Anda di halaman 1dari 30

‫هللا الرَّ حْ َم ِن الرَّ ِحي ِْم‬

ِ ‫ِبسْ ِم‬
MEMAHAMI MAHKUM
‘ALAIH
(KELOMPOK 5)
TEAM PRESENTATION

CITAYASMIN SM ABDUL HALIM FABYANSYAC


ABSEN 30 ALMUHASIBY H
1214020030 ABSEN 03 ABSEN 45
1214020003 1214020045
Dikesempatan kali ini kelompok kami akan mempresentasikan hasil diskusi kami
mengenai materi bab kelima yaitu mengenai Konsep dan Syarat Mahkum ‘Alaih

2
1.
DEFINISI
MAHKUM ‘ALAIH
A. DEFINIS MAHKUM A’LAIH

Ulama ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum ‘alaih adalah seseorang yang
perbuatannya dikenai khitab (sasaran/ tujuan. Jadi manusia adalah khitabnya Allah/
sasaran Allah untuk melaksanakan perintah dan mejauhi seluruh larangan-Nya) oleh
Allah swt. yang disebut mukallaf. Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang
yang dibebani hukum. Sedangkan dalam istilah ushul fiqh mukallaf / mahkum ‘alaih
adalah orang yang dianggap telah mampu bertindak hukum dan layak mendapatkan
beban hukum (taklif), baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun larangan-
Nya. Sehingga, semua tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan diminta
pertanggungjawabannya baik di dunia maupun di akhirat.

4
1. Pembebanan Taklif
Dalam Islam, orang yang medapat pembebaban hukum atau taklif adalah mereka yang dianggap
sudah mampu mengerjakan tindakan hukum. Sebagian ulama usuhul fiqh berpendapat bahwa dasar
pembebanan hukum bagi seseorang mukallaf adalah akal dan pemahaman. Dengan kata lain, seseorang
bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditunjukkan
kepadanya. Yang tidak termasuk ke dalam golongan ini adalah orang yang dalam keadaan tidur, mabuk
dan lupa karena dalam keadaan yang tidak sadar. Sebagai mana dalam sabda Rasulullah saw :

Artinya: “Diangkat (pembebanan hukum) dari tiga (jenis orang): orang tidur dampai ia bangun, anak
kecil sampai ia dewasa (baligh) dan orang yang sedang dicoba (gila) sampai ia sembuh” (HR Ahmad,
Abu Daud, Nasai, Ibnu Majah dan Hakim)

5
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak sah taklif apabila: 
1) Orang gila dan kanak-kanak karena golongan ini tidak berakal dan tidak mampu
memahami sama sekali dalil taklif dan bagi kanak-kanak pula mereka tidak
cukup umur dan juga tidak mampu memahami dan melaksanakan perintah
dengan sempurna. 
2) Orang tidur ketika tidurnya, orang lupa ketika lupanya, dan orang mabuk ketika
mabuknya, karena mereka tidak mampu memahami dalil taklif dalam keadaan
tersebut.
Dan dengan demikian, jelaslah bahwa taklif hanya diperuntukkan bagi orang yang
dianggap cakap dan mampu untuk melakukan tindakan hukum.

6
2.
SYARAT
MAHKUM ‘ALAIH
(MUKALLAF)
Ada beberapa syarat seseorang baru dianggap layak dibebani hukum taklif (syarat taklif atas subjek
 hukum), menurut Amir Syarifuddin (1997) adalah sebagai berikut :
1. Orang itu telah mampu memahami dalil taklif (tuntutan syara’) yang terkandung dalam Alquran dan sunnah,
baik secara langsung maupun tidak langsung atau melalui orang lain. Kemampuan untuk memahami taklif
tidak bisa dicapai, kecuali melalui menggunakan akal manusia, karena hanya dengan akallah orang akan
mampu mengetahui taklif itu harus dilaksanakan atau ditinggalkan. Karena akal bersifat abstrak, dalam artian
tidak dapat diukur, maka yang dijadikan tolak ukur sebagai dasar konkret dalam menentukan seseorang
berakal atau tidak adalah kedewasaan seseorang. Indikasi seseorang telah baligh adalah dengan keluarnya haid
pertama bagi perempuan dan keluarnya air mani bagi laki-laki.

2. Ia telah mampu menerima beban taklif atau beban hukum yang dalam istilah ushul fiqh disebut ahlun li al-
taklif atau disebut ahliyah. Kecakapan menerima taklif adalah kepantasan untuk menerima taklif. Kecakapan
itu ada dua macam, yaitu kecakapan untuk dikenai hukum (ahliyah al wujub) dan kecakapan untuk
menjalankan hukum (ahliyah al ada’).

8
Namun, siapakah sesungguhnya mukallaf tersebut? Apakah benar keislaman orang tersebut menjadi salah satu
syarat kemukalafannya?

Disini ada dua persoalann yang harus dipisahkan: Pertama, objek seruan hukum (mukhatab) itu sendiri; Kedua,
pelaksanaan hukum Islam oleh objek seruan (mukhatab).

Dalam konteks pertama, yang berkaitan dengan mukhatab, bisa dinyatakan bahwa seluruh manusia, baik
Muslim maupun Kafir, masing-masing disebut mukhatab dan dibebani hukum (mukallaf) oleh Allah, baik yang
menyangkut urusan ushul (dasar) seperti kaidah maupun derivat (furu’) seperti ibadah dan lain-lain. Pandangan ini
disepakati oleh Imam Malik, as-Syafi’i dan Ahmad. Kesimpulan ini dapat dibuktikan melalui berbagai argumentasi.
Antara lain firman Allah SWT yang artinya:

َ ‫َو َم ۤا اَ ۡر َس ۡل ٰن‬
ِ َّ‫ك اِاَّل َكٓافَّةً لِّلن‬
‫اس بَ ِش ۡي ًرا َّونَ ِذ ۡي ًرا‬
“Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa
berita gembira dan sebagai pemberi peringatan” (Q.S Saba’ [34]: 28)

9
ْ‫قُ ۡل ٰۤياَيُّهَا النَّاسُ اِنِّ ۡى َرس ُۡو ُل هّٰللا ِ اِلَ ۡي ُكمۡ َج ِم ۡي َعا‬
“Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua.” (Q.S.
Al-A’raf [7]: 158)

Kedua nash di atas adalah seruan yang bermakna umum untuk seluruh manusia, Muslim dan
non-Muslim. Maka, hal ini menunjukkan bahwa seruan untuk mengimani risalah adalah seruan
untuk meyakini Islam, dan tidak bisa diartikan sebagai seruan untuk melaksanakan hukum-hukum
derivatif (hukum yang telah ada acuannya) . Kongklusi seperti ini tidak bisa dibenarkan, karena
keimanan pada risalah ini meliputi masalah pokok dan derivatnya, bukan pokoknya saja. Jika
terpaksa harus diinterpretasikan pokoknya saja, interpretasi tersebut harus didukung dengan dalil
yang berfungsi sebagai mukhashshish (pengkhusus). Sebab, jika tidak, interpretasi seperti ini tidak
bisa diterima. Padahal, banyak nash qath’i yang justru menjelaskan sebaliknya.

10
Antara firman Allah SWT:

َ‫الَّ ِذ ۡي َن اَل ي ُۡؤتُ ۡو َن ال َّز ٰكوة‬. ‫ َو َو ۡي ٌل لِّ ۡل ُم ۡش ِر ِك ۡي َن‬....


“... Dan celakalah bagi orang-orang yang mempersekutukan-(Nya), (yaitu) orang-orang
yang tidak menunaikan zakat” (Q.S. Fushilat [41]: 6-7)

‫ك ُن ۡط ِع ُم ۡال ِم ۡس ِك ۡي ۙ َن‬ َ ‫ك ِم َن ۡالم‬


ُ ‫ َو َلمۡ َن‬. ‫ُصلِّ ۡي ۙ َن‬ ُ ‫ َقالُ ۡوا َلمۡ َن‬.‫َما َس َلـ َك ُكمۡ فِ ۡى َس َق َر‬
“Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam (neraka) Saqar?. Mereka menjawab,
"Dahulu kami tidak termasuk orang-orang yang melaksanakan shalat, dan adalah kami
membicarakan yang batil, bersama dengan orang-orang yang membiacarakannya” (QS.
Al-Mudatsir [74]: 42-44)

11
Jika orang-orang Kafir, baik musyrik maupun Ahlul Kitab tidak menunaikan zakat dan shalat
dinyatakan celaka dan diganjar dengan neraka, pasti zakat dan shalat tersebut juga diperintahkan
kepada mereka. Sebab jika tidak, mereka tidak akan dianggap celaka dan harus diganjar azab,
sebagai konsekuensi dari meninggalkannya.

Jika demikian, berarti orang kafir juga bisa disebut mulakallaf dan itu juga berarti, bahwa
Islam bukan merupakan syarat bagi seseorang agar bisa disebut mukallaf dan tidak. Kecuali dalam
perkara yang memang menjadikan Islam sebagai syarat. Misalnya, kewajiban berpuasa yang
disyarakan harus Muslim.

Sedangkan dalam konteks kedua, yaitu konteks pelaksanaan hukum Islam, maka harus
dipilah: Pertama, jika hukum tersebut dilaksanakan bukan atas paksaan siapapun, maka dalam
konteks ini harus dibedakan antara pelaksanaan hukum Islam yang menerapkan Islam sebagai
syaratnya atau tidak. Jika Islam ditetapkan sebagai syarat pelaksanaannya, seperti shalat, puasa,
zakat, haji, temasuk sedekah dan aktivitas kebijakan yang lain serta kesaksian di luar urusan harta
kekayaan, menjadi penguasa / hakim bagi kaum Muslim. Maka dalam hal ini orang kafir tidak boleh
melaksanakan hukum tersebut dan harus dicegah agar mereka tidak melakukannya. Karena Allah
telah menerapkan Islam sebagai syaratnya.

12
Adapun hukum yang dilaksanakan tanpa menjadikan Islam sebagai syaratnya, maka orang kafir pun
boleh melaksanakan hukum tersebut. Misalnya keterlibatan orang kafir dalan peperangan bersama kaum
muslim, kesaksian dalam urusan harta benda, kedokteran dan aspek disiplin keilmuan.

Kedua, jika hukum tersebut mereka dilaksanakan karena paksaan, maka harus dibedakan antara hukum
yang dinyatakan dengan seruan umum, tanpa disertai syarat iman, dengan hukum yang spesifik dimana
iman ditetapkan sebagai syarat dalam pelaksanaanya. Misalnya dalam interaksi bisnis (mu’amalah) dan
hukum (aqubat), orang kafir wajib dipaksa melaksanakan hukum Islam. Jika mereka meninggalkannya,
mereka wajib dikenakan sanksi. Namun, jika hukum tersebut bersifat spesifik, dimana iman kepada
Islam ditetapkan sebagai syaratnya, maka mereka tidak dipaksa untuk melakukannya. Bisa disimpulkan,
bahwa orang-orang non-Muslim / Kafir dibiarkan untuk memeluk agama mereka, mejalankan ibadah
mereka dan bebas memakan makanan dan meminum minuman yang diharamkan untuk orang Muslim,
tetapi tidak untuk mereka.

13
3.
AHLIYATUL (KOMPETENSI)
WUJUD DAN AHLIYATUL
ADA

14
A. Pengertian Ahliyatul Wujub dan Macam-Macamnya
Ahliyyah, secara harfiyah (etimologi) berarti kecakapan menangani suatu urusan. Misalnya orang
yang memiliki kemampuan dalam suatu bidang, maka ia dianggap ahli untuk menangani bidang tersebut.
Adapun arti ahliyyah secara terminologi, menurut para ahli ushul fiqh antara lain sebagai berikut :
‫ش ِر ْي ِع ٍّي‬ َ ًّ‫ص تَ ْج َعلُهُ َم َحال‬
ٍ َ ‫صالِ ًحا لِ ِخطا‬
ْ َ‫ب ت‬ ُ ‫صفَةٌ يُقَ ِّد ُر َها الشَّا ِر‬
ِ ‫ع فِ ْي الش َّْخ‬ ِ
“Suatu Sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syari’ untuk menentukan seseorang
telah cakap dikenai tuntunan syara” .

Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa ahliyyah adalah sifat yang menunjukan bahwa
seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’.
Orang yang telah mempunyai sifat tersebut dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti
transaksi yang bersifat menerima hak dari orang lain. Ia juga dianggap telah mampu untuk menerima
tanggung jawab, seperti nikah, nafkah, dan menjadi saksi.

15
Kepantasan untuk menerima taklif ada dua macam yaitu kepantasan untuk dikenai hukum, dan
kepantasan untuk menjalankan hukum. Kecakapan untuk dikenai hukum disebut ahliyatul wujub, yaitu
kepantasan seorang manusia untuk menerima hak-hak dan dikenai kewajiban. Kecakapan dalam bentuk ini
berlaku semenjak ia dilahirkan sampai menghembuskan nafas terakhir dalam segala sifat, kondisi, dan
keadaannya.
Menurut ulama ushul fiqh ukuran yang digunakan dalam menentukan ahliyatul wujub adalah sifat
kemanusiaannya yang tidak dibatasi oleh umur, baligh, kecerdasan, dan lain-lain. Misalnya, ia telah
berhak untuk menerima hibbah. Dan apabila harta bendanya dirusak orang lain, ia pun dianggap mampu
untuk menerima ganti rugi. Selain itu, ia juga dianggap mampu untuk menerima harta waris keluarganya.
Namun demikian, ia dianggap belum mampu untuk dibebani kewajiban-kewajiban syara’, seperti shalat,
puasa, dan haji, dan lain-lain. Maka walaupun ia mengerjakan amalan-amalan tersebut, statusnya sekedar
pendidikan bukan kewajiban. Berdasarkan ahliyatul wujub, anak yang baru lahir berhak menerima wasiat,
dan berhak pula untuk menerima pembagian warisan. Akan tetapi, harta tersebut tidak boleh dikelola
sendiri, tetapi harus dikelola oleh wali atau washi (orang yang diberi wasiat untuk memelihara hartanya),
karena anak tersebut dianggap belum mampu untuk memberikan hak atau menunaikan kewajiban.

16
Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa ahliyatul wujub adalah sebuah ketetapan yang
diperuntukan untuk manusia dari mulai penciptaannya sampai kepada kematian.
Ada pendapat lain juga yang mendefiniskan ahliyatul wujub. Ahliyatul Wujub disebut
juga sebagai ahli wajib yang maksudnya adalah kelayakan seseorang untuk ditetapkan
kepadanya hak dan kewajiban. Ahliyatul wujub cakupannya bersifat menyeluruh untuk semua
jenis manusia tanpa memandang laki-laki atau perempuan, anak-anak atau sudah baligh,
punya akal atau gila, sehat atau sakit.

17
Para ahli Ushul membagi ahliyatul wujub kepada dua tingkatan, yaitu :

1) Ahliyah al-wujub al-naqish, yaitu kecakapan seseorang manusia untuk menerima hak, tetapi tidak
menerima kewajiban; atau kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak pantas menerima hak.
Contoh pertama adalah janin yang berada dalam perut ibunya, janin ini berhak mendapat warisan,
wasiat, dan wakaf akan tetapi tidak dapat dibebani kewajiban pada dirinya terhadap orang lain seperti
memberi nafkah, memberi hibah, dan sebagainya. Adapun contoh yang kedua adalah mayat yang
meninggalkan utang.

2) Ahliyah al-wujub al-kamilah, yaitu orang yang layak untuk mendapatkan hak dan layak untuk
menjalankan kewajiban. Kelayakan ini didapat oleh seseorang dimulai sejak lahir, pada masa kanak-
kanak-nya, tamyiz, dan setelah baligh.

18
Singkat kata ahliyatul wujub al-kamilah selalu dikaitkan dengan kehidupan manusia secara menyeluruh.
Contohnya adalah anak yang baru lahir, disamping ia berhak secara pasti menerima warisan dari orang
tua atau kerabatnya, ia juga telah dikenakan kewajiban seperti zakat fitrah atau zakat harta –menurut
sebagian ulama- yang pelaksanaannya dilakukan oleh orang tua atau walinya. Demikian pula dengan
orang yang sedang sekarat. Disamping ia berhak menerima harta warisan dari orang tua atau kerabatnya
yang lebih dulu meninggal, ia juga dibebani kewajiban zakat atas hartanya yang telah memenuhi syarat
untuk dizakatkan.
Jadi, ahliyah al-wujud adalah sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak dan menjadi
haknya, tetapi belum cakap untuk dibebani seluruh kewajiban.

19
B. DEFINISI AHLIYATUL ‘ADA DAN PEMBAGIANNYA
Ahliyatul ‘ada yaitu sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang telah dianggap sempurna untuk
mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Dengan kata lain, ia dianggap
telah cakap untuk menerima hak dan kewajiban. Menurut ulama ushul fiqh, yang menjadi ukuran dalam menentukan apakah
seseorang telah memiliki ahliyah ‘ada adalah aqil, baligh, dan cerdas. Kesepakatan mereka itu didasarkan pada firman
Allah SWT. Dalam surat An-Nisa :6 :

ْ ‫َس تُ ْم ِم ْن ُه ْم ُر ْش ًد ا ف‬
‫َاد فَعُ وا إِ ل َْي ِه ْم أ َْم وَا هَلُ ْم‬ ِ َ ‫َى َح ىَّت ٰ إِ ذَا بَلَغُ وا النِّك‬
ْ ‫َاح فَإ ْن آن‬ ٰ ‫َاب تَلُ وا الْ يَتَام‬
ْ‫و‬
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka cerdas
(pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya...” (Q.S. An-Nisa :6)

Selain itu, ahliyatul ‘ada dikatakan pula sebagai kelayakan mukallaf untuk dapat dianggap baik ucapan dan
perbuatannya menurut syara’. Contoh apabila mukallaf mendirikan shalat, puasa atau haji maka semua itu bisa
menggugurkan kewajiban dan bisa diperhitungkan. Dan jika mukallaf melakukan tindakan pidana, maka ia harus dihukum
sesuai dengan pelanggarannya itu

20
Keadaan manusia dihubungkan dengan ahliyatul ‘ada diantaranya :
a) Tidak mempunyai keahlian sama sekali. Maksudnya ialah orang yang sama sekali tidak memiliki kemampuan
untuk melaksanakan hukum seperti anak-anak yang belum dewasa atau kehilangan kemampuan seperti orang
gila. Maka perbuatan anak dan orang gila tidak dianggap oleh hukum. Tapi jika anak kecil atau orang gila itu
berbuat pidana terhadap jiwa atau harta maka ia diberi hukuman secara harta tidak secara fisik. Maka jika orang
gila membunuh maka hukumannya membayar diyah (denda) tidak wajib diqishash.
b) Tidak sempurna keahliannya yaitu anak yang masih remaja sebelum dia baligh. Termasuk dalam kelompok ini
pula orang yang kurang akal. Karena orang yang kurang akal itu tidak cacat akalnya dan tidak kehilangan akal.
Tapi dia lemah akalnya. Maka orang-orang semacam ini dianggap sah perbuatannya yang dipandang berguna
baginya seperti menerima hibah dan shadaqoh.
c) Sempurna keahliannya. Yaitu orang yang sudah sampai usia dewasa. Maka keahlian melaksanakan hak dan
kewajibannya dianggap sempurna dengan kedewasaan dan kematangan berfikir.

21
Jadi ahliyatul ‘ada adalah sifat kecakapan bertindak hukum seseorang telah di
anggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatanya,
baik yang bersifat positif maupun negatif. Apabila ia mengerjakan perbuatan
yang di tuntut syara’ maka ia di anggap telah memenuhi kewajiban, dan untuk
itu ia di beri pahala. Apabila ia melanggar tuntutan syara’ maka ia berdosa.
Karena itu, ia telah cakap untuk menerima hak-hak dan kewajiban.

22
4.
UNSUR-UNSUR AHLIYAH
SAMAWIYAH DAN
MUKTASABAH

23
‘AWARIDH SAMAWIYAH (HALANGAN-HALANGAN DARI LANGIT)

‘Awaridh samawiyah yaitu bukan dari manusia dan bukan pula dari kemauannya. ‘Awaridh
samawiyah terdiri dari beberapa macam dan hukum yang berlaku padanya berbeda menurut bentuknya :
a. ‘utah (Gila)
Yaitu kerusakan dalam akal yang mencegah berlangsungnya perbuatuan-perbuatan dan perkataan-
perkataan menurut jalannya dan ia bertentangan dengan syarat ibadah yaitu niat. Maka tidak sah darinya
dan tidak wajib atasnya menurut perinciannya.
b. Al-it-hu (Kurang akal)
Yaitu Kelemahan dalam akal sehingga meracau omongannya, kadang seperti omongan orang yang sehat,
kadang seperti omongan orang yang gila dan begitu pula urusan-urasan yang lain. Hukum orang yang
ma’tuh (kurang akal) sama dengan anak kecil dalam masa tamyiz dalam seluruh urusannya.
 c. An-Nis-yan (Kelupaan)
Yaitu tidak mampu menampilkan sesuatu dalam ingatan pada waktu diperlukan. Ketidakmampuan ini
menyebabkan tidak ingat akan beban hukum yang dipikulnya.

24
Adapun hak-hak yang menyangkut lupa ini berbagi menjadi dua, yaitu hak-hak Allah dan hak-hak
manusia atau hamba.Hukum lupa berkaitan dengan kadua hak itu tidaklah sama. Dalam menyangkut hak
manusia, hak tidak gugur karena lupa. Dengan kata lain, lupa tidak dapat dijadikan alasan untuk
menghindarkan diri dari suatu hak.
Bersangkutan dengan hak-hak Allah dalam keadaan lupa dapat dipandang dari dua sisi :
•  Tidur
Yaitu halangan taklif halangan yang mencegah halangan khitob, maka ia mewajibkan khitob untuk
penunaian kewajiban, akan tetapi ia tidak bertentangan dengan asal kewajiban karean ketetapan
pelaksanaannya akan tanggaung jawab. Oleh karena itu wajid qodlonya dan mewajibkan batalnya semua
ucapannya[6].
• Pingsan
Yaitu halangan yang mencegah pemahaman khitob lebih banyak dari pada pencegahan tidur
terhadapnya, maka berlakulah padanya apa yang berlaku dalam keadaan tidur karena ia lebih banyak dari
padanya, menjadikan membatalkan wudhu dalam keadaan bahkan dalam sholat.

25
• Penyakit
Penyakit tidak bertentangan dengan ahliyah hukum dan ibadah, karena tidak ada kekurangan dalam tanggungjawab,
akal dan ucapan. Karna itu mengandung kelemahan disyariatkanlah ibadah menurut kadar kemampuannya.
• Haid dan Nifas
Haid dan Nifas ini tidak menggugurkan ahliyah kewajiban maupun penunaian. Tetapi ditetapkan bahwa bersuci
merupakan syarat dari sahnya sholat dan puasa, maka tidak mungkin menunaikan keduanya. Tidak berlaku qodlo
sembahyang, karena mengandung kesempitan berlainan dengan puasa dan karna adanya larangan menunaikan puasa
dalam keadaan haid dan nifas. Karena mustahil bahwa satu hal dari satu segi dilarang dan diwajibkan penunaiannya,
sedangkan qodlo diwajibkan karena adanya sebab yaitu penyaksian bulan.
• Kematian
Kematian menggugurkan hukum-hukum dunia taklif seperti zakat, puasa dan haji dan lain-lainya, dan tinggallah dosa
kewajiban yang disia-siakannya. Bila sebelum mati ada kewajiban berupa hak orang lain yang bersangkutan dengannya
dalam bentuk meteri maka hak itu tetap berlaku selama materi itu masih ada. Seperti amanat, titipan, barang rampasan,
dan barang yang dibeli belum dibayar. Yang dimaksud dengan kewajiban disini adalah kembalinya hak tersebut kepada
pemiliknya.

26
‘Awaridh Muktasabah (Halangan yang dibuat sendiri)
Yaitu halangan yang menimpa seseorang yang menghadapi beban hukum yang timbulnya tersebab oleh perbuatan
manusia. Yang termasuk kedalam halangan bentuk ini adalah sebagai berikut :
• Mabuk
Yaitu hilangnya akal karena khamar atau yang menyerupainya, hingga kacau omongannya dan mengigau.
• Safih (bodoh)
Yaitu kelemahan yang terdapat pada seseorang yang menyebabkan ia berbuat dalam hartanya menyalahi apa yang
dikehendakai oleh akal yang sehat. Safih tidak meniadakan sesuatu pun dari hukum syara’. Terhadapnya berlaku tuntutan
syara’, baik yang berhadapan dengan hak-hak Allah maupun yang berhadapan dengan hak-hak hamba karena ia mukallaf
secara penuh. Apabila ia mengerjakan suatu kejahatan, ia dikenai oleh sanksi hukum sebagaimana yang berlaku terhadap
orang yang tidak safih dengan tidak kurang sedikitpun. Safih dapat perlindungan syara’ atas hartanya dari kerusakan
hanya karena kelemahan pada dirinya.
• Perjalanan (safar)
Perjalanan tidaklah menyalahi ahliyah hukum, akan tetapi As-Syar’I menjadikannya sebab keringanan. Maka disyariatkan
shalat dua rokaat dan diijinkan dalam perjalanan meninggalkan puasa.

27
• Jahil (ketidaktahuan tentang adanya hukum)
Jahil terbagi menjadi dua bentuk, Yaitu:
1) Pengetahuan bersifat umum yang tidak mungkin seseorang mengatakan ketidaktahuannya, kecuali orang
yang akalnya tidak memungkinkan untuk mengetahuinya; seperti shalat lima waktu, puasa Rhamadhan,
ibadah haji dan zakat.
2) Pengetahuan secara khusus yaitu menyangkut furu’ ibadat atau pengetahuan yang tidak mungkin dicapai
kecuali oleh orang-orang yang secara khusus mempelajarinya atau ulama.
• Tersalah (khatha’)
Yaitu menyengaja melakukan suatu perbuatan pada tempat yang dituju oleh suatu kejahatan. Umpamanya
seseorang berkumur-kumur dalam keadaan sedang berpuasa, dan tanpa sengaja air masuk kedalam perutnya.
• Terpaksa/ Paksaan (Ikroh)
Ialah menghendaki seseorang melakukan tindakan yang bertentangan dengan keinginannya. Atau menyuruh orang
lain berbuat sesuatu yang tidak desenanginya baik perkataan maupun perbuatan sehingga andaikata ia dibiarkan
niscaya tidaklah dilakukannya.

28
SUMBER

Baharudin, Moh. (2019) Ilmu Ushul Fiqh. Bandar Lampung: AURA CV. Anugrah Utama Rahaja

Abdurrahman, Hafidz (2008) Ushul Fiqh: Membangun Paradigma Berpikir Tasyri'i. Lamongan: Al Azhar Press

Dwi, Mas. Materi Ushul Fiqh. http://materiushulfiqh.blogspot.com/2012/02/ushul-fiqh.html?m=1


Artikel diterbitkan pada tanggal 13 Februari 2012

Faziah, Atma. dalam blog:


https://www.academia.edu/37749707/BAB_II_PEMBAHASAN_2_1_Pengertian_Ahliyatul_Wujub_dan_Mac
am_Macamnya

29
ْ ‫ب‬
َ ‫ال َعالَ ِم‬ 
‫ين‬ ِّ ‫ َر‬ ِ ‫اَ ْل َح ْم ُد هَّلِل‬
THANKS!
Any questions?

30

Anda mungkin juga menyukai