Anda di halaman 1dari 36

Sumber Hukum Islam

STATUS PERBUATAN MANUSIA


Pada awalnya keberadaan status hukum seluruh amal perbuatan manusia, tidak memiliki suatu status
hukum sebelum datangnya pernyataan dari syariat. Amal perbuatan itu belum dapat dikategorikan
pada sesuatu yang wajib, sunnah, haram, makruh ataupun mubah. Manusia boleh melakukan amal itu
sesuai dengan pengetahuannya dan berdasarkan pandangan atas kemaslahatan manusia. Sebab, tidak
ada taklif (beban hukum) sebelum sampai pernyataan syara. Allah SWT. berfirman:

(Dan) Kami tidak akan mengazab suatu kaum sebelum Kami mengutus seorang Rasul/utusan.(QS.
Al-Isra: 15)
Berdasarkan ayat tersebut dapat difahami bahwa Allah SWT. menjamin tidak mendatangkan
azab/siksa terhadap hamba-Nya atas perbuatan yang mereka lakukan, jika belum diutusnya seorang
Rasul kepada mereka. Jadi, manusia tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang
mereka lakukan. Sebab, mereka tidak terbebani oleh satu hukum pun. Hanya saja, saat Allah SWT.
mengutus seorang Rasul kepada mereka, atau telah sampai kepada suatu kaum penjelasan syara,
maka terikatlah mereka dengan risalah yang dibawa oleh Rasul tersebut. Allah SWT. berfirman :



(Mereka kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar
supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu. (QS.
An-Nisaa : 165)
Dengan demikian, siapa pun yang tidak beriman kepada Rasul tersebut, pasti ia akan dimintai
pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak, tentang ketidakkeimanannya dan ketidakterikatannya
dengan hukum-hukum yang dibawa Rasul tersebut. Begitu pula bagi yang beriman kepada Rasul serta
mengikatkan diri pada hukum yang dibawanya, iapun akan dimintai pertanggungjawaban terhadap
penyelewengan terhadap sebagian hukum-hukum yang dibawa Rasul tersebut.
Untuk itu kaum muslimin diperintahkan melakukan amal perbuatannya sesuai dengan hukum Islam,
karena kewajiban atas mereka untuk menyesuaikan amal perbuatannya dengan segala perintah dan
larangan Allah SWT. Allah SWT. berfirman :

apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah .(QS. Al-Hasyr :7)
Tidak berarti dikatakan di sini, bahwa barang siapa yang tidak datang kepadanya suatu perintah atau
larangan dari Rasul secara langsung (karena masa Rasulullah SAW. telah lewat) maka ia termasuk
mukallaf(orang yang terbebani hukum). Tidak dapat dikatakan demikian, sebab beban hukum
menurut syara adalah aam(bersifat umum), sebagaimana umumnya risalah untuk seluruh manusia.
Selain itu, tidak dapat dinyatakan dengan pengertian bahwa ada perbuatan-perbuatan manusia yang
lolos dari hukum syariat. Dalam hal ini Allah SWT. berfirman :

Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku (Muhammad) adalah utusan Allah untuk kamu semua.
(QS. Al-Araf :158)
Oleh karena itu, merupakan suatu kepastian bahwa hukum-hukum yang dibawa Rasulullah adalah
mencakup semua aspek kehidupan manusia, baik itu larangan atau perintahnya. Tidak ada satu
perbuatan manusiapun yang lolos dari syariat, sehingga manusia bebas menentukan pilihannya.
Karena jika terdapat perbuatan yang lolos dari hukum, maka itu berarti syariat mengandung
kekurangan, bersifat kondisional atau temporal. Jelas itu bertentangan dengan jiwa dan fakta syariat
itu sendiri.
Memang benar, bahwa syariat Islam tidak datang dengan hukum-hukum yang terperinci tentang suatu
permasalahan, tetapi syariat datang dengan makna-makna umum yang berkaitan dengan problematika
hidup manusia dengan satu titik pandang terhadap segi kemanusiaan, tanpa pandang waktu dan

tempat. Kemudian, dari makna-makna umum tersebut mengalir makna-makna atau hukum-hukum
cabang lainnya. Jika muncul suatu permasalahan atau kejadian baru, harus dipahami dan dikaji secara
mendalam, kemudian dilakukan proses istinbath (penetapan status) hukum. Standar itu bersifat
langgeng (konstans), hingga sesuatu yang buruk atau baik, tidak akan berubah-ubah. Jadi, manusia
akan menjalankan keputusannya berdasarkan petunjuk yang pasti. Apabila standar itu diserahkan
kepada akal manusia, kebaikan atau keburukan akan bersifat nisbi (relatif). Oleh sebab itu, wajib bagi
setiap orang untuk menjadikan hukum syariat sebagai ukuran atau standar untuk menilai semua
perbuatan manusia, dengan memandang baik apa yang dikatakan baik oleh syara dan memandang
buruk apa yang dikatakan buruk oleh syara. Berdasarkan hal itu telah menjadi suatu yang pasti bahwa
apapun yang dibawa Rasul tentang suatu hukum akan mencakup setiap perbuatan dan apa-apa yang
dilarang olehnya juga mencakup setiap perbuatan. Setiap muslim yang hendak melakukan suatu
perbuatan untuk memenuhi kebutuhan atau mencari suatu kemaslahatan, maka wajib baginya secara
syari mengetahui hukum Allah tentang perbuatan tersebut sebelum ia melakukannya, sehingga ia
dapat berbuat sesuai dengan hukum syara. Selain itu, bila ada perbuatan/hal baru yang belum
diketahui nash syaranya, maka manusia tetap tidak berhak menghukumi berdasarkan kemauannya.
Jika ada anggapan bahwa terdapat perbuatan/hal yang tidak memiliki nash hukum; anggapan tersebut
sama artinya dengan menganggap bahwa syariat Islam mempunyai kekurangan dan tidak cocok
kecuali untuk masa dan keadaan tertentu. Tentu saja ini bertentangan dengan syariat itu sendiri serta
kenyataan yang sesuai dengannya.
Kita memahami bahwa Syariat Islam tidak datang dengan hukum-hukum secara terperinci mengenai
suatu masalah, sehingga manusia merasa cukup dengan hukum-hukum secara terperinci tersebut.
Tetapi syariat Islam datang dengan makna-makna umum yang berkait dengan problema hidup
manusia; yaitu dengan melihat manusia sebagai manusia, sehingga tidak terikat dengan waktu dan
kondis/tempat. Kemudian mengalirlah dibawah makna-makna umum tersebut berbagai makna cabang
yang lain. Jika terjadi permasalahan atau kejadian baru, maka masalah itu harus dikaji dan difahami.
Kemudian, dilakukan isntinbath hukum (penggalian staus hukum) dari dalil-dalil yang besifat umum
yang terkandung dalam syariat, maka jadilah hasil istinbath dari suatu pendapat sebagai satu hukum
Allah dalam masalah tersebut.
Kaum muslimin melakukan istinbath sejak wafatnya Rasulullah SAW. sampai saat ini. Kaum
muslimin tidak pernah behenti mengikatkan diri mereka kepada syariat Islam dalam kehidupan
mereka. Dengan istinbath terhadap nash-nash Al-Quran Al-Karim dan hadits Rasulullah SAW. itulah,
kaum muslimin berupaya memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi dalam kehidupan mereka. Hal
ini dapat kita perhatikan bagaimana pada masa Abu Bakar ra muncul permasalahan-permasalahan
baru yang tidak dijumpai pada zaman Rasulullah SAW.; begitu pula telah muncul permasalahanpermasalah baru di masa khalifah Harun Al-Rasyid yang tidak ditemui di zaman Abu Bakar ra. Di sini
para mujtahidin berusaha menggali status hukum terhadap ratusan bahkan ribuan masalah yang
sebelumnya belum pernah ditemukan.
Demikianlah, kaum muslimin telah melaksanakan syariat Islam dalam setiap masalah dan kejadian,
karena syariat Islam telah mencakup seluruh perbuatan manusia; tidak satupun masalah yang terjadi
kecuali ada pemecahan hukumnya menurut Islam. Oleh karena itu wajib bagi setiap muslim untuk
senantiasa mengaitkan seluruh perbuatannya dengan hukum syariat Islam, serta tidak melakukan
suatu perbuatan kecuali jika sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT.
Pemutus Hukum Dalam Islam(AL-HAKIIM)
Keberadaan manusia secara pasti membutuhkan adanya kepastian hukum yang akan mengatur
kehidupan interaksi mereka. Artinya terdapat kepastian hukum atas perbuatan manusia dan status
benda-benda yang berkaitan dengan perbuatan tersebut. Satu persoalan yang paling urgen dalam
kaitannya dengan pembahasan ini adalah penjelasan mengenai siapakah yang layak dan seharusnya
menjadi rujukan/sumber bagi penetap suatu status hukum. Dengan kata lain adalah menjelaskan
siapakah Al Hakiimyang memiliki otoritas untuk menetapkan hukum atas perbuatan yang dilakukan
manusia dan benda-benda yang digunakan dan berada dalam lingkaran kehidupan manusia. Dengan
demikian maka Al Hakiim dalam kaitan dengan pembahasan ini bukanlah orang yang berperan untuk
menerapkan hukum di pengadilan atau pemilik kekuasaan pemerintahan yang menerapkan hukuman

atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh anggota masyarakat atau aparatur negara.
Frame berfikir yang hendak dijelaskan tentang Al Hakiim adalah siapakah yang berhak untuk
menetapkan hukum atas masalah-masalah manusia ? Apakah Allah SWT., Dzat Pencipta dan pemilik
alam semesta dan manusia ataukah akal manusia? Syarakah atau akalkah ? Karena yang menjelaskan
kepada kita bahwa ini hukum Allah adalah syara dan yang menjadikan manusia dapat menghukumi
sesuatu adalah akal, sebab akal adalah memberikan penetapan atas fakta yang diamati.
Topik penetapan hukum atas perbuatan manusia dan benda-benda yang berkaitan dengan perbuatan
tadi adalah dalam rangka menentukan hasan (terpuji) atau qabiih (tercela). Hal ini disebabkan
penetapan suatu hukum adalah berkenaan dengan sikap manusia atas suatu perbuatan, apakah ia akan
melakukan perbuatan itu ataukah akan meninggalkan perbuatan itu; atau memilih antara melakukan
dan meninggalkan perbuatan itu; serta penentuan sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan tadi,
apakah ia mempergunakan benda-benda atau meninggalkan; atau memilih antara menggunakan dan
mengabaikannya. Untuk menetapkan hukum atas perbuatan dan benda-benda, maka pembahasan
hasan dan qabiih menjadi hal yang harus dipahami terlebih dahulu; termasuk dalam kaitan dengan hal
ini adalah siapakah yang menetapkan hukum hasan dan qabiih suatu perbuatan atau benda, syarakah
atau akalkah menjadi hal yang sangat urgen.
Segi Penetapan Hukum
Hukum atas perbuatan manusia atau benda dapat ditinjau dari aspek realitasnya: apakah itu?
Adakalanya dapat ditinjau dari aspek kesesuaian dengan tabiat manusia serta kecenderungan fithri dan
kebencian terhadapnya; atau adakalanya dapat ditinjau dari aspek ada atau tidaknya pujian serta
pemberian pahala jika melakukannya dan celaan serta adanya iqaab (siksa) karena meninggalkannya.
Dengan demikian maka penetapan hukum atas benda dan perbuatan manusia memiliki tiga faktor yang
harus diperhatikan:
1. Segi faktanya
2. Segi kesesuaian dengan tabiat manusia dan kebenciannya
3. Segi pemberian pujian dan celaan dengan adanya pahala dan siksa.
Penetapan hukum dari segi yangpertama, yaitu dari segi faktanya dan dari segi yang keduaberkaitan
dengan kesesuaian dengan tabiat manusia dan kebenciannya, maka tidak terdapat keraguan bahwa
kedua aspek itu dapat diketahui dan dipahami manusia, yaitu dapat dijangkau akal manusia; bukan
oleh syara. Akal manusia dapat menetapkan hukum atas perbuatan dan benda-benda berdasarkan
kedua aspek itu. Adapun syara tidak menetapkannya karena memang tidak terdapat peranan syara
dalam hal tersebut. Sebagai contoh: ilmu atau orang berilmu itu dinyatakan sebagai sesuatu yang baik
(hasan), sementara kebodohan/pandir itu merupakan hal yang buruk. Fakta ini sangat dipahami oleh
akal secara jelas dilihat dari sisi kesempurnaan dan kekurangannya. Contoh lainnya: memiliki harta itu
hasan (baik) dan keadaan faqir-miskin itu adalah qabiih (buruk); menolong orang yang tenggelam
adalah baik, sementara mengambil harta milik orang lain secara zalim adalah buruk (qabiih). Dalam
perkara seperti ini, maka tabiat manusia secara pasti akan menolak setiap hal yang berbentuk
kezaliman dan perkara-perkara yang dapat menimbulkan kerusakan/kehancuran. Demikian pula
sesuatu yang manis itu hasan dan yang pahit itu adalah qabiih.
Dengan demikian, keseluruhan aspek di atas penetapannya berdasarkan pada fakta yang dapat diindera
manusia dan dipahami akalnya (semuanya dikembalikan pada fitrah dan tabiat manusia). Manusia
dapat merasakan hal tersebut dengan pemahaman akalnya. Pada kondisi tersebut maka akal
menghukumi benda-benda dan perbuatan manusia yang terjangkau olehnya dan menetapkan hukum
bagi kedua hal itu (hasan atau qabih) bukan oleh syara. Pemutus hukum (hakim) dari aspek ini
adalah manusia.
Jadi, penetapan hal di atas adalah berdasarkan akal itu sendiri, yaitu pengamatan, adanya fakta,
informasi sebelumnya, dan otak. Definisi akal adalah: memindahkan gambaran fakta melalui panca
indera kepada otak dan adanya informasi sebelumnya, lalu informasi yang ada sebelumnya pada diri
manusia itu digunakan untuk menafsirkan/ menjelaskan fakta yang diindera tadi. Pengamatan adalah
perkara yang penting dalam pembentukan akal (berfikir). Apabila manusia tidak melakukan
penginderaan terhadap sesuatu maka dapat dipastikan tidak mungkin bagi akalnya untuk memberikan
ketetapan hukum bagi sesuatu yang tidak terindera.

Adapun penetapan hukum atas perbuatan manusia dan benda ditinjau dari segi ketigaadanya pujian (al
madah) dan celaan (adz Dzamm) di dunia; dan adanya pahala (Ats tswab) dan siksa (aliqab) di
akhirat, maka tidak dapat diragukan lagi bahwa kewenangan dalam menetapkan hal ini adalah Allah
SWT. saja. Dalam pengertian yang lain, kewenangan itu merupakan kewenangan syara, bukan
otoritas akal manusia. Contohnya adalah: orang yang beriman kepada Allah itu merupakan perbuatan
yang hasan sementara perbuatan mengingkarinya adalah qabih, ketaatan seorang muslim kepada
Rasulullah SAW. merupakan perbuatan yang hasan sementara maksiat kepadanya merupakan qabih,
menikah sesuai dengan hukum agama adalah hasansementara berzina adalah qabih.
Kezaliman dilihat dari sisi pujian dan celaan itu tidak dapat diindera oleh manusia, sebab pujian dan
celaan bukanlah sesuatu yang dapat diindera manusia, sehingga tidak mungkin untuk difikirkan oleh
akal manusia. Jadi, tidaklah mungkin bagi akal manusia untuk memberikan penetapan hukum terhadap
tindak kezaliman. Dalam hal ini, meskipun pujian dan celaan terhadap kezaliman dapat dirasakan oleh
manusia dengan fitrahnya, begitu pula adanya penolakan dan kecenderungan manusia terhadap
perbuatan zalim itu; akan tetapi perasaan manusia semata tidak aka bermanfaat dalam memberikan
status hukum tentang sesuatu. Hal ini disebabkan pemberian suatu status hukum atas perbuatan dan
benda yang terdapat di sekeliling manusia harus melalui proses penginderaan.
Dengan demikian menjadi jelas, bahwa tidak mungkin bagi akal manusia untuk memberikan suatu
status hukum baik dan buruk (hasan dan qabih) terhadap perbuatan atau benda dari sisi perbuatan itu
terpuji ataukah tercela. Begitu pula, dalam penetapan suatu status hukum dari sisi perbuatan itu
terpuji atau tercela diserahkan pada kecenderungan manusia yang fitrah, sebab kecenderungan
(muyul) manusia akan menetapkan sesuatu itu terpuji jika dirasakan cocok atau menguntungkan
dirinya, dan manusia akan menetapkan sesuatu itu tercela jika dirasakan bertentangan dan merugikan
dirinya. Akibat jika penilaian dan penetapan hukum diserahkan pada kecenderungan manusia adalah
terjadinya kontradiksi/pertentangan satu dengan lainnya. Yang baik akan dipandang buruk atau yang
buruk akan dipandang baik. Bisa jadi yang dianggap cocok itu adalah perkara yang tercela, seperti
mencuri, mabuk, berzina, homoseksualitas, menghamba kepada manusia, dll; dan yang ditentangnya
adalah perkara terpuji, seperti jihad fii sabilillah, sabar, memaafkan, berkata jujur dan benar meskipun
berakibat timbulnya bahaya bagi dirinya, dll. Menyerahkan penetapan hukum hasan dan qabih (dari
sisi terpuji dan tercela, pahala dan siksa) pada muyul(kecenderungan dan hawa nafsu) manusia maka
secara pasti mengakibatkan kesalahan dalam penetapannya.
Berdasarkan hal itu, maka yang berwenang untuk menetapkan hukum baik dan buruk (hasan dan
qabih) dari sisi apakah perbuatan itu terpuji ataukah tercela dan adanya pahala dan siksa merupakan
hak Allah SWT., Dzat Pencipta manusia dan alam semesta, karena hanya Dialah yang mengetahui
hakekat suatu perbuatan dan benda yang terdapat disekeliling manusia dan bukan akal manusia.
Begitu pula, seandainya manusia dibiarkan untuk menetapkan hukum baik dan buruk dari sisi adanya
pujian dan celaan terhadap perbuatan dan benda maka secara pasti akan melahirkan perbedaan
penghukuman karena terjadi perbedaan orang-orang dan zamannya; dalam keadaan seperti itu manusia
tidak akan pernah mendapatkan suatu kepastian hukum.
Untuk mendapatkan suatu kepastian hukum, maka yang berfungsi sebagai Al Hakim adalah Allah
SWT. (syara) dan bukan manusia (akal manusia), karena akal tidak dapat berperan dalam menetapkan
hukum baik dan buruk dari sisi adanya pujian dan celaan yang berakibat pada pahala dan siksa. Inilah
penetapan baik dan buruk berdasarkan dalil Aqliy.
Adapun berdasarkan dalil naqliy (syariy) maka syara mewajibkan penetapan baik dan buruk itu
mengikuti Rasulullah SAW. Sebab Rasul SAW. merupakan orang diutus Allah SWT. dalam kerangka
untuk menjelaskan hukum-hukum atas perbuatan mansuia dan benda. Berkaitan dengan hal ini
terdapat satu kaidah ushul yang dikemukakan para ulama, yaitu: Sesungguhnya sesuatu itu terpuji
karena dipuji oleh syara dan sesuatu itu tercela karena dicela oleh syara .
Penetapan hukum baik dan buruk atas perbuatan dan benda adalah untuk menetapkan sikap dan
perilaku manusia. Berkaitan dengan benda misalnya, apakah benda itu kategorinya halal atau haram.
Berkaitan dengan perbuatan manusia adalah apakah perbuatan itu dituntut untuk dilakukan atau
dituntut untuk ditinggalkan, sehingga berimplikasi pada penetapan apakah perbuatan itu wajib,
sunnah, haram, makruh, atau mubah. Di samping itu pula, hukum yang menyangkut segi
pelaksanaannya, apakah hal ini termasuk sebab, syarat, penghalang, shahih, bathil, fasid, azimah, atau

rukshah. Semua perkara itu tidak dapat dilihat dari sisi apakah cocok atau tidaknya dengan tabiat
manusia, bukan pula dari segi faktanya, tetapi sesungguhnya perkara itu ditetapkan berdasarkan segi
pujian atau celaan di dunia dan berimplikasi pada adanya pahala atau siksa di akhirat.
Jadi, jelas bahwa penetapan hukum baik dan buruk itu tidak mungkin dilakukan penetapannya kecuali
oleh syara dan wajib dikembalikan kepada ketentuan syara, bukan kepada akal manusia. Maka Al
Hakim yang hakiki bagi perbuatan para hamba dan benda yang digunakan manusia ditetapkan
berdasarkan ketentuan Allah (Syara).
Perhatikan pula ayat-aya berikut yang merupakan dalil naqliy:



Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah, Dia menerangkan sebenarnya dan Dia pemberi
keputusan yang terbaik (QS.Al Anaam:57)


Tidak, demi Allah, mereka sekali-kali tidak beriman sampai mereka menjadikan engkau
(Muhammad) sebagai hakim dalam perselisihan di antara mereka (QS. An Nisaa:65)

Maka apakah hukum jahiliyah yang mereka cari ? Dan hukum siapakah yang lebih baik (hukumnya)
dari pada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?(QS. Al Maidah:50)
Dari ayat-ayat tersebut, dapat dipahami bahwa Allah mewajibkan seorang mukmin dan muslim
menyelesaikan setiap persoalan kehidupan mereka dengan hukum dan aturanNya, dan Allah
mengharamkan manusia memperturutkan hawa nafsunya atau akalnya. Hanya saja, fungsi akal dalam
perkara ini adalah sebatas pada menggali dan memahami nash-nash (dlil) syara sehingga dapat
diketahui dan dipahami aturan-aturan Allah yang terdapat di dalamnya.
sumber hukum islam
Pembahasan sumber hukum syariat Islam merupakan masalah pokok (ushul), karena dari sumber
itulah terpancar seluruh hukum/syariat Islam. Oleh karena itu, menetapkan sumber syariat Islam harus
berdasarkan ketetapan yang qathi (pasti) kebenarannya, bukan sesuatu yang bersifat dugaan (dzanni).
Allah SWT. berfirman :


(Dan) janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya. (QS. Al Isra :
36)

(Dan) kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka. Sesungguhnya persangkaan
itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. (QS. Yunus : 36)
Masalah ini termasuk masalah pokok (ushul), sebab menjadi dasar bagi seorang Muslim untuk
menarik keyakinan atas hukum-hukum amaliahnya. Apabila landasan suatu hukum sudah salah, maka
seluruh hukum-hukum cabang yang dihasilkannya menjadi salah pula. Oleh sebab itu menetapkan
sumber syariat Islam tidak dapat dilakukan berdasarkan persangkaan ataupun dengan dugaan belaka.
Berdasarkan pengertian itu, maka yang memenuhi syarat untuk digunakan sebagai sumber
pengambilan dalil-dalil syari adalah Al-Qurn, Sunnah, Ijma Shahabat dan Qiyas (yang mempunyai
persamaan illat syari).
A. Al-Qurn Sumber hukum pertama
Al-Qurn adalah kalam Allah yang diturunkan melalui perantaraan malaikat Jibril as. kepada
Rasulullah SAW. dengan menggunakan bahasa Arab disertai kebenaran agar dijadikan hujjah
(argumentasi) dalam hal pengakuannya sebagai rasul dan agar dijadikan sebagai pedoman hukum bagi
seluruh ummat manusia, di samping merupakan amal ibadah bagi yang membacanya.
Al-Qurn diriwayatkan dengan cara tawatur (mutawatir) yang artinya diriwayatkan oleh orang sangat
banyak semenjak dari generasi shahabat ke generasinya selanjutnya secara berjamaah. Jadi, apa yang
diriwayatkan oleh orang per orang tidak dapat dikatakan sebagai Al-Qurn. Orang-orang yang
memusuhi Al-Qurn dan membenci Islam telah berkali-kali mencoba menggugat nilai keasliannya.
Akan tetapi, realitas sejarah dan pembuktian ilmiah telah menolak segala bentuk tuduhan yang

mereka lontarkan. Al-Qurn adalah kalamullah, bukan ciptaan manusia, bukan karangan Muhammad
SAW. ataupun saduran dari kitab-kitab sebelumnya. Al-Qurn tetap menjadi mujizat sekaligus
sebagai bukti keabadian dan keabsahan risalah Islam sepanjang masadan sebagai sumber segala
sumber hukum bagi setiap bentuk kehidupan manusia di dunia.
a. Kehujjahan Al-Qurn
Al-Qurn merupakan hujjah bagi manusia, serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya
merupakan dasar hukum yang wajib dipatuhi, karena Al-Qurn merupakan kalam Al Khaliq, yang
diturunkannya dengan jalan qathi dan tidak dapat diragukan lagi sedikitpun kepastiannya. Berbagai
argumentasi telah menunjukkan bahwa Al-Qurn itu datang dari Allah dan ia merupakan mukjizat
yang mampu menundukkan manusia dan tidak mungkin mampu ditiru. Salah satu yang yang menjadi
kemusykilan manusia untuk menandingi Al-Qurn adalah bahasanya, yaitu bahasa Arab, yang tidak
bisa ditandingi oleh para ahli syair Arab atau siapapun. Allah SWT. berfirman :



Katakanlah : Sesungguhnya apabila jin dan manusia apabila berkumpul untuk membuat yang
serupa dengan Al-Qurn ini. Pasti mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya,
sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sekalian yang lain. (QS. Al Isra : 88)


(Dan) apabila kamu tetap dalam keraguan tentang Al-Qurn yang kami wahyukan kepada hamba
kami (Muhammad), maka buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qurn , dan ajaklah penolongpenolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang benar. (QS. Al Baqarah : 23)
Perhatikan pernyataan Walid bin Mughirah, salah seorang Quraisy di masa Rasulullah SAW., seorang
ahli syair yang tak tertandingi, yang menjadi musuh nabi pada awalnya, ia berkata :
Sesungguhnya di dalam Al-Qurn itu terdapat sesuatu yang lezat, dan pula keindahannya, apabila
di bawah menyuburkan dan apabila di atas menhasilkan buah. Dan manusia tidak akan mungkin
mampu berucap seperti Al-Qurn.
Selain dari bahasanya, isi Al-Qurn sekaligus menjadi hujjah atas kebenarannya. Misalnya, perihal
akan menangnya kaum Muslimin memasuki Makkah dengan aman (QS. Al-Fath), juga tentang akan
menangnya pasukan Romawi atas Parsi (QS. Ar-Ruum) dan sebagainya. Selain isi Al-Qurn
menunjukkan tentang kejadian sejarah terdahulu yang sesuai dengan fakta, atau kisah tentang
sebagian iptek, misalnya penyerbukan oleh lebah, penyerbukan bunga-bunga oleh bantuan angin dan
sebagainya ; pada akhirnya terbukti kebenarannya. Semua itu menunjukkan bahwa Al-Qurn
memang bukan datang dari manusia melainkan dari Allah SWT., Sang Pencipta dan Pengatur Alam
Semesta. Karenanya memang sudah menjadi kelayakan bahkan keharusan untuk menjadikan AlQurn sebagai landasan kehidupan dan hukum manusia.
b. Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat.
Klasifikasi ayat Al-Qurn dibagi dalam 2 kategori, yaitu ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat
sebagaimana firman Allah SWT. :

Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al-Qurn) kepadamu, di antaranya (isinya) ada ayat-ayat
muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qurn dan lainnya (ayat-ayat) Mutasyabihat. (QS. Ali
Imran : 7)
Ayat Muhkamat adalah ayat-ayat yang maksudnya dapat diketahui secara nyata, jelas, tidak
ambiguitas (samar), dan tidak memerlukan penafsiran, sedangkan ayat Mutasyabihat adalah ayat yang
mempunyai makna ambiguitas (samar), terselubung (tersembunyi) yang memerlukan penafsiran untuk
memahaminya karena mengandung beberapa pengertian. Sebagai contoh dapat diperhatikan ayat yang
menjelaskan tentang keberadaan dan sifat Allah, terdapatnya surga dan neraka, kejadian hari
Qiamat, diutusnya para rasul dan nabi, para malaikat dan tugas-tugasnya, dijelaskan melalui ayatayat yang muhkamat. Termasuk dalam ayat-ayat muhkamat adalah haramnya riba, perjudian dengan
segala bentuknya, khamar (minuman keras), dan zina dalam segala bentuknya, wajibnya hukum
potong tangan bagi pencuri (dengan syarat tertentu), wajibnya terikat dengan hukum-hukum Allah dan
sebagainya. Adapun ayat-ayat Mutasyabihat banyak terdapat pada ayat yang berbicara tentang

muamalah seperti QS Al-Baqarah 228 (lafadz quru mempunyai dua arti, yaitu arti haid dan suci),
dan QS Al-Baqarah 237 (lafadz yang memegang ikatan nikah ada dua pengertian, bisa suami atau wali
dari pihak istri), dan lain-lain.
c. Nasakh dalam Al-Qurn
Jumhur ulama sepakat adanya nasakh dalam ayat-ayat Al-Quran. Lafadz nasakh memiliki beberapa
arti etimologi (arti bahasa) yaitu :
Menghapuskan (izalah), seperti pada QS Al-Hajj : 52.
Mengganti (tabdil), seperti yang tercantum dalam QS An-Nahl : 101.
Makna nasakh menurut syara adalah penghapusan suatu hukum dan diganti dengan penetapan hukum
baru. Nasakh tidak terjadi kecuali menyangkut masalah perintah dan larangan. Contoh yang masyhur
tentang nasakh adalah perubahan arah kiblat shalat seperti yang tercantum dalam QS Al-Baqarah 142145, atau penggantian puasa Asy-Syura dengan Ramadlan (QS. Al-Baqarah 183-185), boleh suami
istri bergaul di bulan Ramadlan (QS. Al-Baqarah : 187)
Ayat Al-Qurn hanya dapat dinasakh dengan ayat Al-Qurn lainnya, tetapi tidak dapat dinasakh
dengan sunnah. Adapun hadits mutawatir dapat menasakh hadits lain (baik yang mutawatir maupun
yang ahad), sedangkan hadits ahad hanya dapat menasakh hadits ahad saja. Mengenai ijma dan qiyas
tidak ada nasakh karena tidak ada nasakh setelah wafatnya Rasulullah SAW.
d. Tasir Al-Qurn
Tafsir adalah menerangkan maksud lafadz. Misalnya firman Allah SWT. laa raiba fiihi (tidak ada
keraguan di dalamnya) dijelaskan dengan lafadz lain laa syakka fiihi (tidak ada kebimbangan di
dalamnya). Tafsir Al-Qurn merupakan penjelasan makna kata demi kata dalam susunan kalimatnya
serta makna susunan kalimat sebagaimana adanya. Terkadang suatu ayat dijelaskan oleh ayat lainnya
(tafsir ayat bil ayat) atau oleh hadits Rasulullah SAW. tentang suatu ayat (tafsir bis-Sunnah), atau
penjelasan para shahabat dan ahli ilmu terhadap suatu ayat.
Penjelasan kata-kata dan susunannya itu terbatas hanya dalam bahasa Arab, sama sekali tidak boleh
ditafsirkan dalam bahasa lain. Selain menurut kenyataannya Al-Qurn itu diturunkan dalam bahasa
Arab yang paling baik dan murni, tidak ada jalan lain dalam memahami Al-Qurn melalui bahasa
yang lain. Dengan demikian Al-Qurn tidak-bisa-tidak hanya bisa ditafsirkan ke dalam bahasa AlQurn itu sendiri, yaitu bahasa Arab.
Bertitik tolak dari suatu keyakinan bahwasanya hidup ini tidak boleh diatur kecuali menurut aturan
Allah SWT., maka tidak ada alternatif lain bagi kita melainkan berusaha semaskimal mungkin
memahami Al-Qurn , menghayati dan mengkaji isinya sebagaimana yang diisyaratkan oleh AlQurn.

(Dan) Demikianlah Kami telah menurunkan Al-Qurn itu sebagai peraturan yang benar dalam
bahasa Arab. (QS. Ar Radu : 37)
Sesungguhnya kelalaian umat dalam mengkaji dan menghayati isi kandungan Al-Qurn
menyebabkan kedangkalam dalam memahami Al-Qurn. Ini menunjukkan bahwa umat sedang
berjalan menuju arah yang menjauhi nilai-nilai Islam.
Hendaknya disadari bahwa melakukan kajian terhadap isi kandungan Al-Qurn menuntut persyaratan
tertentu. Di samping menuntut keikhlasan dan kesucian niat, juga membutuhkan penguasaan ilmuilmu yang berkaitan dengan pemahaman Al-Qurn. Apabila persyaratan itu tidak terpenuhi, maka
dapat menimbulkan pemahaman yang keliru dan merugikan. Walaupun begitu, terpenuhinya
persyaratan inipun tidaklah mutlak menjamin kebenaran hasil suatu kajian, namun begitu, haruslah
berusaha semaksimal mungkin untuk mendekati kebenaran yang dimaksud Al-Qurn.
Juga harus disadari bahwa pengkajian dan pemahaman terhadap Al-Qurn bukanlah menjadi tujuan
akhir. Ia hanya merupakan jembatan untuk mengakrabkan diri dengan Al-Qurn. Sedangkan
tujuan akhirnya adalah perwujudan dan penerapan nilai-nilai Al-Qurn dalam seluruh aspek
kehidupan. Bila tidak demikian maka apa yang kita lakukan tidak ubahnya dengan apa yang dilakukan
oleh kaum orientalis, yang memandang Al-Qurn hanya dari segi ilmu, bukan untuk diterapkan.

B. As-Sunnah
As-Sunnahadalah perkataan, perbuatan dan taqrir (ketetapan/persetujuan/diamnya) Rasulullah SAW.
terhadap sesuatu hal/perbuatan seorang shahabat yang diketahuinya. Sunnah merupakan sumber
syariat Islam yang nilai kebenarannya sebagaimana Al-Qurn, karena Sunnah merupakan bagian dari
wahyu. Firman Allah SWT. :

(Dan) Tiadalah yang diucapkannya (oleh Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. An-Najm : 3-4)
Ayat di atas bermakna apa yang disampaikan Rasulullah SAW. (Al-Qurn dan As Sunnah) hanyalah
bersumber dari wahyu Allah SWT., bukan dari dirinya maupun kemauan hawa nafsunya. Sebagaimana
firman Allah SWT. :
..
(Katakanlah Muhammad) aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. (QS. AlAnam : 50)
Ayat ini bermakna bahwa Rasulullah SAW. tidak melakukan suatu tindakan kecuali berdasarkan
wahyu dari Allah SWT. dan agar manusia mengikuti apa yang disampaikannya.
Al-Qurn telah menegaskan bahwa selain dari Al-Qurn, Rasulullah SAW. juga menerima Al
Hikmah yang pengertiannya sama dengan As Sunnah, baik perkataan, perbuatan ataupun ketetapan
(diamnya). Pengertian Al Hikmah yang bermakna As Sunnah dapat ditemukan dalam QS Ali Imran :
164, QS. Al Jumuah : 3, dan QS. Al Ahzab : 34.
Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa kehujjahan As- Sunnah sebagai sumber
hukum/syariat Islam bersifat pasti (qathi) kebenarannya ; sebagaimana Al-Qurn itu sendiri.
Korelasi Fungsional As-Sunnah Terhadap Al-Qurn
Adapun mengenai korelasi fungsional As-Sunnah terhadap Al-Qurn dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. As Sunnah berfungsi untuk menguraikan ayat Al-Qurn yang bersifat mujmal (umum).
Mujmaladalah suatu lafadz yang belum jelas indikasinya (dalalah/penunjukannya), yaitu dalil yang
belum jelas maksud dan perinciannya. Misalnya, perintah shalat, membayar zakat dan menunaikan
haji. Al-Qurn hanya menjelaskannya secara global dan tidak menjelaskan bagaimana tata cara
pelaksanaannya. Sunnah secara terperinci menerangkan tata cara pelaksanaan shalat, jumlah rakaat,
aturan waktunya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan shalat ; begitu pula dengan ibadah-ibadah
yang lain. Ibnu Hazm, menjelaskan :
Sesungguhnya di dalam Al-Qurn terdapat ungkapan yang seandainya tidak ada penjelasan lain ,
maka kita tidak mungkin melaksanakannya.Dalam hal ini rujukan kita hanya kepada Sunnah Nabi
SAW. Adapun ijma hanya terdapat dalam kasus-kasus tertentu saja yang relatif sedikit. Oleh sebab itu
secara pasti wajib kembali kepada Sunnah.
2. As Sunnahberfungsi untuk memberikan batasan khusus terhadap ayat Al-Qurn yang bersifat
umum. Ayat Al Ql-Quran yang bersifat Umum ialah lafadz yang mencakup segala sesuatu makna
yang pantas dengan satu ucapan saja. Misalnya Al-Muslimun(orang-orang Islam), Ar-rijaalu(orangorang laki-laki) dan lain-lain. Di dalam Al-Qurn itu terdapat banyak lafadz yang bermakna umum
kemudian Sunnah mengkhususkan keumumannya Al-Qurn tersebut. Misalnya firman Allah SWT. :


Allah mewajibkan kamu tentang anak-anakmu, untuk seorang anak laki-laki adalah dua bagian dari
anak perempuan. (QS. An Nisaa : 11)
Berdasarkan ayat tersebut di atas, setiap anak secara umum berhak mendapatkan warisan dari
ayahnya. Jadi setiap anak adalah pewaris ayahnya. Kemudian datang Sunnah yang
mengkhususkannya. Sabda Rasulullah SAW. :
Kami seluruh Nabi tidak meninggalkan warisan, apa yang kami tinggalkan adalah sedekah. (HR
Imam Bukhari)

Seorang pembunuh tidak mendapat warisan. (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Menurut hadits di atas, Nabi tidak meninggalkan warisan bagi anak-anaknya serta melarang seorang
anak yang membunuh ayahnya untuk mendapat warisan dari ayahnya.
3. As-Sunnahmemberikan Taqyid(persyaratan) terhadap ayat Al-Qurn yang bersifat Mutlak.
Pengerian ayat yang bersifat Mutlak adalah lafadz yang menunjukkan sesuatu yang masih umum pada
suatu jenis, misalnya lafadz budak, mumin, kafir, dan lain-lain. Di dalam Al-Qurn banyak dijumpai
ayat-ayat yang bersifat mutlak (tanpa memberi persyaratan). Misalnya :

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri hendaklah kamu potong tangan (keduanya).
(QS. Al Maidah : 38)
Ayat ini berlaku mutlak pada setiap pencurian (baik besar maupun kecil). Kemudian Sunnah
memberikan persyaratan nilai barang curian itu sebanyak moinimal seperempat dinar emas. Sabda
Rasulullah SAW. :
Potonglah dalam pencurian seharga seperempat dinar dan janganlah dipotong yang kurang dari
itu. (HR Ahmad)
Begitu pula halnya dengan batas pemotongan tangan bagi pencuri (sebagaimana ayat 38 Surat AlMaidah), yaitu pada pergelangan tangan dan bukan dari tempat lainnya, sebagaimana yang
dicontohkan Rasulullah SAW.
4. As-Sunnahmelengkapi keterangan sebagian hukum-hukum yang telah disebutkan dalam Al Quran.
Peranan Sunnah untuk memperkuat dan menetapkan apa yang telah tercantum dalam Al-Qurn, di
samping melengkapi sebagian cabang-cabang hukum yang asalnya dari Al-Qurn. Al-Qurn
menegaskan tentang pengharaman memperisteri dua orang bersaudara sekaligus.

(Dan diharamkan bagimu) menghimpun (dalam perkawinan) dua perempuan bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau. (QS. An Nisaa : 23)
Di dalam Al-Qurn tidak disebutkan tentang haramnya seseorang mengumpulkan (memadu) seorang
wanita saudara ibu, atau anak perempuan dari saudara laki-laki istri (kemenakan). Sunnah
menjelaskan mengenai hal ini melalui sabda Nabi :
Tidak boleh seseorang memadu wanita dengan ammah (saudara bapaknya), atau dengan saudara
ibu (khala) atau anak perempuan dari saudara perempuannya (kemenakan) dan tidak boleh memadu
dengan anak perempuan saudara laki-lakinya , sebab kalau itu kalian lakukan, akan memutuskan tali
persaudaraan. (HR An Nasai dan Ibnu Majah).
4. As SunnahMenetapkan hukum-hukum baru yang tidak terdapat dalam Al-Qurn. Sunnah juga
berfungsi menetapkan hukum-hukum yang baru yang tidak ditemukan dalam Al-Qurn dan bukan
merupakan penjabaran dari nash yang sudah ada dalam Al-Qurn, akan tetapi merupakan aturanaturan baru yang hanya terdapat dalam Sunnah. Misalnya, diharamkannya keledai jinak untuk
dimakan, setiap binatang yang bertaring, dan setiap burung yang bercakar. Begitu pula tentang
keharaman memungut pajak (bea cukai), penarikan hak milik atas tanah pertanian yang selama tiga
tahun berturut-turut tidak dikelola oleh negara, tidak bolehnya individu memiliki kepentingan umum
seperti air, rumput, api, minyak bumi, tambang emas, perak , besi, sungai, laut, tempat penggembalan
ternak dan lain-lain.
Demikian antara lain ketentuan tambahan (penyempurnaan) yang dilakukan Rasulullah SAW. Maka
sikap seorang Muslim terhadap hal ini sesuai dengan firman Allah SWT. :

Ucapan orang-orang beriman, manakala mereka diajak kepada Allah dan Rasul-Nya supaya Dia
memberikan ketentuan hukum diantara mereka, tidak lain hanya mengatakan : Kami mendengar dan
Kami mematuhinya. Mereka itulah orang-orang yang berbahagia. (QS. An Nur : 51)
Penggunaan nash As Sunnah untuk masalah aqidah haruslah nash yang bersifat qathi, karena tidak
boleh adanya keraguan sedikitpun dalam masalah aqidah/itiqadiyah. Sedangkan untuk masalah
hukum/syariah masih dapat digunakan nash As Sunnah yang mencapai derajat dzanni(prasangka kuat

atas kebenarannya). Hal ini karena dalam masalah syariah tidak diharuskan suatu keyakinan yang
pasti terhadap hasil ijtihad yang akan dijadikan sumber amaliah tersebut (bukan sumber untuk masalah
itiqadiyah).
C. Ijma Shahabat
Secara etimologis Ijma memiliki pengertian kesepakatan dan berarti pula suatu tekad yang konsisten
tehadap sesuatu atau kesepakatan suatu kelompok terhadap suatu perkara. Sedangkan menurut para
ulama ushul fiqh , Ijmaadalah kesepakatan terhadap suatu hukum bahwa hal itu merupakan hukum
syara.
Dalam hal ini terdapat perbedaan dalam hal menentukan siapa yang ijmanya dapat diterima sebagai
sumber hukum atau dalil syari. Ada yang mengatakan ijma ulama pada setiap masa, atau ijma ahlul
bait, atau ijma ahlu Madinah, atau ijma ahlul Halli wal Aqdi, ijma Shahabat atau sebagainya.
Untuk menetapkan sumber pengambilan hukum bagi dalil-dalil syari dibutuhkan suatu sumber yang
bersifat qathi. Di antara berbagai pendapat tentang siapa yang ijmanya dapat diterima sebagai
sumber hukum, maka yang paling memenuhi persyaratan untuk hal ini adalah Ijma para Shahabat
Rasulullah SAW. dengan beberapa alasan:
1. Dari segi mungkin tidaknya seluruh orang yang berijma berkumpul, saling mengetahui ijma
dan dapat mengkoreksi bila diketahui kesalahannya, maka hal ini hanya mungkin terjadi pada masa
shahabat, tidak pada masa selain mereka. Sebagai contoh, ijma ulama. Maka untuk terwujudnya ijma
ulama, haruslah diperjelas siapa saja ulama itu; apakah ulama yang sudah sering digunakan untuk
membuat hukum pesanan juga termasuk di dalamnya ? Akan pasti benarkah ijma mereka tesebut ?
Benarkah semua ulama tadi mengetahui dan menyetujui ijma tersebut ? Tidak adakah yang
selanjutnya menarik atau membatalkan ijmanya tadi sampai ia meninggal ? Dan mungkinkah para
ulama (seluruh kaum Muslimin di seluruh dunia) mampu berkumpul bersama membahas suatu
masalah baru ? Masih banyak yang tidak bisa terjawab selain oleh para shahabat, padahal semua hal
tadi merupakan syarat sahnya sebuah ijma oleh suatu kelompok. Karena ketidakmungkinan itulah,
Imam Ahmad bin Hambal pernah menyatakan bahwa suatu kebohongan besar bila ada yang
mengatakan mampu terwujud ijma setelah masa shahabat. Dan karena ketidakmungkinan itu pula
yang pada akhirnya muncul istilah jumhur ulama ; artinya kebanyakan ulama berijtihad dengan hasil
serupa terhadap suatu masalah. Jumhur berbeda dengan ijma.
2. Banyaknya pujian kepada para Shahabat secara jamaah, baik tercantum dalam Al-Qurn
maupun hadits (keduanya dalil yang qathi kebenarannya). Seperti tercantum dalam QS Al Fath : 29,
QS At Taubah: 100, QS Al Hasyr: 8. Begitu pula sabda Rasulullah SAW. :
Sesungguhnya aku telah memilih para shahabatku atas segenap makhluk, selain para nabi. (HR
Thabari, Al Baihaqi dan lain-lain).
Para shahabatku itu ibarat bintang pada siapapun (di antara mereka) kalian turuti, maka akan
mendapatkan petunjuk. (HR Ibnu Abdil Barr)
Petunjuk Allah dan Rasul-Nya terhadap para shahabat menunjukkan suatu kepastian tentang
kebenaran dan kejujuran mereka (sebagai suatu jamaah, bukan secara pribadi-pribadi) sehingga
apabila mereka bersepakat atas suatu masalah, maka hal itu atas dasar kejujuran dan kebenaran
mereka. Dalil-dalil yang memuji para Shahabat tersebut bersifat qathi sehingga kita bisa menentukan
bahwa ijma shahabat dapat digunakan sebagai dalil syara.
3. Sesungguhnya para shahabat merupakan generasi yang mengumpulkan, menghafalkan dan
menyampaikan Al-Qurn dan Sunnah pada generasi berikutnya. Di samping itu para shahabat
merupakan orang-orang yang hidup semasa Rasulullah SAW., hidup bersama, mengalami kesulitan
dan kesenangan secara bersama-sama. Merekalah yang mengetahui kapan, dimana, dan berkaitan
dengan peristiwa apa suatu ayat Al-Qurn diturunkan. Merekalah yang mengetahui Sunnah Rasulnya,
mengalami dan melihat sendiri kehidupan kaum Muslimin generasi pertama tatkala Rasulullah masih
hidup. Lalu adakah generasi yang lebih baik yang pernah dilahirkan manusia di muka bumi ini selain

mereka (para shahabat) ? Ijma siapa lagi selain ijma mereka yang lebih baik dan lebih kuat ?
4. Memang tidak mustahil para shahabat pun melakukan kesalahan, sebab merekapun tetap
manusia yang tidak mashum . Akan tetapi secara syari mereka mustahil bersepakat atau berijma atas
suatu kekeliruan/kesesatan. Apabila terjadi kesalahan dalam ijma mereka tentang suatu persoalan
maka tentu akan terdapat kesalahan dalam Islam, dalam Al-Qurn dan Hadits sebab merekalah yang
menyampaikan Al-Qurn dan menuturkan Hadits Rasulullah SAW. pada generasi berikutnya. Bahkan
sebenarnya mereka pulalah yang memberitahukan Islam kepada generasi selanjutnya. Karenanya
kesalahan dalam ijma shahabat adalah mustahil terjadi secara syari.
Beberapa Contoh Ijma Shahabat
Salah satu ijma shahabat terpenting adalah pengumpulan Al-Qurn menjadi mushaf. Al-Qurn
dalam bentuk sekarang ini merupakan hasil kesepakatan (ijma) para shahabat. Bersamaan dengan ini
Allah SWT. berfirman :

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qurn dan sesungguhnya Kami benar-benar akan
menjaganya. (QS. Al Hijr : 9)

Yang tidak datang kepadanya (Al-Qurn) kebathilan, baik dari depan maupun dari belakangnya.
(QS. Fushilat : 42)
Dari kedua ayat tersebut, Allah memastikan bahwa mushaf Al-Qurn yang ada kini yang
merupakan ijma para shahabat dijamin kebenarannya. Dengan kata lain melalui tangan-tangan para
shahabatlah, Allah menjaga kebenaran Al-Qurn. Jika ada kemungkinan salah dalam ijma shahabat,
berarti ada kemungkinan salah dalam Al-Qurn sekarang. Padahal hal ini adalah mustahil terjadi.
Dengan demikian secara syari mustahil terjadi kesalahan dalam ijma shahabat. Inilah dalil yang pasti
bahwa ijma shahabat merupakan dalil syari. Contoh lain yang masyhur tentang ijma shahabat adalah
keharusan adanya seorang khalifah yang akan memimpin dan mengurus seluruh kebutuhan kaum
muslimin, melindungi, dan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia, sebagaimana yang
dilakukan para shahabat tatkala Rasulullah SAW. wafat.
D. Qiyas
Menurut para ulama ushul, qiyas berarti menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nashnya dengan
suatu kejadian yang sudah ada nash/hukumnya, karena disebabkan adanya kesamaan dua kejadian itu
dalam illat (sebab) hukumnya. Qiyas digunakan sebagai sumber dalil syariy, karena dalam qiyas
yang menjadi dasar pengambilan hukum adalah nash-nash syari yang memiliki kesamaan illat.
Sebagaimana diketahui bahwa yang menjadi dasar keberadaan hukum adalah illatnya, maka apabila
ada kesamaan illat antara suatu masalah baru dengan masalah yang sudah ada hukumnya, maka
hukum masalah yang baru tersebut menjadi sama. Maka bila illat yang sama terkandung dalam AlQurn berarti dalil qiyas dalam hal tersebut adalah Al-Qurn.
Sebagai contoh, transaksi jual beli tatkala adzan shalat Jumat merupakan peristiwa yang telah
ditetapkan dalam nash, yaitu haram, berdasarkan ayat :


Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah (shalat) dan tinggalkanlah jual beli . (QS. Al Jumuah :
9)
Illatpada ayat di atas adalah karena hal tersebut melalaikan shalat. Jadi, sewa menyewa, transaksi
perdagangan maupun perbuatan lainnya yang mempunyai kesamaan illat, yaitu melalaikan shalat,
maka perbuatan tersebut hukumnya diqiyaskan dengan perbuatan jual beli di atas, yaitu haram.

Masalah dekadensi moral dan solusi Islam


Banyak bangsa di dunia, selama berabad-abad telah meragukan kedudukan wanita sebagai manusia.
Bahkan bangsa Romawi yang dikenal sebgaai bangsa maju pada zamannya, aktif mengadakan
seminar-seminar untuk membahas tabiat dan karakter wanita, apakah ia tergolong suatu benda ataukah
sejenis manusia? Apakah wanita itu hanya sebagai materi kesenangan atau ia tergolong makhluk hidup
yang memiliki watak dan sifat manusiawi?
Seminar-seminar semodel itu terus berlanjut, mendiskusikan tabiat dan karakter wanita sampai
berabad-abad setelah munculnya Islam. Di Roma diadakan seminar-seminar gereja pada abad
pertengahan untuk membahas hakikat wanita yang sebenarnya. Apakah nyawa wanita itu seperti
nyawa pria? Ataukah ia memiliki nyawa seperti binatang? Pada akhirnya seminar-seminar itu
berkesimpulanbahwa wanita tidak memiliki nyawa. R.H. Lauer dalam bukunya Social problems and
the Quality of Life (IOWA: Wm.C Brown, 1978:360) menyatakan bahwa Aristoteles menyebut wanita
sebagai manusia yang belum selesai, yang tertahan perkembangan tingkat bawah. Kemudian dalam
Rig Weda:10, 95, 15 dinyatakan Tidak boleh menjalin persahabatan dengan wanita. Pada
kenyataannya hati wanita adalah sarang serigala.
Tidak begitu berbeda jauh dengan para pendahulunya, pada saat ini pun akibat pengaruh pemikiran
Kapitalisme-sekularisme dan Sosialisme-komunisme banyak bangsa yang merendahkan posisi dan
martabat wanita. Di samping itu, hubungan yang terjadi di antara wanita dan pria selalu mengarah
pada hubungan jinsiyah (hubungan yang hanya memandang kepada kelelakian dan kewanitaan
semata, hubungan yang mengarah pada aspek seksualitas) sebagaimana ajaran Sigmund Freud yang
mengatakan bahwa karakter potensi seksual manusia adalah sebagaimana karakter kebutuhan
jasmaniyah, artinya jika tidak dipenuhi maka akan mengakibatkan pada kegelisahan dan kematian.
Sehingga tidak heran jika dalam masyarakat Barat dan masyarakat yang sepemikiran dengan Barat,
hal-hal yang mendukung untuk mengarah pada hubungan jinsiyah antara wanita dan pria
dibudidayakan serta wajib ada. Dengan hal itu, faktor-faktor yang dapat membangkitkan gharizah
nau (naluri seksualitas manusia), yaitu fakta fisik dan pemikiran-pemikiran yang mengadung makna
jinsiyah (ke arah seksualitas) tidak pernah lepas dari aktivitas sehari-hari kehidupan masyarakatnya.
Akibatnya, tidak heran dari mulai cara berpakaian, isi novel, iklan, tempat-tempat hiburan sampai film
(anak-anak atau dewasa) selalu mengarah pada ekspose hubungan ini.
Dampak bagi masyarakat model ini adalah tingkat kasus kejahatan seksual sangat tinggi, contohnya
Barat. Amerika memiliki kasus perkosaan sampai memasuki 114 orang per 100.000 penduduk setiap
tahun (United Nations Development Programme, Human development Report 1991:176, New York:
Oxford University Press), 21 % wanita Amerika pernah diperkosa sejak usia 14 tahun. Melihat
laporan-laporan tahun terakdir, disimpulkan bahwa pemerkosaan terjadi 10 kali lipat dari data yang
masuk. Sementara itu, Dr. Kinsey, seorang peneliti masalah sosial Amerika Serikat, mendapat laporan
yang sangat mencengangkan, yaitu 95 % masyarakat AS berkelakuan tidak senonoh. Dr. Annie
Besant, seorang sosiolog terkemuka Barat berkomentar pesimis tentang nasib wanita, Di Barat
ribuan wanita memenuhi jalan setiap malamnya. (bandingkan dengan kehormatan wanita yang
sangat dijunjung tinggi oleh Islam, antara lain ketika seorang muslimah di kota Amuria, yaitu wilayah
antara Irak Utara dan Syam, dinodai oleh seorang pembesar Romawi, maka Khalifah Mutashim,
pemimpin Islam saat itu, kontan mengerahkan tentaranya untuk membalas pelecehan tersebut. Bukan
saja si Pejabat yang digempur, tetapi juga kerajaan Romawi. Banyaknya bala tentara yang dikirim
pada saat itu, dalam sebuah riwayat disebutkan, kepala pasukan beradaAmmuriah sedangkan
ekornya berada di Baghdad. Dan untuk membayar penghinaan tersebut 30.000 tentara musuh tewas
dan 30.000 lainnya berhasil ditawan. Subhanallah).
Selain itu, akibat rusaknya pemikiran masyarakat Barat ini dalam memenuhi naluri seksualitasnya,
yaitu menyebarnya wabah AIDS. Berdasarkan data statistik WHO tahun 1991 saja terdapat 1,2 juta
masyarakat dunia dilanda AIDS dan 12 juta dinyatakan sero-positif, dan 1juta diantaranya adalah bayi
yang tidak berdosa. Pada tahun 1992 naik lagi menjadi 10 juta, dan lagi-lagi Amerika menempati
peringkat teratas, yaitu sekitar 2 juta, 1,3 Afrika, dan 1 juta Asia.
Demikianlah kondisi dimana pemikiran manusia sangat jauh tersesat dalam memandang hubungan

pria dan wanita. Hal ini tentu saja akan berbeda dengan pandangan Islam baik prinsip maupun
rinciannya. Lalu bagaimanakah Islam memandang kedudukan pria dan wanita dalam kehidupan ini?
serta bagaimanakah pandangan Islam tentang hubungan antara keduanya?
Pria dan Wanita Dalam Islam
Islam merupakan sistem hidup yang khas bagi manusia dan pasti sesuai dengan fitrah manusia. Islam
sebagai suatu pola dan sistem hidup memiliki perbedaan yang besar, mendasar, dan bertentangan
dengan sistem dan pola hidup lainnya (Kapitalisme/sekularisme, sosialisme-komunisme, atau agama
lainnya). Berkaitan dengan hal itulah maka Islam telah mewajibkan kepada seluruh kaum muslimin
untuk hidup berada di bawah naungan aturan yang terdapat di dalam Islam. Dan sebagai konsekuensi
logis dari keimanan seorang muslim dituntut untuk menjadikan hanya Islam sebagai satu-satunya
miqyas Al Amal (standar perbuatan), asasul hayah (landasan kehidupan), dan qaidah wa qiyadah
fikriyah (acuan berfikirnya) di dalam kehidupan. Sebab Islam tidak hanya menyangkut tentang
masalah keyakinan dan peribadahan belaka, melainkan juga memberikan aturan hukum dalam
mengatur kehidupan manusia, baik individu, keluarga, dan masyarakat, serta memberikan juga
pemecahan/solusi terhadap setiap problematika kehidupan manusia.
Dalam pandangan Islam, Allah SWT. menciptakan manusia terdiri dari pria dan wanita dengan fitrah
yang khas dan berbeda dengan hewan. Wanita adalah manusia, demikian pula pria. satu dengan
lainnya dari sisi kemanusiaannya adalah sama. Begitu pula dari sisi ini, satu sama lainnya tidak
memiliki kelebihan sebagaimana firman Allah SWT.:
Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari keorang laki-laki dan seorang
perempuan. Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar kalian saling
mengenal. Sesungguhnya semuali-mulianya kalian di sisi Allah SWT. adalah yang paling bertakwa di
antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti (QS.Al Hujurat:13).
Allah SWT. telah mempersiapkan keduanya untuk berperan dalam kancah kehidupan sebagai insan
dan menjadikan keduanya hidup berdampingan secara pasti dalam satu masyarakat, sebagaimana
firmanNya:
Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan ada bagian dari
apa yang mereka usahakan (QS. An Nisaa:32).
Allah SWT. telah menjadikan kelestarian komunitas manusia tergantung pada perpaduan dan
keberadaan pria dan wanita dalam setiap masa dan generasi suatu masyarakat, sebagaimana
firmanNya:
Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan
daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak (QS.Nisaa:1).
Oleh karena itu, tidak dibenarkan dalam Islam jika hanya memperhatikan salah satu di antara
keduanya, karena keduanya adalah manusia yang dilengkapi dengan segala kekhususan sebagai
manusia serta sendi-sendi kehidupan yang sama. Allah SWT. telah menciptakan apada setiap pria dan
wanita potensi kehidupan (hajatun udlawiyah dan gharizah). Di samping itu, Allah SWT. telah
menciptakan pula bagi keduanya kekuatan berfikir dengan kadar yang sama, karena Allah
menciptakan akal adalah untuk manusia, yaitu pria dan wanita. Demikian pula Al Islam telah
mendudukan akal sebagai tempat bergantung bagi pengamalan syariatNya (manathut taklif), maka apa
yang dibebani untuk mengamalkan-nya adalah manusia. Firman Allah SWT.:
Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?
(QS. Al Qiyamah:36).

Atas dasar tersebut, maka pria dan wanita memiliki hak dan kewajiban, serta tanggung jawab bersama.
ketika hak dan kewajiban itu bersifat manusiawi (insaniyah) maka akan dijumpai adanya persamaan
hak dan kewajiban, persamaan dalam memikul tanggung jawab sehingga keduanya sama-sama
sepenanggungan. Bertolak dari hal ini, Islam tidak membedakan pria dan wanita dalam mengajak
manusia kepada keimanan dan menjalankan syariatNya. Allah SWT. berfirman:
Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan kepada seluruh umat manusia (QS.
Saba:28).
Dengan demikian jelaslah bahwa Islam telah mempersamakan keduanya dalam berbagai kewajiban
ibadah, dakwah, tata hukum muamalah (Al bai/jual-beli, ijarah/pengupahan, kafalah/ tanggungan,
jaminan, halawah/pelimpahan pembayaran hutang, al rahn/pergadaian, Al shulhu/aqad damai,
ariyah/pinjam-meminjam)dllnya. Islam juga akan menjatuhkan hukuman dan sanksi kepada
keduanya atas tindakan pelanggaran mereka terhadap hukum Allah SWT., tanpa membedakan jenis
keduanya. Perhatikan firman Allah SWT. dalam QS. 24:2, 5:33, 38, 2:178, dll.
Jadi, manusialah yang dijadikan Allah sebagai sasaran keharusan mengamalkan syariat, tidak hanya
laki-laki saja, atau wanita saja, tetapi keduanya. Allah SWT. akan meminta pertanggung jawaban
manusia dan Allahlah yang berwenang menentukan manusia apakah berada dalam surga ataukah
neraka.
Perbedaan Pria dan Wanita Dalam Islam
Apabila hak, kewajiban, dan pertanggungjawaban syara menyangkut tabiat wanita selaku wanita, baik
kedudukan, fungsi, ataupun posisi wanita dalam masyarakat; atau menyangkut tabiat pria selaku pria
tentang kedudukan, fungsi, dan posisinya dalam masyarakat maka dalam hal ini hak dan kewajiban ,
serta pertanggungjawaban syara akan berbeda antara keduanya. Permasalahannya disini tidak
menyangkut penanganan atas manusia secara umum, melainkan terhadap jenis manusia yang memiliki
tabiat dan sifat kemanusiaan yang berbeda satu sama lain. Sehingga penanganannya pun harus
dikhususkan untuk setiap jenis manusia dan tidak dapat digeneralisasikan sebagai sesama manusia.
Oleh sebab itu, kesaksian wanita atas kasus yang terjadi di tengah kelompok pria dalam masyarakat,
baru akan sama dengan derajat kesaksian seorang pria apabila kesaksian tersebut diberikan atas dua
orang wanita. Misalnya kesaksian waniat terhadap hak-hak dan muamalah (lihat QS.2:282). Demikian
pula kesaksian dalam piutang (al dain, jual beli, kredit/al qardl, pegadaian, merebut milik orang
lain/ghasab, dll. Sedangkan untuk kasus khusus yang terjadi di kalangan wanita (tindak kriminal di
lingkungan wanita), yang ditempat itu tidak terdapat laki-laki, maka kesaksian dari wanita yang ada di
situ harus diterima. Walaupun sebenarnya kesaksian atas masalah ketentuan hukum (hudud) dan
tindakan kriminal (jinayat) tidak dapat diterima. Akan tetapi haram hukumnya untuk
menyembunyikan kesaksian dalam masalah apapun (perhatikan Qs.2:183).
Ijtimadan IkhtilathPria dan Wanita Dalam Islam
Ikhtilath(percampuran) adalah berkumpulnya pria dan wanita dalam keadaan tercampur-baur dan
terjadinya interaksi diantara mereka, seperti makan-minum bersama-sama. Dengan demikian, terdapat
dua unsur di dalamnya, yaitu ijtima (berkumpul) dan alaqat (interaksi). Berkumpul saja tidak dapat
dinamakan ikhtilath, sehingga seorang wanita yang berada di smaping seorang laki-laki di kendaraan
umum (bis kota, angkot, pesawat, KA, dll) tidak dinamakan ikhtilath. Berinterasi saja tanpa terjadinya
ijtima (berkumpul) tidak dinamakan ikhtilath, misalberbicara lewat telepon. Oleh sebab itu untuk
dinamakan ikhtilath haruslah terjadinya ijtima (berkumpul) pria dan wanita, yang di dalamnya terjadi
pula interaksi (bercampur baur).
Inilah kenyataan mengenai ikhtilath. Hukum syara yang berhubungan dengan ikhtilath wajib
diterapkan sesuai dengan kenyataan ini. Apabila kenyataan ini sesuai dengan hukum syara, maka ia
menjadi hukum yang telah ditetatpkan dan bila tidak sesuai maka tidak ada ketetapan hukum di sana.
Adapun berkumpulnya pria dan wanita, maka dalil-dalai syariy yang menyangkut hubungan pria dan
wanita berdasarkan dalalatul iltizam (makna yang ditunjukkan lafadz/mafhum muwafaqah) adanya

larangan secara umum. Antara lain diharamkan bagi pria untuk melihat aurat wanita yang bukan
mahramnya, sekalipun hanya rambutnya. Larangan tersebut bersifat mutlak, baik diiringi dengan
syahwat atau tidak. Demikian pula bagi wanita untuk membuka auratnya di hadapan laki-laki yang
bukan mahramnya, walaupun yang terbuka itu sebatas leher. Larangan ini bersifat umum, baik dilihat
pria ataupun tidak. Hukum syara rtelah mewajibkan pula kepada pria dan wanita untuk menahan
pandangannya dan diharamkan pula bagi wanita untuk melakukan perjalanan seorang diri tanpa
mahramnya sekalipun untuk melakukan ibadah haji.
Syara menetapkan bahwa setiap wanita dalam shalat dimasjid berada di belakang shaf pria dan
terpisah. Tetapi dalam pengajian, Rasulullah SAW. telah memenuhi permintaan kaum wanita, karena
permohonan wanita: Kami telah dikalahkan kaum pria, maka berikanlah (pengajian khusus) untuk
kami pada suatu hari. Hadits ini menjelaskan bahwa ketika kaum pria dan wanita sedang bersamasama mendengar pengajian Rasulullah SAW., kaum wanita tidak dapat mendengar (dengan baik)
karena terhalang pria yang berada di shaf depan sehingga kaum wanita meminta kepada Rasulullah
SAW. agar memberikan pengajian (khusus bagi mereka) pada suatu hari.
Hukum syara juga tidak membolehkan kesaksian wanita dalam perkara pidana (jinayat). Dalil tentang
hukum-hukum tersebut di atas menunjukkan bahwa berdasarkan dalalatu al iltizam agar kaum wanita
dipisahkan dari kehidupan pria. Kaum pria tidak dibolehkan bergaul (dengan cara berkumpul) dengan
kaum wanita. Di samping itu bentuk kehidupan kaum muslimin di masa Rasulullah saw. terpisah
antara pria dan wanita. Pemisahan ini memiliki adanya larangan berkumpulnya laki-laki dan wanita..
Jadi dalil umum hukum syara yang berkaitan dengan hubungan laki-laki dan wanita menunjukkan
secara pasti dan tidak samar tentang pemisahan pria dan wanita. karena dalil-dalil tersebut datang
dalam bentuk qathiy tsubut dan dalalahnya, baik dari Al Qur-an maupun hadits mutawatir. sehingga
pemisahan antara pria dan wanita bagi kaum muslimin merupakan hal yang telah diketahui sebagai
malumun minad diini bidharurah (diketahui dengan sendirinya sebagai suatu urusan agama yang
penting dan bermakna wajib) karena kuatnya dalil-dalil tersebut tidak memerlukan komentar lagi.
Sesungguhnya syara telah menetapkan bagi kaum muslimin adanya kehidupan khusus dan umum
(bermasyarakat). Adanya kehidupan khusus, syara telah menunjukkan dalil-dalil tertentu yang
menunjukkan adanya ketentuan berkehidupan seperti ini serta dalil-dalil yang berkaitan dengannya.
Adapun dalil-dalil yang menunjukkan adanya kehidupan khusus adalah bahwa lingkungan rumah
tangga telah dijadikan sebagai kehidupan khusus. Syara telah mengharuskan meminta izin ketika
seseorang hendak memasuki rumah yang bukan miliknya. hal ini membuktikan adanya kehidupan
khusus. Berkaitan dengan hal itu, dalil-dalil yang menyebutkan lafadz buyut (rumah-rumah)
merupakan petunjuk dan bukti adanya kehidupan khusus tersebut. Adapun yang dimaksud dengan
rumah adalah penghuni dan keadaan rumah tangga, dan bukan bangunan atau gedungnya. Allah SWT.
berfirman:
(dan) tanyalah (penduduk) kampung/negeri itu. (QS. Yusus:82).
Kalimat Tanyalah kampung negeri itu yang dimaksudkan adalah penduduknya. demikian pula
lafadz rumah di dalam dalil tersebut, maksudnya adalah penghuni rumah dan keadaan kehidupan
dalam rumah itu (kehidupan khusus). Kata-kata buyut (rumah) dalam berbagai ayat-ayat Al-Quran
Al-Karimseperti dalam:
...Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu(QS.An Nuur:27).
Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah(QS.An Nisaa:15).
Di rumahmu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu (QS.An Nuur:61).
Lafadz rumah (buyut) dalam ayat-ayat tersebut di atas dan yang lainnya menunjukkan adanya
kehidupan khusus. dengan demikian kaum muslimiin memiliki kehidupan khsusus sesuai dengan
nash-nash yang ada.
Kehidupan khusus ini mempunyai indikasi yang menunjukkan perbedaan kehidupan tersebut dengan

kehidupan lainnya yang mempunyai hukum-hukum yang khusus pula. Adapun indikasi itu adalah
perintah untuk meminta izin ketika hendak memasuki rumah kepada orang yang berwenang untuk
memberi izin (penghuni rumah), sebgaimana firman Allah SWT.:
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu(QS.An Nuur:27).
Ayat tersebut di atas berarti melarang memasuki rumah dan juga melarang secara umum terhadap
semua hal yang berkaitan dengan larangan masuk tersebut, berdasarkan dalalatul iltizam. Kasus
larangan memasuki rumah mengharuskan larangan terhadap seluruh hal yang berkaitan dengannya,
seperti makan, minum, berbicara, memberikan pelajaran, dll yang memerlukan izin masuk ke
dalamnya. Maka selama adanya larangan masuk ke dalam rumah selama itu pula terdapat larangan
serupa yang berkaitan dengan larangan masuk, sebab: Larangan terhadap sesuatu mengharuskan
adanya larangan terhadap hal-hal yang berkaitan dengannya
Jadi, berdasarkan dalalatul iltizam/mafhum muwafaqah telah ditetapkan bahwa hukum kehidupan
khusus adalah tahrim (terlarang) terhadap segala sesuatu, termasuk larangan memasukinya dan segala
perkara yang berkaitan dengannya. Jadi firman Allah SWT: Janganlah kamu memasuki rumah
memiliki makna pula: Janganlah kamu bercakap-cakap dengan penghuninya, janganlah kamu makanminum, dan janganlah kamu melakukan sesuatu apapun yang berkaitan dengan larangan masuk ke
dalam rumah. Karena larangan masuk berarti larangan terhadap semua hal yang berkaitan dengannya.
Oleh sebab itu, agar dibolehkan memasuki (suatu rumah) dan semua hal yang berkaitan dengannya
diperlukan adanya nash syara yang membolehkan masuk serta yang berkaitan dengannya. karena dalil
pelarangannya bersifat umum, sedangkan keumuman dalil tetap berlaku selama tidak terdapat dalil
yang mengkhususkannya. Oleh sebab itu, harus diperoleh nash syara yang membolehkannya sehingga
terlepas dari keumuman dalil. dan selama belum diperoleh nash syara yang mengkhususkan maka
tidak dibenarkan adanya pengecualian dari dalil yang bersifat umum, yaitu yang melarangnya.
Syara telah menetapkan kebolehan memasuki rumah di samping menetapkan kebolehan makan (di
rumah) orang-orang tertentu, juga menjelaskan kebolehan kunjungan silaturahmi, kebolehan melihat
aurat wanita muhrim (dalam bats tertentu), berbicara dengan mereka, dll.nya yang termasuk dalam
hal-hal yang telah ditetapkan oleh nash tentang kehidupan yang bersifat khusus. Atas dasar inilah
(yang sudah ditetapkan syara tentang kebolehannya) dibolehkan beberapa hal dalam kehidupan
khusus, yang berarti dikecualikan dari larangan memasuki rumah sehingga termasuk pada bagian nash
yang membolehkan. hal-hal yang tidak disebutkan oleh nash syara tidak dikecualikan dari larangan.
diizinkan masuk berarti dibolehkan untuk masuk. Adapun kebolehan masuk ini bukan disebabkan oleh
adanya izin akan tetapi karena syara telah menentukan atas kebolehannya, tidak termasuk hal-hal
yang menyangkut keperluan untuk memasuki rumah, karena syara telah membolehkan masuk rumah
dengan izin, dan tidak membolehkan selain dari itu. Maka kebolehan tersebut khusus untuk memasuki
rumah sebab larangan tersebut mengharuskan adanya keumuman nash, akan tetapi adanya izin untuk
memasuki rumah itu tidak mencakup dibolehkannya makan dan minum, sebab dalil yang melarang
bersifat umum. Adapun dalil tentang dibolehkannya memasuki rumah bersifat khusus terbatas hanya
boleh memasuki rumah karena terdapat nash tentang hal tersebut yang ada (boleh masuk rumah) tidak
mencakup hal yang lain. Sehingga dalaltul iltizam tidak berlaku di sini.
Demikian pula syara telah menetapkan dibolehkannya makan, minum bagi orang-orang tertentu
sesuai dengan firman Allas swt.:
Dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama mereka) di rumah kamu sendiri atau di
rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah
saudara-saudaramu yang perempuan, di rumah bapak kamu yang laki-laki, di rumah saudara ibumu,
di rumah saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara ibumu yang perempuan, di rumah yang
kamu memiliki kuncinya atau di rumah kawan-kawanmu. tidak ada halangan bagimu makan
bersama-sama mereka atau sendirian (QS.An Nuur:61).
Nash ini berlaku bagi mereka setelah adanya izin memasuki rumah untuk makan, minum. Berarti nash
ini adalah pengecualian bagi mereka untuk memasuki rumah. Sedangkan izin untuk makan, kepada

mereka dibolehkan pula untuk berkumpul (ijtima) dalam jamuan makan. jadi khusus menyangkut
jamuan makan dan hanya menyangkut jamuan maka; hanya berlaku bagi mereka saja tidak termasuk
orang lain. Hal ini ditinjau dari segi dalalahnya.
Demikian pula perintah syara untuk bersilaturahmi, perintah tersebut menunjukkan kebolehan
berkumpul dengan wanita-wanita yang masih ada hubungan famili (uli arham), apabila mereka datang
untuk bersilaturahmi, sekalipun mereka yang datang itu paman atau kemenakan dll, selama mereka
termasuk orang-orang yang diperintahkan bersilaturahmi. Begitu pula syara telah membolehkan para
kerabat melihat aurat mahramnya, dibolehkan pula bagi wanita mahram menampakkan sebagian
auratnya terhadap sesama mahramnya. hal ini menunjukkan dibolehkan berkumpul dengan mereka
dalam kehidupan rumah tangga (khusus). Jadi, mereka setelah mendapat izin untuk masuk dibolehkan
berkumpul dengan wanita mahramnya. dengan demikian setiap orang yang termasuk di dalam nash,
yang dibolehkan melakukan sesuatu selain memasuki rumah, maka mereka dibolehkan sebatas apa
yang ditentukan nash. Sebab ini merupakan pengecualian berdasarkan nash. dan sesuatu yang tidak
disebutkan oleh nash maka tidak boleh melakukannya.
Bertemunya pria dan wanita yang tidak ada hubungan mahram dalamkehidupan khusus secara mutlak
diharamkan, sebab termasuk dalam nash yang melarangnya dan tidak terdapat nash yang
mengecualikannya. Oleh sebab itu hukumnya haram. Jadi ikhtilath dalam kehidupan khusus
diharamkan dan tidak dibolehkan kecuali terhadap orang-orang yang oleh syara dibolehkan dalam
kondisi-kondisi tertentu. dalam kehidupan khusus (rumah tangga) diharamkan berkumpul seorang
pria dengan wanita berdasarkan dalil yang khusus, disamping yang umum yang menjelaskan
terpisahnya kehidupan pria dan wanita.
Adapun kehidupan masyarakat yang bersifat umum berdasarkan dalil-dalil yang umum jelas tidak
membolehkan bertemunya pria dan wanita, malahan masing-masing harus terpisah. Namun demikian,
syara telah menjelaskan hukum yang khusus menyangkut masing-masing urusan pria dan wanita, di
samping hukum yang menyangkut keduanya. Syara telah membolehkan dalam masalah interaksi,
sperti hubungan bisni/ekonomi, muamalah, dll, baik dari wanita maupun pria tanpa adanya perbedaan
seperti halnya syara telah membolehkan bagi keduanya melakukan aktivitas jual-beli, sewa menyewa,
wakalah (pemberian kuasa), hibah, syufah/prioritas membeli, wakaf, syirkah, wasiat, dan
hiwalah/pengaliahn piutang; masing-masing dibolehkan untuk memiliki apa yang diinginkannya, serta
mengembangkan miliknya, menuntut ilmu, ketreampilan dalam industri, termasuk mengajar.
Syara juga telah mewajibkan jihad bagi laki-laki dan membolehkannya untuk wanita, mewajibkan
shalat Jumat bagi laki-laki dan membolehkannya bagi wanita, sunah shalat berjamaah bagi laki-laki
dan membolehkannya bagi wanita, mewajibkan laki-laki untuk mencari nafkah dan mubah bagi
wanita, mewajibkan haji bagi laki-laki sementara wajibnya atas wanita terikat dengan syarat adanya
mahram atau sekelompok wanita. Syara melarang wanita menjadi penguasa (khalifah, muawin, dll)
dan membolehkannya bagi laki-laki. Syara mewajibkan wanita berjilbab dan laki-laki tidak. Syara
menetapkan aurat laki-laki tidak sama dengan aurat wanita. Syara tidak membolehkan kesaksian
wanita dalam urusan jinayat (pidana) dan mebolehkannya dalam perkara huquq dengan ketentuan
kesaksian dua wanita sebanding dengan satu laki-laki. Syara membolehkan baik laki-laki maupun
wanita, masing-masing untuk berjalan-jalan, melihat pemandangan, berbicara, mengucapkan selamat,
bermain, berlari, dan segala sesuatu yang termasuk hal-hal umum yang menyangkut pria dan wanita.
Hukum-hukum yang disebutkan di atas, pada kenyataannya diperuntukkan bagi kehidupan bersifat
umum. Apabila tidak dapat dihindari bertemunya pria dan wanita, seperti dalam bisni dan muamalah
lainnya maka dia dibolehkan bertemu dengan laki-laki untuk tujuan tersebut. Sebab dengan
dibolehkannya jual-beli dan muamalah lainnya itu berarti dibolehkan juga untuk berkumpul, karena
dalil tentang kebolehan (jual beli dan muamalah lainnya itu) mencakup pertemuan keduanya selama
kebolehan itu bersifat umum. Hal ini tidak tremasuk kategori berikhtilath atau disebut sebagai ikhtilath
yang dibolehkan syara.
Berdasarkan hal inilah, maka pertemuan (berkumpulnya) pria dan wanitadalam kehidupan yang
bersifat khusus mutlak diharamkan, baik pertemuan itu didapati ikhtilath (interaksi) ataupun tidak,
kecuali hal-hal yang nash syara telah membolehkannya, baik berupa perbuatan mubah, wajib, atau
sunnah, seperti halnya silaturahmi atau pertemuan antarkeluarga mahram. Adapun dalam kehidupan
yang bersifat umum, maka pertemuan (berkumpulnya) pria dan wanita untuk melakukan suatu hal

yang dibolehkan syara maka diperbolehkan, seperti dalam kegiatan perdagangan, pertanian, industri,
serta sejenisnya. hal tersebut diperbolehkan sekalipun di dalamnya terjadi ikhtilath, yaitu
berkumpulnya pria dan wanita dalam keadaan bercampur baur dan berinteraksi, karena dibolehkan
dalam hal-hal semacam ini berarti dibolehkannya pertemuan pria dan wanita untuk tujuan tersebut
atau disebabkan oleh hal-hal yang tidak mungkin dilaksanakan tanpa adanya pertemua pria dan
wanita. Oleh karena itu, dalil yang membolehkan aktivitas tersebut di atas merupakan dalil pula untuk
membolehkan bercampurnya pria dan wanita. Adapun apabial terdapat suatu kegiatan yang
diharamkan syara, seperti judi atau sesuatu yang tidak mengahruskan adanya pertemuan pria dan
wanita, seperti berjalan-jalan dan bermain-main, maka pertemuan itu adalah berdosa, baik terjadi
interaksi diantara mereka atau tidak. Sebab pertemuan dalam kedaan tersebut berdosa berdasarkan
dalil-dalil umum yang mengharamkan adanya pertemuan antara pria dan wanita. Dengan demikian
terjadinya pertemuan merupakan dosa sebab tidak ada dalil yang mengecualikan dari ketentuan
tersebut, seperti yang terjadi pada jual-beli.
Jadi, semua bentuk pertemuan pria dan wanita adalah berdosa, kecuali jika ada dalil yang
membolehkannya pertemuan tersebut. Maka dalil tersebut tidak berlaku dalam kehidupan umum dan
tidak berlaku dalam kehidupan khusus secara mutlak kecuali dalam keadaan tertentu yang menurut
syara dibolehkan.
Ketentuan Pergaulan Laki-Laki dan Wanita Dalam Islam
1. Keharusan bagi pria dan wanita untuk menundukkan pandangan, kecuali dalam adanya tujuan
meminang, proses belajar-mengajar, pengobatan, proses peradilan dalam rangka memberikan
kesaksian, dll.
2. Keharusan bagi wanita untuk mengenakan busana muslimah, yaitu pakaian yang menutupi seluruh
badannya kecuali muak dan telapak tangan, dengan model busana muslimah yang diperintahkan
syara.
3. Tidak dibolehkan bagi wanita bepergian sendirian tanpa mahram sejauh perjalanan sehari semalam.
Berkaitan dengan hal ini Rasulullah SAW. bersabda: Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman
kepada Allah dan hari akhir untuk bepergian sejauh perjalanan sehari semalam, kecuali disertai
mahramnya.
4. Tidak dibolehkan untuk berkhalwat (bersepi-sepi), kecuali adanya mahram bagi wanita tersebut.
Berkaitan dengan hal ini Rasulullah SAW. bersabda: janganlah seorang pria berkhalwat dengan
seorang wanita kecuali bersama mahram wanita itu
5. Bagi seorang wanita yang sudah bersuami maka dilarang seorang isteri kelaur rumah tanpa seizin
suaminya.
6. Adanya pemisahan kehidupan pria dan wanita dan tidak tercampur baur, sebagaimana halnya shafshaf wanita dalam shalat, yaitu terpisah dari shaf pria.
7. Larangan untuk bertabarruj, yaitu memperlihatkan perhiasan dan kecantikannya pada pria yang
bukan mahramnya.
8. Anjuran Islam untuk segera menikah bagi yang mampu, bagi jika tidak maka diperintahkan untuk
iffah (menjaga kesucian diri).
9. Hubungan muamalah, taawun antara pria dan wanita dilakukan pada kehidupan umum.
10. Islam memerintahkan pria dan wanita untuk bertaqwa kepada Allah SWT. sebagai kendali
internal.
11.Islam memerintahkan untuk menjauhi tempat-tempat yang diharamkan dan memungkinkan
terjadinya perkara yang haram.
Islam merupakan agama yang diturunkan Allah SWT. untuk mengatur kehidupan mansuia. Cukup
dengan berpegang teguh kepada ajaran Islam, seorang muslim dapat mengarungi kehidupannya dan
memecahkan setiap problematika kehidupannya. Aturan Islam yang lengkap dapat menjamin
keselamatan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat. Sejarah telah membuktikan hal ini, lebih dari
sepuluh abad aturan Islam telah mampu mengatur kehidupan manusia dengan keadilan luar biasa.
Syariat Islam mampu menjamin ketentraman hidup manusia, sehingga orang-orang non-Islam pun
tentram hidup dalam naungannya. Sudah seharusnya kaum muslimin kembali mengkaji, menelaah,

mengamalkan, dan menjaga ajaran Islam dengan sebaik-baiknya. Akhirnya hanya kepada Allah SWT.
kita bergantung, semoga Allah memberi kita petunjuk untuk senantiasa berada dalam keridlaanNya.

6.3 AKHLAK DALAM ISLAM


Seorang muslim adalah manusia biasa, ia bukan malaikat dan bukan iblis. Karena itu wajar jika
kadang-kadang melakukan perbuatan haram, atau malas mengerjakan perintah-perintah Allah. Sekali,
dua kali atau beberapa kali bisa saja itu terjadi pada dirinya, mungkin ia lalai. Bisa juga ia tidak tahu,
bahwa perbuatan itu bertentangan dengan Islam dan sifat-sifat mulia seorang pribadi muslim. Atau
mungkin setan telah merasuk dalam dirinya dan nafsu telah mencengkramnya, sehingga ia terjerumus
dalam perbuatan dosa. Ia melakukan itu semua, sementara aqidah Islam bersemayam di dalam dirinya.
Ada yang menganggap melakukan perbuatan dosa berarti telah mengeluarkan seseorang dari Islam.
Melakukan perbuatan yang berlawanan dengan sifat seorang muslim, berarti menghapus sykhshiyah
Islamiyah pada diri seorang muslim.
Itu tidak benar. Tingkah laku seorang muslim yang betentangan dengan Islam, tidak otomatis
menghilangkan sykhshiyahnya. Apalagi mengeluarkannya dari Islam. Tapi secara berangsur-angsur
perbuatan itu akan menggerogoti syakhshiyahnya. Jika hal itu terus dilakukannya, maka
syakhshiyahnya makin melemah.
Selama aqidah Islam masih ada dalam dirinya maka ia tetap seorang muslim, walaupun perbuatanperbuatan maksiat tak henti-hentinya ia lakukan. Dan selama aqidahnya itu digunakan sebagai tolok
ukur bagi pemikiran dan perbuatannya, maka dapat dikatakan bahwa ia memiliki syakhshiyah
Islamiyah selemah apapun. Seorang muslim tidak akan kehilangan syakhshiyahnya, selama ia belum
keluar dari Islam. Ia tidak akan keluar dari Islam, Selama aqidah Islam masih dipeluknya. Ia tidak
akan kehilangan syakhshiyahnya, kecuali jika ia hanya membiarkan aqidahnya bersemayam di hati,
tidak difungsikannya sebagi tolok ukur bagi pemikiran dan kecenderungannya. Atau ia menggunakan
aqidah dan tata nilai lain selain Islam. Karena itu bisa saja terjadi ada seorang muslim , tetapi
tidak memiliki syakhshiyah Islamiyah.
Hanya dengan pengakuan aqidah Islam, belum tentu memiliki syakhshiyah Islamiyah, sebab ikatan
aqidah dengan pemikiran manusia bukan bersifat mekanis yang secara otomatis bergerak bersama.
Tapi antara keduanya merupakan ikatan ijtimai yang memiliki kecenderungan memisah dan bertemu.
Karenanya jangan heran, apabila ada orang-orang yang mengerjakan sesuatu yang bertentangan
dengan aqidahnya. Yang penting tatkala ia sadar, yang ia lakukan bertentangan dengan aqidahnya, ia
segera bertobat kembali ke jalan yang benar.
Jadi, seseorang yang melakukan penyelewengan terhadap perintah dan larangan Allah, tidak berarti ia
kehilangan aqidahnya. Hanya saja ia telah merusak ikatan aqidah dengan amal perbuatannya. Ia
dipandang sebagai orang yang bermaksiyat kepada Allah. Di hari kiamat nanti, ia akan disiksa karena
melakukan perbuatan itu.
Penjelasan itu tidak berarti membuka peluang apalagi mendorong seorang muslim untuk
mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Seorang muslim tidak boleh melakukan itu. Sebab larangan dalam
Al-Quran Al-Karimsudah teramat jelas. Dan siksa di akhirat teramat pedih. Allah berfirman :
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul-Nya dan jangan
pula mengkhianati amanat-amanat (yang dilimpahkan) bagimu padahal kamu mengetahui (QS. Al
Anfal : 27)
(Dan) bagi siapa saja yang melanggar hukum-hukum Allah, maka mereka itulah orang-orang yang
zhalim(QS. Al Baqoroh : 229)
Untuk dapat memiliki syakhshiyah Islamiyah, seorang muslim bukan berarti harus mengembangkan
sifat-sifat yang berlebihan di luar petunjuk syariat. Seorang muslim adalah manusia. Dan syakhshiyah
Islamiyah itu ada pada manusia, bukan pada malaikat.Jika seorang terjerumus dalam dosa, tidak
berarti dia telah mengganti syakhshiyahnya dengan selain Islam. Tapi jika melepas aqidah Islamnya,
maka lepaslah syakhshiyahnya. Tiada gunanya ia melakukan amal perbuatan apa pun.
Karena itu, yang terpenting adalah soal keselamatan aqidah Islam. lalu dengan aqidahnya itu
ditetapkannya pemikiran dan kecenderungan dirinya. Ingatlah, saat ini terlalu banyak hal yang

mengancam keselamatan aqidah. Faham-faham sekularisme, penerimaan terhadap sebagian yang lain,
pemelukan faham kebebasan gaya Barat. Jika seorang telah kufur, maka tidak berguna seluruh amal
kebaikannya. Amalannya laksana debu yang dihambur-hamburkannya. Dia akan dijebloskannya ke
dalam neraka. Rasulullah bersabda :
Siapa saja yang ingkar terhadap ayat-ayat Al Quran, maka sungguh ia telah kufur(HR. Thabrani)
Akhlak Dalam Islam
Islam didefinisikan sebagai agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada junjungan kita Rasulullah
SAW, untuk mengatur segenap urusan manusia, baik berkaitan hubungan dengan Allah (ibadah dan
aqidah), hubungan dengan sesama manusia (muamalah, uqubat/sanksi), dan hubungan manusia
dengan dirinya sendiri (akhlak, makanan, minuman dan pakaian). Dengan demikian, sesungguhnya
akhlak merupakan bagian dari syariat (aturan Allah). Akhlak merupakan bagian dari perintah dan
larangan Allah SWT.
Orang-orang yang memiliki akhlak yang baik, haruslah dinilai sebagai orang yang melaksanakan
perintah Allah, bukan melihatnya hanya sebagai sifat moralitas atau kemanusiaan saja. Ukuran akhlak
baik dan buruk harus berdasarkan hukum syara. Allah SWT memerintahkan berkata jujur dan
melarang berdusta, bukan berdasarkan sifat itu baik secara moral, tetapi karena berdasarkan hukum
syara. Apabila kita melihat akhlak dari segi moral dalam pandangan manusia saja, berarti orang yang
berbohong, bersikap kasar atau membunuh orang lain itu berakhlak tidak baik. Padahal dalam Islam,
seseorang boleh saja berbohong dalam keadaan tertentu, seperti berbohong sebagai strategi di medan
perang, atau berbohong dalam rangka mendamaikan suami istri yang saling bersengketa.Syara juga
membolehkan orang untuk membunuh, seperti ketika jihad memerangi orang-orang kafir, atau
bersikap tegas kepada orang-orang kafir. Sekali lagi, ukuran akhlak tersebut bukanlah sekedar moral,
kemanfaatan atau perasaan belaka. Allah berfirman:

Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya adalah keras terhadap
orang-orang kafir, dan berkasih sayang diantara mereka (QS Al- Fath: 29)

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh
jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai
sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.(QS AlBaqarah: 216)
Di samping itu, kalau seorang muslim bersikap jujur semata-mata karena moral, dia tidak
mendapatkan ganjaran pahala atas perbuatannya. Sebab, ia mengerjakannya bukan berdasarkan
perintah hukum syara melainkan karena menganggap sifat jujur memiliki kebaikan secara moral
atau bermanfaat baginya.
Secara bahasa, pengertian akhlak diambil dari bahasa asalnya yaitu bahasa Arab yang berarti :
a. perangai, tabiat, adat (diambil dari kata dasar khuluqun)
b. kejadian, buatan, ciptaan (diambil dari kata dasar khalqun)
Adapun pengertian akhlak secara terminologis, para ulama telah banyak mendefinisikan, di antaranya
sebagai berikut :
a.
Ibnu Maskawaih dalam bukunya Tahdzibul Akhlaq :
Akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa
terlebih dahulu melalui pemikiran dan pertimbangan.
b.
Imam Al-Ghazali dalam kitabnyaIhya Ulumuddiin:
Akhlak adalah gambaran tingkah laku dalam jiwa yang me lahirkan perbuatan-perbuatan dengan
mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Dari pengertian akhlak menurut Ibnu Maskawaih dan Al Ghazali di atas, dapat disimpulkan bahwa
akhlak adalah perilaku yang didorong oleh kesadaran-nya yang terdalam, yang karena sudah begitu
terbiasanya dilakukan oleh seseorang, perilaku tersebut menjadi sebuah kebiasaan yang seolah-olah
sudah tanpa pertimbangan lagi.

Akhlak terbagi menjadi dua bagian, yaitu akhlak yang baik (mahmudah) atau disebut juga akhlak
terpuji (akhlaqul karimah) dan akhlak yang buruk (madzmumah). Akhlak yang baik adalah akhlak
yang didasarkan kepada Al- Quran dan keteladanan Rasullulah saw. Artinya, seseorang yang
berakhlak mulia adalah seseorang yang seluruh perilakunya didasarkan kepada ketentuan Allah dalam
Al-Qurn dan keteladanan dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Jadi, akhlak yang baik bukan karena
sebuah pekerjaan itu baik dalam pandangan manusia. Misalnya, adanya pandangan bahwa kejujuran,
kesopanan, tolong-menolong, dan bersikap ramah itu baik dalam pandangan manusia. Sementara,
berbohong, membunuh, dan bersikap kasar itu adalah pekerjaan yang buruk dalam pandangan
manusia. Akhlak yang baik dari seseorang adalah manakala seseorang melakukan perbuatan jujur,
sopan, tolong-menolong, bersikap ramah, termasuk juga berbohong, membunuh, bersikap tegas, dan
kasar berdasarkan pada perintah syara. Perilaku dan sikap itu semua didasari oleh ketentuan Allah di
dalam Al-Qurn dan keteladanan Rasulullah SAW dalam sunnahnya, pada suatu keadaan atau
peristiwa tertentu.
Contoh, seorang muslim diperkenankan oleh Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya untuk
berbohong dalam rangka mendamaikan suami isteri yang sedang bersengketa. Rasulullah SAW juga
memperkenankan takabbur (sombong) kepada orang yang sombong. Dalam Al-Qurn Allah SWT
menegaskan ciri-ciri orang beriman, yaitu bersikap keras dan tegas terhadap orang-orang kafir.
.
Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya adalah keras terhadap
orag-orang kafir, dan berkasih sayang di antara mereka .(QS Al-Fath: 29)
Adapun akhlak yang buruk (madzmumah) adalah akhlak yang bertentangan dengan petunjuk
Allah SWT dan Rasul-Nya. Akhlak ini diperbuat semata-mata untuk memuaskan hawa nafsu atau
keinginan manusia semata.
Contoh-Contoh Akhlak
Akhlak berdasarkan syariat Islam dipandang dalam dua kategori, yaitu baik (akhlaqul karimah) dan
buruk (akhlaq madzmumah), berikut ini adalah beberapa contoh dari keduanya:
1. Akhlaqul Karimah (Akhlak terpuji)
a. Jujur dan benar dalam bertindak, berucap, serta berjanji;

..

Wahai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu..(QS Al-Maidah: 1)





Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan
kepada Allah, maka di antara mereka ada yang gugur(QS Al-Ahzab: 23)
b. Sabar;

Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang
berbuat kebajikan..(QS Huud: 115)

c. Mengeluarkan infaq, menguasai kemarahan, dan memaafkan manusia;




(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan hartanya baik di waktu lapang maupun di waktu sempit dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebaikan..(QS Ali Imran: 134)
d. Dzikrullah (mengingat Allah);

Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepadaKu serta jangan kamu mengingkari nikmat-Ku..(QS Al-Baqarah: 152)
e. Tawakal;

kemudian jika kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya..
(QS Ali Imran: 159)
f. Tawadlu (rendah hati);

Dan janganlah kamu memalingkan muka dari manusia (karena sombong), dan janganlah kamu
berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri.(QS Luqman: 18)
g. Berbuat baik kepada orang tua;






Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat
baiklah kepada kedua ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang
dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil (musafir) dan sahayamu. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.(QS An-Nisaa:36)
h. Tolong menolong (Taawun);

Tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya.(QS Al-Maidah:2)
i. Amanah (dapat dipercaya) dan adil;

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan
menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pelajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah
Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS An-Nisaa:58)

2. Akhlaqul Madzmumah (Akhlak Tercela)


a. Berselisih, menggunakan hak orang lain;



Dan janganlah kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang
bathil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan

sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu
mengetahui.(QS Al-Baqarah: 188)
b. Bunuh diri;

Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.(QS An-Nisaa: 29)
c.Mengucapkan kata-kata yang buruk dan kotor;

Allah tidak menyukai ucapan buruk yang diucapkan dengan terus terang kecuali oleh orang yang
dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(QS An-Nisaa: 148)
d. Bergunjing (Ghibah),berprasangka buruk, dan mencari-cari kesalahan;







Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian
prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah
sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan
daging saudaranya yang telah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.(QS Al-Hujurat:
12)
e.Berlebih-lebihan, mubadzir;

Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan..(QS Al-Anam: 141)
Akhlak Rasulullah SAW dan Para Sahabatnya
Pada zaman khalifah Umar bin Khatab, seorang Yahudi datang menemui khalifah, Ceritakan
kepadaku akhlak Rasul kalian! Umar tidak sanggup memenuhi permintaannya. Beliau lalu menyuruh
Yahudi itu menemui Bilal. Ternyata Bilal pun tidak sanggup. Akhirnya, Yahudi itu sampai pada Ali bin
Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib yang diketahuinya telah mengenal Rasulullah SAW sejak kecil, dan
sering mengadakan perjalanan bersamanya, Ali bertanya kepada Yahudi itu, Lukiskan keindahan
dunia ini dan akan aku gambarkan kepada anda tentang akhlak Nabi saw! Lelaki itu berkata, Tidak
mudah bagiku. Ali lalu berkata, Engkau tidak mampu melukiskan keindahan dunia, padahal Allah
telah menyaksikan betapa kecilnya dunia, ketika Allah SWT berfirman, Keindahan dunia itu
kecil.(QS. An Nisaa: 77) Bagaimana mungkin aku melukiskan akhlak Rasulullah SAW padahal Allah
SWT bersaksi bahwa akhlaknya itu agung.
Ya, melukiskan keteladanan akhlak Rasulullah SAW sangatlah tidak mudah. Kadang-kadang bila
para sahabat ditanya tentang Rasulullah mereka hanya sanggup menceritakan episode-episode yang
paling mengesankan dalam pengalamannya ketika bersama Nabi saw, di samping episode-episode lain
yang mungkin hanya dapat dirasakan pesonanya oleh hati dan tidak dapat diungkap-kan. Oleh sebab
itu, tidak heran jika Thomas Carlyle dalam On Heroes and Hero Workship mengungkapkan
keteladanan Rasulullah SAW sebagai berikut :
Dia datang seperti sepercik sinar dari langit, jatuh ke padang pasir yang tandus, kemudian
meledakkan butir-butir debu menjadi mesiu yang membakar angkasa dari Delhi ke Granada.
Namun, meskipun sulit untuk diungkapkan begitu agungnya akhlak Rasulullah SAW, untuk mengikuti
jejak kemuliaannya tidaklah sukar karena Aisyah ra. telah mendefinisikan akhlak Rasulullah SAW

adalah Al-Qurn. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Saad bin Hisyam bertanya kepadanya
tentang akhlak Rasulullah SAW, Aisyah balik bertanya, Apakah kamu membaca Al-Qurn?, Tentu
saja! jawab Saad. Lalu Aisyah ra. berkata, Akhlak beliau adalah Al-Qurn!
Berikut ini kita akan lihat beberapa kisah teladan Rasulullah SAW dengan para sahabatnya, yang
mudah-mudahan dapat mengembalikan kesadaran kita pada fungsi dasar sebagai muslim yaitu
menjadi rahmat bagi alam semesta.
Setiba Rasulullah SAW dan para sahabatnya di suatu tempat dan turun dari kendaraannya, mereka
berencana untuk menyembelih seekor kambing dan membuat sate untuk dimakan bersama. Seorang
sahabat berteriak, Aku akan menyembelihnya! Sahabat yang lainnya berkata, Aku yang akan
mengulitinya! Sahabat lainnya lagi berkata, Aku yang akan memasaknya! Rasulullah berkata,
Aku yang akan mencari kayu bakar untuk memasaknya. Semua sahabat berkata, Jangan wahai
Rasulullah, biarkan kami yang melakukannya. Biarlah anda duduk tidak usah bekerja. Rasulullah
SAW berkata, Aku tahu kalian akan melakukannya, tapi Allah SWT tidak suka kepada seseorang
yang melihat dirinya berbeda dari yang lain, sedang ia berada diantara mereka. Nabi saw pun pergi
ke padang pasir dan mengambil kayu-kayu untuk bahan bakar masakan tadi.
Ada seorang perempuan hitam yang pekerjaannya menyapu masjid. Pada suatu hari Nabi Muhammad
saw tidak menemui perempuan itu. Nabi Muhammad saw pun lalu menanyakannya. Para sahabat
mengatakan bahwa ia sudah meninggal. Ketika itu Nabi Muhammad saw menegur mereka karena
beliau tidak diberi tahu tentang meninggalnya perempuan tadi. Setelah itu beliau pergi ke kuburan
perempuan tersebut (setelah diberi tahu para sahabat letaknya) dan shalat untuknya. (Saat menegur
para sahabat Nabi Muhammad saw mengingatkan para sahabat bahwa di dunia ini, tidak ada perbedaan antara yang kaya dan yang miskin, begitu pula derajat status sosial lainnya).
Ketika baru pulang dari perang Tabuk, Rasulullah SAW melihat tangan Saad bin Muadz menghitam
dan melepuh. Mengapa tanganmu?, tanya Rasulullah SAW. Karena oleh palu dan sekop besi yang
saya pergunakan untuk mencari nafkah untuk keluarga yang menjadi tanggunganku, jawab Saad.
Rasulullah SAW lalu mengambil tangan itu dan menciumnya, Inilah tangan yang tidak akan
disentuh api neraka. Lihatlah, Rasulullah SAW yang tangannya senantiasa diperebutkan untuk
dicium (dan seringkali ia menolaknya karena takut umatnya syirik karena terlalu menghormatinya)
tanpa ragu-ragu mencium tangan yang kasar.
Seorang wanita datang menghadap RasulullahsSaw lalu ia berkata, Sesungguhnya aku datang kemari
disebabkan ada kepentingan kepada Tuan! Rasulullah berkata, Duduk sajalah di jalan mana yang
kamu sukai di kota Madinah ini, niscaya aku akan duduk (datang) memenuhi permintaanmu untuk
mengurus keperluanmu itu!
Malam itu Hasan bin Ali tidak bisa tidur, sehingga pada malam itu ia hanya memperhatikan dan
mendengar ibunya berdoa. Esoknya Hasan bertanya, Sepanjang malam aku mendengar ibu berdoa
hanya untuk orang lain, tetapi untuk ibu sendiri tidak. Fatimah Az-Zahra sang ibu dengan penuh
kasih sayang menjawab, Anakku!, pertama adalah mendoakan orang lain, baru diri sendiri.
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khatab, kaum muslimin di Madinah dilanda kemarau panjang dan
kelaparan. Suatu hari datang kafilah dari Syam dengan seribu unta yang penuh dengan makanan dan
barang dagangan milik Utsman bin Affan. Para pedagang berebut menawarkan harga untuk
memperoleh barang dagangan itu dengan harga yang sangat menguntungkan Utsman. Namun, Utsman
menolak semua tawaran yang menguntungkan itu, beliau lebih memilih kecintaan-Nya. Beliau
berkata, Sesungguhnya ada pembeli yang akan memberiku keuntungan berlipat ganda, tahukah
kalian bahwa Allah telah berfirman.:

Bandingan pahala orang-orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah, adalah seperti satu
benih yang menumbuhkan tujuh tangkai, di tiap tangkai ada seratus biji dan Allah menggandakan
pahala pada siapa yang Ia kehendaki dan Allah Maha Luas karunia-Nya dan Maha Mengetahui.(QS
Al-Baqarah: 261).
Lalu Utsman membagi-bagikan makanan tadi kepada kaum muslimin yang memerlukannya

dengan gratis tanpa menuntut pamrih atau imbalan.


Ketika terjadi perang Yarmuk, seorang sahabat mendengar suara rintihan meminta air di antara jenazah
yang bergelimpangan akibat peperangan. Sahabat itu lalu membawa air menujunya. Ketika air itu
hendak diminum, terdengar suara rintihan dari arah lain, sahabat yang tadi merintih meminta air
minum lalu meminta sahabat yang membawa air minum tadi untuk memberikan airnya pada sahabat
lain yang membutuhkan air minum. Sahabat tadi pun lalu membawa air minum tadi ke tempat sahabat
lain. Ketika akan diminum, tiba-tiba dari arah lain terdengar suara rintihan meminta minum. Sahabat
ini pun sama dengan sahabat yang pertama, ia lebih merelakan air minumnya untuk sahabat lain yang
lebih membutuhkan. Ia pun meminta sahabat yang membawa air minum tadi untuk membawakan air
minumnya pada sahabat yang lain lagi. Sahabat ini pun lalu membawa air minum tadi ke tempat
sahabat yang merintih meminta air minum tadi. Namun sayang, sahabat itu telah meninggal dunia, lalu
air itu dibawa ke tempat sahabat yang kedua, tetapi sahabat yang kedua pun telah meninggal dengan
senyum di bibirnya, begitu pula ketika air minum itu hendak diberikan kepada sahabat yang pertama
yang meminta air, sahabat itu telah meninggal dunia dengan ikhlas dan perasaan bahagia. Ketiganya
wafat dalam menegakkan agama dan menjalankan syariat Islam, yaitu lebih mendahulukan
kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri.

Pendidikan Akidah
Oleh Wan Mohd Hujjatullah Ghazali
Pendahuluan
Pendidikan akidah merupakan asas kepada pembinaan Islam pada diri seseorang. Ia merupakan inti
kepada amalan Islam seseorang. Seseorang yang tidak memiliki akidah menyebabkan amalannya tidak
mendapat pengiktirafan oleh Allah swt. Ayat-ayat yang terawal yang diturunkan oleh Allah swt kepada
Nabi Muhammad saw di Makkah menjurus kepada pembinaan akidah. Dengan asas pendidikan dan
penghayatan akidah yang kuat dan jelas maka Nabi Muhammad saw telah berjaya melahirkan sahabatsahabat yang mempunyai daya tahan yang kental dalam mempertahan dan mengembangkan Islam ke
seluruh dunia. Bilal bin Rabah tidak berganjak imannya walaupun diseksa dan ditindih dengan batu
besar di tengah padang pasir yang panas terik. Demikian juga keluarga Amar bin Yasir tetap teguh
iman mereka walau berhadapan dengan ancaman maut. Dari sini kita nampak dengan jelas bahawa
pendidikan akidah amat penting dalam jiwa setiap insan muslim agar mereka dapat mempertahan iman
dan agama Islam lebih-lebih lagi di zaman globalisasi yang penuh dengan cabaran dalam segenap
penjuru terutamanya internet dan teknologi maklumat yang berkembang dengan begitu pesat sekali.
2.0 Matlamat dan Objektif Pendidikan Akidah
2.1 Mengakui keesaan Allah swt
Matlamat utama pendidikan akidah Islam ialah mendidik manusia supaya mengakui keesaan dan
ketunggalan Allah swt sebagai tuhan yang wajib disembah. Tiada sekutu bagiNya. Ini dijelakan oleh
Allah swt dalam firmanNya yang bermaksud :

"Katakanlah (wahai Muhammad) Dia ialah Allah Yang Maha Esa. Allah menjadi tumpuan sekelian
makhluk untuk memohon sebarang hajat. Ia tiada beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada
sesiapa yang setara denganNya"
(al-Ikhlas : 1-4)
Ayat di atas mendidik manusia supaya mengaku keesaan dan kekuasaan Allah swt. Ayat ini diturunkan
di Makkah di awal perkembangan Islam. Oleh kerana akidah merupakan asas kepada kekuatan dan
pembinaan Islam sebagai al-Din maka wahyu-wahyu yang terawal yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw menjurus kepada pendidikan Akidah bagi menanam keyakinan yang teguh dalam
jiwa manusiatentang keesaan Allah swt.
2.2 Melahirkan manusia yang patuh dan tunduk kepada Allah swt .Pendidikan akidah juga penting
untuk mendidik manusia supaya patuh dan tunduk kepada kebesaran dan keagongan Allah swt.
2.3 Membentuk keperibadian insan
Sebagaimana acuan dapat membentuk dan mencorakkan air kandungannya maka demikianlah akidah
dapat membentuk dan mendidik orang yang mengambilnya menepati dengan hakikat dan tabiat
kemanusiaan yang tulen dan asli seperti yang dikehendaki oleh penciptanya. Pendidikan akidah dapat
membentuk sifat-sifat nalurinya, akal fikirannya, iradahnya dan perasaannya. Ringkasnya pendidikan
akidah bermatlamat untuk membentuk nilai akhlak dan keperibadian seseorang insan yang akan
mencorakkan suluk amali atau gerak laku amal perbuatan selaras dengan peranan dan tanggungjawab
manusia sebagai khalifah Allah swt di muka bumi ini. Menurut Mohd Sulaiman Yasin (1987), Akidah
Islam ialah akidah yang bersumberkan ketuhanan (akidah Rabbaniyyah) yang tetap, syumul,
menyeluruh dan fitrah. Tabiat akidah yang demikian ialah akidah yang kukuh dan teguh. Hanya akidah
yang teguh sahaja dapat membentuk manusia yang teguh dan kukuh. Kekukuhan dan keteguhan
akidah ialah kerana kekukuhan dan keteguhan ciri-ciri yang menjadi kandungan akidah itu, yang
merangkumi segala hakikat iaitu hakikat ketuhanan, hakikat alma semesta dan hakikat kemanusiaan

serta nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan. Kekukuhan akidah inilah yang akhirnya menjadi
sumber kekuatan Islam. Itulah hakikat kekuatan umat Islam, kekuatan jiwa dan rohani serta
peribadinya yang menjadi asas kepada kekuatan jasmaninya. Di dalam sejarah kegemilangan umat
Islam yang silam kita mendapati bahawa umat Islam di masa itu telah dibentuk dan dididik oleh
akidah yang akhirnya melahirkan kekuatan yang sungguh kental dan luar biasa. Kita lihat sahaja
kepada Bilal, bahawa akidah telah memberikan kekuatan kepadanya. Abdul Rahman bin Auf dan
Osman bin Affan sanggup membelanjakan hartanya kerana mempertahankan Islam sehingga tiada apa
lagi yang dimiliki melainkan Allah swt dan Rasul. Ali bin Abi Talib sanggup mempertaruhkan
nyawanya kerana Rasulullah saw dan banyak lagi contoh-contoh yang ditunjukkan oleh para sahabat
Rasulullah saw hasil dari pendidikan akidah yang mantap.
2.0 Definisi Akidah
Perkataan akidah berasal dari perkataan bahasa Arab iaitu "aqada yang bererti ikatan atau simpulan.
Perkataan ini juga digunakan pada sesuatu yang maknawi seperti akad nikah dan akad jual beli. Dari
ikatan atau simpulan yang maknawi ini maka lahirlah akidah iaitu ikatan atau simpulan khusus dalam
kepercayaan. Sementara dari segi istilah, akidah bermaksud kepercayaan yang terikat erat dan
tersimpul kuat dalam jiwa seseorang sehingga tidak mungkin tercerai atau terurai. Akidah menurut
istilah syara" pula bermaksud kepercayaan atau keimanan kepada hakikat-hakikat atau nilai-nilai yang
mutlak, yang tetap dan kekal, yang pasti dan hakiki, yang kudus dan suci seperti yang diwajibkan oleh
syara" iaitu beriman kepada Allah swt, rukun-rukun Iman, rukun-rukun Islam dan perkara-perkara
ghaibiyyat.
3.2 Hakikat Iman
Dalam menjelaskan definisi akidah ada disebut perkataan kepercayaan atau keimanan. Ini disebabkan
Iman merupakan unsur utama kepada akidah. Iman ialah perkataan Arab yang bererti percaya yang
merangkumi ikrar (pengakuan) dengan lidah, membenarkan dengan hati dan mempraktikkan dengan
perbuatan. Ini adalah berdasarkan sebuah hadis yang bermaksud : "Iman itu ialah mengaku dengan
lidah, membenarkan di dalam hati dan beramal dengan anggota".
(al-Hadis)
Walaupun iman itu merupakan peranan hati yang tidak diketahui oleh orang lain selain dari dirinya
sendiri dan Allah swt namun dapat diketahui oleh orang melalui bukti-bukti amalan. Iman tidak
pernah berkompromi atau bersekongkol dengan kejahatan dan maksiat. Sebaliknya iman yang mantap
di dada merupakan pendorong ke arah kerja-kerja yang sesuai dan secucuk dengan kehendak dan
tuntutan iman itu sendiri.

Firman Allah swt yang bermaksud:

"Sesungguhnya orang-orang mukmin yang beriman kepada Allah swt dan RasulNya kemudian mereka
tidak ragu-ragu".
(al-Hujurat : 15)
Firman Allah swt lagi yang bermaksud:

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu apabila disebut nama Allah swt maka terasa gerunlah
hati mereka dan apabila dibaca kepada mereka ayat-ayat Allah swt, bertambahlah iman mereka dan
kepada tuhan sahaja mereka bertawakkal. Mereka mendirikan solat, membelanjakan daripada apa
yang kami beri rezki kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang beriman dengan sebenarbenarnya".
(al-Anfal : 2-4)
Perkara yang menjadi asas atau pokok keimanan dalam Islam juga dikenali sebagai rukun-rukun Iman
iaitu sebanyak enam perkara :
Pertama : Beriman kepada Allah swt.
Kedua : Beriman kepada Malaikat.
Ketiga : Beriman kepada kitab-kitab.
Keempat : Beriman kepada Rasul-Rasul.
Kelima : Beriman kepada Hari Kiamat.
Keenam : Beriman kepada Qada" dan Qadar.
Hal ini dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam hadisnya yang bermaksud :
"Iman itu bahawa kamu mempercayai kepada Allah swt, malaikatNya, kitab-kitabNya, para RasulNya,
hari kumudian dan kamu beriman kepada takdir baik dan buruknya".
(Riwayat Muslim)
3.3 Hubungan Iman dan Islam
Iman dengan makna tasdiq juga dinamakan akidah di mana rahsianya tidak diketahui sesiapa
melainkan orang berkenaan dan Allah swt. Namun demikian manusia mempunyai sifat-sifat lahiriah
yang dapat dilihat melalui tingkah laku manusia sama ada melalui percakapan atau perbuatan. Inilah
yang menjadi ukuran keimanan seseorang. Adapun segala yang tersirat di dalam hatinya terserah
kepada Allah swt. Iman yang melahirkan penyerahan diri kepada Allah itu juga disebut sebagai Islam.
Ini bermaksud seseorang yang beriman hendaklah menyerah diri kepada Allah swt dengan menerima
segala hukum dan syariat yang diturunkan Ilahi. Penyerahan dan penerimaan ini berlaku dengan dua
perkara iaitu
(i) dengan kepercayaan dan pegangan hati yang dinamakan Iman (akidah) dan
(ii) melalui sifat-sifat lahiriah iaitu melalui perkataan dan perbuatan (amalan) dinamakan Islam. Nabi
Muhammad saw telah juga menunjukkan penggunaan kalimah Iman dalam pengertian amal
sebagaimana sabdanya yang bermaksud : "Iman terbahagi lebih enam puluh bahagian, yang paling
tinggi ialah mengucap kalimah "Lailahaillallah" dan yang paling rendah ialah membunag benda-benda
yang boleh menyakitkan orang di jalan".
(Riwayat Muslim)
Oleh yang demikian jelas di sini Iman dan Islam mempunyai hubungan yang rapat dan tidak mungkin
dipisahkan. Islam umpama pohon sementara Iman umpama akar sesepohon kayu. Kesuburan dan
kekuatan akar pokok tersebut dapat dilihat dengan kesuburan pokok pada daun, ranting dan dahannya.
Dalam menjelaskan tentang hubungan Iman dan Islam ini kita petik sebuah hadis sabda Nabi saw
kepada rombongan Abdul Qias yang bermaksud:
"Aku menyuruh kamu beriman kepada Allah swt yang Maha Esa. Apakah kamu mengerti apa dia yang
dikatakan beriman kepada Allah swt yang Maha Esa ". Iaitu penyaksian bahawa tiada tuhan yang
disembah melainkan Allah swt yang Maha Esa, tiada sekutu baginya, mendirikan sembahyang,
mengeluarkan zakat dan menunaikan satu perlima daripada harta rampasan perang".
(Muttafaqun "alaih)
Hadis di atas menjelaskan betapa adanya hubungan yang erat di antara iman dan Islam di mana Islam
itu menjadi salah satu daripada perinsip Iman dan Iman pula dilahirkan melalui Islam secara amali,
dengan iqrar syahadah dan melaksanakan hukum syariat dalam segala amalan. Sekiranya berlaku iqrar
syahadah dan menunaikan fardhu sedangkan hatinya tidak yakin atau tidak percaya serta ragu-ragu
terhadap hukum hakam Allah swt maka seseorang itu dihukum tidak beriman walaupun masih
dinamakan Islam sebagaimana yang berlaku kepada sesetengah orang-orang Badwi di zaman

Rasulullah saw.
Firman Allah swt yang bermaksud

"Orang Arab berkata : Kami telah beriman. Katakanlah (wahai Muhammad) : Kamu belum beriman
(janganlah berkata demikian, tetapi sementara Iman belum lagi meresap masuk ke dalam hati kamu)
berkatalah sahaja : Kami telah Islam". (al-Hujurat : 14)
Kesimpulannya Iman itu melambangkan sesuatu yang batin sementara Islam melambangkan sesuatu
yang zahir. Oleh itu iman dan Islam tidak boleh dipisahkan. Islam umpama pokok sementara Iman
umpama akar. Ibadat solat merupakan batang kepada pokok itu sementara beriman kepada Allah swt
merupakan akar tunjangnya di mana ia menjadi teras keimanan seseorang. Pemisahan Iman dan Islam
samalah kita memisahkan pokok dari akarnya.
3.4 Konsep Ihsan dan Hubungannya dengan Iman dan Islam
Ihsan bermaksud bekerja dengan baik dan tekun. Dari segi syara" bermaksud mengelokkan perbuatan
zahir dengan ibadat dan mengelokkan perbuatan batin dengan ikhlas. Menurut kamus bahasa, Ihsan
bermaksud membuat sesuatu yang baik. Al-quran menerangkan dengan meluas ciri-ciri Ihsan dan
mereka yang bersifat muhsinin (berbuat kebaikan).
Antaranya firman Allah swt yang bermaksud :

"Jika
kamu

berbuat kebaikan, maka faedah kebaikan yang kamu lakukan ialah untuk diri kamu dan jika kamu
berbuat kejahatan maka (kesannya yang buruk) berbalik kepada diri kamu juga".
(al-Isra" : 7)
Kedudukan Ihsan adalah tinggi di sisi Islam dalam konteks melengkapkan ciri-ciri keimanan dan
keislaman individu dan masyarakat Islam seluruhnya. Al-Quran menerangkan bahawa Ihsan wajib
menjadi tabiat manusia. Allah swt telah memberi ni"mat kepada manusia dengan IhsanNya, maka
manusia perlu Ihsan dengan ni"mat ini kepada makhluk.
Firman allah swt yang bermaksud :
"Dan berbuat baiklah (kepada hamba-hamba Allah swt) sebagaimana Allah swt berbuat baik
kepadamu (dengan pemberian ni"matNya yang melimpah-limpah".
(al-Qasas : 77)
Seseorang yang melakukan Ihsan akan
merasa tenang yang tidak dapat dirasakan oleh orang lain dan orang yang menerima Ihsan itu sendiri
merasa senang. Kasih sayang kepada pelaku Ihsan akan memberi kebahagiaan jiwa. Mereka yang
membuat keburukan tidak akan mendapat ketenangan hidup. Oleh itu Allah swt telah memberi
galakan supaya berbuat Ihsan sebagaimana firmanNya yang bermaksud :
"Sesungguhnya Allah swt menyuruh kamu berlaku adil, dan berbuat ihsan (kebaikan), serta memberi

bantuan kepada kaum karabat dan melarang daripada melakukan perbuatan-perbuatan keji dan
mungkar serta zalim".
(al-Nahl : 90)
Al-Quran mengangkat martabat Ihsan
dengan begitu tinggi lebih-lebih lagi jika turut disertakan dengan ikhlas kepada Allah swt dan keduadua ini dianggap sebagai sifat yang paling tinggi dan mulia yang patut ada pada diri setiap muslim.
Kesimpulannya kalau Iman itu umpama akar, Islam umpama pokok maka Ihsan pula umpama buah
yang baik. Demikianlah hubungan di antara Iman, Islam dan Ihsan.
3.5 Peringkat-peringkat Iman
Iman itu boleh bertambah dan berkurang. Malah Iman seseorang boleh dihinggapi penyakit. Ada Iman
sentiasa bertambah iaitu Iman para Nabi dan Rasul. Ada Iman yang tidak bertambah atau berkurang
iaitu Iman para Malaikat. Ada Iman yang kadang-kadang bertambah dan ada ketikanya menurun iaitu
Iman kebanyakan orang mukmin. Terdapat juga jenis Iman yang jarang-jarang bertambah tetapi
banyak menurun iaitu Iman orang-orang yang fasik lagi jahat.
Iman terbahagi kepada lima peringkat:
Iman Taqlid iaitu Iman ikutan. Orang yang beriman secara taqlid beramal semata-mata
mengikut orang lain. Iman jenis ini merbahaya dan terdedah kepada kesesatan.
Iman Ilmu iaitu Iman yang berdasarkan semata-mata kepada ilmu dan fikiran semata-mata
dan ia tidak terpahat di dalam hati. Iman pada tahap ini juga terdedah kepada bahaya dan
penyelewengan.
Iman A'yan iaitu Iman yang dapat dihayati sehingga ke lubuk hati. Iman pada tahap ini
dimiliki oleh orang-orang soleh. Seseorang yang beriman pada tahap ini amalannya bertolak dari
hati yang ikhlas untuk mencari keredhaan Allah swt. Iman kita juga sekurang-kurangnya berada
pada tahap ini.
Iman Hak iaitu Iman yang hakiki yang terlepas dari godaan nafsu dan syaitan. Iman pada
tahap ini dimiliki oleh golongan muqarrabin. Iman Hakikat iaitu Iman peringkat yang paling
tinggi yang boleh dicapai oleh manusia. Mereka yang memiliki Iman pada tahap ini hidup sematamata untuk Allah swt.
3.6 Rukun Iman
Perkara yang menjadi asas atau pokok keimanan dalam Islam dikenali sebagai rukun-rukun Iman ialah
enam perkara sebagaimana firman Allah swt yang bermaksud:

"Rasulullah telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, dan juga orang yang
beriman, semuanya beriman kepada Allah swt, Malaikat-MalaikatNya, Kitab-KitabNya dan RasulRasulNya".
(al-Baqarah : 285)
Sabda Nabi saw yang bermaksud: "Iman itu ialah kamu beriman kepada Allah swt, MalaikatMalaikatNya, Kitab-KitabNya, Rasul-RasulNya, Hari Akhirat, Qadar baik dan buruk".
(Riwayat Muslim)
3.6.1 Beriman kepada Allah swt
Beriman kepada Allah swt bermaksud mengetahui, percaya dan beri"tikad dengan teguh, perkaraperkara yang wajib, mustahi dan harus bagi Allah swt. Seseorang itu hendaklah beri"tikad secara ijmal
dan sungguh-gungguh bahawa Allah swt bersifat dengan sifat-sifat yang sumpurna dan sesuai dengan

ketuhananNya. Mustahil Allah swt bersifat dengan sifat-sifat kekurangan dan harus bagi Allah swt
melakukan semua perkara atau meninggalkannya.
Iman dan tauhid kepada Allah swt tegak di atas dua asas iaitu
Tauhid Rububiyyah
Tauhid Rububiyyah bermaksud mengimani dan yakin bahawa Allah swt sahaja Tuhan yang mencipta
alam ini. Mentauhidkan Allah swt sebagai pencipta, pengurus, pentadbir, pengatur, pemerintah,
pendidik, pemelihara dan pengasuh sekelian alam. Banyak ayat-ayat al-Quran yang menyebut tentang
tauhid Uluhiyah ini. Antaranya firman Allah yang bermaksud:


"Tidakkah engkau perhatikan bahawa


Allah swt menciptakan langit dan bumi dengan sebenarnya". Jika ia mengkehendaki, kamu
dimusnahkanNya dan digantiNya dengan makhluk yang baru".
(Ibrahim 14 : 19)
Firman Allah swt lagi yang bermaksud:

"Dia menciptakan beberapa langit tanpa tiang yang kamu lihat, dan Dia mengadakan gunung-ganang
di muka bumi supaya jangan ia bergoyang-goyang bersama kamu dan Dia menyebarkan di muka bumi
bermacam-macam haiwan. Kami turunkan air hujan dari langit lalu Kami tumbuhkan di muka bumi
bermacam-macam tumbuhan yang baik".
(Luqman 31:10)
Dalam beberapa ayat yang lain Allah swt menyebut bahawa orang-orang kafir juga percaya kepada
Rububiyah Allah swt dengan mengaku bahawa Allah swt adalah pencipta langit dan bumi. Firman
Allah swt yang bermaksud:

"Dan jika kamu bertanya kepada


mereka (orang-orang kafir yang menyembah berhala itu) siapa yang menciptakan mereka, nescaya
mereka menjawab: Allah swt! maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan".
(al-Zukhruf : 87)
Maksud firman Allah swt lagi:


"Dan jika kamu menanyakan kepada


mereka : Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah
matinya". Tentulah mereka akan menjawab : Allah swt".
(al-Ankabut : 63)
Tauhid Uluhiyyah
Beriman kepada Uluhiyyah Allah swt bermaksud yakin bahawa Allah swt sahaja Tuhan yang patut
disembah, dipohon segala doa, dipatuhi, dicintai, ditakuti, dan tawakkal kepadaNya. Seterusnya
mnerima segala hukumNya dengan yakin dan redha. Ringkasnya Tauhid Uluhiyyah ini menuntut
seseorang meyakini kemutlakan kekuasaan Allah swt yang menjadi tempat tumpuan segala makhluk
sama ada dari segi sembahan atau memohon segala doa dan hajat. Keyakinan ini menetapkan bahawa
hanya Allah swt sahaja yang berkah menentukan hukum dan peraturan bagi seluruh makhluk di alam
ini. Di antara ayat al-Quran yang membicarakan tentang Uluhiyyah Allah swt adalah seperti berikut.
Firman Allah swt yang bermaksud:

"Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon
pertolongan"
(al-Fatihah : 5)

Firman Allah lagi yang bermaksud:

"Katakanlah (wahai Muhammad) Dialah Allah swt yang Maha Esa. Allah swt tempat
meminta (tumpuan). Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada
sesuatupun yang meneyrupaiNya".
(al-Ikhlas : 1-4)
Firman Allah swt lagi yang bermaksud:
"Engkaulah yang memasukkan malam ke dalam siang dan siang ke dalam malam. Engkau juga
mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Engkau
jugalah yang memberi rezki kepada sesiapa yang dikehendaki dengan tiada hitungan hisab".
(Al-Imran : 27)

Sesungguhnya kebanyakan manusia
sejak dahulu hingga kini mengakui Tauhid Rububiyyah Allah swt dengan mengakui bahawa Allah swt
menciptakan langit dan bumi serta sekelian alam ini. Tetapi mereka ingkar secara perkataan dan
perbuatan terhadap Uluhiyyah Allah swt seperti beribadat kepada yang lain dari Allah swt serta tidak
melaksanakan syariat dan hukum Allah swt dalam kehidupan ini. Keselarasan di antara Tauhid
Uluhiyyah dan Tauhid Rububiyyah adalah penting untuk memastikan keimanan yang sejati terhadap
Allah swt. Ini adalah kerana Tauhid Rububiyyah adalah adalah merupakan pengakuan bahawa Allah
swt adalah sumber cipta. Sementara Tauhid Uluhiyyah ialah suatu pengakuan bahawa Allah swt adalah
Tuhan yang wajib disembah dan tempat tumpuan sekelian makhluk.
3.6.2 Beriman kepada Malaikat
Beriman kepada malaikat bermaksud percaya dan yakin tentang wujudnya makhluk yang digelar
malaikat. Jumlah malaikat hanya Allah swt sahaja yang mengetahui. Di antara ciri-ciri malaikat yang
disebut di dalam al-Quran dan al-Hadis antaranya ialah:
Malaikat merupakan makhluk yang taat kepada Allah swt.
Diciptakan dari nur.
Tidak mempunyai hawa nafsu.
Tidak makan dan minum
Memiliki akal yang terbatas untuk melaksanakan perintah Allah swt.
Tiada jantina tertentu (tidak lelaki, tidak perempuan, bukan khunsa).
Malakikat mempunyai sayap.
Memiliki kekuatan dan kepantasan yang luar biasa.
Malaikat merupakan makluk yang tidak dapat dikesani dengan penyelidikan dan pemikiran tentang
kewujudannya. Kita tidak boleh menafikan adanya malaikat semata-mata kerana ia tidak dapat dilihat
atau dikaji oleh akal manusia. Beriman kepada malaikat adalah termasuk di dalam beriman kepada
perkara-perkara ghaib kerana ia tidak dapat disaksikan oleh pancaindera. Hakikatnya amat sukar
difahami oleh akal fikiran manusia. Perkhabaran tentang malaikat dan perkara-perkara ghaibini
diketahui melalui al-Quran dan al-Hadis. Yakin dan beriman kepada perkara-perkara ghaib seperti
syurga, neraka, roh merupakan salah satu daripada ciri-ciri orang bertaqwa kepada Allah swt. Di
antara dalil berkenaan dengan malaikat adalah seperti berikut:
Firman Allah swt yang bermaksud:
"Dan tidaklah ada yang mengetahui siapa tentera Tuhan itu melaikan Dia".
(al-Mudasir : 31)





Firman Allah swt lagi yang bermaksud:


"Dan mereka mengerjakan apa yang diperintahkan".
(al-Nahlu : 50)
Sabda Rasulullah saw yang bermaksud:
"Dijadikan malaikat daripada cahaya dan dijadikan jin daripada percikan api".
(Riwayat Muslim)
Firman Allah swt yang bermaksud:
"Miraj yang dilalui oleh malaikat-malaikat dan Jibril ke pusat pemerintahanNya (menerima dan
menyempurkan tugas) pada satu hari tempohnya lima puluh ribu tahun".
(al-Ma"rij : 4)
Firman Allah swt yang bermaksud:
"Segala puji bagi Allah swt yang menciptakan langit dan bumi, yang menjadikan maalaikat utusanutusan yang brsayap dua, tiga dan empat". (al-Fath : 1)
Dalam perkembangan kepercayaan
manusia terhadap perkara ghaib sejak zaman purbakala telah ada kepercayaan kepada dewa-dewa.
Orang Greek di zaman purba mempercayai adanya dewa-dewa. Demikian juga orang Tionghoa dan
Mesir. Kadang-kadang kepercayaan kepada dewa-dewa ini dihubungkaitkan dengan bintang-bintang.
Contohnya orang Greek (Yunani) mempercayai bintang Mars adalah dewa peperangan. Demikian juga
ada yang mempercayai bahawa malaikat itu adalah anak perempuan Tuhan.
Setelah fahaman "ketauhidan" menjadi jelas di dalam Islam, maka tegaklah kepercayaan bahawa
persembahan dan pemujaan hanyalah kepada Allah semata-mata. Malaikat-malaikat bukanlah Tuhan
dan tiada kuasa. Ia tidak dapat memakbulkan permohonan makhluk. Kita tidak perlu takut kepada
malaikat kerana ia tidak dapat berbuat apa-apa melainkan dengan izin Allah swt. Demikianlah
halusnya pokok kepercayaan dalam Islam sehingga memuja malaikat adalah termasuk dalam
perbuatan syirik yang membatalkan akidah seseorang.
Menurut athar Said bin al-Musayyib bahawa malaikat itu bukan lelaki dan bukan perempuan, mereka
tidak makan atau minum dan tidak tidur. Bilangan malaikat amatlah ramai. Tidak diketahui jumlahnya
melainkan Allah swt. Setiap orang wajib beriman kepada malaikat secara ijmal kecuaili sepuluh
malaikat sahaja diwajibkan kita beriman secara tafsil sebagaimana berikut:
Jibril
Malaikat pertama yang dianggap sebagai penghulu sekelian malaikat. Dia juga bernama Namus, Ruh
al-Amin (roh yang diberi keperrcayaan) dan Ruh al-Qudus (roh yang suci). Tugasnya yang utama
ialah menerima perintah Allah swt untuk disampaikan kepada para Nabi dan Rasul. Oleh kerana ruh
Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul itu telah mendapat latihan yang cukup dan istimewa sehingga
memudahkan hubungannya dengan alam ghaib. Maka dapatlah mereka melihat dan berhubung nyata
dengan Malaikat Jibril itu. Nabi Muhammad saw pertama kali berjumpa dengan Jibril ialah semasa
menerima wahyu pertama di gua Hira" di atas bukit Nur. Datang berupa seorang lelaki berpakaian
serba putih. Demikian juga semasa Isra dan Mi"raj Nabi saw ditemani oleh Jibril alaihissalam.
Jibril pernah merupakan dirinya sebagai seorang sahabat Nabi saw yang muda dan pantas sikapnya
iaitu Dahiyah al-Kalbi. Menurut hadis Bukhari dan Muslim yang diriwayatkan oleh Saidina Omar alKhatab menyatakan bahawa Jibril merupa seorang lelaki datang ke majlis Rasulullah saw
mengemukakan pertanyaan berkaitan dengan Iman, Islam dan Ihsan. Semua sahabat Rasulullah saw
yang hadir melihatnya.
Di waktu Rasulullah saw menghembuskan nafasnya yang penghabisan Jibril turut hadir di sisi
Baginda saw. Sebab Rasulullah saw berkata "Jibril ! Jibril ! Dekatlah kepadaku". (Hamka, 1988).
Kitab-kitab suci dan suuf yang diturunkan kepada Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul iaitu Taurat, Zabur, Injil
dan al-Quran diturunkan melalui perantaraan Jibril as.
Mikail
Malaikat Mikail tugasnya mengurus hal ehwal penghidupan. Mengatur rezki, hujan dan sebagainya.
Mengatus perjalanan matahari, bumi, bulan dan cakrawala ini. Peredaran matahari dan bintang

menyebabkan berlakunya siang dan malam. Ia menjaga perjalanan alam ini sehingga segala sesuatu itu
berjalan dengan lancar di dalam peraturan yang ditentukan. Yang berat turun ke bawah, yang ringan
terapung ke atas dan tenaga tarik menarik yang ada semuanya dalam lingkungan tugas Mikail.
Izrail
Izrail terkenal denganpanggilan "Malaikat Maut". Bertugas mencabut nyawa segala makhluk yang
bernyawa di alam ini apabila tiba masanya. Izrail tidak akan datang kalau kita belum "dipanggil".
Walaupun di kiri kanan kita bergelimpangan mayat-mayat, kita tidak akan mati kalau belum tiba
giliran. Dan kalau tiba giliran ke mana kita menyembunyikan diri Izrail tetap menunggu kita.
Walaupun kita berada dalam perti besai yang kukuh sekalipun.
Kita tidak tahu bila Izrail akan datang kepada kita. Kita juga tidak boleh cemas kerana dia pasti
datang. Kecemasan boleh dihilangkan dengan memenuhi hidup kita melakukan kebajikan dan
meninggalkan kemungkaran.
Tugasnya meniup sangkakala (Shur). Tiupan pertama memusnahkan seluruh alam ini melainkan
perkara-perkara yang tidak diizinkan Allah swt musnah.
Kesan Akidah Islam
Akidah Islam akan melahirkan seseorang atau masyarakat yang mempunyai kepribadian yang unggul
yang akhirnya akan dijelmakan melalui tingkah-laku, percakapan dan gerak-geri hati seseorang atau
sesebuah masyarakat. Akidah Islam yang telah meresap ke dalam jiwa dan lubuk hati sesseorang akan
menimbulkan kesan-kesan positif di antaranya dapat kita gariskan seperti berikut:
3.7.1 Akidah Islam melahirkan seorang yang yakin kepada Allah swt yang maha esa. Lantaran itu
menggerakkan seluruh tingkah-lakunya, percakapannya dan gerak-gerinya untuk mencari keredhaan
Allh swt.
3.7.2 Akidah Islam melahirkan Insan Soleh. Insan yang melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah
dan meninggalkan segala jenayah dan kemungkaran.
509 3.7.3 Akidah Islam melahirkan Insan yang mempunyai akhlak cemerlang dan terpuji.
Mengikis sifat-sifat yang buruk dan melahirkan manusia yang bertaqwa, tawadhu", ikhlas, redha,
amanah dengan segala sifat terpuji yang lain di samping menyingkirkan sifat-sifat yang buruk seperti
dengki, sombong, ria", takabur dan seumpamanya yang boleh membawa masalah sosiol dalam
masyarakat.
3.7.4 Akidah akan melahirkan seseorang atau sesebuah masyarakat yang optimis dan yakin kepada diri
sendiri untuk bekerja bagi mencapai kejayaan di dunia di samping tidak lupa mencari keredhaan Allah
swt supaya mendapat kebahagian di akhirat.
3.7.5 Akidah Islam melahirkan Insan dan masyarakat yang teguh pendiriannya, mempunyai perinsip
dan tidak mudah terpengaruh dengan persekitaran yang mengancam nilai dan akhlak manusia
terutama dengan pelbagai pengarauh hasil kemajuan teknologi maklumat di zaman ini. Ia mampu
membeza dan memilih nilai-nilai yang positif dan menolak nilai-nilai yang negatif yang boleh
merosakkan keperibadian Insan dan masyarakat.
3.7.6 Akidah Islam yang teguh mampu membawa manusia dan masyarakat maju ke hadapan dalam
segala bidang. Sejarah membuktikan masyarakat Arab telah berubah daripada satu masyarakat yang
tidak dikenali kepada sebuah masyarakat yang digeruni. Akidah Islam telah mengangkat darjah
mereka. Mereka menguasai hampir separuh dari bumi ini. Mereka menguasai pentadbiran dan maju
dalam pelbagai disiplin ilmu pengetahuan.
3.7.7 Akidah Islam membentuk manusia berlumba-lumba untuk melakukan kebajikan dan mencegah
dari kemungkaran. Ini akan melahirkan masyarakat yang harmoni dan aman tenteram. Tiada jenayah
atau pencerobohan ke atas sesiapa disebabkan mereka yakin kepada hari pembalasan.
3.7.8 Akidah Islam akan melahirkan manusia yang tidak mudah putus asa atau hilang harapan. Iman di
dalam hati akan memberi ketenangan yang luar biasa.
3.7.9 Akidah Islam akhirnya melahirkan manusia yang sanggup berjihad ke jalan Allah swt walaupun
harta dan nyawa menjadi taruhan. Bilal bin Rabah sanggup mati kerana mempertahankan akidahnya.
Kelaurga Amar bin Yasir demikian juga. Demikianlah para sahabat sanggup mengorbankan harta dan
nyawa untuk mempertahan dan menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Ini adalah kesan dari Akidah
Islam yang meressap di dalam jiwa dan lubuk hati mereka.

Akidah Islam yang ada dalam hati umat Islam kini mungkin tidak begitu mantap

menyebabkan mereka tidak dapat mencapai kegemilangan sebagaimana umat Islam di


zaman Nabi saw dan para Sahabat. Umat Islam pada hari ini begitu rapuh akidahnya.
Lantaran itu mereka amat mudah terpengaruh dengan berbagai-bagai unsur negatif.
Kemunduran umat Islam kini kerana mereka semakin jauh dari menghayati Akidah Islam
yang sebenar.

Anda mungkin juga menyukai