AL - FARABI
Disusun untuk memenui tugas akhir Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam
Yang dibimbing oleh Ibu :
Siti Fatimah M.PD
DISUSUN OLEH :
Iftasya Ainul Hafsah Sabran (0503202074)
PS 2 B
Segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberikan nikmat kesehatan dan
kesempatan serta atas hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah
mata kuliah “Sejarah Peradaban Islam” yang berjudul “Al-Farabi”. Kemudian
shalawat beserta salam kita sampaikan kepada nabi besar Muhammad SAW, yang
telah memberikan pedoman hidup bagi umat manusia yakni Al-Qur’an dan Sunnah
untuk keselamatan umat didunia ini.
Manusia merupakan makhluk hidup yang telah diberi keistimewaan oleh allah
SWT, baik berupa kemampuan akal, budi, dan juga daya pikir yang berguna untuk
mengolah ataupun mengelolah alam raya ini untuk memenuhi berbagai kebutuhan
hidupnya. Salah satu contoh manusia yang mensyukuri nikmat yang sudah diberikan
oleh Allah SWT ialah dengan cara bersyukur yakni melakukan hal-hal yang baik
seperti yang disuruh oleh ajaran al-Qur’an dan menjauhi segala larangannya.
Di dalam makalah yang berjudul “Al-Farabi” ini diuraikan dari awal biografi
tokoh hingga tentang perjalanan tokoh selama hidup. Makalah ini merupakan tugas
akhir dalam Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam. Maka dari itu saya berusaha
semaksimal mungkin untuk menyempurnakan makalah ini.
Akhirul Kalam, saya sebagai penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna bahkan masih terdapat banyak kesalahan. Oleh karena itu, saya
mengharapkan kritik dan saran demi memperbaikan makalah selanjutnya. Akhir kata
saya ucapkan banyak terima kasih semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi kita semua.
Wassalamualaikum wr.wb,
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
BAB I......................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................4
1.1.1 Latar Belakang...................................................................................................................4
1.1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................................6
1.1.3 Tujuan Penulisan Makalah.................................................................................................6
BAB II.....................................................................................................................................................7
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................7
2.1 Biografi Al-Farabi...................................................................................................................7
A. Latar Belakang Kehidupan Al-Farabi..........................................................................................8
B. Pendidikan Al-Farabi................................................................................................................11
2.2 Karya-Karya Al-Farabi...........................................................................................................14
2.3 Pemikiran Al-Farabi tentang Pendidikan..............................................................................21
A. Tujuan Pendidikan Menurut Al-Farabi.....................................................................................21
B. Kurikulum Pendidikan Menurut Al-Farabi................................................................................21
C. Pendidik dan Peserta Didik Menurut Al-Farabi........................................................................22
D. Metode Pendidikan Menurut Al-Farabi...................................................................................23
2.4 Pemikiran Al-Farabi Tentang Negara Ideal...........................................................................24
A. Asal Mula Negara Menurut Al-Farabi......................................................................................24
B. Konsep Negara Ideal Menurut Al-Farabi..................................................................................26
C. Kepala Negara Ideal Menurut Al-Farabi...................................................................................28
D. Relevansi Konsep Al-Farabi Terhadap Kehidupan Bernegara di Indonesia..............................30
2.5 Pemikiran Al-Farabi Tentang Logika.....................................................................................32
2.6 Filsafat Kenabian Al-Farabi..................................................................................................36
2.7 Pemikiran Al-Farabi Tentang Politik dan Negara..................................................................39
A. Pengertian Politik dan Agama..................................................................................................39
B. Kondisi Politik Islam pada masa kehidupan Al-Farabi..............................................................40
C. Pandangan Al-Farabi Tentang Politik dan Negara....................................................................41
D. Perbedaan Pandangan Politik dan Negara Al-Farabi dengan Pemikir Yunani..........................44
E. Perbedaan Pandangan Politik dan Negara Al-Farabi dengan Pemikir Islam.............................44
BAB III..................................................................................................................................................46
PENUTUP.............................................................................................................................................46
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................46
3
3.2 Saran....................................................................................................................................48
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................49
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.1 Latar Belakang
Al-Farabi menduduki posisi yang sangat istimewa di jajaran para filosof
muslim. Terbukti pemikirannya masih mengilhami pemikiran filsafat paripatetik
lainnya. Masignon memuji al-Farabi sebagai pemikir muslim pertama yang setiap
kalimatnya bermakna. Bahkan, Ibn Khulkan memujinya sebagai filosof muslim yang
tidak mungkin tertandingi derajat keilmuannya. 1Ia telah berhasil merekonstruksi
bangunan Ilmu Logika (manthiq) yang telah diletakkan pertama kali oleh Aristoteles.
Bila Aristoteles yang telah berjasa memperkenalkan Ilmu Logika (manthiq) dan
mendapat sebutan ‘guru pertama’, maka al- Farabi atas jasa besarnya
mengkombinasikan filsafat Plato dan Aristoteles ia layak disebut sebagai guru kedua
(al-mu’alim ats-tsāni).
Julukan guru kedua yang disematkan kepada al-Farabi antara lain dengan
alasan; Pertama, sangat menonjol dalam Ilmu Logika (manthīq) yang menjadi
pondasi semua cabang ilmu, terutama Ilmu Filsafat dan Logika yang dibangun
Aristoteles dijelaskan kembali dalam karyanya fi al-‘Ibārat, penguasaannya terhadap
Ilmu Logika dalam usia yang relatif sangat muda, bahkan mampu mengungguli
gurunya Abu Bisyir Matta bin Yunus yang kala itu termasuk orang termasyhur bidang
logika di Baghdad. Kedua, al- Farabi filosof terbesar setelah filosof Yunani yang
berhasil mengharmoniskan pemikiran- pemikiran Aristoteles dan Neo-Platonis.
Ketiga, kepiawaiannya menyusun rambu-rambu pengetahuan filsafat sehingga
mudah dikaji orang orang sesudahnya, ia tuangkan dalam kitab Ihshā’ul ‘Ulūm. 2Kitab
tersebut berisi lima bab dengan kategori berbeda yaitu ilmu lisan yang membahas
lafadz dan pedoman pengambilan dalil bayaninya, ilmu mantiq atau silogisme, ilmu
pendidikan, ilmu jiwa dan teologi serta ilmu fiqh dan ilmu kalam, 3Dalam kitab
tersebut Sebagaimana Aristoteles yang membuat rumusan filsafat dan bisa
dimengerti dengan sistematis orang orang setelahnya. Dalam Ihsha’ul Ulum al-Farabi
menjelaskan beberapa kategori ilmu dan urutan mempelajarinya. 4
1
Ahmad Halim Mahmud, at-Tafkīr al-Falsafī al-Islamī, (Kairo: Dār al-Ma’ārif, tt), 237
2
Irfan, A.N. "Masuknya Unsur-unsur Pemikiran Spekulatif Dalam Islam: Kajian Atas Logika Dan Metafisika al-
Farabi." CMES (Jurnal Studi Timur Tengah. 7.2 2014), 177.
3
Al-Farabi, Ihshā’ul ‘Ulūm , (Beirut: Inmaul Qaumiy, tt), 20
4
Al-Farabi, Tahshīlus Sa’ādat, tahqiq Alibu Mulham (Beirut: Daar al-Hilal, 1995), 20
5
menyingkap tabir metafisika penciptaan. 5Al-Farabi menuangkan pemikiran filsafat
penciptaannya dalam karyanya Ārā’ Ahl al-Madīnah al-Fadhīlah yang dimulai
pembahasan tentang Tuhan sebagai sebab pertama, menunjukkan keseriusannya
menyingkap tabir gelap pemikiran filsafat metafisika. Tuhan menurutnya sebab
pertama dari semua wujud yang ada di jagat raya ini, 6sama dengan konsep Tuhan
menurut madzhab Aristoteles bahwa, Tuhan maha hidup, azali dan abadi, tiada yang
paling awal darinya dan tiada yang paling akhir selainnya, tidak memerlukan iradah
yang muaranya adalah sebuah pilihan, karena Tuhan telah sempurna. 7Dia tidak
percaya bahwa Tuhan tibatiba saja memutuskan untuk menciptakan alam, karena hal
itu akan menimbulkan pemahaman Tuhan yang abadi dan statis tiba-tiba mengalami
perubahan.8
Al-Farabi sependapat bahwa alam ini ‘baru’ yang terjadi dari tidak ada sama
dengan pendapat al Kindi, Berbeda dengan konsep filsafat metafisikanya Plato yang
dikonsepsikan dengan alam idea, Plato hendak mengingkari sifat wujud Tuhan dalam
mensucikan Tuhan, karena apabila mempunyai sifat maka Tuhan tidak berbeda
dengan wujud yang lain. Al-Farabi mengartikan alam idea dari segi kekekalannya
mirip dengan alam akhirat. Dalam perjalanan sejarahnya ‘alam idea’ Plato ini
dihidupkan kembali oleh Plotinus, yang kemudian lebih masyhur dikenal dengan
nama neoplatonis.9
Al-Farabi memandang wujud yang ada merupakan mata rantai wujud abadi
yang memancar dari wujud tunggal, kekal dan abadi. 10Penciptaan jagad raya ini
terjadi dalam sepuluh emanasi secara bertingkat, masing masing membentuk bidang
wujud tersendiri, langit, bintang dan seterusnya, pada tingkat kesepuluh emanasi
terhenti karena daya akal sudah melemah. Bila ditelisik hingga relung-relung
pemikiran al-Farabi akan kita dapati samudera keilmuannya yang sangat luas bagai
lautan yang tak bertepi.
Untuk itu, tulisan ini hanya akan mengulas secara kritis, tentang filsafat
metafisika penciptaan alam, konsep akal dan wahyu yang berhubungan dengan
kenabian serta ditambahkan dengan konsep negara utama, kesemuanya mempunyai
kaitan yang sangat erat satu dengan lainnya. Adapun tujuannya adalah supaya kita
5
KH. Muhammad Sholihin, Filsafat dan Metafisika dalam Islam, (Yogyakarta: Narasi, 2008), 173
6
Daulasi Uliri, al-fikr al-‘arabiy wa makānuhū fīt-tārīkh, (Kairo: Ālam al-Kutub, 1961), 16
7
Said Hawa, Allah Jallā Jalāluhu, terj. Muhtadi Abdul Mun’im, Allah Swt., (Jakarta, Gema Insani Press, 1998), 22
8
Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, terj. Zaimul Am, (Bandung: Mizan Utama, 2003), 240.
9
Muhammad Sholihin, Filsafat Dan Metafisika Dalam Islam, (Yogyakarta: Narasi, 2008), 173.
10
Abd. Rahman al-Badawiy, Rasā’il Falsafiyyah, (Beirut: Dār Andalusi, tt), 36.
6
mendapatkan pemahaman yang integral dan menyeluruh antara hubungan akal-akal
dalam filsafat al-Farabi dengan filsafat kenabian dan filsafat politik tentang tujuan
bernegara.11
11
Karen Armstrong, Sejarah Tuhan….,240
7
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Biografi Al-Farabi
Al-Farabi mempunyai nama lengkap Abu Nashr Muhammad ibn Tarkhan
ibn al-Uzalagh al-Farabi lahir 257-339 H atau 870-950 M di Wasij di Distrik Farab
(sekarang bernama Atrar, di Transoxiana), sebuah kota yang mayoritas
penduduknya mengikuti madzhab Syafi‟iyah. Sedangkan, ia wafat di Damaskus
pada 950 M atau 339 H/950 M. Di kalangan masyarakat Eropa, ia lebih dikenal
dengan nama al-Farabius, dan juga dengan nama Avenasser. Ayahnya adalah
seorang opsir tentara keturunan Persia yang mengabdi kepada
pangeranpangeran Dinasti Samaniyah. 12
Sejak masa kecilnya Al-Farabi mempunyai kecakapan yang luar biasa dalam
bidang bahasa. Setelah besar, Al-Farabi meninggaalkan negerinya untuk menuju
Baghdad, yang menjadi pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan saat itu. Di
Baghdad ia belajar logika kepada Abu Bisyr bin Mattius, seorang kristen Nestorian
yang banyak menerjemahkan filsafat Yunani, dan belajar kepada Yuhana ibn
Hailam. 13Dan ilmu Nahwu kepada Abu Bakar As-Sarraj.
12
ashral-Farabi, Ârâ Ahl al-Madînah al-Fâdlilah,(Libanon: Dâru alMasyriq, 2000), hlm. 1.
13
Dedi Supriyadi, Pengantar filsafat Islam... p. 81
14
Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), pp. 198
8
gaya hidup dan kebiasaan kulturalnya mirip orang Turki. Berbeda dengan Mahdi,
Ahmad Hanafi (1990: 81) menyatakan bahwa ayah al-Farabi adalah orang Iran
dan menikah dengan seorang wanita Turkestan. Kemudian ia menjadi perwira
Turkestan, karena itu al-Farabi disebut dari keturunan Turkestan, tetapi kadang-
kadang juga disebut sebagai orang Iran.
9
menyeluruh serta mengupasnya dengan sempurna, sehingga filsuf yang
datang sesudahnya seperti Ibnu Sina (370H/980 M-428/1037 M) dan Ibnu
Rusyd (520H/1126 M-595 H/1198 M) bayak mengambil dan mengupas sistem
filsafatnya.7 Al-Farabi menunjukan kehidupan spiritualnya dengan usia yang
masih sangat muda dan memperaktikan kehidupan sufi. Ia juga ahli musik
terbesar dalam sejarah Islam dan komponis beberapa irama musik, yang
masih sering didengarkan dalam perbendaharaan lagu sufi masuk india. Al-
Farabi telah mengarang ilmu musik dalam lima bagian. Bukubuku ini masih
dalam naskah bahas Arab, tetapi seagiannya sudah diterbitkan dalam bahasa
Prancis oleh D‟Erlenger. Teorinya tentang harmoni belum dipelajari hingga
mendalam.17
Berbeda dengan kehidupan beberapa filsuf besar Muslim yang
berpengaruh kuat dalam dunia Islam dan Barat, seperti Ibnu Sina (Aviccena)
dan Ibnu Rusdy (Avirroze), walaupun al-Farabi lebih tua dibanding mereka,
kelihatannya latar belakang kehidupan awal, pelatihan dan pendidikan al-
Farabi sangat sedikit yang diketahui dengan pasti. Kebanyakan informasi
tentang al-Farabi hanya didapat sedikit dari penulis biografi Arab abad
pertengahan, yang dapat dirunut mulai dari abad ke-10 M. sampai abad ke-13
M. Catatan paling awal terdapat dalam karya Ibnu al-Nadzim (w. 380H/990M)
dalam kitab al-Fihrist, yang hanya memberikan beberapa catatan kecil tentang
para guru dan murid al-Farabi serta beberapa anekdot yang kebenarannya
diragukan (Nasr, 2003 : 221). 18
17
Ayi Sofiyan, Kapita Selekta Filsafat, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), p. 321
18
Hafid .2007. EPISTEMOLOGI AL-FARABI: GAGASANNYA TENTANG DAYA-DAYA MANUSIA. Jurnal
Filsafat Vol.17, Nomor 3, Desember 2007
10
Pada usia 75 tahun, tepatnya pada 330 H (945 M), ia pindah ke
Damaskus, dan berkenalan dengan saif Ad-Daulah Al-Hamdani, Sultan Dinasti
Hamdan di Aleppo. Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama
istana. Hal yang paling menggembirakan di tempat ini adalah beetemu dengan
para sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fiqh, dan kaum cendikiawan
lainnya.10 Akhirnya pada bulan Desember 950 M filosof muslim besar ini
menghembuskan nafas terakhirnya di Damaskus pada usia 80 tahun. 19
19
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam. 66
20
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1996), pp.
21
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam . 82-83
11
farabi tidak dekat dengan penguasa dan tidak menduduki salah satu jabatan
dalam pemerintahan.22
B. Pendidikan Al-Farabi
12
Farabi benarbenar konsentrasi dengan aktivitasnya, sehingga dia tidak terjun
dalam politik praktis. Padahal, pada waktu itu terjadi gejolak politik yang
dahsyat di Baghdad. Kemudian, pada tahun 330 H /940 M al-Farabi pindah ke
Damaskus. Al-Farabi hanya tinggal selama dua tahun di Damaskus, kemudian
dia mendapat panggilan dari putra mahkota Dinasti Hamdaniyyah oleh Saif ad-
Daulah. Karena kekaguman putra mahkota terhadap kepandaian alFarabi,
maka Saif al-Daulah mengangkat al-Farabi menjadi ulama‟ istana. Selama
menjadi ulama‟ istana, alFarabi mendapat gaji yang besar. Namun, al-Farabi
tetap hidup sederhana dengan mencukupkan uang empat dirham setiap hari.
Bahkan, dia memberikan tunjangan itu kepada fakir miskin. Hampir 10 tahun,
al-Farabi pulang pergi antara Damaskus ke Aleppo. 25
13
Al-Farabi hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah yang sedang
mengalami kegoncangan politik yang luar biasa. Pemerintah pusat Abbasiyah
di Baghdad berada dalam kekacauan di bawah tekanan para diktator, yaitu
pada zaman khalifah Mu‟tamid (869-892 M) dan meninggal pada masa
pemerintahan Khalifah Al-Muthi‟ (946-974 M). Suatu periode paling kacau
dan tidak ada stabilitas politik sama sekali. Pada waktu itu, timbul banyak
macam tantangan, bahkan pemberontakan terhadap kekuasaan Abbasiyah
dengan berbagai motif: Agama, kesukuan, dan kebendaan. Diperkirakan erat
kaitannya dengan situasi politik yang demikian kisruh, al-Farabi menjadi gemar
berkhalwat, menyendiri dan merenung. Ia merasa terpanggil untuk mencari
pola kehidupan bernegara dan bentuk pemerintahan yang ideal.Pada saat al-
Farabi mengalami kondisi demikian, ia berkenalan dengan pemikiran Filsafat
Yunani, seperti Plato dan Aristoteles.
Al-Farabi belajar ilmu falsafah dan ilmu logika kepada sarjana kristen,
Abu Bisyr Matta bin Yunus, seorang penerjemah buku-buku Aristoteles dan
filosof-filosof30 Yunani lainnya. Sehingga, al-Farabi juga ikut menerjemahkan
karya-karya Plato dan Aristoteles. Dalam proses penerjamahan, al-Farabi juga
mengomentari karyakarya Plato dan Aristoteles. Sehingga, pemikiran mereka
terinternalisasi dalam pikiran al-Farabi. Jadi, sangat logis jika al-Farabi
terpengaruh oleh pemikiran Plato dan Aristoteles dalam karyanya. Namun,
kehebatan al-Farabi adalah mampu mengkombinasikan ide atau
pemikiranpemikiran Yunani Kuno dengan pemikiran Islam untuk menciptakan
sebuah negara yang ideal (Negara Utama)27
27
Ibid., 82
14
dia pindah ke Harran salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil untuk
berguru pada Yuhana bin Jilan. Tetapi tidak lama kemudian dia pindah lagi ke
kota Bagdad dan menghabiskan waktunya di Baghdad selama 30 tahun untuk
mengajarkan dan menulis karya filsafat (Hanafi, 1990: 81).
28
Hafid .2007. EPISTEMOLOGI AL-FARABI: GAGASANNYA TENTANG DAYA-DAYA MANUSIA. Jurnal
Filsafat Vol.17, Nomor 3, Desember 2007
29
Mustofa, HA, Filsafat Islam (Bandung : Pustaka Setia, tt), hlm.127-128
15
Adapun buku al-Farabi yang bejudul “Ihsaul Ulum” merupakan teori
keilmuan dan cabang-cabangnya yang meliputi ilmu Bahasa, Mantiq,
matematika, fisika, politik, hukum dan ketuhanan yang sebenarnya telah
pernah dibahas oleh para penulis lain. Namun yang membuat buku itu
istimewa adalah karena al-Farabi mengkaitkan semua cabang ilmu tersebut
dengan teori-teroi keislaman yang ia rangkum dalam dua cabang ilmu baru,
yakni Fiqh (hukum Islam) dan ilmu Kalam yang sangat populer dibicarakan
pada masa itu.
30
5 Sudarsono. Filsafat Islam, ( Jakarta : PT Rineka Cipta, 1997), hlm. 32
31
Ibid., 127-128
16
dalam delapan: linguistik, logis, matematik, fisika, metafisika, politik, dan
yuridis. Dalam hal logika, dia menulis dan memberikan komentar atas
Organon karya Aristotels secara tuntas meliputi kategori (alma’qulat),
hermeneutika (al-Ibrah), analogi (al-Qiyas), analitik (al-burhan), tema (al-
jadal), sofistika (al-mughallithah), retorika (al-khatabah) dan puisi (as-Syiir). Di
antara kitabnya khusus tentang logika, tertulis dalam berbagai risalah
pendeknya risalat sudira biha lakitab (Risalah yang dengannya kitab berawal),
Risalah Fi jawab masa’il su’ila ‘anha (risalah tentang jawaban atas pertanyaan
yang diajukan kepadanya). Al-Farabi juga menulis tentang ilmu fisika dalam
kitabnya; Syarah Kitab al-Sama’ alTabhi’iyah (komentar atas fisika aristoteles)
(Hanafi, 1990: 82).
17
AlFarabi hanya membagi secara garis besar bahwa ilmu itu dibagi
menjadi dua: ilmu naqliyat (ilmu yang diwahyukan) dan ilmu aqliyat (ilmu yang
diperoleh). Hanya saja al-Farabi mengklasifikasikan ilmu ke dalam peringkat
yang lebih tinggi dan lebih diutamakan. Oesman Bakar (1997: 66) menyatakan
bahwa dalam risalatnya Fadhilatul Ulum wal Shinaat, al-Farabi menyusun
hirarki ilmu atas dasar tiga hal: kemuliaan materinya, kedalaman buktinya dan
besarnya manfaat. Dilihat dari aspek kemuliaan materinya, ilmu astronomi
menempati urutan pertama, karena yang diamati adalah benda langit. Kalau
dilihat dari kedalaman buktinya, geometri sedangkan dilihat dari besarnya
manfaat ilmu syariah dan ilmu sains.
33
Ibid., 32
34
M.M. Syarif. Para Filosof Muslim, (Bandung : Mizan, 1998), hlm. 57
18
pikir manusia. Dilihat dari aspek batasan bahwa daya pikir dibagi atas
dua; berpikir teoretis dan berpikir praktis sedangkan dilihat dari aspek
fungsi, daya berpikir teoretis berfungsi untuk menerima bentuk objek
intelektual atau pengetahuan yang dipahami (ma’qulat) dan berpikir
praktis menerima pengetahuan yang dilaksanakan.
35
M.M. Syarif. Para Filosof Muslim, (Bandung : Mizan, 1998), hlm. 57
36
Ibid., 57
19
(penyelidikan rencana pembangunan). Jawâmi‟ as-Sayr alMardiyyah fî Iqtifâ‟
al-Fadhâil al-Insiyyah (himpunan akhlakakhlak yang baik dalam mengikuti
sifat-sifat keutamaan manusia. As-Sîratu al-Fâdhilah(Akhlak Utama), kitab ini
pernah dipujikan sebagai puncak karangan al-Farabi di lapangan akhlak.37
37
Ibid., 57
38
Dedi Supriyadi, Pengantar filsafat Islam, 83 .
39
Syarif, Para Filosof Muslim, pp. 36
20
40
telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa Modern. Karya-
karyanya sebagai berikut:
21
kesempurnaan. Sementara, kesempurnaan tertinggi adalah kebahagiaan.
Menurut Al-Farabi, manusia yang sempurna adalah mereka yang telah
mengetahui kebajikan secara teoretis dan menjalankannya dalam praktik
keseharian.
1) Metafisik
2) Matematik. Menurut al-Farabi dibagi menjadi tujuh cabang, yaitu:
aritmatika, geometri, astronomi, musik, optika, ilmu tentang gaya, alat-alat
mekanik.
3) Ilmu-ilmu Alam. Ilmu-illmu alam, yang menyelidiki benda-benda alami dan
aksiden-aksiden yang inheren didalamnya, dibagi menjadi:
Minerologi, yang meliputi kimia, geologi, metalurgi;
Botani yang berkaitan dengan seluruh spesies tumbuhan, dan sifat
umum dan sifat-sifat khusus dari masing-masing spesies;
Zoologi, yang berhubungan dengan berbagai spesies binatang yang
berbeda-beda, serta sifat-sifat umum dan sifat-sifat khusus dari
masing-masing spesies, termasuk ke dalam katagori ini adalah:
Psikologi yang membahas daya-daya tumbuhan, hewan
dan manusia;
Kedokteran yang berbicara tetang manusia dari sudut
sehat atau sakitnya.43
42
Aziz sam, Pendidikan Menurut Al-Farabi, pendidikan-menurut-al-farabi.html, akses 25 Desember 2015.
43
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam.(Tangerang Selatan: UIN Jakarta Press,
2003), hlm. 178
22
Arti penting klasifikasi ilmu ini adalah untuk memudahkan penyusunan
kurikulum dari ilmu yang ingin diajarkan kepada murid murid. Sebagai ilustrasi
dari klasifikasi ilmu yang berdampak positif pada kurikulum yang dibangun.
Al-Farabi memasukkan pula seni sebagai salah satu mata pelajaran yang
harus diajarkan dalam proses pendidikan. Sebab, ungkap Al-Farabi, orang bijak
adalah mereka yang sangat mahir dalam bidang seni dan mencapai
kesempurnaan di dalamnya. Oeh sebab itu, sebagaimana tujuan pendidikan
menurut Al-Farabi adalah menjadikan manusia yang benar-benar sempurna.
Maka kemungkinan beliau berharap dunia ini dipegang oleh generasi Islam yang
terpelajar dan intelektual yang mana keduanya merupakan sifat dari pendidik
dan peserta didik.44
23
tanpa mencapai kepastian. Bujukan akan tercapai ketika pendengar melakukan
hal-hal yang dia yakini adalah benar.
45
Ibid., 178
24
adalah zoon politicon, makhluk yang bermasyarakat dan bernegara untuk
mencapai kesempurnaan sebagai manusia. 46
Sebagaimana yang terdapat dalam karya fenomenal al-Farabi Ârâ‟ Ahl
al-Madînah al-Fâdlilah bahwa negara muncul dari sekumpulan manusia.
Manusia saling membutuhkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, yang
disebut al-Farabi dengan Asosiasi (al-Ijtimâ‟at alInsâniyah). Manusia tidak
akan mendapatkan kesempurnaan dan kebahagiaan, kecuali melalui asosiasi
dengan berkerjasama dan berkumpul. Menurut al-Farabi manusia termasuk
makhluk yang tidak dapat menyelesaikan urusan-urusan penting mereka,
ataupun mencapai kondisi terbaik mereka, kecuali melalui asosiasi
(perkumpulan) banyak kelompok dalam suatu tempat tinggal yang sama. Hal
inilah menjadi awal terbentuknya negara. Al-Farabi beranggapan bahwa
negara lahir atas kesepakatan bersama dari sekumpulan manusia yang saling
membantu untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Menurut al-Farabi, manusia tidak dapat menyelesaikan urusan-
urusannya sendiri, sebab manusia membutuhkan pertimbangan dari orang
lain untuk mencapai keadaan yang baik. Jadi, manusia membutuhkan asosiasi
(perkumpulan) dalam suatu tempat tinggal yang sama. Psikologi manusia
menurut al-Farabi mempunyai fitrah sosial, fitrah untuk berhubungan dan
hidup bersama orang lain, dari fitrah ini kemudian lahir apa yang disebut
masyarakat, kota dan negara. Sifat dasar inilah yang mendorong manusia
untuk hidup bermasyarakat dan bernegara.
Secara fitrah, manusia akan hidup bermasyarakat. Sebab, untuk
mempertahankan hidup, manusia membutuhkan sandang, pangan, dan
papan. Untuk memenuhinya, tidak mungkin manusia hidup sendiri tanpa
bantuan orang lain. Sehingga meniscayakan manusia untuk hidup
berkelompok. 47
Al-Farabi sangat memperhatikan masyarakat dalam membangun
konsep kota utama. Bahkan, ia membagi masyarakat kedalam dua kelompok
besar, yakni masyarakat sempurna dan tidak sempurna. Masyarakat
sempurna adalah masyarakat kelompok besar, bisa berbentuk masyarakat
kota, ataupun masyarakat yang terdiri dari beberapa bangsa yang bersatu dan
bekerja sama secara internasional. Masyarakat yang sempurna dibagi al-
Farabi menjadi tiga jenis, yaitu besar, menengah, dan kecil. Masyarakat
sempurna besar (Kâmilah „Uzmâ) adalah kesatuan dari beberapa bangsa yang
berkelompok dan bekerja sama antara satu dan yang lain. Sedangkan,
masyarakat sempurna menengah (Kâmilah Wusthâ) adalah kesatuan suatu
bangsa, dan masyarakat sempurna kecil (Kâmilah Syughrâ) adalah kesatuan
dari masyarakat dalam suatu negara atau kota. 48
46
Fauzi M. Najjar, “Democracy In Islamic Political Philosophy” dalam Jurnal Studia Islamica, La Loi du, 1957, G.P
Maisonneuve et Larose, 1980, hal. 108- 122
47
Abu Nashr al-Farabi, Ârâ‟ Ahl al-Madînah al-Fâdlilah, (Beirut: Daar alMasyriq, 2000), Cet. 2. h. 117.
48
Ibid., 177
25
Masyarakat tidak sempurna adalah kesatuan terkecil dari suatu
kelompok manusia, seperti: rumah tangga dan desa. Masyarakat ini, secara
kuantitas dan kualitas anggotanya kurang mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Al-Farabi menganjurkan untuk saling bekerjasama agar
dapat menghilangkan kekurangan dan mewujudkan kesempurnaan.
Sementara yang dikatakan masyarakat yang tidak sempurna adalah
masyarakat yang hanya dalam keluarga maupun sedesa dalam lingkup yang
lebih kecil. Masyarakat yang terbaik menurut al-Farabi adalah masyarakat
yang bekerja sama serta saling bantu untuk mencapai kebahagiaan,
masyarakat yang demikianlah yang dikatakan sebagai masyarakat yang utama.
Menurut al-Farabi negara merupakan satu kesatuan yang paling
mandiri dan mampu memenuhi kebutuhan hidup yang diperlukan manusia
seperti, sandang, pangan, dan papan. Masyarakat akan mencapai tingkatnya
yang sempurna ketika masyarakat kota yang merupakan sekelompok manusia
yang mampu memenuhi kebutuhan mereka dengan saling melengkapi antara
satu dan yang lain.Sebab, pada dasarnya, setiap manusia itu saling
membutuhkan antara satu dengan yang lain guna mencapai kesempurnaan
hidup. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka saling membantu.
Karena banyaknya kebutuhan mereka, sehingga mengharuskan untuk saling
melengkapi.
Setiap orang bekerja sesuai dengan kompetensinya. Masyarakat
bagaikan satu tubuh yang disaat satu anggota tubuh merasa senang, maka
senanglah semua. Begitupun sebaliknya, di saat salah satu anggota tubuh
merasa sakit, maka sakitlah semuanya. Seluruh masyarakat dijalari oleh jiwa
yang sama dengan rasa yang sama pula. Setiap orang dalam masyarakat kota
harus menyadari perlunya kerjasama dan koordinasi yang teratur. Jika
anggota masyarakat mempunyai kompetensi yang bermacam-macam, maka
mereka melakukan pekerjaan sesuai dengan bakat mereka masing-masing. 49
Menurut al-Farabi, negara utama ibarat tubuh manusia yang sempurna
dan sehat. Semua organ tubuh bekerjasama sesuai dengan tugas dan
tanggung jawab masing-masing. Setiap tubuh manusia memiliki sejumlah
organ atau anggota badan dengan berbagai fungsi yang berbeda, dan dari
sejumlah organ itu terdapat satu organ pokok yang paling penting, yakni
jantung. Sebab, jantung berfungsi sebagai organ pengatur yang tidak diatur
oleh organ lainnya. Selain jantung, ada organ lain yang tingkat kepentingannya
hampir sama dengan jantung, yaitu otak.
Otak adalah organ penting kedua di dalam tubuh manusia. Organ tubuh
kedua membantu organ tubuh pertama untuk mengatur organ-organ tubuh
lainnya. Kemudian ada organ tubuh peringkat ketiga yang bertugas untuk
melayani organ tubuh peringkat kedua, begitu seterusnya. Jantung menjadi
49
Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A. Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya), (PT. Raja Grapindo Persada), h. 83.
26
pengatur seluruh organ tubuh manusia, sehingga jika ada salah satu organ
tubuh rusak, maka jantung langsung bertindak untuk memperbaiki kerusakan
itu.50
Dari sinilah al-Farabi menganggap bahwa perlu mendirikan suatu
negara untuk mengatur masyarakat yang mempunyai karakter dan
kompetensi yang berbeda-beda. Karena itu, masyarakat membutuhkan ketua
atau pemimpin yang bertugas dan berwenang untuk mengatur dan
mengarahkan kompetensi yang berbeda itu untuk menuju kesempurnaan
hidup. Al-Farabi mengibaratkan kota atau negara dengan susunan tubuh
manusia yang sehat dan sempurna dimana masing-masing saling berusaha
dan bekerjasama, dalam tubuh manusia ada kepala, hati, jantung, tangan, dan
kaki yang bekerja sesuai dengan tugasnya.
Begitu pula dalam Negara, masing-masing rakyat mempunyai tugas dan
kadar kecerdasan yang berbeda-beda sehingga membutuhkan saling
kerjasama dimana harus ada kepala Negara, dan yang lain membantu dalam
berbagai kedudukan sehingga tercapai kebahagiaan. Gagasan ini sebagaimana
diungkapkan oleh Al-Farabi dalam karyakarya penting filsafat politiknya di
antaranya, Al Siyasah Al Madaniyah, dan Ârâ‟ Ahl Al Madînah Al-Fâdlilah. 51
27
Dengan unsur-unsur keutamaan itu, manusia dapat mencapai
kebahagiian material dan spiritual. Setiap orang bekerja dengan kemampuan
dan bakat masing-masing di bawah komanda kepala negara yang memiliki
banyak skill. Kepala Negara adalah seorang Guru (Mu‟allim), sebab dia yang
akan mengajar rakyat-rakyatnya. Kepala Negara seorang Pendidik (Muaddib),
karena dia yang akan menjadi pancaran dari sifat “nubuwwah” mendidik
rakyat menjadi manusia utama. Al-Farabi mengklasifikasikan negara
berdasarkan ideologi, bukan berdasarkan sistem pemerintahan, seperti
monarkhi, absolut, dan demokrasi.53
Al-Farabi tidak sependapat dengan pembagian negara secara modern
yang berdasarkan kedaulatan rakyat, kekuasaan, dan hukum. AlFarabi
memiliki gagasan sendiri dalam hal ini. Dengan demikian, al-Farabi
mengkonsepsikan Negara Utama sekaligus lawan dari Negara Utama.
Al-Madînah al-Fâdlilah (Negara Ideal/Utama) Negara Utama menurut al-
Farabi adalah negara yang didirikan oleh warga negara dengan tujuan
jelas, yaitu kebahagiaan. Dalam kitab Ârâ Ahl Madînah alFâdlilah
terwujudnya kota utama di dalam negara utama apabila penduduknya
memiliki pengertianpengertian sebagai berikut: Warga memiliki
kecerdasan spiritual dan material untuk sampai pada akal aktif. Warga
mengetahui sebab-sebab pertama dan tujuan keberadaan manusia.
Kemudian munculnya kota utama yaitu suatu kota yang warganya
memproleh kebahagiaan yang diidam-idamkan.
Al-Madînah al-Jâhiliah (Negara Jahiliyah) Negara jahiliyah menurut al-
Farabi adalah negara yang tidak mempunyai ideologi yang tinggi, artinya
tidak mempunyai tujuan yang ideal sama sekali atau menganut ideologi
yang salah, yang beretentangan dengan kebahagiaan. Kota ini dihuni oleh
warga yang tidak mengetahui tentang arti kebahagiaan (yang seharusnya
menjadi tujuan utama manusia) dan hal ini memang tidak terlintas di
dalam benak mereka. Jika diarahkan secara benar untuk sampai kepada
hal tersebut (kebahagiaan), mereka tetap tidak dapat memahaminya,
bahkan tidak mempercayainya.
Al-Madînah al-Fâsiqah (Negara Fasiq) Negara Fasik yaitu sebuah negara
dengan penduduk yang mengenal kebahagiaan, Tuhan, dan Akal Fa‟al,
seperti penduduk negara utama. Akan tetapi, tingkah laku penduduk
negara fasik sama dengan negara bodoh. Apa yang mereka lakukan
berbeda dengan apa yang mereka ucapkan.
Al-Madînah al-Mubaddilah (Negara yang Bertukar Kebutuhan) Negara
yang Bertukar Kebutuhan adalah negara yang pandangan-pandangan dan
perbuatan-perbuatan penduduknya pada mulanya sama dengan
pandangan dan perbuatan masyarakat negara utama, kemudian beralih
53
Zainal Abidin Ahmad, op. Cit., h. 113.
28
dari pandangan itu karena kemasukan pandangan lain sehingga
menyeleweng dari pandangan semula.
Al-Madînah al-Dhallah (Negara Sesat) Negara Sesat yaitu negara yang
penduduknya memiliki pemikiran yang salah tentang Tuhan dan akal Fa‟al.
Meskipun demikian, kepala negara ini tetap menganggap bahwa dirinya
mendapat wahyu, kemudian ia menipu orang lain dengan ucapan dan
tingkah lakunya.
Dari uraian di atas mengenai konsep Negara Ideal/Utama beserta
negara yang berlawanan dengan Negara Ideal/utama, kita mulai mendapat
pemahaman tentang pembagian-pembagian negara. Pembagian negara itu
berdasarkan ideologi warga dan pemimpinnya, karena memang unsur utama
dalam negara adalah warga dan pemimpinnya.54
Menurut al-Farabi, pemimpin negara utama adalah orang yang paling kuat
akalnya. Sebab, ia akan membawa warga untuk sampai pada akal fa‟al.
Seorang pemimpin harus dapat membuktikan bahwa dirinya adalah orang yang
sejahtera, sehingga warga dapat percaya bahwa pemimpin dapat membawa
warga untuk menuju kepada kehidupan yang sejahtera.
29
khusus mengenai kriteria pemimpin, sehingga kita dapat memahaminya
dengan baik tanpa interpretasi yang cukup rumit.
57
Abu Nashr al-Farabi, Tahsîl al-Sa‟âdah, op. Cit, h. 36-38
58
Abu Nashr al-Farabi, Ârâ‟ ahl al-Madînah al-Fâdlilah, op. Cit., h. 127- 129.
30
memberikan alternatif persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemimpin
negara utama. Yaitu sebagai berikut;
Bijaksana (Hikmah)
Mengerti dan mampu melaksanakan undangundang
Memiliki kecerdasan dalam mengambil keputusan
Berpandangan futuristic
Berbadan Sehat
Mampu menasehati orang.59
Apabila persyaratan tersebut tidak ditemukan pada satu orang, tetapi ada pada dua
orang yang satu adalah orang yang penuh kebijaksanaan sedangkan persyaratan selebihnya
dimiliki oleh orang lain, maka keduanya dapat bersama-sama menjadi pemimpin negara
yang bekerja sama satu sama lain. Jika syarat itu terdapat pada banyak orang, maka secara
otomatis pemimpin utama negara utama akan dipegang secara kolektif.
Akan tetapi, jika ada yang memiliki persyaratan dari nomor dua sampai enam,
sedangkan syarat pertama kebijaksanaan tidak ada, maka negara itu sama sekali tidak
mempunyai pemimpin, karena didalamnya tidak ada orang bijaksana yang dapat mengatur
negara itu dengan baik. Akibatnya negara itu akan mengalami kehancuran dalam waktu yang
tidak lama lagi.60
31
Di kalangan fuqaha kita kenal istilah darul al-Islam dan daru alharb.
Darul Islam sesunggguhnya adalah Daulah Islamiyyah.
Sejarah berbicara kepada kita bahwa Nabi SAW juga seorang kepala
negara ketika beliau berada di Madinah.
Keingian semua orang di dunia ini ingin hidup dalam sebuah negara
yang aman, damai, dan makmur. Tentunya kita semua ingin hidup dalam
sebuah negara yang mana rakyat benar-benar selalu diperhatikan dan
disayangi oleh pemimpinnya. Kita juga ingin tinggal dalam sebuah masyarakat
yang menghargai hak-hak individu dan harga diri serta martabat anggotanya.
Kita semua bisa beraktivitas dalam masyarakat yang bahagia, bukan
masyarakat yang mengalami kelemahan fisik ataupun sakit. Singkat kata kita
ingin tinggal, hidup, dan beraktivitas, menjadi bagian dari masyarakat yang
utama, bukan masyarakat yang sesat ataupun rusak. Untuk bisa mencapai
hidup di dalam tipe masyarakat yang ideal/ utama seperti itu tidaklah mudah.
61
32
rakyatnmya aman, terntram dan sejahtera, dan tentunya seluruh umat Islam
diIndonesia mengharapkan negara yang baik Baldatun Tayyiban dan rakyatnya
saling bekerja sama dengan pemimpinnya.
2.5 Pemikiran Al-Farabi Tentang Logika
Awalnya logika dan tata bahasa merupakan disiplin ilmu yang berdiri
sendiri berlandaskan kaidah atau aturan yang terpisah, masing-masing dengan
lingkup dan pokok permasalahannya sendiri. Namun semenjak al-Farabi kedua
disiplin itu dapat dipersatukan atau dihubungkan. Al-Farabi telah berusaha
keras membangun logika sebagai bagian kajian otonom dari filsafat bahasa,
yang keduanya saling melengkapi, bukan bertolak belakang dan bertentangan.
Menurut al-Farabi, logika adalah jenis tata bahasa yang universal, yang
memberikan kaidah atau aturan yang harus diikuti guna berpikir secara benar
dalam bahasa apa pun. Hubungan logika dengan tata bahasa tergambar dalam
analog bahwa hubungan logika dengan hal yang bisa dipikirkan (Ma’qulat)
adalah seperti hubungan antara tata bahasa dengan bahasa atau dengan
ungkapan itu sendiri. Dengan demikian, setiap kaidah atau aturan bahasa dan
pengungkapan yang diberikan oleh tata bahasa terdapat satu kaidah atau
aturan yang masuk akal sepadan dengan ilmu logika (al-Farabi, 1968). 62
33
konstribusi bagi pencapaian pengetahuan demonstratif dengan
mengidentifikasi beberapa cara: memberikan latihan berargumentasi,
memperkenalkan awal prinsip demonstrasi, membangkitkan kesadaran akan
prinsip bawaan demonstrasi yang terbukti dengan sendirinya (self evident),
dan mengembangkan ketrampilan berkomunikasi dengan massa (al-Farabi,
1986:7).
Sedangkan untuk retorika dan puisi, al-Farabi juga memasukkan dalam seni
logika, yang dirasa cukup unik karena berbeda dengan tujuan logika secara
umum. Menurut al-Farabi, Puisi akan menghasilkan sikap Takhyil;
pembangkitan gambaran imajinatif atas satu objek. Sedangkan untuk retorika
disebut sebagai “diterima secara luas pada penglihatan pertama” (alFarabi,
1959: 92). Al-farabi menjelaskan bahwa konsensus sosial dan intuisi rasional
awal dalam keyakinan sehari-hari manusia dibangun oleh retorika. Bahkan
retorika juga berfungsi untuk berkomunikasi dengan massa dengan
menciptakan ketrampilam logika awal. Akhirnya al-Farabi dalam hal ini
mengikuti pendapat Plato bahwa setiap filsuf sejati dibebani tugas untuk
mengkomunikasikan pemikiran filsafatnya kepada massa (alFarabi, 1981 : 89).
Dari sini, seni dialektika, retorika dan puisi adalah cara atau sarana
berkomunikasi dengan masyarakat sehingga merupakan bagian integral
filsafat dan pelengkap yang diperlukan bagi ilmu logika dan teori demonstrasi.
63
Bila dilacak lebih jauh dalam kitabnya al-Burhan teori demonstrasi al-
Farabi berangkat dari analisisnya atas syarat yang harus dipenuhi agar dapat
memperoleh pengetahuan (epistemologi), yaitu dua tindakan kognitif dasar:
konseptual (tashawur) dan pembenaran (tasdik). Tindakan pertama, bertujuan
memahami konsep sederhana dan memungkinkan mencakup esensi objek
dan tindakan kedua, terjadi atau muncul karena pertimbangan dan penilaian
benar atau salah dalam mencapai pengetahuan yang pasti (al-Farabi, 1986).
Dua tindakan itu pada gilirannya diidentifikasi sebagai tujuan yang ingin
dicapai oleh definisi dan silogisme demonstrasi, sebagai syarat bagi
konseptualisasi dan konfirmasi yang sempurna (Hadi, 2005: 109- 117).
Hanya saja dalam konteks untuk mencapai kepastian pengetahuan ini, al-
Farabi menegaskan bahwa kepastian itu terdiri atas dua hal: keyakinan bahwa
kebenaran yang kita terima, mustahil menjadi kebalikannya (salah) dan
keyakinan bahwa tidak ada keyakinan lain yang mungkin selain yang kita
yakini (alFarabi, 1986:7). Dengan kata lain, kepastian pengetahuan tidak hanya
mensyaratkan pengetahuan kita akan sesuatu hal, tetapi juga pengetahuan
kita bahwa kita mengetahuinya.
63
Ibid., Hafid .2007
34
Dari definisi kepastian seperti itu, memungkinkan akan adanya kepastian
niscaya bahwa sesuatu yang diyakini seseorang akan sesuatu hal, mustahil
merupakan hal yang lain untuk selamanya, kepastian niscaya mensyaratkan
akan adanya objek yang niscaya dan abadi keberadaannya. Di samping
memperluas gagasan tentang kepastian pengetahuan, al-Farabi juga
sependapat dengan Aristoteles bahwa demonstrasi dalam pengertiannya yang
paling ketat hanyalah berkaitan dengan hal yang dapat diketahui dengan
kepastian niscaya. Akan tetapi al-Farabi menambahkan dimensi baru pada
teori demonstrasi yang mempertimbangkan unsur subjektif di dalam
kepastian kesadaran dan pengetahuan seseorang, bahwa dirinya mengetahui
dan juga unsur objektif yang pasti dan kekekalan objek yang diketahuinya.
35
memperoleh konsep tentang sesuatu yang masuk akal, ia berubah dari
potensi murni menuju aktualitasnya, dan menjadi tipe intelek kedua, intelek
aktual. Proses mengaktualisasikan hal yang masuk akal merupakan proses
bertahap, yang bertujuan bahwa perolehan semua hal yang masuk akal dan
ilmu tersedia bagi pengetahuan manusia. Ketika intelek ini mencapai
tujuannya (merumuskan hal yang masuk akal dan ilmu), maka intelek ini
kehilangan sisi potensialnya dan berubah menjadi bentuk murni dan aktualitas
murni.
65
Dari gambaran tentang ajaran al-Farabi tentang intelek dan daya imajinasi,
maka persoalan kenabian dapat diuraikan. Menurut Al-Farabi sebagaimana
dijelaskan Deborah L. Black (2003: 233- 234) bahwa persoalan kenabian dan
perwujudannya merupakan hasil interaksi antara intelek dan daya imajinasi.
Yang membuat pengetahuan kenabian unik bukanlah muatan intelektualnya
semata-mata, karena para filsuf juga memiliki hal yang sama. Tetapi semua
Nabi, di samping memiliki kemampuan intelektual, juga dikaruniai daya
imajinasi yang luar biasa tajam.
65
Madjid, Nurcholish (ed.), 1994, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta : Bulan Bintang
66
Madjid, Nurcholish, 2000, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina
67
Nasr, Sayyed Hossein (ed.), 2003, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Bandung: Mizan
36
Dalam catatan Ibrahim Madkur, filsafat kenabian16 al-Farabi erat kaitannya
antara nabi dan filosof dalam kesanggupannya untuk mengadakan komunikasi
dengan ‘Aql Fa’’al. 17 Motif lahirnya filsafat al-Farabi ini disebabkan adanya
pengingkaran terhadap eksistensi kenabian secara filosofis oleh Ah}mad ibn Ishaq
al Ruwandi (w. akhir abad III H) dan Abu Bakr Muhammad ibn Zakariya al-Razi
(865-925 M). Di mana menurut mereka, para filosof berkemampuan untuk
mengadakan komunikasi dengan ‘Aql Fa’’al. 18 Ahmad ibn al-Ruwandi, tokoh
yang berkebangsaan Yahudi ini menurunkan beberapa karya tulis yang isinya
mengingkari kenabian pada umumnya dan kenabian Nabi Muhammad SAW
khususnya.68
Kritiknya ini dapat dideskripsikan sebagai berikut :
Nabi sebenarnya tidak diperlukan manusia karena Tuhan telah
mengaruniakan akal kepada manusia tanpa terkecuali. Akal manusia dapat
mengetahui Tuhan beserta segala nikmat-Nya dan dapat pula mengetahui
perbuatan baik dan buruk, menerima suruhan dan larangan-Nya.
Ajaran agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak ada bedanya tawaf
di Ka’bah, dan sai di Bukit Shafa dan Marwa dengan tempat-tempat lain.
Mukjizat hanya semacam cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan
manusia. Siapa yang dapat menerima batu dapat bertasbih dan serigala
dapat berbicara. Kalau sekiranya Allah membantu umat Islam dalam Perang
Badar mengapa dalam Perang Uhud tidak?
Al-Qur’an bukanlah mukjizat dan bukan persoalan yang luar biasa (khariq
al-‘adah). Orang non-Arab jelas heran dengan balaghah al-Qur’an, karena
mereka kenal dan mengerti bahasa Arab dan Muhammad adalah orang yang
paling fasih di kalangan orang Arab.
Justru karena hal-hal di atas, daripada membaca kitab suci, lebih berguna
membaca buku filsafat Epicurus, Plato, Aristoteles, dan buku astronomi, logika,
serta obat-obatan. Tentu pandangan Ibn al-Ruwandi di atas tidak dapat
dibenarkan, khususnya dari sisi akidah Islam. Dari sisi pemikiran, arahnya sangat
liberal dan destruktif. Dan ini sangat berbeda dengan pandangan al-Farabi
tentang kenabian (al-nubuwwah) yang menjadi dasar dari filsafat kenabiannya.
Pandangannya itu dapat dijelaskan dalam penjabaran berikut ini.
Menurut al-Farabi, manusia dapat berhubungan dengan ‘Aql Fa‘‘al melalui
dua cara, yakni: penalaran atau renungan pemikiran dan imaginasi atau intuisi
(ilham). Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh pribadi-pribadi pilihan yang
dapat menembus alam materi untuk dapat mencapai cahaya ketuhanan.
Sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh nabi. Perbedaan antara kedua
cara tersebut hanya pada tingkatannya, dan tidak mengenai esensinya.
68
Qosim Nursheha Dzulhadi. Al-Farabi dan Filsafat Kenabian. Jurnal Kalimah. Vol. 12, No. 1, Maret
2014
37
Tentu saja jika yang dipahami sebagai ‘Aql Fa‘‘al itu adalah Jibril, maka yang
dapat berhubungan secara langsung hanyalah para nabi. Manusia sekelas filosof
pun tidak akan dapat mencapai derajat ini. Konon lagi, jika menggunakan logika
sederhana bahwa nabi adalah filosof, dan filosof bukan nabi. Maka dari sisi
tingkatannya pun antara nabi dan filosof sangat berbeda, yakni filosof berada di
bawah nabi.
Di dalam karyanya yang monumental, A’ Ahl al-Madinah al-Fadilah, al-Farabi
mengulas konsep kenabian ini dalam dua bagian penting: Fi Sabab al-Manamat
(Sebab Terjadinya Tidur) dan Fi al-Wahyi wa Ru’yat al-Malak (Masalah Wahyu dan
Melihat Malaikat). Kedua poros ulasannya ini dikaitkan oleh al-Farabi dengan
teori kenabiannya (nazariyyat al-nubuwwah), yang dapat dijelaskan sebagai
berikut. 69
Ketika imaginasi – yang dianggap sebagai kutub ruh – berpisah ketika tidur,
lalu masuk kepada simpanan-simpanan nalar dan berbagai gambar, maka ia
saling mendekat lalu menyusun gambar-gambar baru dan menyatu dengan tidur
dan keadaan psikologis yang siap untuk merespon dan dipengaruhi. Sehingga
orang yang sedang tidur mengalami mimpi berenang, kalau campuran itu basah
(lembab). Dan ia dapat mengalami mimpi perang, jika dalam kondisi psikologis
yang berkecamuk. Dalam hal ini al-Farabi menyatakan: “Hubungan dengan ‘Aql
Fa’’al meskipun jarang terjadi, khususnya orang-orang besar, tetapi hal itu dapat
mudah terjadi melalui dua jalan:
melalui jalur akal maupun imajinasi, atau
melalui jalan kontemplasi (al-ta’ammul) dan ilham (inspirasi).”
Dengan cara pandang yang kritis (al-nazar) dan kontemplasi, seorang manusia
dapat sampai pada derajat “Akal Sepuluh”, sementara melalui studi dan
penelitian jiwanya mampu sampai kepada “’Aql Mustafad” yang dapat menerima
cahaya Ilahi (taqbal al-anwar al-Ilahiyyah). Ketika dapat menerima cahaya Ilahi
inilah jiwa telah sampai kepada derajat kenabian, yaitu derajat paling sempurna
yang dicapai oleh kekuatan imajinasi. Dan kesempurnaan derajat ini dapat
ditempuh oleh manusia melalui kekuatan imajinasi ini (al-quwwah al-
mutakhayyilah).
Tentu saja, yang dapat mencapai imajinasi yang tinggi seperti di atas adalah
para nabi Allah, bukan orang biasa. Karena ini berkaitan dengan kekuatan lahir
dan batin, sebagai sosok yang menerima titah dan pesan Ilahi (risalah) yang
mengantarkannya menjadi seorang nabi atau seorang rasul. Oleh karena itu, nabi
yang menerima kenabian melalui wahyu, kata Ibn Khaldun (w. 808 H) dalam al-
Muqaddimah, memiliki prasyarat berikut.
69
Ibid., 68
38
1. Ketika menerima wahyu kesadarannya hilang, sehingga orang
melihatnya tengah pingsan, padahal tidak. Itu adalah kondisinya ketika
berhubungan dengan malaikat ruhani (al-malak alruhani) sesuai dengan
kekuatan mereka yang keluar dari kemampuan manusia biasa.
2. Sebelum menerima wahyu, seorang nabi telah dikenal memiliki akhlak
mulia, suci dari dosa (al-zaka), menjauhi perilaku tercela dan kotor (al-
rijs).
3. Mengajak manusia kepada agama (al-din) dan ibadah, seperti shalat,
sedekah, dan menjaga kehormatan diri (al-‘afaf).
4. Dikenal di tengah kaumnya memiliki garis keturunan yang baik
(dzuhasab).
5. Mampu melakukan hal-hal yang luar biasa, sebagai bukti kenabiannya.
Inilah yang disebut dengan mukjizat yang dapat melemahkan manusia,
sehingga mereka tak mampu mengikutinya.70
Dari sana semakin tampak jelas perbedaan antara nabi dan filosof.
Maka tidak mungkin bahwa wahyu atau mukjizat berasal dari kekuatan
imajinasi, sehingga ia tidak memiliki wujud di luar. Kalau demikian,
sebagaimana kritik Ibn Taymiyah (w. 728 H), maka nabi tidak memiliki
kedudukan istimewa. Ibn Taimiyyah kemudian menguatkan bahwa laut yang
terbagi menjadi dua belas jalur, setiap jalur seperti dinding yang kuat,
berubahnya tongkat menjadi ular, turunnya manisan dan burung puyuh dari
langit (almann wa al-salwa), keluarnya 12 mata air dari batu, mengucurnya air
dari sela-sela jari, memperbanyak makanan dan minuman sampai melebihi
orang yang membutuhkannya, dan terbongkarnya pohon dari akarnya
kemudian kembali lagi seperti semula, ini semua terjadi di luar kemampuan
manusia dan tidak terjadi karena kekuatan jiwa atau imajinasi. Hanya saja
konsepi kenabian (al-nubuwwah) menurut alFarabi erat kaitannya dengan
pandangan politik yang dibangunnya (al-siyasah). Di sini ia menyatukan secara
ideal antara kenabian dan filsafat, kepemimpinan religius dan politik,
kebajikan moral dan intelektual dalam diri penguasa, sehingga merupakan
sesuatu yang jarang terealisasikan dalam praktik politik. Akibatnya,
keselarasan antara keyakinan filsafat dan agama yang secara teoritis mungkin,
tetapi mensyaratkan perkembangan historis yang sangat khusus dan
pemenuhan syarat-syarat ideal ini, menjadi sulit, kalau bukan mustahil, untuk
direalisasikan dalam kenyataan.71
2.7 Pemikiran Al-Farabi Tentang Politik dan Negara
A. Pengertian Politik dan Agama
70
Abd al-Rahma } >n ibn Khaldu>n, Al-Muqaddimah, (Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al- > ‘Ilmiyyah, Cet. IX, 1427
H/2006 M), 74-75.
71
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, 238-239.
39
Politik, pada awalnya dilahirkan oleh agama. Misi Nabi Muhammad SAW.
dengan agama yang dibawa pada urutannya membentuk jejaring kekuasaan
untuk menyebarkan dan mewujudkan doktrinnya. Ini berarti agama mesti
memiliki kekuasaan politik. Politik merupakan salah satu aktivitas manusia
yang terpenting sepanjang sejarah manusia. dengannya, manusia saling
mengelola potensi yang berserakan di antara mereka; saling bersinergi dalam
tujuan yang sama; saling memahami dalam perbedaan yang ada; juga saling
menjaga aturan yang disepakati bersama. Seperti telah dijelaskan sebelumnya,
politik merupakan suatu usaha yang ditempuh bersama guna mencapai
kebahagiaan bersama.
Agama secara hakiki berhubungan dengan politik. Kepercayaan agama
dapat mempengaruhi hukum, perbuatan yang oleh rakyat dianggap dosa,
seperti sodomi dan incest, sering tidak legal. Seringkali agamalah yang
memberi legitimasi kepada pemerintahan. Agama sangat melekat dalam
kehidupan rakyat dalam masyarakat industri maupun nonindustri, sehingga
kehadirannya tidak mungkin tidak terasa di bidang politik. Sedikit atau banyak,
sejumlah pemerintahan di seluruh dunia menggunakan agama untuk memberi
legitimasi pada kekuasaan politik. Hubungan politik dengan agama tidak dapat
dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa politik berbuah dari hasil pemikiran agama
agar tercipta kehidupan yang harmonis dan tentram dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Hal ini disebabkan, pertama, oleh sikap dan keyakinan bahwa seluruh
aktifitas manusia, tidak terkecuali politik, harus dijiwai oleh ajaran-ajaran
agama; kedua, disebabkan oleh fakta bahwa kegiatan manusia yang paling
banyak membutuhkan legitimasi adalah bidang politik, dan hanya agamalah
yang dipercayai mampu memberikan legitimasi yang paling meyakinkan karena
sifat dan sumbernya yang transcendent. Dalam agama telah ada kesepakatan
bahwa sumber utama ajarannya adalah al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai wahyu
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. telah memberikan
petunjuk kepada semua umat manusia, termasuk dalam hal negara dan
politik.72
B. Kondisi Politik Islam pada masa kehidupan Al-Farabi
Al-Farabi dilahirkan pada masa pemerintahan khalifah Mu’tamid (870-
892 M) dan meninggal pada masa pemerintahan khalifah Muti’. Ia hidup di
tengah-tengah kondisi politik Islam yang paling kacau dan tidak ditemukan
stabilitas politik di dalamnya. Putra-putra raja dan penguasa lama (Persia dan
Turki), berusaha merebut kembali wilayah dan kekayaan nenek moyangnya.
Selain itu, sekelompok kaum Zenj juga melakukan pemberontakan terhadap
khalifah saat itu, hingga berhasil menguasai daerah sekitar Basrah.
72
Muhammad Elvandi, Inilah Politikku, (Solo : Era Adicitra Intermedia, 2011),p.1.
40
Saat itu pula lah, kewibawaan khalifah telah jatuh, khalifah tidak lebih
hanyalah sebuah simbol belaka. Sebelumnya, pemerintahan dinasti Abbasiyah
pernah mengalami masa kejayaan. Namun semenjak kekuasaan dipegang oleh
orang-orang dari Turki, Persi, Daila, dan Seljuk, pemerintah Islam pun mulai
melemah. Hal ini dikarenakan peraturan-peraturan dalam pemerintahan tidak
lagi berfungsi dengan baik, sehingga kekacauan pun terjadi dimana-mana.
Peristiwa terjadi sejak khalifah al-Mu’tashim Billah naik tahta. Kekacauan
berlangsung sampai dengan masa pemerintahan al-Mu’tamid. 73
41
Politik Al-Farabi merupakan suatu etika dan swakarsa yang terkait-erat
dengan kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. 86 AlFarabi berpendapat
bahwa politik harus didasari usaha konsepsi bersama dari manusia untuk
mencapai kebahagiaan (conception of collective efford and mankind) yang
tertinggi, dengan pikiran dan tindakan pribadi yang suci dan dengan kerjasama
masyarakat harmoni serta semangat simpati. 75
Konsep politik Al-Farabi ada dua, yakni negara utama dan lawan negara utama
a) Negara Utama (al-Madinah al-Fadhilah) Dalam Ara al-Madinah al-
Fadhilah, Al-Farabi menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial
yang mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat, karena ia
tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan pihak
lain. Kesempurnaan manusia sesuai dengan watak alamiah manusia itu
sendiri., tidak akan tercapai tanpa berhubungan dengan
manusiamanusia yang lain. Kerjasama itu mempunyai tiga bentuk, yaitu
kerjasama antar penduduk dunia pada umumnya, kerjasama dalam
suatu komunitas (ummah), dan kerja sama antar sesama penduduk kota
(madinah)
Menurut Al-Farabi, manusia tidak dapat mencapai kesempurnaan
yang ingin mereka capai, tanpa adanya asosiasi politik. 76Sebab, mereka selalu
membutuhkan bantuan dari rekan-rekan mereka dalam penyediaan
kebutuhan dasar dan kelangsungan hidup mereka. Asosiasi politik tersebut
terbagi menjadi tiga, yakni : bagian terbesar diidentikan dengan dunia pada
umumnya (ma’murah), bagian sedang diidentikkan dengan bangsa (umat), dan
bagian kecil disebut dengan negara kota (madinah polis). Asosiasi politik
tersebut dapat diarahkan untuk mencapai kebahagiaan sejati, selain itu hal
tersebut bisa dimanfaatkan untuk kesenangan atau akuisisi kekayaan.
Al-Farabi menggambarkan suatu kota sebagai suatu keseluruhan
yang saling berkaitan. Dimana perumpamaannya ia kaitkan dengan organisme
tubuh. Antara organ satu dengan organ yang lainnya saling berhubungan,
apabila ada bagian yang sakit, maka yang lainya akan bereaksi dan
menjaganya. Begitu juga dalam penggambarannya tentang sebuah kota,
setiap orang di dalamnya saling berhubungan satu sama lain, demi
tercapainya tujuan bersama, yakni sebuah kebahagiaan.
Kota utama merupakan kota yang semua warga negaranya
merupakan warga yang mengenali hakikat Tuhan, intelek aktif, kehidupan
akhirat, dan bersandar pada tata nilai kebajikan. Kota utama harus dipimpin
oleh seorang imam/pemimpin yang dapat membawa umatnya mencapai
tujuan yakni kebahagiaan. Dua kualifikasi penting dari seorang pemimpin
75
Firdaus Syam, Loc.Cit.
76
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam : Sebuah Peta Kronologis, Op.Cit., p. 53.
42
dalam kota utama adalah disposisi alam atau bakat untuk memerintah,
ditambah dengan sifat sukarela. Penguasa kepala kota utama ini harus
memiliki kesempurnaan intelektual penuh, baik sebagai subjek dan objek
pemikiran ('aqil, ma'qul).77
Negara utama memiliki 3 syarat keunggulan, unggul dalam ilmu
pengetahuan, unggul dalam ideologi, dan unggul dalam agama. Dengan
dipimpin oleh seorang kepala negara yang ideal, yakni seorang filsuf yang
bersifat seperti nabi. Kepala negara adalah seorang yang paling ulung dalam
ilmu pengetahuan serta paling suci akhlak serta rohaninya yang dinamakan
filsuf yang bersifat nabi. Pemimpin ini hendaknya merupakan seseorang yang
dapat mengelola bidang kehidupan dengan sebaik-baiknya. Ia harus pula
mampu menerima pencerahan intelek aktif, baik lewat bakat maupun
pengembangan diri. Hal tersebut yang akan menjadikan dia sebagai seorang
filsuf yang memiliki sifat nabi.
Al-Farabi kemudian menjelaskan kualifikasi seorang kepala negara di
dalam negara utama. Menurutnya, terdapat 12 kualifikasi yang harus dimiliki
oleh seorang kepala negar, diantaranya sebagai berikut :
Pertama, kepala negara harus mempunyai tubuh dan anggota tubuh
yang baik, agar ia dapat melakukan setiap fungsi atau tugas yang
diberikan kepadanya.
Kedua, ia harus mampu memberikan pemahaman yang baik dan
memahami apa yang diberitahukan kepadanya, sesuai dengan maksud
si pembicara.
Ketiga, ia harus memiliki ingatan yang baik terhadap apa yang ia
pahami, lihat, dengar atau yang ia rasakan.
Keempat, ia harus cerdas dan cepat berpikir, sehingga dapat
memahami apapun yang diberikan.
Kelima, ia harus fasih dalam mengartikulasikan sepenuhnya apapun
yang dia ingin menyampaikan.
Keenam, ia harus mencintai pembelajaran, sepenuhnya menerima
instruksi, tidak terhalang oleh petugas di atasnya.
Ketujuh, ia tidak boleh menjadi tamak dalam hal makanan, minuman
atau jenis kelamin, membenci permainan dan kesenangan yang
ditimbulkan olehnya.
Kedelapan, ia harus mencintai kebenaran dan ahlinya, serta membenci
dusta dan ahlinya.
Kesembilan, ia harus murah hati dan mencintai kehormatan dan
membenci apapun yang dapat memalukan.
Kesepuluh, ia tidak mempunyai minat akan uang dan barang-barang
yang berbau dunia.
77
Majid Fakhry, Al-Farabi Founder of Islamic Neoplatonism : His Life Work and Influence, Op. Cit., p. 111
43
Kesebelas, ia harus mencintai keadilan dan membenci ketidakadilan;
adil dalam berurusan dengan orang-orang yang tertindas dan cepat
untuk menanggapi panggilan untuk ganti rugi.
Kedua belas, ia harus bersikap tegas dalam tekad untuk melakukan apa
yang dianggap benar.78
Tidak semua orang dapat menjadi pemimpin kota atau negara. Yang
boleh menjadi seorang pemimpin adalah orang yang sempurna. Menurut Al-
Farabi, kota utama tersebut dipimpin oleh seorang pemimpin saja. Jika tidak
memiliki pemimpin yang bijaksana, maka suatu kota akan hancur. Konsep
kepala negara yang diterangkan Al-Farabi mempunyai kemiripan dengan
konsep-konsep yang ada pada pemikiran Plato. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa konsep-konsep pemikiran AlFarabi tidaklah terlepas dari peran filsuf
Yunani Kuno tersebut, yakni Plato.
b) Lawan Negara Utama (Mudhaddah al-Madinah al-Fadhilah) Selain
negara utama yang telah dipaparkan di atas, Al-Farabi pun
mengklasifikasikan lawan-lawan dari negara utama tersebut.79
D. Perbedaan Pandangan Politik dan Negara Al-Farabi dengan Pemikir Yunani
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pemikiran politik Al-Farabi
mendapat pengaruh yang cukup besar dari pemikir-pemikir Yunani, terutama
pemikiran Plato dan Aristoteles. Terdapat kemiripan-kemiripan antara
pemikiran Al-Farabi dengan pemikiran Plato dan Aristoteles. Selain pengaruh
yang diberikan Yunani ke dalam pemikiran Al-Farabi, terdapat perbedaan antara
Al-Farabi dengan filosof Yunani. Salah satunya adalah Al-Farabi tidak mengikuti
cara-cara Yunani dalam membagi negara. Yunani membagi bentuk-bentuk
negara berdasarkan kedudukan kepala negaranya, berupa bentuk negara
monarki, aristokrasi dan demokrasi.
78
Majid Fakhry, Al-Farabi Founder of Islamic Neoplatonism : His Life Work and Influence, Op. Cit., p.113
79
Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Filsafat Politik antara Barat dan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2010), p. 361-
362
80
Firdaus Syam, Loc. Cit
44
Selain itu, perbedaan antar Al-Farabi dengan pemikir Yunani terutama
Plato adalah dalam hal kepala negara. Plato beranggapan bahwa seorang kepala
negara haruslah seorang filsuf. Sebelum seorang filsuf menjadi raja, atau
seorang raja menjadi filsuf, maka kebahagiaan suatu negara tidak akan tercapai
dan kesengsaraan dunia tidak akan berakhir.81
Yang menjadi pembeda antara pemikir Islam dengan filsuf Yunani Kuno
tersebut adalah pemikiran mereka disisispi ajaran-ajaran agama. Bagi mereka,
tujuan didirikannya suatu negara semata-mata bukan hanya untuk memenuhi
kebutuhan lahiriah saja, tetapi juga kebutuhan yang bersifat ruhaniah dan
ukhrawiyah.
81
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Op.Cit., p. 13
82
Ibid.,
45
dikembangkan Plato dan tidak mungkin untuk diterapkan dalam kehidupan
bermasyarakat.83
BAB III
PENUTUP
4. Kesimpulan
Ini bisa terlihat seperti dalam pembagian tiga macam masyarakat sempurna
dalam gagasan al-Farabi, yaitu masyarakat sempurna besar, sedang dan kecil.
sebagaimana juga sama dengan pendapat kedua filosof dari yunani Plato dan
Aristoteles, bahwa masyarakat sempurna kecil merupakan gambaran negara
yang ideal.
83
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Op.Cit., p. 13
46
Gagasan epistemologi alFarabi banyak sekali diwarnai oleh pandangan
para filsuf Yunani, karena banyak pemikiran filsafat al-Farabi merupakan ulasan
dan komentar atas pemikiran filsafat yang telah ditulis oleh para filsuf Yunani.
Hanya saja pemikiran al-Farabi memberikan nuansa baru, dengan membawa
kepada tradisi khazanah intelektual Islam. Tampak misalnya, al-Farabi mencoba
mengusung wacana filsafat dengan agama, terutama bagaimana filsafat bahasa
disepadankan dengan agama yang terpola dalam batas kebahasaan. Agama
dipandang sebagai ungkapan kebenaran filsafat dalam bahasa populer yang
menggunakan seni logis retorika dan puisi.
47
sepuluh yang dinamai akal fa’al, pada akal ke sepuluh ini tidak lagi ber-emanasi
karena daya kekuatan akalnya melemah. Dari akal kesepuluh ini melahirkan
materi, seperti air, api, udara, tanah kemudian diikuti berbagai unsur lainnya.
Pada konsep emanasi ini, nampak sekali pengaruh filsafat metafisikanya neo-
platonisme.
Bagi al-Farabi, baik Nabi, Filosof dan Raja adalah satu kesatuan makna,
namun berbeda pendekatannya. Nabi adalah orang suci yang terpilih untuk
menerima titah kebenaran berupa wahyu, sedangkan filosof melalui logika
berpikirnya dapat mencapai sebuah kebenaran yang hakiki, sedangka raja atau
pemimpin adalah orang yang berkemampuan dan kecerdasan tinggi serta
kepribadian yang luhur untuk mempropagandakan kebaikan kepada rakyatnya.
Dari kepribadian luhur itulah negara digerakkan, anggota tubuh sebagai
menterinya, sinergisasi fungsinya akan menciptakan kebahagiaan sebagai salah
satu tujuan dibentuknya negara, konsep negaranya disebut negara utama (al-
madinah al-fadhilah).
5. Saran
Untuk itu maka penulis memohon maaf apabila masih banyak kekurangan
dalam Makalah ini, dan mohon untuk dikoreksi. Agar untuk makalah-makalah
selanjutnya penulis dapat lebih sempurna mengerjakan nya.
48
DAFTAR PUSTAKA
Hafid .2007. EPISTEMOLOGI AL-FARABI: GAGASANNYA TENTANG DAYA-DAYA MANUSIA.
Jurnal Filsafat Vol.17, Nomor 3, Desember 2007
Qosim Nursheha Dzulhadi. Al-Farabi dan Filsafat Kenabian. Jurnal Kalimah. Vol. 12, No. 1,
Maret 2014
Ahmad Halim Mahmud, at-Tafkīr al-Falsafī al-Islamī, (Kairo: Dār al-Ma’ārif, tt), 237
Irfan, A.N. "Masuknya Unsur-unsur Pemikiran Spekulatif Dalam Islam: Kajian Atas Logika Dan
Metafisika al-Farabi." CMES (Jurnal Studi Timur Tengah. 7.2 2014), 177.
KH. Muhammad Sholihin, Filsafat dan Metafisika dalam Islam, (Yogyakarta: Narasi, 2008),
173
Daulasi Uliri, al-fikr al-‘arabiy wa makānuhū fīt-tārīkh, (Kairo: Ālam al-Kutub, 1961), 16
Said Hawa, Allah Jallā Jalāluhu, terj. Muhtadi Abdul Mun’im, Allah Swt., (Jakarta, Gema
Insani Press, 1998), 22 .
Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, terj. Zaimul Am, (Bandung: Mizan Utama, 2003), 240.
Abd. Rahman al-Badawiy, Rasā’il Falsafiyyah, (Beirut: Dār Andalusi, tt), 36.
49
Muhammad Sholihin, Filsafat Dan Metafisika Dalam Islam, (Yogyakarta: Narasi, 2008), 173.
Hesti Pancawati, Skripsi Pemikiran Al-Farabi Tentang Politik dan Negara, (Jurusan Filsafat
Agama fakultas ushuluddin, dakwah dan adab IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten),
2014, pp.15-16
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1996), pp.
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy,edisi 2, (New York: Columbia University Press,
1983), hlm. 108.
Poerwantana, Seluk Beluk Filsafat Islam, diterjemahkan oleh TjunSurjaman, (Bandung: P.T.
RemajaRosdakarya, 1994), hlm. 82.
Muhsin Labib, Para Filosof, Sebelum dan Sesudah Mula Shadra, (Jakarta: AlHuda, 2005), p.
92
Fauzi M. Najjar, “Democracy In Islamic Political Philosophy” dalam Jurnal Studia Islamica, La
Loi du, 1957, G.P Maisonneuve et Larose, 1980, hal. 108- 122
Abu Nashr al-Farabi, Ârâ‟ Ahl al-Madînah al-Fâdlilah, (Beirut: Daar alMasyriq, 2000), Cet. 2.
h. 117.
50
Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A. Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya), (PT. Raja Grapindo
Persada), h. 83.
Abdullah Said. Filsafat Politik Al-Farabi. Indonesian Journal of Islamic Theology and
Philosophy P-ISSN 2088-9046, Volume 1. No. 1 Tahun 2019, h. 63-78
Nasr, Sayyed Hossein (ed.), 2003, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Bandung: Mizan
Madjid, Nurcholish (ed.), 1994, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta : Bulan Bintang
Abd al-Rahma ibn Khaldun, Al-Muqaddimah, (Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al- ‘Ilmiyyah,
Cet. IX, 1427 H/2006 M), 74-75.
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, 238-239.
Imam Sukardi, Tradisi Pemikiran Sosio-politik Islam : Kilasan Pemikiran AlFarabi dan Al-
Mawardi dalam Lintasan Sejarah Islam, 22-10-2013,
Majid Fakhry, Al-Farabi Founder of Islamic Neoplatonism : His Life Work and Influence, Op.
Cit., p. 111
Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Filsafat Politik antara Barat dan Islam, (Bandung : Pustaka Setia,
2010), p. 361-362
51