Anda di halaman 1dari 6

Al-Kitab Al-Rabi` Qiyas.

Adalah mengarahkan sesuatu yang (berpotensi) diketahui (kasus yang belum ada nashnya) pada sesuatu yang telah diketahui (kasus yang sudah ada nashnya), karena ada titik persamaan illat hukum, menurut (sudut pandang) si pengarah.Jika definisi qiyas ini hanya diperuntukkan untuk qiyas shahih1 saja maka poin terakhir dari definisi diatas (yaitu; menurut si pengarah) harus dibuang.Qiyas dapat dijadikan hujjah dalam masalah yang terkait dengan masalah duniawi dan juga masalah lain diluar duniawi. Ini pendapat menurut Al-Ashahh.Qiyas tidak bisa dijadikan hujjah dalam masalah yang terkait dengan adat kebiasaan, sifat-sifat bawaan manusiawi, dan juga tidak bisa digunakan dalam semua (kasus) hukum. Begitu juga menurut pendapat al-Ashahh; dilarang melakukan qiyas terhadap sesuatu yang telah dihapus (dinasakh).Penegasan adanya illat2 bukan berarti hal itu perintah untuk melakukan qiyas. Ini menurut Al-AshahhRukun Qiyas ada empat Pertama, Asal,Menurut Al-Ashahh bahwa asal adalah tempat hukum (kasus) yang diserupakan3.Asal tidak disyaratkan haruslah mengandung indikasi kebolehan menqiyaskan pada naunya (bagian-bagian) atau syakhs (person-personnya)4. Dan juga tidak disyaratkan harus ada kesepakatan bahwa asal tersebut mempunyai illat.Rukun yang kedua adalah hukum Asal Syarat hukum Asal; ketetapan hukum asal tidak diperoleh dari proses Qiyas, walaupun telah diijmaI Ulama.Hukum Asal tidak berupa hukum yang telah dipastikan taabbudiy. Ini menurut salah satu pendapat.Hukum Asal jenisnya sama dengan hukum faru.Hukum Asal tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan Qiyas.Dalil Hukum Asal tidak mencakup langsung pada hukum faru Hukum Asal telah disepakati setidak-tidaknya oleh dua kubu. Ini menurut pendapat al-Ashahh.pendapat al-Ashahh, tidak disyaratkan adanya perbedaan Umat dalam penentuan hukum Asal.Jika dua kubu sepakat pada hukum asal, namun berbeda dalam penentuan illatnya, maka disebut murakkab al-asal. Atau (dua kubu tersebut sepakat pada hukum asal, namun berbeda pendapat) dalam keberaadaan illat pada asal, maka disebut murakkab al-wasfh. pendapat al-Ashahh, dua Qiyas diatas tidak diterima5.Jika kubu yang tidak setuju pada illat, menerima illat, lantas kubu yang membeberkan illat, menetapkan bahwa itulah illatnya, maka dalil (untuk melakukan Qiyas) telah bangkit (bisa diteruskan) .Dan jika dua kubu tidak sepakat pada hukum asal dan illat, lantas pihak yang mampu menampilkan illat hendak menetapkannya (secara sepihak, tanpa menunggu pengakuan kubu penentang) sebagai hukum asal, atau juga menetapkan illatnya, maka keinginan tersebut bisa diterima. Ini menurut pendapat al-Ashahh.Menurut pendapat al-Ashahh, Tidak disyaratkan adanya kesepakatan bahwa hukum asal tersebut mempunyai illat, atau ada penegasan terhadap illatnya.Rukun yang ketiga adalah faru. Menurut pendapat al-Ashahh, faru adalah tempat yang akan diserupakan (kasus yang tidak ada nashnya) Pendapat mukhtar, bahwa faru bisa ditentang hal-hal yang dapat mengantarkan pada hukum kebalikannya, sedang cara untuk menghilangkan pertentangan dilakukan dengan cara tarjih. Tarjih yang hendak akan diambil tidak perlu diisyarahi oleh dalil tersebut.Syarat fau : illat dalam faru tersebut harus utuh (benar-benar ada dan nyata).Jika illat tersebut telah qathiy, maka qiyas qathiy, dan jika illat masih zhonniy, maka qiyas zhonniy, atau lebih rendah lagi (masykuk atau mauhum) seperti apel diqiyaskan pada gandum dengan titik illat persamaan berupa makanan.Dan, harus tidak ada bukti yang dapat membantah dan tidak ada bukti kuat yang dapat meruntuhkan illat tersebut.Demikian juga tidak ada khabar ahad yang membantahnya. Ini menurut pendapat al-Ashahh.Kecuali untuk kepentingan pertimbangan.Hukum faru (yang akan qiyaskan) harus sama dengan hukum asal.Hukum faru tidak mendahului hukum asal, sekiranya jika memang tidak ada dalil.Tidak (disyaratkan) ketetapan hukum faru diperoleh melalui Nash secara umum .Dan (juga tidak disyaratkan) tidak ada nash atau ijma yang sesuai (dengan qiyas tersebut). Ini merupakan pendapat yang dipilih6. Yang keempat adalah illat Pendapat al-Ashahh, illat adalah hal yang dapat menentukan hukum.Hukum asal, ditetapkan melalui (gara-gara) illat .illat kadang (berbentuk) menolak hukum, atau menghilangkan hukum, atau bahkan menolak dan menghilangkan hukum sekaligus .(illat adalah) sifat yang nyata, jelas, terkriteriai, atau kebiasaan yang sudah biasa berlaku. Demkian juga, illat bisa berbentuk sifat kebahasaan, atau hukum syariy, sifat murakkab (tersusun dari susunan beberapa sifat). Ini merupakan pendapat alAshahh.Syarat agar bisa melakukan analogi dengan illat tersebut adalah bahwa illat tersebut mengandung hikmah yang dapat dilaksanakan (dirasakan) dan dapat memunculkan maslahat secara nyata sebagai pijakan hukum.Anti-illat adalah sifat konkret, yang dapat merusak hikmah illat.Pendapat al-Ashah, bahwa illat tidak boleh berupa hikmah itu sendiri, mengingat hikmah tidak bisa dikriteriai,Dan juga tidak boleh berupa sifat yang abstrak pada kasus hukum yang konkret.Boleh membuat illat dengan sebuah sifat yang tidak tampak pada hikmahnya.Hukum tetap bisa ditetapkan kalaupun sudah dipastikan tidak ada hikmah (disana), karena keberadaan mazhinnah/illat (jika illat ada, namun hikmah tidak ada, maka bisa hukum tetap ada).Menurut al-Ashahh, (tetap) boleh menjadikan illat dengan illat yang terbatas, karena keberadaan illat tersebut merupakan keberadaan hukum itu sendiri, atau sebagian hukum, atau sifat yang khusus .Termasuk kegunaan (mengetahui) illat adalah mengetahui keselerahasan (antara hukum dan tujuan) serta menguatkan nash.(pendapat al-Ashahh, boleh membuat illat) dengan sebutan laqab, musytaq dan dengan beberapa illat syariyyah.Membuat illat dengan beberapa illat itu benar terjadi, sedang membuat illat dengan satu illat saja mungkin dan benar-benar terjadi, baik dalam bentuk penetapan hukum seperti kasus pencurian atau meniadakan hukum seperti haid.Untuk bolehnya melakukan analogi disayaratkan bahwa ketetapan illat tersebut muncul belakangan daripada ketetapan hukum asal. Ini merupakan pendapat al-Ashahh.illat yang hendak ditetapkan tidak boleh kembali pada asal dengan pembatalan (artinya, dikroscheck pada asal, kok ternyata asal tersebut tidak mempunyai illat tersebut). (tapi) boleh jika illat tersebut kembali pada qiyas dengan cara takhsish. Ini menurut pendapat al-Ashahh. (jika 1 Qiyas dibagi menjadi dua ada qiyas shahih dan qiyas fasid. 2 Misalnya sebuah Nash menyebutkan hokum sekaligus alasan (illat) kenapa hokum tersebut begitu? 3 pendapat lain ada yang mengatakan bahwa asal adalah dalil hukm itu sendiri, ada juga yang bilang hokum yang diserupakan itu sendiri. 4 Ada tiga komponen dalam implementasi hukum yaitu ada jinsul hukm, nau al-hukm, dan syakhs al-hukum 5 karena pada Qiyas pertama, ada perbedaan pendapat dalam penentuan illatnya pada faru, sedang pada Qiyas kedua ada perbedaan pendapat dalam penentuan illat pada asa. 6 Artinya boleh-boleh saja tetap melakukan qiyas, walaupun sudah ada dalil lain berupa nash atau ijma. Alasan kebolehan ini didasarkan karena bolehnya terdapat banyak dalil dalam satu kasus. Namun, perlu dipertimbangkan pendapat muqabil mukhtar. muqabil mukhtar berpendapat bahwa faru yang hendak diqiyaskan tidak boleh ada dalilnya, karena jika telah ada dalilnya, maka qiyas tidak dibutuhkan lagi. Bukankah qiyas dilakukan karena tidak ada dalil?

illatnya mustanbathah) illat mustanbathah tidak boleh bertentangan dengan sesuatu yang dapat meniadakan keberadaannya pada asal (illat) tidak boleh bertentangan dengan nash ataupun ijma.illat mustanbathah tidak boleh lebih (luas) daripada nash atau ijma, yang bertentangan dengan kehendak nash atau ijma.illat harus mutaayyan (tertentu) .illat tidak boleh berupa sifat yang (masih) dikira-kira.Dalil illat tidak boleh mencakup pada hukum faru baik secara umum ataupun secara khusus (artinya dalil illat tersebut tidak langsung menunjukkan pada hukum faru).(dalam kasus illat yang mustanbathah) illat tersebut tidak dipastikan keberadaannya pada hukum asal (karena kalau dipastikan maka bukan mustanbathah lagi namanya) .(tidak disyaratkan) kepastian adanya illat tersebut pada faru (tidak disyaratkan) tidak bertentangan dengan madzhab sahabat Nabi (tidak disyaratkan) tidak ada yang menyanggah illat tersebut. Ini menurut pendapat al-Ashahh.Yang dimaksud penyanggah disini adalah sebuah sifat yang layak jadi illat, sebagaimana layaknya sifat yang akan disanggah (menjadi illat) dan menyebabkan perbedaan pada faru seperti sifat (berupa) makanan beserta takaran dalam kasus qiyash gandum dan apel.Pendapat al-Ashahh, bahwa tidak pihak yang menyanggah, meniadakan sifat dari faru, serta menampilkan asal.Sedang bagi mustadil (pihak yang berargumen pada illat) boleh menolak dengan cara tidak menerimanya (sebagai illat).dan dengan cara menjelaskan kemandirian sifatnya dalam satu bentuk (deskriptif), walaupun dengan penjelasan zhohir (dalam redaksi) am, jika tidak menyinggung-nyinggung pada pengumuman.Dan (menjelaskan) dengan pengaruh, atau keserupaan jika tidak berupa sabr (wa taqsiim).Jika mustadil (orang yang berargumen pada sebuah illat) berkata pada mutarid (orang yang menentang pada illat) hukum telah bisa ditetapkan tanpa keberaadan sifat (illat yang diajukan olehmu) maka tidak cukup (artinya masih harus ditawarkan pada pihak penentang, bahwa sifat itulah yang pas dan pantas menjadi illat), walaupupn sifat (illat) tersebut benar-benar dijumpai oleh mustadill.Jika mutarid menampikan sebuah sifat yang dapat menyiakan illat, maka ini disebut dengan taaddud al-wadlI, dan (berkonsekuensi pada) kehilangan faedah meniadakan illat. (Ketentuan ini berlaku) selama mustadil tidak meniadakan pada pergantian, tanpa ada klaim keteledoran mutarid, atau lemahnya makna illat tersebut, dan mustadil menerima bahwa pergantian tersebutlah sebagai mazhinnah hukumnya. Menurut sebuah pendapat lain, bahwa gugatan adanya keteledoran serta adanya kelemahan makna illat (dengan sendirinya menjadi) sebuah pengabaian (pada apa yang disampaikan oleh mutaridl) Tidak cukup (untuk memenangkan perdebatan penetapan illat) keunggulan sifat yang diajukan oleh mustadill (tapi harus mengalahkan).(Boleh saja mutarid) mengajukan keberatan dengan mengajukan (sebuah sifat) yang berbeda jenis hikmahnya.Dan jika (keberatan yang diajukan mutarid) sisi kesamaannya sama (antara asal fan faru) maka dijawab dengan membuangkan kekhususan pada asal, dari (sebagai) pertimbangkan (pantas atau tidaknya menjadi illat).Jika illat berupa (keberadaan) mani atau tidak ada syarat, maka illat tersebut tidak pasti berkonsekuensi pada keberadaan yang dikehendaki. (artinnya, jika ada mani maka tidak ada hukum, dan jika tidak ada syarat maka tidak ada hukum) Ini menurut pendapat al-Ashahh.Cari-cara mencari Illat,Pertama, Ijma (illat tersebut telah diijmai) .Yang kedua, penegasan yang shorih, seperti pernyataan li illati ka dza, li sababi, min ajli, atau seperti kay dan idzan. Dan juga penegasan zhohir, seperti lam yang zhohir, kemudian lam yang dikira-kira, kemudian ba, kemudian fa dalam redaksi ungkapan syari, kemudian perawi, kemudian faqih, kemudian lainnya. Kemudian in, idz, dan semua huruf yang dijelaskan pada bab Huruf.Ketiga Ima, yaitu pembersamaan (penyebutan) sebuah sifat (alasan) dengan hukumnya, walaupun (hukum tersebut masih akan) digali, andaikata penyebutan sifat (alasan)tersebut tidak berfaedah pada illat atau konsideran hukum, maka niscaya (pembersamaan) menjadi jauh, seperti ketetapan hukum dari syari setelah mendengar ada sebuah sifat (alasan).Penyebutan sebuah sifat (alasan) yang dilakukan oleh syari, andaikata tidak (dimaknai) sebagai illat, niscaya tidak akan berfaedah apa-apa,Pembedaan (dilakukan oleh Syari) pada dua hukum, (dua hukum tadi masing-masing dibedakan) dengan sifat (alasannya) sekaligus menyebut satu-satu per satu hukumnya, atau menyebut salah satu hukumnya, atau (dua hukum tadi masing-masing dibedakan) dengan syarth, ghayah, istitsna, atau istidrak, Urutan (penyebutan) hukum terjadi (setelah penyebutan) sifat Pelarangan (oleh syari) yang dapat meniadakan apa yang inginkan (diperintahkan).(dalam ima) tidak disyaratkan adanya keselarasan (ima) dengan yang diisyarahi. Ini menurut pendapat al-Ashahh .Keempat, Sabr wa al-Taqsiim, yaitu menginventarisir sifat-sifat asal (yang mungkin menjadi illat) dan membatalkan (membuang) sifat-sifat yang tidak layak (menjadi illat) hingga tertentu pada yang tersisa (maksudnya : yang tersisa itulah yang layak dan pantas menjadi illat) . (dalam hal untuk menolak sanggahan yang terhadap beberapa sifat yang diinventarisir oleh mutaridl ) cukuplah sebuah ungkapan mustadil saya sudah menelitinya, dan saya tidak menemukannnya Pada dasarnya tidak ada lagi sifat-sifat lain (yang masih bisa dinventarisir lagi).Pemikir mengembalikan dasar penelitian illatnya pada dugaannya. Jika (penelitian dalam) inventarisir dan membuang tersebut qathiy, maka metode (yang ditempuh dalam mencari illat) pun menjadi qathiy juga dan jika tidak, maka zhanniy. Metode masalik yang zhanniy (dapat) dijadikan sebagai hujjah. Ini menurut pendapat al-Ashahh.Jika mutaridl (masih saja bersikukuh) menampikan sifat (alas an) yang lebih, maka pihak mustadil tidak dibebankan menjelasakan layak tidaknya (sifat yang telah ditetapkan) sebagai sebuah illat .Seorang mustadill tidak berhenti (menginventarisir berbagai macam sifat) hingga dia sendiri tidak mampu untuk membatalkannya (membuangnya) Jika mustadil dan mutarid sepakat membatalkan selain dua sifat (illat yang diperdebatkan) maka mereka berdua cukukp (memfokuskan diri dalam) mendiskusikan dua sifat (illat) tersebut.Salah satu cara membatalkan sifat (yang mungkin menjadi illat) adalah memperjelas bahwa sifat tersebut bersifat sentrifugal (terdiri dari dua kutub yang sama berlawanan), seperti tinggi (atau pendek) atau juga seperti kelaki-laki-an dalam kasus memerdekaan budak.Termasuk juga (salah satu cara membatalkan sifat yang mungkin menjadi illat) adalah sifat yang dibuang tidak justeru) menampakkan keselarasan (yang diharuskan antara illat dan hikmah). (artinya, pembuangan sifat tersebut tidak berpengaruh apa-apa pada keselarasan yang diinginkan dalam illat dan hikmah) (dalam kasus ketiadaan penampakan munasabah) cukup ungkapan mustadil saya sudah menelitinya, namun saya tidak menjumpai hal-hal yang dapat memberikan dugaan (persepsi) munasabahDan jika pihak mutaridl menggugat bahwa sifat (illat) yang ditetapkan ternyata sama saja (tidak mempunyai aspek munasabah), maka pihak mustadilpun tidak perlu untuk menjelaskan aspek munasabahnya, namun mustadil boleh menggunnggulkan penelitian sabr wa al-taqsimnya dengan (aspek) kesesuaian tadiyah (dapat dijalarkan pada faru).Kelima, munasabah, proses untuk memunculkan munasabah disebut dengan takhriij al-manath .Munasabah adalah menentukan illat dengan cara memunculkan keselarasan secara bersamaan antara illat dan hikmah seperti sifat (alasan) memabukkan.Proklamasi sifat (yang akan dijadikan sebagai illat) dengan meniadakan sifat-sifat lain (yang tidak pantas menjadi illat) diwujudkan melalui sabr.Munasib adalah sifat, yang telah jelas, yang terkriteriai, yang secara rasional dapat mewujudkan apa-

apa yang (memang) layak dikehedanki (tujuan) oleh syari, (tujuan tersebut) berupa menggapai kemaslahatan atau mencegah kemafsadatan (kerusakan).Jika sifat tersebut samar atau tidak bisa dikriteriai maka yang diperhitungkan adalah sesuatu yang dapat memastikannya yaitu mazhinnah.Ketercapain tujuan dari pensyariatan hukum, kadang-kadang telah pasti seperti (perpindahan) kepemilikan dalam jual beli, atau (dugaan) sangat kuat seperti (membuat) efek jera dalam qishash, atau masih relatif sama seperti (membuat) efek jera dalam had khamr, atau justeru tujuan syariat tersebut sangat lemah seperti regenerasi dalam pernikahan budak .Pendapat alAshahh, boleh menjadikan illat pada dua illat terakhir (illat yang munasabahnya masih relatif atau sangat lemah).Menurut pendapat al-Ashahh. Jika (tujuan syariat) tersebut tidak ada sama sekali, maka sifat (illat) tersebut tidak bisa diperhitungkan. Baik dalam kasus yang masih mengandung unsure taabbudiy seperti istibra, budak yang dibeli seketika, atau juga dalam kasus yang tidak mengandung unsure taabbudiy seperti ketetapan nasab seorang anak dari (orangtua yang berada di) timur dan barat.Munasib adalah (tiga, yaitu) dlaruriy, hajiy dan tahsiniy .(yang) dlaruriy yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, harta dan kehormatan. Dan (sama) seperti dlaruriy, hal-hal yang dapat menyempurnakan sifat dloruriy tersebut, seperti mengdera sebab sedikit minum benda yang dapat memabukkan.(yang) hajiy seperti jual-beli, sewa-menyewa. jual-beli, sewa-menyewa dapat (berubah) menjadi dlaruriy seperti melakukan jual-beli, sewa-menyewa untuk mendidik anak. (Termasuk juga dalam hajiy) hal-hal yang dapat menyempurkan hajiy seperti khiyar dalam jual-beli .(yang) tahsiniy (ada dua) yaitu bertentangan pada kaedah (umum) seperti akad kitabah dan tidak bertengan pada kaedah (umum) seperti menghapus hak persaksian bagi budak .Kemudian (klasifikasi yang lain) munasib, jika sifat utama dapat memperhitungkan (pengaruh) pada hukum utama baik dengan nash ataupun ijma maka disebut dengan (munasib) muattsir, atau juga dengan (adanya) rentetatan dan runtutan hukum setelah adanya sifat (illat tersebut).Jika illat utama dapat memperhitungkan pada hukum sejenis, atau sebaliknya (illat sejenis dapat memperhitungkan hukum utama, atau illat sejenis dapat memperhitungkan pada hukum sejenis maka disebut (munasib) mulaim.(namun jika illat tersebut tidak memperhitungkan adanya hukum) maka disebut dengan gharib.Jika syariat tidak memperhitungkan, jika ada bukti bahwa illat tersebut diabaikan maka tidak bisa dibuat menjadi illat, namun jika tidak ada dalil (bahwa illat tersebut diabaikan) maka disebut dengan (munasib) mursal. (namun) mayoritas Ulama menolak pada (munasib) mursal.(munasib) mursal tidak dapat memunculkan kemaslahatan dlaruriy, universal, dipastikan, ataupun juga dugaan kuat yang dekat dari maslahat.(sedang) maslahat sendiri adalah kebenaran universal dan lagi pasti.Munasabah (maslahat) menjadi gugur sebab (keberadaan) mafsadat yang dipastikan keunggulannya, atau (mafsadat) hanya menyamai maslahat. Ini menurut pendapat al-AshahhKeenam adalah syibh (kemiripan).Yaitu kemiripan sifat (illat) dengan munasib dan thardiy. Sifat yang mirip inipun disebut juga dengan syibh.Syibh berada diantara ditengah-tengah antara munasib dan thardiy. Ini menurut pendapat al-Ashahh.Jika masih bisa melakukan qiyas illat (dengan cara munasib) maka qiyas syibh ini tidak menjadi pilihan.Namun, jika qiyas illat tidak bisa, maka qiyas syibh ini bisa menjadi hujjah pada selain (keserupaan dalam) bentuknya saja. Ini menurut pendapat al-Ashahh.Diatas qiyas syibh terdapat qiyas dengan yang didalamnya ada satu asal, kemudian (dibawahnya) syibh dalam hukum dan sifatnya, kemudian (dibawahnya) syibh dalam hukum, kemudian (dibawahnya) syibh dalam sifatnya (saja).Ketujuh adalah dauran, yaitu (validasi) ada hukum jika ada sifat (illat) dan tidak ada hukum tidak jika tidak sifat (illat). Hukum bergantung pada ada atau tidak adanya illat Dauran dapat melahirkan dugaan kuat. Ini menurut pendapat al-Ashahh.Mustadill tidak perlu menjelaskan ketiadaan sifat yang lebih utama (bagus) daripada dauran.Sisi dauran dapat terunggulkan (dengan sendiriya) dengan (kemampuannya dapat) menjalar, jika mutaridl menampilkan (tawaran) sifat (illat) lain.Menurut pendapat al-Ashahh bahwa jika sifat (illat tersebut) dapat menjalar pada faru, dan yang dikehendaki oleh dua sifat tersebut sama, atau juga dapat menjalar pada faru lain, maka mustadill tidak diharuskan melakukan tarjih7.Kedelapan, at-Thardu (membuang) yaitu keberadaan hukum dan sifat yang tidak mempunyai munasabah. (Cara masalik) ini banyak ditolak oleh banyak Ulama,Kesembilan, tanqiih al-Manath yaitu penunjukan sebuah nash yang telah jelas pada sebuah sifat (illat).(oleh karena sudah ada penunjukan nash yang sudah jelas pada illat) maka memperhitungkan kekhususan sifat (illat) tersebut dibuang dengan cara ijtihad dan hukum didasarkan pada yang lebih umum.Atau (dalam kasus tersebut) mengandung banyak sifat, maka yang sebagian dibuang (dan sebagian yang dipilih menjadi illat), dan hukum didasarkan pada yang tersisa itu.Tahqiiq al-Manath adalah menetapkan illat pada sebuah bentuk (kasus faru) seperti menetapkan bahwa orang yeng mengambil kain kafan dari kuburan sebagai pencuri. Sedang takhriij al-Manath telah berlalu (penjelasannya).Kesepuluh, ilgha al-fariq yaitu seperti menganalogikan budak perempuan dengan budak laki-laki dalam kasus sirayah.Ilgha al-fariq, dauran, dan al-thardu berakar pada macam syibh.Penutup (tentang dua masalik yang lemah).Tidak ada qiyas dengan keillatan sebuah sifat (illatnya yang diqiyaskan), dan juga tidak ada qiyas (karena) ketidakmampuan meruntuhkan dalil illat. Ini menurut pendapat al-Ashahh .Hal-hal yang dapat merusak dalil Termasuk Qawadih, yaitu keterlambatan hukum (hukum tak langsung muncul) dari illat mustanbathah, tanpa ada mani atau tidak ada syarat. Ini menurut pendapat al-Ashahh.Perbedaan (mengenai keterlambatan hukum dapat menjadi qawadih bersama mani atau tanpa ada mani) merupakan perbedaan maknawiy (esensional).termasuk dalam perbedaan esensional adalah adanya keterputusan (dalam menetapkan illat), dan rusakya munasabah sebab ada mafsadat. Dan juga selain hal tersebut (masih ada lagi yang masuk dalam qawadih) Jawabannya (bahwa keterlambantan hukum dari illat masuk sebagai Qawadih) adalah tertolaknya keberadaan illat, atau tidak ada hukum, jika ketiadaan hukum muncul dari kubu mustadil, atau menjelaskan unsur maninya, atau menjelaskan ketiadaan syarat .(pada saat illat yang diajukan oleh mustadill ternyata illat takhalluf) mutaridl tidak lantas boleh beristidlal atas keberadaan illat (pada sifat yang diajukan), karena perpindahan dari posisi sebagai menentang (oposisi) menuju istidlal. Ini menurut mayoritas Ulama.Jika mustadil menunjukkan pada keberadaan illat dengan (bukti) yang ada, pada masalah yang dibatalkan, lantas mutarid tidak menerima keberadaan illat, lalu mutarid berkata argumen-argumen Anda telah batal, maka tidak dapat didengar (diterima) karena perpindahan mutaridl dari membatalkan illat pada membatalkan dalil illat .Mutaridl tidak bisa beristidlal dengan (alasan) keterlambatan hukum. Ini menurut pendapat al-Ashahh.Munazhir (orang yang berargumen di depan lawan) wajib menghindar dari (terjebak) pada takhalluf secara mutlak. Sedang Nazhir sendiri wajib menghindar kecuali dalam masalah yang telah masyhur (ada) pengecualian .Menetapkan sebuah bentuk atau meniadakannya dapat menjadi batal dengan adanya nafiy (negasi) atau penetapan (positif) yang sama-sama umum. Dan begitu juga sebaliknya .Termasuk 7 karena sifat tersebut telah terbukti memmpunyai munasib dan dapat dijalarkan pada berbagai macam faru-faru

Qawadih adalah al-Kasr (terpecah), menurut pendapat al-Ashahh. al-Kasr adalah mangabaikan sebagian illat dengan menggantinya terlebih dahulu, dan membatalkan sisanya.Seperti sebuah Qiill dalam shalat khauf (setiap) shalat yang wajib diqadla, maka wajib ada; seperti kondisi aman. Kemudian (spesialisasi berupa shalat) dibantah dan diganti dengan ibadah.Dan (cara argumen seperti itu) batal dengan (argumen) puasanya perempuan haid.Atau tidak diganti, maka tidak tetap kecuali kewajiban qadla saja, dan (argumen seperti ini) batal dengan (argumen) puasanya perempuan haid.Termasuk Qawadih, yaitu ketiadaan aks (kebalikan) menurut orang yang melarang illat berjumlah banyak.Sedang aks sendiri adalah ketiadaan hukum, dengan arti ketiadaan ilmu (yakin), atau zhan pada hukum, sebab ketiadaan (menemukan) illat.(bahkan) jika bandingannya yang (justeru) tetap hukumnya, maka lebih-lebih (dalam kebalikannya).Buktinya adalah hadits Nabi bagaimana pendatmu, jika kalian menempatkan syahwat pada yang haram, adakah dosa?, demikianlah juga jika kalian menempatkan syahwat pada yang halal, maka (kalian mendapat) ada pahala. Hadits ini sebagai jawaban dari pertanyaan sahabat adakah diantara kita yang melakukan (dengan) syahwat, (tapi tetap) mendapat pahalaTermasuk qawadih, yaitu adam altatsir (ketiadaan pengaruh) yaitu ketiadaan kesesuaian sifat (dengan hikmah).(qawadih ini) hanya khusus pada qiyas makna, yang illatnya mustanbathah, yang masih diperselisihkan.adam al-tatsir ada empat. Pertama, adam al-tatsir dalam sifat, dengan keberadaannya berupa sifat thardiy8 atau syibh9.Kedua, adam al-tatsir pada Asal, (illat mengarah pada hukum) yang marjuh seperti barang yang akan perjualbelikan tidak terlihat, dan ini tidak sah. Seperti halnya burung yang ada di angkasa. Mutaridl berkata tidak ada pengaruh (adam al-tatsir) apa-apa dalam barang yang tidak bisa dilihat, karena ketidakmampuan untuk menyerahkan sudah cukup (jual beli tidak sah).Ketiga, adam al-tatsir pada hukum, yaitu ada beberapa bentuk. (yang pertama, ada bentuk) yang tidak perlu disebutkan .Seperti perkataan mereka tentang orang murtad orang musyrik yang merusak harta di daerah perang, maka tidak ada dloman, seperti halnya kafir harbiy. Dar al-harbiy menurut mereka adalah sifat thardiy, dan ini tidak ada perlu disebut, sehinga kembali lagi yang pertama (adam al-tatsir dalam sifat),Dan (yang kedua) yang penyebutannya mempunyai pengaruh besar (sifatnya harus disebut), Seperti perkataan orang yang memperhatikan (mensyaratkan) jumlah batu dalam beristinja istinja menggunakan batu adalah ibadah yang berhubungan dengan batu, yang tidak didahului oleh maksiat, sehingga dalam istijmar, jumlah batupun diperhitungkan, seperti halnya jimar (melempar jumrah) Perkataan dia tidak didahului maksiat, (dengan sendirinya berkonsekuensi) pada adam al-tatsir namun (sifat) ini harus disebut, agar semua argumen yang disampaikan tidak batal dengan (analogi kasus) rajam bagi (penzina muhshan bahwa rajam adalah ibadah yang berhubungan dengan batu).Atau (yang ketiga, penyebutannya) tidak dlaruriy, seperti shalat jumat shalat jumat adalah shalat fardu ain, sehingga tidak butuh pada ijin pemerintah seperti halnya shalat zhuhur.Karena kata-kata fardlu hanyalah sebuah sisipan, dan (karena) jika kata-kata fardlu ini dibuang maka hal-hal lain yang selain fardlupun juga tidak batal (artinya untuk melaksanakan hal lain selain wajib dalam shalat jumat tidak perlu minta izin pada imam).Namun, sifat tersebut disebut untuk mendekatkan (kesamaan) asal dari faru, dengan (menonjolkan sisi) menguatkan kesamaran antara asal dan faru, karena fardlu dengan fardlu lebih (dekat) mirip.Keempat, adam al-tatsir pada faru, seperti seorang perempuan yang menikahkan dirinya sendiri dengan (lelaki) yang tidak sepadan, maka pernikahan ini tidak sah, sebagaimana halnya jika umpama dia dinikahkan (dengan lelaki yang tidak sepadan juga tidak sah).Yang keempat ini sama seperti yang kedua. Sebab tidak ada pengaruh dalam pernikahan karena ada pembatasan dengan (pernikahan dengan lelaki) yang tidak sepadan Bagian yang keempat ini kembali pada diskusi tentang (masalah) pengandaian yaitu mengkhususkan sebagian bentuk-bentuk yang diperselisihkan dengan bukti dan alasan. al-Ashahh berpendapat pada kebolehan pengandaian ini.Termasuk Qawadih adalah al-Qalbu (menukar/membalik) yaitu menurut al-Ashahh adalah klaim (mutarid) bahwa apa yang diargumenkan oleh mustadil, dan telah shahih menurut mustadil adalah (benar berada) dalam masalah (yang diperselisihkan tersebut) sehingga mungkin untuk menerima kebenarannya.Qawadih berupa al-Qalbu ini bisa diterima. Ini menurut pendapat al-Ashahh. (berupa) (melakukan) penentangan ketika ada penerimaan (dari Mutaridl), dan (berupa sebagai) pencacat (qawadih) ketika tidak ada penerimaan.Al-Qalbu ada dua,Yang pertama, untuk membenarkan pendapat mutarid dan membatalkan pendapat mustadil, (contoh untuk membenarkan pendapat mutaridl) seperti dalam akad tanpa ada wilayah (kepemilikan), maka (akad tanpa ada wilayah (kepemilikan)) tidak sah seperti menjual (barang yang bukan miliknya). (Kasus diatas diargumenkan menggunakan al-qalbu) sehingga dikatakan (oleh Mutarid sebagai bantahan pada mustadil) akad (saja), maka sah seperti menjual barang (baik mempunyai kempemilikan atau tidak).(contoh yang untuk membatalkan pendapat mustadil) berdiam diri (saja di Masjid sebagai itikaf), didalamnya tidak mengandung unsur mendekatkan diri pada Allah, seperti halnya wuquf di Arafah10, lalu dikatakan (oleh Mutaridl sebagai bantahan pada mustadil) berdiam diri (saja sudah merupakan ibadah) sehingga tidak disyaratkan harus berpuasa seperti halnya (juga) wuquf di Arafah .Kedua, untuk membatalkan pendapat mustadil. (ada yang dilakukan) dengan sharih. Anggota wudlu tidak cukup hanya dibasuh pada anggota sesuai dengan penamaannya sama seperti wajah. Dikatakan (oleh Mutaridl sebagai bantahan pada mustadill) anggota wudlu tidak bisa hanya dikira-kira seperempat (saja) sama seperti wajah11. (ada yang dilakukan) dengan Iltizam (penunjukan konsekuentif) akad muawadlah sah, kalaupun tidak tahu pada muawwadlnya (apa yang dipertukarkan) sama seperti nikah (muawwadl dalam akad nikah boleh tidak diketahui). Dikatakan ((oleh mutaridl sebagai bantahkan 8 Thardiy yaitu kebersamaan hukum dengan sifat (illat) namun tidak ada munasabah 9 Untuk memahami syibh harus paham munasabah yang masih mirip-mirip (abstrak) dan munasabah konkret (munasabah al-dzatiyat) seperti wudlu dan tayammum. dan ada pertanyaan; apakah dalam tayammum (sebagai faru) juga ada niat seperti dalam wudlu (sebagai asal). Sifat thaharah disebut syibh munasabah dan sifat berupa ibadah disebut munasabah al-dzatiyat. 10 Menurut Hanafiyah berdiam diri di Masjid baru dianggap ibadah apabila didalamnya ada puasa, jika tidak ada puasa maka bukan itikaf namanya. Demikian halnya, wuquf di Arafah disebut sebagai ibadah jika telah ihram sebelumnya, (karena jika tidak didahului oleh ihram sebelumnya, maka wuquf di Arafah) tidak menjadi ibadah. Pendapat ini berbeda dengan pendapat Syafiiyah yang mengatakan bahwa itikaf cukup dilakukan dengan berdiam diri di Masjid, sehingga tidak perlu berpuasa (agar bisa menjadi pahala itikaf) sama juga berdiam diri Arafah telah dianggap ibadah, tanpa harus ada ihram terlebih dahulu. 11 Hanafiyah dan Syafiiyah berbeda pendapat tentang membasuh kepalaHanafiyah bilang mengusap kepala cukup seperempat saja dan ini dibantah oleh Syafiiyah ya, mengusap kepala tidak (harus) dikira-kira seperempat kepala. Demikian juga Syafiiyah berpendapat mengusap kepala cukup dilakukan pada anggota yang disebut sebagai kepala, dan ini dibantah oleh Hanafiyah ya, tidak cukup kalau wajah dijelaskan pokoknya apa yang disebut wajah itulah yang diusap

pada mustadil), kalau akad muawadlah sah tanpa harus tahu pada muawwadlnya) maka khiyar ruyah tidak ada seperti halnya nikah (dalam nikah tidak ada khiyar).Termasuk bagian untuk membatalkan pendapat mustadil, adalah membalik persamaan. Menurut pendapat al-Ashahh, membalik persamaan diterima sebagai qawadih. Seperti (dalam kasus) menyucikan benda cair, tidak wajib berniat seperti (halnya) menghilangkan najis. Dikatakan (oleh mutaridl sebagai bantahan pada mustadil) ya, sama saja antara (menyucikan benda) padat dan cair, seperti (dalam) menghilangkan najis (tidak butuh niat)Termasuk Qawadih adalah al-Qaul bil mujab (mengambil pendapat yang positif) yaitu menerima dalil (mustadil) namun tetap (membiarkan) ada perselisihan.Seperti perkataan dalam diyat mutsaqqal (diyat dalam jinayah yang berat) dia membunuh menggunakan alat yang biasanya bisa membunuh, maka (membunuh dengan cara yang biasanya membunuh) tidak meniadakan adanya qishash, seperti membakar (korban). Dikatakan (oleh mutaridl sebagai bantahan pada mustadil) saya menerima tidak ada saling meniadakan (kewajiban diyat dan keberadaan qishash), kalaupun demikian saya tidak berpendapat bahwa (diyat mutsaqqal) mununtut adanya qishash.Sebagaimana juga dikatakan perbedaan dalam cara (korban pembunuhan) bisa mati tidak menghalangi (ketetapan ada) qishash, seperti sampai pada kematian. Dikatakan (oleh mutaridl, perbedaan dalam cara (korban pembunuhan) bisa mati tidak menghalagi ada qishash), diterima.Namun, pembatalan (satu) mani tidak (lantas) memastikan ketiadaan mani-mani (yang lain), dan keberadaan syarat-syarat (yang lain), serta keberadaan muqtadli .Pendapat yang dipilih; perkataan mutarid ini bukan referensi saya dapat dibenarkan .Barangkali mustadil tidak menyampaikan (komentar tentang) muqaddimah yang tidak masyhur, khawatir (ada) penolakan. Maka Qaul bil mujab ditolak.Termasuk qawadih, adalah (adanya) cacat dalam munasabah, cacat dalam kelayakan antaran penetrasi hukum pada maksud (hikmah), cacat dalam kemundlabitan, cacat dalam kejelasan (zhahir). Dan jawaban semua ini (dilakukan) dengan bayan .Termasuk qawadih, adalah (ada) al-farqu (perbedaan). Menurut pendapat al-Ashahh, bahwa al-farqu adalah (melakukan) pertentangan dengan memunculkan batasan dalam keillatan asal, atau (memunculkan) mani (pada) faru, atau dalam kedua-duanya.Menurut pendapat al-Ashah; bahwa al-farqu termasuk dalam qawadih. Dan jawabannya (dilakukan) dengan penolakan (illat pada asal atau mani pada faru).Menurut pendapat al-Ashah; boleh-boleh saja, asal (berjumlah) banyak (, tidak satu) .Andai dibedakan antara faru dan asal dari beberapa asal maka cukup (sebagai) qawadih. Ini menurut pendapat al-Ashahh.Tentang mustadil mencukupkan hanya menjawab satu asal terdapat dua pendapat.Termasuk qawadih, adalah fasadul wadl (salah tempat) seperti dalilnya tidak layak pantas melahirkan hukum.Seperti menempatkan meringankan (padahal seharusnya) memberatkan, menempatkan meluaskan (padahal seharusnya) menyempitkan, menempatkan penetapan (padahal seharusnya) peniadaan dan ketetapan memperhitungkan satu titik (persamaan) dengan (dalil) nash atau ijma pada kebalikan hukumnya.Jawaban dari salah penempatan ini adalah menetapkan nafiynya.Termasuk qawadih adalah fasadul itibar (salah perhitungan pihak mustadil), seperti (perhitungan) yang menyalahi nash, atau ijma.Salah perhitungan lebih umum daripada salah penempatan.(dengan sebab adanya salah perhitungan yang dilakukan oleh mustadil) Mutarid boleh mendahulukan atau mengakhirkan fasad itibar atas cabang-cabang (pada proses penetapan muqaddimah dalam qadliyah manthiqiyah)Atas bantahan yang dilakukan pada muqaddimahmuqaddimah dalil .Jawaban dari salah perhitungan ini (dilakukan dengan cara) seperti mencacatkan dalam sanad, dan menentang, dan menolak kezhahiran (illat) dan (melakukan) tawil.Termasuk qawadih adalah menolak keillatan sebuah sifat. Ini disebut dengan muthalabah (tuntutan) .Pendapat al-Ashahh; menolak keillatan diterima (sebagai qawadih). Dan jawabannya dengan melakukan penetapan pada illat.Termasuk dari penolakan (illat) adalah penolakan pada sifat illat, seperti perkataan kita tentang rusaknya puasa (kalaupun) bukan dengan jima kaffarat (diberikan) untuk menjerakan dari jima yang dilarang ketika berpuasa.Dengan demikian, kaffarat (puasa) hanya khusus untuk jima saja seperti halnya had. Lalu dikatakan (oleh mutarid sebagai bantahan pada mustadil), (kaffarat juga berlaku sebab) dari berbuka (kalaupun bukan jima) yang dilarang dalam berpuasa.Jawaban penolakan ini (dilakukan dengan melakukan) perhitungan kekhususan (bahwa ini khusus untuk itu, dan itu khusus untuk ini) .Dan (masuk dalam penolakan keillatan) seperti mutaridl melakukan tanqiihul manath, sedang mustadil melakukan tahqiiqul manath.Dan (termasuk dari penolakan adalah) penolakan pada hukum asal.Menurut pendapat al-Ashahh; bahwa (penolakan dalam hukum asal) didengar (sebagai qawadih).Bahwa mustadil tidak terputus (dalam beristidlal) dengan adanya penolakan hukum asal ini Bahwa jika mustadill menunjukkan dalilnya, mutaridl tidak lantas terputus (untuk menyanggah), tetapi mutaridl boleh (terus) melakukan penyanggahan.(berikut adalah perdebatan antara mustadil dan mutarid) dikatakan (oleh mutaridl) saya tidak menerima (sepakat) hukum asal, (mustadil menjawab) oke, saya terima (jika anda menolak hukum asal) .dikatakan (oleh mutaridl) saya tidak menerima (sepakat) masalah tersebut termasuk masalah yang (bisa) diqiyaskan, (mustadil menjawab) oke, saya terima (jika anda menolak untuk diqiyaskan).dikatakan (oleh mutaridl) saya tidak menerima (sepakat) bahwa masalah tersebut mengandung illat, (mustadil menjawab) oke, saya terima (jika anda menolak bahwa masalah tersebut tidak berillat)dikatakan (oleh mutaridl) saya tidak menerima (sepakat) bahwa sifat ini adalah illatnya, (mustadil menjawab) oke, saya terima (jika anda menolak bahwa sifat ini adalah illatnya).dikatakan (oleh mutaridl) saya tidak menerima (sepakat) keberadaan sifat illat tersebut, (mustadil menjawab) oke, saya terima (jika anda menolak keberadaan sifat illat tersebut).dikatakan (oleh mutaridl) saya tidak menerima (sepakat) bahwa illat tersebut bisa menjalar, (mustadil menjawab) oke, saya terima (jika anda menolak bahwa illat tersebut bisa menjalar).dikatakan (oleh mutaridl) saya tidak menerima (sepakat) keberaadaan sifat tersebut pada faru, (semua hal diatas) dijawab dengan bantahan (penolakan) menggunakan (cara) semua apa yang bisa mentarifkan (menjelaskan dan memahamkan bagi mutaridl) dari berbagai sisi dan cara (yang telah disebutkan bahwa ini demikian, itu demikian).dilakukan dengan bantahan (menolak) menggunakan cara-cara (atau (penjelasan-penjelasan) yang telah disebut didepan)Boleh mendatangkan banyak sanggahan dari satu macam saja.Demikian juga (boleh mendatangkan banyak sanggahan) dari macam. Ini menurut pendapat al-Ashah, walaupun sanggahan-sanggahan tersebut berurutan,Termasuk qawadih, adalah perbedaan criteria asal dan faru.Jawabannya dengan (menentukan) ukuran yang dapat dimiliki bersama (antara asal dan faru), atau dengan cara (menentukan) bahwa penetrasi (keberhasilan hukum faru menghasilkan hikmah) sama (dengan keberhasilan hukum asal menghasilkan hikmah), dan tidak dengan cara mengabaikan perbedaan (antara asal dan faru) .Termasuk qawadih adalah taqsiim, yaitu pusaran (putaran) lafadz antara (dua) makna, yang salah satunya ditolak. Menurut pendapat yang dipilih, taqsiim ini diterima (sebagai qawadih) .Jawabannya adalah bahwa lafazh (telah) diperuntukkan (untuk makna tertentu), walaupun peruntukan makna secara urfiy, atau telah zhahir maksudnya.Segala bentuk sanggahan kembali pada

penolakan.Pendahuluan dari itirad adalah istifsar, yaitu permintaan untuk menyebutkan makna lafazh karena adanya gharabah, atau kemujmalan. Dan penjelasan segala bentuk sanggahan-sangahan tersebut (menjadi tanggungjawab ada) pada mutarid. Ini menurut pendapat al-Ashahh(Mustadil) tidak dibebankan untuk menjelaskan persamaan arahan (mengarah ke ini, atau mengarah ke itu).Mustadil cukup berpegangan pada dasar bahwa pada prinsipnya tidak ada itiradl. Mustadil (lalu) menjelaskan ketiadaan gharabah dan kemujmalan, atau (bisa juga dengan) mustadil menafsiri sebuah lafazh dengan kemungkinan (arahan), menurut sebuah qiil, boleh dengan selain muhtamal .Pendapat yang dipilih; klaim mutarid bahwa telah ada kejelasan (zhuhur) dalam maksudnya, tidak bisa diterima, tanpa ada (dalil) naql atau tanpa ada bukti (qarinah) .Kemudian, penolakan (atas sebuah itiradl) tidak bisa bisa dilakukan dalam cerita (sejarah), namun (itiradl bisa dilakukan) dalam (permasalahan) dalil, baik sebelum dalil sempurna atau (bahkan) setelah dalil tersebut sempurna.Yang pertama (itiradl pada dalil sebelum dalil tersebut sempurna) bisa mujarrad atau bersama sanad, seperti saya tidak menerima ini, dan mengapa tidak seperti ini? atau hal itu pasti seperti ini, jika keberadaan (kondisinya) seperti ini.Yang pertama ini disebut dengan munaqadlah (bersikeras mempertahankan pendapat tanpa ada dalil), dan jika (bersikeras) berhujjah karena (alasan) tidak ada muqaddimah (premis), maka ghasab (merampas hak orang lain). Para muhaqqiq tidak memperhitungkannya.Yang kedua (itiradl pada dalil setelah dalil tersebut sempurna), bisa (berbentuk) penolakan dalil, karena ada takhalluf (keterlambatan) hukum.Kemudian (dengan bentuk) pembatalan tafshiliy dan pembatalan ijmaliy, atau (dengan) penerimaan dalil serta istidlalnya dengan (menunjukkan dalil/bukti lain) yang dapat meniadakan ketetapan madlul (apa yang ditunjuki) .Kemudian (melakukan) muaradlah (pertentangan), dan mutaridl berkata saya tidak menyebutkan (dalil itu) walaupun dalil tersebut menunjukkan (pada madlulnya), (karena) menurutku ada sesuatu yang meniadakannya (sehingga tidak layak menjadi dalil). Dan (dengan demikian,) posisi mutarid (berubah) terbalik menjadi mustadil.(namun) mustadil bisa menolaknya dengan (menggunakan) dalil. Dan jika (mutarid) menolaknya maka seperti ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan di atas. Dan demikian terus, hingga (membuat mutarid) mengaku kalah dan tidak berkutik, atau (hingga sampai pada) memastikan mani (seperti sampai pada argument yang tidak terbantahkan berupa dlaruriy atau nalar logika yang pasti benar).Penutup ,Pendapat al-Ashahh; bahwa qiyas termasuk (bagian) dari agama. Qiyas termasuk bagian Ushul fiqh.Hukum yang diperoleh dari Qiyas dikatakan hukum agama Allah tidak dikatakan dengan hukum Allah, atau hukum Nabi-Nya .(melakukan) Qiyas merupakan fardlu kifayah. (namun) qiyas menjadi fardlu ain bagi seorang mujtahid yang membutuhkannya .Qiyas ada dua. Pertama, qiyas Jaliy, yaitu qiyas yang dipastikan ketiadaan fariqnya, atau setidaknya-tidaknya dekat pada ketiadaan fariq. Kedua, qiyas Khafiy, yaitu kebalikannya .Menurut sebuah qiil, tentang (definisi) qiyas jaliy dan Khafiy tidaklah demikian. 12 . (selain pembagian diatas, qiyas dibagi menjadi tiga; (pertama)) Qiyas illat yaitu qiyas yang didalamnya telah ditegaskan illatnya; (kedua) Qiyas Dalalah yaitu qiyas yang titik persamaannya dilakukan dengan lazimul illat, atau pengaruh illat, atau hukum illatnya; (ketiga) qiyas pada makna asal yaitu mencari titik temu dengan meniadakan pembeda.

12 Menurut sebuah qiil, Qiyas Jaliy adalah qiyas awlawiy, seperti qiyas memukul pada perkataan ah. Qiyas Khafiy adalah qiyas yang lebih rendah, seperti qiyas Apel dengan gandum. Dan diantara qiyas Jaliy dan Khafiy ada qiyas lagi yaitu qiyas wadlih, yaitu qiyas musawiy, seperti qiyas membakar harta pada memakan harta anak yatim

Anda mungkin juga menyukai