Anda di halaman 1dari 14

Ad-Dalalah

-Definisi
- Pembagian
- Contoh
- Urgensi
Komposisi Dalalah
1. Dal
(petunjuk/isyarat/indik
ator)
2. Madlul (yang ditunjuk)
DAL MADLUL DALALAH 3. Dalalah : gabungan
dari dal dan madlul
Contoh
• Ketika anda menerima rapot dan mendapatkan beberapa
nilai tertulis dengan tinta merah, apa yang terlintas dalam
fikiranmu?
• Yaitu kamu gagal dalam pelajaran tersebut. Kenapa? Karena
nilai yang ditulis dengan warna merah itulah yang menjadi
petunjuknya.
• Dengan demikian kita mendapat petunjuk dari
kegagalanmu yaitu nilai yang ditulis dengan tinta warna
merah. Petunjuk inilah yang disebut dengan “daal”. Dan ia
menjadi petunjuk atas kegagalanmu. maka kegagalan yang
ditunjukkan oleh ‘daal’ disebut ‘madluul’.
• Pengetahuan kita bahwa nilai merah menunjukkan
kegagalan dalam belajar dinamai dengan ‘dalalah’.
• Contoh lain:
• Ketika matahari tenggelam maka diperbolehkan
berbuka
• Dari pernyataan di atas, manakah yang disebut
‘daal’? Dan manakah yang disebut ‘madluul’?
• Matahari tenggelam adalah petunjuk/daal yang
menunjukkan diperbolehkannya berbuka puasa
(madluul).
• Pengetahuan akan Hubungan antara matahari
tenggelam (dal) dengan diperbolehkannya
berbuka puasa (madlul) disebut dalalah.
Problem
• Bagaimana jika seseorang tidak mengetahui jika
keberadaan sesuatu (dal) menjadi isyarat akan adanya
sesuatu yang lain (madlul)?
• Misalnya non muslim yang belum tahu apapun tentang
Islam duduk dengan seorang muslim kemudian
terdengar adzan berkumandang. Bagi muslim hal itu
menunjukkan masuknya waktu shalat. Tetapi tidak
menjadi petunjuk bagi non muslim yang duduk di
sampingnya. Karena ia tidak tahu dalalah tersebut.
• Dengan demikian dal/petunjuk hanya berlaku bagi
orang yang mengetahuinya dengan syarat ia tidak
terhalang oleh apapun untuk mengetahui kejadiannya.
Macam-macam Dalalah
• Keberadaan sesuatu menjadi petunjuk bagi keberadaan
sesuatu yang lain dapat diketahui dengan empat cara:
1. Dalalah Aqliyah : yaitu pemahaman dengan akal
fikiran bahwa keberadaan sesuatu menjadi petunjuk
bagi keberadaan sesuatu yang lain.
 Contoh: ketika masuk dapur dan mendapati makanan
yang tersedia di atas meja, apakah ia ada dengan
sendirinya atau ada seseorang yang menyiapkannya?
Dengan yakin kita akan memastikan bahwa ia ada
seseorang yang menyediakannya. Lalu apa yang
membuat anda yakin? akal anda.
 Akal anda yang memberi tahu bahwa tidak mungkin
semua tersedia dengan sendirinya, pasti ada seseorang
yang melakukannya.
2. Dalalah Thobi’iyyah (kebiasaan): yaitu adanya
suatu kebiasaan tertentu yang menunjukkan
kepada adanya suatu kejadian tertentu.
 Contoh: Menguap adalah suatu kebiasaan yang
menunjukkan bahwa seseorang mengantuknya atau
ingin tidur. Maka menguap adalah ‘dal’ dan
mengantuk atau tidur adalah ‘madlul’.
 Merahnya wajah adalah kebiasaan yang
menunjukkan seseorang malu atau marah. Dan kata
‘Aduh’ adalah kebiasaan yang menunjukkan sedang
merasakan sakit.
 Dalalah thabi’iyyah terbagi menjadi 2; 1) lafdhiyyah
(kata/ucapan) seperti ; aduh, woww, dll. 2) ghairu
lafdhiyah (bukan kata/ucapan). Seperti wajah yang
memerah karena malu.
Dalalah thabiiyyah meliputi dua hal:
1) Kebiasaan manusiawi; misalnya: wajah merah
menunjukkan marah, atau bulu tubuh merinding
menunjukkan sedang ketakutan.
2) Kebiasaan non manusiawi/alami; misalnya:
tebalnya mendung hitam menunjukkan akan
datangnya hujan yang lebat.
3. Dalalah Syar’iyyah: diketahuinya sesuatu itu
menjadi petunjuk bagi keberadaan sesuatu yang
lain karena diperoleh dari pemberitahuan
syari’at/agama.
 Contoh: terbitnya fajar adalah petunjuk shalat
subuh. Kita mengetahui terbitnya fajar menjadi
petunjuk untuk melaksanakan shalat subuh bukan
dari pemikiran atau kebiasaan tetapi dari syariat
Islam.
 Contoh: seorang muslim jika masuk usia baligh wajib
melaksanakan shalat. Apa dal? Dan madlulnya?
Baligh adalah dal nya dan wajib melaksanakan shalat
adalah madlulnya.
 Bagaimana kita tahu bahwa usia baligh adalah
petunjuk wajibnya melaksakan shalat? Kita
mengetahui itu karena syari’at yang menyatakannya.
4. Dalalah Wadh’iyyah: yaitu petunjuk yang dibuat
oleh manusia. Bukan karena pemikiran/akal,
kebiasaan, atau pemberitahuan syar’iy. dala
 Dalalah wadh’iyyah terbagi menjadi 2; lafdhiyyah
dan ghairu lafdhiyyah
 Contoh non lafdhiyyah: Lampu merah, adalah tanda
harus berhenti. Dari mana kita tahu bahwa lampu
merah adalah tanda wajib berhenti? Apakah
petunjuk akal, kebiasaan, atau syari’at? Tidak, kita
mengetahuinya karena manusia yang meletakkan
tanda tersebut kemudian kita mengetahuinya.
Dalalah wadh’iyyah lafdhiyah; dalalah berupa
lafad/ucapan yang dibuat oleh manusia.
Terbagi menjadi 3:
a) dalalah al-Muthabaqah (identik): yakni apabila
lafadh dan maknanya bersesuaian secara penuh.
Contoh: jika disebutkan kata “ Jokowi” maka yang
terbayang adalah seorang saja yaitu Jokowi presiden RI
tidak lebih dari satu atau tidak ada Jokowi yang lain.
Juga tidak menunjukkan bagian yang lebih kecil dari
seorang Jokowi, seperti kepalanya saja atau tangannya.
Nama Jokowi yang menunjukkan presiden RI dan
menunjukkan personal Jokowi secara utuh disebut
dalalah muthabaqah.
b) Dalalah Thadommun (bersesuaian sebagian): yaitu
apabila lafadh menunjukkan pada sebagian makna,
bukan makna secara keseluruhan sebagaimana
dalalah muthabaqah. Atau lafadh yang disebut luas
namun makna yang dikehendaki sebagian.
 Contoh: jika anda melihat rumah yang catnya tidak bagus
dan tidak teratur kemudian anda mengatakan: “rumah ini
jelek”. Padahal yang dimaksud bukan keseluruhan rumah
yang jelek tapi hanya cat atau tampilan luarnya saja.
 Jika ada yang bertanya: bagaimana kamu mengatakan
rumah itu tidak baik, sedangkan dekorasi dalam rumah
sangat baik?
 Bisa dijawab: “ini adalah persoalan dalalah tadhommun
bukan dalalah muthabaqah, yang aku maksud dengan
rumah itu jelek bukanlah seluruh bagian rumah tetapi
hanya bagian luarnya saja.”
c) Dalalah iltizam: apabila dalam satu waktu suatu
lafadh memiliki makna/maksud tertentu dan makna
lain yang menyertainya yang tidak dapat dilepaskan.
 Contoh: “Khalid buta”. Memberikan petunjuk bahwa
Khalid tidak bisa melihat, namun di sisi lain ada
kemungkinan bagi Khalid untuk bisa melihat.
 Kata “Hitler”. Menunjukkan kepada sosok pemimpin Nazi
Jerman sebagaimana dikenal. Namun kata Hitler tidak
hanya menunjukkan sosok pemimpin Nazi saja.
Penyebutan kata tersebut membawa kepada tashawur
lain yaitu ‘diktaktor’ dan ‘pemerintahan yang otoriter’.
 Begitulah setiap kali mendengar kata ‘Hitler’ bukan saja
sosok pemimpin Nazi Jerman yang terbayang namun
model pemerintahan diktaktoris dan otoriter, karena
makna tersebut layak disematkan kepada sosok ‘Hitler’.
PEMBAGIAN DALALAH

Anda mungkin juga menyukai