Anda di halaman 1dari 11

KETERIKATAN TERHADAP HUKUM SYARA

Seluruh amal perbuatan manusia, tidak memiliki suatu status hukum sebelum
datangnya pernyataan dari Syariat. Amal itu tidak tergolong wajib, sunnah, haram,
makruh, atau pun mubah. Manusia boleh melakukan amal itu sesuai dengan
pengetahuannya dan berdasarkan pandangan atas kemaslahatan manusia. Sebab, tidak
ada taklif (beban hukum) sebelum sampai pernyataan syara. Allah SWT berfirman:

(Dan) Kami tidak akan mengadzab suatu kaum sebelum Kami mengutus seorang Rasul.
(QS. Al-Israa: 15)
Berdasarkan ayat tersebut dapat ditarik suatu pemahaman, bahwa Allah SWT
memberikan jaminan bahwa tidak akan datang adzab, kepada hamba-Nya atas
perbuatan yang mereka lakukan, sebelum diutusnya seorang Rasul kepada mereka. Jadi
mereka tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang mereka lakukan.
Sebab, mereka tidak terbebani oleh satu hukum pun.
Hanya saja, tatkala Allah SWT mengutus seorang Rasul kepada mereka, atau
telah sampai kepada suatu kaum, penjelasan syara, maka terikatlah mereka dengan
risalah yang dibawa oleh Rasul tersebut. Allah SWT berfirman:

(Mereka Kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah
diutusnya Rasul-rasul itu.
(QS. An-Nisaa: 165)
Dengan demikian, siapa pun yang tidak beriman kepada Rasul tersebut, pasti ia
akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak, tentang ketidakimanannya
dan ketidakterikatannya terhadap hukum-hukum yang dibawa Rasul tersebut. Begitu
pula bagi yang beriman kepada Rasul serta mengikatkan diri pada hukum yang
dibawanya ia pun akan dimintai pertanggungjawaban terhadap penyelewengan sebagian
hukum-hukum yang dibawa Rasul tersebut.
Dan berdasarkan kaidah syara Asal dari perbuatan (manusia) terikat dengan
hukum syara. Maka untuk itu seluruh kaum muslimin diperintahkan melakukan amal
perbuatannya sesuai dengan hukum Islam, karena kewajiban atas mereka untuk
menyesuaikan amal perbuatannya dengan segala perintah dan larangan Allah SWT. Allah
Swt berfirman:

... apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah... (QS. Al-Hasyr: 7)
Tidak berarti dikatakan disini, bahwa barang siapa yang tidak datang kepadanya
suatu perintah atau larangan dari Rasul secara langsung (karena masa Rasulullah saw
telah lewat) maka ia tidak termasuk mukallaf (orang yang terbebani hukum). Tidak dapat
dikatakan demikian, sebab beban hukum menurut syara adalah aam (bersifat umum),
sebagaimana umumnya risalah untuk seluruh manusia. Selain itu tidak dapat dinyatakan
dengan suatu pengertian bahwa ada perbuatan-perbuatan tersebut yang lolos dari
hukum Syariat. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:

Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku (Muhammad) adalah utusan Allah untuk
kamu semua.
(QS. Al-Araf: 158)

Hukum Asal Perbuatan Terikat Hukum Syara


Perbuatan adalah apa-apa yang dilakukan manusia berupa aktivitas, baik
ucapan atau perbuatan untuk memenuhi kebutuhannya.
Hukum syara didefinisikan sebagai seruan asy-syaari (pembuat hokum, Allah) yang
berkaitan dengan perbuatan manusia. Hukum syara hanya ditunjukan kepada
perbuatan, tanpa memperhatikan benda yang berkaitan dengan perbuatan tersebut.
Ulama yang menelusuri/mendalami nash-nash dan hukum-hukum syara,
mendapati bahwa syara telah membatasi hukum-hukum terhadap perbuatan dengan
lima macam status yaitu wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah.
Penentuan hukum perbuatan itu mubah, sunnah, makruh, wajib dan haram
harus didasarkan pada (adanya) dalil sami (dalil yang sampai pada kita melalui riwayat)
tentang hukum-hukum tersebut. Tidak adanya dalil sami tidak mungkin menetapkan
suatu hukumn hukum atas perbuatan dan tidak mungkin menetapkan suatu hukum atas
perbuatan tersebut mubah, haram, makruh, sunnah dan wajib kecuali setekah diketahui
adanya dalil sami yang menetapkannya. Ini bukan berarti meninggalkan tuntutan untuk
mencari hukum Allah atas perbuatan tersebut, dan membatalkan hukum syara atau
meninggalkan tugas dan kewajiban hidup dengan alasan tidak mengetahui hukum Allah,
karena semuanya ini tidak dibenarkan oleh hukum syara. Akan tetapi perbuatan
manusia membutuhkan pengetahuan tentang hukum Allah, yaitu diwajibkannya mencari
dalil-dalil syari dan menyesuaikan dalil-dalil dengan fakta tersebut sehingga dapat
diketahui hukum Allah atas perbuatan tersebut, apakah haram, wajib, sunnah, makruh
atau mubah. Hal ini disebabkan tolok ukur perbuatan bagi seorang muslim berupa
perintah dan larangan. Allah yang telaah mewajibkan seorang muslim untuk mengetahui
terlebih dahulu hukum Allah atas perbuatan yang akan dilakukannya, apakah mubah,
sunnah, makruh, haram atau wajib. Jadi setiap perbuatan mesti berkait dengan hukum
yang lima tadi, antara haram, makruh, mubah, sunnah atau wajib. Dan setiap perbuatan

yang akan dilakukan seorang muslim harus diketahui lebih dahulu hukumnya, karena
Allah akan meminta tanggung jawab atas setiap perbuatannya. Sebagaimana firman
Allah:

(93)92( ( 92)92(

Maka demi Rabbmu, pasti kami akan menanyakan (menghisab) mereka tentang apa
yang mereka kerjakan dahulu. (QS. Al Hijr: 92-93)



Kami tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat Al Quran dan
kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan melainkan Kami menjadi saksi atasmu di
waktu kamu melakukannya.
(QS. Yunus: 61)
Yang dimaksud dengan Kami mejadi saksi dalam ayat di atas, berupa
pemberitahuan dari Allah kepada hamba-Nya bahwa Dia menyaksikan perbuatan mereka
dan bahwa Dia akan menghisab dan menanyakan mereka. Rasulullah saw pun
menjelaskan tentang wajibnya melakukan perbuatan sesuai dengan hukum Allah (hukum
Islam) dengan sabdanya:
Barang siapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak didasarkan perintah kami,
maka tertolak
Dari sini maka jelaslah bahwa setiap perbuatan merupakan hukum syara yang
wajib bagi seseorang untuk mencari dalil syara yang berkaitan dengan perbuatanperbuatan itu sebelum dilakukan. Ditetapkannya status hukum suatu perbuatan sebagai
mubah, makruh, wajib, sunnah atau haram ditentukan dari adanya dalil sami bagi
hukum tersebut, yaitu dalil yang bersumber dari Al Quran, Sunnah, Ijma (sahabat) dan
qiyas.

Asal Hukum Benda Adalah Ibahah (Mubah)


Benda adalah segala sesuatu yang dimanfaatkan, pada hakikatnya berbeda
dengan perbuatan. Perbuatan manusia selalu berhubungan dengan atau menggunakan
sesuatu agar kebutuhannya terpenuhi, seperti makan, minum, berjalan, berdiri dan
sebagainya, yang kesemuanya itu termasuk dalam kategori perbuatan/tindakan.
Sedangkan jual beli, sewa menyewa, perwakilan, jaminan dan lain-lain termasuk
kelompok perbuatn berupa ucapan.

Kedua jenis perbuatan tersebut berhubungan dengan sesuatu/materi yang


digunakan. Misalnya, perbuatan makan berhubungan dengan benda-benda seperti roti,
apel, daging babi dan lain-lain. Seluruh benda mempunyai status hukum syara,
sebagaimana dengan perbuatan.
Mengenai benda, ulama yang menelusuri nash-nash syara akan mengetahui
bahwa Allah menentukan sifat atas benda dengan halal dan haram saja, bukan dengan
sebutan wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram. Allah menjadikan halal atau haram
sebagai sifat atas sesuatu/benda sebagaimana firman Allah SWT:

Katakanlah: Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan oleh Allah


kepadamu, lalu kamu menjadikan sebagiannya haram dan (sebagaian lainnya) halal."
(QS. Yunus: 59)

(Dan) janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu
secara dusta, ini halal dan ini haram. (QS. An Nahl: 116)
Dan surat-surat lain, seperti Al Baqarah: 173; Al Anam: 146; Al Araf: 157; At Tahrim: 1.
Nash-nash tersebut diatas menentukan bahwa benda hanya memiliki dua
alternatif status hukum, yaitu halal atau haram, tidak ada status yang ketiga, dan tidak
ada alternatif status selain itu.
Menghalalkan atau mengharamkan suatu benda merupakan urusan Allah. Tidak
boleh seorang pun turut campur dengan-Nya dalam menentukan halal dan haram. Halal
dan haran adalah dua sifat yang salah satunya pasti ada untuk setiap benda yang diindra,
yang diciptakan oleh Allah SWT, seperti benda yang dapat dimakan, dipakai (pakaian),
dikendarai, didiami, yang dapat digunakan ataupun yang tidak dapat digunakan.
Allah membolehkan kita memanfaatkan segala sesuatu/benda yang ada, yang
diperoleh manusia dari usahanya. Allah hanya mengecualikan dari yang umum itu
sebagian kecil benda yang diharamkan-Nya melalui nash secara khusus. Hukum ibahah
(mubah) dapat dipahami dari nash-nash syara secara global (mujmal) membolehkan
segala sesuatu seperti firman Allah SWT:

Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk (dimanfaatkan oleh)
kamu.
(QS. Al Baqarah: 29)
Ada pula penentuan mubah dengan lafadz yang bersifat umum misalnya:

Tidak kamu memperhatikan sesungguhnya Allah mengadakan untuk (kepentinganmu)


apa yang ada di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmatNya lahir dan batin.
(QS. Lukman: 20)
Sedangkan nash lainnya ada yang bersifat umum sekaligus memberikan
perinciannya, seperti surat-surat ini: Al Baqarah: 22; Ibrahim: 32-34; Qaaf: 9-11; Al Araf:
32; Al Baqarah: 173; dan Al Anam: 145.
Ayat-ayat diatas menunjukan bahwa Allah SWT membolehkan segala sesuatu
yang ada untuk manusia. Adapun yang dilarang adalah pengecualian, yang ditetapkan
dengan nash secara khusus. Oleh karena itu hukum asal dari segala sesuatu/benda
adalah mubah.

Hukum Bagi Masalah Baru


Masalah syariat tidak datang dengan hukum-hukum secara terperinci mengenai
suatu masalah, sehingga manusia merasa cukup dengan hukum-hukum secara terperinci
tersebut. Tetapi Islam datang dengan makna-makna umum (khuthuthun aridhoh/garis
global) yang terkait dengan problema hidup manusia; yaitu dengan melihat manusia
sebagai manusia, sehingga tidak terikat dengan waktu dan kondisi/tempat. Kemudian
mengalirlah dibawah makna-makna umum tersebut berbagai makna cabang yang lain.
Jika muncul suatu permasalahan atau kejadian baru, maka ia harus dikaji dan
difahami. Kemudian, dilakukan istinbath hukum (penggalian status hukum) dari dalildalil yang bersifat umum yang terkandung dalam syariat maka jadilah hasil istinbath dari
suatu pendapat sebagai satu hukum Allah dalam masalah tersebut.
Kaum muslimin melakukan istinbath sejak wafatnya Rasulullah saw, sehingga
lenyapnya kekhalifahan Islam di muka bumi ini. Kaum muslimin tidak pernah berhenti
mengikatkan diri mereka kepada syariat Islam dalam kehidupan mereka. Di masa Abu
Bakar ra muncul permasalahan-permasalahan baru yang tidak dijumpai pada zaman
Rasulullah saw, begitu pula telah muncul permasalahan-permasalah baru di masa
khalifah Harun Al-Rasyid yang tidak ditemui di zaman Abu Bakar ra. Di sini para
mujtahidin berusaha menggali status hukum terhadap ratusan bahkan ribuan masalah
yang sebelumnya belum pernah ditemukan.
Demikianlah kaum muslimin telah melaksanakan syariat Islam dalam setiap
masalah dan kejadian, karena syariat Islam telah mencakup seluruh perbuatan manusia,
tidak satu pun masalah yang terjadi kecuali ada pemecahan hukumnya menurut Islam.
Oleh karena itu wajib bagi setiap muslim untuk senantiasa mengaitkan seluruh
perbuatannya dengan hukum syariat Islam, serta tidak melakukan suatu perbuatan
kecuali jika sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT.

Hukum Tentang Perbuatan Manusia

Hukum Syara' adalah khitaabus-syaari (seruan pembuat hokum, Allah dan


Rasul-Nya) yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia. Hukum Syariat ditetapkan
berdasarkan adanya khithab (seruan) tersebut, sedang kejelasannya tergantung pada
jelasnya makna dari suatu khithab. Khithab Syari adalah apa-apa yang terdapat dalam
Al-Quran dan As-Sunnah yang berupa perintah dan larangan (kisah, riwayat dan
sejenisnya tidak termasuk dalam pengertian hukum syari). Oleh karena itu pemahaman
terhadap hukum syara sangat bertumpu pada pemahaman terhadap Al-Quran dan AsSunnah, sebab keduanya merupakan sumber tasyri.
Dengan memahami jenis khithab-nya maka tidak setiap khithab syari itu wajib
dilaksanakan dan disiksa bila meninggalkannya atau haram melakukannya dan mendapat
siksa bila dikerjakannya. Oleh karenanya, merupakan suatu perbuatan dosa dan
kelancangan terhadap Dienullah, bila seseorang tergesa-gesa mencari penjelasan hukum
bahwa hal itu adalah fardlu dengan hanya membaca satu ayat atau hadits yang
menerangkan adanya tuntutan untuk melakukannya. Pada masa sekarang ini banyak
kaum muslimin yang terjerumus ke dalam hal-hal tersebut. Yakni mereka terburu-buru
menghalalkan atau mengharamkan suatu perkara, hanya membaca satu perintah atau
larangan di dalam ayat Al-Quran dan hadits. Hal ini jarang terjadi pada orang-orang yang
memahami makna tasyri. Karenanya merupakan kewajiban bagi kaum muslimin untuk
memahami jenis khithab sebelum mengeluarkan pendapatnya yang menyangkut
penunjukan jenis hukum syara.

Memahami Makna Khithab


Memahami makna ayat atau hadits haruslah dengan pemahaman secara tasyri
dan bukan pemahaman secara lughowiyah (bahasa) saja. Dengan demikian seorang
muslim tidak akan melakukan kelancangan dan kesalahan. Mengharamkan yang telah
dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah. Misalnya firman Allah
SWT:

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari
kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan
Rasul-Nya... (QS. At-Taubah: 29)
Dari ayat ini sesungguhnya Allah telah memerintahkan jihad dan perintah
tersebut adalah wajib, Allah akan menyiksa bila meninggalkannya. Namun hukum
wajib/fardhu tersebut tidak muncul hanya karena adanya bentuk perintah (amar) saja,
melainkan juga adanya isyarat-isyarat (qarinah) lain yang menunjukkan bahwa perkara
ini menuntut suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Qarinah yang dimaksud
misalnya nash-nash yang lain seperti firman Allah berikut ini:

(Dan) jika kamu tidak pergi berperang, maka Allah akan mengadzab kamu dengan
adzab yang pedih (QS. At-Taubah: 39)
Demikian pula mengenai haramnya zina, Allah berfirman:

...

Janganlah kamu mendekati zina... (QS. Al-Israa: 32)

Dari sini sesungguhnya Allah telah melarang perbuatan zina, dimana Allah akan
menyiksa para pelakunya dari perbuatan tersebut. Walaupun demikian, status hukum
haram tersebut tidak muncul hanya karena sighot nahy (bentuk larangan) dalam ayat itu
saja, melainkan juga berdasarkan isyarat-isyarat (qarinah) lain yang merupakan nashnash lain misalnya firman Allah SWT:

...

... sesungguhnya (zina) itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang
buruk.
(QS. Al-Isra: 32)

Perempuan yang berzina dan lelaki yang berzina maka deralah tiap-tiap orang dari
keduanya seratus kali dera (QS. An-Nuur: 2)
Begitu pula hukum-hukum yang diambil dari hadits Rasullullah saw, misalnya
ketika Rasulullah bersabda:
Shalat berjamaah itu lebih afdol dari shalat sendiri dengan kelebihan dua puluh tujuh
derajat
(HR. Imam Malik, Imam Ahmad dll.)
Sesungguhnya Rasul memerintahkan shalat berjamaah, meskipun tuntutan
tersebut tidak berbentuk perintah. Begitu pula dalam sabdanya yang lain:
Aku pernah mencegah kalian untuk berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah
karena hal itu akan mengingatkan kepada kematian (HR. Al-Hakim)
Hadits tersebut memerintahkan untuk ziarah kubur, akan tetapi perintah dalam
kedua hadits itu bentuknya sunnah dan bukan fardlu. Hukum sunnah tersebut tidak akan
ditetapkan sebelum adanya isyarat yang lain, misalnya diamnya Rasulullah terhadap
orang yang tidak ziarah kubur. Jadi isyarat tersebutlah yang menunjukkan bahwa
tuntutan itu tidak bersifat wajib. Dalam sabdanya yang lain, beliau bersabda:

Siapa saja yang mampu tetapi tidak menikah, maka ia tidak termasuk golonganku
(HR. Iman Thabrani)
Diketahui pula bahwa Rasulullah saw melarang tabathul (tidak mau beristri
atau bersuami) sebagaimana dalam suatu hadits yang diriwayatkan dari Samuroh:
Bahwa sesungguhnya Nabi saw mencegah tabaththul.
Dari kedua hadits tersebut di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah saw
mencegah orang-orang yang mampu, untuk tidak beristri atau bersuami dalam haditsnya
pertama, dan Rasulullah melarang secara mutlak terhadap seseorang untuk tidak
memiliki pasangan dalam hadits yang kedua. Meskipun tidak berarti ketiadaan istri atau
suami bukanlah haram secara mutlak. Tetapi larangan ini menunjukkan bahwa larangan
itu hukumnya makruh. Status makruh ini diperoleh berdasarkan isyarat-isyarat yang lain,
misalnya diamnya Rasulullah terhadap sebagian sahabat yang mampu tetapi tidak
menikah. Dan ketika Allah SWT. berfirman:

Apabila telah ditunaikan haji, maka berburulah.. (QS Al-Maidah: 2)

Apabila telah selesai shalat Jumat maka menyebarlah (QS. Al-Jumuah: 10)
Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan berburu seusai melaksanakan ihrom
haji dan memerintahkan bertebaran di muka bumi setelah melaksanakan shalat Jumat.
Tetapi perintah berburu seusai melaksanakan ihrom tersebut bukanlah wajib atau
sunnah, (meskipun ada kata perintah) tetapi keduanya menunjukkan hukum mubah.
Hukum mubah ini terlihat dari adanya isyarat dimana Allah telah melarangnya ketika
ihrom. Demikian pula Allah memerintahkan bertebaran di muka bumi seusai shalat
Jumat sesudah Dia melarang hal tersebut ketika masuk waktu shalat Jumat.
Demikianlah isyarat (qorinah) tersebut menunjukkan bahwa perkara tersebut adalah
mubah, artinya bahwa perbuatan berburu dan bertebaran pada kondisi yang demikian
itu adalah mubah.
Jadi untuk mengetahui jenis hukum dari suatu nash harus bersandar pada
pemahaman nash tersebut secara tasyri dan kaitannya dengan qorinah yang
memberikan petunjuk terhadap makna nash tersebut. Dari sini jelaslah bahwa hukum
syariat itu bermacam-macam adanya. Menurut hasil pemahaman terhadap semua nash
dan hukum-hukum, maka jenis hukum syari itu ada lima:
1. Fardlu yang bermakna wajib
Yaitu seruan asy-syaari yang berkaitan dengan perbuatan manusia berupa tuntutan
untuk melakukan/menjalankan dengan sifat tuntutan jazm (pasti), artinya jika

2.

3.

4.

5.

tuntutan itu diabaikan/tidak dilakukan maka ada ancaman siksa atau dosa.
Contohnya jihad, shalat, shaum, dll.
Haram yang bermakna terlarang
Yaitu seruan asy-syaari mengenai suatu perbuatan untuk meninggalkan dengan
sifat tuntutan yang pasti (jazm). Artinya apabila perbuatan itu dilakukan/dilanggar
maka ia akan mendapat siksa/dosa serta hukuman di dunia (uqubat). Misalnya
haramnya riba, zina, minum khamr, dll.
Mandub (sunnah)
Yaitu seruan asy-syaari berkaitan dengan suatu perbuatan untuk dilakukan dengan
sifat tuntutan yang tidak jazm (pasti), apabila perbuatan itu dilakukan maka ia tidak
mendapat siksa/dosa.
Makruh
Yaitu seruan asy-syaari yang menuntut untuk meninggalkan perbuatan dengan sifat
tuntutan yang tidak jazm (tidak pasti). Contohnya: tabbatul (membujang), shalat
dihadapan makanan atau sambil menahan buang air atau kentut.
Mubah
Yaitu seruan Syari yang berkaitan dengan perbuatan berupa pilihan terhadap
perbuatan tersebut, apakah menjalankan atau meninggalkan. Seruan berupa pilihan
ini dapat diketahui dari qorinah-qorinah seperti diamnya Rasulullah saw terhadap
perbuatan sahabat yang diketahui Rasul dan sebelumnya tidak ada perintah atau
larangan berkaitan dengan perbuatan tersebut, perintah melakukan aktivitas yang
sebelumnya dilarang atau melalui kata kalimat yang secara syari memiliki arti
mubah. Contoh mubahnya jual beli, bertebaran di muka bumi setelah shalat Jumat,
dll.
Kelima macam hukum syara ini dikenal dengan istilah ahkamul khomsah.

Tuntutan dalam Khithab


Kadang-kadang khithab syari menuntut untuk melakukan suatu perbuatan,
atau menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan, atau memberikan pilihan untuk
melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Dan tuntutan tersebut adakalanya yang
sungguh-sungguh (pasti atau jaazim) dan ada kalanya tidak jaazim.
Jika tuntutan ini bersifat jaazim maka akan menjadi fardlu, dan jika tuntutan ini
bersifat tidak jaazim maka akan menjadi hukum sunnah. Sedangkan bila tuntutan
tersebut untuk meninggalkan suatu perbuatan (larangan), bersifat jaazim maka
hukumnya akan menjadi haram, tetapi yang bersifat tidak jaazim maka hukumnya akan
menjadi hukum makruh, Adapun yang memberikan alternatif maka hukumnya akan
menjadi mubah.
Jadi, upaya penelaahan terhadap nash atau dalil-dalil syari untuk menetapkan
suatu status hukum bagi perbuatan manusia atau suatu benda, memerlukan kecermatan
dan kemampuan. Suatu perbuatan bersifat wajib atau haram, tidak semata-mata diambil
dari adanya bentuk perintah atau larangan pada suatu ayat atau hadits. Dan tidak semua
perintah berbentuk fiil amr/kata perintah. Oleh karena itu betapa pentingnya hal ini

diperhatikan, agar semboyan kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah justru tidak
berujung pada munculnya sikap yang berani mempermainkan agama, membuat hukumhukum baru, atau metode jihad baru.

Makna Fardlu Kifayah


Yang dimaksud dengan fardlu adalah khithab syari (seruan Allah) yang
berkaitan dengan tuntutan yang pasti (jaazim) untuk berbuat sesuatu, seperti firman
Allah SWT:
Dirikanlah shalat ...

...

Juga sabda Rasulullah :


Seseorang dijadikan Imam adalah untuk diikuti (HR Ahmad, Abu Daud, Bukhari dan
Muslim)
Juga sabdanya:
Siapa saja yang mati dan tidak ada suatu baiat di atas pundaknya, maka ia telah mati
dalam keadaan jahiliyah. (HR. Muslim)
Semua nash tersebut adalah khithab syari yang berkaitan dengan tuntutan
terhadap suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Adapun yang menyebabkan
tuntutan itu menjadi tuntutan yang pasti adalah adanya qorinah (isyarat) yang berkaitan
dengan tuntutan tersebut sehingga jadilah tuntutan tersebut bersifat pasti dan wajib
dilaksanakan.
Sesuatu yang wajib atau pasti, tidak akan gugur (hilang kewajiban
melaksanakannya) dalam kondisi apapun sampai amalan fardlu tersebut terlaksana
secara sempurna. Sedangkan orang yang meninggalkan amalan fardlu, maka ia akan
mendapat siksa. Ia akan tetap berdosa selama belum melaksanakannya. Dan dalam hal
ini tidak ada perbedaan antara fardlu ain dengan fardlu kifayah, semuanya itu
adalah fardlu untuk seluruh kaum Muslimin. Jadi firman Allah SWT:

...

Dirikanlah shalat (QS. Al-Baqarah: 43)


adalah fardlu ain dan firman-Nya:

Berangkatlah kamu sekalian dengan perasaan ringan atau berat dan berjihadlah di
jalan Allah dengan harta dan jiwa kalian. (QS. At-Taubah: 41)

adalah fardlu kifayah. Sedangkan Sabda Rasulullah saw:


Seseorang dijadikan Imam (shalat) adalah fardlu untuk diikuti (HR. Ahmad)
adalah fardlu ain. Juga sabdanya pula:
Siapa saja mati sedangkan dipundaknya tidak ada baiat, maka dia mati dalam
keadaan jahiliyah
(HR. Muslim dan Ahmad)
adalah fardlu kifayah.
Tetapi semua itu adalah fardlu yang telah ditetapkan oleh khithab syari dan
berkaitan dengan tuntutan yang pasti untuk melakukan sesuatu perbuatan.
Karenanya usaha untuk memisahkan fardlu ain dengan fardlu kifayah dari sisi
yang sama-sama wajib adalah suatu perbuatan dosa kepada Allah SWT. dan menyimpang
dari jalan Allah. Juga suatu kesalahan bila melakukan kelalaian terhadap pelaksanaan
amalan-amalan fardlu. Begitu pula dengan gugurnya suatu kewajiban, maka antara
keduanya (fardlu ain dan fardlu kifayah) tidak ada perbedaan. Suatu yang fardlu tidak
akan gugur melaksanakan kewajibannya, sehingga terlaksana kewajiban tersebut
sebagaimana yang dituntut syara. Sama saja apakah tuntutan itu tertuju pada setiap
muslim (ain) seperti shalat lima waktu ataupun yang tertuju pada seluruh kaum
muslimin (kifayah) seperti jihad dan menegakkan kembali khilafah. Semuanya tidak akan
gugur kecuali telah dilaksanakan dan telah terwujud secara sempurna, artinya hingga
shalat itu telah dilaksanakan serta telah terwujud adanya jihad dan khilafah. Dengan
demikian kewajiban melaksanakan fardlu kifayah tidak akan gugur atas setiap muslim
selama belum cukup dan belum sempurna pelaksanaannya. Bahkan setiap muslim tetap
memikul dosa selama pelaksanaan fardlu kifayah belum sempurna (belum berhasil).
Adalah suatu kesalahan bila dikatakan bahwa, andai sebagian kaum muslimin
sedang melaksanakan fardlu kifayah, berarti telah gugur kewajiban tersebut.
Pemahaman tersebut jelas salah. Sesungguhnya, fardlu kifayah akan gugur, jika sebagian
kaum muslimin telah melaksanakannya dengan syarat bahwa amalan yang dituntut
tersebut telah dilaksanakan dan diwujudkan, serta tidak ada lagi kesempatan untuk
menetapkannya (telah sempurna hasilnya). Inilah fardlu kifayah, dari sini ia sama persis
denga fardlu ain.
Oleh karena itu, jihad terhadap Prancis (1953) di Aljazair adalah fardlu/wajib
untuk seluruh kaum muslimin, sebagaimana jihad kaum muslimin Indonesia mengusir
Belanda. Ketika penduduk Aljazair bangkit melawan Perancis, maka tidaklah berarti
bahwa kewajiban itu gugur dari kaum muslimin seluruhnya, sehingga Perancis benarbenar keluar dari Aljazair dan sempurna kemenangan atas kaum muslimin. Demikian
pula terhadap kaum Muslimin Indonesia disaat mereka mengusir penjajah Belanda.
Demikianlah, setiap fardlu kifayah tetap menjadi kewajiban atas kaum muslimin,
dan tidak gugur kewajiban tersebut sehingga amalan yang dituntut tersebut telah
terlaksana dengan sempurna.

Anda mungkin juga menyukai