Anda di halaman 1dari 37

BAB I

BERBAGAI ISTILAH DAN SINONI HADIS

A. Berbagai Pengertian Hadis dan Sunah: Argumen dan Perspektifnya


Terdapat perbedaan pendapat para ulama dalam memberikan definisi yang disebabkan
adanya perbedaan tinjauan dan objek kajian sesuai dengan latar belakang keilmuan
masing-masing.
1. Hadis menurut Muhadditsun
Para ulama hadis mensinonimkan pengertian hadis dengan sunah. Yang mana
sunnah adalah Segala riwayat yang berasal dari Rasulullah baik berupa
perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat fisik dan tingkah laku beliau baik sebelum
diangkat menjadi rasul (seperti tahannuts beliau di gua hira) maupun
sesudahnya.
2. Hadis menurut Ushuliyyun
Para ulama ahli ushul fiqh juga mensinonimkan hadis dan sunnah, bahwa Al-
Sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabu SAW selain Al-
Quran, berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir) beliau yang dapat
dijadikan sebagai dalil hukum Syariah.
Ulama Ushul berkonsentrasi pada dalil-dalil hukum, yang memandang
Rasulullah sebagai Musyarri (pembuat undang-undang). Oleh karena itu, istilah
sunnah dibatasi pengertiannya pada perkataan, perbuatan dan ketetapan beliau
sepanjang yang dapat dijadikan dalil syara.
3. Hadis menurut Fuqaha
Para ulama Fiqh tidak memberikan definisi khusus tentang pengertian hadis,
namun mereka memberikan definisi sunnah yang digunakan untuk merujuk salah
satu bentuk atau sifat hukum yang lima (al-ahkam al-khamsah). Para fuqaha
mendefinisikan sunnah sebagai segala sesuatu yang segala pelaksaannya dapat
ditinggalkan namun dipandang lebih baik dan lebih utama untuk diamalkan.

Dari sejumlah pengertian Hadis dan sunnah tersebut, selalu mendefinisikan


hadis sebagai segala perkataan, perbuatan, ydan ketetapan yang disandarkan
kepada nabi. Dalam konteks ini, para ulama selalu memberikan kata yang
disandarkan, yang dinukil, yang diriwayatkan, dan sebagainya.

1
Secara etimologis, hadis dan sunnah memiliki pengertian yang berbeda, hadits
berarti jadid (baru), juga bermakna berita. Dengan demikian hadis lebih mengacu
kepada perkataan. Jadi hadis adalah segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan
yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW, sedangkan sunnah berarti jalan, sunnah
lebih mengacu kepada perbuataan. Dengan kata lain, sunnah adalah bagian dari
hadis yakni khusus yang terkait dengan perbuatan.
Ada beberapa istilah lain yang digunakan untuk menyatakan hadis,
diantaranya:
Khabar adalah semua berita atau riwayat, dengan demikian khabar
memiliki arti lebih luas atau umum dibanding hadis. Khabar berarti
informasi tentang sesuatu yang berasal dari semua orang, sedangkan
hadis berasal dari Rasulullah.
Atsar menurut bahasa berarti sesuatu yang tertinggal atau tersisa.
Dikalangan ahli hadis memiliki dua pandangan mengenai atsar: 1)
istilah atsar sinonim dari hadis; 2) istilah atsar berbeda dengan hadis,
yakni mencakup riwayat-riwayat yang disandarkan kepad sahabat dan
Tabiin, baik perkataan atau perbuatan.
Mengingat definisi hadis , lazim terkait dengan bentuk-benuk ungkapan hadis
yaitu perkataan, perbuatan, ketetapan, sifati, dan bahkan cita-cita (hammiyah).
1. Perkataan
Hadis adalah perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi. Namun, berbeda
dengan wahyu yang diterima oleh nabi untuk disampaikan kepada umatnya.
Menurut Mushtafa Said al-Khinni mengklasifikasikan pengertian wahyu
kepada dua macam, yaitu wahyu yang dibacakan disebut dengan Al-Quran,
dan wahyu yang tidak dibacakn disebut dengan Hadits. Dan beliau
membedakannya dari sudut bentuk penerimaannya. Al-quran diterima dalam
bentuk dibacakan (oleh Malaikat Jibril), sedangkan hadis (hadis
qudsi)diterima nabi dalam bentuknya saja. Berdasarkan status kewahyuan,
hadis dibedakan menjadi dua: 1) hadis yang maknanya diterima Nabi melalui
ilham atau ruyah shadiqah (mimpi yang benar) disebut hadis qudsi (hadits
illahi); 2) hadis yang maknanya dari nabi sendiri yang didapatkan dari hasil
ijtihad beliau dengan piranti fathanah yang diberikan Allah kepada Nabi
disebut hadis nabawi.
2. Perbuatan

2
Sebagaimana dibahas sebelumnya, perbuatan yang pernah dilakukan Nabi
pada masa hidupnya dipandang sebagai hadis atau sunnah. Maka para ahli
ushul membagi perbuaan Rasulullah menjadi tiga macam: 1) perbuatan yang
dilakukan Rasulullah berdasarkan tabiat, seperti duduk, berdiri, dan berjalan;
2) perbuatan yang dilakukan atas dasar tradisi, seprti pada cara dan keadaan
makan, minum, dan tidur; 3) perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah ,
namun dengan maksud yang tidak jelas, apakah perbuatan tersebut
dimaksudkan untuk mendekatkan diri dan bernilai ibadah, atau perbuatan itu
semata-mata lahir karena faktor tradisi dan adat kebiasaan.
3. Ketetapan
Taqris disebut juga sebagai iqrar adalah meninggalkan menyuruh atau
melarang suatu perkataan atau perbuatan yang didengar, dilihat atau diketahui
oleh Rasulullah SAW.

B. Struktur atau Unsur-unsur Hadis


Struktur atau unsur hadis harus terdiri dari tiga unsur, jika salah satu dari ketiga unsur
tersebut tidak ada, maka bukan dikatakan hadis walaupun isinya baik dan tidak
bertentangan dengan Al-Quran. Ketiga unsur tersebut adalah:
1. Sanad
Secara bahasa, sanad diartikan sebagai sesuatu yang dijadikan sandaran.
Sedangkan dalam pengertian istilah, sanad adalah rangkaian perawi hadis yang
menghubungkan kepada matan (isi hadits).
2. Matan
Secara bahasa, matan adalah sesuatu yang terangkat dari bumi, sedangkan secara
istilah adalah pembicaraan atau materi berita yang disampaikan setelah sanad
yang terakhir. Matan bisa disebut sebagai isi/materi/teks hadis itu sendiri.
3. Perawi
Perawi adalah orang yang meriwayatkan hadist tersebut.

3
BAB II
POSISI DAN FUNGSI HADIS SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM

A. Dalil-dalil Kahujjahan Hadis


Menurut ulama ushul fiqh, hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad baik ucapan, perbuatan, maupun ketetapan yang dapat
dijadikan dalil hukum shara. Dengan kata lain, para ulama ushul fiqh menempatkan
Nabi Muhammd sebagai musyarri dan produk hadis ditempatkan sebagai sumber
hukum islam kedua setelah al-quran. Penempatan sumber hukum tersebut didasarkan
pada beberapa dalil Al-quran, diantaranya:
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya, dan
ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dn Rasul (sunah), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu leih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa:59)
Barangsiapa yang mentaati rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah.
Dan barangsiapa berpaling (dari ketaatan itu) maka Kami tidak mengutusmu untuk
menjadi pemelihara mereka. (QS. An-Nisa:80)
Kedua ayat Al-Quran tersebut menjelaskan bahwa adanya perintah kepada
orang beriman untuk taat kepada Allah dan Rasul berarti taat kepada Al-Quran dan
Hadis.
Abd al-Munim al-Namr membagi hadis menjadi dua, yaitu hadis syariah
(hadis yang secara hukum wajib diikuti oleh kaum muslimin) dan hadis non-syariah
(hadis yang secara hukum tidak mengikat untuk diikuti oleh kaum muslimin). Yang
termasuk kategori syariah adalah : 1)hadis-hadis yang timbul dari Nabi dalam posisi
dan kedudukannya harus disampaikan kepada umat sebagai risalah islam; 2) hadis-
hadis yang timbul dari Nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin kaum muslimin,
seperti pengelolaan harta negara, mengutus tentara, mengangkat hakim, dan
sebagainya; 3) hadis yang timbul dari nabi yang kedudukannya sebagai hakim, yaitu
ketika nabi menghukum dan menyelesaikan persengketaan yang terjdi dikalangan
umatnya. Sedangkan kategaori hadis-hadis non-syariah adalah: 1) hadis yang
berkenaan dengan kebutuhan setiap manusia pada umumnya; 2) hadis yang berkenaan
dengan pergaulan dan kebiasaan individu dan masyarakat; 3) hadis yang berkaitan

4
dengan pengaturan masyarakatdalam aspek-aspek tertentu, seperti menyebarkan
pasukan ke pos-pos tertentu dalam peperangan.

B. Fungsi Hadis Terhadap Al-Quran


Adapun fungsi hadis terhadap Al-Quran sebagaimana yang dikemukakan oleh
Muhammad Abu Zahw, sebagai berikut:
1. Hadis berfungsi sebagai bayan al-Tafshil, yaitu hadis memiliki fungsi untuk
menjelaskan atau merinci ke-mujmala-an (global) al-quran , sehingga dapat
dipahami umat islam.
2. Hadis berfungsi sebagai bayan al-Takid, yaitu memperkuat hukum-hukum yang
telah ditetapkan dalam al-Quran.
3. Hadis berfungsi sebagai bayan al-Muthlaq atau bayan al-Taqyid, yaitu
memberikan batasan-batasan atas ayat-ayat yang disebutkan secara mutlaq.
4. Hadis berfungsi sebagai bayan al-Takhsis, yaitu mengkhususkan lafadz-lafadz
didalam al-Quran yang masih bersifat umum.
5. Hadis berfungsi sebagai bayan altasyri, yaitu menetapkan suatu hukum yang tidak
disebutkan dalam al-quran secara jelas.
6. Hadis berfungsi sebagai bayan al-naskh, yaitu menghapuskan hukum-hukum yang
terdapat dalam al-quran. Walaupun banyak perdebatan mengenai fungsi hadis ini,
tetapi secara umum mereka semua sepakat bahwa yang dapat menasakh adalah al-
Quran.
C. Intensitan Para Ulama Menggunakan Hadis sebagai Sumber Hukum
Perbedaan intensitas penggunaan hadis muncul, karena banyaknya
permasalahan yang timbul dalam ulum hadis dalam menilai kualitas sebuah hadis,
sehingga dalam sebuah hadis ada yang berpendapat dhaif ada juga yang berpendapat
lain.
Imam Abu Hanifah sangat ketat dalam menerima hadis sebagai hujjah hukum.
Ia memberi persyaratan hadis tersebut dapat diterima sebagai hujjah, yakni: 1) hadis
tersebut berasal dari orang yang tsiqah; 2) orang yang meriwayatkan tidak berbuat
atau berkata yang bertentangan dengan hadis-hadis yang meriwayatkan; 3) tidak
bertentangan dengan dasar-dasar umum (mabadi al-kulliyah).
Sementara imam Malik yang dikenal sebagai Ahl al-Hadis, beliau dapat
menerima hadis dhaif-mursal asalkan periwayatnya orang yang terpercaya. Dalam
pandangan Imam Malik, hadis ahad juga lebih diutamakan daripada qiyas.

5
Adapum Imam Syafii sebagai imam madzhab berpendapat apabila suatu
hadis memiliki sanad yang muttasil dan isnadnya shahih,maka itu merupakan sunah
yang dapat dijadikan sumber hukum walaupun pada setiap tingkatan periwayatnya
hanya seorang-seorang. Al-Sfafii tergolong ulama yang moderat, beliau bisa saja
mengambil hadis dhaif sebagai hujjah dengan beberapa persyaratan: 1) kedhaifan
hadis tidak terlalu para, baik dari sisi sanad maupun matannya; 2) hadis dhiif
dimaksud tidak digunakan sebagai hujjah hukum tetapi hujjah dalam persoalan
fadhail al-Amal; 3) penggunaan hadis dhaif sebagai hujjah tersebut tidak
didasarkan kepada semata-mata eksistensi hadis tersebut, tetapi didasarkan kepada
hadis lain yang shahih dan memiliki kesamaan makna; 4)penggunaan hadis dhaif
sebagai hujjah didasari dengan sikap kehati-hatian.
Imam Ahmad Ibn Hambal sebagai seorang ahli fiqh sekaligus ahli hadis. Ia
sangat longgar dalam menerima hais sebagai hujjah. Hadis mursal dan dhaif dapat
diterima jika tidal ada atsar atau fatwa sahabat yang menolaknya. Dan beliau dikenal
sbagai ulama yang mutasahhil (ringan atau longgar).

6
BAB III
HADIS PADA MASA RASULULLAH, SAHABAT, DAN ERA KODIFIKASI

A. Hadis Pada Masa Rasulullah


1. Proses awal lahirnya hadis
Menurut Ajjaj al-Khathib, bahwa munculnya hadis itu mengalami proses yang
memiliki keterkkaitan dengan beberapa hal, yang meliputi: 1) peristiwa tersebut
terjadi dihadapan Nabi, yang kemudian Nabi menjelaskan hukumnya dan
menyebarluaskan kepada kaum muslimin; 2) peristiwa yang terjadi dikalangan umat
muslim, yang kemudian ditanyakan kepada Rasulullah, baik kejadian yang menimpa
pada diri orang itu langsung maupun peristiwa yang terjadi pada orang lain;
3)kejadian-kejadian yang disaksikan sahabat, mengenai apa yang diperbuat oleh
Rasulullah, kemudian sahabat tersebut menanyakannya dan selanjutnya Nabi
menjelaskannya.
Dari sebab-sebab munculnya hadis diatas, tergambar bahwa konteks sebuah
hadis Rasulullah itu dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu: 1) hadis muncul dalam
kepentingan menafsirkan ayat Al-Quran yang masih bersifat umum; 2) hadis muncul
dalam konteks memperkuat dan menetapkan hukum-hukum yang telah ada didalam
al-Quran; 3) kemunculan hadis dikarenakan adanya persoalan atau peristiwa yang
terjadi, yang mengharuskan untuk dijawab sementara belum ditemukan jawabannya
dalam nash al-Quran.
2. Metode Pengajaran Hadis
Dalam kitabal-Hadits wa al-Muadditsun, metode yang digunaka Rasulullah
dalam neyampaikan hadis kepada sahabat diantaranya: 1) dialog secara langsung
dengan Rasulullah; 2) menyaksikan ketetapan dan perbuatan beliau; 3) mendengarkan
perkataan sesama sahabat yang diperoleh dari Nabi; 4) menyaksikan perbuatan
sesama sahabat yang diperoleh dari Nabi.
Sementara itu, menurut Muhammad Musthafa Azami, bahwa para sahabat
menerima hadis dari Rasulullah melalui tiga macam cara, yaitu metode hafalan,
metode tulisan, dan metode praktik.
3. Pemeliharaan Hadis pada Masa Rasulullah
Adapun cara pemeliharaan hadis pada masa Rasulullah, menurut Muhammad Ajjaj
al-Khathib ada sembilan, yakni:
1. Dari kegiatan Nabi (ceramah, khutbah, dan lain-lain).

7
2. Karakteristik islam yang menyeru pada perbuatan baik dan posisi Nabi sebagai
tempat bertanya.
3. Kegiatan para sahabat untuk menuntut ilmu dan menyampaikannya.
4. Umm al-Muminin yang sering memberikan penjelasan tentang hal-hal terkait
dengan kehidupan pribadi dan rumah tangganya bersama Rasulullah.
5. Sejumlah sahabat perempuan yang menerima riwayat hadis dan penjelasan dari
Umm al-Muminin dalam menyebarluaskan hadis tersebut.
6. Madinah sebagai negara Islam menjadikan banyaknya kabilah-kabilah yang
berkunjung dan menanyakan berbagai hal kepada Nabi.
7. Proses pembaiatan orang-orang kafir yang masuk Islam akibat terjadinya peristiwa
Fath Mekah.
8. Perintah Nabi kepada orang-orang yang menyaksikan Nabi (hadis) agar
disampaikan dan didawahkan kepada yang lain.
9. Ajakan Rasulullah secara santun dan persuasif kepada raja-raja yang wilayah
kekuasannya telah ditaklukan agar memeluk islam.
Menurut Nuruddin Itr, pemeliharaan hadis didukung oleh beberapa faktor, yaitu:
a. Kuatnya daya ingat dan hafalan sahabat.
b. Minat yang demikian kuat dalam mempelajari ajaran islam
c. Kedudukan hadis yang sangat signifikan didalam islam sebagai bayan terhadap
alquran.
d. Penyampaian hadis oleh Nabi yang menjadikan para sahabat merasa mudah untuk
menghafalnya.
e. Penulisan-penulisan hadis oleh sahabat yang dapat dijadikan pedoman apabila
mereka lupa.
B. Hadis Pada Masa Sahabat
1. Kesinambungan hadis pada masa sahabat
Keberadaan hadis menjadi perdebatan dikalangnan para muhadditsun, namun
pada akhirnya keberadaan hadis sampai periode sahabat mengalami ketersambungan
demukian kuat. Hadis yang sampai ditangan para sahabt tidak saja berupa hafalan,
tetapi juga berupa catatan, bahkn bentuk inilah yang dinilai lebih baik.
2. Cara sahabat menyeleksi hadis
Diantara cara yang ditempuh oleh para sahabat dalam menjaga otentisitas hadis adalah
dengan menyedikitkan periwayatan hadis. Hal ini dilakukan karena kekhawatiran para
sahabat terhadap hadis yang akan diperbanyak dalam proses periwayatannya sehingga

8
memberi peluang kepada orang-orang yang berniat jahat untuk menyusupkan hadis-
hadis palsu.
Untuk menetapkan kebenaran suatu hadis, kebijakan Abu Bakar untuk menerima
hadis dengan syarat adanya saksi, sedangkan Ali ibn Abu Thalib yaitu
mempersyaratkan sumpah bagi oang yang meriwayatkan hadis. Dengan adanya
persyaratan tersebut, kemungkinan munculnya hadis yang tidak shahih bisa
diminimalisir pada mas sahabat.
C. Kodifikasi Hadis
1. Pengertian dan Sejarah Kodifikasi Hadis
Pengkodifikasian hadis dilakukan secara resmi dilakukan pada masa
pemerintahan Umar ibn Abd al-Aziz (99-101 H). Ia mengirimkan intruksi kepada
seluruh gubernur untuk mengumpulkan hadis diwilayahnya masing-masing. Secara
khusus, ia juga mengirim intruksi kepada gubernur Madinah, Abu Bakar Muhammad
ibn Nazm (w. 117H) untuk mengumpulkan hadis-hadis yang ada padanya dari Amrah
binti Abd al-Rahman al-Anshari, murid Aisyah.
Intruksi serupa juga dikirimkan khalifah kepada Muhammad bin Muslim bin
Syihab al-Juhri. Beliau adalah orang pertama yang memenuhi intriksi tersebut,
sehingga ia dikenal sebagai orang pertama melakukan kodifikasi hadis. Gagasan
tentang pembukuan hadis sebelumnya pernah terfikirkan oleh khalifah Umar bin
Khattab dan sudah mendapat persetujuan dari sebagian besar sahabat. Namun
kemudian beliau membatalkan rencana tersebut karena beberapa alasan.
Pembukuan hadis ini dipengaruhi oleh beberapa kondisi, diantaranya adalah
fenomena penyebarluasan hadis yang tidak merata dan semakin berkembangnya
pemalsuan hadis. Menurut Abu Zhw motivasi Umar ibn Abd al-Aziz untuk
membukukan hadis yaitu: 1)tidak ada lagi kekhawatiran tercampurnya al-Quran dan
hadis karena pada waktu itu al-Quran telah dibukukan dan telah disebarluaskan; 2)
munculnya hadis-hadis palsu; 3) ulama yang hafal hadis semakin berkurang, sedang
mereka yang masih ada terpencar-pencar domisili dan tempatnya; 4) bnyaknya orang
non-Arab yang memeluk islam sementara mereka belum kuat hafalannya.
2. Upaya Kodifikasi dan Hasil yang Dicapai
Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Juhri adalah orang pertama yang
mempelopori pengkodifikasian hadis. Karya beliau merupakan karya yang merintis
pengkodifikasian hadis, yang merupakan kategori kodifikasi murni. Mereka
melakukan penulisan dan pengumpulan beberapa naskah serta menyusun kedalam

9
bab-bab, lalu menyusunnya kdalam satu kitab yang dinamakan Mushannaf. Namun
kelemahan kitab ini adalah bercampurnya hadis nabi dengan fatwa sahabat da tabiin.
Dipenghujung abad ke-2 hijriyyah muncul para ulama yang berinisiatif untuk
memisahkan hadis Nabi engan fatwa sahabat dan tabiin. Namun pada masa ini belum
ada pemisahan hadis-hadis dhaif. Karena belum adanya kaedah-kaedah yang
menentuka keshahihan dan kedhaifan suatu hadis. Hal ini mendorong para ulama
datang untuk menetapkan kaedah-kaedah dalam menentukan hadis yang shahih,
hasan, atau dhaif baik dari segi sanad atau matan.
Para imam yang kitabnya dikategorikan kedalam Kutub al-Sittah dipandang
para ulama sebagai referensi utama dalam bidang hadis dan memiliki otentisitas yang
tinggi meskipun dengan startifikasi yang berbeda.
3. Kritik terhadap al-Juhri Sebagai Tokoh Kodifikasi
Kritikan terhadap tokoh al-Juhri muncul dari kelompok orientalis, yang secara
umum memandang islam negatif. Akan tetapi bukan mustahil kritikan serupa juga
muncul dari kalangan sarjana islam sendiri.
Goldzhier misalnya, selain meragukan kodifikasi, juga menuduh al-Juhri
sebagai ulama dan tokoh kodifikasi yang dieksploitir oleh penguasa,. Untuk membuat
dan menyebarkan hadis-hadis palsu demi kepentingan politik dan stabiltas negara.
Fazlur Rahman membantah tuduhan Goldzhier dengan argumen bahwa
ketaatan Al-zuhri dan pengetahuannya dibidang hadis bukan citra yang dapat
dibangun dalam waktu yang singkat. Al-zuhri adalah ulama hadis yang kapasitasnya
sederajat dengan Imam Malik ibn Anas.
Mushtafa al-Sibai juga melakukan pembelaan kepada al-Zuhri, bahwa
Goldzhier sebenarnya tidak menghayati keshalihan al-Zuhri. Al-Zuhri tidak mungkin
memalsukan hadis, dia adalah orang yang wara dan sangat berhati-hati dalam
meriwayatkan hadis-hadis Nabi.

10
BAB IV
PENGERTIAN ILMU HADIS, SEJARAH PERKEMBANGAN,
DAN CABANG-CABANGNYA

A. Pengertian Ilmu Hadis


Ilmu hadis adalah ilmu yang bersangkutan dengan hadis, secara garis besar
dibagi menjadi dua, yaitu Ilmu Hadis Riwayah dan Ilmu Hadis Dirayah.
1. Ilmu Hadis Riwayah
Ilu hadis riwayah adalah suatu ilmu pengetahuan untuk mengetahui cara-cara
penukilan, pemeliharaan, dan pembukuan atas apa-apa yang disandarkan kepada
Nabi baik berupa perkataan, perbuatan atau ikrar beliau. Ilmu ini membahas tentang
bagaimana cara seorang perawi menerima hadis dari perawi diatasnya (gurunya) dan
bagaimana menyampaikannya kepada perawi dibawahnya (muridnya) dari awal
hingga akhir sanad. Ilmu ini juga dimaksudkan untuk menghindari adanya
kemungkinan terjadinya kesalahan terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi.
2. Ilmu Hadis Dirayah
Ilmu Hadis Dirayah adalah seperangkat kaidah yang digunakan untuk mengetahui hal
ihwal sanad, matan, cara meneria dan menyampaikan hadis, sifat-sifat rawi, dan lain-
lain. Obyek dari ilmu hadis ini adalah perilaku perawi dan keadaan sesuatu yang
diriwayatkan (sanad dan matan). Ilmu ini bertujuan untuk mlakukan standarisasi dan
menetapkan diterimanya (maqbul) atau ditolaknya (mardud) suatu hadis untuk
kemudian diambil yang maqbul dan meninggalkan yang mardud.

B. Sejarah Perkembangan Ilmu Hadis dan Cabang-cabangnya


Ilmu hadis paa mulanya disusun oleh Abu Muhammad al-Ramahurmuzi yang meninggal
pada tahun 360H. Kaidah-kaidah umum tentng ilmu ini sebenarnya telah muncul sejak
adanya usaha pengumpulan hadis oleh masing-masing penulis hadis. Ilmu ini mempunyai
beberapa cabang, yaitu:
1. Ilmu Rijal al-Hadits, merupakan suau ilmu yang membahas para perawi hadis baik
dari sahabat, tabiin maupun dari angkatan sesudahnya dengan ilmu ini kita bisa
mengetahui keadaan para perawi yang menerima hadis dari Rasulullah maupun dari
sahabat. Adapun orang yang pertama kali menulis riwayat para sahabat adalah al-
Bukhari (256 H).

11
2. Ilmu al-Jahr wa al-Tadil, suatu cabang ilmu hadis hal yang membahas tentang baik
buruk serta jujur tidaknya para perawi hadis. Ilmu ini mulai berkembang ketika
ditemukan kelemahan (disebabkan oleh banyaknya perawi yang menganggap mursal
dan marfu suatu hadis) pada banyak perawi yang terjadi pada abad ke-2 H.
3. Ilmu Fann al-Mubhamat, ilmu yang membahas tentang orang-orang yang tidak
tampak dan tidak disebutkan namanya dalam matan maupun sanad hadis. Ulama hadis
yang menyusun kitab ini diantaranya al-Khatib al-Baghdadi.
4. Ilmu Tashif al-Tahrif, adalah cabang ilmu hadis yang membahas tentang hadis-hadis
yang berubah titik dan bentuknya. Ulama yang menyusun kitab-kitab ini diantaranya
al-Daruquthni (385 H).
5. Ilmu Illal al-Hadits, cabang ilmu hadits yang membahas tentang sebab-sebab
tersembunyinya yang dapat menjatuhkan atau mempengaruhi kualitas suatu hadits,
ulama yang menulis kitab ini, salah satunya adalah Ibn al-Madini (234 H).
6. Ilmu Gharib al-Hadits, ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam
matan hadits yang sulit dipahami maknanya dan jarang digunakan sebagai hujjah
dikalangan umum. Orang yang pertama kali melakukan upaya-upaya dan concern
terhadap persoalan ini adalah Abu Ubaidah ibn Mamar ibn al-Mustanna (210 H).
7. Ilmu al-Nasikh wa al-Mansukh, cabang ilmu hadits yang menerangkan masalah-
masalah hadis yang sudah dihapus hukumnya dan yang menghapus hukumnya. Para
ahli hadits yang menyusun kitab ini diantaranya Ahmad ibn Ishaq al-Dinari (318 H).
8. Ilmu Asbab Wurud al-Hadits, cabang ilmu hadits yang membahas tentang sebab-
sebab nabi menuturkan sabdanya dan masa masa nabi menuturknnya. Tokoh yang
pertama kali menyusun kitab tentang ini adalah Ibn Hamzah al-Husaini (1120 H).
9. Ilmu Talfiq al-Hadits, ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan antara hadis-
hadis yang secara lahir bertentangan namun sebenarnya secara substantif tidak
berlawanan. Yang menyusun kitab ini diantaranya Imam Syafii (204 H).
10. Ilmu Mutshalah al-Hadits, ilmu yang menerangkan istilah-istilah yang digunakan para
ahli hadis. Ulama yang menyusun kitab ini Abu Muhammad al-Hasan al-
Ramahurmuzi (w.360).
C. Periodesasi Perkembangan Ilmu Hadis
Sejarah dan perkembangan ilmu hadis diklasifikasikan menjadi tujuh periodesasi, yaitu:
1. Periode Pembentukan, bermula pada era sahabat hingga akhir abad ke-1 H, ditandai
dengan:
Mulai dilakukan standarisasi metode periwayatan hadis.

12
Berkembangnya penelitian sanad dan rijal al-hadis.
Berkembangnya upaya-upaya pemlsuan hadis.
Munculnya beragam istilah hadis, seperti marfu, mawquf, mursal, maqthu,
dan sebagainya.
2. Periode penyempurnnaan, bermula dari awal abad ke-2H hingga awal abad ke-3 H
ditandai dengan:
Terjadinya penghimpunan hadis.
Tumbuhnya beragam cabang ilmu hadis.
Semakin berkembangnya penelitian hadis.
Munculny penulisan berbagai kaidah ulum al-hadis, namun belum secara
khusus pada kitab ulum al-hadis.
3. Periode penghimpunan ulumul hadis, terjadi pada pertengahan abad ke-3 H hingga
awal abad ke-4 H, yang ditandai dengan:
Mulai ada penghimpunan hadis-hadis shahih.
Sejumlah cabang ilmu hadis menjadi bidang-bidang disiplin pengetahuan
mandiri.
Penghimpunan cabang-cabang ilmu hadis secara terpisah.
4. Periode penyusunan dan penghimpunan ilmu mustahalah al-hadis kedalam kitab-kitab
khusus yang terjadi pada pertengahan abad ke-4H hingga pertengahan abad ke-7, yang
ditandai dengan:
Penghimpunan ulumul hadis secara khusus dan diberi catatan dan penjelasan.
Pelopornya adalah Abu Muhammad al-Hasan al-Ramahurmuzi (w.360).
Upaya yang dilakukan al=Ramahurmuzi kemudian diteruskan oleh al-
Baghdadi.
5. Periode pamatangan dan penyempurnaan yang terjadi pada pertengahan abad 7H
hingga abad 10H, ditandai dengan:
Merupakan periode puncak perkembangan ilmu hadis.
Diantara tokoh penggerak periode ini adalah Ibn Shalah
6. Periode kemandeganterjadi pada abad 10H jhingga pertengahan abad 14H.
Terhentinya ijtihad dan pengembangan ilmu hadis.
Penyusunan ulang ulumul hadis dalam bentuk ulasan dan komentar (syarah).
7. Periode kembangkitan kembali, terjadi pada pertengahan abad 14H hingga sekarang.
Ditandai dengan:

13
Munculnya sejumlah orientalis yang memiliki concern terhadap hadis dengan
mmbangun teori-teori yang mendukungnya.
Adanya berbgai upaya pembelaan para ulama hadis atau upaya-upaya
dekonstruksi hadis yang elah dilakukan para orientalis melalui teori-teori yang
dibangunnya.
Munculnya beragam kajian dan studi tentang hadis dan ilmu hadis melalui
berbagai pendekatan.

14
BAB V

TAHAMMUL WA ADA AL-HADITS

A. Pengertian Tahammul Wa Ada Al-Hadits


Kata Tahammul merupakan bentuk mashdar dari kata tahammala,
tahammulan, yang secara etimologis adalah menerima. Sedangkan menurut istilah
adalah penjelasan mengenai cara-cara para periwayat dalam mengambil atau
menerima hadis dari gurunya.
Sedangkan kata ada merupakan isim mashdar dari adda, yuaddii, adaan,
yang secara etimologis adalah enyampaikan atau menunaikan. Sedangkan menurut
istilah adalah penjelasan mengenai cara-cara menyampaikan hadis yang diterima oleh
para periwayat hadis dari gurunya.
Berdasarkan penjelasan diatas, Tahammul Wa Ada Al-Hadits adalah
penjelasan mengenai cara-cara menerima atau mendapatkan hadis dari guru dan
bagaimana cara menyampaikannya dengan lambang-lambang tertentu pula.

B. Metode Periwayatan Hadis


1. Metode al-Sima, yaitu penyebaran hadis yang dilakukan dengan cara seorang
murid mendengarkan bacaan atau kata-kata dari gurunya. Sighat untuk
periwayatan hadis dengan metode ini ialah: 1) seseorang telah mengkhabarkan
pada ku (akhbaranii); 2)seseorang telah bercerita kepdaku (hadatsanii); 3)saya
mendengar (samitu).
2. Metode al-Qiraah, adalah metodeperiwayatan hadis yang mana sipembaca
menyuguhkan hadis kepada sang guru, baik ia sendiri yang membacanya atau atau
orang lain yang membacanya, sedangkan ia mendengarkannya. Sighat-sighat yang
digunakan adalah aku telah membacakan dihadapannya.
3. Metode al-Ijazah, yaitu izin dari seorang guru hadis kepada muridnya untuk
meriwayatkan hadis yang diriwayatkan dirinya. Adapun model-model metode ini
adalah: 1) pemberian izin dari murid kepada gurunya dengan kitab tertentu, seperti
ungkapan Aku ijazahkan kepadamu kitab Fulan.; 2) pemberian izin dari murid
kepada gurunya namun kitab yang diijazahkan tidak jelas; 3) pemberian izin dari
seorang guru yang ditujukan untuk kalangan umum; 4) pemberian izin dari
seorang guru untuk meriwayatkan suatu hadis kepada seseorang yang berdomisili
ditempat tertentu, namun ditempat itu tertnyata terdapat nama yang sama dengan

15
orang yang diberi izin untuk meriwayatkan hadis; 5) model pengijazahan yang
ditujukan kepada orang yang tidak atau belum ada; 6) pengijazahan seorang guru
kepada muridnya, namun hadis yang diijazahkan belum pernah didengar; 7)
model pengijazahan yang diungkap secara majazi.
4. Metode al-Munawalah, yaitu metode yang dilakukan dengan cara seorang guru
menyerahkan kitab/lembaran catatan hadis kepada muridnya,agar
diriwayatkannya dengan sanad dirinya.periwayatan ini terdiri dari dua macam: 1)
seorang guru menyerahkan kitabnya kepada muridnya, namun juga ada
pernyataan agar hadis-hadis yang termuat didalam kitab tersebut diriwayatkam; 2)
seorang guru tatkala menyerahkan tulisannya kepada muridnya sambil berkata
ini adalah (hadis) riwayatku.
5. Metode al-mukatabah, yaitu metode yang dilakukan dengan cara guru menuliskan
hadisnya kemudian diberikan kepada muridnya. Model metode ini adalah
metodemenuliskan hadis yang diikuti dengan ungkapan ijazah dan metode
menulis yang tidak diikuti ijazah.
6. Metode al-Ilam, yaitu seorang guru mengumumkan kepada muridnya bahwa ia
telah mendengar suatu hadis, namun isnformasi tersebut tidak disusul kemudian
dengan ungkapan agar hadis yang telah didengarnya diriwayatkan oleh muridnya.
7. Metode al-Wasyiyyah, yaitu seorang guru berwasiat kepada seseorang ketika ia
meninggal atau sedang bepergian , agar hadis yang telah ia riwayatkan itu
diserahan kepada muridnya.
8. Metode al-Wijadah, yaitu seorang murid menemukan tulisan hadis yang
diriwayatkan oleh gurunya.
C. Hubungan Perawi dengan Metode Periwayatan yang Digunakan

Kondisi perawi hadis sangat berkaitan dengan metode periwayatan hadis yang
ditempuhnya. Kondisi perawi hadis yang berkaitan dengan kualitas pribadinya,
dalam terminologi ilmu hadis dikaji dalam diskursus adaalah. Sedangkan kondisi
perwai hadis yang berkenaan dengan kapasitas intelektualnyadisebut-sebut dalam
kajian dhaabith. Seorang perawi yang dalam dirinya terkumpul sifat adaalah dan
dhawaabith ini disebut perawi yang tsiqah, dan sebaliknya perawi yang didalam
dirinya tidak terkumpul kedua sifat tersebut disebut ghayr tsiqah.

Untuk melacak ketersambungan bagi hadis yang mengandung an dan anna,


para ulama menetapkan beberapa kriteria yang harus dipenuhinya, sebagaimana

16
disebutkan Syuhudi Ismail: 1) pada sanad hadis yang bersangkutan tidak terdapat
tadlis (penyembunyian cacat); 2) para perawi yang namanya beriring dan diantarai
oleh lambang an ataupun anna itu telah terjadi pertemuan; 3) perawi yang
menggunakan lambang an atau anna itu adalah perawi yangdinilai tsiqah. Ketiga
syarat tersebut tidak harus semuanya terpenuhi, namun apabila telah memenuhi satu
atau dua dari syarat tersebut sudah bisa diklaim bersambung sanadnya.

D. Penerimaan Riwayat Hadis oleh Anak-anak, Orang Kafis, dan Orang Fasiq
Para muhadditsun memperdebatkan persoalan tentang absah tidaknya anak
yang belum dewasa, orang yang masih dalam kekafiran, dan masih dalam keadaan
fasik disaat ia menerima hadis dari Nabi SAW, untuk meriwayatkan hadis. Namun,
mayoritas ulama hadits dan ushul fiqh bersepakat bahwa orang yang riwayat
hadisnya diterima sebagai hujjah harus memenuhi syarat seorang muslim,
periwayatan hadis dari seorang kafir walaupun bukan pedusta tidak dapat diterima,
baligh, memiliki sifat adil, dan memiliki kedhabithan (intelektual yang mumpuni),
yakni perawi yang menyadari tentang apa yang didengarnya, paham dan hafal serta
mampu mereproduksi kembali dengan meriwayatkan hadis yang telah diterimanya
tersebut kepada orang lain.

E. Periwayatan Hadis secara Lafdzi dan Maknawi


Periwayatan hadis secara lafdzi yaitu periwayatan hadis yang menitikberatkan pada
kebenaran lafadz dan ketepatan huruf serta maknanya. Sedangkan periwayat hadis
secara maknawi yaitu periwayatan hadis yang menekankan pada maknanya saja,
namun harus benar-benar mengertia dan memahami kata-kata yang bisa merubah dan
tidak merubah maknanya.

17
BAB VI
KLASIFIKASI HADIS DITINJAU DARI BERBAGAI ASPEK
A. Hadis Ditinjau dari Segi Bentuknya
1. Hadis Qawli adalah segala perkataan yang disandarkan kepada Rasulullah SAW.
Contohnya adalah HR. Al-Bukhari tentang niat, yang artinya: ... dari Umar ibn
Khatab ra, mendengarkan Rasulullah SAW bersabda:sesungguhnya perbuatan
itu tergantung pada niat, .....(HR. Bukhari)
2. Hadis fili Yaitu suatu perbuatan atau perilaku ibadah yang kemudian diikuti
dengan perkataan Nabi, yang selanjutnya dinukil oleh para sahabat. Contohnya
adalah shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.
3. Hadis taqriri, yaitu segala sesuatu yang mengacukepada ketetapan Rasulullah.
Dalam hal ini terdapat dua model, yaitu: 1) membenarkan sesuatu yang diperbuat
oleh sahabat dengan sepengetahuan atau tanpa sepengetahuan Nabi. Sebagaimana
contohnya adalah dari ibn Umar ra. Dari Nabi SAW bersabda:.... janganlah
seseorang (diantara kalian) mengerjakan shalat ashar kecuali dikampung
Quraydzah...... (HR. Al-Bukhari); 2) menerangkan kebaikan tentang perbuatan
yang dilakukan para sahabta serta menguatkannya. Contoh dalam hal ini
diantaranya adalah tentang boleh tidaknya memakan dhab.
4. Hadis Shifati, hadis yang menggambarkan segala sesuatu yang berkaitan dengan
pribadi dan kondisi Rasulullah SAW.
5. Hadis Hammi, yaitu hadis yang menggambarkan segala sesuatu yang berkaitan
dengan cita-cita Nabi, namun beliau wafat sebelum mewujudkan cita-citanya.
B. Klasifikasi Hadis Berdasarkan Sifatnya
1. Hadis Qudsi
Secara bahasa qudsi berarti suci, sedangkan menurut istilah hadis qudsi
adalah hadis yang disandarkan kepada Rasulullah dan kepada Allah SWT.
Berdasarkan cara periwayatannya, hadis ini berisi pemberitaan dari Allah kepada
Rasulullah melalui ilham atau melalui mimpi yang benar kemudian beliau
memberitakannya kepada umatnya dengan lafadz yang disusunnya sendiri.
2. Hadis Nabawi
Hadis yang disandarkan kepada Rasulullah baik yang menyangkut perkataan,
perbuatan, maupun sifat yang seluruhnya mengisahkan tentang diri beliau.
Perbedaan antara Hadis qudsi dengan hadis nabawi adalah terletak pada
sandarannya , isi hadisnya (H.qudsi kebanyakan membahas tentang etika dan hal-

18
hal yang terkait dengan sesuatu yang bersifat metafisika), dan jumlah hadisnya
(jumlah H.nabawi lebih banyak dibanding H.qudsi).
C. Hadis Ditinjau dari Jumlah Perawinya
1. Hadist Mutawatir, secara bahasa mutawattir berarti berurutan. Sedangkan secara
istilah hadis mutawattir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang
menurut adat kebiasaan. Karakteristik hadis mutawatir yaitu: 1) jumlah perawinya
banyak hingga menurut akal dan kebiasaan mustahil bersepakat untuk berdusta;
2) jumlah perawi terdapat pada setiap generasi; 3) hadis yang diriwayatkan
bersifat mahshus, artinya para perawi tersebut meriwayatkan hadis berdasarkan
panca indera atau pengalaman inderawi mereka.
Menurut al-Qaththan, hadis Mutawatir terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Mutawatir Lafdzi, hadis mutawatir yang lafadz dan maknanya sama.
b. Mutawatir Manawi, hadis mutawatir yang maknanya sama tapi redaksinya
berbeda.
2. Hadis Ahad adalah semua hadis yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkat
muttawatir .Hadis ahad ini dibagi menjadi tiga bagian:
a. Hadis Masyhur, secara istilah adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang
atau lebih dari setiap generasi, akan tetapi tidak mencapai jumlah muttawatir.
b. Hadis Aziz, hadis yang diriwayatkan oleh tidak kurang dari dua perawi pada
seluruh tingkatan/generasi.
c. Hadis Gharib, hadis yang tidak disyaratkan harus satu orang perawi pada
setiap generasi, akan tetapi cukup pada satu tingkatan sanad dengan satu orang
perawi. Berdasarkan letak terjadinya ke-gharib-an, hadis model ini dapat
dipilih menjadi tiga kelompok:
1) Gharib dari segi matan dan sanadnya, hadis tersebut tidak diriwayatkan
melainkan melalui satu sanad.
2) Gharib dari segi sanadnya dan tidak matannya, hadis yang masyhur
kedatangannya melalui beberapa jalur dari seorang rawi, lalu seorang rawi
meriwayatkannya dari jalur lain yang tidak masyhur.
3) Gharib dari segi matannya dan tidak sanadnya, yaitu hadis yang pada
sanadnya tunggal, akan tetapi pada tahap selanjutnya masyhur.
Jika ditinjau dari segi ke-ghariban sanadnya ada sejumlah ulama yang
membaginya pada dua kelompok, yaitu:

19
1) Hadis gharib mutlak, hadis yang keghariban sanadnya terjadi pada asal
sanadnya.
2) Hadis gharib nisbi, hadis yang keghariban sanadnya terjadi pada tengah
sanad, bukn pada asal sanad sebagaimana hadis gharib mutlak.

D. Klasifikasi Hadis Berdasarkan Kualitasnya


1. Hadis shahih (hadis musnad), yakni hadis yang bersambung sanadnya, yang dinkil
dari perawi yang adil dan dhabit mulai awal hingga akhir sanad sampai kepada
Rasulullah , tanpa adanya syadz dan illat. Berikut adalah syarat-syarat suatu hadis
tergolong hadis shahih:
a. Kebersambungan sanad, seorang perawi dengan perawi hadis diatasnya atau
perawi yang dibawahnya terdapat pertemuan langsung atau adanya pertautan
langsung dalam bentuk relasi guru murid, mulai dari awal hingga akhir sanad.
b. Para perawi adil, seorang perawi adil harus memiliki 4 kriteria tersebut. Yaitu
muslim, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama, dan senantiasa memelihara
citra diri.
c. Para perawi dhabit, seorang perawi hadis yang dapat menjaga sesuatu , namun
dalam ilmu hadis dipahami seorang perawi yang memiliki kapasitas
kecerdasan.
d. Terhindar dari kerancuan (syadz), hadis yang diriwayatkan oleh seorang
perawi tsiqah bertentangan dengan sejumlah perawi yang tsiqah juga. Dengan
kata lain hadis syadz tidak disebabkan oleh kemenyendirian individu perawi
dalam sanad hadis dan perawi yang tidak tsiqah.
e. Terhindar dari kecacatan (adam illat), adalah sebuah hadis yang didalamnya
terdapat sebab-sebab tersembunyi, yang dapat merusak keshahihan hadis yang
secara lahir tampak shahih.
Hadis shahih terbagi menjadi dua ,yaitu:
a. Shahih lidzatih, adalah hadis yang memuat semua sifat-sifat penerimaan hadis
pada tingkat tertinggi.
b. Shahih lighayrih,hadis yang menjadi shahih karna di dalamnya terdapat satu
syarat yang kurang dipenuhi.
2. Hadis hasan, adalah hadis yang sanadnya bersambung , dinukil oleh periwayat
yang adil namun tidak terlalu dhabit serta terhindar dari syadz dan illat .

20
3. Hadis dhaif,adalah hadis yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis
shahih dan hasan . hadis dhaif terbagi menjadi beberapa macam sesuai dengan
sudut pandangnya :
a. Dhaif dari sudut sandaran matannya (karena keterputusan sanadnya)
1) Hadis mawquf, yaitu hadis yang di riwayatkan dari para sahabat berupa
perkataan,perbuatan, dan taqrirnya.
2) Hadis maqthu, yaitu hadis yang diriwayatkan dari tabiin berupa
perkataan,perbuatan, dan taqrirnya.
3) Hadis mursal , yaitu hadis yang gugur sanadnya setelah tabiin.
4) Hadis muallaq yaitu hadis yang gugur prawinya seorang atau lebihyang
terjadi dari awal sanad. Sesungguhnya hadis muallaq memiliki dua
pengertian: 1)hadis yang dibuat semua jajaran perawi yang terdapat dalam
jalur sanadnya; 2) hadis yang dibuang seluruh rangkaian perawi dalam
sanadnya kecuali sahabat.
5) Hadis mudallas, yaitu hadis yang diriwayatkan menurut cara yang
diperkirakan bahwa hadis itu tidak terdapay penyembunyian cacat yang
dilakukan oleh perawinya.
6) Hadis munqathi, yaitu hadis yang gugur seorang perawinya
sebelumsahabat pada satu tempat atau gugur pada dua tempat yang tidak
berturut-turut.
7) Hadis mudhal, yaitu hadis yang gugur dua perawi atau lebih dalam jalur
sanadnya berturut-turut.
b. Hadis dhaifsebab lain dari keputusan sanad
1) Hadis maqlub, yaitu hadis yang menyalahi riwayat orang yang dipercaya
dengan memutarbalikkan susunan kata atau kalimat.
2) Hadis mudraj, yaitu hadis yang didalamnya terdapat sisipan atau tambahan
(yang tidak berasal dari potongan hadis tersebut, tetapi bisa berasal dari
tafsiran para shabat atau perawi sesudahnya terhadap hadis terebut).
3) Hadis mushahhaf, yaitu hadis yang mengalami perubahan pada titik dan
atau garis pada huru-hurufnya sehingga terjadi kesalahan makna.
4) Hadis syadz, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah tetapi
bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang
lebih tsiqah.

21
5) Hadis munkar, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang dhaif
bertentangan dengan periwayatan yang disampaikan oleh perawi yang
tsiqah.
6) Hadis matruk, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang yang tertuduh
berdusta.
7) Hadis mawdhu, yaitu hadis yang dibuat-buat, diada-adakan, didustakan,
dan dinisbahkan oleh seorang pendusta kepada Rasulullah secara palsu
baik disengaja maupun tidak.

E. Klasifikasi Hadis Dinilai dari Aspek Kehujjahan


1. Hadis Mutawattir
a. Hadis Mutawattir Lafdzi dan Mutawatir Maknawi
Hadis yang memberikan faedah yang qathi baik otoritas kesumberannya
(tsubut) maupun kandungan maknanya, sehingga hadis yang demikian ini
dapat dijadikan hujjah dalam bidang keyakinan agama (akidah).
b. Hadis Mutawattir Maknawi
Hadis ini dapat dijadikan pendukung bagi hadis yang berstatus qathiyang
berfungsi sebagai hujjah.
2. Hadis Ahad
Hadis ahad yang berkualitas shahih dan hasan secara otomatis dapat dijadikan
sebagai dasar agama, namun bidang kehujjahannya sama dengan hadis mutawattir
maknawi, yaitu dalam bidang ibadah, bukn akidah. Berikut beberapa pendapat
ulama fiqh yang berlainan madzhab tentang kehujjahan hadis ahad:
a. Imam Abu Hanifan, ketika perawi hadis berrsifat adil, maka hadis tersebut
dapat dijadikan hujjah pada bidang amaliah, dan bukan pada bidang akidah.
b. Imam Malik, hadis ahad dapat diadikan landasan untuk menetapkan hukum
yang tidak ditemukan dalam al-quran, namun pemakaiannya lebih
didahulukan daripada qiyas dhanni.
c. Imam Syafii hadis ahad dapat dijadikan hujjah bila perawinya memiliki
empat syarat, yaitu berakal, dhabit, mampu menyampaikan hadis tersebut
kapanpun dikehendaki, mendengarlangsung dari nabi dan tidak menyalahi
pendapa para ulama hadis.

22
d. Imam Ahmad ibn Hanbal, pandangan beliau sangat fanatik, bahkan hadis
dhaif pun dipandangnya baik. Karena meskipun bernilai dhaif, akan tetapi
masih ada kemungkinan hadis tersebut berasal dari Rsulullah SAW.

Dalam konteks kehujjahan hadis dhaif, para ulama sepakat bahwa hadis yang
berkualitas dhaif tidak dapat dijadikan hujjah. Akan tetapi tidak semua hadis
dibuang semua. Karena ada beberapa imam yang mangambil hadis dhaif sebagai
hujjah dengan ketentuan masing-masing.

23
BAB VII
HADIS SHAHIH

A. Pengertian Hadis Shahih


Kata shahih berasal dari bahasa arab, yang berarti sehat. Menurut shalih, hadis shahih
adalah hadis yang memiliki beberapa syarat, yaitu sanadnya bersambung, perawinya
bersifat adil, perawinya bersifat dhabit, terhindar dari syadz dan illat.

B. Syarat-syarat Hadis Shahiih


1. Kebersambungan sanad, dapat dinyatakan suatu hadis bersambung sanadnya
apabila memenuhi kriteria tersebut: a. Pada seluruh periwayat dalam sanad itu
terjadi pertemuan langsung antara guru dan murid; b. Antara masing-masing
periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar
telah terjadi hubungan periwayatan hadis menurut ketentuan proses penerimaan
dan periwayatan hadis.
2. Aspek Keadilan Perawi, seorang perawi yang adil itu ialah periwayat tersebut
harus beragama islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama dan memelihara
citra dirinya. Dengan kata lain periwayat ini berkaitan erat dengan kualitas
dirinya.
Ada beberapa cara menetapkan keadilan periwayat hadis hadis, yaitu popularitas
keutamaan periwayat tersebut dikalangan ulama hadis; kelebihan dan kekurangan
yang dimiliki periwayat hadis; penerapan kaedah al-jarh wa al-tadil.
3. Aspek Intelektualitas Perawi (dhabit), seorang perawi dapat dikatakan dhabit
apabila didalam dirinya terdapat sifat-sifat berikut: a. Perawi itu memahami
dengan baik riwayat yang didengarnya dan diterimanya; b. Perawi itu hafal dengn
baik atau menctat dengan baik riwayat yang telah didengarnya; c. Perawi itu
mampu menyampaikan riwayat hadis yang didengarnya dengan baik, kapanpun
diperlukan, terutama hingga saat perawi tersebut menyampaikan riwayat hadisnya
kepada orang lain.
Adapun cara menentukan kedhabitan seorang perawi dapat dinyatakan sebagai
berikut: a. Berdasarkan kesaksian ulama; b. Berdasarkan kesesuaian riwayatnya
dengan riwayat yang disampaikan perawi lain yang telah dikenal kedhabitannya.
4. Terhindar dari kerancuan (syadz), dalam terminologis ilmu hadis, terdapat tiga
pendapat berkenaan dengan definisi syadz: pertama, menurut al-Syafii, suatu

24
hadis dinyatakan syadz apabila diriwayatkan oleh seorang perawi tsiqah
bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh beberapa perawi yang tsiqah
pula; kedua, menurut al-Khalili, hadis dinyatakan sydz apabila hanya memiliki
satu jalur saja, baik diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah atau tidak, baik
bertentangan atau tidak; ketiga, menurut al-Naisaburi, suatu hadis dinyatakan
syadz apabila diriwayatkan oleh seorang perawi yang tsiqah, namun tidak ada
perawi lainnya yang juga meriwayatkan hadis tersebut.
5. Terhindar dari Kecacatan (illat), maksudnya sebab tersembunyi, yang bisa
berdampak pada kualitas hadis sekaligus. Adanya illat bisa menyebabkan hadis
yang pada dasarnya shahih menjadi tidak shahih. Untuk itu, maka dilakukan
beberapa cara untuk mengetahui suatu hadis ada tidaknya illat, yaitu semua sanad
yang berkaitan dengan hadis yang diteliti dihimpun, rangkaian dan kualitas
periwayatan dalam sanad itu diteliti berdasarkan pendapat para kritikus periwayat
dan illat hadis. Illat hadis bisa terjadi pada sanad hadis, matan hadis, ataupun
keduanya sekaligus.

25
BAB VIII

HADIS MAWDHU

A. Pengertian dan Sejarah Munculnya Hadis Mawdhu


Hadis mawdhu adalah hadis yang dibuat-buat, diada-adakan, berupa kedustaan
yang disandarkan kepada Rasulullah SAW.
Mengenai awal munculnya hadis mawdhu terdapat beberapa perdebatan.
Pendapat pertama bahwa hadis nabi telah dipalsukan sejak nabi masih hidup.
Pendapat kedua menyatakan bahwa pemalsuan hadis muncul pada masa khalifah
Usman ibn Affan. Pendapat ketiga, yang dianggap kuat kebanyakan ulama bahwa
pemalsuan hadis muncul pada masa khalifah Ali ibn Abi Thalib. Pada masa terjadinya
pertentangan politik antara Ali dan Muawiyah, para pendukung mereka melakukan
upaya untuk memenangkan perjuangan dan kepentingan politik masing-masing. Salah
satu upayanya, menurut Abdul Karim Al-Khatib adalah pembuatan hadis-hadis palsu.
B. Faktor-faktor Penyebab Munculnya Hadis Mawdhu
1. Pertentangan Politik
Pada masa terjadinya pertentangan politik antara Ali dan Muawiyah, para
pendukung mereka melakukan upaya untuk memenangkan perjuangan dan
kepentingan politik masing-masing. Salah satu upayanya, menurut Abdul Karim
Al-Khatib adalah pembuatan hadis-hadis palsu. Disamping itu, golongn
Abbasiyah juga tidak ketinggalan membuat hadis palsu untuk menopang dan
melegitimasi kelompoknya.
2. Usaha dari musuh islam untuk merusak dan menghancurkan Islam
Ditengah pergolakan politik, mereka kaum kafir zindik berusaha untuk
menghancurkan Islam dengan menyelipkan ajaran batil melalui hadis.
3. Fanatik Kekuasaan, Kebebasan, dan Kultus Individu terhadap Imam dan
Madhabnya
Munculnya hadis palsu tentang kesukuan berawal dari pengaruh abashiyah yang
dipraktikkan oleh Bani Umayyah dalam sistem pemerintahan mereka untuk
mengesankan ketinggian harkat martabat mereka. Adanya hadis palsu juga akibat
fanatisme terhadap pendapat para imam, baik dalam persoalan hukum maupun
teologi.

26
4. Memikat Masyarakat dengan cerita dan Nasehat
Para juru cerita dan pemberi nasehat dipenghujung masa khulafaurrasyidin telah
mulai memalsukan hadis Nabi, untuk menghiasi cerita agar bisa memikat
pendengarnya.
5. Keinginan Seseorang untuk Berbuat Baik
Banyak umat yang dinilai telah semakin jauh mengejar hal-hal yang bersifat
duniawi, sehingga para ahli ibadah dan zuhud mencoba menarik mereka kembali,
dengan jalan membuat hadis-hadis palsu tentang keutamaan al-quran atau
keutamaan ibadah di hari-hari tertentu.
6. Mendekatkan Diri Kepada Penguasa
Mereka yang membuat hadis palsu hanya bertujuan untuk mendapat penghargaan
dan peratian dari para khalifah. Hal ini sangat wajar untuk mendapat perhtian dari
para khalifah, namun sangat tidak sewajarnya apabila cara untuk mendapatkan
perhatian itu dengan merusak kemurnian hadis Rasulullah .
C. Ciri-ciri Hadis Mawdhu
1. Ciri pada sanad
Pengakuan dari seseorang perawi bahwa ia telah memalsukan hadis dan
ia menyebutkan hadis yang dipalsukannya.
Perawi itu tidak pernah bertemu dengan orang yang dikatakannya sebagai
guru.
Kedustaan perawi.
Adanya indikasi yang menunjukkan bahwa hadis itu palsu dilihat dari kondisi
perawi ketika menyampaikannya.
2. Ciri-ciri pada Matan
Kerancuan redaksi
Kerancuan makna, karena bertentangan dengan akal dan tak dapat
ditawilkan; bertentangan dengan dalil akal terhadap Allah; menyalahi
disiplin sebuah ilmu; menyalahi kenyataan empiris dalam kehidupan;
bertentangan dengan fakta sejarah; bertentangan dengan petunjuk al-quran
yang pasti, sunnah yang mutawatir atau ijma yang tidak dapat
dikompromikan; menerapkan pahala yang sangat besar untuk perbuatan
yang sangat ringan.

27
BAB X
INKAR AL-SUNNAH

A. Definisi dan Tipologi


Inkar al-sunnah adalah golongan kaum muslimin yang meragukan kehujjahan dan
menolak as-sunah sebagai sumber syariat islam setelah al-quran.
1. Golongan yang menolak sunnah secara keseluruhan
Alasan mereka menolak sunnah adalah: 1) Al-Quran merupakan kitab suci yeng
berbahasa arab yang sudah tentu menggunakan uslub-uslub bahasa yang bisa
dipergunakan oleh bangsa arab; 2) Al-quran sendiri telah menyatakan bahwa al-
quran itu telah mencakup segala hal yang dibutuhkan oleh manusia mengenai
segala aspek kehidupan.
2. Golongan yang Menolak Sunnah kecuali yang memiliki kesamaan dengan
petunjuk al-quran
Pendapat dari golongan ini, jika dianalisis lebih cermat maka mengandung dua
kemungkinan: 1) mereka menolak hadis kecuali yang sama lafadznya atau
maknanya dengan ayat al-quran; 2) mereka yang tidak menerima sunnah, kecuali
jika ada sandaran hukumnya dalam al-quran.
3. Golongan yang menolak sunnah yang berstatus ahad
Berikut adalah alasan mereka menolak sunnah yang berstatus ahad: 1) hadis ahad
tingkatannya hanya sampai ke dhanni; 2) ada kemungkinan para perawi hadis-
hadis ahad tersebut lupa atau berbuat salah; 3) sejarah sudah membuktikan bahwa
tidak sedikit orang-orang atau golongan-golongan tertentu membuat hadis palsu.
B. Sejarah Perkembangan Inkar Al-Sunnah
Sebenarnya pada masa sahabat sudah ada orang-orang yang kurang
memperhatikan kedudukan sunnah sebagai sumber hukum. Para sahabat menolak
sunnah pada abad ke-2 namun masih bersifat perorangan dan akhirnya mereka
menyadari kekhilafannya menjelang akhir abad ke-2 atau pada masa awal abasiyyah.
Gejala adanya golongan inkar as-sunnah hanya terdapat di Irak saja, tidak diseluruh
negeri-negeri Islam. Sesudah abad ke-2 H, kelompok ini lenyap, namun kemudian
muncul kembali pada abad ke-13 H akibat pengaruh penjajah barat yang menyebar
benih-benih yang berupaya melimpuhkan kekuatan Islam sehingga golongan inkar as-
sunnah ini menyebar ke negara-negara dengan penduduk mayoritas Islam.

28
C. Sunnah di Kalangan Khawarij, Syiah dan Mutazal
Pada dasarnya kelompok khawarij juga menggunakan sunnah sebagai sumber
hukum Islam. Namun pasca peristiwa tahkim pada saat perang shiffin, kelompok
khawarij ini menolak hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah sahabat, terutama
yang terlibat perang shiffin. Menurut al-Salimi, kelompok khawarij lebih
mendhulukan hadis ahad daripada qiyas dalam berhujjah apabila terdapat perlawanan
antara keduanya.
Sedangkan golongan Syiah, mereka hanya menerima hadis Nabi yang
diriwayatkan melalui jalur ahl al-bayt (keluarga Nabi) yang jumlahnya sangat
terbatas.
Adapun kelompok Mutazilah, pada hakikatnya mereka juga menerima hadis
Nabi sebagai hujjah, walaupun dikalangan mereka sendiri menimbulkan kontroversi.
D. Argumentasi Inkar al-Sunnah dan Kontroversinya
1. Argumen Naqli
Diantara argumen naqli yang dimajukan para munkir al-sunnah untuk menolak
kehujjahan hadis adalah:a)Dalam syariat Islam tidak ada dalil kecuali al-Quran;
b)Al-Quran tidak memerlukan penjelasan, justru sebaliknya Al-Quran merupakan
penjelasan terhadap segala hal; c) Ada hadis yang menyatakan bahwa pada suatu
masa akan bertebaran berita yang disandarkan kepada al-quran. Argumen tersebut
dinilai memiliki kelemahan diantaranya: pertama argumen mereka dengan QS.
Al-Anam:38 tidak pada tempatnya,sebab Allah juga menuruh kita untuk
memperpegangi apapun yang disampaikan oleh Nabi SAW; kedua kata tibyan
(penjelasan) dalam QS. An-Nahl:89 mengandung beberapa pengertian: 1) secara
tegas menjelaskan adanya berbagai kewajiban; 2) ayat al-quran menjelaskan
adanya kewajiban tertentu yang sifatnya tidak dikemukakan secara tegas; 3) Nabi
menetapkan surat ketentuan yang dlam alquran ketentuan itu tidak dikemukakan
secara tegas; 4) Allah mewajibkan kepada para Hambanya (yang memenuhi
syarat) untk melakukan ijtihad. ketiga, hadis yang dikemukakan inkar al-sunnah
sebagai argumen untuk menolak sunnah cukup banyak sanadnya.
2. Argumen Aqli (Rasionalitas)
Adapun argumen-argumen yang yang dimajukan oleh golongan inkar al-sunnah
antara lain: a) sejarah mencatat bahwa, sunnah Nabi merupakan sumber
kemunduran islam; b) asal mula hadis nabi yang dihimpun dalam kitab-kitab hadis
hanyalah dongeng; c) kitik sanad yang digunakan untuk menentukan keshahihan

29
hadis dinilai sangat lemah. D) al-quran diwahyukan oleh Allah kepada Nabi
Muhammad dalam bahasa Arab. Argumen argumen tersebut dinilai tidak kuat,
karena memiliki kelemahan yaitu: pertama, ajaran hadis mendorong kemajuan
umat islam, karena Nabi telah memerintahkan agar umat islam bersatu dan
menjauhi perpecahan. kedua, perhatian umat islam terhadap hadis Nabi tidak
hanya pada zaman Tabiin namun sejak zaman Rasulullah. ketiga, memang benar
ilmu jarh wa al-tadil dan teori lainnya tidak lahir pada zaman Nabi dan sahabat.
Keempat, memang benar mayoritas ulama hadis menganggap seluruh sahabat
Nabi bersifat Adil. Kelima, al-Quran memang benar tetulis dalam bahasa Arab.

30
BAB XI
ORIENTALISME DAN HADIS

A. Pengertian Orientalisme
Istilah orientalisme berasal dari kata orient yang berarti timur, dan kata
ism yang berarti paham. Jadi secara bahasa, orientalisme adalah paham tentang
dunia timur/ketimuran. Sedangkan secara istilah, orientalisme adalah salah satu
disiplin keilmuan yang termasuk dalam aliran pemikiran Pencerahan Eropa, yang
mempelajari tentang ketimuran(agama, budaya, bahasa, seni, sastra, dan sebagainya)
yang menekankan pada kajian filologis yang kritis, yang tumbuh subur di barat pada
abad 18-20.
B. Sejarah Muncul dan Berkembangnya Orientalisme
Tradisi orientalisme telah muncul pada penghujung abad ke 18, yakni di
Inggris tahun1779, di Perancis tahun 1799, dan dimasukkan kedalam kamus Akademi
Perancis pada tahun 1838. Orientalisme merupakan salah satu dari aluran pemikiran
pencerahan tersebut, khususnya tentang orientalisme ketuhanan yang lebih dulu
muncul sejak adanya Keputusan Konsili Gereja Viena tahun 131, yang ditandai
dengan dimasukannya bahasa Arab kedalam kajian diberbagai universitas di Eropa.
Adapun motif lahirnya orientalisme, dapat dikategorikan pada motif agama,
politik, ekonomi, dan keilmuan. Dalam perspektif agama, barat dapat dinyatakan
sebagai representasi kristen. Kehadiran Islam yang banyak melakukan koreksi atas
sejumlah ajaran kritiani yang berimplikasi pada kebencian mereka terhadap al-quran.
Secara politik, aneksasi islam terhadap sejumlah wilayah yang berada diwilayah
kekuasaan kristen juga menjadi pemicu tersendiri bagi tumbuhya keinginan kuat Barat
untuk mengembalikan kejayaan dan dan supremasi politiknya. Secara ekonomi,
meluasnya wilayah kolonialisme mengharuskan mereka mencari wilayah untuk
memasarkan produksi dan hasil industrinya.
Tradisi orientalis dapat dikatakan menyebar hampir ke seluruh wilayah Eropa.
Secara periodik, orientalisme yang muncul secara sistematik pada abad ke-18 bisa
dijelaskan sebagai berikut:
Pada abad ke-18, muncul Ecolo des Langues Orientalis Vivantes sebagai
lembaga ilmu yanng mempelajari peradaban Asia di Paris pada tahun 1795, para
orientalis Perancis mengembangkan keahlian dalam bahasa Arab dan baha Islam

31
lainnya, serta di era ini mulai ada upaya-upaya mensistematisasikan warisan sejarah,
budaya, dan ilmiah dari negara-negara islam
Pada abad ke-19, telah ada upaya pelembagaan orientalisme, serta
terbentuknya masyarakat ilmiah yang resmi didirikan untuk memajukan orientalisme
dibanyak negara Eropa dan Amerika Serikat. Juga mulai terdapat pertanyaan tentang
otentisitas dan orisinalitas hadis, bahkan menjadi isu pokok dalam studi islam,
khususnya menyangkut hukum islam.
Pada abad ke-20, orientalisme telah mencapai `puncak kekuasaan dan
pengaruhnya, yang ditandai dengan banyaknya lembaga-lembaga orientalisme.
C. Berbagai Teori dan Asumsi Orientalis tentang Hadis dan Bantahan Sarjana
Muslim
1. Asumsi Skeptis, asumsi yang meragukan otentisitas hadis Nabi.
a. Ignaz Goldziher, menurutnya hadis bukanlah sumber terpercaya bagi masa-
masa awal islam, namun hanya sebagai sumber yang bernilai bagi dogma,
konflik, dan perhatian Muslim belakangan yang telah menyebarka hadis.
b. Joseph Schacht, asumsi-asumsi Schacht adalah: 1) hukum islam bukanlah
seperangkat norma yang diwahyukan , melainkan sebagai fenomena historis
yang berkaitan erat dengan relitas sosial; 2) jika hukum islam merupakan
relitas historis, maka sumbernya juga merupakan akibat dari proses
perkembangan historis; 3) adopsi tradisi non-islam semakin berkembang
ketika teritorial islam mencapai luar jazirah arab; 4) pengangkatan hakim-
hakim era umayah ditengarai mendorong upaya penyandaran keputusan
berdasarkan sunnah dari Nabi; 5) munculnya kelompok ahli hadis ternyata
justru menjadi justifikasi bagi berkembangnya aliran fiqih.
c. G.H.A Juynboll, asumsinya adalah: 1) semakin banyak jalur periwayatannya,
semakin besar pula seorang periwayat dan periwayatannya memiliki klaim
kesejarahan; 2) periwayat yang dianggap sebagai common link bertanggung
jawab atas jalur tunggal yang kembali kepada sahabat atau nabi; 3) posisi
common link adalah sebagai originator (pencetus) atau fabricator (pemalsu)
isnad dan matan hadis yang kemudian disebarkan kepada muridnya.
2. Asumsi non-Skeptis, asumsi yang tidak meragukan otentisitas hadis Nabi. Tokoh
pendukung asumsi ini adalah Nabia Abbot yang berpandangan bahwa terdapat
bukti-bukti konkrit yang menunjukkan adanya pencatatan hadis sejak kurun

32
pertama hijriyyah, yakni sejak Nabi SAW masih hidup. Dan ia pun berpendapat
bahawa ada tradisi tulis menulis selain al-Quran.
3. Asumsi Middle Ground, asumsi yang menengahi skeptis dan non-skeptis. Asumsi
ini diwakili oleh Harald Motzki, ia berpendapat bahwa al-quran dan hadis telah
dipelajari sejak abad ke-2 hijriyah, atau bahkan sejak Nabi SAW masih hidup, dan
para fuqaha Hijaz terbukti telah menggunakan hadis-hadis sejak abad pertama
hijriyah dan kecil sekali kemungkinan terjadinya keberagaman data periwayatan
itu merupakan hasil pemalsuan yang terencana.

33
BAB XII
PENELITIAN HADIS

A. Urgensi Penelitin Hadis


Ada beberapa argumen yang mendasari pentingnya penelitian hadis, yakni
posisi hadis sebagai sumber hukum islam kedua dan terkait dengan historisitas hadis.
Argumen historis ini mencakup alasan karena tidak semua hadis tertulis dimasa Nabi
SAW; secara faktual telah terjadi pemalsuan hadis; proses kodifikasi hadis cukup
lama; jumlah kitab hadis yang banyak dengan metode dan kualifikasi penyusunan
yang beragam; telah terjadi proses tranformasi hadis secara makna.
B. Penelitian Sanad dan Prosedur Penerapannya
1. Sanad Bersambung, adalah setiap periwayat dalam hadis menerima riwayat hadis
dari periwayat t rdekat sebelumnya, hal ini memastikan bahwa matan hadis
tersebut berasal dari Nabi. Prosedur yang dipakai adalah: 1) mencatat semua
perawi dalam sanad; 2) mempelajari biografi dan aktivitas keilmuan setiap perawi;
3) meneliti kata-ata untuk menghubungkan antara perawi dengan perawi terdekat
dalam sanad untuk memastikan bahwa satu perawi pernah bertemu dengan perawi
lainnya.
2. Perawi Bersifat Adil, Adilnya seorang perawi memiliki empat kriteria, yaitu
Islam, mukallaf, tidak fasiq, dan senantiasa menjaga citra diri dan martabatnya.
Metode yang digunakan untuk menetapkan perawi yang adil adalah: 1) popularitas
keutamaan dan kemuliaan perawi dikalangan ulama hadis; 2) penilaian dari
kritikus perawi yang mengungkap aspek kelebihan dan kekurangan yang ada pada
rawi yang bersangkutan; 3) penerapan kaedah al-jarh wa al-tadil yang dipakai
ketika kritikus perawi tidak sepakat dalam menilai kualitas seorang perawi.
3. Perawi bersifat dhabit, sifat dhabitdiketahui melalui tiga hal, yaitu tidak banyak
lupa dalam meriwayatkan sebuah hadis, masih hafal ketia meriwayatkan dengan
makna. Metode dalam menetapkan kedhabitan seorang rawi adalah: 1)
berdasarkan kesaksian ulama; 2) berdasarkan kesesuaian riwayatnya degan
riwayat yang disampaikan perawi lain yang terkenal kedhabitannya menyangkut
makna dan harfiahnya saja.
4. Terhindar dari syadz, maksudnya hadis tertentu diriwayatkan oleh seorang
periwayat tsiqah yang bertentangan dengan periwayat yang lebih banyak yang
tsiqah. Metode mengetahui keadaan tsiqahsuatu hadis adalah:

34
a. Semua sanad yang memiliki matan hadis yang pokok masalahnya
dikumpulkan menjadi satu dan kemudian dibandingkan.
b. Para perawi dalam setiap sanad diteliti kualitasnya .
c. Apabila dari seluruh perawi tsiqah ternyata ada seseorang perawi yang
sanadnya menyalahi sanad-sanad yang lain,maka dimaksudkan sebagai hadis
syadz
5. Terhindar darii Illat
Illat adalah cacat yang tersembunyi yang merusakkualitas suatu hadis.metode
kritik untuk mengetahui illat dapat ditinjau dari beberapa bentuk sebagai berikut:
a. Sanad yang tampak mutashil dan marfu ternyata muttasil dan mawquf.
b. Sanad yang tampak muttashil dan marfu ternyata muttasil dan mursal.
c. Terjadi pencampuran hadis dengan bagian hadis yang lain.
d. Terjadi kesalahan dalam menyebutkan perawi.
C. Penelitian Matan
1. Sejarah Munculnya Kritik Matan
Kritik matan sebenarnya sudah dilakukan pada zaman Nabi, walaupun masih
sangat sederhana. Para sahabt datang menemui Nabi untuk melakukan pengecekan
kebenaran dan melakukan konfirmasi dan konsultasi atas keabsahan suatu matan
hadis yang diterimanya.
Kritik matan yang dilakukan pada zaman sahabt, dilakukan atas hadis yang
diriwayatkan oleh salah satu yang tidak menerima langsung dari Nabi, melainkan
dari sahabat lainnya.
2. Tata Cara Kritik Matan
a. Meneliti matan dengan melihat kualitas sanad, dalam hubungannya dengn
kualitas hadis melahirkan beberapa kemungkinan, yaitu sanadnya shahih dan
matannya shahih, sanadnya shahih dan matannya dhaif, sanadnya dhaif dan
matannya shahih, sanadnya dhaif dan matannya dhaif.
b. Meneliti susunan matan yang semakna, hal ini disebabkan dalam periwayatan
hadis telah terjadi periwayatan semakna. Perbedaan lafadz yang tidak
mengakibatkan terjadinya perbedaan makna, asalkan sanadnya sama-sama
shahih, maka hal ini dapat tetap ditolelir.
c. Meneliti kandungan makna, langkah pertama yang dapat dilakukan adalah
mempertahankan matan-matan atau dalil-dalil lain yang mempunyai masalah

35
yang sama. Apabila sanadnya memenuhi kriteria shahih, maka barulah
kegiatan muqaranah kandungan matan-matan tersebut dilakukan.
D. Kriteria Penilaian Keshahihan Matan
Al-Khatib al-Bagdadi menjelaskan bahwa matan hadis yang maqbul adalah
matan yang memiliki indikator sebagai berikut: Tidak bertentangan dengan akal sehat;
Tidak bertentangan dengan hukum al-Quran yang telah muhkam; Tidak bertentangan
dengan hadis mutawattir; Tidak bertentangan dengan amalan yang menjadi
kesepakatan masa lalu; tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti; tidak
bertentangan dengan hadis yang kwalitasnya keshahihan lebih kuat.
E. Prosedur Operasional Penelitian Hadis
1. Penelitian sanad hadis melalui sistem komputer
2. Penelitian hadis melalui koleksi kitab
a. penelitian sanad
b. penelitian matan
c . mengambil kesimpulan akhir

36
IDENTITAS BUKU

Judul Buku : Kajian Kritis Ilmu hadis

Penerbit : UIN-Maliki Press

Penulis : Dr. Hj. Umi Sumbulah

Tahun terbit : 2010

Halaman : 207

IDENTITAS PERESUME
Nama : Eka Risma Handayani

NIM : 1415105031

Smt/Jrs : 2/T.MTK A

Tugas : Tugas Mandiri (Resume)

Mata Kuliah : Pengantar Studi Hadis

Dosen : Wahyudin, S.Ag, M.Pd.i

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI

CIREBON

2015/201

37

Anda mungkin juga menyukai