Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ijarah adalah salah satu kegiatan muamalah yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Ijarah, yang biasa kita kenal dengan sewa - menyewa, upah – mengupah sangat sering membantu
dalam kehidupan, karena dengan adanya ijarah, seseorang yang terkadang belum bisa membeli
benda untuk kebutuhan hidupnya, bisa diperoleh dengan cara menyewa, dan orang yang
mempunyai kelebihan harta namun tidak mempunyai tenaga, keahlian, waktu untuk melakukan
pekerjaan tersebut dapat mempekerjakan orang lain untuk pekerjaan tersebut sehingga terjadinya
kerja sama antara kedua belah pihak. Kegiatan ijarah ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan kita
sehari-hari baik dilingkungan keluarga maupun masyarakat sekitar kita.

Sebagai transaksi umum, ijarah memiliki aturan-aturan tertentu. Kebanyakan para pelaku ijarah saat
ini melakukan transaksi ini hanya berdasarkan kebiasaan saja, tanpa dasar hukum dan aturan-aturan
yang berlaku. Oleh karena itu, kita harus mengetahui landasan hukum ijarah, rukun dan syarat,
macam-macam ijarah dan semua yang berhubungan dengannya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana hukum dan aturan ijarah yang sesuai dengan landasan hukum Islam ?

2. Apa saja pembagian ijarah ?

3. Bagaimana rukun dan syarat ijarah ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui hukum dan aturan ijarah yang sesuai dengan landasan hukum Islam.

2. Untuk mengetahui pembagian ijarah.

3. Untuk mengetahui rukun dan syarat ijarah.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijarah

Menurut etimologi, ijarah adalah ‫(بيع المنفعة‬menjual manfaat). Demikian pula artinya menurut
terminologi syara’. Untuk lebih jelasnya, dibawah ini akan dikemukakan beberapa definisi ijarah
menurut pendapat beberapa ulama fiqih:[1]

1. Menurut Ulama Hanafiyah:

‫عقد على المنافع بعوض‬

Artinya:” Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti”.


2. Menurut Ulama Asy – Syafi’iyah:

‫معلومبعوض واالءباحة للبذل قابلة مباحة معلومة مقصودة منفعة على عقد‬

Artinya:” Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta
menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”

3. Menurut Ulama Malikiyah dan Hanabilah:

‫تمليك منافع شىء مباحة مدة معلومة بعوض‬

Artinya:” Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan
pengganti”.

Ada yang menerjemahkan, ijarah sebagai jual beli jasa (upah-mengupah), yakni mengambil manfaat
tenaga manusia, ada pula yang menerjemahkan sewa-menyewa, yakni mengambil manfaat dari
barang. Jadi ijarah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu ijarah atas jasa dan ijarah atas benda.

Akad ijarah identik dengan akad jual beli, namun demikian, dalam ijarah kepemilikan barang dibatasi
dengan waktu. Secara harfiah, al – ijarah bermakna jual beli manfaat yang juga merupakan makna
istilah syar’i. Al – ijarah bisa diartikan sebagai akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa
dalam batasan waktu tertentu, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan atas barang.[2]

B. Dasar Hukum Al – Ijarah[3]

Landasan hukum ijarah adalah sebagai berikut:

1. Al – Qur’an

)6 ‫فان ارضعن لكم فاتوهن اجورهن ( الطالق‬

Artinya: “Jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah mereka upahnya.”
(QS. Ath-Thalaq: 6)

2. As – Sunnah

)‫ (رواه ابن ماجه عن ابن عمر‬.‫اعطوا االجير اجره قبل ان يجف عرقه‬

Artinya: “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibn Majah dari Ibn Umar)

3. Ijma’

Umat Islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi
manusia.

Perlu diketahui bahwa tujuan disyariatkan al – ijarah adalah untuk memberi keringanan kepada
umat dalam pergaulan hidup. Banyak orang yang mempunyai uang, tetapi tidak dapat bekerja.
Dipihak lain banyak orang yang mempunyai tenaga atau keahlian yang membutuhkan uang. Dengan
adanya al- ijarah keduanya saling mendapatkan keuntungan dan kedua belah pihak saling
mendapatkan manfaat.

C. Rukun dan Syarat Ijarah


1. Rukun Ijarah

Menurut ulama Hanafiyah, rukun ijarah itu hanya satu, yaitu ijab dan qabul , yakni pernyataan dari
orang yang menyewa dan menyewakan. Lafal yang digunakan adalah lafal ijarah, isti’jar, ikhtira’, dan
ikra. Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun ijarah itu ada empat (4), yaitu:

a. ‘Aqid, yaitu mu’jir (orang yang menyewakan) dan musta’jir (orang yang menyewa),

b. Shighat, yaitu ijab dan qabul,

c. Ujrah (uang sewa atau upah), dan

d. Manfaat, baik mamfaat dari suatu barang yang disewa atau jasa dan tenaga dari orang yang
bekerja.[4]

2. Syarat Ijarah

Seperti halnya dalam akad jul beli, syarat – syarat ijarah juga terdiri atas empat jenis persyaratan,
yaitu:

a. Syarat Terjadinya Akad (Syarat In’iqad)

Syarat terjadinya akad (syarat in’iqad) berkaitan dengan ‘aqid,akad dan objek akad. Syarat yang
berkaitan dengan ‘aqid adalah berakal dan mumayyiz menurut Hanafiah, dan baligh menurut
Syafi’iyah dan Hanabilah. Dengan demikian, akad ijarah tidak sah apabila pelakunya (mu’jir dan
musta’jir) gila atau masih dibawah umur. Menurut Malikiyah, tamyiz merupakan syarat dalam sewa
– menyewa dan jual beli, sedangkan baligh merupakan syarat untuk kelangsungan (nafadz). Dengan
demikian, apabila anak yang mumayyiz menyewakan dirinya (sebagai tenaga kerja) atau barang yang
dimilikinya, maka hukum akadnya sah, tetapi untuk kelangsungannya menunggu izin walinya.

b. Syarat Kelangsungan Akad (Nafadz)

Untuk kelangsungan (nafadz) akad ijarah disyaratkan terpenuhinya hak milik atau wilayah
kekuasaan. Apabila si pelaku (‘aqid) tidak mempunyai hak kepemilikan atau kekuasaan (wilayah),
seperti akad yang dilakukan oleh fudhuli, maka akadnya tidak bisa dilangsungkan, dan menurut
Hanafiyah dan Malikiyah statusnya mauquf (ditangguhkan) menunggu persetujuan si pemilik barang.
Akan tetapi menurut Syafi’iyah dan Hanabilah hukumnya batal, seperti halnya jual beli.

c. Syarat Sahnya Ijarah

Untuk sahnya ijarah harus dipenuhi beberapa syarat yang berkaitan dengan ‘aqid (pelaku), ma’qud
‘alaih (objek), sewa atau upah (ujrah) dan akadnya sendiri. Syarat – syarat tersebut adalah sebagai
berikut:

1. Persetujuan kedua belah pihak, sama seperti dalam jual beli. Dasarnya adalah firman Allah
dalam Surah An-Nisa’ (4) ayat 29:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
bathil, kecuali dengan jalan perniagaan secara suka sama suka diantara kamu, dan janganlah kamu
membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.”

2. Objek akad yaitu manfaat harus jelas, sehingga tidak menimbulkan perselisihan. Kejelasan
tentang objek akad ijarah bisa dilakukan dengan menjelaskan:
· Objek manfaat. Penjelasan objek manfaat bisa dengan mengetahui benda yang disewakan.
Apabila seseorang mengatakan, “Saya sewakan kepadamu salah satu dari dua rumah ini”, maka akad
ijarah tidak sah, karena rumah mana yang akan disewakan belum jelas.

· Masa manfaat. Penjelasan tentang masa manfaat diperlukan dalam kontrak rumah tinggal
berapa bulan atau tahun, kios atau kendaraan, misalnya berapa hari disewa.

· Jenis pekerjaan yang harus dilakukan oleh tukang dan pekerja. Misalnya pekerjaan
membangun rumah sejak fondasi sampai terima kunci, dengan model yang tertuang dalam gambar.
Atau pekerjaan menjahit baju jas lengkap dengan celana, dan ukurannya jelas.

3. Objek akad ijarah harus dapat dipenuhi, baik menurut hakiki maupun syar’i. dengan demikian,
tidak sah menyewakan sesuatu yang sulit diserahkan secara hakiki, seperti menyewakan kuda yang
binal untuk dikendarai. Atau tidak bisa dipenuhi secara syar’i, seperti menyewa tenaga wanita yang
sedang haid untuk membersihkan masjid, atau menyewa dokter untuk mencabut gigi yang sehat,
atau menyewa tukang sihir untuk mengajar ilmu sihir.

4. Manfaat yang menjadi objek akad harus manfaat yang dibolehkan oleh syara’. Misalnya
menyewa buku untuk dibaca, dan menyewa rumah untuk tempat tinggal. Dengan demikian, tidak
boleh menyewakan rumah untuk tempat maksiat, seperti perjudian atau pelacuran, atau menyewa
orang untuk membunuh orang lain, atau menganiayanya karena dalam hal ini berarti mengambil
upah untuk perbuatan maksiat.

5. Pekerjaan yang dilakukan itu bukan fardhu dan buka kewajiban orang yang disewa (ajir)
sebelum dilakukannya ijarah. Hal tersebut karena seseorang yang melakukan pekerjaan yang wajib
dikerjakannya, tidak berhak menerima upah atas pekerjaan itu. Dengan demikian, tidak sah
menyewakan tenaga untuk melakukan perbuatan – perbuatan yang sifatnya taqarrub dan taat
kepada Allah, seperti shalat, puasa, haji, menjadi iman, adzan dan mengajarkan al-Qur’an, karena
semuanya itu mengambil upah untuk pekerjaan yang fardhu dan wajib. Pendapat ini disepakati oleh
Hanafiah dan Hanabilah. Akan tetapi ulama mutaakhirin dari Hanafiah mengecualikan dari ketentuan
tersebut dalam hal mengajarkan al-Qur’an dan ilmu – ilmu agama. Mereka membolehkan
mengambil upah untuk pekerjaan tersebut dengan menggunakan istihsan. Apabila tidak ada orang
yang mengajarkan al-Qur’an dan ilmu –ilmu agama karena kesibukan mencari nafkah dengan bertani
atau berdagang misalnya, maka al-Qur’an dan ilmu – ilmu agama akan hilang dan masyarakat akan
bodoh. Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa ijarah untuk mengajarkan al-Qur’an hukumnya
boleh. Disamping mengajrkan al-Qur’an, Malikiyah juga membolehkan mengambil upah untuk adzan
beserta imam dan mengurus masjid, tidak untuk shalatnya, sebagaimana mereka dan Syafi’iyah
membolehkan ijarah untuk haji, sesuai dengan perintah Rasulullah SAW kepada salah seorang
sahabat untuk melakukan haji bagi orang lain. Syafi’iyah juga membolehkan ijarah untuk haji,
memandikan mayit, menalkinkan, dan menguburkannya. Abu Hanifah tidak membolehkan
mengambil upah untuk memandikan mayit, tetapi ia membolehkan ijarah untuk menggali kubur dan
memikul jenazah.

6. Orang yang disewa tidak boleh mengambil manfaat dari pekerjaannya untuk dirinya sendiri.
Apabila ia memanfaatkan pekerjaan untuk dirinya sendiri maka ijarah tidak sah.

7. Manfaat ma’qud ‘alaih harus sesuai dengan tujuan dilakukannya akad ijarah, yang biasa berlaku
umum.

Adapun syarat – syarat yang berkaitan dengan upah (ujrah) adalah sebagai berikut:
1. Upah harus berupah mal muttaqawwim yang diketahui. Syarat mal muttaqawwim diperlukan
dalam ijrah, karena upah (ujrah) merupakan harga atas manfaat, sama seperti harga barang dalam
jual beli. Sedangkan syarat upah harus diketahui, sesuai hadis Nabi SAW : “Dari Abi Sa’id r.a bahwa
sesungguhnya Nabi SAW bersabda : Barang siapa yang menyewa tenaga kerja hendaklah ia
menyebutkan baginya upahnya.”

2. Upah atau sewa tidak boleh sama dengan jenis manfaat ma’qud ‘alaih misalnya menyewa
rumah untuk tempat tinggal dibayar dengan tempat tinggal rumah si penyewa, menyewa kendaraan
dengan kendaraan. Ini pendapat Hanafiah. Akan tetapi, Syafi’iyah tidak memasukan syarat ini
sebagai syarat untuk ujrah.

d. Syarat Mengikatnya Akad Ijarah (Syarat Luzum)

1. Benda yang disewakan harus terhindar dari cacat (‘aib) yang menyebabkan terhalangnya
pemanfaatan atas benda yang disewakan itu. Apabila terdapat suatu cacat (‘aib) yang demikian
sifatnya, maka orang yang menyewa (musta’jir) boleh memilih antara meneruskan ijarah dengan
pengurangan uang sewa dan membatalkannya. Misalnya sebagian rumah yang akan disewa runtuh,
kendaraan yang dicarter rusak atau mogok.

2. Tidak terdapat udzur (alasan) yang dapat membatalkan ijarah. Misalnya udzur pada salah
seorang yang melakukan akad atau pada sesuatu yang disewakan. Apabila terdapat udzur, baik pada
pelaku maupun pada ma’qud ‘alaih, maka pelaku berhak membatalkan akad, ini menurut Hanafiah.
Akan tetapi menurut jumhur ulama, akad ijarah tidak batal karena adanya udzur, selama objek akad
yaitu manfaat tidak hilang sama sekali.

D. Sifat Ijarah dan Hukumnya

1. Sifat Ijarah

Ijarah menurut Hanafiah adalah akad yang lazim, tetapi boleh di fasakh apabila terdapat udzur,
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Sedangkan menurut jumhur ulama,ijarah adalah akad
yang lazim (mengikat), yang tidak bisa di fasakh kecuali dengan sebab – sebab yang jelas, seperti
adanya ‘aib (cacat) atau hilangnya objek manfaat.

Menurut Hanafiah bahwa ijarah batal karena meninggalnya salah seorang pelaku akad, yakni
musta’jir atau mu’jir. Karena apabila akad ijarah masih tetap maka manfaat yang dimiliki oleh
musta’jir atau uang sewa yang dimiliki oleh mu’jir berpindah kepada orang lain (ahli waris) yang
tidak melakukan akad, hal ini tidak dibolehkan. Sedangkan menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan
Hanabilah, ijarah tidak batal karena meninggalnya salah seorang pelaku akad, karena ijarah
merupakan akad yang lazim (mengikat) dan akad mu’awadhah sehingga tidak bisa batal karena
meninggalnya salah satu pihak.

2. Hukum Ijarah

Akibat hukum dari ijarah yang shahih adalah tetapnya hak milik atas manfaat bagi musta’jir
(penyewa), dan tetapnya hak milik atas uang sewa atau upah bagi mu’jir (yang menyewakan). Hal ini
karena akad ijarah adalah akad mu’awadhah, yang disebut dengan jual beli manfaat.

Dalam ijarah fasidah, apabila musta’jir telah mengunakan barang yang disewa maka ia wajib
membayar uang sewa yang berlaku (ujratul mitsli). Dalam ijarah fasidah upah atau uang sewa harus
dibayar penuh, menurut imam Zufar dan Syafi’i, seperti halnya dalam jual beli.
E. Macam – Macam Ijarah dan Hukumnya[5]

Ijarah ada dua macam :

1. Ijarah atas manfaat, disebut juga sewa menyewa. Dalam ijarah ini, objek akadnya adalah
manfaat dari suatu benda.

2. Ijarah atas pekerjaan, disebut juga upah mengupah. Dalam ijarah ini, objek akadnya amal atau
pekerjaan seseorang.

a. Hukum ijarah atas manfaat (sewa menyewa)

Akad sewa menyewa dibolehkan atas manfaat yang mubah, seperti rumah untuk tempat tinggal,
took dan kios untuk tempat berdagang. Adapun manfaat yang diharamkan maka tidak boleh
disewakan, karena barangnya diharamkan, seprti bangkai dan darah.

1. Cara Menetapkan Hukum Akad Ijarah

Menurut Hanifah dan Malikiyah, ketetapan hukum akad ijarah (sewa menyewa) berlaku sedikit demi
sedikit atau setahap demi setahap, sesuai dengan timbulnya objek akad yaitu manfaat. Hal itu
karena manfaat dari suatu benda yang disewa tidak bisa dipenuhi sekaligus, malainkan sedikit demi
sedikit. Akan tetapi, Syafi’iyah dan Hanabilah, ketetapan hukum akad ijarah (sewa menyewa) itu
berlaku secara kontan sehingga masa sewa dianggap seolah – olah seperti benda yang tampak.

· Hubungan antara uang sewa dengan akad

Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, uang sewa (ujrah) dapat dimiliki dengan semata – mata telah
dilakukannya akad, karena ijarah adlah akad mu’awadhah, yang apabila dikaitkan dengan syarat,
secara otomatis menimbulkan hak milik atas kedua imbalan (manfaat dan sewa) begitu akad selesai,
persis timbulnya hak milik dalam jaul beli.

Menurut Hanifah dan Malikiyah, uang sewa tidak bisa dimiliki hanya semata – mata dengan akad
saja, melaikan diperoleh sedikit demi sedikit sesuai dengan manfaat yang diterima. Dengan
demikian, mu’jir (orang yang menyewakan) tidak bisa menuntut uang sewa sekaligus, melainkan
berangsur sehari demi sehari.

· Penyerahan barang yang disewakan setelah akad

Menurut Hanifah dan Malikiyah, mu’jir (orang yang menyewakan) diwajibkan untuk menyerahkan
barang yang disewakan kepada musta’jir (penyewa) setelah dilakukan akad, dan ia (mu’jir) tidak
boleh menahannya dengan tujuan untuk memperoleh pembayaran uang sewa. Menurut mereka
upah ini tidak wajib dibayar hanya semata – mata karena akad, melainkan karena diterimanya
manfaat, sedangkan pada waktu akad manfaat itu belum ada. Manfaat baru diterima sedikit demi
sedikit setelah barang yang disewa mulai digunakan.

· Ijarah dikaitkan dengan masa yang akan datang

Menurut Hanifah, Malikiyah dan Hanabilah, ijarah boleh disandarkan kepada masayang akan datang.
Misalnya, kata orang yang menyewakan : “Saya sewakan rumah ini kepada anda selama satu tahun,
dimulai bulan Januari 2008” sedangkan akad dilakukan pada bulan November 2007. Akan tetapi,
menurut Syafi’iyah, ijarah tidak boleh disandarkan pada masa yang akan datang. Hal ini karena
iajarah merupakan jual beli atas manfaat yang dianggap ada pada waktu akad.

2. Cara Memanfaatkan Barang Sewaan


· Sewa rumah, toko dan semacamnya

Apabila seseorang menyewa rumah, toko atau kios, maka ia boleh memanfaatkannya sesuai dengan
kehendaknya, baik dimanfaatkan sendiri, atau untuk orang lain, bahkan boleh disewakan lagi, atau
dipinjamkan kepada orang lain.

· Sewa tanah

Dalam sewa tanah, harus dijelaskan tujuannya, apakah untuk pertanian dan disebutkan pula jenis
yang ditanamnya, seperti bayam, padi, jagung atau lainnya, bangunan bengkel, atau warung dan
sebgainya. Apabila tujuannya tidak dijelaskan, maka ijarah menjadi fasid. Hal ini karena manfaat dari
tanah berbeda – beda, sesuai dengan perbedaan bangunan, tanaman dan jenisnya.

· Sewa kendaraan

Dalam menyewa kendaraan, baik hewan maupun kendaraan lainnya, harus dijelaskan salah satu dari
dua hal, yaitu waktu dan tempat. Demikian pula barang yang akan dibawa, dan benda atau orang
yang akan diangkut harus dijelaskan, karena semuanya itu nantinya akan berpengaruh kepada
kondisi kendaraannya.

3. Memperbaiki Barang Sewaan

Menurut Hanifah, apabila barang yang disewa mengalami kerusakan,seprti pintu yang rusak atau
tembok yang roboh dan lain – lainnya maka yang berkewajiban memperbaikinya adalah pemiliknya,
bukan penyewa. Hai tersebut karena barang yang disewakan itu milik mu’jir. Apabila musta’jir
melakukan perbaikan tanpa persetujuan mu’jir maka perbaikan tersebut dianggap sukarela. Akan
tetapi, apabila perbaikan tersebut atas permintaan dan persetujuan mu’jir maka biaya perbaikan
bisa diperhitungkan sebagai beban yang hrus diganti oleh mu’jir.

4. Kewajiban Penyewa Setelah Selesainya Akad Ijarah

Apabila masa sewa telahhabis, maka kewajiban penyewa adalah sebagai berukut :

1. Penyewa (musta’jir) harus menyerahkan kunci rumah atau took kepada pemiliknya (mu’jir).

2. Apabila yang disewakan itu kendaraan, maka penyewa (musta’jir) harus mengembalikan
kendaraan yang telah disewanya ke tempat aslanya.

b. Hukum Ijarah Atas Pekerjaan (Upah – mengupah)

Ijarah atas pekerjaan atau upah – mengupah adalah suatu akad ijarah untuk melakukan suatu
perbuatan tertentu. Misalnya membangun rumah, menjahit pakaian, mengangkut barang ke tempat
tertentu dan sebagainya. Orang yang melakukan pekerjaan disebut ajir atau tenaga kerja.

Ajir atau tenaga kerja ada dua macam yaitu :

1. Ajir ( kerja) khusus, yaitu orang yang bekerja pada satu orang untuk masa tertentu. Dalam hal
ini ia tidak boleh bekerja untuk orang lain selain orang yang memperkerjakannya. Contohnya
seorang yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada orang tertentu.

2. Ajir (tenaga kerja) musytarak, yaitu orang yang bekerja untuk lebih dari satu orang, sehingga
mereka bersekutu di dalam memanfaatkan tenaganya. Contohnya tukang jahit, notaries dan
pengacara. Hukum adalah (ajir musytarak) boleh bekerja untuk semua orang, dan orang yang
menyewa tenaganya tidak boleh melarangnya bekerja kepada orang lain.

F. Tanggungjawab Ajir dan Gugurnya Upah Karena Rusaknya Barang

1. Tanggung jawab Ajir

Para ulama mazhab empat sepakat bahwa ajir khas tidak dibebani ganti kerugian karena kerusakan
barang yang diserahkan kepadanya yang berkaitan dengan pekerjaannya. Hal tersebut dikarenakan
ia sebagai pemegang amanah. Menurut Iman Abu Hanifah, Zufar, Hasan bin Zayyad, Hanabilah, dan
Syafi’I dalam qaul yang shahih, ajir musytakat sama dengan ajir khas. Ia tidak dibebani ganti kerugian
atas kerusakan barang yang ada ditangannya, kecuali apabila tindakannya melampaui batas atau
teledor. Sedangkan menurut Abu Yusuf dan Mehammad bin Hasan serta Ahmad dalam salah satu
pendapatnya, ajir musytarak dibebani ganti kerugian atas kerusakan barang yang berada
ditangannya, walaupun kerusakan tersebut bukan karena keteledoran atau tindakan yang
melampaui batas.

2. Perubahan dari Amanah Menjadi Tanggung Jawab

a. Ajir tidak menjaga barang tersebut dengan baik. Dalam hal ini apabila barang tersebut rusak
atau hilang, maka ia (ajir) wajib menggantinya

b. Ajir melakukan perbuatan yang merusak barang dengan sengaja

c. Musta’jir menyalahi syarat-syarat mu’jir, yakni musta’jir menyalahi pesanan mu’jir, baik dalam
jenis barang, kadar atau sifatnya, tempat atau waktunya. Misalnya menyewa kendaraan, berat
badannya melebihi yang disepakati, misalnya yang disepakati satu ton, kenyataan yang diangkut dua
ton sehingga kendaraan menjadi rusak.

3. Gugurnya Upaya karena Rusaknya Barang

a. Apabila barang ada ditangan ajir, maka terdapat dua kemungkinan :

1) Apabila pekerjaan ajir sudah kelihatan hasilnya atau bekasnya pada barang,seperti pada
jahitan, maka upah harus diberikan dengan diserahkannya hasil pekerjaan yang dipesan. Apabila
barang rusak di tangan ajir sebelum diserahkan maka upah menjadi gugur, karena hasil pekerjaan
yang dipesan, yaitu baju yang dijahit tidak diserahkan sehingga upah sebagai imbalannya juga tidak
diberikan.

2) Apabila pekerjaan ajir tidak kelihatan bekasnya pada barang, seperti mengangkut barang,maka
upah harus diberikan saat pekerjaannya telah selesai dilaksanakan,walaupun barang tidak sampai di
serahkan pada pemiliknya. Hal ini di karenkan imbalan yaitu upah mengimbangi pekerjaan,sehingga
apabila pekerjaan telah selesai maka otomatis upah harus dibayar.

b. Apabila barang ada dikamar musta’jir, dimana ia bekerja ditempat penyewa (musta’jir) maka ia
(ajir) berhak menerima upah setelah menyelesaikan pekerjaannya. Apabila pekerjaannya tidak
selesai seluruhnya melainkan hanya sebagian saja maka ia berhak menerima upah sesuai dengan
kadar pekerjaan yang telah di selesaikan.

G. Berakhirnya Akad Ijarah

Akad ijarah akan berakhir karena hal – hal sebagai berikut :


1. Meninggalnya salah satu pihak yang melakukan akad. Ini menurut pendapat Hanafiah.
Sedangkan menurut jumhur ulama, kematian salah satu pihak tidak mengakibatkan fasakh atau
berakhirnya akad ijarah. Hal tersebut dikarenakan ijarah merupakan akad yang lazim, seperti halnya
jual beli, dimana musta’jir memiliki manfaat atas barang yang disewa dengan sekaligus sebagai hak
milik yang tetap, sehingga bisa berpindah ke ahli waris.

2. Iqalah, yaitu pembatalan oleh kedua belah pihak. Hal ini karena ijarah adalah akad
mu’awadhah (tukar – menukar), harta dengan harta sehingga memungkinkan untuk dilakukan
pembatalan (iqalah).

3. Rusaknya barang yang disewakan, sehingga ijarah tidak mungkin untuk diteruskan.

4. Telah selesainya masa sewa, kecuali adanya udzur. Misalnya, sewa tanah untuk ditanami, tetapi
ketika masa sewa sudah habis, tanaman belum bisa dipanen. Dalam hal ini ijarah dianggap belum
selesai.[6]

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ijarah adalah hak untuk
memanfaatkan barang/jasa dengan membayar imbalan tertentu. Ada yang menerjemahkan, ijarah
sebagai jual beli jasa (upah-mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang
menerjemahkan sewa-menyewa, yakni mengambil manfaat dari barang.

Transaksi ijarah di landasi adanya pemindahan manfaat (hak guna), bukan pemindahan kepemilikan
(hak milik). Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama dengan prinsip jual beli.

B. Saran

Penyusun makalah menyarankan supaya akad ijarah yang dilaksanakan dalam masyarakat harus
sesuai dengan ketentuan hukum Islam, baik al-Qur’an, Hadits maupun Ijma’ para ulama, sehingga
ketika adanya perselisihan, ijarah dapat diselesaikan dengan ketentuan hukum tersebut. Semoga
dengan adanya akad ijarah ini, kegiatan muamalah manusia dapat berjalan dengan baik, orang kaya
akan memberikan sebagian hartanya untuk mengupah orang miskin yang kurang mampu yang
memiliki keahlian terhadap suatu pekerjaan dan sebagainya.

[1] Prof. DR. Rachma Syafe’i, MA. “Fiqh Muamalah”. Bandung: Pustaka Setia, 2004. Halm.121-122

[2] Dimyauddin Djuwaini, “Pengantar Fiqh Muamalah”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Halm. 153

[3] Prof. Dr. H. Hendi Suhendi. “Fiqh Muamalah”. Jakarta: Rajawali Pers, 2011. Halm. 116-117

[4] Prof. Dr. H. Abdul Rahman Ghazaly, MA. “Fiqh Muamalat”. Jakarta: Prenadamedia Group, 2010.
Halm. 278

[5] Drs. H. Ahmad Wardi Muslich. “Fiqh Muamalat”. Jakarta: Amzah, 2015. Halm. 329-334
[6] Ibid halm. 338

Anda mungkin juga menyukai