Anda di halaman 1dari 10

1

KEAGUNGAN HUKUM DAN PERADILAN ISLAM


Oleh: Yahya Abdurrahman

Yahya Abdurrahman mengatakan bahwa rasa keadilan telah menjadi satu

barang langka di negeri ini. Hal itu disebabkan oleh: aparatur yang tidak memiliki sifat

amanah, kafâ'ah (kualifikasi) dan himmah (etos kerja); sistem hukum dan peradilan yang

carut-marut secara sistemik; di samping juga karena rusaknya pemikiran filosofis yang

menjadi dasarnya seperti ide kedaulatan manusia, kebebasan, sekularisme, dan

sebagainya.

Lalu apakah sistem hukum dan peradilan Islam akan lebih baik dan bisa

menjamin rasa keadilan bagi masyarakat? Jawabannya pasti: Ya. Sebab, Allah telah

menyatakan kesempurnaan Islam (QS al-Maidah [5]: 3). Namun, memang perlu

dipaparkan penjelasan deskriptif Sistem Hukum dan Peradilan Islam (SHPI) dan

bagaimana rasa keadilan bisa terwujud. Penjelasan itu dapat didekati dari tiga sisi. Dari

sisi aspek filosofis, aspek SHPI itu sendiri, dan sisi praktik yang melibatkan pelaksana

sistem.

Aspek Filosofis

Sistem Hukum dan Peradilan Islam (SHPI) adalah bagian dari satu-kesatuan

sistem Islam yang terpancar dari akidah Islam. Kesaksian Lâ ilâha illâ Allâh juga

bermakna Lâ hâkima illâ Allâh (Tidak ada pembuat hukum yang wajib ditaati kecuali

Allah). Al-Hâkim adalah Allah (QS an-Nisa' [4]: 65; al-An'am [6]: 57; Yusuf [12]: 40,

67). Karena itu, semua hukum harus merujuk atau bersumber pada firman Allah, yakni
2

al-Quran dan as-Sunah. Dengan demikian, hukum Islam berada di atas semua pihak, di

atas semua manusia.

Allah menegaskan bahwa Muhammad saw. diutus untuk seluruh manusia dan

bahwa risalah Islam diperuntukkan untuk seluruh manusia agar menjadi rahmat bagi

mereka, Muslim dan non-Muslim. Hal itu sudah terbukti dalam sejarah panjang kaum

Muslim. Mc I Dimon dalam bukunya, Spain in the Three Religion, mengakui bahwa di

bawah pemerintahan Islam selama 800 tahun di Spanyol, pemeluk Islam, Kristen dan

Yahudi bisa hidup berdampingan dan mendapatkan hak-hak mereka sebagai warga

negara tanpa diskriminasi.

Hukum Islam hanya bersumber dari wahyu, yaitu al-Quran dan as-Sunnah.

Kenyataan ini akan menghalangi intervensi manusia dan kepentingannya terhadap

hukum. Sebab, al-Quran dan as-Sunnah adalah tetap, tidak berubah. Peran manusia bukan

mendatangkan dalil hukum, tetapi hanya menggali hukum dari nash-nash syariat.

Memang, intervensi kepentingan manusia bisa saja masuk pada saat interpretasi atau

penggalian hukum itu, tetapi kemungkinannya sangat kecil dan kalaupun terjadi akan

mudah dikenali. Alasannya: Pertama, banyak nash yang bersifat qath'i ad-dalâlah, hanya

memiliki satu makna. Nash demikian tidak boleh dan tidak mungkin ditafsirkan secara

beragam. Kedua, memang banyak nash zhanni ad-dalâlah yang di dalamnya

memungkinkan ragam interpretasi. Namun, semuanya harus berada dalam bingkai

interpretasi yang dibenarkan oleh kaidah-kaidah interpretasi ungkapan dalam bahasa

Arab. Begitu pula penggalian hukumnya harus sesuai dengan metodologi istinbâth yang
3

sudah baku. Dengan demikian, peluang intervensi kepentingan manusia menjadi sangat

kecil. Kalaupun terjadi, ia akan mudah dikenali.

Al-Hakim adalah Allah. Penerimaan dan penerapan hukum-hukum Allah

merupakan bentuk ketakwaan kepada-Nya. Karenanya, dalam proses penggalian dan

penerapan hukum, yang dominan adalah motivasi spiritual. Aspek spiritual ini akan

menjadi kendali yang menuntun pemerintah dan aparaturnya serta masyarakat agar tetap

on the track, tentu saja di samping pengawasan sistemik oleh pemerintah dan kontrol dari

masyarakat sendiri.

Hukum Islam juga bersifat tetap, konsisten dan tidak berubah-ubah. Ini akan

memberikan konsistensi hukum, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Hal itu

akan memberikan kepastian hukum dan ketenangan bagi masyarakat.

Berbeda dengan sistem hukum sekular yang mendudukkan manusia sebagai

pembuat hukum. Padahal manusia tidak bisa lepas dari pengaruh lingkungan dan

kepentingan, di samping tentu saja kelemahan serta keterbatasan pengetahuan dan

kecerdasan. Akibatnya, hukum berubah-ubah lebih sering dipengaruhi oleh kepentingan

pihak-pihak yang memiliki akses dan kekuatan untuk mempengaruhi proses legislasi

hukum. Tentu saja produk hukum akan lebih banyak mengakomodasi kepentingan

mereka. Akhirnya, yang dirugikan adalah masyarakat secara keseluruhan. Contoh: UU

Monopoli dan Persaingan Usaha di AS berubah dan lebih menguntungkan perusahan

besar seperti Microsoft. UU HAKI di AS berubah tahun 1891 demi kepentingan industri

dalam negeri AS. UU ini terus dimodifikasi dan secara internasional dijadikan alat

monopoli dan penjajahan. Di negeri ini pun, banyak UU yang berubah seperti UU
4

Korupsi, UU Pers, UU Pertambangan, dsb; bahkan UU Pencucian Uang berubah hanya

dalam waktu satu tahun. Banyak di antara perubahan itu akhirnya lebih menguntungkan

Kapitalisme global. Barangkali dalam hal ini juga dapat kita masukkan rencana

perubahan paket UU Investasi, termasuk UU Ketenagakerjaan, yang akhirnya menuai

penentangan secara luas.

Hukum dalam SHPI memiliki karakter yang tidak dimiliki hukum sekular.

Hukum Islam bersifat zawâjir (membuat jera) dan jawâbir (penebus dosa di akhirat).

Hukum Islam akan membuat jera pelaku kejahatan dan masyarakat untuk tidak

melakukan tindakan kriminal. Ini akan memberikan rasa aman kepada masyarakat.

Berbeda dengan hukum sekular, hukuman yang diberikan tidak membuat jera. Tengok

saja, banyak penjahat yang dihukum penjara bukannya kapok, malah semakin ahli.

Akhirnya, rasa keamanan masyarakat pun terampas. Selain itu, hukum Islam, seperti

yang dijelaskan oleh hadis Rasulullah saat Baiat Aqabah II, akan menjadi penebus dosa

di akhriat sehingga pelakunya tidak lagi disiksa karena dosa itu. Ini adalah satu bentuk

keberpihakan hukum Islam kepada pelaku kriminal. Sifat ini akan mendorong orang yang

memiliki ketakwaan, yang terpeleset berbuat kriminal, untuk mengaku dan meminta

diterapkan sanksi atas dirinya karena tidak ingin disiksa di akhirat. Inilah yang terjadi

pada masa Rasulullah atas diri Maiz al-Islami dan al-Ghamidiyah.

Hukum Islam berbeda dengan hukum sekular, berlaku untuk semua. Dalam Islam

tidak ada ketentuan harus adanya izin dari kepala negara untuk memeriksa atau mengadili

seorang pejabat seperti yang ada pada hukum sekular. Hal itu ditegaskan dalam sabda

Rasulullah saw:
5

Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah, jika


orang mulia di antara mereka mencuri maka mereka biarkan, dan jika orang
lemah di antara mereka mencuri maka mereka menerapkan hukuman atasnya.
Demi Allah, seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, sungguh aku
memotong tangannya.

(HR al-Bukhari dan Muslim).

Begitu juga yang dipraktikkan pada masa Khulafaur ar-Rasyidin. Khalifah Umar

pernah menyita unta anaknya, Abdullah bin Umar, yang digembalakan bersama unta

zakat di padang gembalaan terbaik untuk unta zakat. Khalifah Umar juga pernah

menghukum putra Amr bin Ash, Gubernur Mesir, karena memukul seorang rakyat biasa.

Khalifah Ali bin Abi Thalib dikalahkan di Pengadilan ketika berperkara soal baju besi

beliau yang dicuri oleh seorang Yahudi kafir dzimmi karena saksi yang diajukannya tidak

bisa diterima oleh Qadhi Syuraih.

Aspek Sistem Sanksi

SHPI memiliki standar hukum yang pasti, tegas dan konsisten; tidak berubah-

ubah. Ini memberikan jaminan kepastian rasa keadilan. Di samping itu, semua orang,

baik praktisi hukum maupun masyarakat umum, lebih mudah mengakses dan mengetahui

hukum yang ada. Berbeda dengan sistem sekular; hukum sering berubah-ubah dan terus

muncul produk hukum baru. Hal itu akan menyulitkan masyarakat untuk mengetahui dan

memahami hukum-hukum yang berlaku. Jangankan masyarakat umum, seorang praktisi

hukum sekalipun mungkin akan kesulitan menguasai seluruh aturan hukum yang ada.

Islam membagi perkara menjadi tiga: perkara khushûmât, yaitu perselisihan antaranggota

masyarakat; perkara hisbah, yaitu berupa pelanggaran atas hak jamaah yang tidak
6

termasuk hûdûd dan jinâyât; dan perkara mazhâlim, yaitu kezaliman yang dilakukan oleh

negara terhadap individu atau sekelompok rakyat.

Dalam perkara khushûmât harus ada tuntutan atau pelaporan perkara. Semua

proses pengadilan harus dilakukan di majelis sidang. Dalam perkara hisbâh dan mazhâlim

tidak harus ada tuntutan (penuntut) atau laporan (pelapor). Dalam perkara hisbah, jika ada

pelanggaran hak jamaah-seperti penyerobotan jalan umum, kecurangan timbangan dan

takaran, penyimpangan dalam transaksi, dsb-maka qâdhî hisbah dapat langsung

mengadili dan menindak pelakunya di tempat kejadian tanpa harus menunggu adanya

pelaporan atau tuntutan. Ketentuan ini akan menjamin tidak adanya pelanggaran hak

jamaah atau setidaknya akan sangat minim.

Adapun dalam perkara mazhâlim, jika terjadi kezaliman oleh negara dan

aparatnya terhadap individu atau sekelompok rakyat-apalagi jika ada laporan/tuntutan-

maka qâdhî mazhâlim berhak memeriksa dan mengadilinya. Jika salah seorang rakyat

merasa dizalimi karena aturan administrasi yang ditetapkan negara dan aparatnya,

misalnya, atau merasa hak miliknya diambil paksa negara, ia bisa melaporkannya ke

Mahkamah Mazhalim. Mahkamah ini berwenang segera memproses dan mengadili

perkara tersebut. Mahkamah ini juga berwenang memutuskan pencopotan pejabat,

termasuk kepala negara, sesuai dengan ketentuan syariat dalam masalah tersebut.

Mahkamah Mazhalim juga ber-wenang memeriksa keputusan hukum dan

membatalkannya jika menyalahi nash syariah atau menyalahi hakikat fakta perkara.

Dengan segala ketentuan dan wewenang Mahkamah Mazhalim ini, kemungkinan

terjadinya kediktatoran negara (penguasa) dan aparatnya terhadap rakyat akan sangat
7

kecil, atau bahkan tidak ada. Bandingkan dengan sistem hukum sekular yang mengklaim

menghalangi kediktatoran, nyatanya banyak kediktatoran terjadi dan terus terjadi.

Dalam SHPI, seorang hakim memiliki independensi yang tinggi. Ia memiliki

keleluasaan melakukan ijtihad dalam perkara yang diadilinya sesuai dengan batas-batas

yang ditentukan syariah. Dalam perkara yang hukumnya telah diadopsi oleh negara,

hakim berhak memeriksa secara optimal fakta perkara dan kesesuaiannya dengan hukum

yang ada, lalu menetapkan vonis. Adapun dalam perkara yang hukumnya belum diadopsi

negara, hakim sepenuhnya berhak meng-istinbâth hukum dari nash-nash syariah,

memeriksa fakta perkara dan kesesuaiannya dengan hukum hasil istinbâth-nya, lalu

menetapkan vonis hukum. Vonis itu minimal harus bersifat ghalabah azh-zhân

(persangkaan yang kuat). Untuk itu, Islam menetapkan, yang bisa diterima hanya

kesaksian dan bukti yang meyakinkan. Seorang saksi harus memberikan kesaksian

berdasarkan informasi yang ia peroleh secara langsung melalui panca inderanya, bukan

dari pihak ketiga; semisal dari orang lain atau media massa, kecuali dalam masalah nikah,

nasab, kematian, qadhâ', mahar, seorang suami telah menggauli istrinya, pembebasan

budak, wala', dan wakaf. Begitu juga, bukti yang bisa dipakai hanya bukti primer,

sedangkan keterangan ahli, dokter forensik dan sejenisnya, tidak bisa dianggap kesaksian;

semua itu hanyalah informasi untuk membedah perkara.

Di samping itu Islam juga menetapkan ketentuan tentang jumlah saksi, yakni dua

orang saksi laki-laki atau yang setara-kesaksian seorang laki-laki setara dua orang

perempuan-kecuali dalam perkara zina, harus ada empat orang laki-laki; rukyat hilal

cukup satu orang laki-laki; dan perkara yang hanya diketahui wanita, seperti persusuan,
8

cukup satu orang wanita. Islam juga menentukan syarat dan sifat saksi yang bisa diterima

(lihat Al-Ahkâm al-Bayyinât, Ahmad ad-Daur).

Islam juga menetapkan, adanya pengakuan yang meyakinkan dari pelaku dapat

dijadikan dasar memutuskan vonis, seperti dalam kasus Maiz al-Aslami dan al-

Ghamidiyah. Vonis yang telah diputuskan tidak bisa dibatalkan. Kaidah syariah

menyatakan: Al-Ijtihâd lâ yunqadhu bi-mitslihi (Ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan

ijtihad semisalnya). Artinya, vonis hasil ijtihad seorang hakim tidak bisa dibatalkan oleh

vonis hasil ijtihad hakim yang lain. Karena itu, dalam SHPI tidak dikenal sistem

"banding", yaitu pengajuan peninjauan vonis ke pengadilan yang lebih tinggi. Vonis yang

diputuskan tidak bisa dibatalkan; ia berlaku secara mengikat dan wajib dilaksanakan-

kecuali jika diputuskan tidak berdasar syariat Islam, menyalahi nash syariah, atau

menyalahi hakikat fakta perkara. Jika ada pihak, baik yang berperkara atau yang lain,

melihat adanya penyimpangan terhadap nash syariah atau terhadap hakikat fakta perkara,

ia bisa mengadukannya ke Mahkamah Mazhalim. Mahkamah ini berwenang

memeriksanya dan jika menyimpang membatalkannya.

Dengan ketentuan demikian, masyarakat akan segera mendapatkan kepastian

hukum; perkaranya segera mendapat keputusan tetap dan tidak terkatung-katung. Di

samping itu, juga tidak akan terjadi penumpukan perkara di pengadilan seperti pada

sistem sekular. Hal itu akan menjaga penghormatan dan kepercayaan masyarakat

terhadap hukum, berikutnya, tentu saja akan menghilangkan tindakan main hakim

sendiri.
9

Praktik dan Pelaksana Hukum

Permainan hukum dan peradilan mayoritasnya terjadi melalui praktik suap-

menyuap, hadiah, kolusi dan nepotisme. Dalam sistem pidana Islam, peluang terjadinya

permainan hukum dan peradilan akan sangat kecil. Hal itu karena:

Pertama, dominannya motivasi ruhiah, karena pelaksanaan hukum Islam

merupakan bagian dari ketakwaan. Para hakim harus dipilih dengan kualifikasi sangat

ketat dari orang-orang yang memiliki amanah, kafâ'ah (kualifikasi hakim) dan himmah

(etos kerja) serta dikenal ketakwaannya. Negara secara kontinu dan sistemik harus

membina ketakwaan aparaturnya dan masyarakat secara umum.

Kedua, hakim diangkat negara untuk menangani peradilan dan ia berhak

mendapat gaji. Besaran gaji yang diberikan negara haruslah menyejahterakan sehingga

hakim tidak tergoda suap, hadiah dan sejenisnya. Hal itu berdasarkan riwayat Abu

Dawud, Ibn Khuzaimah, al-Baihaqi dan al-Hakim dari Buraidah. Di samping gaji bulanan

itu, masih ditambah insentif perumahan, kendaraan (transportasi), pembantu dan bantuan

menikah bagi yang belum menikah. Al-Mustawrid bin Syadad menuturkan, Rasulullah

saw. pernah bersabda:

Siapa saja yang menangani tugas untuk kami, sementara ia tidak memiliki rumah,

hendaklah ia mengambil rumah; atau tidak memiliki istri, hendaklah ia menikah; atau

tidak memiliki pembantu, hendaklah ia mengambil pembantu; atau tidak memiliki

kendaraan, hendaklah ia mengambil kendaraan. Siapa saja yang mengambil selain itu

maka ia telah berbuat curang. (HR Ahmad dan Abu Dawud).


10

Rasul saw. juga bersabda:

Seorang hakim, jika memakan hadiah, sesungguhnya ia telah memakan yang haram, dan

jika ia menerima suap, berarti ia telah terjatuh ke dalam kekufuran. (HR an-Nasai).

Ketiga, adanya pengawasan sistemik kepala negara (Khalifah) dan Mahkamah Mazhalim.

Selain itu, ada kontrol sosial dari partai politik dan masyarakat secara umum. Islam

menetapkan ruang muhâsabah ini wajib dibuka seluas-luasnya. Wallâh a'lam bi ash-

shawâb.

Anda mungkin juga menyukai