barang langka di negeri ini. Hal itu disebabkan oleh: aparatur yang tidak memiliki sifat
amanah, kafâ'ah (kualifikasi) dan himmah (etos kerja); sistem hukum dan peradilan yang
carut-marut secara sistemik; di samping juga karena rusaknya pemikiran filosofis yang
sebagainya.
Lalu apakah sistem hukum dan peradilan Islam akan lebih baik dan bisa
menjamin rasa keadilan bagi masyarakat? Jawabannya pasti: Ya. Sebab, Allah telah
menyatakan kesempurnaan Islam (QS al-Maidah [5]: 3). Namun, memang perlu
dipaparkan penjelasan deskriptif Sistem Hukum dan Peradilan Islam (SHPI) dan
bagaimana rasa keadilan bisa terwujud. Penjelasan itu dapat didekati dari tiga sisi. Dari
sisi aspek filosofis, aspek SHPI itu sendiri, dan sisi praktik yang melibatkan pelaksana
sistem.
Aspek Filosofis
Sistem Hukum dan Peradilan Islam (SHPI) adalah bagian dari satu-kesatuan
sistem Islam yang terpancar dari akidah Islam. Kesaksian Lâ ilâha illâ Allâh juga
bermakna Lâ hâkima illâ Allâh (Tidak ada pembuat hukum yang wajib ditaati kecuali
Allah). Al-Hâkim adalah Allah (QS an-Nisa' [4]: 65; al-An'am [6]: 57; Yusuf [12]: 40,
67). Karena itu, semua hukum harus merujuk atau bersumber pada firman Allah, yakni
2
al-Quran dan as-Sunah. Dengan demikian, hukum Islam berada di atas semua pihak, di
Allah menegaskan bahwa Muhammad saw. diutus untuk seluruh manusia dan
bahwa risalah Islam diperuntukkan untuk seluruh manusia agar menjadi rahmat bagi
mereka, Muslim dan non-Muslim. Hal itu sudah terbukti dalam sejarah panjang kaum
Muslim. Mc I Dimon dalam bukunya, Spain in the Three Religion, mengakui bahwa di
bawah pemerintahan Islam selama 800 tahun di Spanyol, pemeluk Islam, Kristen dan
Yahudi bisa hidup berdampingan dan mendapatkan hak-hak mereka sebagai warga
Hukum Islam hanya bersumber dari wahyu, yaitu al-Quran dan as-Sunnah.
hukum. Sebab, al-Quran dan as-Sunnah adalah tetap, tidak berubah. Peran manusia bukan
mendatangkan dalil hukum, tetapi hanya menggali hukum dari nash-nash syariat.
Memang, intervensi kepentingan manusia bisa saja masuk pada saat interpretasi atau
penggalian hukum itu, tetapi kemungkinannya sangat kecil dan kalaupun terjadi akan
mudah dikenali. Alasannya: Pertama, banyak nash yang bersifat qath'i ad-dalâlah, hanya
memiliki satu makna. Nash demikian tidak boleh dan tidak mungkin ditafsirkan secara
Arab. Begitu pula penggalian hukumnya harus sesuai dengan metodologi istinbâth yang
3
sudah baku. Dengan demikian, peluang intervensi kepentingan manusia menjadi sangat
penerapan hukum, yang dominan adalah motivasi spiritual. Aspek spiritual ini akan
menjadi kendali yang menuntun pemerintah dan aparaturnya serta masyarakat agar tetap
on the track, tentu saja di samping pengawasan sistemik oleh pemerintah dan kontrol dari
masyarakat sendiri.
Hukum Islam juga bersifat tetap, konsisten dan tidak berubah-ubah. Ini akan
memberikan konsistensi hukum, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Hal itu
pembuat hukum. Padahal manusia tidak bisa lepas dari pengaruh lingkungan dan
pihak-pihak yang memiliki akses dan kekuatan untuk mempengaruhi proses legislasi
hukum. Tentu saja produk hukum akan lebih banyak mengakomodasi kepentingan
besar seperti Microsoft. UU HAKI di AS berubah tahun 1891 demi kepentingan industri
dalam negeri AS. UU ini terus dimodifikasi dan secara internasional dijadikan alat
monopoli dan penjajahan. Di negeri ini pun, banyak UU yang berubah seperti UU
4
dalam waktu satu tahun. Banyak di antara perubahan itu akhirnya lebih menguntungkan
Kapitalisme global. Barangkali dalam hal ini juga dapat kita masukkan rencana
Hukum dalam SHPI memiliki karakter yang tidak dimiliki hukum sekular.
Hukum Islam bersifat zawâjir (membuat jera) dan jawâbir (penebus dosa di akhirat).
Hukum Islam akan membuat jera pelaku kejahatan dan masyarakat untuk tidak
melakukan tindakan kriminal. Ini akan memberikan rasa aman kepada masyarakat.
Berbeda dengan hukum sekular, hukuman yang diberikan tidak membuat jera. Tengok
saja, banyak penjahat yang dihukum penjara bukannya kapok, malah semakin ahli.
Akhirnya, rasa keamanan masyarakat pun terampas. Selain itu, hukum Islam, seperti
yang dijelaskan oleh hadis Rasulullah saat Baiat Aqabah II, akan menjadi penebus dosa
di akhriat sehingga pelakunya tidak lagi disiksa karena dosa itu. Ini adalah satu bentuk
keberpihakan hukum Islam kepada pelaku kriminal. Sifat ini akan mendorong orang yang
memiliki ketakwaan, yang terpeleset berbuat kriminal, untuk mengaku dan meminta
diterapkan sanksi atas dirinya karena tidak ingin disiksa di akhirat. Inilah yang terjadi
Hukum Islam berbeda dengan hukum sekular, berlaku untuk semua. Dalam Islam
tidak ada ketentuan harus adanya izin dari kepala negara untuk memeriksa atau mengadili
seorang pejabat seperti yang ada pada hukum sekular. Hal itu ditegaskan dalam sabda
Rasulullah saw:
5
Begitu juga yang dipraktikkan pada masa Khulafaur ar-Rasyidin. Khalifah Umar
pernah menyita unta anaknya, Abdullah bin Umar, yang digembalakan bersama unta
zakat di padang gembalaan terbaik untuk unta zakat. Khalifah Umar juga pernah
menghukum putra Amr bin Ash, Gubernur Mesir, karena memukul seorang rakyat biasa.
Khalifah Ali bin Abi Thalib dikalahkan di Pengadilan ketika berperkara soal baju besi
beliau yang dicuri oleh seorang Yahudi kafir dzimmi karena saksi yang diajukannya tidak
SHPI memiliki standar hukum yang pasti, tegas dan konsisten; tidak berubah-
ubah. Ini memberikan jaminan kepastian rasa keadilan. Di samping itu, semua orang,
baik praktisi hukum maupun masyarakat umum, lebih mudah mengakses dan mengetahui
hukum yang ada. Berbeda dengan sistem sekular; hukum sering berubah-ubah dan terus
muncul produk hukum baru. Hal itu akan menyulitkan masyarakat untuk mengetahui dan
hukum sekalipun mungkin akan kesulitan menguasai seluruh aturan hukum yang ada.
Islam membagi perkara menjadi tiga: perkara khushûmât, yaitu perselisihan antaranggota
masyarakat; perkara hisbah, yaitu berupa pelanggaran atas hak jamaah yang tidak
6
termasuk hûdûd dan jinâyât; dan perkara mazhâlim, yaitu kezaliman yang dilakukan oleh
Dalam perkara khushûmât harus ada tuntutan atau pelaporan perkara. Semua
proses pengadilan harus dilakukan di majelis sidang. Dalam perkara hisbâh dan mazhâlim
tidak harus ada tuntutan (penuntut) atau laporan (pelapor). Dalam perkara hisbah, jika ada
mengadili dan menindak pelakunya di tempat kejadian tanpa harus menunggu adanya
pelaporan atau tuntutan. Ketentuan ini akan menjamin tidak adanya pelanggaran hak
Adapun dalam perkara mazhâlim, jika terjadi kezaliman oleh negara dan
maka qâdhî mazhâlim berhak memeriksa dan mengadilinya. Jika salah seorang rakyat
merasa dizalimi karena aturan administrasi yang ditetapkan negara dan aparatnya,
misalnya, atau merasa hak miliknya diambil paksa negara, ia bisa melaporkannya ke
termasuk kepala negara, sesuai dengan ketentuan syariat dalam masalah tersebut.
membatalkannya jika menyalahi nash syariah atau menyalahi hakikat fakta perkara.
terjadinya kediktatoran negara (penguasa) dan aparatnya terhadap rakyat akan sangat
7
kecil, atau bahkan tidak ada. Bandingkan dengan sistem hukum sekular yang mengklaim
keleluasaan melakukan ijtihad dalam perkara yang diadilinya sesuai dengan batas-batas
yang ditentukan syariah. Dalam perkara yang hukumnya telah diadopsi oleh negara,
hakim berhak memeriksa secara optimal fakta perkara dan kesesuaiannya dengan hukum
yang ada, lalu menetapkan vonis. Adapun dalam perkara yang hukumnya belum diadopsi
memeriksa fakta perkara dan kesesuaiannya dengan hukum hasil istinbâth-nya, lalu
menetapkan vonis hukum. Vonis itu minimal harus bersifat ghalabah azh-zhân
(persangkaan yang kuat). Untuk itu, Islam menetapkan, yang bisa diterima hanya
kesaksian dan bukti yang meyakinkan. Seorang saksi harus memberikan kesaksian
berdasarkan informasi yang ia peroleh secara langsung melalui panca inderanya, bukan
dari pihak ketiga; semisal dari orang lain atau media massa, kecuali dalam masalah nikah,
nasab, kematian, qadhâ', mahar, seorang suami telah menggauli istrinya, pembebasan
budak, wala', dan wakaf. Begitu juga, bukti yang bisa dipakai hanya bukti primer,
sedangkan keterangan ahli, dokter forensik dan sejenisnya, tidak bisa dianggap kesaksian;
Di samping itu Islam juga menetapkan ketentuan tentang jumlah saksi, yakni dua
orang saksi laki-laki atau yang setara-kesaksian seorang laki-laki setara dua orang
perempuan-kecuali dalam perkara zina, harus ada empat orang laki-laki; rukyat hilal
cukup satu orang laki-laki; dan perkara yang hanya diketahui wanita, seperti persusuan,
8
cukup satu orang wanita. Islam juga menentukan syarat dan sifat saksi yang bisa diterima
Islam juga menetapkan, adanya pengakuan yang meyakinkan dari pelaku dapat
dijadikan dasar memutuskan vonis, seperti dalam kasus Maiz al-Aslami dan al-
Ghamidiyah. Vonis yang telah diputuskan tidak bisa dibatalkan. Kaidah syariah
ijtihad semisalnya). Artinya, vonis hasil ijtihad seorang hakim tidak bisa dibatalkan oleh
vonis hasil ijtihad hakim yang lain. Karena itu, dalam SHPI tidak dikenal sistem
"banding", yaitu pengajuan peninjauan vonis ke pengadilan yang lebih tinggi. Vonis yang
diputuskan tidak bisa dibatalkan; ia berlaku secara mengikat dan wajib dilaksanakan-
kecuali jika diputuskan tidak berdasar syariat Islam, menyalahi nash syariah, atau
menyalahi hakikat fakta perkara. Jika ada pihak, baik yang berperkara atau yang lain,
melihat adanya penyimpangan terhadap nash syariah atau terhadap hakikat fakta perkara,
samping itu, juga tidak akan terjadi penumpukan perkara di pengadilan seperti pada
sistem sekular. Hal itu akan menjaga penghormatan dan kepercayaan masyarakat
terhadap hukum, berikutnya, tentu saja akan menghilangkan tindakan main hakim
sendiri.
9
menyuap, hadiah, kolusi dan nepotisme. Dalam sistem pidana Islam, peluang terjadinya
permainan hukum dan peradilan akan sangat kecil. Hal itu karena:
merupakan bagian dari ketakwaan. Para hakim harus dipilih dengan kualifikasi sangat
ketat dari orang-orang yang memiliki amanah, kafâ'ah (kualifikasi hakim) dan himmah
(etos kerja) serta dikenal ketakwaannya. Negara secara kontinu dan sistemik harus
mendapat gaji. Besaran gaji yang diberikan negara haruslah menyejahterakan sehingga
hakim tidak tergoda suap, hadiah dan sejenisnya. Hal itu berdasarkan riwayat Abu
Dawud, Ibn Khuzaimah, al-Baihaqi dan al-Hakim dari Buraidah. Di samping gaji bulanan
itu, masih ditambah insentif perumahan, kendaraan (transportasi), pembantu dan bantuan
menikah bagi yang belum menikah. Al-Mustawrid bin Syadad menuturkan, Rasulullah
Siapa saja yang menangani tugas untuk kami, sementara ia tidak memiliki rumah,
hendaklah ia mengambil rumah; atau tidak memiliki istri, hendaklah ia menikah; atau
kendaraan, hendaklah ia mengambil kendaraan. Siapa saja yang mengambil selain itu
Seorang hakim, jika memakan hadiah, sesungguhnya ia telah memakan yang haram, dan
jika ia menerima suap, berarti ia telah terjatuh ke dalam kekufuran. (HR an-Nasai).
Ketiga, adanya pengawasan sistemik kepala negara (Khalifah) dan Mahkamah Mazhalim.
Selain itu, ada kontrol sosial dari partai politik dan masyarakat secara umum. Islam
menetapkan ruang muhâsabah ini wajib dibuka seluas-luasnya. Wallâh a'lam bi ash-
shawâb.