Anda di halaman 1dari 3

Objek dan Subjek Hukum

Al-Hakim, Al-Mahkum Fih, Al-Mahkum ‘Alaih dan Posisi Akal dalam mengetahui Syari’ah

Zuniar Chabibatul Chusna


Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Universitas Sains Al-Quran

A. Pendahuluan

Usul Fikih, dalam kajian hukum Islam, termasuk ilmu dasar yang harus dimiliki sarjana hukum Islam,
karena merupakan ilmu yang berisi metode/kaedah untuk mengistinbatkan hukum Islam juga dibahas
teori dan konsep-konsep dasar tentang ruang lingkup hukum syar’i, yang meliputi: hakim (pembuat
hukum, yaitu Allah sendiri), hukum, maḥkūm ‘alaih (subjek hukum), dan maḥkum fih (objek hukum).
Adapun pengertian menurut Syara’ Hakim yaitu orang yang diangkat oleh kepala Negara untuk
menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan, perselisihan-perselsihan dalam bidang hukum perdata
oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan. Sebagaimana Nabi
Muhammad SAW telah mengangkat qadhi untuk bertugas menyelesaikan sengketa di antara manusia
di tempat-tempat yang jauh, sebagaimana ia telah melimpahkan wewenang ini pada sahabatnya.
Hakim sendiri adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
mengadili. Sehingga, untuk melahirkan fikih tidak bisa dilepaskan dari Usul Fikih. Selain itu,
penjabaran dalam bentuk praktis mengenai hukum terhadap segala aktivitas manusia yang konsepnya
dijabarkan secara detail dalam Usul Fikih tadi ditemukan dalam fikih. Di sinilah kemudian yang
menjadi permasalahannya, yaitu terdapat ketentuan baru dalam undang-undang Islam dewasa ini yang
belum ditemukan penjelasannya dalam Usul Fikih, yaitu perluasan makna maḥkūm ‘alaih. Tulisan ini
lebih lanjut membahas subjek hukum (maḥkūm‘alaih) dalam hukum Islam.

Seiring dengan berjalannya waktu, konsep maḥkūm ‘alaih turut mengalami perkembangan. Selama ini
perkembangan tersebut ditemukan dalam aturan perundang-undangan, bukan dalam kajian Ilmu Usul
Fikih yang menjadi tempat pembahasan maḥkum ‘alaih.

Perkembangan tersebut terlihat dari adanya perluasan cakupan maknanya. Dengan demikian, perlu
dibahas bagaimana konstruksi maḥkūm ‘alaih dewasa ini yang tertuang dalam berbagai peraturan
perundangundangan tersebut. Setelah itu, dapat dilakukan pengembangan ruang lingkup maḥkūm
‘alaih, agar konstruksi maḥkūm ‘alaih dalam peraturan perundangundangan tadi dapat terpetakan
dalam kajian Usul Fikih.

B. Pembahasan

1. Al-Hakim

a. Pengertian Al-Hakim

Kata hakim secara etimologi berarti orang yanng memutuskan hukum. Dalam istilah fikih kata hakim
juga dipakai sebagai orang yang memutuskan hukum di pengadilan yang sama maknanya dengan
qadi. Dalam kajian usul fikih kata hakim di sini berarti pihak penentu dan pembuat hukum syari’at
secara hakiki. Ulama usul fikih sepakat bahwa yang menjadi sumber atau pembuat hakiki dari hukum
syari’at adalah Allah. Hal itu ditunjukkan oleh al-Qur’an dalam Surat al-An’am: 571 :

‫قل إني على بينة من ربي وكذبتم به ما عندي ما تستعجلون به إن الحكم إال هلل يقص الحق وهو خير الفاصلين‬

Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang
kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan

1 Khisni. (2012). Epistemologi Hukum Islam. UNISSULA PRESS


kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan
Dia Pemberi keputusan yang paling baik".

Meskipun para ulama usul fikih sepakat bahwa pembuat hukum hanya Allah, namun mereka berbeda
pendapat dalam masalah apakah hukum-hukum yang dibuat Allah hanya dapat diketahui dengan
turunnya wahyu dan datangnya Rasulullah, atau akal secara independen bisa juga mengetahuinya.
Sedangkan menurut UU RI nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa yang
dimaksud dengan hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang
berada dalam lingkungan peradilan tersebut2.

2. Al Mahkum fih

a. Pengertian Al Mahkum fih

Mahkum fih sering disebut dengan mahkum bih adalah perbuatan mukallaf yang terkait dengan
perintah Syari’ (Allah dan Rasul) yang disifati dengan wajib, haram, makruh, mandub, atau mubah
ketika berupa hukum taklifi. Adapun apabila berupa hukum wadh’i, maka terkadang berupa perbuatan
mukallaf seperti pada muamalah dan jinayat. Dan terkadang tidak berupa perbuatan mukallaf seperti
menyaksikan bulan Ramadhan yang oleh syari’ dijadikan sebab bagi wajibnya berpuasa. Mahkum fih
yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf misalnya yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 2773:

‫إن الذين آمنوا وعملوا الصالحات وأقاموا الصالة وآتوا الزكاة لهم أجرهم عند ربهم وال خوف عليهم وال هم يحزنون‬

Sungguh, orang-orang yang beriman, mengerjakan kebajikan, melaksanakan salat dan menunaikan
zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak
bersedih hati.

3. Al Mahkum ’alaih

a. Pengertian Mahkum ‘alaih

Ulama Ushul Fiqih telah sepakat bahwa maḥkūm ‘alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai
khitab Allah yang disebut mukallaf4. Khitab/tuntutan Allah tersebut dapat berupa hukum taklifi
maupun waḍ‘i. Hukum taklifi meliputi ketentuan wajib, sunat, mubah, makruh, dan haram.
Sedangkan hukum waḍ’i meliputi ketentuan sebab, syarat, dan mani’. Dalam definisi ini, maḥkūm
‘alaih hanya dipahami kepada orang (syakhṣ) saja, tidak termasuk di dalamnya badan hukum. Istilah
mukallaf disebut juga maḥkūm ‘alaih (subjek hukum). Mukallaf adalah orang yang telah dianggap
mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-
Nya. Semua tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan diminta pertanggungjawabannya, baik di
dunia maupun di akhirat. Ia akan mendapatkan pahala atau imbalan bila mengerjakan perintah Allah,
dan sebaliknya, bila mengerjakan larangan-Nya akan mendapat siksa atau risiko dosa karena
melanggar aturan-Nya5. Dalam Islam, orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah dianggap
mampu untuk mengerjakan tindakan hukum. Tak heran kalau sebagian besar ulama Usul Fikih
berpendapat bahwa dasar pembebanan hukum bagi seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman.
Dengan kata lain, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara

2 Undang-Undang RI No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman


3 Irwansyah, S. (2018). Perbuatan Dan Pertanggungjawaban Hukum Dalam Bingkai Ushul Fikih. TAHKIM, Jurnal Peradaban Dan Hukum
Islam, 1(1), 88–101.
4 Al-Zuhayly, W. (1986). Uṣūl al-Fiqh al-Islāmy. Dār al-Fikr.

5 Syafe’i, R. (2007). Ilmu Ushul Fiqih,. Pustaka Setia.


baik taklif yang ditujukan kepadanya. Maka orang yang tidak atau belum berakal dianggap tidak bisa
memahami taklif dari Syar’i (Allah dan Rasul-Nya)6.

4. Posisi akal dalam mengetahui syariah

Akal dalam Tinjauan Al-Qur’an

Tidak ada harta berharga yang dimiliki oleh manusia selain akal budi . Akal budi yang menggerakan
dan mendorong manusia melahirkan mahakarya berupa kebudayaan dan peradaban. Berkat akal budi
juga manusia bisa bertahan hidup mengarungi bahtera kehidupan dunia. Tanpa akal dan kemampuan
berpikirnya, mustahil manusia bisa beradaptasi dengan lingkungan atau menciptakan perkakas benda
yang ia gunakan.

Dalam istilah ‘ilm Manṭiq (logika) manusia adalah hewan yang berpikir, dengan kata lain yang
menjadi cirikhas sekaligus pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya adalah kemampuannya
dalam berpikir dan mengolah serta merealisasikan pemikirannya. Memang menakjubkan jika
direnungkan, bahwa segala bentuk-bentuk kebudayaan, tradisi, peralatan tekhnologi, bahkan sistem
sosial merupakan hasil dari suatu proses berpikir manusia.

Kata akal bersumber dari bahasa Arab al-‘aql. Harun Nasution menjelaskan bahwa kata akal memiliki
banyak arti dalam bahasa Arab. Akal bisa bermakna menahan yang berarti menahan diri dari hawa
nafsu, namun akal juga bisa bermakna kebijaksanaan (al-nuha). Muhammad Abduh sendiri
berpendapat bahwa akal adalah salah satu bentuk karunia dan hidayah dari Allah pada manusia7.
Dalam al-Qur’an, banyak kata yang menyinggung soal akal dalam QS. al-Anfāl: 22:

‫إن شر الدواب عند هللا الصم البكم الذين ال يعقلون‬

Seburuk-buruk binatang pada Allah adalah yang tuli, bisu, dan tidak mempergunakan Akal (Ya‘qilun).

Melihat ayat diatas,poin terpenting adalah, dalam al-Qur‘an akal mempunyai konotasi positif, dimana
akal sebagai tolak ukur dan penimbang kebenaran dan kesalahan. Dalam surah al-Anfāl ayat 22, Allah
malah menyamakan orang yang tidak menggunakan akalnya dengan binatang. al-Qur’an
menggambarkan fungsi akal dengan sangat jelas dan menegaskan bahwa orang-orang yang mencapai
ulil al-bāb adalah orang-orang bertakwa dan memiliki kesadaran sempurna sehingga ia dapat beriman
pada Tuhan.

Dalam tradisi falsafat, teologi (kalām), letak akal bukanlah di otak atau kepala seperti yang
diperkirakan banyak orang saat ini. Akal dalam tradisi Islam adalah bagian dari jiwa manusia dan
letaknya di jantung (atau hati) yang berpusat di dada. Dalam pandangan Islam (khususnya falsafat)
antara akal (al-‘aql) dengan jiwa (al-rūh) memiliki kedekatan bagai dua sisi dalam satu realitas,
sehingga akal itu sendiri adalah realitas metafisik yang berada dalam diri manusia. Akal dalam Islam
mendapat kedudukan yang tinggi dan Allah mennggikan derajat orang-orang yang menggunakan
akalnya untuk menuntut ilmu. Riwayat diatas menunjukan bahwa akal adalah makhluk ciptaan Allah
yang mampu menunjukan kebenaran dan kebatilan. Dari riwayat inilah para failasuf dan juga
mutakallimun sangat menghargai dan menjadikan akal sebagai sumber pengetahuan yang terpercaya.

6 Al-Bāḥisīn, Y. bin A. W. (2010). al-Ḥukm al-Syar’ī; Ḥaqīqatuh, Arkānuh, Syurūṭuh, Aqsāmuh. Maktabah al-Rursyd,.
7 Aan Rukmana, “Kedudukan Akal dalam al-Qur’an dan al-Hadis,” Jurnal Mumtāz 1, no. 1 (2017): 25.

Anda mungkin juga menyukai