Anda di halaman 1dari 20

Hukum Syara’ dan Unsur-Unsurnya

Pembahasan tentang hukum syara’ merupakan salah satu dari beberapa objek kajian
Ushul Fiqh. Bahkan tujuan utama dari studi Ushul Fiqh adalah bagaimana menyimpulkan
hukum syara’ dari sumber-sumbernya. Hukum syara’ akan melibatkan pembicaraan tentang
segala sesuatu yang berhubungan dengannya yakni; Al-Hakim (pembuat hukum), hukum (al-
hukm) bentuk jamaknya al-ahkam, Mahkum ‘alaihi (mukallaf) dan Mahkum fiih (perbuatan
manusia). 1 Makalah ini akan menjelaskan tentang empat unsur hukum Islam tersebut,
menelaah secara filosofis hakikat Hakim dan hubungannya dengan hukum, mahkum ‘alaih
dan mahkum fiih.

Definisi

Al-Hakim adalah pembuat hukum, yang menetapkan, yang meletakkan dasar-dasar


hukum dan sumber hukum. Maka, Al-Hakim adalah Allah SWT Sang Pencipta, Sang
Pembuat hukum dan undang-undang serta sumber satu-satunya bagi hukum Islam.2

Lafadz al-ahkam adalah bentuk jamak dari al-hukmu atau hukum. Secara etimologi
makna al-hukm berarti “mencegah” atau “memutuskan”.3 Sedangkan makna hukum secara
terminologis adalah Seruan(khitab) Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf
dalam bentuk tuntutan (al-iqtida), pilihan (at-takhyir) dan ketetapan (al-wadh’i). Arti khitab
adalah firman Allah yang berupa perintah atau larangan-larangan. Al-iqtida adalah tuntutan
untuk melakukan suatu perbuatan atau untuk tidak melakukan suatu perbuatan.4 At-takhyir
ialah apabila Al-Hakim memberi pilihan kepada mukallaf untuk melakukan suatu perbuatan
atau tidak melakukannya, yang disebut dengan al-ibahah. Perbuatannya disebut mubah.
Perbuatan hukum yang berupa al-iqtidha dan at-takhyir disebut dengan al-ahkam al khamsah
atau hukum taklifi.5
Mahkum fih yakni perbuatan yang dihukumkan (perbuatan hukum). Dalam redaksi
kata yang lain mahkum fih adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan dengannya aturan
Syari’(Allah). Perbuatan yang dihukumkan disebut juga dengan at-taklif adalah hasil dari
pemaknaan dan pengungkapan maksud-maksud yang terkandung di dalam nash Al-Qur’an
maupun Hadist. 6 Nash-nash itu sendiri ada yang muhkamah dan ada yang mutasyabihat,
sebagaimana dijelaskan dalam surat Ali Imran(3) ayat 7.7

1
Muhammad Musthofa Az-Zuhaily, Al-Wajiz fi Ushul Al-Fiqhi Al-Islamiy (Beirut: Daar al-Khair,
2006), hal. 283; Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2017), hal. 33.
2
Muhammad Musthofa Az-Zuhaily, hal. 447.
3
Satria Effendi M. Zein, hal. 33.
4
Tuntutan yang harus dilaksanakan, yang jika tidak dilaksanakan akan mendapat dosa dan siksaan
disebut dengan wajib, sedangkan tuntutan yang harus ditinggalkan jika dilakukan akan berdosa dan mendapat
siksa, disebut dengan haram. Adapun tuntutan untuk ditinggalkan dan jika dilakukan tidak mendapat dosa dan
siksa, disebut dengan makruh. Muhammad Musthofa Az-Zuhaily, hal. 287-288.
5
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia,2009), Hal. 265.
6
Ahmad bin Musthofa Al-Maraghi Bik, Al-Wajiz fi Ushul Al-Fiqhi (Kuwait: Daar Adh-
Dhahriyah,1937), hal.38-44.
7
Ayat-ayat muhkamah adalah yang bermakna jelas, sedangkan ayat-ayat yang mutasyabihat adalah
ayat-ayat yang bermakna tidak jelas. Untuk memastikan pengertiannya tidak ditemukan dalil yang kuat. Dengan
demikian, ayat-ayat yang termasuk muhkamah adalah ayat yang jelas maknanya serta lafadznya yang diletakkan
untuk suatu makna yang kuat dan mudah dipahami dengan cepat. Adapun ayat-ayat yang mutasyabihat ialah
ayat-ayat yang bersifat mujmal (global), yang mu’awwal (memerlukan takwil) dan yang musykil (sukar

1
Mahkum ‘alaih adalah orang yang perbuatannya berkaitan dengan hukum syara’ atau
orang yang perilakunya berkaitan dengan aturan Allah SWT., disebut sebagai mukallaf.
Dalam redaksi lain mukallaf adalah seseorang yang diarahkan kepadanyalah sebuah perintah
atau aturan. 8

‫هو املكلف الذي تعلق حكم الشارع بفعله‬


Syarat-syarat mukallaf itu ada dua bagian:
1. Harus sanggup dan dapat memahami khittah atau ketentuan yang dihadapkan
kepadanya.
2. Layak dan patut ditaklifi.9

A. Hakikat Al-Hakim
Al-Hakim yaitu pihak yang menetapkan hukum atau pembuat hukum dan menetapkan
baik-buruknya suatu perbuatan. Dalam prinsip hukum Islam, Al-Hakim adalah Allah SWT.
Alasan bahwa Al-Hakim yang pertama harus dibahas, karena tanpa Al-Hakim hukum Islam
tidak ada.
Untuk membawa dan menyampaikan hukum atau syariat kepada manusia, Al-Hakim
yaitu Allah menciptakan utusan-utusan yang disebut dengan Rasulullah. Sebelum Allah
mengutus para Rasul, tidak ada syariat yang berlaku. Dalam hal ini, Imam Hanafi
mengutarakan dua pendapat, yaitu:
1. Pendapat yang dikemukakan oleh kaum Asy’ariyah yang dipelopori oleh Abdul Hasan
Al-Asy’ari yang berpendapat bahwa hukum-hukum Allah tidak dapat diketahui oleh
akal semata-mata. Oleh karena itu, seluruh bentuk perbuatan manusia yang terjadi
sebelum diangkat utusan-utusan Allah tidak ada hukumnya atau tidak ada sanksi bagi
pelaku perbuatan tersebut, sebagaimana kufur tidak haram dan iman tidak diwajibkan.10
2. Pendapat kaum Mu’tazilah yang dipelopori oleh Wasil bin Atha, berpendapat bahwa
hukum dan syariat Allah sebelum dibangkitkan utusan-utusan Allah dapat diketahui
oleh akal. Akal dapat mengetahui baik dan buruk suatu perbuatan karena sifat-sifatnya.
Oleh karena itu, orang mukallaf harus memperkuat kebajikan dan menjauhkan
keburukan. Allah akan memberi balasan terhadapnya berdasarkan apa yang diketahui
oleh akalnya sebagaimana juga berdasarkan syariat yang dibawa oleh para utusan-Nya.
Kalau tidak demikian, orang-orang yang baik dan orang-orang yang jahat sama
kedudukannya dan sama pula balasannya. Adapun pada tiap-tiap masa tertentu terdapat
orang-orang yang baik dan orang-orang yang jahat.

Dzat yang menciptakan hukum sebagai peraturan hidup manusia adalah Dzat Yang
Mutlak, yang keberadaannya tidak ditentukan atau bergantung kepada yang lain. Dengan

dipahami). Sebab, ayat-ayat yang bersifat mujmal membutuhkan rincian, ayat-ayat yang mu’awwal baru
diketahui maknanya setelah ditakwilkan dan ayat-ayat yang musykil samar maknanya dan sukar dimengerti.
Lihat: Beni Ahmad Saebani, hal. 278.
8
Muhammad Musthofa Az-Zuhaily, hal. 485-486.
9
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), Hal. 162-163.
10
Beni Ahmad Saebani, hal. 270.

2
demikian, Dzat yang menciptakan kebenaran dan menetapkan yang “benar dengan
sendirinya” adalah Al-Hakim. Kebenaran yang tidak membutuhkan legalitas dari mahkluk-
Nya. Al-Hakim atau Allah yang mengangkat manusia menjadi seorang nabi dan rasul yang
menerima risalah dan firman-Nya yang tertuang dalam kitab suci yang orisinalitasnya dijaga
dan dipelihara secara langsung oleh-Nya.
Hukum tidak tercipta dan hadir dengan sendirinya, melainkan melalui proses tertentu
yang berhubungan dengan kodrat alam dan kemanusiaan. Hukum yang merupakan sistem
alam disebut dengan nature of law (hukum alam). Hukum alam berjalan sesuai dengan
fitrahnya. Fitrah yang paling mendasar dalam hukum alam adalah perubahan dan pergantian.
Tak ada sesuatu yang tetap di dalamnya, segala sesuatu akan memudar dan setelah itu mati.
Akan tetapi, kematian hanyalah perubahan dari satu wujud ke wujud lain yang tidak akan ada
apabila sebelumnya tidak ada.11
Dalam kehidupan ini tentu ada yang mengatur, dengan cara bagaimana manusia harus
hidup dan mempertahankan hidupnya. Ketika kematian menjemput, ada hukum tentang
kematian dan apa yang ada setelah kematian. Kehidupan dan kematian tidak dapat terlepas
dari hukum alam dan tentu saja ada Pencipta Hukum yang tidak dapat digantikan. Dia adalah
subjek hukum. Manusia yang meyakini bahwa subjek hukum pertama dan utama adalah
Tuhan, maka Tuhan yaitu Allah adalah Al-Hakim Yang Maha Agung, Allah yang telah
menciptakan langit, bumi dengan segala isinya. Setelah itu, Allah pun menciptakan hukum
yang berlaku bagi semua alam jagat raya ini. Perputaran siang dan malam, panas dan dingin,
angin yang bertiup kencang, rumput-rumput yang menghijau karena embun, hujan yang
menghidupkan tumbuhan, tsunami, bencana alam, kemarau, lapar, kenyang dan segalanya
adalah sistem kehidupan alam yang alamiah dan manusiawi, yang diciptakan oleh Al-Hakim
Yang Maha Agung (al-Hakim al-Akbar) yakni Allah SWT.
Bagi umat manusia, Allah adalah Subjek Hukum, sebagai Pembuat Hukum. Jika Allah
dikatakan sebagai Pelaku Hukum yang diciptakan-Nya sendiri, Dia adalah Dzat yang
memiliki hakikat Dzat-Nya sendiri. Dzat yang memiliki sifat dan af’al(perilaku). Apabila
manusia menyadari dan meyakini dengan semua fitrah alamiyah ini, tiada hukum yang paling
benar, kecuali hukum-hukum Allah. Manusia akan senantiasa waspada dengan setiap
perubahan dalam kehidupan yang fana karena kefanaan berlaku bagi hukum alam. Hukum
yang dibuat oleh Allah adalah hukum-hukum yang siap untuk dipilih oleh manusia. Hukum
tentang baik dan buruk, hukum tentang hidup dan mati, hukum tentang dunia dan akhirat,
hukum tentang relatif dan mutlak, hukum tentang jasmani dan rohani, hukum tentang atas
dan bawah, hukum tentang pahala dan dosa, hukum tentang neraka dan surga, hukum tentang
kepastian dan kemungkinan dan lain sebagainya. Apabila seseorang memilih kebaikan,
berlakulah hukum dalam kebaikan, sebagaimana seseorang memilih kejahatan, maka sistem
hukum yang ada hanyalah hukum kejahatan.
Kajian dalam Ushul Fiqh tentang pembuat hukum atau Al-Hakim atau Allah
berpautan dengan pemikiran filosofis tentang wujud Allah, sifat-sifat dan iradah-Nya. Hal ini
sangat penting dikaji mengingat hukum Islam berbeda dengan hukum-hukum lain buatan
manusia yang bersifat relatif. Disamping itu, hukum Islam sebagai syariat bukan sebatas
bagaimana melaksanakannya, tetapi secara langsung berhubungan dengan keyakinan atau

11
Beni Ahmad Saebani, hal. 271.

3
keimanan manusia terhadap sumber-sumber hukum Islam itu sendiri. Sebab, tanpa didasari
oleh keimanan, hukum Islam yang dimaksudkan “tidak lebih” dari aturan provan yang tidak
harus diamalkan. 12 Hukum Islam yang diamalkan didasarkan pada adanya keimanan
menimbulkan kesadaran dan ketaatan terhadap Pencipta hukum itu sendiri. Bahkan lebih jauh
dari itu terdapat keyakinan yang membangun niat para mukallaf bahwa melaksanakan hukum
Islam merupakan ibadah yang dapat membawanya ke dalam balasan/pahala dari Pembuat
hukum yang berupa kenikmatan surga setelah habisnya kehidupan duniawi, serta sampainya
hamba pada ridho Allah SWT.13
Dengan pemahaman diatas, objek ushul fiqh yang pertama dan sumber hukum Islam
adalah Pembuat hukum Islam itu sendiri. Dengan demikian, Al-Hakim menjadi prioritas
kajian ushul fiqh, karena landasan utama paradigma hukum tentang sumber hukum Islam
adalah permasalahan yang berkaitan dengan akidah, yakni keimanan dalam hakikat
ketauhidan, baik dalam tauhid Uluhiyah maupun tauhid Rububiyah-Nya. Tauhid Uluhiyah
yang menjadi sendi dasar keyakinan bahwa tiada Tuhan selain Allah membuka jalan pertama
menuju keyakinan “tiada hukum yang mutlak benarnya, kecuali hukum-hukum yang datang
dari Allah”. Adapun tauhid Rububiyah menyatakan keyakinan tentang Penguasa Tunggal
yang menjaga dan memelihara wahyu sebagai sumber hukum Islam yang menciptakan
seluruh alam dengan segala kebutuhan makhluk-Nya. Dengan demikian, tauhid Rububiyah
adalah prinsip yang memperkuat pernyataan bahwa “tiada hukum yang terjaga dan
terpelihara, kecuali hukum-hukum Allah” dan tiada hukum yang benar-benar membawa
kemaslahatan duniawi dan ukhrawi, kecuali hukum-hukum Allah.14
Al-Hakim adalah Allah yang Mahasuci dan berdiri sendiri yang menciptakan segala
sesuatu dengan benar tanpa harus ada yang membenarkannya. Dengan demikian, jika ada
yang mengatakan bahwa hukum Allah itu benar, tidak lantas menjadikan hukum Allah itu
benar, karena tanpa pernyataan tersebut, hukum Allah sudah benar. Kebenaran absolut
tentang hukum Allah secara ontologis merupakan kebenaran objektif.
Allah sebagai al-Hakim atau Pembuat hukum, baik Dzat Allah maupun hukum yang
diciptakan-Nya telah benar dengan sendirinya. Al-Qur’an sebagai wahyu yang di dalamnya
termuat hukum-hukum ciptaan Allah telah benar dengan sendirinya, sehingga kebenaran Al-
Qur’an tidak ada kaitannya dengan pembenaran yang dinyatakan oleh manusia. Ada atau
tidak adanya manusia yang membenarkan, Al-Qur’an sudah benar dengan sendirinya.
Demikian pula sebaliknya, jika ada yang mengingkari Al-Qur’an dan menyalahkannya, tidak
akan menjadikan Al-Qur’an berubah kebenarannya.

B. Hubungan Hakim dengan Hukum


Falsafah tentang Al-Hakim yang membuat hukum Islam adalah fondasi bagi
tercapainya pelaksanaan hukum Islam itu sendiri. Hal ini karena manusia faham dan percaya
sepenuhnya bahwa Allah memiliki sifat kesempurnaan dan Allah bersih dan suci dari segala
sifat kekurangan. Semua sifat Allah adalah Dzat-Nya karena antara Dzat dan sifat-Nya
merupakan eksistensi yang tunggal.15

12
Beni Ahmad Saebani, hal.272.
13
Beni Ahmad Saebani, hal.273.
14
Beni Ahmad Saebani, hal.274.
15
Beni Ahmad Saebani, hal.274.

4
Dalam perspektif Ushul Fiqh, Al-Hakim atau Asy-Syari’ yang memiliki sifat sempurna
tentu akan menciptakan hukum Islam dengan sempurna. Jika terdapat pandangan tentang
ketidaksempurnaan hukum Islam yang tertuang dalam wahyu-Nya yang sakral, dengan penuh
kepastian dapat dinyatakan bahwa pandangan dan pemahaman manusia atas wahyu dipenuhi
dengan serba keterbatasan dan kekurangan sehingga semua penafsiran Al-Qur’an
kebenarannya relatif. Kemutlakan hanya dimiliki Dzat Allah dengan sifat-sifat-Nya yang
sempurna, sedangkan keterbatasan dan kelemahan dimiliki oleh makhluk ciptaan-Nya.
Argumen ontologis tentang hakikat Al-Hakim yang menciptakan hukum Islam, adalah Dzat-
Nya itu sendiri, sehingga manusia yang menaati hukum Allah dinyatakan sebagai orang yang
taat kepada Allah. Sebaliknya, orang yang kufur atas hukum Allah adalah orang yang sesat,
fasik dan kufur. Keyakinan tentang hakikat Al-Hakim ini yang akan membentuk kesadaran
dalam keimanan manusia terhadap hukum-hukum yang diciptakan Allah dan ketaatannya
terhadap Allah sebagai Al-Hakim, yang menciptakan hukum atau As-Syari’ (Pembuat Syara’).
Dengan demikian, sumber hukum Islam adalah Allah sebagai Al-Hakim. Sumber dalil
pun Allah atau Asy-Syari’. Hukum-hukum yang diciptakan-Nya dapat dipahami dengan
berbagai metode dan pendekatan. Wahyu membicarakan peristiwa yang memiliki daya
jangkau universal apabila dilihat dari penggunaan kalimat-kalimatnya, sehingga hukum-
hukum Allah tidak mengenal istilah kadaluarsa. Hal tersebut terjadi karena kebenaran dalam
hukum-hukum Allah seirama dengan fitrah alami dan fitrah manusiawi yang bergerak diatas
hak prerogatif Allah. Sebaliknya, yang mangkir dari hukum-hukum-Nya senantiasa
mengalami keputusasaan, rasa takut dan semakin melemah daya pikirnya dalam
menyelesaikan masalah duniawi. Fitrah manusia yang berjalan seirama dengan hukum-
hukum Allah akan mencapai hakikat dirinya sendiri yang awalnya tercipta dalam keadaan
suci dari dosa.16
Hukum Islam yang diciptakan dengan iradah Allah senantiasa mampu menjangkau
kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, karena Al-Hakim sebagai Dzat yang
mengetahui semua masa dan Pencipta masa itu sendiri. Hal ini seperti yang telah dijelaskan
dalam surat Al-Baqarah ayat 255, Al-Hasyr ayat 22-24, Al-Mulk ayat 1-2.
 ◆❑➔  ⧫⬧  
◆ ◆ ◼➔⬧   ❑⬧
◆❑☺  ⧫   ❑⧫
 ⬧ ⧫    ⧫◆
   ◼ 
⧫◆  ✓⧫ ⧫ ◼➔⧫
 ⧫❑⬧ ◆  
 ◆ ☺  ☺ 
◆❑☺  ◆
◼❑⧫ ◆  ◆◆
➔ ◆❑➔◆  ◆→
 →➔

16
Beni Ahmad Saebani, hal. 275.

5
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia yang hidup kekal lagi
terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya
apa yang di langit dan di bumi. tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-
Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan
mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya.
Kursi Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya,
dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”
Pengkajian terhadap sumber hukum Islam dalam perspektif Ushul Fiqh menjadi lebih
mendalam manakala diketahui dan diyakini secara mendalam bahwa hakikat hukum Islam
dan sumber utamanya adalah Al-Hakim, yakni Allah yang Mahasuci dan Sempurna dengan
segala yang diciptakan-Nya. Salah satu karya Allah berupa hukum Islam yang dilukisjelaskan
melalui wahyu-Nya.
Allah sebagai al-Hakim menetapkan hukum-hukum-Nya melalui wahyu-Nya, dengan
maksud untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dalam kehidupannya, dengan
mendapatkan kemanfaatan darinya dan mencegah kerusakan atas mereka. Kemaslahatan
manusia ini terdiri atas tiga tingkatan, dhoruriyah (primer), hajiyah (sekunder) dan tahsiniyah
(tersier).17
Selain Al-Hakim atau Asy-Syari’ aspek lain yang menjadi bagian penting dalam
hukum Islam adalah hukum itu sendiri yang di dalamnya terdapat berbagai tuntunan dan
tuntutan serta ketetapan yang berhubungan dengan perbuatan manusia yang sudah baligh dan
berakal (dewasa). 18 Khitab Allah, kaitannya dengan definisi hukum adalah semua bentuk
dalil, baik Al-Qur’an maupun Sunnah.
Dalam perspektif ushul fiqh, hukum dibagi dua macam yaitu pertama, hukum taklifi
dan kedua hukum wadh’iy. Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut seseorang
untuk mengerjakan sesuatu (wajib dan sunnah) atau meninggalkan sesuatu (haram dan

17
Abdul Wahab Kholaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh wa Khulashotu Tarikh at-Tasyri’ al-Islamiy (Kairo: Daar
al-Fikr al-‘Aroby, 1996), Hal. 186.
18
Beni Ahmad Saebani, hal. 277.

6
makruh) atau memilih antara mengerjakan dan meninggalkan (mubah).19 Hukum taklifi ada
lima macam Ijab, Nadb, Ibahah, Karahah dan Tahrim.20
Hukum wadh’iy adalah firman yang menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang
lain (musabbab) atau sebagai syarat yang lain (masyrut) atau sebagai penghalang (mani’)
adanya yang lain. Oleh karena itu hukum wadh’iy dibagi menjadi tiga yakni sebab, syarat
dan mani’. 21
Beberapa perbedaan antara hukum taklifi dengan hukum wadh’iy yaitu sebagai
berikut:
1. Hukum taklifi terkandung tuntutan (untuk melaksanakan atau meninggalkan atau
memilih). Sedangkan hukum wadh’iy terkandung keterkaitan antara dua persoalan,
sehingga salah satu diantara keduanya bisa dijadikan sebab, syarat dan penghalang.
2. Hukum taklifi merupakan tuntutan langsung pada mukallaf (untuk dilaksanakan atau
ditinggalkan atau memilih). Sedangkan hukum wadh’iy tidak langsung pada mukallaf.
Misalnya, hukum zakat adalah wajib, tetapi kewajiban ini tidak bisa dilaksanakan
apabila harta tidak mencapai ukuran satu nishab atau belum mencapai haul.

19
Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqhi (Muassasah Qurtubah,1976),hal.27-37.
20
Ijab, yaitu tuntutan Allah yang bersifat memaksa harus dikerjakan yang tidak boleh ditinggalkan.
Orang yang meninggalkannya akan dikenai sanksi. Misalnya kewajiban shalat berdasar firman Allah surat An-
Nur ayat 56. Nadb, yaitu tuntutan Allah untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa yang
tidak dilarang untuk meninggalkannya. Orang yang meninggalkannya tidak dikenai sanksi. Misalnya anjuran
Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 282. Lafadz faktubuhu dalam ayat tersebut pada dasarnya mengandung
perintah wajib tetapi terdapat indikasi yang memalingkan perintah itu kepada nadb yang terdapat pada ayat
setelahnya “…..akan tetapi apabila sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain hendaklah yang dipercayai
itu menunaikan amanatnya…”(QS. Al-Baqarah: 283). Tuntutan wajib dalam ayat berubah menjadi nadb.
Indikasi yang membawa perubahan ini adalah bahwa Allah menyatakan jika ada sikap saling mempercayai
maka penulisan hutang tersebut tidak begitu penting. Ibahah, yaitu tuntutan Allah yang bersifat fakultatif
(mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat) misalnya firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 2.
Karahah (makruh), yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi diungkapkan melalui kandungan
makna yang tidak bersifat memaksa. Orang yang mengerjakan perbuatan itu tidak dikenai hukuman. Misalnya
sabda Rasulullah SAW:
‫أبغض احلالل عند هللا الطالق‬
“Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak”.
Tahrim yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan sesuatu dengan sifat memaksa. Orang yang mengerjakan yang
terlarang ini dikenai sanksi. Misalnya firman Allah dalam QS. Al-An’am ayat 151. Khitab ayat tersebut disebut
sebagai tahrim, yaitu membunuh jiwa seorang manusia hukumnya haram. Lihat: Imam Yazid, Ilmu Fikih dan
Ilmu Ushul Fikih(Medan: Fakultas Ilmu Sosial UIN Medan, 2016), hal. 6-7; Beni Ahmad Saebani, hal. 266.
21
Sebab ialah sesuatu yang jelas yang dijadikan sebagai pangkal adanya hukum (musabbab). Artinya
dengan adanya sebab, dengan sendirinya akan terwujud hukum atau musabbab. Syarat ialah sesuatu yang
menyebabkan adanya hukum dan ketiadaannya berarti tidak ada hukum (masyrut). Contohnya syarat sah sholat
harus berwudhu terlebih dahulu, syarat sah sholat harus sesuai dengan rukun dan syarat-syaratnya. Syarat sah
pernikahan adalah harus ada wali, syarat sahnya perdagangan adalah harus ada objek jual belinya dan masih
banyak contohnya sehingga jika shalat tidak berwudhu secara otomatis tidak sah shalatnya atau tidak dianggap
telah melaksanakan hukum. Mani’ atau penghalang yaitu suatu hal menyebabkan tidak adanya hukum atau tidak
adanya sebab bagi hukum. Sebagai contoh seseorang yang sedang sholat tiba-tiba buang angin otomatis
shalatnya batal. Perempuan yang sedang haidh tidak dibenarkan melakukan hubungan suami istri. Sebagaimana
dalam QS Al-Baqarah ayat 222.

7
3. Hukum taklifi harus sesuai dengan kemampuan mukallaf untuk melaksanakan atau
meninggalkannya, karena tidak boleh ada kesulitan (masyaqqah) dan kesempitan
(haraj) yang tidak mungkin dipikul oleh mukallaf. Sedangkan dalam hukum wadh’iy
hal seperti ini tidak dipersoalkan, karena masyaqqah dan haraj dalam hukum wadh’iy
adakalanya dapat dipikul oleh mukallaf (seperti menghadirkan saksi sebagai syarat
dalam pernikahan), dan adakalanya di luar kemampuan mukallaf (seperti
tergelincirnya matahari bagi wajibnya shalat dhuhur).
4. Hukum taklifi ditunjukkan kepada para mukallaf, yaitu orang yang telah baligh dan
berakal. Sedangkan hukum wadh’iy ditujukan kepada manusia mana saja, baik telah
mukallaf maupun belum, seperti anak kecil dan orang gila.22

Jenis-jenis hukum berkaitan dengan sumber hukumnya. Oleh karena itu, berkaitan
dengan wahyu yang di dalamnya termuat hukum-hukum syara’, menurut Ibnu Taimiyah,
sebagaimana dijelaskan Juhaya S. Pradja bahwa yang dimaksud dengan asy-syara’ bukan
sekadar sesuatu yang dapat membedakan antara manfaat dengan madharat secara indrawi (al-
hiss), tetapi dengan asy-syara’ manusia akan mampu membedakan perbuatan mana yang
akan membawa pelakunya kepada kebaikan atau pada keburukan dan kerusakan, baik di
dunia maupun di akhirat kelak. Oleh karena itu, asy-syara’ memberi petunjuk dengan
manfaat iman, tauhid, adil dan sebagainya, yang dapat dicapai dengan melaksanakan segala
perintah yang tertuang dalam Asy-syara’, membenarkan Allah dan Rasul-Nya serta yang
dirisalahkannya dan menaatinya. Asy-syara’ yang dimaksud adalah wahyu yang oleh Ibnu
Taimiyah dibagi tiga macam, yaitu:
1. Asy-syara’ al-Munazzal, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah yang wajib diikuti.
Termasuk kategori ini ialah: pokok-pokok dan cabang-cabang ilmu agama (ushul ad-
din wa furu’uhu), fatwa para ulama, hukum keputusan para hakim (hukm al-hukkam).
Namun, yang paling utama dari syariat yang diturunkan Allah adalah Al-Qur’an dan
As-Sunnah.23
2. Asy-syara’ al-Mu’awwal, yaitu syara’ yang menjadi sumber ikhtilaf sebagai hasil
ijtihad para ulama.
3. Asy-syara’ al-Mubaddal, yaitu suatu kepastian dan keputusan hukum yang tidak adil,
tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.24
Asy-syara’ al munazzal adalah wahyu al-munazzal, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah
ash-shahihah wa al-mutawatirah. Adapun asy-syara’ al-mu’awwal adalah akal manusia,
yang merupakan potensi terbesar bagi manusia untuk menggali kandungan makna, maksud
dan hikmah yang terdapat dalam al-wahyu al-munazzal, meskipun cara kerja akal
mengundang perbedaan pendapat. Akal tidak memiliki kemampuan menciptakan kebaikan
atau keburukan. Akal hanya mampu membedakan dan memilih yang baik atau yang buruk.
Ketika akal membedakan dan memilih, mungkin setiap manusia memiliki cara masing-
masing dalam membedakan dan memilih sehingga perbedaan pendapat pun tidak
terhindarkan.

22
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Wajiz fi Ushul a-Fiqhy (Damaskus: Daar al-Fikri, 1999), hal. 123;Imam
Yazid, hal. 8-9.
23
Beni Ahmad Saebani, hal. 282.
24
Beni Ahmad Saebani, hal. 283.

8
Ulama ushul fiqh menggali kandungan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an sebagai
sumber hukum dan demikian pula di dalam As-Sunnah. Dari keduanyalah jenis-jenis hukum
dikeluarkan dengan menggunakan kaidah-kaidah dalam ushul fiqh, sehingga manusia sebagai
subjek hukum dengan mudah dapat memahami kedudukan hukum suatu perbuatan tertentu.

C. Konsep Mahkum Fih dan Mahkum ‘Alaih

Al-Qur’an sebagai wahyu Allah menuntun seorang manusia untuk mengakui,


memahami dan mempercayai bahwa agama menurut Allah adalah Islam. Maka, hal ini akan
membentuknya menjadi seorang Muslim yang berserah diri dan faham terhadap isyarat-
isyarat, perintah-perintah Allah di dalam Al-Qur’an. Penyerahan diri terhadap Allah
bermakna bahwa hatinya secara penuh menghadap kepada-Nya sebagai wujud keimanan
hakiki. Seperti yang dikatakan oleh Nabi Ibrahim AS. Dalam QS. Al-An’am ayat 79 berikut:

⧫⬧⬧  ◆ →▪◆ 


 ◆ ◆❑☺
✓☺  ⧫ ⧫◆ 
“Sesungguhnya Aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan
bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan Aku bukanlah termasuk orang-
orang yang mempersekutukan Tuhan.”

Beberapa ulama tafsir menafsirkan ayat ini bahwa sesungguhnya Nabi Ibrahim
menghadapkan seluruh jiwa, hati, akal, ibadah dan permohonan pertolongannya hanya
kepada Rabb Yang menciptakan langit dan bumi diiringi dengan keikhlasan dalam beribadah,
cenderung kepada agama yang lurus dengan berpaling dari kemusyrikan menuju ketauhidan,
dan beliau bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik.25
Ayat diatas menjelaskan tentang hakikat sebuah keimanan seorang hamba yang akan
berimplikasi kepada ke-berserah-an diri sepenuhnya, berserah diri dengan penuh kesadaran
tanpa paksaan. Menjadikan hamba tersebut taat mengikuti agama yang lurus dan
menjauhkannya dari kemusyrikan. Ia juga menyadari akan kewajiban-kewajibannya sebagai
hamba terhadap Rabbnya. Selanjutnya, ber-Islamnya seorang hamba secara filosofis
dimaknai sebagai “hijrahnya dari sebuah entitas menuju entitas yang lain”, yakni berubahnya
pandangan hidupnya menjadi pandangan hidup Islami yang membentuknya menjadi pribadi
yang baru. Namun, Islam tidak menafikan dimensi-dimensi identitas manusia –dimensi
sejarah, dimensi social, dimensi budaya dan dimensi bahasa- justru mengarahkannya kepada
keadilan dan kebenaran, menjadikan dimensi-dimensi tersebut sebagai jalan menuju Tuhan.
Islam juga membawa seorang manusia dari derajat pengetahuan dan keyakinan menuju
derajat tindakan dan ritual dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadist.26

25
Wahbah Zuhaily, At-Tafsir Al-Munir fi Al-‘Aqidah wa Asy- Syari’ah wa al-Manhaj jilid 4
(Damaskus: Daar al-Fikr, 2003), hal. 274.
26
Abdul Jabar Rifa’I, Al-Iman wa At-Tajribah Ad-Diniyah (Baghdad: Philosopy of Religion Study
Center, 2015), Hal. 137-138

9
Al-Qur’an dan Sunnah mengandung hukum-hukum yang Allah tetapkan bagi
manusia, maka manusia menjadi subjek/pelaku hukum (mukallaf atau mahkum ‘alaih).
Manusia menjadi pelaku yang perbuatannya menjadi tempat berlakunya hukum Allah, Al-
Qur’an sebagai dalil-dalil hukum, Rasulullah SAW. sebagai al-Mubayyin. Al-Mubayyin yaitu
orang yang menjelaskan dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan dilanjutkan oleh para ahli waris
Nabi, yakni para ulama, cendekiawan muslim, ulul albab, wali-wali Allah dan orang-orang
yang tergolong al-mustadlil yang memiliki kemampuan atau mumpuni dalam melakukan
istinbath hukum dan istidlal.
Manusia sebagai pelaku hukum/mukallaf harus dapat membedakan perbuatan sesuai
kedudukan hukumnya dan jenis-jenisnya. Setiap perbuatan sesuai dengan niat mukallaf yang
bersangkutan karena semua perbuatan bergantung kepada niatnya. Jika pekerjaan tanpa
diniatkan dengan baik, perbuatan itu akan sia-sia. Sebaliknya, setiap perbuatan yang
diniatkan atas nama Allah, akan bernilai ibadah. Niat adalah fondasi tercapainya tujuan,
karena itulah maqashid al-lafadz ‘ala niyah al-lafadzh, setiap perkataan pun tergantung
kepada niatnya.
Semua perbuatan yang dilakukan oleh mukallaf harus diketahui asal-muasal
perintahnya, sehingga perbuatan yang dilakukan didasarkan kepada rasa taat kepada yang
memerintahnya, atas kesadaran personal dan kesadaran ilahiyah yang tegas.
Mukallaf atau mahkum alaih, yaitu orang-orang yang terkena beban taklif atau disebut
sebagai subjek hukum. Para pelaku setiap pekerjaan yang telah jelas hukumnya baik yang
wajib, sunnah, haram, makruh dan yang mubah. Dalam hukum Islam, orang yang terkena
beban hukum adalah orang yang telah baligh dan berakal. Dari segi usia, mukallaf dipandang
telah memiliki kemampuan lahir dan bathin untuk mengerjakan taklif-taklif-Nya. Dari segi
akal, mukallaf telah memiliki kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk serta
memahami jenis hukum suatu objek perbuatan. 27
Ada beberapa orang yang tidak layak menjadi mukallaf karena adanya sebab-sebab
yang melekat pada dirinya sehingga menghalanginya untuk melakukan beban taklif,
sebagaimana terdapat dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari:
‫ رفع القلم‬:‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬:‫عن عائشة وأيب طالب رضي هللا عنهما قال‬
‫ عن النائم حىت يستيقظ وعن الصيب حىت يعقل أو حيتلم وعن اجملنون حىت يفيق (رواه‬:‫عن ثالث‬
28
)‫البخارى والرتميذى وابن ماجه والدارقطىن والنسائى‬
“Dari ‘Aisyah dan Abi Thalib r.a. untuk keduanya, Rasulullah SAW. Telah bersabda,
‘diangkat pembebanan hukum untuk tiga jenis mukallaf, yaitu orang yang sedang tidur
sehingga bangun, anak kecil sehingga berakal atau dewasa, dan orang gila sehingga telah
sembuh.” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Tirmidzi, Ibnu Majah, Daruquthni dan
An-Nasa’i)

Dalam hadist lainnya dikemukakan:

27
Beni Ahmad Saebani, hal. 290.
28
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, diriwayatkan oleh Abu Daud (2/544), An-Nasai (6/156),Ibnu
Majah (1/658), Ahmad (6/100), Hakim (2/67) dan derajatnya adalah hasan.

10
‫ (إي َّن هللاَ ََتَ َاوَز يِل َع ْن أ َُّم يِت‬:‫ول هللاي صلى هللا عليه وسلم قَال‬ َّ ‫اس َر يضي هللاُ َعْن ُه َما أ‬
َ ‫َن َر ُس‬ َ
ٍ َّ‫َع ين ابْ ين َعب‬
‫اجه َواْلبَ ْي َه يق ّي َو َغ ْْيُ ُُهَا‬ ٌ ْ‫استُ ْك يرُه ْوا َعلَْي يه) َح يدي‬
َ ‫ث َح َس ٌن َرَواهُ ابْ ُن َم‬
‫ي‬
ْ ‫اْلَطَأَ َوالنّ ْسيَا َن َوَما‬
ْ

“Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi


wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah membiarkan (mengampuni) kesalahan dari umatku
akibat kekeliruan dan lupa serta keterpaksaan.” Hadits hasan diriwayatkan oleh Ibnu Majah
dan Al-Baihaqi serla selain keduanya.29
Rachmat Syafi’i mengatakan bahwa salah satu syarat seseorang terkena beban taklif
adalah orang yang telah mampu memahami khithab syar’i dari Al-Qur’an atau As-Sunnah,
baik secara langsung maupun tidak langsung.30
Karena kebiasaan, meskipun usianya di bawah umur baligh, ia dianggap telah
mumayyiz. Anak tersebut dalam melakukan transaksi jual beli, sebagaimana para pedagang
asongan yang usianya di bawah umur atau anak kecil yang disuruh membeli belanja oleh
ibunya. Dengan demikian, anak tersebut dipandang telah ahli atau cakap untuk mengerjakan
sesuatu, meskipun disebabkan oleh kebiasaannya. Syarat lain bolehnya mukallaf bertindak
secara hukum atau mukallaf yang terkena beban taklif adalah karena mukallaf tersebut telah
cakap atau ahli di bidangnya (ahliyyah). Arti terminologis dari ahliyyah adalah sebagai
berikut:
.‫صفة يقدرها الشارع ىف الشخص َتعله حمال صاحلا ْلطاب تشريعي‬
Artinya:
“Suatu sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syara’ untuk menentukan
seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.”
Dengan demikian, ahliyyah diartikan sebagai kecakapan mukallaf secara aqliyah dan
kecakapan dilihat dari usia yang telah dewasa. Adapun anak yang belum dewasa atau belum
baligh, tetapi telah mumayyiz, dipandang cakap karena kebiasaan dan untuk perbuatan yang
ringan.31
Selain mukallaf sebagai pelaku hukum, dalam hukum Islam ada pula yang disebut
dengan mahkum fih (at-taklif), sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Mahkum fih terdiri
dari beberapa jenis, yang pertama adalah wajib yang memiliki beberapa pembagian sebagai
berikut32:
1. Wajib, jika dilihat dari tertentu atau tidaknya perbuatan yang mendatangkan pahala
jika dikerjakan dan mendatangkan siksa jika ditinggalkan, dapat dibagi menjadi dua
macam, yakni: (1) wajib mu’ayyan yakni kewajibannya telah ditetapkan macam
perbuatannya, seperti berwudhu sebelum shalat, membaca fatihah dalam shalat. (2)
wajib mukhayyar, yaitu yang boleh dipilih salah satu dari beberapa macam yang telah

29
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (2045), Ibnu HIbban dalam Shahihnya (16/202). Ath-Thabrani dalam
al-Kabir (11274), Al-Hakim dalam al Mustadrak (2/216), Ad Daruquthni dalam Sunannya (4/170) dan Al-
Baihaqi dalam al-Kubra (7/356).
30
Beni Ahmad Saebani, hal. 291.
31
Beni Ahmad Saebani, hal. 292.
32
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Wajiz fi Ushul a-Fiqhy (Damaskus: Daar al-Fikri, 1999), hal. 125-127.

11
ditentukan. Sebagaimana dalam kifarat orang yang melakukan hubungan suami istri
disaat berpuasa pada bulan Ramadhan, yakni memberi makan 60 fakir miskin atau
berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Dalam hal itu dapat dipilih salah satunya.33
2. Dilihat dari segi waktu mengerjakannya, ada dua macam wajib, yakni: (1) wajib
mudhayaq auqat mi’yar (yang disempitkan) yakni waktu untuk melaksanakannya
sama dengan banyaknya waktu yang dibutuhkan. Misalnya kewajiban melaksanakan
puasa Ramadhan selama satu bulan penuh. (2) wajib muwassa’ atau dzarf (waktu
yang diluaskan) yakni waktu yang lebih banyak dari waktu yang dibutuhkan untuk
menjalankan kewajiban. Misalnya waktu melaksanakan shalat lima waktu,
melaksanakan shalat selama waktu shalat masih ada.
3. Dilihat dari segi pelakunya, wajib dibagi dua yaitu (1) wajib ‘ain, yaitu perbuatan
yang harus dikerjakan oleh semua mukallaf, seperti shalat lima waktu, puasa
Ramadhan. (2) Wajib kifayah, yakni perbuatan yang harus dilaksanakan oleh salah
seorang atau beberapa mukallaf, jika telah ada yang melaksanakannya, kewajiban
mukallaf yang lain gugur, misalnya menshalati jenazah.
4. Dilihat dari segi ukurannya atau kuantitasnya, wajib dibagi dua yaitu: (1) ketentuan
yang jumlahnya telah ditetapkan syara’ disebut dengan wajib muhaddad, seperti
shalat lima waktu, zakat, pembagian harta waris, puasa Ramadhan dan membayar
kifarat, (2) wajib ghairu muhaddad, kewajiban yang tidak ditentukan batasan dan
hitungannya seperti kewajiban berinfak bagi orang yang mampu, hukumnya wajib
hanya batasannya tidak diwajibkan. Sebagaimana infak dari profesi pekerjaan kita,
hukumnya wajib, tetapi persentasenya bebas. Karena jika kadarnya telah ditentukan,
tidak lagi disebut infak, melainkan zakat.
Hukum taklifi yang lainnya adalah sunnah, haram, makruh dan mubah atau ibahah.
Makruh dibagi dua macam, yaitu (1) makruh tanzih, yakni perbuatan yang lebih baik
ditinggalkan daripada dilaksanakan, (2) makruh tahrim, yakni perbuatan yang dilarang, tetapi
dalilnya zhanni. Contohnya memakan binatang yang bertaring, larangan mengenai
memakannya bertentangan dengan Al-Qur’an yang menyatakan bahwa yang haram dimakan
hanyalah bangkai, darah, daging babi dan sembelihan yang bukan karena Allah (untuk
kemusyrikan), sebagaimana terdapat dalah surat Al-Baqarah ayat 173.34Akan tetapi, ada yang
berpendapat bahwa selain empat selain empat hal di atas, hadis menambahkannya,
diantaranya binatang yang bertaring, tetapi alasannya tidak didasarkan kepada dalil yang
kuat.35
Mubah adalah hukum asal dari segala sesuatu yang berhubungan dengan mu’amalah.
Terlarangnya suatu perbuatan mu’amalah hanya ada jika ada dalil yang melarangnya dengan
jelas dan tegas (qath’iy dilalah). Misalnya khamr, berjudi, mengundi nasib, mendatangi
dukun, jual-beli sistem gharar dan melakukan penipuan.
Mubah dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Mubah yang dinyatakan syara’ boleh memilih, hendak mengerjakannya atau
meninggalkannya, bergantung pada suka atau tidaknya mukallaf.

33
Beni Ahmad Saebani, hal. 283.
34
Mutawaly al Barajili, Dirosat fi Ushul al-Fiqhi Mashadir at-Tasyri’ (Kairo: Maktabah As-Sunnah,
2010), hal. 27.Beni Ahmad Saebani, hal. 284.
35
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Wajiz fi Ushul a-Fiqhy…, hal. 133.

12
2. Mubah yang tidak ada dalilnya, tetapi dapat dipertimbangkan oleh rasio, artinya boleh
memilih untuk melakukan dan jika meninggalkannya tidak berdosa. Melaksanakan
atau tidaknya lebih atas pertimbangan akal.
3. Mubah yang sama sekali tidak ada dalilnya, sebagai mubah yang banyak ditemukan.36

Perbuatan hukum yang telah dikemukakan di atas merupakan bentuk-bentuk hukum


yang dibebankan kepada mukallaf sebagai objek dan subjek hukum. Pelaksanaan setiap
taklif tersebut mengacu kepada perintah-perintah yang terdapat di dalam nash, baik Al-
Qur’an atau As-Sunnah. Setiap perintah ditujukan pada perbuatan yang mungkin terjadi atau
memungkinkan dilaksanakan, jika terdapat perintah yang tidak memungkinkan untuk
dikerjakan, seperti ketika kondisi darurat, perintah tersebut akan berubah menurut
kemampuan mukallaf. Dalam hal ini Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 286.37
 ➔  ⧫  ⬧ 
⧫ ◼⧫◆ ⧫ ⧫ ⬧
⧫⬧➔  ◆  ⧫⧫
◆  ⧫⬧  ◆ 
☺  ◆◼⧫ ☺⬧⬧ ◆
 ◆⬧   ◼⧫ ⧫☺
⬧⬧⬧  ⧫ ☺⬧➔ ◆ ◆◆
◆ ⧫ ◆   ⬧
◆⬧❑⧫   ◆☺◆ ⬧
❑⬧ ◼⧫ ⧫⬧

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia
mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-
orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang
tak sanggup kami memikulnya. beri ma'aflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah
kami. Engkaulah penolong kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."

Hukum Allah dan Hukum Buatan Manusia


Hukum dilihat dari sumbernya terbagi menjadi dua yaitu hukum syar’i dan ghoiru
syar’i. Hukum syar’i adalah hukum yang berdasar kepada dalil-dalil syar’i seperti haramnya
riba, wajibnya sholat dan lain sebagainya. Hukum ghoiru syar’i adalah hukum yang tidak
berdasar pada dalil syar’i dan mencakup hukum-hukum logika, hukum panca indera, hukum
adat/kebiasaan dan hukum/undang-undang negara. Contohnya seperti dua kali dua adalah
empat, “sebagian” lebih kecil dari “seluruh” nya, sinar matahari panas, wajib menaati
peraturan lalu lintas dan lain sebagainya.38

36
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Wajiz fi Ushul a-Fiqhy…, hal. 134-135.
37
Beni Ahmad Saebani, hal. 285.
38
Muhammad Musthofa Az-Zuhaily, hal. 293-287.

13
Fenomena hukum yang berjalan serasi dengan fitrahnya secara alamiyah merupakan
respon bagi gejala sosial yang ada. Hukum yang hadir dan berlaku adalah hukum yang
dibutuhkan oleh manusia yang sifatnya alamiyah. Kebutuhan alamiah tidak dapat digantikan
oleh kebutuhan lainnya, sebagaimana manusia ingin mengetahui sesuatu, manusia ingin
cantik, ingin kaya, ingin berkeluarga, mengharapkan keturunan dan sebagainya merupakan
gejala alamiah dan kebutuhan normal kemanusiaan. Allah menurunkan hukum melalui ayat-
ayat kauniyah-nya dan kalamullah dalam Al-Qur’an sebagai respon terhadap kebutuhan
alamiyah manusia. Adapun kebutuhan manusia yang bukan alamiah, bukan fitrah dapat
digantikan oleh bentuk yang berbeda, sebagaimana hukum adat, kebiasaan-kebiasaan dan
Undang-undang.
Hukum menjadikan manusia sebagai subjek dan objek hukum, adalah Hukum Allah
yang dapat digambarkan dengan ayat-Nya dalam surat al-A’raf ayat 157.39
⧫❑▪ ❑➔⧫ ⧫
⧫⬧   
◆❑  ➔ ❑⧫
➔☺ ➔⧫ ◆
⧫◆ ☺ ⧫ ⧫◆
◼⧫ ⧫◆ ⧫ ⬧
➔◆ ⧫ ⧫◆ ⧫
 ◼⧫ ⧫  ◼◆
◼⧫◆  ❑⧫◆ ⬧
◆❑ ❑➔⧫◆ ◼⧫◆
⬧  ➔⧫ ⧫ ✓
❑⬧☺ ➔
“(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka
dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka
mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang
buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada
mereka. 40 Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-
orang yang beruntung.”
Makna ayat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Perintah untuk manusia agar menjalankan yang benar
2. Perintah meninggalkan perbuatan yang jahat dan zalim
3. Mencari segala sesuatu yang halal dan meninggalkan sesuatu yang haram
4. Menjauhkan beban hidup manusia dengan taat kepada hukum-nya
5. Memberi pahala bagi pelaksana hukum yang ikhlas dan didasarkan pada kesadaran
yang tinggi.

39
Beni Ahmad Saebani, hal. 286.
40
Maksudnya: dalam syari'at yang dibawa oleh Muhammad itu tidak ada lagi beban-beban yang berat
yang dipikulkan kepada Bani Israil. Umpamanya: mensyari'atkan membunuh diri untuk sahnya taubat,
mewajibkan qisas pada pembunuhan baik yang disengaja atau tidak tanpa membolehkan membayar diat,
memotong anggota badan yang melakukan kesalahan, membuang atau menggunting kain yang kena najis.

14
Lima hal yang menjadi pedoman hukum dari ketentuan yang diproduk oleh Allah
sebagai hukum-hukum Allah memberikan inspirasi kepada ahli hukum Islam (fuqaha dan
Ushuliyyin) bahwa secara substansial, materi hukum terdiri atas perintah mengerjakan
sesuatu dan perintah meninggalkan sesuatu yang dikategorikan dengan istilah perintah dan
larangan.
Taat kepada hukum Allah dan melanggar hukum-Nya memiliki kejelasan pahala dan
dosa. Jenis siksaannya jelas, demikian pula jumlah pahalanya. Sebagaimana pedagang yang
jujur dan amanah mendapatkan keberuntungan dari perniagaannya di dunia dan di akhirat,
Sebaliknya kecelakaan (masuk ke neraka wail) bagi pedagang yang berbuat curang dengan
mengurangi timbangan. Sebagaimana dapat dilihat dalam surat Al-Muthaffifin ayat 1-3.41
Sumber hukum Allah ada tiga, yaitu Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad. 42 Asas-asas
hukum Allah adalah; pertama, tidak ada kerugian dan kesulitan.43 Kedua, Tidak membebani
manusia melebihi kemampuannya 44 dan terakhir adalah penerapan hukum secara
bertahap.45Adapun karakteristik hukum Allah adalah sebagai berikut:
1. Asy-Syumul (universal): Sesuai fitrah, manusiawi, sesuai situasi dan kondisi,
sesuai waktu dan tempatnya.
2. Al-Ijabiyah (positif)
3. Bersandar pada ‘ilmu’ dan bersifat masuk akal.
4. At-Tawazun (keseimbangan) antara kemaslahatan/kepentingan yang saling
bertentangan.
5. Kesatuan tujuan antara yang membuat hukum dan yang dihukumi.
6. At-Tasamuh Ad-dini (toleransi) agama, social, politik dan undang-undang yang
berbeda, asalkan mereka tidak melawan hukum Islam dengan frontal.
7. At-Ta’awun (kerjasama/saling tolong menolong) antara manusia dan
Negara/daulah.46
Abdul Qadir Audah dalam karyanya, merincikan keistimewaan hukum Islam/syar’i
dibanding hukum positif/buatan manusia:
1. Hukum positif tidak memiliki keadilan hakiki karena dibuat oleh manusia dengan
hawa nafsu dan kepentingan, sedangkan hukum Allah memiliki keadilan hakiki
karena berasal dari Yang Maha Adil.
2. Hukum manusia hanya berdasarkan pertimbangan kekinian dan berdasar pengalaman,
karena manusia tidak dapat mengetahui masa depan.
3. Hukum manusia memiliki prinsip yang terbatas yang teorinya baru muncul sekitar
abad 19. Berbeda dengan hukum Islam yang sudah ada sejak zaman rasul yang sudah
sempurna dan maslahah di segala ruang dan waktu.
4. Hukum positif hanya mengatur hubungan antar manusia. Hukum yang hanya
mengandalkan aspek hukuman sering membuat penjahat untuk mencari celah
pembenaran atas perilaku buruk mereka demi terbebas dari jerat hukum. Sedangkan

41
Beni Ahmad Saebani, hal. 287.
42
Moza Ahmad Rasyid al-‘Ibar, Al-Bu’du al-Akhlaqi li al-Fikr As-Siyasi ‘Inda al-Farabi wa al-
Mawardi wa Ibnu Taymiyah (Iskandariyah: Kulliyatul Adab, 2000), hal.135.
43
QS. Al-Hajj: 78, QS. Al-Baqarah: 185.
44
QS. Al-Baqarah: 286.
45
Moza Ahmad Rasyid al-‘Ibar, hal. 135-136.
46
Moza Ahmad Rasyid al-‘Ibar, hal. 135-136.

15
dalam hukum Islam, aspek keridhoan Allah dan takut akan murka-Nya menjadi factor
utama ketaatan.
5. Hukum positif mengabaikan aspek akhlak dan menganggap pelanggaran hukum
hanya sebatas yang membahayakan individu dan masyarakat. Contoh: hukum zina
tidak di sanksi jika tidak ada paksaan dari satu pihak.
6. Hukum mencerminkan pembuatnya, ketika pembuatnya adalah manusia maka hal ini
harus dipahami bahwa manusia penuh dengan kekurangan meskipun ada
kelebihannya. Sedangkan hukum Islam mencerminkan kesempurnaan dan keagungan
pembuatnya.
7. Hukum positif memiliki kaedah yang bersifat temporal dan hukum Islam bersifat
tidak temporal. Hal ini dikarenakan kaedah dalam hukum Islam bersifat elastis dan
umum dan juga berasal dari nash Islam yang bersifat tinggi dan mulia.47

Selanjutnya, kita sebagai warga negara Indonesia, bagaimana kita harus menempatkan
diri diantara hukum Allah, hukum/ undang-undang Negara, hukum adat daerah kita dan lain
sebagainya? Apakah benar jika kita mengikuti hukum positif termasuk kemaksiatan kepada
Allah atau bahkan menjadi kafir?48
Sebagai seorang Muslim, hal yang paling utama harus kita fahami adalah bahwa
Allah sebagai Rabb semesta alam adalah Hakim Tunggal, dari-Nyalah lahir hukum-hukum
syar’i sebagai dasar semua hukum dan semua peraturan.49 Hukum syar’i bersifat luhur dan
abadi, posisi manusia sebagai khalifah–Nya di bumi ini, maka Allah mengizinkan manusia
menjadi pembuat keputusan hukum berdasar arahan-Nya tersebut. Hukum berasal dari Allah,
adapun pelaksana, penegak dan pemeliharanya adalah manusia sesuai tuntunan Rasulullah
SAW.50

47
Abdul Qadir Audah,Pertarungan antara Hukum Islam dan Hukum Positif (Yogyakarta: Kaukaba
Dipantara, 2016), hal. 11-20.
48
Ada dua madzhab terkait hal ini, yaitu mazhab pertama, mengatakan bahwa syari’at Islam wajib
ditegakkan dan dijadikan sebagai hukum positif. Mereka berkeyakinan bahwa penggunaan hukum positif selain
dengan syari’at Islam adalah hal yang diharamkan Allah bahkan menyebabkan muslim masuk ke ranah
kekafiran. Dalil yang mereka jadikan dasar adalah QS. Al-Jatsiyah: 18, QS. An-Nisa: 59, 60 dan 65. Madzhab
kedua, merupakan madzhab yang menjadi antitesa madzhab pertama. Mereka mengatakan bahwa menggunakan
hukum positif tidaklah masuk ke dalam kemaksiatan kepada Allah SWT., apalagi kafir kepada-Nya. Madzhab
ini menilai bahwa yang menjadikan hukum positif adalah maksiat bahkan kafir, telah salah dalam memahami
ayat Al-Qur’an. Diantaranya pemahaman terhadap QS. Al-Maidah: 44 yang artinya: “Barangsiapa yang tidak
berhukum dengan apa-apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka termasuk orang-orang kafir.” Diartikan
bahwa mereka yang tidak menggunakan syariat Allah dalam berhukum akan dimasukkan ke dalam golongan
kafir. Mereka menjadikan asapek hukum sebagai salah satu syarat keimanan seseorang. Kesimpulan salah tafsir
tersebut berujung bahwa hukum positif adalah hukum yang menyalahi hukum Allah SWT. Selanjutnya mereka
beranggapan bahwa penentuan hukum adalah hak khusus Allah SWT. Saja dan manusia tidak boleh membuat
hukum. Dengan begitu mereka mengkafirkan orang yang menggunakan hukum positif.
Padahal, jika dilihat dalam tafsirtafsir Al-Qur’an ayat ini memiliki makna bahwa siapa saja yang
mengingkari dalam hatinya dan mengingkari bahwa kalam Allah adalah wahyu yang benar, maka dia adalah
kafir. Mayoritas ulama menyepakati penafsiran ini, seperti Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Hudzaifah bin Yaman,
Qatadah, Imam Ar-Razi, Ibnu Katsir, Qurtuby, Ghazali, Ibnu Asyur, Imam Sya’rawi dan lain sebagainya.
Lihat:Alda Kartika Yudha, Hukum Islam dan Hukum Positif: Perbedaan, Hubungan dan Pandangan Ulama
dalam jurnal Hukum Novelty, Vo. 8 No.02, hal. 162-164.
49
Hal ini banyak dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Qur’an diantaranya adalah QS. Al-Mulk:1, QS. Al-
Hadid:3 dan 5, QS. Ali Imron:26 dan 189.
50
Moza Ahmad Rasyid al-‘Ibar, Al-Bu’du al-Akhlaqi li al-Fikr As-Siyasi ‘Inda al-Farabi wa al-
Mawardi wa Ibnu Taymiyah (Iskandariyah: Kulliyatul Adab, 2000), hal. 131.

16
Manusia sebagai pelaksana agar hukum syar’I berjalan sesuai kehendak Allah SWT.
Atasnya, hendaknya mengetahui tentang situasi dan kondisi yang ia hadapi. Maka dari itu,
para fuqoha’ sepakat bahwa hukum syar’I dalam penerapannya bisa berubah dengan
berubahnya zaman dan tempat, seperti salah satunya adalah kaidah fiqih “Adh-dharurat
tubiihu al-mahdhurat”51 berdasar pada ayat Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 173 berikut:
⬧⧫☺ →◼⧫ ⧫▪ ☺
⧫◆  ⬧⬧◆ ⧫◆
☺⬧   ⧫  
 ⬧ ⧫ ◆ ⧫ ◆ ▪
▪ ❑→    ◼⧫
“Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi,
dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. 52 tetapi barangsiapa
dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.”
Penetapan hukum syar’i atas sesuatu bisa berubah dengan berubahnya keadaan dan
situasi, begitu pula dengan berubahnya pelaku atau orang. Misalnya, hukum akan berlaku
berbeda antara orang yang berakal sehat dan yang tidak . Ada empat hal penting yang perlu
menjadi pertimbangan sebelum menentukan atau menerapkan suatu hukum syar’i yaitu;
pertama, waktu atau zaman, kedua tempat, ketiga orang/pelaku dan terakhir adalah keadaan
atau situasi.53
Berkenaan tentang hubungan antara Negara demokrasi dan Islam, Syaikh Ali Jum’ah
mengatakan bahwa demokrasi dan apa-apa yang ada di dalamnya (termasuk hukum positif)
bukanlah berarti pengganti hukum Allah, jika keduanya tidak bertentangan. Hukum positif
merupakan sebuah alat untuk mencapai tujuan. Selama alat ini bisa digunakan untuk
membentuk kehidupan yang baik nan mulia serta menjadi cara dakwah di jalan Allah SWT.,
maka penggunaannya sah dan dibolehkan. Adapun redaksi kata yang digunakan berupa lafal
asing misal undang-undang Negara yang terkesan tidak ‘Islami’ bukanlah penghalang untuk
diterapkan asal esensinya tidak bertentangan dengan Hukum Allah. Agama Islam tidak
melarang adapsi atas pemikiran atau konsep atau praktek penyelesaian suatu masalah dari
luar Islam, seperti yang dilakukan Rasulullah SAW. Pada perang Khandaq, ide pembuatan
parit berasal dari seorang Persia, beliau juga menjadikan tebusan tawanan Badar dengan
mengajari kaum Muslim membaca dan menulis. Begitu pula Khalifah Umar bin Khattab
mengambil siasat pemerintahan dengan membentuk diwan-diwan dan peraturan tentang
51
Menurut Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam rahimahullah mendefinisikan kaidah itu
dengan makna darurat sebagai uzur yang menyebabkan bolehnya melakukan suatu perkara yang terlarang.
Kaidah ini merupakan cabang dari kaidah Adh-Dhararu Yuzalu, Imam Suyuthi menjelaskan pula bahwa kaidah
adh-dharuratu tubihul mahdhurat memiliki beberapa ketentuan, kemudharatan yang dapat membolehkan
perkara haram adalah dengan syarat kadar dharurat tidak kurang dari mahdhurat. Jika sisi negative dari perkara
haram lebih tinggi dan dharurat-nya kecil, maka tidak boleh mengerjakan hal haram.
Batasan kemudharatan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia yang terkait dengan panca
tujuan maqashid syari’ah yakni; memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan
dan memelihara kehormatan atau harta benda. Lihat: Murdhani, Kondisi Darurat membolehkan Hal-hal yang
Diharamkan dalam jurnal Al-Mizan Volume: 08 Nomor 1 tahun 2021, hal.104-107.
52
Haram juga menurut ayat Ini daging yang berasal dari sembelihan yang menyebut nama Allah tetapi
disebut pula nama selain Allah.
53
Ali Jum’ah, Al-Bayan Lima Yusyghilu al-Adzhan (Kairo: Daar al-Muqthim, 2005), Hal.75-76.

17
pajak. 54 Akhirnya kita harus menginsafi salah satu hadits Nabi bahwasanya “Kalimat hikmah
adalah barang berharga orang mukmin yang hilang, maka dimana saja ia menemukannya, ia
yang paling berhak atasnya” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).55
Selanjutnya adalah bagaimana sikap kita terhadap hukum adat istiadat yang berlaku di
daerah kita? Hukum adat jika kita ta’shilkan dalam kaidah fiqhiyah mengarah kepada kaidah
al-‘adah muhakamah )‫(العادة حمكمة‬. Definisi adat adalah sesuatu yang terus menerus

dilakukan oleh manusia, dapat diterima oleh akal dan manusia mengulang-ulanginya terus
menerus. Sebagian ulama menyamakan antara adat dengan ‘urf dengan alasan substansinya
sama. Definisi ‘urf adalah suatu perkara dimana jiwa merasakan ketenangan dalam
mengerjakannya karena sudah sejalan dengan logika dan dapat diterima oleh watak
kemanusiaannya.56 Maka dari itu ia dapat dijadikan sebagai Hujjah, tetapi hal ini lebih cepat
dimengerti. Muhakamah secara bahasa berarti yang dikukuhkan.
Islam datang membawa ajaran yang mengandung nilai-nilai uluhiyah (ketuhanan) dan
nilai-nilai insaniyah (kemanusiaan) bertemu dengan nilai-nilai adat-adat istiadat di
masyarakat. Adat-adat di masyarakat ada yang sesuai dengan nilai-nilai Islam dan ada pula
yang berbeda bahkan bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Maka, para ulama membatasi

54
Ali Jum’ah, hal. 97-98. Selama ini model transformasi hukum Islam terbagi atas beberapa tipe,
eksklusif, inklusif, konservatif, reformis dan radikal atau ekstrim. Pandangan eksklusif didasarkan pada asumsi
bahwa hukum Islam telah sempurna dan meliputi segala aspek kehidupan dan karenanya tidak perlu
memasukkan unsure-unsur lain dari luar. Pandangan inklusif didasarkan pada asumsi bahwa hukum Islam
belum sempurna dan karenanya sangat terbuka terhadap penyempurnaan atau masuknya unsure-unsur dari luar
ke dalam hukum Islam. Kelompok konservatif berusaha menerapkan hukum Islam sebagaimana terdapat dalam
bunyi lahiriyah teks ajaran agama. Kelompok reformis berusaha menangkap spirit atau tujuan dibalik ketentuan
teks sehingga kalau perlu untuk menyesuaikan dengan kehidupan modern, spirit itulah yang dipertahankan
dengan mengorbankan bunyi teks harfiahnya. Adapun kelompok radikal atau ekstrem adalah kelompok yang
ingin memaksakan hukum Islam kepada orang lain, kalau perlu dengan cara kekerasan. Dalam sejarah Islam
kelompok ini diwakili oleh kaum Khawarij.
Perbedaan tipe atau model ini ada hubungannya dengan perbedaan paradigm, pilihan ayat-ayat yang
dijadikan pijakan, kaidah-kaidah fiqhiyah (ada yang menyebut kaidah ushul fiqh) yang digunakan serta
pengalaman sejarah dari masing-masing Negara atau daerah. Perbedaan sejarah maunpun pengalaman dari
sejumlah Negara Islam telah mengakibatkan munculnya keragaman dalam cara mentransformasikan hukum
Islam ke dalam hukum nasionalnya maing-masing. Sehingga lahirlah 3 tipe pembaharuan legislasi Negara
Islam, yaitu pertama, Negara yang tidak mengadakan pembaharuan adan memberlakukan hukum fiqih secara
apa adanya. Contohnya tipe Negara ini adalah Arab Saudi. Kedua, Negara yang telah menanggalkan sama sekali
Islam dari dasar negaranya (secular) dan mengadopsi system hukum Negara-negara Barat dalam konstitusinya,
seperti yang dilakukan Republik Turki pasca-Khalifah Usmani.Negara seperti ini menangkap hukum Islam
hanya dari aspek filosofinya saja. Ketiga, Negara yang mencoba menggabungkan Islam dan system hukum
lainnya, seperti Barat dalam konstitusinya. Contoh Negara ini adalah Mesir , Tunisia, Indonesia dan Aljazair.
Negara-negara ini disebut terakhir cenderung menggabungkan atau mencari titik temu antara rumusan hukum
Islam dengan filosofi hukumnya. Lihat: Nurrohman, Syari’at Islam dan Hukum Nasional: Problematika
Transformasi dan Integrasi Hukum Islam ke dalam Hukum Nasional dalam jurnal Tajdid Vol. 26, No.2, 2019
hal. 240-241.
55
Diriwayatkan oleh At-Tirmidzy dalam kitabnya Al-Jami’ (atau Sunan At-Tirmidziy) 5/51 no.2687,
Ibnu Majah dalam kitab Sunannya 2/1395 no.4169, Al-‘Uqaily dalam kitabnya Adh-Dhu’afa’ al-Kabir 1/60,
Ibnu Hibban dalam kitabnya Al-Majruuhiin 1/105.
56
Wahbah Az-Zuhaily, Ushulu al-Fiqhi al- Hanafi (Damaskus: Daar al-Maktabi, 2001), hal 37-38.
Ulama Ushul fiqh membagi ‘urf menjadi dua, yaitu ‘urf shohih dan ‘urf fasid. ‘Urf shohih adalah yang tidak
menyalahi dalil-dalil syar’I, tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang halal. Sedangkan
‘urf fasid kebalikan dari ‘urf shohih, yaitu yang menyalahi dali-dalil syar’I, menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal. Lihat: Abdul Wahab Kholaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh (Kairo: Maktabah ad-Da’wah al-
Islamiyah, tt.), hal.89.

18
adat dan ‘urf yang bisa mendapat legitimasi syari’at atau bisa dikukuhkan menjadi hukum
dalam Islam, yaitu kebiasaan atau adat yang tidak bertentangan dengan syari’at, tidak
menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang halal.57

Kesimpulan
Allah sebagai al-Hakim atau Pembuat hukum, baik Dzat Allah maupun hukum yang
diciptakan-Nya telah benar dengan sendirinya. Al-Qur’an sebagai wahyu yang di dalamnya
termuat hukum-hukum ciptaan Allah telah benar dengan sendirinya, sehingga kebenaran Al-
Qur’an tidak ada kaitannya dengan pembenaran yang dinyatakan oleh manusia. Hukum Allah
ini dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dalam kehidupannya, dengan
mendapatkan kemanfaatan darinya dan mencegah kerusakan atas mereka.
Hukum syar’I mengawal Mukallaf atau Mahkum ‘alaih untuk menghadapi dan
mencari solusi terhadap masalah-masalah dalam hidupnya, sehingga mereka menemukan
solusi terbaik atas permasalahan yang dihadapi dan merasakan kebahagiaan hakiki dalam
hidup. Karena sejatinya hukum Islam memberikan petunjuk bagi manusia agar menemukan
kebahagiaan lahir dan batin di dunia dan di akhirat. Seperti ungkapan Imam Syathibi,
“Syariat ini ditetapkan bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dalam urusan
agama dan dunia secara bersamaan. Menjadi ilmu tertinggi dan petunjuk paling jelas,
menunjukkan jalan yang lurus agar terbebas dari kesesatan.”58 Wallahu a’lam bisshowab….

DAFTAR PUSTAKA
al-‘Ibar, Moza Ahmad Rasyid. 2000. Al-Bu’du al-Akhlaqi li al-Fikr As-Siyasi ‘Inda al-Farabi
wa al-Mawardi wa Ibnu Taymiyah (Iskandariyah: Kulliyatul Adab)
Al-Barajili,Mutawaly. 2010. Dirosat fi Ushul al-Fiqhi Mashadir at-Tasyri’ (Kairo: Maktabah
As-Sunnah)
Al-Syathibi. 1997. Al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari’ah tahqiq Masyhur bin Hasan Ali
Salman Ad-Damam (Kairo:Daar ibn ‘Affan)
Audah, Abdul Qadir. 2016. Pertarungan antara Hukum Islam dan Hukum Positif
(Yogyakarta: Kaukaba Dipantara)
Az-Zuhaily, Muhammad Musthofa. 2006. Al-Wajiz fi Ushul Al-Fiqhi Al-Islamiy (Beirut: Daar
al-Khair)
Az-Zuhaily, Wahbah. 1999. Al-Wajiz fi Ushul a-Fiqhy (Damaskus: Daar al-Fikri)
__________________. 2001. Ushulu al-Fiqhi al- Hanafi (Damaskus: Daar al-Maktabi)
__________________.2003. At-Tafsir Al-Munir fi Al-‘Aqidah wa Asy- Syari’ah wa al-
Manhaj jilid 4 (Damaskus: Daar al-Fikr)
Bakry, Nazar. 1993. Fiqh dan Ushul Fiqh (Jakarta: Raja Grafindo Persada)
Bik, Ahmad bin Musthofa Al-Maraghi. 1937. Al-Wajiz fi Ushul Al-Fiqhi (Kuwait: Daar Adh-
Dhahriyah)
57
Ramdan Fauzi, Aplikasi Kaidah al-‘Adah Muhakkamah dalam Bidang Muamalah dalam jurnal
Ekonomi dan Keuangan Syariah Vol. 2 No. 1 Januari 2018, Hal. 149-153.
58
Al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari’ah tahqiq Masyhur bin Hasan Ali Salman Ad-Damam
(Kairo:Daar ibn ‘Affan, 1997), hal. 3-4.

19
Jum’ah, Ali. 2005. Al-Bayan Lima Yusyghilu al-Adzhan (Kairo: Daar al-Muqthim)
Kholaf, Abdul Wahab. ‘Ilmu Ushul al-Fiqh (Kairo: Maktabah ad-Da’wah al-Islamiyah, tt.)
__________________. 1996. ‘Ilmu Ushul al-Fiqh wa Khulashotu Tarikh at-Tasyri’ al-
Islamiy (Kairo: Daar al-Fikr al-‘Aroby)
Rifa’i, Abdul Jabar. 2015. Al-Iman wa At-Tajribah Ad-Diniyah (Baghdad: Philosopy of
Religion Study Center)
Saebani, Beni Ahmad. 2009. Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia)
Yazid, Imam. 2016. Ilmu Fikih dan Ilmu Ushul Fikih (Medan: Fakultas Ilmu Sosial UIN
Medan)
Zein, Satria Effendi M. 2017. Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana)

Jurnal
Alda Kartika Yudha, Hukum Islam dan Hukum Positif: Perbedaan, Hubungan dan Pandangan
Ulama dalam jurnal Hukum Novelty, Vo. 8 No.02 tahun 2017
Murdhani, Kondisi Darurat membolehkan Hal-hal yang Diharamkan dalam jurnal Al-Mizan
Volume: 08 Nomor 1 tahun 2021
Nurrohman, Syari’at Islam dan Hukum Nasional: Problematika Transformasi dan Integrasi
Hukum Islam ke dalam Hukum Nasional dalam jurnal Tajdid Vol. 26, No.2, 2019
Ramdan Fauzi, Aplikasi Kaidah al-‘Adah Muhakkamah dalam Bidang Muamalah dalam
jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah Vol. 2 No. 1 Januari 2018

20

Anda mungkin juga menyukai