OLEH KELOMPOK 3 :
ADI SUCIPTO/18680003
ATHA CHILYATUN NAFIS/18680012
NUZULUL KHOIRIYAH/18680027
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR ................................................................................................................................. 2
DAFTAR ISI................................................................................................................................................ 3
BAB I ............................................................................................................................................................ 4
PENDAHULUAN ................................................................................................................................... 4
1. Latar Belakang ............................................................................................................................ 4
2. Rumusan Masalah ...................................................................................................................... 4
3. Tujuan Pembelajaran ................................................................................................................. 5
BAB II .......................................................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN ...................................................................................................................................... 6
1. Pengertian Logika Ilmu .............................................................................................................. 6
2. Pengertian Metode Ilmiah .......................................................................................................... 6
3. Epistemologi Ilmu dalam Islam ................................................................................................. 7
BAB III....................................................................................................................................................... 19
PENUTUP.............................................................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................ 20
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Logika ilmu dan metode ilmiah dalam dalam filsafat ilmu penting kita pelajari
untuk mendapatkan pengetahuan yang benar seperti yang kita ketahui ilmu pengetahuan
dan teknologi saat ini, serta sebagai kunci mendasar dari kemajuan yang diraih umat
manusia, tentunya tidak datang begitu saja, tanpa adanya sebuah dinamika dan diskursus
ilmiah. Prosses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan diknal dengan epistemologis.
Metodologi penelitian merupakan ilmu yang mempelajari tentang metode-metode
penelitian. Di lingkungan filsafat, logika dikenal sebagai ilmu tentang alat untuk
mencapai kebenaran. Bila ditata dalam sistematika tertentu, methodology penelitian
merupakan bagian dari logika. Sedangkan Metode Ilmiah adalah cara dan sekaligus
proses berlangsungnya kegiatan membangun ilmu pengetahuan dari pengetahuan-
pengetahuan yang masih bersifat pra-ilmiah, yang dilakukan secara sistematis dan
mengikuti asas pengaturan prosedural, teknik normatif, sehingga memenuhi persyaratan
kesahihan atau kesahihan keilmuan, yang lazim juga disebut memenuhi validitas ilmiah
atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Metode ilmiah ini tentu harus
disesuaikan dengan sifat dasar (nature) obyek-obyeknya. Tujuan dari metodologi
penelitian itu sendiri adalah untuk mengetahui gambaran mengenai keadaan (description
of exiting reality) hubungan antara satu hal dengan yang lain, khususnya hubungan sebab
akibat (causality). Penilaian mengenai hubungan antara beberapa hal (relations of
variable) akan menghasilkan kesimpulan umum (generalization) atau kecenderungan
umum (general tendency).
2. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian Logika Ilmu ?
b. Apa pengertian Metode Ilmiah ?
c. Apa saja epistemologi ilmu dalam islam dan pengertian masing-masing !
3. Tujuan Pembelajaran
1. Menjelaskan pengertian dari Logika Ilmu
2. Menjelaskan Pengertian Metode Ilmiah
3. Mengetahui pengertian dan macam-macam epistemologi ilmu dalam islam
BAB II
PEMBAHASAN
1
Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja, Psi, Pengantar Filsafat, (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), 81.
2
Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja, Psi, Pengantar Filsafat, (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), 28-29.
bersifat pra-ilmiah yang dilakukan secara sistematis dan mengikuti asas
pengaturan procedural, teknik normatif, sehingga memenuhi persyaratan
kesahihan atau kesasihan keilmuan, yang lazim juga disebut memenuhi
validitas ilmiah atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam pandangan positivis, metode ilmiah memiliki ciri-ciri keilmuan
yakni empiris, rasional, dan sistematis. Empiris yaitu semua ide dan konsep
berasal daro pengalaman dan kebenaran hanya dapat dibangun berdasarkan
dari pengalaman. Rasional yaitu kebenaran yang dapat diketahui dengan nalar.
Sedangkan sistematis yaitu proses yang dilakukan sesuai dengan prosedur
yang telah ditetapkan atau disepakati.
Dalam hal ini metode ilmiah adalah sistem dan metode yang mengatur
pengetahuan tentang gejala alam dan gejala sosial. Sedang penelitian adalah
upaya sadar bahkan disertai kesengajaan dalam melakukan kegiatan
menangkap gejala-gejala tersebut berdasarkan metode ilmiah dari disiplin
ilmu yang bersangkutan. Dengan tujuan untuk menemukan prinsip-prinsip
baru yang terdapat di belakang gejala-gejala tersebut.
1) al-Washl (Kesinambungan)
2) al-Fasl, al-bu’du dan al-fraq (Keterpilahan)
3) al-zuhur waal-Wuduh (jelas dan terang)
4) al-fashah wa al-qudrah ‘ala altabligh wa al-iqna’ (Fasih dan
memiliki kemampuan dalam menyampaikan pesan ataumaksud
dengan terang atau jelas)
5) al-Insan hayawan mubin (manusia yang mempunyai
kemampuan berbicara fasih dan mengesankan).
4
Wiji Hidayati, “MUATAN KEILMUAN INTEGRASI INTERKONEKSI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN BUDI PEKERTI,”
no. 1 (2015): 14.
sikap sabar dan menanamkan jihad yang sesuai dengan ajaran al-Qur’ān
dan hadis.
b. Burhani
Burhani adalah metodologi yang tidak didasarkan atas teks
maupun pengalaman, melainkan atas dasar runtutan penalaran logika.
Burhani berasal dari bahasa Arab yang berani argumen yang baik dan
benar. Dalam pengertian logika pengertian burhani adalah aktivitas fikir
yang menetapkan kebenaran sesuatu melealui penalaran dengan
5
Hadist tersebut terdapat dalam artikel dari Hidayati.
mengaitkan engetahuan dan bukti-buktinya mendahuli kebenaran.
Sedangkan dalam pengertian umum al-burhan berarti aktivitas fikir untuk
menetapkan suatu kebenaran suatu hal. dalam tahap tertentu interpretasi
(pandangan teoretis terhadap sesuatu) teks hanya bisa di terima apabila
tidak bertentangan dengan aturan logis. Dari masing-masing model
metodologi berfikir dalam lembaran sejarah telah menorehkan prestasinya
masing-masing.Dalam khazanah kosa-kata bahasa Arab, secara etimologis
kata al-Burhan berarti argumen yang tegas dan jelas . Kemudian kata ini
disadur sebagai salah satu terminologi yang dipakai dalam ilmu mantik.
Burhani telah membawa filsafat pada puncak gemilang setelah
disiplin fiqih dan teologi (ilmu kalam yang telah dibesarkan oleh
penalaran bayani dan juga irfani yang menciptakan teori besar dalam
sufisme. Untuk menunjukkan arti proses penalaran yang menetapkan
benar-tidaknya suatu preposisi melalui cara deduksi, yaitu melalui cara
pengaitan antar preposisi ( bahasa pikiran yang biasa digunakan) yang
kebenarannya bersifat postulatif (asumsi yang menjadi pangkal dalil yang
dianggap benar tanpa bukti).
Dalam hal ini, Burhan adalah satu jenis dari logika (qiyas). Kalau
logika itu bersifat umum, maka Burhan bersifat khusus, bagian dari logika
itu sendiri, yaitu suatu rasionalitas yang mengantarkan kepada ilmu
yakin.6 Sebagai istilah epistemologis, seperti halnya al-Baydn dan al-
'Irfan,al-Burhdn di sini adalah sebutan bagi sistem yang melibatkan
pengetahuan dan fakta dalam tradisi pemikiran Arab Islam yang dicirikan
oleh adanya metode pemikiran tertentu dan perspektif realitas tertentu
pula, yang secara geneologis berhubungan erat dengan tradisi pemikiran
Aristotelian. Sistem epis-temik Burhani bertumpu sepenuhnya pada
seperangkat kemampuan intelektual manusia, baik berupa indera,
pengalaman, maupun rasio bagi upaya pemerolehan pengetahuan tentang
semesta dengan mendasarkannya pada keterkaitan antara sebab dan akibat
6
Sembodo Ardi Widodo, Nalar Bayani, 'Irfani, dan Burhani, hlm 80-82
(kausalitas),bahkan juga bagi solidasi perspektif realitas yang sistematis,
valid, dan 79 postulatif.7
Sistem pemikiran Burhani sangatlah berbeda jika dibandingkan
dengan sistem pemikiran Bayani yang secara apriori (keadaan yang tidak
sebenarnya). telah menjadikan realitas kewahyuan (al-Quran dan sunah)
yang terkemas dalam wacana bahasa dan agama sebagai acuan berpijak
bagi pemerolehan penge-tahuan. Juga berbeda dengan nalar 'Irfani yang
mendasarkan pengetahun pada direct experience (pengalaman langsung).
Demikian juga,menurut Ibn Bajjah, nalar Burhani (rasional) berbeda
dengan nalarJadali (dialektis). Nalar Jadali dipergunakan untuk
meyakinkan lawan bicara dengan menunjukkan keabsahan atau ketidak
absahan suatu ajaran tertentu terlepas dari persoalan apakah pemikiran itu
sendiri benar atau tidak. Sedang nalar Burhani dimaksudkan untuk
menganalisis.
Faktor kausalitas dari tema-tema yang dikajinya dan merumuskan
suatu kebenaran, yaitu pengetahuan yang bersifat benar dan
meyakinkan,atau yang dikenal dalam bahasa Aristoteles sebagai "ilmu".
Di sinilah letak "keunggulan" nalar Burhani jika dibandingkan dengan
nalar yang lainnya, yaitu adanya kenyataan bahwa ia menggunakan
silogisme atau penalaran logis dengan menggunakan premis-premis yang
"benar, primer, dan niscaya", sehingga menghasilkan kesimpulan-
kesimpulan pengetahuan yang benar dan pasti. Oleh karenanya,
pembuktian secara demonstratif (Burhani) ini dipandang sebagai metode
pembuktian yang paling ilmiah.
Dalam realitas historis, sistem pemikiran Burhani ini banyak
dikembangkan oleh kalangan filosuf muslim semisal al-Kindi, al-
Farabi,dan Ibnu Sina. Munculnya sistem epistemik ini terkait erat dengan
peng-aruh budaya Yunani yang masuk ke dunia Islam. Pengaruh ini pada
gilirannya menimbulkan dua aliran yang berbeda, yaitu the Hermetic
Pythagorean yang pendekatannya lebih bersifat metafisis dengan corak
7
Ibid.
penafsiran simbolik-esoterik, dan the Syllogistic-Rationalistic yang
pendekatannya lebih bersifat filosofis dan mengarah kepada upaya
penemuan sistem rasional yang mendasari segala sesuatu.
c. Irfani
Kata ‘irfan adalah bentuk masdar dari kata ‘arafa yang berarti
ma’rifah (ilmu pengetahuan). Kemudian ‘irfan lebih dikenal sebagai
terminologi mistik yang secara khusus berarti “ma’rifah” dalam
pengertian “pengetahuan tentang Tuhan”.
Dalam filsafat, irfani lebih dikenal dengan istilah intuisi.
Dengan intuisi, manusia memperoleh pengetahuan secara tiba-tiba
tanpa melalui proses penalaran tertentu.
Pengetahuan Irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks
tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati,
diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung.
Pengetahuan Irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan yaitu
persiapan, penerimaan, pengungkapan, dengan lisan atau tulisan.
Tahapan pertama, persiapan. Untuk bisa menerima
limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-
jenjang kehidupan Spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus
dijalani, mulai dari bawah menuju puncak Taubat, Wara‟, menjauhkan
diri dari sesuatu yang subhat, Zuhud, tidak tamak dan tidak
mengutamakan kehidupan dunia. Faqir, mengosongkan seluruh pikiran
dan harapan masa depan, dan tidak menghendaki apapun kecuali Allah
SWT, Sabar, menerima segala bencana dengan laku sopan dan rela.
Tawakal, percaya atas segala apa yang ditentukan-Nya. Ridla,
hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya
gembira dan sukacita.8
8
Al-Qusyairi (w.1072) mencatat ada 49 tahapan yang harus dilalui, Abi Said ibn Abu al-Khair mencatat 40
tahapan, Abu Nashr al-Tusi mencatat 7 tingkatan, sedang Thabathabai menulis 24 jenjang. Lihat, al-
Qusyairi, al-Risalah, ( Beirut, Dar al-khair,tt), 89-350, Husein Nashr, Tasawuf Dulu & Sekarang, terj. Abd
Aliran-aliran yang beragam dalam dunia Sufisme atau Irfan
memiliki kesatuan pandangan dalam permasalahan yang esensial dan
substansial ini dimana mereka menyatakan bahwa pencapaian dan
penggapaian hakikat segala sesuatu hanya dengan metode intuisi mistikal
dan penitian jalan-jalan pensucian jiwa, bukan dengan penalaran dan
argumentasi rasional, karena hakikat suatu makrifat dan pengatahuan
adalah menyelami dan meraih hakikat segala sesuatu lewat jalur
penyingkapan, penyaksian, intuisi hati, manifestasi-manifestasi batin, dan
penyaksian alam metafisika atau alam nonmateri dengan mata batin serta
penyatuan dengannya. Para sufi beranggapan bahwa segala makrifat dan
pengetahuan yang bersumber dari intuisi-intuisi, musyahadah,
dan mukasyafah lebih dekat dengan kebenaran daripada ilmu-ilmu yang
digali dari argumentasi-argumentasi rasional dan akal.
d. Positivisme
Hadi, (Jakarta, Pustaka Firdaus,1994), 89-96, Muthahhari, menapak Jalan Spiritual, terj. Nasrullah, (
Bandung, Pustaka Hidayah, 1997), 120-155.
membuat aturanuntuk mengatur manusia dan mengatur alam.
KataPositivisme, ajukan logikanya,ajukan bukti empirisnya yang terukur.
Tetapi bagaimana caranya? Kita masihmemerlukan alat lain. Alat lain itu
ialah Metode Ilmiah. Sayangnya, MetodeIlmiah sebenarnya tidak
mengajukan sesuatu yang baru; Metode Ilmiah hanyamengulangi ajaran
Positivisme, tetapi lebih operasional. Metode Ilmiahmengatakan, untuk
memperoleh pengetahuan yang benar9 lakukan langkah berikut:
9
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi Pengetahuan (Bandung: PT Remaja
Bosda Karya, 2004).
Filsafat positivisme berasal dari Comte tersebut merupakan upaya
untuk menyatukan dua aliran yang berbeda yang ada pada kutub ekstrim
masing-masing sebagaimana apa yang telah dilakukan oleh Kant, yaitu
untuk lebih memperluas dan lebih memperdalam serta mestimulasi
munculnya paradigma baru dalam perkembangan filsafat dan ilmu
pengetahuan. Comte dengan filsafat positivismenya, cenderung
untukmembatasi pengetahuan manusia pada pada sesuatu yang positif
dalam arti bukan hayal, yang dapat ditangkap oleh nalar manusia, dan
posiitif dalam arti gejala yang nampak jelas dan tepat serta memang
dibutuhkan manusia yang diperoleh dengan metode ilmu atau
e. Pospositivisme
Pospositivisme adalah paradigma dalam aliran yang yang ingin
memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme yang hanya
mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap obyek yang
diteliti. Secara ontologis aliran ini bersifat criticalrealism yang
memandang realitas dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam. Tetapi
suatu hal yang mustahil bila realitasnya dapat dilihat secara benar oleh
peneliti. Secara epistemologis hubungan antara pengamat dengan objek
atau realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan. Alirn ini menyatukan
suatu hal yang tidak mungkin dapat dicapai atau melihat kebenaran
apabila pengamat berdiri di belakang layar tanpa mengikutkan peterlibatan
obyek secaara langsung.10
10
Kim Yunha, positivisme dan pospositivisme dalam Filsafat Ilmu, hlm. 5
Positivisme adalah Unity of science yang mempersatukan ilmu
alam dan ilmu sosial dan menyamakan keduanya. Sedangkan Post
positivisme memiliki arti yang tidak terlepas oleh 3 hal yaitu :
a) Subyek dan obyek merupakan dua entitas yang berbeda
b) Mengakui etika dan moral
c) Berkonsep “understanding” bukan “explaining”
11
Anis Chairi, Landasan Filsafat dan Metode Penelitian Kualitatif(Semarang:2009)hlm. 4
12
Ibid. hlm 5
f. Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang
menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan (konstruksi) kita sendiri
(Von Glaserfeld).13 Pengetahuan bukan tiruan dari realitas, bukan juga
gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil
dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang dengan membuat
struktur, kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk membentuk
pengetahuan tersebut.
Konstruktivisme berada di titik temu dua aliran besar dalam sejarah
sosiologi: sosiologi pengetahuan dan sosiologi sains, sosiologi
pengetahuan dibentuk oleh pandangan tiga pemikir cemerlang : Marx,
Mannheim dan Durkheim. Ketiganya menekankan peran yang saling
memberi akibat dari factor-faktor social dalam membentuk kepercayaan
individu. Marx terkenal karena menyatakan bahwa kelas sosial
menentukan beragam sikap intektual. Mereka bertiga mengecualikan
kepercayaan yang dimunculkan oleh matematika dan ilmu alam dari
analisis sosial mereka. Kepercayaan ilmiah mereka anggap ditentukan
secara rasional dan bukan secara kausal, dan dengan demikian melampaui
pengaruh sosial dan cultural. Dualism epistemic inilah yang membedakan
periode klasik sosiologi pengetahuan dengan manifestasinya yang lebih
modern.
13
Andre Kukla, Kontruktivisme Social dan Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Jendela, 2003).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Logika ilmu dan metode ilmiah dalam dalam filsafat ilmu penting kita
pelajari untuk mendapatkan pengetahuan yang benar seperti yang kita
ketahui ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, serta sebagai kunci
mendasar dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak datang
begitu saja, tanpa adanya sebuah dinamika dan diskursus ilmiah. Prosses
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan diknal dengan epistemologis.
Sedangkan epistemologis ilmu pengetahuan terbagi menjadi enam
yaitu: bayani, burhani, irfani, positivisme, pospositivisme, dan
konstruksivisme. Keenam epistemologis tersebut bisa saling berhubungan
karena memiliki hubungan. Jadi, keenam bentuk epistemologis tersebut
tidak dapat terpisahkan dalam kehidupan manusia.
3.2 Saran
Suriasumantri S. Jujun, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. (Pustaka Sinar Harapan :
Jakarta). 2009
Sayyed Hossein Nasr, dalam Yazdi, Mahdi Ha’iri, 1994. Ilmu Hudhuri, Prinsip-Prinsip
Epistemologi dalam Islam, Bandung, Mizan.
Ghani, D., & Al-Mansyur, F. Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian. Medan: USU Press, 2015.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi Pengetahuan.
Bandung: PT Remaja Bosda Karya, 2004.