Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

MAHKUM ALAIH

Kelompok 6 :
1. Dicky firmansyah
2. Fahrurrozi
3. Siti Khoerunnisa T A
4. Tirta Saepul Bahri

Dosen Pengampun :
Niam Rohmatullah, M.Pd.

INSTITUT UMMUL QURO AL ISLAMI


JI.Moh Noh Nur No. 12, Leuwimekar, kec. Leuwiliang
Bogor, Jawa Barat 16640
2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaiakum Wr. Wb
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala curahan rahmat,
hidayah dan inanyah-nya sehingga penulisan mampu menyelesaikan tugas yang
diberikan oleh dosen kepada penulis untuk menghadikan sebuah makalah dengan
judul “Konsep Muamalah Dalam Islam”.
Shalawat dan salam tak lupa kita haturkan kehadiran junjungan kita Nabi
besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat-sahabat dan para pengikut
beliau sampai akhir zaman.
Makalah yang penulis sajikan sedapat mungkin penulis hadirkan dalam bentuk
yang mudah di mengerti. Namun demikian, penulisan menyadari adanya
kekurangan dan keterbatasan penyampaian materi di dalam makalah penulis.
Karenanya penulis menerima kritik dan saran dari berbagai pihak dami
kesempurnaan isi dari makalah penulis dan menjadi pelajaran dikemudian hari.
Wassalamualaikum Wr. Wb

Bogor, 22 Juni 2021

i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .......................................................................................................i
Daftar Isi ..................................................................................................................ii
BAB I Pendahuluan
I.1 Latar Belakang ............................................................................................1
I.2 Rumusan Masalah .......................................................................................1
I.3 Tujuan .........................................................................................................1
BAB II Pembahasan
II.1 Pengertian Mahkum Alaih ........................................................................2
II.2 Dasar Taklif ...............................................................................................2
II.3 Syarat – Syarat Taklif ................................................................................3
II.4 Ahliyyah ....................................................................................................4
BAB III Kesimpulan ...............................................................................................8
Daftar Pustaka ........................................................................................................9

ii
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Mahkum alaih adalah seseorang atau pelaku atau yang melakukan hukum
syar’i, atau lebih dikenal dengan sebutan mukalaf/ subjek hukum. Disebut sebagai
mukalaf karena merekalah yang dibebani oleh hukum – hukum syara’ tersebut.
Kemudian untuk perbuatannya sendiri disebut dengan istilah mahkum bih. Seseorng
dapat disebut sebaagai mukalaf karna 3 hal yaitu orang yamg sadar, baligh, dab
berakal. Seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadits diriwayatkan Bukhari yang
artinya :
“Diangkat pembebanan hukum dari 3 (jenis orang) orang tidur sampai ia bangun,
anak kecil sampai baligh, dan orang gila sampai sembuh”.
Dengan demikian ada dua syarat yang harus dimiliki seorang mukalaf untuk
dibebankan hukum – hukum syar’i tersebut. Pertama, mampu memahami hukum –
hukum syar’i yang telah ditentukan oleh Alquran dan Sunnah. Kemudian, seorang
mualah juga mampu melaksanakan hukum – hukum tersebut.
I.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud mahkum alaih?
2. Apa yang dimaksud dasar taklif?
3. Apa yang dimaksud alayyah?
I.3 Tujuan
1. Bisa memahami apa itu mahkum alaih
2. Bisa memahami dasar taklif
3. Bisa memahami apa itu alayyah
4.

1
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Pengertian Mahkum Alaih

‫ هوالمكلف الذي تعلق حكم الشارع بفعله‬: ‫ عليه‬W‫المحكوم‬


Artinya: “mahkum ‘alaih ialah orang mukalaf yang mana memiliki hubungan hukum
syariat terhadap pekerjaanya”.
Para ulama’ Ushul Fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum ‘alaih (

‫ )المحكوم عليه‬adalah mukalaf yang terkait perbuatanya dengan hukum syara’.[1]


Secara etimologi, Mukalaf berarti yang dibebabani hukum. Dalam Ushul Fiqh, istilah
Mukalaf disebut juga mahkum ‘alaih (subjek hukum).
Orang mukalaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum,
baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT maupun dengan larangan-Nya.
Seluruh tindakan hukum mukalaf harus dipertanggungjawabkan. Apabila ia
mengerjakan perintah Allah SWT, maka ia mendapat pahala dan kewajibanya
terpenuhi, sedangkan apabila ia mengerjakan larangan Allah SWT, maka dia pun juga
akan mendapat resiko dosa dan kewajibanya belum terpenuhi.
II.2 Dasar Taklif
Seorang manusia belum dikenakan taklif (pembebanan hukum) sebelum ia
cakap untuk bertindak hukum. Untuk itu para ulama’ Ushul Fiqh mengemukakan,
bahwa dasar pembebanan hukum tersebut adalah akal dan pemahaman. Maksudnya,
seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara
baik taklif yang ditunjukan kepadanya. Dengan demikian orang yang tidak atau
belum berakal, seperti orang gila dan anak kecil tidak dikenakan taklif, karena mereka
tidak atau belum berakal. Dengan demikian mereka dianggap tidak bisa memahami
taklif dari syara’.
Termasuk kedalam hal ini adalah orang yang dalam keadaan tidur, mabuk dan
lupa. Orang sedang tidur, mabuk dan lupa tidak dikenai taklif karena dia dalam
keadaan tidak sadar (hilang akal). Hal ini senada dengan sabda Rosulullah Saw:

َّ ‫ َع ِن النَّاِئ ِم َحتَّى يَ ْستَ ْيقِظَ َو َع ِن ال‬:‫ُرفِ َع ْالقَلَ ُم َع ْن ثَاَل ثَ ٍة‬


‫صبِ ِّى َحتَّى يَحْ تَلِ َم َو َع ِن‬
َ ‫ال َمجْ نُ ْو ِن َحتَّى يُفِ ْي‬
‫ق‬
“Diangkatlah pembebanan hukum dari tiga (jenis orang): orang tidur sampai ia
bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh.” (H.R. al-

2
Bukhari, Abu Daud, al-Tirmidzi, Ibn Majah dan al-Daruquthni dari Aisyah dan Ali
bin abi thalib).
Dalam hadis lain dikatakan:

ُ‫ُرفِ َع ُآ َّمتِي َع ِن ْال َخطَِإ َوالنًّ ْسيَا ِن َو َما ا ْستُ ْك ِر هُ ْوا لَه‬
“Umatku tidak dibebani hukum apabila mereka terlupa, tersalah, dan dalam keadaan
terpaksa”. (H.R. Ibn Majah dan al-Thabrani)
Begitu juga dalam Firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa ayat: 43 sebagai berikut

Wَ ُ‫صلَوةَ َوَأ ْنتُ ْم ُس َكا َرى َحتَّى تَ ْعلَ ُموا َما تَقُول‬
‫ون َواَل‬ َ ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذ‬
َّ ‫ين آ َمنُوا اَل تَ ْق َربُوا ال‬
‫ضى َأ ْو َعلَى َسفَ ٍر َأ ْو َجا َء َأ َح ٌد‬ َ ْ‫ُجنُبًا ِإاَّل َعابِ ِري َسبِي ٍل َحتَّى تَ ْغتَ ِسلُوا َوِإ ْن ُك ْنتُ ْم َمر‬
َ ‫ َما ًء فَتَيَ َّم ُموا‬W‫ِم ْن ُك ْم ِم َن ْال َغاِئ ِط َأ ْو اَل َم ْستُ ُم النِّ َسا َء فَلَ ْم تَ ِج ُدوا‬
W‫ص ِعيدًا طَيِّبًا فَا ْم َسحُوا‬
)43( ‫ان َعفُ ًّوا َغفُورًا‬ َ ‫بِ ُوجُو ِه ُك ْم َوَأ ْي ِدي ُك ْم ِإ َّن هَّللا َ َك‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri
masjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga
kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat
buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air,
Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci) sapulah mukamu dan
tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.”(QS. An-Nisa
ayat: 43).
Dan juga dalam QS. Ibrahim Ayat 4

‫ ِدي َم ْن‬W‫ا ُء َويَ ْه‬W ‫لُّ هَّللا ُ َم ْن يَ َش‬W ‫ُض‬ ِ ‫َو َما َأرْ َس ْلنَا ِم ْن َرسُو ٍل ِإاَّل ِبلِ َس‬
ِ ‫ان قَ ْو ِم ِه لِيُبَي َِّن لَهُ ْم فَي‬
)4( ‫يَ َشا ُء َوهُ َو ْال َع ِزي ُز ْال َح ِكي ُم‬
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya
ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” (QS. Ibrahim: 4)
II.3 Syarat-syarat Taklif
Seseorang bisa atau dianggap layak untuk dibebani hukum Taklif apabila
telah ada beberapa syarat di dalam dirinya, diantaranya:
1. Mampu memahami dalil-dalil hukum, baik secara mandiri atau dengan
bantuan orang lain, minimal sebatas memungkinkannya untuk mengamalkan
isi dari ayat atau dari hadits Rasulullah. Adanya kemampuan memahami
hukum Taklifi itu disebabkan orang tersebut mempunyai akal yang sempurna.

3
Bilamana diukur dengan pertumbuhan fisik, batas baligh berakal bagi
wanita dengan mulainya menstruasi dan bagi laki-laki mimpi pertama
bersenggama. Namun, jika pada umur lima belas tahun wanita tersebut tidak
haid dan laki-laki tidak mimpi, maka umur lima belas tahun itu dijadikan batas
umur minimal baligh berakal.
Bagi hal diatas, anak-anak dan orang gila tidak dikenai Taklif karena mereka
tidak punya kemampuan untuk memahaimi Taklif tersebut. Begitu juga dengan orang
yang lupa, tidur dan mabuk, karena dalam keadaan demikian mereka tidak dapat
memahami apa-apa yang ditaklifkan kepada mereka.[4]
Oleh karena itu rasulullah SAW bersabda:
‫ وعن المجنون حتى يعقل‬,‫ وعن الصبي حتى يحتلم‬,‫ عن النائم حتى يستيقظ‬:‫رفع القلم عن ثالثة‬.
“Diangkatlah pena itu tidak terkena tuntutan hukum atas tiga orang: orang yang tidur
sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh (dewasa) dan orang gila sampai dia
berakal”.
‫ فإن ذلك وقتها‬,‫من نام عن صالة أنسيها فليصلها إذا ذكرها‬.
“Barangsiapa tidur sampai tidak melakukan shalat (habis waktunya) atau lupa
mengerjakannya maka hendaklah dia shalat ketika dia ingat, karena sesungguhnya
ketika ingat itulah waktu shalatnya.”
Sedangkan kewajiban zakat, nafkah dan jaminan atas anak kecil dan orang gila
bukan merupakan beban atas keduanya, akan tetati beban si wali untuk melaksanakan
kewajiban harta, sebagaimana membayar pajak air dan harta milik keduanya.[5]
Dan bagi orang-orang yang tidak mengerti bahasa Arab dan orang yang tidak bisa
memahami dalil-dalil syara’ baik dari al-Qur’an maupun dari as-Sunnah, seperti
bangsa-bangsa selain bangsa Arab, maka tidak sah menuntut mereka secara syara’
kecuali mereka belajar bahasa Arab ataupun mereka bisa memahami nash-nasnya,
atau jika dalil-dalil tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa mereka.
2. Mukallaf atau juga disebut dengan ahliyyah, yakni ahli dengan sesuatu yang
telah ditaklifkan atau dibebankan padanya. Orang yang belum termasuk
kelompok ahliyyah, maka ia belum dapat dibebani dengan taklif dan semua
tindakanya tidak dapat diminta pertanggungjawaban.

II.4 Ahliyyah
1) Pengertian Ahliyyah

4
Secara bahasa kata ahliyyah berarti kemampuan atau kecakapan.
Misalnya, ungkapan yang menyatakan seseorang ahli untuk melakukan suatu
pekerjaan. Ungkapan ini mengandung pengertian bahwa orang itu memiliki
kemampuan dan kecakapan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.
Para ahli ushul fiqh mendefinisikan ahliyyah secara terminology sebagai
berikut:
‫ب تَ ْش ِر ْي ِع ٍّي‬ َ ‫ص تَجْ َعلُهُ َم َحاًّل‬
ٍ ‫صا لِحًا لِ ِخطَا‬ ِ ‫فى ال َّش ْخ‬
ِ ‫ع‬ُ ‫صفَةٌ يُقَ ِّد ُرهَا ال َّشا ِر‬
ِ
Artinya: “suatu sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syar’i
untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntunan syara’.”
Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa ahliyyah adalah sifat
yang menunjukan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya,
sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’. Orang yang telah
mempunyai sifat tersebut dianggap telah sah melakukan suatu tindakan
hukum, seperti transaksi yang bersifat menerima hak dari orang lain. Dengan
demikian jual-belinya, hibbahnya, dan lain-lain dianggap sah. Ia juga telah
dianggap mampu untuk menerima tanggung jawab, seperti nikah, nafkah, dan
menjadi saksi.[7]
2) Pembagian Ahliyyah
Kemampuan atau kecakapan untuk bertindak hukum dan dikenai taklif
sejalan dengan tahapan perkembangan jasmani dan akalnya. Sehubungan
dengan ini, para ahli ushul fiqh membagi ahliyyah menjadi 2, yaitu ahliyyah
wujub dan ahliyyah ada’.
a. Ahliyah Wujub adalah kepantasan seseorang untuk menerima hak. Dengan
kata lain, kepantasan seseorang untuk menerima haknya dari orang lain. Dasar
keputusan itu ialah kemanusiaan. Oleh karena itu sesama manusia laki-laki
perempuan, baik janin, bayi maupun baligh, gila ataupun waras, sakit atau
sehat ditinjau dari kemanusiaannya ia adalah ahliyatul wujub. Ditinjau dari
segi ahliyatul-wujub, manusia itu terbagi kepada dua bagian, yaitu:
 Ahliyyah al-wujub al-naqishah
Yaitu ketika seorang masih berada dalam kandungan ibunya(janin).
Janin dianggap memiliki ahliyyah al-wujub yang belum sempurna, karena
hak-hak yang harus ia terima belum dapat menjadi miliknya sebelum ia
lahir ke dunia dengan selamat, walau hanya untuk sesaat. Apabila ia telah

5
lahir, maka hak-hak yang ia terima menjadi miliknya. Para ulama’ushul
fiqh menetapkan ada empat hak dari seorang janin yang masih dalam
kandungan ibunya, yaitu :
1. Hak keturunan dari ayahnya
2. Hak warisan dari ahli warisnya yang meninggal dunia, dalam kaitan
ini bagian harta yang harus dia terima diperkirakan dari jumlah
terbesar yang akan ia terima, karena jika ia seorang laki-laki maka
bagianya lebih besar dari seorang wanita, apabila ternyata janin itu
wanita, maka kelebihan warisan yang disisakan itu dikembalikan
kepada ahli waris lain,
3. Wasiat yang ditujukan kepadanya
4. Harta waqaf yang ditujukan kepadanya,
Para ulama’ fiqh menetapkan bahwa wasiat dan waqaf merupakan
transaksi sepihak, dalam arti pihak yang menerima wasiat atau waqaf tidak
harus menyatakan persetujuanya untuk sahnya akad tersebut. Apabila
seseorang memberi wasiat atau mewaqafkan hartanya kepada orang lain,
maka penerima wasiat dan waqaf ini tidak perlu menyatakan
penerimaanya. Oleh sebab itu, wasiat atau waqaf yang diperuntukan
kepada janin, secara otomatis wasiat atau waqaf tersebut menjadi milik
janin.
 Ahliyyah al-wujub al-kamilah
Yaitu kecakapan seseorang untuk menerima hak. Kecakapan ini
berlaku semenjak ia lahir sampai sekarat selama ia masih bernafas. Contoh
ahliyyah al-wujub al-kamilah adalah anak yang baru lahir, ia berhak secara
pasti menerima warisan dari orang tua atau kerabatnya. Demikian pula
orang yang sedang sekarat, disamping ia berhak menerima harta warisan
dari orang tua atau kerabatnya yang lebih dulu meninggal.[9]
 Ahliyah al-Ada’
adalah kepantasan seorang untuk diperhitungkan oleh syara’, ucapan
dan perbuatannya dengan pengertian apabila seseorang mengerjakan shalat
wajib, maka syara’ menilai bahwa kewajibannya telah tunai dan gugur dari
padanya tuntutan itu. Sebagai dasar untuk menentukan ahliyah ada’ adalah
tamyiz. Oleh karena itu manusia yang tergolong pada ahliyah ada’

6
hanyalah manusia yang mumayiz saja. Kecakapan berbuat hukum atau
ahliyyah al-ada’terdiri dari tiga tingkat. Setiap tingkat ini dikaitkan kepada
batas umur seorang manusia. Ketiga tingkat itu adalah:
a. adim al-ahliyyah atau tidak cakap sama sekali, yaitu manusia semenjak
lahir sampai mencapai umur tamyiz sekitar umur 7 tahun. Perbuatan
anak-anak dalam umur ini tidak dikenai hukum, ucapanya pun tidak
mempunyai akibat hukum. Karena itu transaksi yang dilakukanya
dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum.
b. Ahliyyah al-ada’naqishah atau cakap berbuat hukum secara lemah,
yaitu manusia yang telah mencapai umur tamyiz (kira-kira 7 tahun)
sampai batas dewasa. Penamaan naqishah (lemah) dalam bentuk ini
oleh karena akalnya masih lemah dan belum sempurna. Sedangkan
taklif berlaku pada akal yang sempurna. Manusia dalam batas umur ini
dalam hubunganya dengan hukum, sebagian tindakanya telah dikenai
hukum dan sebagian lagi tidak dikenai hukum. Dalam hal ini tindakan
manusia, ucapan atau perbuatanya terbagi kepada 3 tingkat, dan setiap
tingkat mempunyai akibat hukum tersendiri, yaitu:
1. Tindakan yang semata-mata menguntungkan kepadanya;
umpamanya menerima pemberian (hibah) dan wasiat. Semua
tindakan dalam bentuk ini, baik dalam bentuk ucapan maupun
perbuatan adalah sah dan terlaksana tanpa memerlukan persetujuan
dari walinya.
2. Tindakan yang semata-mata merugikanya atau mengurangi hak-
hak yang ada padanya; umpamanya pemberian yang dilakukanya,
baik dalam bentuk hibah atau shadaqah, pembebasan hutang, jual
beli dengan harga yang tidak pantas. Segala tindakanya, baik dalam
bentuk ucapan atau perbuatan yang dilakukan oleh mumayyiz
dalam bentuk ini tidak sah dan tidak berakibat hukum atau batal
yang tidak memungkinkan untuk disetujui oleh walinya.
3. Tindakan yang mengandung keuntungan dan kerugian.
Umpamanya jual beli, sewa menyewa yang disatu pihak
mengurangi haknya dan dipihak lain menambah hak yang ada
padanya. Tindakan yang dilakukan dalam bentuk ini tidak batal
secara mutlak tetapi dalam kesahanya tergantung kepada
7
persetujuan yang diberikan oleh walinya sesudah tindakan itu
dilakukan.
c. Ahliyyah al-ada’kamilah atau cakap berbuat hukum secara sempurna,
yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa. Usia dewasa dalam
kitab-kitab fiqih ditentukan dengan tanda-tanda yang bersifat jasmani;
yaitu bagi wanita telah mulai haidh atau mens dan para laki-laki
dengan mimpi bersetubuh. Pembatasan berdasarkan jasmani ini
didasarkan pada petunjuk al-Qur’an, yaitu sampai mencapai usia
perkawinan atau umur yang pada wktu itu telah mungkin
melangsungkan perkawinan.

8
BAB III
KESIMPULAN
Mahkum alaih adalah seseorang atau pelaku atau yang melakukan hukum
syar’i, atau lebih dikenal dengan sebutan mukalaf/ subjek hukum. Disebut sebagai
mukalaf karena merekalah yang dibebani oleh hukum – hukum syara’ tersebut.
Kemudian untuk perbuatannya sendiri disebut dengan istilah mahkum bih. Seseorng
dapat disebut sebaagai mukalaf karna 3 hal yaitu orang yamg sadar, baligh, dab
berakal. Seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadits diriwayatkan Bukhari yang
artinya :
“Diangkat pembebanan hukum dari 3 (jenis orang) orang tidur sampai ia bangun,
anak kecil sampai baligh, dan orang gila sampai sembuh”.

9
DAFTAR PUSTAKA
http://fawaidnurun.blogspot.com/2012/09/mahkum-alaih.html?m=1
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Mahkum_Alaih#:~:text=Artinya

10

Anda mungkin juga menyukai