Anda di halaman 1dari 7

MAHKUM ‘ALAIH

Disusun oleh :

Dara Andina (1113046000022)

Zahratun Nihayah (1113046000024)

Indah Nurhabibah (1113046000123)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

MARET 2014
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Al-Quran adalah wahyu yang diterima Nabi Muhammad untuk seluruh umat manusia.
Al-Quran adalah pedoman kehidupan manusia, baik itu pedoman berupa perintah,
larangan, anjuran, atau disimpulkan sebagai sumber hukum dalam hidup manusia, dan
alquran juga berisikan sejarah masa lalu, dan berita umat yang akan datang.
Selain Al-Quran, yang dijadikan sumber hukum adalah Hadis Nabi Muhammad Saw.
Fungsi dari hadits tersebut adalah sebagai penjelas dalam atau menerangkan kalimat-
kalimat yang ada dalam Al-Quran. Dalam hal ini sesuai dengan kemajuan zaman, dan
perbedaan budaya dalam hidup manusia, terkadang ada hukum hukum yang ditetapkan
pada zaman Nabi Muhammad tidak sesuai dengan keadaan setelahnya. Juga ada hal-hal
atau peristiwa-peristiwa yang terjadi sekarang, belum terjadi pada zaman rasul, sahabat
dan tabi’in, yang berakibat belum jelasnya status suatu hukum pada peristiwa tersebut.
Dalam mengatasi hukum-hukum yang berkenaan dengan masalah diatas, maka yang
menjadi acuan adalah hasil dari Ijma’ Ulama. Seperti yang akan dibahas dalam makalah
ini yaitu Mahkum alaih.
2. Rumusan Masalah
Sesuai yang telah dijelaskan dalam latar belakang, pembuatan makalah ini mengacu pada
rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apa yang dimaksud dengan mahkum alaih ?


2. Apa saja syarat-syarat mahkum alaih (ahliyyah) ?
3. Apa saja hal yang mempengaruhinya (halangan ahliyyah) ?

3. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini untuk menjelaskan dan memaparkan lebih lanjut
terhadap rumusan masalah, yaitu :

1. Menjelaskan pengertian mahkum alaih


2. Menjelaskan dasar taklif (pembebanan hukum) dan syarat-syaratnya
3. Menjelaskan pengertian dan pembagian ahliyyah
4. Menjelaskan halangan ahliyyah
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Mahkum ‘Alaih


Menurut ulama ushul fiqh, mahkum ‘alaih adalah seseorang yang perbuatanya dikenai
khitab Allah Ta’ala yang disebut mukallaf.
Secara etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam ushul fiqh, istilah
mukallaf disebut juga mahkum ‘alaih (subjek hukum). Orang mukalaf adalah orang yang
telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah
maupun dngan larangannya.1
Seseorang dikatakan mukalaf jika telah memenuhi syarat-syarat berikut2 :
a. Mukalaf dapat memahami dalil taklif(pembebanan hukum) baik itu berupa nas-
nas al Quran atau sunah secara langsung maupun melalui perantara. Orang yang
tidak mengerti taklif , maka ia tidak dapat melaksanakan dengan benar apa yang
diperintahkan. Dan alat yang dapat memahami dalil itu adalah akal.
b. Mukalaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya.

2. Dasar Taklif
Seorang manusia belum dikenakan taklif (pembebanan hukum) sebelum ia mampu
untuk bertindak hukum. Untuk itu, ulama mengatakan bahwa bahwa dasar pembebanan
hukum tersebut adalah akal dan pemahaman. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
“Diangkatkan pembebanan hukum dari tiga (jenis orang): orang tidur sampai ia bangun,
anak kecil sampai dia baligh, orang gila sampai ia sembuh.” ( H.R Bukhari , Abu Daud,
a- Tirmidzi, dll )

3. Syarat – syarat Taklif


a. Orang itu telah mampu memahami khitab syari’ (tuntutan syara) yang terkandung
dalam Al.Quran dan Sunnah , baik secara langsung maupun melalui orang lain.
Selain akal sebagai patokan seseorang , penentu konkrit lain adalah balighnya
seseorang. Implikasi dari syarat pertama ini adalah anak kecil, orang gila, orang lupa,
orang terpaksa, orang tidur dan orang tersalah , tidak dikenakan taklif , karena dalam
keadaan status mereka masing-masing belum mampu memahami dalil syara.

1
Nasrun Haroen, Ushul fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet. ke-2, hlm. 304-305.
2
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), cet. ke-1, hlm. 148.
b. Seseorang harus mampu bertindak hukum dengan baik ( ahliyyah ). Artinya jika
seseorang belum atau tidak pandai bertindak hukum, maka seluruh perbuatan yang ia
lakukan belum dapat dipertanggung jawabkan.

4. Ahliyyah
A. Pengertian Ahliyyah

Secara etimologi ahliyyah berarti kecapakan menangani suatu urusan . Maksudnya


adalah sifat yang menunjukan seseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya,
sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’. Apabila seseorang telah
mempunya sifat ini, maka ia dianggap telah sah melakukan tindakan hukum, seperti
pemindahan hak milik kepada orang lain. Para ulama ushul fiqih, membagi ahliyyah
sesuai dengan perkembangan jasmani dan akalnya.3

B. Pembagian Ahliyyah
1) Ahliyyah Ada’
Merupakan sifat kecakapan bertindak hukum seseorang yang telah dianggap
sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya. Apabila ia
mengerjakan perbuatan yang dituntut syara’ , maka ia wajib mengerjakannya dan
memperoleh pahala bila mengerjakan dan berdosa jika tidak mengerjakannya.
Para ulama menyatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam menentukan seseorang telah
memiliki ahliyyah ada’ adalah aqil, baligh dan cerdas. Sesuai dengan firman Allah dalam
surat al-Nisa ayat 6
        
…     
6. dan ujilah[269] anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut
pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-
hartanya …
[269] Yakni: Mengadakan penyelidikan terhadap mereka tentang keagamaan, usaha-usaha mereka,
kelakuan dan lain-lain sampai diketahui bahwa anak itu dapat dipercayai.

3
Nasrun Haroen, Ushul fiqh 1, op.cit., hlm. 308.
2) Ahliyyah al- wujub
Merupakan sikap kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi
haknya., tetapi belum cakap dibebani seluruh kewajiban, misalnya seorang anak laki-laki
berhak menerima warisan dari keluarganya yang meninggal dunia.
Para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa ukuran yang digunakan dalam menentukan
ahliyyah al-wujub adalah sifat kemanusiaannya yang tidak dibatasi umur, baligh atau
tidak , dan cerdas atau tidak. Setiap seseorang yang lahir telah memiliki sifat itu, dan
hanya akan hilang apabila nyawanya sudah hilang. Ahliyyah al-wujub dibagi menjadi dua
bagian.

a. Ahliyyah al-wujub al-naqhishah


Yaitu orang yang dianggap layak untuk mendapatkan hak tetapi tidak layak untuk
dibebankan kewajiban atau sebaliknya.4 Contohnya janin yang berada dalam
dalam perut ibunya, ia berhak mendapatkan warisan, wasiat dan hibah tetapi tidak
dapat dibebeani kewajiban pada dirinya atas orang lain seperti memberi nafkah.
Terdapat 4 hak janin menurut ulama fiqih :
- Hak keturunan dari ayahnya.
- Hak warisan dari keluarganya yang meninggal dunia.
- Wasiat yang ditunjukan kepadanya.
- Harta wakaf yang ditunjukan kepadanya.

b. Ahliyyah al-wujub al-kamilah


Yaitu orang yang layak untuk mendapatkan hak dan layak untuk menjalankan
kewajiban.5 Kelayakan menerima hak bagi seseorang ialah sejak ia lahir ke dunia,
sampai ia dinyatakan balligh dan berakal, sekalipun akalnya masih kurang ( gila ).
Dalam status ahliyyah al-wujub (sempurna atau tidak) , seseorang tidak dibebani
tuntutan syara’ baik berupa ibadah maupun tindakan hukum duniawi.

4
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, op.cit., hlm. 149.
5
Ibid.
5. Halangan Ahliyyah
Para ulama fiqih sepakat bahwa seseorang dinyatakan cakap atau tidaknya dalam
bertindak hukum dlihat dari akalnya, namun para ulama juga sepakat sesuai hukum
biologis, akal seseorang juga dapat berubah, kurang atau hilang sehingga mereka
dianggap tidak cakap dalam bertindak hukum. Kecakapan dalam bertindak hukum dapat
berubah disebabkan oleh :
a. awaridh al-samawiyah yaitu halangan yang datang dari Allah bukan dari manusia
seperti, gila, dungu, perbudakan, mardh maut (sakit yang berkelanjutan dengan
kematian) dan lupa.
b. awaridh al- mukhtasabah yaitu halangan akibat manusia seperti mabuk, terpaksa,
dibawah pengampunan dan bodoh.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan

Mahkum ‘alaih (subjek hukum) adalah seseorang yang perbuatanya dikenai khitab
Allah Ta’ala yang disebut mukallaf (yang dibebani hukum). Syarat-syarat jika seseorang
dikatakan sebagai mukallaf yaitu :

a. Mukalaf dapat memahami dalil taklif (pembebanan hukum) secara langsung atau
melalui perantara.
b. Mukalaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya.
Seseorang dapat dikenakan dasar taklif (pembebanan hukum) jika ia memiliki akal
dan pemahaman. Adapun syarat-syarat taklif yaitu :
a. Orang itu telah mampu memahami khitab syari’ (tuntutan syara) yang terkandung
dalam Al.Quran dan Sunnah , baik secara langsung maupun melalui orang lain.
b. Seseorang harus mampu bertindak hukum dengan baik ( ahliyyah ).

Ahliyyah berarti kecapakan menangani suatu urusan . Maksudnya adalah sifat yang
menunjukan seseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh
tindakannya dapat dinilai oleh syara’

Pembagian Ahliyyah, Ahliyyah terbagi menjadi dua yaitu Ahliyyah Ada’ dan
Ahliyyah al- wujub. Ahliyyah al- wujub dibagi lagi menjadi dua yaitu Ahliyyah al-wujub al-
naqhishah dan Ahliyyah al-wujub al-kamilah.

Halangan Ahliyyah, seseorang dinyatakan cakap atau tidaknya dalam bertindak


hukum dlihat dari akalnya, namun akal seseorang pun dapat berubah. Kecakapan dalam
bertindak hukum dapat berubah disebabkan oleh :
a. awaridh al-samawiyah (halangan yang datang dari Allah)
b. awaridh al- mukhtasabah (halangan akibat manusia)

Anda mungkin juga menyukai