِ ‫ْر … ِب ْن‬
َِ ‫ت ِب َمه‬
َِ ‫عد ََوا‬ َّ ‫ن ج ُْزأَ َوثَالَ ِثيْنََ ال‬
َ ‫صالَ َِة‬ َْ ِ‫َاف م‬
َِ ‫صح‬ َِ َ ‫حَالَ ا ْلقُ ْرا‬
ْ ‫ن ُم‬

– Contoh Qobul : Calon suami menjawab: “Saya terima nikah dan perjodohannya dengan diri saya
dengan mas kawin tersebut di depan”. Bila dilafalkan dengan bahasa arab sebagai berikut :

َُ‫ا ْل َم ْذك ُْو َِر ِبا ْل َمه َِْر ِلنَ ْفسِى َوت َ ْز ِو َجهَا نِ َك َحهَا قَ ِب ْلت‬

– Perempuan yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya tidak syah. Rasulullah saw,
bersabda : Artinya :”Perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya maka pernikahan
itu batal (tidak syah)”. (HR. Empat Ahli Hadits kecuali Nasai).
Saksi harus benar-benar adil. Rasulullah saw., bersabda :

َ‫عدْلَ َوشَا ِهدَى بِ َولِيَ إِ َلَّ لَنِكَا َح‬


َ (‫) احمد روه‬
Artinya:”Tidak syah nikah seseorang melainkan dengan wali dan 2 orang saksi yang adil”. (HR.
Ahmad)

Setelah selesai aqad nikah biasanya diadakan walimah, yaitu pesta pernikahan. Hukum mengadakan
walimah adalah sunat muakkad. Rasulullah SAW bersabda :”Orang yang sengaja tidak mengabulkan
undangan berarti durhaka kepada Allah dan RasulNya’. (HR. Bukhori)

1. Muhrim

Menurut pengertian bahasa muhrim berarti yang diharamkan. Menurut Istilah dalam ilmu fiqh muhrim
adalah wanita yang haram dinikahi. Penyebab wanita yang haram dinikahi ada 4 macam :

1. Wanita yang haram dinikahi karena keturunan:

2. Ibu kandung dan seterusnya ke atas (nenek dari ibu dan nenek dari ayah).

3. Anak perempuan kandung dan seterusnya ke bawah (cucu dan seterusnya).

4. Saudara perempuan sekandung (sekandung, sebapak atau seibu).

5. Saudara perempuan dari bapak.

6. Saudara perempuan dari ibu.

7. Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya ke bawah.

8. Anak perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.

9. Wanita yang haram dinikahi karena hubungan sesusuan

10. Ibu yang menyusui.

11. Saudara perempuan sesusuan

12. Wanita yang haram dinikahi karena perkawainan

13. Ibu dari istri (mertua)

14. Anak tiri (anak dari istri dengan suami lain), apabila suami sudah kumpul dengan ibunya.

15. Ibu tiri (istri dari ayah), baik sudah di cerai atau belum. Allah SWT berfirman yang:

Artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada
masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk
jalan (yang ditempuh)”. (An-Nisa: 22)
1. Menantu (istri dari anak laki-laki), baik sudah dicerai maupun belum.

2. Wanita yang haram dinikahi karena mempunyai pertalian muhrim dengan istri.

Misalnya haram melakukan poligami (memperistri sekaligus) terhadap dua orang bersaudara,
terhadap perempuan dengan bibinya, terhadap seorang perempuan dengan kemenakannya.
(An-Nisa : 23)
Wali nikah di bagi menjadi 2 macam yaitu wali nasab dan wali hakim :

1. Wali nasab yaitu wali yang mempunyai pertalian darah dengan mempelai wanita yang akan
dinikahkan. Adapun Susunan urutan wali nasab adalah sebagai berikut :

2. Ayah kandung, ayah tiri tidak syah jadi wali

3. Kakek (ayah dari ayah mempelai perempuan) dan seterusnya ke atas

4. Saudara laki-laki sekandung

5. Saudara laki-laki seayah

6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung

7. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah

8. saudara laki-laki ayah yang seayah dengan ayah

9. Anak laki-laki dari sdr laki-laki ayah yang sekandung dengan ayah

10. Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah yang seayah dengan ayah

11. Wali hakim, yaitu seorang kepala Negara yang beragama Islam. Di Indonesia, wewenang
presiden sebagai wali hakim di limpahkan kepada pembantunya yaitu Menteri Agama.
Kemudian menteri agama mengangkat pembantunya untuk bertindak sebagai wali hakim, yaitu
Kepala Kantor Urusan Agama Islam yang berada di setiap kecamatan. Wali hakim bertindak
sebagai wali nikah apabila memenuhi kondisi sebagai berikut :

12. Wali nasab benar-benar tidak ada

13. Wali yang lebih dekat (aqrob) tidak memenuhi syarat dan wali yang lebih jauh (ab’ad) tidak
ada.

14. Wali aqrob bepergian jauh dan tidak memberi kuasa kepada wali nasab urutan berikutnya
untuk berindak sebagai wali nikah.

15. Wali nasab sedang berikhram haji atau umroh


16. Wali nasab menolak bertindak sebagi wali nikah

17. Wali yang lebih dekat masuk penjara sehingga tidak dapat bertindak sebagai wali nikah

18. Wali yang lebih dekat hilang sehingga tidak diketahui tempat tinggalnya.

Wali hakim berhak untuk bertindak sebagai wali nikah, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW
yang artinnya :”Dari Aisyah r.a. berkata, Rasulullah SAW bersabda : Tidak sah nikah seseorang kecuali
dengan wali dan dua orang saksi yang adil, jika wali-wali itu menolak jadi wali nikah maka sulthan (wali
hakim) bertindak sebagi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali”.(HR. Darulquthni)

1. Kewajiban Suami Istri

Agar tujuan pernikahan tercapai, suami istri harus melakukan kewajiban-kewajiban hidup berumah
tangga dengan sebaik-baiknya dengan landasan niat ikhlas karena Allah SWT semata. Allah SWT
berfirman yang Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena laki-laki telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka”. (An-Nisa : 34).

Rasulullah SAW juga bersabda yang artinya: “Istri adalah penaggung jawab rumah tangga suami istri
yang bersangkutan”. (HR. Bukhori Muslim).

Secara umum kewajiban suami istri adalah sebagi berikut :

Kewajiban Suami

Kewajiban suami yang terpenting adalah :

1. Memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal kepada istri dan anak-anaknya sesuai dengan
kemampuan yang diusahakan secara maksimal.(lihat At-Thalaq:7)

2. Bergaul dengan istri secara makruf, yaitu dengan cara yang layak dan patut misalnya
dengan kasih sayang, menghargai, memperhatikan dan sebagainya.

3. Memimpin keluarga, dengan cara membimbing, memelihara semua anggota keluarga dengan
penuh tanggung jawab. (Lihat An-Nisa : 34)

4. Membantu istri dalam tugas sehari-hari, terutama dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya
agar menjadi anak yang shaleh. (At-Tahrim:6)

Kewajiban Istri
1. Patuh dan taat pada suami dalam batas-batas yang sesuai dengan ajaran Islam. Perintah suami
yang bertentangan dengan ajaran Islam tidak wajib di taati.

2. memelihara dan menjaga kehormatan diri dan keluarga serta harta benda suami.

3. Mengatur rumah tangga dengan baik sesuai dengan fungsi ibu sebagai kepala rumah tangga.

4. Memelihara dan mendidik anak terutama pendidikan agama. Allah swt, berfirman yang Artinya
:”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. (At-
Tahrim : 6)

5. Bersikap hemat, cermat, ridha dan syukur serta bijaksana pada suami.

6. Talak

7. Pengertian dan Hukum Talak. Menurut bahasa talak berarti melepaskan ikatan. Menurut istilah
talak ialah lepasnya ikatan pernikahan dengan lafal talak. Asal hukum talak adalah makruh,
sebab
merupakan perbuatan halal tetapi sangat dibenci oleh Allah swt. Nabi Muhammad saw,
bersabda :

َُ‫ع ْن ََد ا ْل َحالَ َِل أ َ ْبغَض‬


َِ ‫للا‬
َِ ‫ق‬ َّ ‫)ابوداود رواه( ال‬
َُ َ‫طال‬

Artinya :”Perbuatan halal tetapi paling dibenci oleh Allah adalah talak”. (HR. Abu Daud).

Hal-hal yang harus dipenuhi dalam talak ( rukun talak) ada 3 macam :

1. Yang menjatuhkan talak(suami), syaratnya: baligh, berakal dan kehendak sendiri.

2. Yang dijatuhi talak adalah istrinya.

3. Ucapan talak, baik dengan cara sharih (tegas) maupun dengan cara kinayah (sindiran).

Cara sharih : misalnya “saya talak engkau!” atau “saya cerai engkau!”. Ucapan talak dengan cara sharih
tidak memerlukan niat. Jadi kalau suami mentalak istrinya dengan cara sharih, maka jatuhlah talaknya
walupun tidak berniat mentalaknya.

Cara kinayah: misalnya “Pulanglah engkau pada orang tuamu!”, atau “Kawinlah engkau dengan orang
lain, saya sudah tidak butuh lagi kepadamu!”, Ucapan talak cara kinayah memerlukan niat. Jadi kalau
suami mentalak istrinya dengan cara kinayah, padahal sebenarnya tidak berniat mentalaknya, maka
talaknya tidak jatuh.

2. Lafal dan Bilangan Talak.


Lafal talak dapat diucapkan/dituliskan dengan kata-kata yang jelas atau dengan kata-kata sindiran.
Adapun bilangan talak maksimal 3 kali, talak satu dan talak dua masih boleh rujuk (kembali) sebelum
habis masa idahnya dan apabila masa idahnya telah habis maka harus dengan akad nikah lagi. (lihat Al-
Baqoroh : 229). Pada talak 3 suami tidak boleh rujuk dan tidak boleh nikah lagi sebelum istrinya itu
nikah dengan laki-laki lain dan sudah digauli serta telah ditalak oleh suami keduanya itu”.

3. Macam-Macam Talak. Talak dibagi menjadi 2 macam yaitu :

4. Talak Raj’i yaitu talak dimana suami boleh rujuk tanpa harus dengan akad nikah lagi. Talak
raj’I ini dijatuhkan suami kepada istrinya untuk pertama kalinya atau kedua kalinya dan suami
boleh rujuk kepada istri yang telah ditalaknya selam masih dalam masa iddah.

5. Talak Bain. Talak bain dibagi menjadi 2 macam yaitu talak bain sughro dan talak bain kubra.

– Talak bain sughro yaitu talak yang dijatuhkan kepada istri yang belum dicampuri dan talak
khuluk (karena permintaan istri). Suami istri boleh rujuk dengan cara akad nikah lagi baik
masih dalam masa idah atau sudah habis masa idahnya.

– Talak bain kubro yaitu talak yang dijatuhkan suami sebanyak tiga kali (talak tiga) dalam waktu
yang berbeda. Dalam talak ini suami tidak boleh rujuk atau menikah dengan bekas istri
kecuali dengan syarat :

 Bekas istri telah menikah lagi dengan laki-laki lain.

 Telah dicampuri dengan suami yang baru.

 Telah dicerai dengan suami yang baru.

 Telah selesai masa idahnya setelah dicerai suami yang baru.

4. Macam-macam Sebab Talak. Talak bisa terjadi karena :

5. Ila’ yaitu sumpah seorang suami bahwa ia tidak akan mencampuri istrinya. Ila’ merupakan adat
arab jahiliyah. Masa tunggunya adalah 4 bulan. Jika sebelum 4 bulan sudah kembali maka suami
harus menbayar denda sumpah. Bila sampai 4 bulan/lebih hakim berhak memutuskan untuk
memilih membayar sumpah atau mentalaknya.

6. Lian, yaitu sumpah seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina. sumpah itu diucapkan 4
kali dan yang kelima dinyatakan dengan kata-kata : “Laknat Allah swt atas diriku jika tuduhanku
itu dusta”. Istri juga dapat menolak dengan sumpah 4 kali dan yang kelima dengan kata-kata:
“Murka Allah swt, atas diriku bila tuduhan itu benar”.

7. Dzihar, yaitu ucapan suami kepada istrinya yang berisi ”penyerupaan istrinya dengan
ibunya” seperti : “Engkau seperti punggung ibuku “. Dzihar merupakan adat jahiliyah yang
dilarang Islam sebab dianggap salah satu cara menceraikan istri.
8. Khulu’ (talak tebus) yaitu talak yang diucapkan oleh suami dengan cara istri membayar kepada
suami. Talak tebus biasanya atas kemauan istri. Penyebab talak antara lain :

Ø Istri sangat benci kepada suami.

Ø Suami tidak dapat memberi nafkah.

Ø Suami tidak dapat membahagiakan istri.

1. Fasakh, ialah rusaknya ikatan perkawinan karena sebab-sebab tertentu yaitu :

o Karena rusaknya akad nikah seperti :

 diketahui bahwa istri adalah mahrom suami.

 Salah seorang suami / istri keluar dari ajaran Islam.

 Semula suami/istri musyrik kemudian salah satunya masuk Islam.

o Karena rusaknya tujuan pernikahan, seperti :

 Terdapat unsur penipuan, misalnya mengaku laki-laki baik ternyata penjahat.

 Suami/istri mengidap penyakit yang dapat mengganggu hubungan rumah tangga.

 Suami dinyatakan hilang.

 Suami dihukum penjara 5 tahun/lebih.

5. Hadhonah.

Hadhonah artinya mengasuh dan mendidik anak yang masih kecil. Jika suami/istri bercerai maka yang
berhak mengasuh anaknya adalah :

1. Ketika masih kecil adalah ibunya dan biaya tanggungan ayahnya.

2. Jika si ibu telah menikah lagi maka hak mengasuh anak adalah ayahnya.I. Iddah

Secara bahasa iddah berarti ketentuan. Menurut istilah iddah ialah masa menunggu bagi seorang
wanita yang sudah dicerai suaminya sebelum ia menikah dengan laki-laki lain. Masa iddah dimaksudkan
untuk memberi kesempatan kepada bekas suaminya apakah dia akan rujuk atau tidak.

1. Lamanya Masa Iddah.

2. Wanita yang sedang hamil masa idahnya sampai melahirkan anaknya. (Lihat QS. At-Talak :4)
3. Wanita yang tidak hamil, sedang ia ditinggal mati suaminya maka masa idahnya 4 bulan
10 hari. (lihat QS. Al-Baqoroh ayat 234)

4. Wanita yang dicerai suaminya sedang ia dalam keadaan haid maka masa idahnya 3 kali
quru’ (tiga kali suci). (lihat QS. Al-Baqoroh : 228)

5. Wanita yang tidak haid atau belum haid masa idahnya selama tiga bulan.
(Lihat QS, At-Talaq :4 )

6. Wanita yang dicerai sebelum dicampuri suaminya maka baginya tidak ada masa iddah.
(Lihat QS. Al-Ahzab : 49)

7. Hak Perempuan Dalam Masa Iddah.

8. Perempuan yang taat dalam iddah raj’iyyah (dapat rujuk) berhak mendapat dari suami
yang mentalaknya: tempat tinggal, pakaian, uang belanja. Sedang wanita yang durhaka
tidak berhak menerima apa-apa.

9. Wanita dalam iddah bain (iddah talak 3 atau khuluk) hanya berhak atas tempat tinggal
saja. (Lihat QS. At-Talaq : 6)

10. Wanita dalam iddah wafat tidak mempunyai hak apapun, tetapi mereka dan anaknya
berhak mendapat harta waris suaminya.

1. Rujuk
Rujuk berarti kembali, yaitu kembalinya suami kepada ikatan nikah dengan istrinya
sebagaimana semula, selama istrinya masih dalam masa ‘iddah raj’iyah. Hukum rujuk asalnya
mubah, artinya boleh rujuk dan boleh pula tidak. Akan tetapi, hukum rujuk bisa berubah,
sebagai berikut:

2. Sunah, misalnya apabila rujuknya suami kepada istrinya dengan niat karena Allah, untuk
memperbaiki sikap dan perilaku serta bertekad untuk menjadikan rumah tangganya sebagai
rumah tangga bahagia.

3. Wajib, misalnya bagi suami mentalak salah seorang istinya, sedangkan sebelum
mentalaknya, ia
belum menyempurnakan pembagian waktunya.

4. Makruh (dibenci), apabila meneruskan perceraian lebih bermanfaat dari pada rujuk.

5. Haram, misalnya jika maksud rujuknya suami adalah untuk menyakiti istri atau untuk
mendurhakai Allah SWT.

Rukun rujuk ada 4 macam, yaitu sebagai berikut:


1. Istri sudah bercampur dengan suami yang mentalaknya dan masih berada pada masa ‘iddah
raj’iyah.

2. Keinginan rujuk suami atas kehendak sendiri, bukan karena dipaksa.

3. Ada dua orang saksi, yaitu dua orang laki-laki yang adil. (Q.S. At-Talaq, 65: 2)

4. Ada sigat atau ucapan rujuk, misalnya suami berkata kepada istri yang diceraikannya selama
masih berada dalam masa ‘iddah raj’iyah, “Saya rujuk kepada engkau!”

5. Hikmah Perkawinan

Fuqaha (ulama fikih) menjelaskan tentang hikmah-hikmah pernikahan yang islami, antara lain:

1. Memenuhi kebutuhan seksual dengan cara yang diridai Allah (cara yang islami), dan
menghindari
cara yang dimurkai Allah seperti perzinaan atau homoseks (gay atau lesbian).

2. Pernikahan merupakan cara yang benar, baik, dan diridai Allah untuk memperoleh anak serta
mengembangkan keturunan yang sah.

3. Melalui pernikahan, suami-istri dapat memupuk rasa tanggung jawab membaginya dalam
rangka
memelihara, mengasuh dan mendidik anak-anaknya, sehingga memberikan motivasi yang kuat
untuk membahagiakan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.

4. Menjalin hubungan silaturahmi antara keluarga suami dan keluarga istri, sehingga sesama
mereka saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan serta tidak tolong-menolong dalam
dosa dan permusuhan.L. PERKAWINAN MENURUT UU No: 1 tahun 1974.

5. Pengertian dan Tujuan Perkawinan

Dalam pasal 2 dan pasal 3 dari Kompilasi Hukum Islam di Bidang Hukum Perkawinan dijelaskan
bahwa perngertian perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat
atau misaqan galizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Sedangkan tujuan perkawinan ialah untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah.

2. Pencatatan Perkawinan

Dalam pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa : “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku”. Ketentuan tentang pelaksanaan pencatatan perkawinan ini tercantun dalam
PP No : 9 Tahun 1975 Bab II pasal 2 sampai 9.

3. Syahnya Perkawinan.
Dalam pasal 2 ayat 1 ditegaskan bahwa : “Perkawinan adalah syah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu”.

4. Akta Nikah
Akta Nikah atau Buku Nikah (Surat Nikah) adalah surat keterangan yang dibuat oleh Pegawai
Pencatat Nikah yakni Kantor Urusan Agama Kecamatan, tempat dilangsungkannya pernikahan
yang menerangkan bahwa pada hari, tanggal, bulan, tahun, dan jam telah terjadi akad nikah
antara: seorang laki-laki (dituliskan nama, tanggal dan tempat lahir, pekerjaan, dan tempat
tinggal) dengan seorang perempuan (dituliskan nama, tanggal dan tempat lahir, pekerjaan, dan
tempat tinggal) dan yang menjadi wali (juga dituliskan nama, tanggal dan tempat lahir,
pekerjaan, tempat tinggal, dan apa hubungannya dengan yang diwalikan).

5. Kawin Hamil
Dalam pasal 53 ayat (1), (2), dan (3) dari Kompilasi Hukum Islam di bidang hukum perkawinan
dijelaskan:

6. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat menikah dengan pria yang menghamilinnya.

7. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa
menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.

8. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan
ulang
setelah anak yang dikandung lahir.

Hal-hal lain yang dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam di bidang Hukum Perkawinan adalah
peminangan, rukun dan syarat perkawinan, mahar, larangan kawin, perjanjian perkawinan, poligami,
pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, harta kekayaan dalam
perkawinan, pemeliharaan anak, perwalian, putusnya perkawinan, rujuk dan masa berkabung.

6. Talak.

Dalam Bab VIII pasal 29 ayat 1 dijelaskan bahwa : “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak.

7. Batasan Dalam Berpoligami.

 Dalam pasal 3 ayat 1 diljelaskan bahwa :”Pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang
pria
hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang
suami”.
 Dalam pasal 4 dan 5 ditegaskan bahwa dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari
seorang ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

 Pengadilan hanya memberi ijin berpoligami apabila :

Ø Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

Ø Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan.

Ø Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Ø Dalam pengajuan berpoligami harus dipenuhi syarat-syarat :

Ø Adanya persetujuan dari istri.

Ø Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-
anak mereka.

Ø Adanya jaminan bahwa suami akan belaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

Mawaris

Dalam hukum waris Islam, apabila semua ahli waris berkumpul, maka yang berhak mendapatkan
warisan hanya ada 5 (lima) orang yaitu anak kandung (laki-laki dan perempuan), ayah, ibu, istri (janda),
suami (duda). Sedang ahli waris lain tidak mendapat apa-apa. Ini adalah prinsip dasar hukum waris Islam
yang perlu diketahui oleh kalangan awam. Apabila kelima orang di atas tidak lengkap, maka ahli waris
lain punya peluang untuk mendapat warisan seperti uraian dalam artikel ini.
Juga, anak angkat (adopsi) bukan termasuk ahli waris dan tidak mendapat warisan dalam situasi apapun.
Alternatifnya, orang tua angkatnya hendaknya memberi mereka hibah atau wasiat sebelum meninggal
agar anak angkat mendapat bagian harta.
Warisan berasal dari bahasa Arab al-irts (‫ )اإلرث‬atau al-mirats (‫ )الميراث‬secara umum bermakna
peninggalan (tirkah) harta orang yang sudah meninggal (mayit).

DEFINISI DAN PENGERTIAN WARISAN (FARAID)

Warisan berasal dari bahasa Arab al-irts (‫ )اإلرث‬atau al-mirats (‫ )الميراث‬secara umum bermakna
peninggalan (tirkah) harta orang yang sudah meninggal (mayit).
Secara etimologis (lughawi) waris mengandung 2 arti yaitu (a) tetap dan (b) berpindahnya sesuatu dari
suatu kaum kepada kaum yang lain baik itu berupa materi atau non-materi.
Sedang menurut terminologi fiqih/syariah Islam adalah berpindahnya harta seorang (yang mati) kepada
orang lain (ahli waris) karena ada hubungan kekerabatan atau perkawinan dengan tata cara dan aturan
yang sudah ditentukan oleh Islam berdasar QS An-Nisa’ 4:11-12.

I. DALIL DASAR HUKUM WARIS


Hukum waris dalam Islam berdasarkan pada nash (teks) dalam Al-Quran sebagai berikut:

– QS An-Nisa’ 4:11-12

“َ‫وصي ُك ُم‬
ِ ُ‫ّللاُ ي‬ََّ ‫ْن حَظَِ مِ ثْ َُل لِلذَّك ََِر أ َ ْول ِد ُك َْم فِي‬ َِ ‫ن األُنثَيي‬ َْ ‫ساءَ كُنََّ فَ ِإ‬ َ ِ‫ْن فَ ْوقََ ن‬ َِ ‫ن ت َ َركََ َما ثُلُثَا فَلَهُنََّ اثْنَتَي‬ َْ ِ‫ْف فَلَهَا َواحِ دَةَ كَانَتَْ َوإ‬ َُ ‫ِلك َُِل َو ِألَب َََو ْي َِه النِص‬
َ‫ُس مِ ْن ُه َما َواحِ د‬
َُ ‫سد‬ ُّ ‫ن ت َ َركََ مِ َّما ال‬ َْ ِ‫ن َولَ ٌَد لَ َهُ كَانََ إ‬ َْ ‫ث فَ ِِل ُ ِم َِه أَب ََوا َهُ َو َو ِرث َ َهُ َولَ ٌَد لَ َهُ يَك‬
َْ ‫ُن لَ َْم فَ ِإ‬ َْ ‫ُس فَ ِِل ُ ِم َِه إِ ْخ َو َةٌ لَ َهُ كَانََ فَ ِإ‬
َُ ُ‫ن الثُّل‬ َُ ‫سد‬ َْ ِ‫َو ِصيَّةَ بَ ْع َِد م‬
ُّ ‫ن ال‬
‫وصي‬ ِ ُ‫ب أَيُّ ُه َْم تَد ُْرونََ ل َوأ َ ْبنَا ُؤ ُك َْم آبَا ُؤ ُك َْم َديْنَ أ َ َْو ِبهَا ي‬ َُ ‫ّللا مِ نََ فَ ِريضَةَ نَ ْفعا لَ ُك َْم أ َ ْق َر‬ ََِّ ََّ‫ّللا إِن‬
َََّ ََ‫علِيما كَان‬ َ ‫َحكِيما‬

‫ف َولَ ُك ْم‬ُْ ‫الربُ ُْع فَلَ ُك ُْم َولَدْ لَ ُهنْ كَانَْ فَإِنْ ۚ َولَدْ لَ ُهنْ يَ ُكنْ لَمْ ِإنْ أَز َوا ُج ُكمْ ت ََركَْ َما نِص‬
ُّ ‫صيةْ َبع ِْد مِ نْ ۚ ت ََركنَْ مِ ما‬ ِ ‫ُوصينَْ َو‬ِ ‫َولَ ُهنْ ۚ َدينْ أَوْ ِب َها ي‬
‫الربُ ُْع‬ ُّ
ُّ ‫صيةْ بَع ِْد مِ نْ ۚ ت ََركتُمْ مِ ما الث ُمنُْ فَلَ ُهنْ َولَدْ لَ ُكمْ كَانَْ فَإِنْ ۚ َولَدْ لَ ُكمْ يَ ُكنْ لَمْ إِنْ ت ََركتُمْ مِ ما‬ َ
ُ ‫ث َر ُجلْ كَانَْ َوإِنْ ۚ َدينْ أوْ بِ َها تُو‬
ِ ‫صونَْ َو‬ ُْ ‫ُور‬
َ ‫ي‬
َْ‫ل أُختْ أَوْ أَخْ َولَ ْهُ ام َرأَةْ أ َ ِْو ك َََللة‬ ُ َ
ِْ ‫ُس مِ ن ُه َما َواحِ دْ ف ِلك‬
ُْ ‫سد‬ َ ُ َ َ َ َٰ َ ُ
ُّ ‫ث فِي ش َركَا ُْء ف ُهمْ ذلِكَْ مِ نْ أكث َْر كَانوا فإِنْ ۚ ال‬ ُ ُّ
ِْ ‫صيةْ بَع ِْد مِ نْ ۚ الثل‬
ِ ‫ى َو‬ َْٰ ‫ص‬ َ
َ ‫أوْ بِ َها يُو‬
ْ‫ضارْ غَي َْر َدين‬ َ ُ‫م‬ ۚ ‫ة‬
ْ ‫ي‬‫ص‬ ِ َ‫و‬ َْ‫ن‬ ِ‫م‬ ِ ‫ّللا‬
ْ ۚ ْ
‫ّللا‬
ُ َ َ ‫و‬ ‫ِيم‬
ْ ‫ل‬‫ع‬ ‫ِيم‬
ْ ‫ل‬ ‫ح‬
َ

Artinya: Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian
seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di
antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (ayat 11).

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak
mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta
yang ditinggalkannya sdsudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya.
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika
kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang
mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,
tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja),
maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara
seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat
yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli
waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.(ayat 12)
– QS An-Nisa’ 4:176

ْ ‫ّللاُ قُ َْل َي‬


ََ‫ست َ ْفت ُونَك‬ ََّ ‫ن ا ْلكَاللَ َِة فِي يُ ْفتِي ُك َْم‬ ََ ‫ْف فَلَهَا أ ُ ْختٌَ َولَ َهُ َولَ ٌَد لَ َهُ لَي‬
َْ ِ‫ْس َهلَكََ ا ْم ُر ٌَؤ إ‬ َُ ‫ن ي َِرثُهَا َوه ََُو ت َ َركََ َما ِنص‬
َْ ‫ُن لَ َْم ِإ‬ َْ ‫كَانَتَا فَ ِإ‬
َْ ‫ن َولَ ٌَد لَهَا يَك‬
‫ْن‬ َ
َِ ‫ان فلَ ُه َما اثْنَتَي‬ َِ َ ‫ت َ َركََ مِ َّما الثُّلُث‬

Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: “Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia
tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal.

KEWAJIBAN AHLI WARIS KEPADA PEWARIS


Sebelum harta dibagi, ahli waris punya kewajiban terdadap pewaris yang wafat sbb:
a. mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;
b. menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris
maupun penagih piutang;”
c. menyelesaikan wasiat pewaris;
d. membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.

*Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau
nilai harta peninggalannya.

SYARAT WARISAN ISLAM


Syarat waris Islam ada 3 (tiga) yaitu:
1. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun secara hukum (misalnya dianggap telah
meninggal).
2. Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
3. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing.
RUKUN WARIS ISLAM
Rukun waris ada 3 (tiga) yaitu:
1. Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia.
2. Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris.
3. Harta warisan.

NAMA AHLI WARIS DAN BAGIANNYA


Dari seluruh ahli waris yang tersebut di bawah ini, yang paling penting dan selalu mendapat bagian
warisan ada 5 yaitu anak kandung (laki-laki dan perempuan), ayah, ibu, istri, suami.
Artinya apabila semua ahli waris di bawah berkumpul, maka yang mendapat warisan hanya kelima ahli
waris di atas.
Sedangkan ahli waris yang lain dapat terhalang haknya (hijab/mahjub) karena bertemu dengan ahli
waris yang lebih tinggi seperti cucu bertemu dengan anak.
Daftar nama ahli waris dan rincian bagian harta warisan yang diperoleh dalam berbagai kondisi yang
berbeda.
BAGIAN WARIS ANAK LAKI-LAKI
Anak laki-laki selalu mendapat asabah atau sisa harta setelah dibagikan pada ahli waris yang lain.
Walaupun demikian, anak laki-laki selalu mendapat bagian terbanyak karena keberadaannya dapat
mengurangi bagian atau menghilangkan sama sekali (mahjub/hirman) hak dari ahli waris yang lain.
Dalam ilmu faraidh, anak laki-laki disebut ahli waris ashabah binafsih (asabah dengan diri sendiri)

BAGIAN WARIS ANAK PEREMPUAN


– Anak perempuan mendapat 1/2 (setengah) harta warisan apabila (a) sendirian (anak tunggal) dan (b)
tidak ada anak laki-laki.
– Anak perempuan Mendapat 2/3 (dua pertiga) apabila (a) lebih dari satu dan (b) tidak ada anak laki-
laki.
– Anak perempuan mendapat bagian asabah (sisa) apabila ada anak laki-laki. Dalam keadaan ini maka
anak perempuan mendapat setengah atau separuh dari bagian anak laki-laki. (QS An-Nisa’ 4:11)

BAGIAN WARIS AYAH


– Ayah mendapat 1/3 (sepertiga) bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak.
– Ayah Mendapat bagian 1/6 (seperenam) apabila ada keturunan pewaris yang laki-laki seperti anak
atau cucu laki-laki dan kebawah.
– Ayah mendapat bagian asabah dan bagian pasti sekaligus apabila ada keturunan pewaris yang
perempuan yaitu anak perempuan atau cucu perempuan dan kebawah. Maka, ayah mendapat 1/6
(seperenam) dan asabah.

*Yang terhalang (mahjub) karena ayah adalah saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki sebapak,
saudara laki-laki seibu. Semua tidak mendapat warisan karena adanya Ayah atau Kakek.

BAGIAN WARIS IBU


– Ibu mendapat 1/3 (sepertiga) warisan dengan syarat (a) tidak ada keturunan pewaris yaitu anak, cucu,
dst; (b) tidak berkumpulnya beberapa saudara laki-laki dan saudara perempuan; (c) tidak adanya salah
satu dari dua masalah umroh.
– Ibu mendapat 1/6 (seperenam) apabila (a) pewaris punya keturunan yaitu anak, cucu, kebawah; (b)
atau adanya dua saudara laki-laki dan perempaun atau lebih.
– Ibu mendapat 1/3 (seperti) sisanya dalam masalah umaritain (umar dua) yaitu:
— Istri, Ibu, Bapak. Masalah dari empat: suami 1/4 (satu), ibu 1/3 sisa (satu), yang lain untuk bapak
(dua).
— Suami, Ibu, Bapak. Masalah dari enam: suami 1/2 (tiga), ibu sisa 1/3 (satu), sisanya untuk bapak (dua).

*Ibu mendapat 1/3 dari sisa agar supaya tidak melebihi bagian bapak karena keduanya sederajat dari
awal dan supaya laki-laki mendapat bagian dua kali lipat dari perempuan. (QS An-Nisa’ 4:11)

BAGIAN WARIS SUAMI (DUDA)


– Suami atau duda yang ditinggal mati istri mendapat 1/2 (setengah) apabila istri tidak punya keturunan
yang mewarisi yaitu anak laki-laki dan perempuan, cucu lak-laki dan kebawah, sedang cucu perempuan
tidak menerima warisan.
– Suami mendapat 1/4 apabila ada keturunan yang mewarisi, baik mereka berasal dari hubungan
dengan suami yang sekarang atau suami yang lain.

BAGIAN WARIS ISTRI (JANDA)


– Istri atau janda yang ditinggal mati suami mendapat 1/4 (seperempat) bagian apabila tidak ada
keturunan yang mewarisi yaitu anak laki dan perempuan, cucu laki-laki dan kebawah.
– Istri mendapat 1/8 (seperdelapan) bagian apabila suami punya keturunan yang mewarisi baik dari istri
sekarang atau istri yang lain.
– Istri yang lebih dari satu harus berbagi dari bagian 1/4 atau 1/8 tersebut. (QS An-Nisa’ 4:12)

BAGIAN WARIS KAKEK


– Kakek mendapat bagian 1/6 (seperenam) dengan syarat (a) adanya keturunan yang mewarisi; (b) tidak
ada bapak.
– Kakek mendapat bagian asabah (siswa) apabila (a) mayit atau pewaris tidak punya keturunan yang
mewarisi (anak kandung laki perempuan; cucu laki dan kebawah); (b) tidak ada bapak.
– Kakek mendapat bagian pasti dan asabah sekaligus apabila (a) ada keturunan yang mewarisi yang
perempuan yaitu anak perempuan dan cucu perempuan anak laki (bintul ibni).
– Apabila ada bapak, maka kakek tidak mendapat apa-apa.

* Kakek yang mendapat warisan adalah yang tidak ada hubungan perempuan antara dia dan mayit
seperti bapaknya bapak. Bagiannya seperti bagian warisnya bapak kecuali dalam masalah
umariyatain dalam kasus terakhir maka ibu bersama kakek mendapat bagian 1/3 dari seluruh harta
sedangkan apabila bersama ayah mendapat 1/3 dari sisa setelah diberikannya bagian suami/istri.

BAGIAN WARIS NENEK


– Nenek satu atau lebih mendapat 1/6 (seperenam) dengan syarat tidak ada ibu.

* Nenek terhalang (mahjub) alias tidak mendapat apa-apa apabila ada ibu.
* Nenek yang mendapat warisan adalah ibunya ibu, ibunya ayah, ibunya kakek dan keatas dari
perempuan, dua dari arah ayah dan satu dari arah ibu.

BAGIAN WARIS CUCU LAKI-LAKI


Cucu laki-laki dari anak laki-laki mendapat bagian warisan dengan syarat dan ketentuan berikut:
– Bagian yang didapat adalah sisa tirkah (peninggalan) setelah dibagi dengan ahli waris lain yang
mendapat bagian pasti (ashabul furudh)
– Tidak ada anak dari mayit yang masih hidup. Kalau ada anak pewaris yang masih hidup, maka cucu
tidak mendapat hak waris karena terhalang (mahjub) oleh anak.

BAGIAN WARIS CUCU PEREMPUAN ANAK LAKI (BANATUL IBNI)


– Cucu perempuan dari anak laki (bintul ibni) satu atau lebih mendapat bagian asabah apabila
berkumpul bersama saudaranya yang sederajat yaitu cucu laki-laki dari anak laki (ibnul ibni)
– Bintul ibni mendapat 1/2 (setengah) apabila (a) tidak ada saudara laki-laki sederajat; (b) sendirian atau
tidak ada bintul ibni yang lain; (c) tidak ada keturunan yang mewarisi yaitu anak laki dan anak
perempuan.
– Cucu perempuan dua atau lebih mendapat 2/3 (dua pertiga) dengan syarat (a) ada dua cucu
perempuan dari anak laki atau lebih; (b) tidak ada ahli waris asabah (ibnul ibni – cucu laki dari anak laki)
yaitu saudara laki-lakinya; (c) tidak ada keturunan yang mewarisi yang lebih tinggi yaitu anak laki dan
anak perempuan.
– Cucu perempuan dari anak laki satu atau lebih mendapat bagian 1/6 (seperenam) apabila (a) tidak ada
ahli waris asabah atau cucu laki-laki; (b) tidak ada keturunan yang mewarisi yang lebih tinggi yaitu anak
kecuali anak perempuan (binti) yang mendapat 1/2.

* Cucu perempuan dari anak laki (bintul ibni) mendapat 1/6 apabila bersama anak perempuan yang
mendapat 1/2 (separuh). Begitu juga, hukumnya cicit perempuan (bintu ibni ibni) bersama cucu
perempuan (bintul ibni), dan seterusnya ke bawah.

BAGIAN WARIS SAUDARA LAKI-LAKI KANDUNG


– Saudara laki-laki kandung mendapat warisan sisa (asabah) dengan syarat apabila (a) tidak ada anak
laki-laki; (b) tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki; (c) tidak ada bapak; (d) tidak ada kakek (menurut
beberapa pendapat). Apabila ada para ahli waris ini, maka ia tidak mendapat warisan sama sekali
karena terhalang (mahjub).

BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN KANDUNG


– Saudara perempuan kandung mendapat 1/2 (setengah) dengan syarat (a) sendirian alias tidak ada
saudara perempuan kandung yang lain; (b) tidak ada saudara kandung laki-laki; (c) tidak ada bapak atau
kakek; (d) tidak ada anak, atau cucu.
– Mendapat 2/3 (dua pertiga) apabila (a) lebih dari satu; (b) tidak ada anak / cucu; (b) tidak ada bapak
atau kakek; (c) tidak ada saudara kandung.
– Mendapat bagian asabah (sisa) apabila (a) bersamaan dengan saudara kandung laki-laki; (b)
bersamaan dengan anak perempuan. Lihat, QS An-Nisa’ 4:176
– Tidak mendapat bagian (mahjub) apabila ada anak laki-laki; cucu laki-laki dari anak laki-laki; bapak;
kakek.

BAGIAN WARIS SAUDARA LAKI-LAKI SEBAPAK


– Saudara laki-laki sebapak mendapat warisan sisa (asabah) dengan syarat apabila (a) tidak ada saudara
laki-laki kandung; (b) tidak ada anak laki-laki; (c) tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki; (d) tidak ada
bapak; (e) tidak ada kakek (menurut beberapa pendapat).

BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN SE-BAPAK (SE-AYAH) – UKHTI LI ABI


– Saudara perempuan se-bapak/se-ayah atau ukhti li abi mendapat bagian 1/2 (setengah) dengan syarat
(a) sendirian alias tidak bersamaan dengan ukhti li abi yang lain; (b) tidak ada ahli waris asabah atau
saudara laki-nya; (c) tidak ada orang tua laki ke atas (ayah, kakek) yang mewarisi; (d) tidak ada
keturunan ke bawah (anak, cucu); (e) tidak ada saudara kandung laki atau perempuan.
– Saudara perempuan sebapak (ukhti li abi) mendapat bagian 2/3 (dua pertiga) dengan syarat (a)
bersamaan dengan ukhti li abi yang lain; (b) tidak ada ahli waris asabah atau saudara laki-nya; (c) tidak
ada orang tua laki ke atas (ayah, kakek) yang mewarisi; (d) tidak ada keturunan ke bawah (anak, cucu);
(e) tidak ada saudara kandung laki atau perempuan.
– Saudara perempuan sebapak (ukhti li abi) satu atau lebih mendapat bagian 1/6 (seperenam) dengan
syarat (a) bersamaan dengan saudara perempuan kandung (ukhti syaqiqah) satu yang mendapat bagian
pasti; (b) tidak ada ahli waris asabah atau saudara lakinya; (c) tidak ada keturunan yang mewarisi (anak,
cucu); (d) tidak ada orang tua (aslul waris) yang mewarisi dari pihak laki seperti ayah, kakek, dst; (e) tidak
ada saudara kandung satu atau lebih.
– Saudara perempuan sebapak (ukhti li abi) satu atau lebih mendapat bagian asabah dengan syarat (a)
apabila bersama dengan ahli waris asabah yaitu saudara lakinya, maka yang laki mendapat dua kali lipat;
(b) bersamaan dengan keturunan yang mewarisi dari pihak perempuan seperti anak perempuan.

*Apabila tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, yakni apabila ada anak laki-laki; cucu laki-laki dari anak
laki-laki; bapak; kakek, saudara kandung, maka Saudara perempuan sebapak (ukhti li abi) tidak
mendapat bagian waris apapun.

BAGIAN WARIS SAUDARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN SE-IBU – AKHI/UKHTI LI UMMI


– Saudara seibu (akh li ummi) baik laki atau perempuan mendapat bagian 1/6 (seperenam) dengan
syarat (a) tidak ada keturunan yang mewarisi yaitu anak, cucu, dst; (b) tidak ada orang tua laki-laki yaitu
bapak, kakek, dst; (c) sendirian.
– Saudara seibu (akh li ummi) baik laki atau perempuan mendapat bagian 1/3 dengan syarat (a) dua atau
lebih; (b) tidak ada keturunan yang mewarisi yaitu anak, cucu, dst; (c) tidak ada orang tua yang mewarisi
dari pihak laki yaitu bapak, kakek, dst. (QS An-Nisa’ 4:12).

AHLI WARIS DAN BAGIAN WARISAN


Dalam ilmu faraidh (faroidh) ada 2 istilah yang paling dikenal yaitu al-furudh al-muqaddarah (bagian
yang ditentukan) dan asabah atau bagian yang tidak ditentukan.

A. Al-Fardhu al-Muqaddarah (Bagian yang ditentukan).


Yaitu jumlah atau porsi bagian warisan yang ditentukan oleh syariah yaitu 1/2 (setengah), 1/4
(seperempat), 1/8 (seperdelapan), 2/3 (dua pertiga), 1/3 (sepertiga), 1/6 (seperenam).
B. Ashabah (At-Tanshib)
Yaitu orang yang mendapatkan harta warisan yang belum ditetapkan atau ahli waris yang tidak memiliki
bagian tertentu.

AHLI WARIS ADA 3 (TIGA) MACAM


Ahli waris ada 3 macam yaitu ashabul furudh yang memiliki bagian yang sudah ditentukan seperti 1/2,
1/3, 2/3, dst, ahli waris ashabh yang tidak memiliki bagian yang ditentukan dan ahli waris gabungan
keduanya sesuai dengan kondisi dan situasi ada atau tidak adanya ahli waris yang lain.

AHLI WARIS ASHABUL FURUDH


(i) Ashabul Furudh/Dzawil Furudh saja yaitu Ahli waris dengan bagian tertentu yaitu ibu, saudara laki
seibu, saudara perempuan seibu, nenek dari ibu atau bapak, suami, istri.

AHLI WARIS ASHABAH


(ii) Ahli waris asabah saja artinya ahli waris yang menerima bagian sisa yaitu anak laki, cucu ke bawah,
saudara laki kandung, saudara sebapak, anak saudara laki kandung, anak saudara laki sebapak ke bawah,
paman kandung dari ayah (‫)الشقيق العم‬, paman kandung dari ayah sebapak ( ‫ )ألب العم‬dan ke atas, anak laki
paman kandung dari ayah (‫)الشقيق العم إبن‬, anak laki paman dari ayah sebapak ( ‫ )ألب العم إبن‬dan ke bawah.

AHLI WARIS GABUNGAN FURUDH DAN ASHABAH


(iii) Ahli waris dengan bagian tertentu dan ashabah sekaligus atau salahsatunya yaitu bapak, kakek, (b)
ahli waris ashabul furudh atau ashabah yaitu anak perepuan satu atau lebih, cucu perempuan dari anak
laki (‫ )اإلبن بنت‬satu atau lebih, saudara perempuan satu atau lebih, saudara perempuan sebapak satu atau
lebih.

AHLI WARIS ASHABUL/DZAWIL FURUDH DAN BAGIANNYA


Ahli waris dzawil furudh/ashabul furudh dan bagian-bagian yang telah ditentukan untuk mereka adalah
sbb:
A. Bagian 1/2 (setengah)
Ahli waris yang mendapat bagian 1/2 dengan syarat tertentu adalah sbb:
(i) Suami apabila istri tidak punya anak.
(ii) Anak perempuan apabila sendirian (anak tunggal) dan tidak ada anak laki-laki (alias saudara
kandung).
(iii) Cucu perempuan dari anak laki ( ‫ )إبن بنت‬apabila sendirian serta tidak adanya anak perempuan atau
ahli waris anak laki-laki.
(iv) Saudara perempuan kandung dalam situasi kalalah[1] dan sendirian serta tidak ada anak perempuan
dan cucu perempuan dari anak laki (‫)اإلبن بنت‬.
(v) Saudara perempaun sebapak dalam situasi kalalah dan sendirian serta tidak adanya anak perempuan,
cucu perempuan dari anak laki (‫)اإلبن بنت‬, dan saudara perempuan kandung.
B. Bagian 1/4 (seperempat)
Ahli waris yang mendapat bagian 1/4 dengan syarat tertentu adalah sbb:
(i) Suami apabila ada ahli waris anak laki-laki dari istri.
(ii) Istri apabila tidak ada anak laki-laki.
C. Bagian 1/8 (Seperdelapan)
Yaitu istri apabila ada ahli waris anak laki-laki.
D. Bagian 2/3 (Dua Pertiga)
Yang mendapat bagian 2/3 adalah ahli waris yang mendapat bagian 1/2 (setengah) apabila berkumpul
lebih dari satu yaitu
(i) Dua anak perempuan atau lebih.
(ii) Dua cucu perempuan dari anak laki-laki atau lebih.
(iii) Dua saudara perempuan kandung atau lebih
(iv) Dua saudara perempaun sebapak atau lebih.
E. Bagian 1/3 (Sepertiga)
Ahli waris yang mendapat bagian 1/3 dengan syarat tertentu adalah sbb:
(i) Ibu apabila tidak ada anak laki-laki dan saudara laki tidak lebih dari satu.
(ii) Dua atau lebih dari saudara laki-laki atau saudara perempuan yang seibu
apabla tidak ada anak laki dan tidak ada bapak/kakek dari pihak laki-laki.
F. Bagian 1/6 (Seperenam)
Ahli waris yang mendapat bagian 1/6 dengan syarat tertentu adalah sbb:
(i) Bapak apabila ada anak laki-laki.
(ii) Kakek apabila ada anak laki-laki dan tidak ada ayah.
(iii) Ibu apabila ada anak laki-laki atau saudara laki yang lebih dari satu.
(iv) Nenek sebapak atau seibu apabila tidak ada ibu.
(v) Saudara laki atau saudara perempuan seibu apabila tidak ada salah satunya serta tidak adanya anak
atau bapak/kakek dari pihak laki-laki.
(vi) Cucu perempuan dari anak laki (‫ )اإلبن بنت‬apabila bersamaan dengan anak perempuan yang
mendapatkan bagian 1/2 serta tidak adanya cucu laki-laki dari anak laki (‫)اإلبن ابن‬.
(vii) Saudara perempuan sebapak apabila bersamaan dengan saudara perempuan kandung yang
mendapat bagian 1/2 serta tidak adanya saudara laki sebapak.

AL-MAHJUB PENGHALANG AHLI WARIS MENDAPAT WARISAN


Sebagian ahli waris terhalang haknya untuk mendapat warisan karena keberadaan ahli waris yang lain
yang lebih tinggi kedudukannya. Mereka adalah sbb:

AHLI WARIS LAKI-LAKI


1. Cucu dari anak laki tidak mendapat warisan apabila ada anak laki-laki.
2. Kakek tidak mendapat warisan apabila ada Bapak; kakek yang lebih dekat.
3. Saudara sekandung tidak mendapat warisan apabila ada Anak laki-laki; cucu laki-laki dari anak laki-
laki; bapak; kakek (menurut beberapa pendapat).
4. Saudara laki-laki seayah tidak mendapat warisan apabila ada Anak laki-laki; cucu laki-laki dari anak
laki-laki; bapak; kakek (menurut beberapa pendapat); saudara laki-laki kandung; saudara perempuan
kandung jika menjadi ashabah dengan anak perempuan.
5. Saudara laki-laki seibu tidak mendapat warisan apabila ada Anak laki atau perempuan; cucu laki atau
perempuan dari anak laki-laki; bapak; kakek.
6. Anak saudara laki-laki kandung tidak mendapat warisan apabila ada Anak laki-laki; cucu laki-laki dari
anak laki-laki; bapak; kakek; saudara laki kandung; saudara laki seayah, dan saudara perempuan
kandung atau seayah jika menjadi ashabah.
7. Anak saudara laki seayah tidak mendapat warisan apabila ada penghalang dalam poin 6, ditambah
anak saudara sekandung.
8. Paman kandung tidak mendapat warisan apabila ada penghalang dalam poin 7, ditambah anak
saudara seayah.
9. Paman seayah tidak mendapat warisan apabila ada penghalang dalam poin 8, ditambah paman
kandung.
10. Anak paman kandung tidak mendapat warisan apabila ada penghalang dalam poin 9, ditambah
paman seayah.
11. Anak paman seayah tidak mendapat warisan apabila ada penghalang dalam poin 9, ditambah anak
paman kandung.
12. Pemilik yang membebaskan budak tidak mendapat warisan apabila ada Semua ashabah nasabiyah.

AHLI WARIS PEREMPUAN


1. Cucu perempuan dari anak laki-laki tidak mendapat warisan apabila ada Anak laki-laki; dua anak
perempuan.
2. Nenek tidak mendapat warisan apabila ada ibu.
3. Saudara perempuan kandung tidak mendapat warisan apabila ada Anak laki-laki; cucu laki-laki dari
anak laki-laki; bapak; kakek.
4. Saudara perempuan seayah tidak mendapat warisan apabila ada Anak laki-laki; cucu laki-laki dan anak
laki-laki; bapak; kakek; saudara laki kandung; saudara perempuan kandung jika menjadi ashabah dengan
anak perempuan; dua saudara perempuan kandung, apabila saudara perempuan seayah tidak memiliki
saudara laki.
5. Saudara perempuan seibu tidak mendapat warisan apabila ada Anak laki-laki atau perempuan; cucu
laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki; bapak; kakek.
6. Mu’tiqah (perempuan pembebas budak) tidak mendapat warisan apabila ada semua ashabah
nasabiyah.

PENGGUGUR HAK WARIS


Ada 5 (lima) faktor yang menyebabkan ahli waris tidak dapat mendapatkan warisan yaitu
1. Pembunuhan. Ahli waris membunuh yang mewarisi.
2. Beda agama.
3. Budak.
4. Ahli waris meninggal terlebih dahulu dari pewaris.
5. Mah}jub, yaitu hilangnya (terhijabnya) hak waris seseorang karena adanya ahli waris yang lebih kuat
kedudukannya. Misal, cucu laki-laki tidak mendapat warisan karena adanya anak laki-laki.

PERBEDAAN MAHJUB DAN MAHRUM


Persamaan kedua istilah tersebut adalah keduanya sama-sama bermakna terhalangnya ahli waris untuk
mendapatkan warisan.
Perbedaaannya adalah kalau mahjub ahli waris tidak mendapat warisan karena adanya ahli waris yang
lebih tinggi posisinya. Seperti cucu tidak mendapat warisan karena adanya anak laki-laki.
Sedangkan mahrum ahli waris tidak jadi mendapat warisan karena ahli waris memiliki kecacatan hukum
yang menyebabkan hilangnya haknya untuk mendapat warisan. Seperti membunuh pewaris, beda
agama, dll.

DZAWIL ARHAM (KERABAT NON AHLI WARIS)


Dawil Arham (‫ )األرحام ذوو‬dalam istilah ahli fiqih adalah kalangan kerabat yang bukan Ahli Waris Ashabul
Furudh atau Ahli Waris Asabah ; baik laki-laki atau perempuan. Seperti, cucu laki-laki dari anak
perempuan (waladul binti); cicit laki-laki dari anak perempuannya anak laki-laki (waladu bintil ibni),
kakek dari ibu, anak saudara lelaki seibu (waladul akhi lil-ummi) dan anak saudara perempuan secara
mutlak (waladul akhawat), anak perempuannya saudara lelaki (bintul akhi), paman seibu (al-amm li
umm)
MASALAH WARIS
Ada sejumlah permasalahan dalam hukum waris yang terjadi dalam sejumlah kasus yang diperinci dalam
uraian di bawah.

MASALAH UMARIYATAIN (UMAR DUA – ‫)العمريتين‬


Ada dua kasus yang disebut dengan umaroyatain atau gharawain di mana ibu mendapat 1/3 dari sisa
jadi bukan 1/3 dari keseluruhan harta. Contoh kasus adalah sbb:

KASUS PERTAMA:
Seorang perempuan wafat dan ahli warisnya hanya ada 3 (tiga) orang yaitu suami, ibu dan bapak.
Dalam kasus ini, maka suami mendapat 1/2 (setengah harta), ibu mendapat 1/3 (sepertiga) dari sisa
yakni 1/3 dari sisa yang setengah setelah diambil suami. Sedang bapak mendapat asabah (sisa).

KASUS KEDUA:
Seorang laki-laki wafat sedang ahli warisnya hanya ada 3 (tiga) orang yaitu istri, ibu dan bapak.
Maka dalam kasus ini istri mendapat bagian 1/4 (seperempat), ibu mendapat 1/3 (sepertiga) dari sisa
setelah diambil istri. Sedang bapak mendapat bagian seluruh sisanya (asabah).

PERBEDAAN ULAMA DALAM MASALAH UMARIYATAIN


Ada dua perbedaan besar tentang berapa bagian ibu dalam masalah Umariyatain ini sbb:
– Pendapat Zaid bin Tsabit dan Umar bin Khattab bahwa ibu mendapat bagian 1/3 (sepertiga) dari sisa.
Pendapat ini didukung oleh jumhur (mayoritas) ulama.
– Pendapat Abdullah bin Abbas atau Ibnu Abbas bahwa ibu mendapat bagian 1/3 dari seluruh harta
warisan.

ASAL ISTILAH:
Asal dari istilah umariyatain atau gharawain. Disebut umariyatain karena yang memutuskan perkara ini
pertama kali adalah Umar bin Khatab saat menjadi Khalifah Kedua. Disebut gharawain dari bentuk
tunggal gharra’ karena sangat populer seperti bintang (al-kawkab al-aghar’ – ‫)األغر الكوكب‬.

MASALAH KALALAH
Kalalah adalah jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya (QS
An-Nisa’ 4:176)

MASALAH AUL DAN RAD


Dalam masalah waris adalah masalah yang disebut dengan aul dan radd. Uraiannya lihat rincian di
bawah:
MASALAH AUL
Aul artinya bertambah, maksudnya bertambahnya asal masalah (kpk) dikarenakan jumlah bagian Ahlul
furudh melebihi jumlah asal masalah.
Pokok masalah yang ada di dalam ilmu faraid ada tujuh. Tiga di antaranya dapat di-aul-kan, sedangkan
yang empat tidak dapat.
Ketiga pokok masalah yang dapat di-aul-kan adalah enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24).
Sedangkan pokok masalah yang tidak dapat di-‘aul-kan ada empat, yaitu dua (2), tiga (3), empat (4), dan
delapan (8).

Contoh Aul: [1]


a.Asal masalah (kpk): 12
– suami -> 1/4×12=3
– 2 anak pr -> 2/3×12=8
– ibu -> 1/6×12=2
Jumlah (3+8+2=13)

Disebabkan jumlah bagian melebihi kpk, maka kpk dijadikan 13.


– Suami 3/12 dirubah menjadi 3/13×52.000=6000;-
– Dua anak pr 8/12 dirubah menjadi 8/13×52.000=6000;-
– Ibu 2/12 dirubah menjadi 2/13×52.000=4000;-

b. Asal masalah (kpk): 6


– suami -> 1/2×6=3
– ibu -> 1/6×6=1
– 2 sdr pr sekandung -> 2/3×6=4
Jumlah (3+1+4=8)8.

kpk 6 dijadikan 8
-Suami 3/6 dirubah menjadi 3/8×240.000=90.000;-
-Ibu 1/6 dirubah menjadi 1/8×240.000=30.000;-
-dua sdr pr sekandung 4/6 dirubah menjadi 4/8×240.000=120.000;-
MASALAH RADD
Rad[2] adalah berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya/lebihnya jumlah bagian ashhabul
furudh. Ar-radd merupakan kebalikan dari al-‘aul.
Sebagai misal, dalam suatu keadaan (dalam pembagian hak waris) para ashhabul furudh telah menerima
haknya masing-masing, tetapi ternyata harta warisan itu masih tersisa –sementara itu tidak ada sosok
kerabat lain sebagai ‘ashabah– maka sisa harta waris itu diberikan atau dikembalikan lagi kepada para
ashhabul furudh sesuai dengan bagian mereka masing-masing.
Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat yaitu (a) adanya
ashhabul furudh; (b) tidak adanya ‘ashabah; (c) ada sisa harta waris.
Semua ashabul furudh dapat memperoleh bagian radd kecuali suami/istri.

APABILA TIDAK ADA AHLI WARIS


Apabila ahli waris yang tersebut di atas tidak ada, kepada siapa harta itu diberikan? Ada dua pendapat.
Pendapat pertama, diberikan kepada Dzawil Arham atau kerabat nonahli waris , ini adalah pendapat
jumhur atau mayoritas ulama termasuk Sahabat dan Tabi’in, madzhab Hanafi, Hanbali dan Syafi’i.[3]
Namun, madzhab Syafi’i memberi syarat apabila tidak ada Baitul Mal (Kementerian Keuangan) yang
mengatur soal ini. Apabila ada maka harus diberikan ke Baitul Mal. Pendapat kedua, Dzawil Arham tidak
dapat warisan sama sekali walaupun ahli waris lain yakni Ashabul Furud dan Ashabul Asabah tidak ada.
Ini pendapat sebagian Sahabat seperti Zaid bin Tsabit dan Said bin Jubair serta madzhab Maliki dan
Syafi’i apabila ada Baitul Mal yang mengatur.[4]

ASAL MASALAH DALAM HITUNGAN HARTA WARISAN


Dalam membagi warisan, maka diperlukan mencari asal masalah penyebutnya untuk memudahkan
proses pembagian harta waris. Berikut istilah, dan rumus yang dipakai dalam mencari asal masalah.

ISTILAH RUMUS DALAM ASAL MASALAH


Berikut beberapa istilah tipe asal masalah yang dipakai oleh ulama faraidh:
A. TABAYUN
Tabayun adalah terjadinya dua angka yang dapat dikalikan secara langsung sehingga tidak terjadi
pecahan, seperti antara 1/3 dengan 1/2 maka 3 x 2 = 6. Jadi, asal masalahnya adalah 6. Demikian juga
antara 1/3 dengan 1/4, maka 3 x 4 = 12. Jadi, asal masalahnya adalah 12. Karena itu, antara 3 dengan 2
dan 3 dengan 4 disebut “ Tabayun” .
B. TADAKHUL
Tadakhul adalah mengambil angka yang terbesar dari salah satu bentuk ke-1 atau ke- 2, seperti 1/2
dengan 1/8 asal masalah adalah 8, karena kedua angka itu berada pada bentuk ke- 2. Hal sama terjadi
antara 1/3 dengan 1/6 = 6, karena kedua angka tersebut berada pada bentuk ke-1. Demikian juga antara
1/2 dengan 1/4 yang menjadi asal masalah adalah angka penyebut terbesar yaitu 4, karena kedua angka
itu berada pada bentuk ke-1.
C. TAMASUL
Tamasul adalah dua angka atau penyebutnya sama, karenanya cukup mengambil salah satu dari
penyebutnya. Misal antara 1/3 dengan 2/3, maka untuk asal masalahnya 3, karena penyebut sama.
Demikian juga antara ½ dengan ½, asal masalahnya ada 2.
D. TAWAFUQ
Tawafuq adalah dua penyebut sama hasil perkaliannya setelah dibagi dua dan dikalikan dengan
penyebut satu sama lainnya. Misalnya bilangan 1/6 dengan 1/8. 6: 2 = 3 x 8 = 24 begitu juga 8 : 2 = 4 x 6
= 24 sehingga sama-sama menghasilkan 24. Demikian juga dengan 1/2 dengan 1/6. 2 : 2 = 1 x 6 = 6. 6 : 2
= 3 x 2 = 6. Cara ini disebut Tawafuq. Hasil perkalian itulah yang digunakan sebagai asal masalah untuk
membagi harta.

CARA MEMBAGI HARTA WARIS DENGAN CARA ASAL MASALAH

1. Bila bilangan itu datang dari bentuk ke-1, maka asal masalahnya adalah bagian yang terkecil.
Misalnya:
1/3 dengan 1/6 = 6
2/3 dengan 1/6 = 6

2. Bila ada angka ½ bergabung dengan bentuk ke- 1 maka asal masalahnya adalah 6. Misalnya
½ dengan 1/3 = 6
½ dengan 2/3 = 6
½ dengan 1/6 = 6
3. Bila ada angka ¼ bergabung dengan bentuk ke- 1 maka asal masalahnya adalah 12. Misalnya:
¼ dengan 1/3 = 12
¼ dengan 2/3 = 12
¼ dengan 1/6 = 12

4. Bila ada angka 1/8 bergabung dengan bentuk ke- 1 maka asal masalahnya adalah 24. Misalnya:
1/8 dengan 1/3 = 24
1/8 dengan 2/3 = 24
1/8 dengan 1/6 = 28

Anda mungkin juga menyukai