Anda di halaman 1dari 51

MAKALAH

AL - FARABI

Disusun untuk memenui tugas akhir Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam
Yang dibimbing oleh Ibu :
Siti Fatimah M.PD

DISUSUN OLEH :
Iftasya Ainul Hafsah Sabran (0503202074)
PS 2 B

PRODI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATRA UTARA
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaaikum wr.wb. Bismillahirrahmanirrahim,

Segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberikan nikmat kesehatan dan
kesempatan serta atas hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah
mata kuliah “Sejarah Peradaban Islam” yang berjudul “Al-Farabi”. Kemudian
shalawat beserta salam kita sampaikan kepada nabi besar Muhammad SAW, yang
telah memberikan pedoman hidup bagi umat manusia yakni Al-Qur’an dan Sunnah
untuk keselamatan umat didunia ini.

Manusia merupakan makhluk hidup yang telah diberi keistimewaan oleh allah
SWT, baik berupa kemampuan akal, budi, dan juga daya pikir yang berguna untuk
mengolah ataupun mengelolah alam raya ini untuk memenuhi berbagai kebutuhan
hidupnya. Salah satu contoh manusia yang mensyukuri nikmat yang sudah diberikan
oleh Allah SWT ialah dengan cara bersyukur yakni melakukan hal-hal yang baik
seperti yang disuruh oleh ajaran al-Qur’an dan menjauhi segala larangannya.

Di dalam makalah yang berjudul “Al-Farabi” ini diuraikan dari awal biografi
tokoh hingga tentang perjalanan tokoh selama hidup. Makalah ini merupakan tugas
akhir dalam Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam. Maka dari itu saya berusaha
semaksimal mungkin untuk menyempurnakan makalah ini.

Akhirul Kalam, saya sebagai penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna bahkan masih terdapat banyak kesalahan. Oleh karena itu, saya
mengharapkan kritik dan saran demi memperbaikan makalah selanjutnya. Akhir kata
saya ucapkan banyak terima kasih semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi kita semua.

Wassalamualaikum wr.wb,

Medan, 01 Februari 2021

Iftasya Ainul Hafsah Sabran


NIM : 0503202074

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
BAB I......................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................4
1.1.1 Latar Belakang...................................................................................................................4
1.1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................................6
1.1.3 Tujuan Penulisan Makalah.................................................................................................6
BAB II.....................................................................................................................................................7
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................7
2.1 Biografi Al-Farabi...................................................................................................................7
A. Latar Belakang Kehidupan Al-Farabi..........................................................................................8
B. Pendidikan Al-Farabi................................................................................................................11
2.2 Karya-Karya Al-Farabi...........................................................................................................14
2.3 Pemikiran Al-Farabi tentang Pendidikan..............................................................................21
A. Tujuan Pendidikan Menurut Al-Farabi.....................................................................................21
B. Kurikulum Pendidikan Menurut Al-Farabi................................................................................21
C. Pendidik dan Peserta Didik Menurut Al-Farabi........................................................................22
D. Metode Pendidikan Menurut Al-Farabi...................................................................................23
2.4 Pemikiran Al-Farabi Tentang Negara Ideal...........................................................................24
A. Asal Mula Negara Menurut Al-Farabi......................................................................................24
B. Konsep Negara Ideal Menurut Al-Farabi..................................................................................26
C. Kepala Negara Ideal Menurut Al-Farabi...................................................................................28
D. Relevansi Konsep Al-Farabi Terhadap Kehidupan Bernegara di Indonesia..............................30
2.5 Pemikiran Al-Farabi Tentang Logika.....................................................................................32
2.6 Filsafat Kenabian Al-Farabi..................................................................................................36
2.7 Pemikiran Al-Farabi Tentang Politik dan Negara..................................................................39
A. Pengertian Politik dan Agama..................................................................................................39
B. Kondisi Politik Islam pada masa kehidupan Al-Farabi..............................................................40
C. Pandangan Al-Farabi Tentang Politik dan Negara....................................................................41
D. Perbedaan Pandangan Politik dan Negara Al-Farabi dengan Pemikir Yunani..........................44
E. Perbedaan Pandangan Politik dan Negara Al-Farabi dengan Pemikir Islam.............................44
BAB III..................................................................................................................................................46
PENUTUP.............................................................................................................................................46
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................46

3
3.2 Saran....................................................................................................................................48
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................49

4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.1 Latar Belakang
Al-Farabi menduduki posisi yang sangat istimewa di jajaran para filosof
muslim. Terbukti pemikirannya masih mengilhami pemikiran filsafat paripatetik
lainnya. Masignon memuji al-Farabi sebagai pemikir muslim pertama yang setiap
kalimatnya bermakna. Bahkan, Ibn Khulkan memujinya sebagai filosof muslim yang
tidak mungkin tertandingi derajat keilmuannya. 1Ia telah berhasil merekonstruksi
bangunan Ilmu Logika (manthiq) yang telah diletakkan pertama kali oleh Aristoteles.
Bila Aristoteles yang telah berjasa memperkenalkan Ilmu Logika (manthiq) dan
mendapat sebutan ‘guru pertama’, maka al- Farabi atas jasa besarnya
mengkombinasikan filsafat Plato dan Aristoteles ia layak disebut sebagai guru kedua
(al-mu’alim ats-tsāni).

Julukan guru kedua yang disematkan kepada al-Farabi antara lain dengan
alasan; Pertama, sangat menonjol dalam Ilmu Logika (manthīq) yang menjadi
pondasi semua cabang ilmu, terutama Ilmu Filsafat dan Logika yang dibangun
Aristoteles dijelaskan kembali dalam karyanya fi al-‘Ibārat, penguasaannya terhadap
Ilmu Logika dalam usia yang relatif sangat muda, bahkan mampu mengungguli
gurunya Abu Bisyir Matta bin Yunus yang kala itu termasuk orang termasyhur bidang
logika di Baghdad. Kedua, al- Farabi filosof terbesar setelah filosof Yunani yang
berhasil mengharmoniskan pemikiran- pemikiran Aristoteles dan Neo-Platonis.
Ketiga, kepiawaiannya menyusun rambu-rambu pengetahuan filsafat sehingga
mudah dikaji orang orang sesudahnya, ia tuangkan dalam kitab Ihshā’ul ‘Ulūm. 2Kitab
tersebut berisi lima bab dengan kategori berbeda yaitu ilmu lisan yang membahas
lafadz dan pedoman pengambilan dalil bayaninya, ilmu mantiq atau silogisme, ilmu
pendidikan, ilmu jiwa dan teologi serta ilmu fiqh dan ilmu kalam, 3Dalam kitab
tersebut Sebagaimana Aristoteles yang membuat rumusan filsafat dan bisa
dimengerti dengan sistematis orang orang setelahnya. Dalam Ihsha’ul Ulum al-Farabi
menjelaskan beberapa kategori ilmu dan urutan mempelajarinya. 4

Definisi filsafat menurut al-Farabi adalah al-‘ilm bi al-maujūdāt bi māhiya al-


maujudāt. Ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada, termasuk

1
Ahmad Halim Mahmud, at-Tafkīr al-Falsafī al-Islamī, (Kairo: Dār al-Ma’ārif, tt), 237
2
Irfan, A.N. "Masuknya Unsur-unsur Pemikiran Spekulatif Dalam Islam: Kajian Atas Logika Dan Metafisika al-
Farabi." CMES (Jurnal Studi Timur Tengah. 7.2 2014), 177.
3
Al-Farabi, Ihshā’ul ‘Ulūm , (Beirut: Inmaul Qaumiy, tt), 20
4
Al-Farabi, Tahshīlus Sa’ādat, tahqiq Alibu Mulham (Beirut: Daar al-Hilal, 1995), 20

5
menyingkap tabir metafisika penciptaan. 5Al-Farabi menuangkan pemikiran filsafat
penciptaannya dalam karyanya Ārā’ Ahl al-Madīnah al-Fadhīlah yang dimulai
pembahasan tentang Tuhan sebagai sebab pertama, menunjukkan keseriusannya
menyingkap tabir gelap pemikiran filsafat metafisika. Tuhan menurutnya sebab
pertama dari semua wujud yang ada di jagat raya ini, 6sama dengan konsep Tuhan
menurut madzhab Aristoteles bahwa, Tuhan maha hidup, azali dan abadi, tiada yang
paling awal darinya dan tiada yang paling akhir selainnya, tidak memerlukan iradah
yang muaranya adalah sebuah pilihan, karena Tuhan telah sempurna. 7Dia tidak
percaya bahwa Tuhan tibatiba saja memutuskan untuk menciptakan alam, karena hal
itu akan menimbulkan pemahaman Tuhan yang abadi dan statis tiba-tiba mengalami
perubahan.8

Al-Farabi sependapat bahwa alam ini ‘baru’ yang terjadi dari tidak ada sama
dengan pendapat al Kindi, Berbeda dengan konsep filsafat metafisikanya Plato yang
dikonsepsikan dengan alam idea, Plato hendak mengingkari sifat wujud Tuhan dalam
mensucikan Tuhan, karena apabila mempunyai sifat maka Tuhan tidak berbeda
dengan wujud yang lain. Al-Farabi mengartikan alam idea dari segi kekekalannya
mirip dengan alam akhirat. Dalam perjalanan sejarahnya ‘alam idea’ Plato ini
dihidupkan kembali oleh Plotinus, yang kemudian lebih masyhur dikenal dengan
nama neoplatonis.9

Al-Farabi memandang wujud yang ada merupakan mata rantai wujud abadi
yang memancar dari wujud tunggal, kekal dan abadi. 10Penciptaan jagad raya ini
terjadi dalam sepuluh emanasi secara bertingkat, masing masing membentuk bidang
wujud tersendiri, langit, bintang dan seterusnya, pada tingkat kesepuluh emanasi
terhenti karena daya akal sudah melemah. Bila ditelisik hingga relung-relung
pemikiran al-Farabi akan kita dapati samudera keilmuannya yang sangat luas bagai
lautan yang tak bertepi.

Untuk itu, tulisan ini hanya akan mengulas secara kritis, tentang filsafat
metafisika penciptaan alam, konsep akal dan wahyu yang berhubungan dengan
kenabian serta ditambahkan dengan konsep negara utama, kesemuanya mempunyai
kaitan yang sangat erat satu dengan lainnya. Adapun tujuannya adalah supaya kita

5
KH. Muhammad Sholihin, Filsafat dan Metafisika dalam Islam, (Yogyakarta: Narasi, 2008), 173
6
Daulasi Uliri, al-fikr al-‘arabiy wa makānuhū fīt-tārīkh, (Kairo: Ālam al-Kutub, 1961), 16
7
Said Hawa, Allah Jallā Jalāluhu, terj. Muhtadi Abdul Mun’im, Allah Swt., (Jakarta, Gema Insani Press, 1998), 22
8
Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, terj. Zaimul Am, (Bandung: Mizan Utama, 2003), 240.
9
Muhammad Sholihin, Filsafat Dan Metafisika Dalam Islam, (Yogyakarta: Narasi, 2008), 173.
10
Abd. Rahman al-Badawiy, Rasā’il Falsafiyyah, (Beirut: Dār Andalusi, tt), 36.

6
mendapatkan pemahaman yang integral dan menyeluruh antara hubungan akal-akal
dalam filsafat al-Farabi dengan filsafat kenabian dan filsafat politik tentang tujuan
bernegara.11

1.1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah riwayat hidup Al-Farabi ?
2. Bagaimana Biografi dari Al-Farabi ?
3. Terdiri dari apa saja karya-karya dari Al-Farabi ?
4. Apa saja filsafat-filsafat dari Al-Farabi ?
5. Bagaimana Isi Filsafat Kenabian menurut Al-Farabi ?
6. Bagimana Filsafat Kenabian menurut Al-Farabi?
7. Bagaimana Pengaruh Pemikiran Al-Farabi terhadap filosof sesudahnya ?

1.1.3 Tujuan Penulisan Makalah

1. Untuk mengetahui riwayat hidup Al-Farabi.


2. Untuk mengetahui karya-karya apa saja yang dihasilkan oleh Al-Farabi.
3. Untuk mengetahui apa saja Filsafat-Filsafat menurut Al-Farabi.
4. Untuk mengetahui pengaruh pemikiran Al-Farabi terhadap filosof
sesudahnya.

11
Karen Armstrong, Sejarah Tuhan….,240

7
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Biografi Al-Farabi
Al-Farabi mempunyai nama lengkap Abu Nashr Muhammad ibn Tarkhan
ibn al-Uzalagh al-Farabi lahir 257-339 H atau 870-950 M di Wasij di Distrik Farab
(sekarang bernama Atrar, di Transoxiana), sebuah kota yang mayoritas
penduduknya mengikuti madzhab Syafi‟iyah. Sedangkan, ia wafat di Damaskus
pada 950 M atau 339 H/950 M. Di kalangan masyarakat Eropa, ia lebih dikenal
dengan nama al-Farabius, dan juga dengan nama Avenasser. Ayahnya adalah
seorang opsir tentara keturunan Persia yang mengabdi kepada
pangeranpangeran Dinasti Samaniyah. 12

Sedangkan, ibunya keturunan atau dari kebangsaan Turki. Dari silsilah


dapat diketahui bahwa al-Farabi adalah keturunan keluarga terhormat. Ini dapat
diketahui dari nama kakeknya Tarkhan, yang dalam bahasa Turki bukan hanya
menunjukkan nama pejabat militer, namun juga menunjukkan keistimewaan dan
hak-hak feudal tertentu.

Sejak masa kecilnya Al-Farabi mempunyai kecakapan yang luar biasa dalam
bidang bahasa. Setelah besar, Al-Farabi meninggaalkan negerinya untuk menuju
Baghdad, yang menjadi pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan saat itu. Di
Baghdad ia belajar logika kepada Abu Bisyr bin Mattius, seorang kristen Nestorian
yang banyak menerjemahkan filsafat Yunani, dan belajar kepada Yuhana ibn
Hailam. 13Dan ilmu Nahwu kepada Abu Bakar As-Sarraj.

Kemudian ia pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunanidi Asia Kecil, dan


berguru pada Yuhana ibn Jilad. Tidak berapa lama, ia kembali ke Baghdad untuk
memperdalam filsafat. Ia menetap di kota ini selama 20 tahun. Selama di
Baghdad ia menulis dan membuat ulasan terhadap buku-buku filsafat Yunani dan
mengajarkan kepada murid-muridnya. Diantara muridnya yang terkenal adalah
Yahya ibn Abdi, filsuf Kristen.14

Mahdi (1970: 526) menyatakan bahwa ayahnya seorang bangsawan


keturunan Persia, namun keluarga al-Farabi dianggap sebagai orang Turki, karena

12
ashral-Farabi, Ârâ Ahl al-Madînah al-Fâdlilah,(Libanon: Dâru alMasyriq, 2000), hlm. 1.
13
Dedi Supriyadi, Pengantar filsafat Islam... p. 81
14
Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), pp. 198

8
gaya hidup dan kebiasaan kulturalnya mirip orang Turki. Berbeda dengan Mahdi,
Ahmad Hanafi (1990: 81) menyatakan bahwa ayah al-Farabi adalah orang Iran
dan menikah dengan seorang wanita Turkestan. Kemudian ia menjadi perwira
Turkestan, karena itu al-Farabi disebut dari keturunan Turkestan, tetapi kadang-
kadang juga disebut sebagai orang Iran.

Keluarga al-Farabi, menurut Oesman Bakar (1997: 27) mengutip


pendapatnya DM. Dunlop tergolong keluarga kaya, karena nama kakek Tarkhan,
yang dalam bahasa Turki bukan hanya nama yang menunjukkan seorang pejabat
militer, tetapi juga berkaitan dengan berbagai keistimewaan dan hak feodal
tertentu. Kemungkinan besar ayah al-Farabi berdinas dalam kemiliteran dinasti
Samaniyah dalam kekuasaan dinasti Abbasiyah yang menguasai sebagian wilayah
Transoxiana.

Sejak kecil al-Farabi dibesarkan di Farab di kotanya, al-Farabi kecil


memiliki keistimewaan kecerdasan untuk belajar dan menekuni ilmu. Dan di
kotanya pada saat itu, sebagian besar mengikuti madzhab fiqh Syafi’iyah. Dan
tentu saja al-Farabi menerima pendidikan dasarnya dari madzhab Syafi’i. Baru
setelah besar, al-Farabi meninggalkan kotanya menuju kota Baghdad, pusat
pemerintahan dan ilmu pada masanya (Hanafi, 1990: 81).15

A. Latar Belakang Kehidupan Al-Farabi

Sangat sedikit sekali riwayat yang menceritakan latar belakang


kehidupannya. Secara garis besar, kehidupan Al-Farabi di bagi ke dalam dua
masa atau periode. Periode pertama, dimulai dari Al-Farabi lahir hingga ia
berusia lima tahun . namun sayangnya masa kanak-kanak dan masa muda Al-
farabi masih bersifat samar-samar hingga sekarang. hal ini dikarenakan sedikit
sekali catatan sejarah yang menyebutkan sejarah masa kecil kehidupan Al-
Farabi. Sedangkan periode kedua, kehidupan Al-Farabi adalah periode usia tua
dan kematangan periode penuh. Karena terdorong oleh keinginan
intelektualnya, ia meninggalkan rumahnya dan mengembara menuntut ilmu
pengetahan.16

Al-Farabi yang dikenal sebagai filsuf Islam terbesar, memiliki keahlian


dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan
15
Hafid .2007. EPISTEMOLOGI AL-FARABI: GAGASANNYA TENTANG DAYA-DAYA MANUSIA. Jurnal Filsafat
Vol.17, Nomor 3, Desember 2007
16
Hesti Pancawati, Skripsi Pemikiran Al-Farabi Tentang Politik dan Negara, (Jurusan Filsafat Agama fakultas
ushuluddin, dakwah dan adab IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten), 2014, pp.15-16

9
menyeluruh serta mengupasnya dengan sempurna, sehingga filsuf yang
datang sesudahnya seperti Ibnu Sina (370H/980 M-428/1037 M) dan Ibnu
Rusyd (520H/1126 M-595 H/1198 M) bayak mengambil dan mengupas sistem
filsafatnya.7 Al-Farabi menunjukan kehidupan spiritualnya dengan usia yang
masih sangat muda dan memperaktikan kehidupan sufi. Ia juga ahli musik
terbesar dalam sejarah Islam dan komponis beberapa irama musik, yang
masih sering didengarkan dalam perbendaharaan lagu sufi masuk india. Al-
Farabi telah mengarang ilmu musik dalam lima bagian. Bukubuku ini masih
dalam naskah bahas Arab, tetapi seagiannya sudah diterbitkan dalam bahasa
Prancis oleh D‟Erlenger. Teorinya tentang harmoni belum dipelajari hingga
mendalam.17
Berbeda dengan kehidupan beberapa filsuf besar Muslim yang
berpengaruh kuat dalam dunia Islam dan Barat, seperti Ibnu Sina (Aviccena)
dan Ibnu Rusdy (Avirroze), walaupun al-Farabi lebih tua dibanding mereka,
kelihatannya latar belakang kehidupan awal, pelatihan dan pendidikan al-
Farabi sangat sedikit yang diketahui dengan pasti. Kebanyakan informasi
tentang al-Farabi hanya didapat sedikit dari penulis biografi Arab abad
pertengahan, yang dapat dirunut mulai dari abad ke-10 M. sampai abad ke-13
M. Catatan paling awal terdapat dalam karya Ibnu al-Nadzim (w. 380H/990M)
dalam kitab al-Fihrist, yang hanya memberikan beberapa catatan kecil tentang
para guru dan murid al-Farabi serta beberapa anekdot yang kebenarannya
diragukan (Nasr, 2003 : 221). 18

Menurut Oesman Bakar (1997: 26) mengutip pendapatnya Ibnu


Khallikan dalam kitabnya Wafayat al-A’yan, meskipun alFarabi mempunyai
beberapa murid dekat; filsuf terkenal Abu Zakariyah Yahya Ibnu Adi (897-974)
serta saudaranya Ibrahim yang tetap bersama al-Farabi di Allepo tidak lama
sebelum kematian al-Farabi dan seorang teolog Kristen Yakobiyah, dia tidak
pernah mendiktekan otobiografinya sebagaimana yang dilakukan Ibnu Sina
kepada muridnya, Al-Juzjani. Namun karya yang hilang; kitab tentang
kemunculan Filsafat (kitab Zhuhur al-Filsafat) dapat disamakan dengan semi
otobiografi yang ditulis oleh al-Ghazali dalam bukunya “Pembebas dari
kesesatan” (Al-Munqidz min al-Dhalal)).

17
Ayi Sofiyan, Kapita Selekta Filsafat, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), p. 321
18
Hafid .2007. EPISTEMOLOGI AL-FARABI: GAGASANNYA TENTANG DAYA-DAYA MANUSIA. Jurnal
Filsafat Vol.17, Nomor 3, Desember 2007

10
Pada usia 75 tahun, tepatnya pada 330 H (945 M), ia pindah ke
Damaskus, dan berkenalan dengan saif Ad-Daulah Al-Hamdani, Sultan Dinasti
Hamdan di Aleppo. Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama
istana. Hal yang paling menggembirakan di tempat ini adalah beetemu dengan
para sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fiqh, dan kaum cendikiawan
lainnya.10 Akhirnya pada bulan Desember 950 M filosof muslim besar ini
menghembuskan nafas terakhirnya di Damaskus pada usia 80 tahun. 19

Menurut Massignon ahli ketimuran Perancis, Al-Farabi adalah seorang


filosof islam dengan sepenuh arti kata. Sebelum dia, memang alKindi telah
membuka pintu filsafat Yunani bagi dunia Islam. Tetapi ia tidak menciptakan
sistem (madzhab) filsafat tertentu, sedangkan persoalan-persoalan yang
dibicarakannya masih banyak yang belum memperoleh pemecahan yang
memuaskan. Sebaliknya, Al-Farabi telah dapat menciptakan suatu sistem
(madzhab) filsafat yang lengkap dan telah memainkan peranan yang penting
dalam dunia Islam. Al-Farabi menjadi guru bagi Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan
filofof-filosof Islam lain yang datang sesudahnya. Oleh karena itu ia mendapat
gelar “Guru kedua” (al-muallim as-tsani) sebagai kelanjutan dari Aristoteles
yang menedapat gelar “Guru pertama” (al-muallim al-awwal). 20

Pada abad pertengahan, Al-Farabi sangat dikenal banyak orang


sehingga orang-orang Yahudi banyak yang kagum dan mempelajari karangan-
karangan/risalah-risalahnya yang banyak diterjemahkan ke dalam bahasa
Ibrani. Sampai sekrang, terjemahan-terjemahan tersebut tersimpan di
perpustakaan-perpustakaan Eropa. Al-Farabi hidip pada zaman ketika situasi
politik dan kekuasaan Abbasiyah diguncang oleh berbagai gejolak,
pertentangan dan pemberontakan. Al-Farabi lahir pada masa pemerintahan
Al-Mu‟taadid (870-892 M) dan wafat pada masa pemerintahan Muti‟. Periode
ini adalah periode paling kacau dan kondidi politiknya tidak ada stabilitasnya
sama sekali. Pada waktu itu, banyak timbul tantangan, bahkan
pemberontakaan terhadap kekuasaan abbasiyahd dengan berbagai macam
motif seperti: agama, kekuasaan, dan kebendaan. 21

Dengan kondisi politik tersebut yang demikian sedang kisruh, AlFarabi


menjadi gemar berkhalwat, menyendiri dan merenung. Dalam hidupnya Al-

19
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam. 66
20
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1996), pp.
21
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam . 82-83

11
farabi tidak dekat dengan penguasa dan tidak menduduki salah satu jabatan
dalam pemerintahan.22

B. Pendidikan Al-Farabi

Al-Farabi menempuh pendidikan dasar di Farab, kota kelahirannya. Ia


mempelajari al-Qur‟an, tata bahasa, kesusastraan, ilmu-ilmu agama, dana
ritmatika dasar. Sejak muda, ia terkenal mempunyai bakat yang luar biasa
dalam belajar bahasa. Konon dia dapat berbicara dalam tujuh puluh macam
bahasa, yang pasti dia menguasai secara penuh empat bahasa, yaitu Arab,
Persia, Turki, dan Kurdi. Ia melanjutkan pendidikan di Bukhara, ibu kota dan
pusat intelektual. Di sinilah al-Farabi belajar bahasa, budaya, musik, dan
filsafat Persia. Pada saat al-Farabi menggali ilmu di Baghdad, kota yang
dianggap sebagai pemilik ahli waris utama tradisi filsafat dan kedokteran
Alexandria. Salah satu sumbangan terpenting al-Farabi pada dunia intelektual
Baghdad adalah ia bersama para guru logikanya membentuk salah satu rantai
paling awal antara filsafat Yunani dengan dunia Islam.

Pada tahun 300 H/910 M, ia berangkat ke kota Baghdad sebagai ibu


kota pusat ilmu pengetahuan. Di Baghdad, al-Farabi belajar bahasa arab
kepada Abu Bakar Sarraj. Di samping itu, dia juga belajar ilmu falsafah dan
ilmu logika kepada sarjana kristen, Abu Basyr Matta bin Yunus(w. 940 M),
seorang penerjemah buku-buku Aristoteles dan filosof-filosof Yunani lainnya.
23
Kurang dari 10 tahun, dia tinggal di Baghdad untuk belajar dan mengajar.
Karena dia belum puas, maka dia belajar falsafah kepada Mattius, Uskup,
Isra‟il, Quwayri.34 Maka, pada 310 H/920 M, dia berangkat ke Harran, salah
satu pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil, untuk meneruskan
pengetahuannya kepada filosof Kristen, yaitu Yuhana Ibnu Hailan. Dibawah
bimbingan Yuhana Ibnu Hailan(w. 910 M), al-Farabi mendalami filsafat.24

Hampir 20 tahun al-Farabi tinggal di Harran untuk belajar, mengajar,


dan mengarang. Di sinilah al-Farabi mulai mengarang buku-buku, sehingga
terangkat derajatnya sebagai Muslim yang memiliki tingkat ilmu pengetahuan
tinggi. Aktivitas pasti al-Farabi di Baghdad sama seperti di Harran, sehingga di
Baghdad pun dia mendapat reputasi sebagai filosof muslim terkemuka.36 Al-
22
Ibid., 83
23
brahim Madzkour, “Al-Farabi” dalam M. M. Sharif (ed.), A History of Muslim Philosophy, Vol. I (Delhi: Low
Price Publication, 1961), h. 221. 33MM. Syarif, A History of Muslim Philosophy, (Weisbad
24
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy,edisi 2, (New York: Columbia University Press, 1983), hlm. 108.

12
Farabi benarbenar konsentrasi dengan aktivitasnya, sehingga dia tidak terjun
dalam politik praktis. Padahal, pada waktu itu terjadi gejolak politik yang
dahsyat di Baghdad. Kemudian, pada tahun 330 H /940 M al-Farabi pindah ke
Damaskus. Al-Farabi hanya tinggal selama dua tahun di Damaskus, kemudian
dia mendapat panggilan dari putra mahkota Dinasti Hamdaniyyah oleh Saif ad-
Daulah. Karena kekaguman putra mahkota terhadap kepandaian alFarabi,
maka Saif al-Daulah mengangkat al-Farabi menjadi ulama‟ istana. Selama
menjadi ulama‟ istana, alFarabi mendapat gaji yang besar. Namun, al-Farabi
tetap hidup sederhana dengan mencukupkan uang empat dirham setiap hari.
Bahkan, dia memberikan tunjangan itu kepada fakir miskin. Hampir 10 tahun,
al-Farabi pulang pergi antara Damaskus ke Aleppo. 25

Datanglah saat yang tragis, yaitu hubungan memburuk antara


pembesar Damaskus dan Kepala Daerah Aleppo. Akhirnya, Saif al-Daulah
memutuskan akan menyerang kota Damaskus. Di dalam perjalanan ke
Damaskus, Saif al-Daulah mengajak al-Farabi sebagai penasehat pribadinya.
Namun, nasib malang menimpa alFarabi. Tidak lama kemudian, setelah
Damaskus dikalahkan oleh Saif al-Daulah, al-Farabi meninggal dunia pada
bulan Rajab 339 H atau Desember 950 M, dalam usia 80 tahun di Damaskus.
Sungguh, al-Farabi memiliki keahlian dalam banyak bidang, salah satunya
adalah dia memahami filsafat secara utuh. Sebagai bukti, dia mampu
mengakhiri kontradiksi antara pemikiran Plato dan Aristoteles dalam sebuah
buku Al-Jam‟u baina Ra‟yay AlHakimain Aflathun Wa Aristhu.

Banyak Intelektual Muslim yang menganggap bahwa al-Farabi adalah


pemikir besar kedua setelah Aristoteles, maka dia mendapat julukan Maha
Guru Kedua (Second Preceptor). Diantara faktor-faktor yang menyebabkan al-
Farabi mendapat julukan Mu‟alimalTsani adalah; Pertama, al-Farabi memiliki
kemampuan lebih dalam bidang logika dibanding gurunya, Abu Basyr Matta
binYunus. Kedua, al-Farabi mampu menerjemahkan buku-buku dan mengulas
pemikiran-pemikiran Aristoteles, sehingga generasi penerus dapat menjelajahi
imajinasi Aristoteles pada zaman dahulu. Ketiga, karena al-Farabi
mencetuskan banyak teori filsafat Islam, bahkan lebih lengkap dibanding
pendahulunya, yaitu al-Kindi(w. 873 M). 37 Sehingga, ide-ide al-Farabi
26
menyumbangkan kekayaan khazanah intelektual Islam bagi generasi
berikutnya.
25
Ibid., 108
26
Poerwantana, Seluk Beluk Filsafat Islam, diterjemahkan oleh TjunSurjaman, (Bandung: P.T.
RemajaRosdakarya, 1994), hlm. 82.

13
Al-Farabi hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah yang sedang
mengalami kegoncangan politik yang luar biasa. Pemerintah pusat Abbasiyah
di Baghdad berada dalam kekacauan di bawah tekanan para diktator, yaitu
pada zaman khalifah Mu‟tamid (869-892 M) dan meninggal pada masa
pemerintahan Khalifah Al-Muthi‟ (946-974 M). Suatu periode paling kacau
dan tidak ada stabilitas politik sama sekali. Pada waktu itu, timbul banyak
macam tantangan, bahkan pemberontakan terhadap kekuasaan Abbasiyah
dengan berbagai motif: Agama, kesukuan, dan kebendaan. Diperkirakan erat
kaitannya dengan situasi politik yang demikian kisruh, al-Farabi menjadi gemar
berkhalwat, menyendiri dan merenung. Ia merasa terpanggil untuk mencari
pola kehidupan bernegara dan bentuk pemerintahan yang ideal.Pada saat al-
Farabi mengalami kondisi demikian, ia berkenalan dengan pemikiran Filsafat
Yunani, seperti Plato dan Aristoteles.

Al-Farabi belajar ilmu falsafah dan ilmu logika kepada sarjana kristen,
Abu Bisyr Matta bin Yunus, seorang penerjemah buku-buku Aristoteles dan
filosof-filosof30 Yunani lainnya. Sehingga, al-Farabi juga ikut menerjemahkan
karya-karya Plato dan Aristoteles. Dalam proses penerjamahan, al-Farabi juga
mengomentari karyakarya Plato dan Aristoteles. Sehingga, pemikiran mereka
terinternalisasi dalam pikiran al-Farabi. Jadi, sangat logis jika al-Farabi
terpengaruh oleh pemikiran Plato dan Aristoteles dalam karyanya. Namun,
kehebatan al-Farabi adalah mampu mengkombinasikan ide atau
pemikiranpemikiran Yunani Kuno dengan pemikiran Islam untuk menciptakan
sebuah negara yang ideal (Negara Utama)27

Sebagaimana umumnya model pendidikan di dunia muslim, pendidikan


dasar dimulai dari pengetahuan tentang alQur’an. Ibnu Khaldun (2001: 522)
dalam muqoddimahnya mengatakan bahwa pengajaran al-Quran kepada
anak-anak merupakan simbol Islam, karena pengajaran al-quran menanamkan
keyakinan yang kuat dalam hati. Di samping itu, menurutnya bahwa kurikulum
di kawasan timur Islam bersifat campuran yang bisa menunjang pemahaman
al-quran, seperti tata bahasa, fiqh, tafsir, ilmu hadist.
Pengetahuan dasarnya tentang filsafat kelihatannya tidak hanya
dipelajari di kota Baghdad. Pada awal datang ke Baghdad dia belajar bahasa
Arab (nahwu-Sarf) kepada Abu Bakar al-Saraj, dengan memberikan imbalan
mengajarkan logika kepada al-Saraj. Untuk memenuhi tuntutan intelektualnya

27
Ibid., 82

14
dia pindah ke Harran salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil untuk
berguru pada Yuhana bin Jilan. Tetapi tidak lama kemudian dia pindah lagi ke
kota Bagdad dan menghabiskan waktunya di Baghdad selama 30 tahun untuk
mengajarkan dan menulis karya filsafat (Hanafi, 1990: 81).

Pada waktu tinggal di Bagdad terdapat konflik religius dan sektarian,


yang berakhir dengan pindahnya penguasa khalifah al-Muttaqi pada tahun
330H/942M. Kondisi buruk seperti ini mengharuskan al-Farabi pindah ke
Damaskus dan mendapatkan posisi yang bagus dari pemerintah Syaif
Addaulah di Allepo, dan kemudian dia menetap di kota ini hingga akhir
hayatnya pada bulan Rajab tahun 339H/Desember 950M dalam usia 80 tahun
(Bakar, 1997: 36-37).28

2.2 Karya-Karya Al-Farabi


Al-Farabi yang terkenal sebagai filsuf Islam terbesar, memiliki keahlian
dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan
menyeluruh serta mengupasnya dengan sempurna, sehingga filsuf yang
datang sesudahnya, seperti Ibn Sina dan Ibn Rusdy banyak mengambil dan
mengupas filsafatnya.

Di antara karya-karya Al-Farabi itu adalah:

a) Al-Jami’u Baina Ra’yani Al-Hkiman Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-thails


(pertemuan/ penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles);
b) Tahsilu as Sa’adah (mencari kebahagiaan);
c) As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan);
d) Fususu Al Taram (hakikat kebenaran);
e) Arro’u Ahli Al Madinati Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama
pemerintahan);
f) As Syiasyah (ilmu politik);
g) Fi Ma’ani Al Aqli, (makna Berfikir);
h) Ihsha’u Al Ulum (kumpulan berbagai ilmu);
i) Isbatu Al Mufaraqat, (Ketetapan Berpisah);
j) (Al Ta’liqat (Ketergantungan).29

28
Hafid .2007. EPISTEMOLOGI AL-FARABI: GAGASANNYA TENTANG DAYA-DAYA MANUSIA. Jurnal
Filsafat Vol.17, Nomor 3, Desember 2007
29
Mustofa, HA, Filsafat Islam (Bandung : Pustaka Setia, tt), hlm.127-128

15
Adapun buku al-Farabi yang bejudul “Ihsaul Ulum” merupakan teori
keilmuan dan cabang-cabangnya yang meliputi ilmu Bahasa, Mantiq,
matematika, fisika, politik, hukum dan ketuhanan yang sebenarnya telah
pernah dibahas oleh para penulis lain. Namun yang membuat buku itu
istimewa adalah karena al-Farabi mengkaitkan semua cabang ilmu tersebut
dengan teori-teroi keislaman yang ia rangkum dalam dua cabang ilmu baru,
yakni Fiqh (hukum Islam) dan ilmu Kalam yang sangat populer dibicarakan
pada masa itu.

Terkait ketajaman karya al-Farabi, diceritakan bahwa Ibnu Sina pernah


mempelajari buku metafisika karangan Aristoteles. Setelah membacanya
empat kali ia belum juga mampu mencerna isinya sampai ia membaca buku
“Intisari Metafisika” karya al-Farabi, barulah ia mengerti bagian yang semula
dirasa sulit. 30Pengetahuannya mengenai filsafat Yunani, terutama Plato dan
Aristoteles, ia dijuluki Al-Muallim Al-Tsani (guru kedua) sedangkan Al-Muallim
al-Awwal (guru pertama) adalah Aristoteles. Selain dalam bentuk buku, risalah
dan manuskrip tersendiri, alFarabi juga sering membuat ulasan dan penjelasan
terhadap karyakarya filosof Yunani, seperti al-Burhan (dalil), Ibarah
(keterangan), Khitobah (cara berpidato), Al-Jadal (argumentasi/debat), Qiyas
(analogi) dan Mantiq (logika) yang merupakan ulasan terhadap karyakarya
Aristoteles. Juga ”Kitab al-Majesti fi-Ihnil Falaq” yang merupakan ulasan
terhadap karya Platinus dan ”Maqalah fi an-Nafsi” sebagai ulasan terhadap
karya Iskandar Al Daudisiy.31

Sebagian besar karya al-Farabi adalah ulasan dan penjelasan terhadap


filsafat Aristoteles, Plato, Glenus dalam bidang logika, fisika, etika dan
metafisika. Namun menurut Hanafi (1990: 82) al-Farabi lebih dikenal sebagai
pengulas Aristoteles. Karya al-Farabi tersebar di setiap cabang ilmu, dan
sekitar lebih dari seratus karya. Di antara karyanya ditulis dalam bahasa Ibrani
dan Latin (Bakar, 1997: 37). Di antara karyanya tersebut adalah : Aghradlu ma
Ba’da at-Thabi’ah, Al-Jam’u baina Ra’yani al_hakimain, Tahsil al_sa’adah,
‘Uyun Ul Masail, Ara’u Ahl il Madinah al-Fadhilah, Ihsa’ al-ulum, Risalah sudira
biha lakitab, Risalah Fi jawab masa’il su’ila ‘anha, Syarah Kitab al-Sama’
alTabhi’iyah, Fadhilatul Ulum wal Shinaat, risalat il aqal dan fhusus al-hikam,
al-Huruf, al Jadal dan al-faz al-Musta’mnalah fi al-Mantiq.

Al-Farabi adalah sosok yang produktif dalam menulis berbagai bidang


disiplin ilmu, terutama yang berhubungan dengan dasar pemikiran filsafat.
Dalam kitab Ihsa’ al-Ulum, alFarabi mengklasifikasi cabang pengetahuan ke

30
5 Sudarsono. Filsafat Islam, ( Jakarta : PT Rineka Cipta, 1997), hlm. 32
31
Ibid., 127-128

16
dalam delapan: linguistik, logis, matematik, fisika, metafisika, politik, dan
yuridis. Dalam hal logika, dia menulis dan memberikan komentar atas
Organon karya Aristotels secara tuntas meliputi kategori (alma’qulat),
hermeneutika (al-Ibrah), analogi (al-Qiyas), analitik (al-burhan), tema (al-
jadal), sofistika (al-mughallithah), retorika (al-khatabah) dan puisi (as-Syiir). Di
antara kitabnya khusus tentang logika, tertulis dalam berbagai risalah
pendeknya risalat sudira biha lakitab (Risalah yang dengannya kitab berawal),
Risalah Fi jawab masa’il su’ila ‘anha (risalah tentang jawaban atas pertanyaan
yang diajukan kepadanya). Al-Farabi juga menulis tentang ilmu fisika dalam
kitabnya; Syarah Kitab al-Sama’ alTabhi’iyah (komentar atas fisika aristoteles)
(Hanafi, 1990: 82).

Selanjutnya Al-Farabi, menurut Nurcholis Madjid (1994: 121-122)


dikutip dari kitab Ihsa’ al ulum membagi ilmu dalam tiga hal: pertama, ilmu
yang membahas semua wujud dan berbagai hal yang terjadi padanya sebagai
wujud. Kedua, ilmu yang membahas tentang prinsip demonstrasi (burhan)
dalam teori partikular (juz’iyat), yaitu ilmu yang berdiri sendiri karena
penelitiannya tentang wujud tertentu seperti ilmu logika (manthiq), ilmu ukur,
matematika dan ilmu yang lainnya yang membentuk keseluruhan ilmu
tersebut. Dalam hal ini, lalu dibahas prinsip ilmu logika, prinsip matematika,
prinsip ilmu alam serta dicari kebenarannya dan didefinisikan esensi dan sifat
khususnya. Dan ketiga, ilmu yang membahas semua wujud yang tidak berupa
benda atau pun berada dalam benda. Dalam hal ini dibahas apakah wujud
seperti itu ada atau tidak? Apakah wujud seperti itu jamak atau tunggal?
Apakah wujud itu berketerbatasan atau tidak? Maka dengan demonstrasi
(burhan) dibuktikan bahwa wujud itu ada, banyak dan berketerbatasan. 32

Wujud itu dibuktikan dengan pendekatan demonstrasi (burhan) bahwa


wujud itu beraneka ragam memiliki tingkatan mulai dari yang paling rendah
hingga paling tinggi, mulai dari yang sederhana hingga paling sempurna. Dan
akhirnya wujud itu sampai pada yang paling sempurna, yang mutlak tidak ada
yang menyamai dan menandinginya, yang sampai pada wujud pertama, tidak
ada yang mendahuluinya, yaitu wujud Tuhan. Al-Farabi juga telah memberikan
kerangka dasar bangunan tentang filsafat untuk memperoleh pengetahuan.
Al-Farabi mengupas secara tuntas tentang perkembangan manusia dalam
memperoleh pengetahuan dan tingkatan Ilmu. Corak pemikiran alFarabi tidak
pernah memilah ilmu dengan pembagian kewajiban dan larangan yang harus
dipelajari seperti dalam kaidah fiqh.
32
Hafid .2007. EPISTEMOLOGI AL-FARABI: GAGASANNYA TENTANG DAYA-DAYA MANUSIA. Jurnal
Filsafat Vol.17, Nomor 3, Desember 2007

17
AlFarabi hanya membagi secara garis besar bahwa ilmu itu dibagi
menjadi dua: ilmu naqliyat (ilmu yang diwahyukan) dan ilmu aqliyat (ilmu yang
diperoleh). Hanya saja al-Farabi mengklasifikasikan ilmu ke dalam peringkat
yang lebih tinggi dan lebih diutamakan. Oesman Bakar (1997: 66) menyatakan
bahwa dalam risalatnya Fadhilatul Ulum wal Shinaat, al-Farabi menyusun
hirarki ilmu atas dasar tiga hal: kemuliaan materinya, kedalaman buktinya dan
besarnya manfaat. Dilihat dari aspek kemuliaan materinya, ilmu astronomi
menempati urutan pertama, karena yang diamati adalah benda langit. Kalau
dilihat dari kedalaman buktinya, geometri sedangkan dilihat dari besarnya
manfaat ilmu syariah dan ilmu sains.

Atas dasar pandangan ini, maka al-Farabi telah meletakkan dasar


filsafat bagi ontologi dan epistemologi, bagaimana al-Farabi memperhatikan
tentang daya dan kekuatan manusia dalam memperoleh ilmu. Kelihatannya
bangunan di aspek ontologi dan epistemologi telah dikupas oleh al-Farabi
dalam berbagai risalatnya: risalat il aqal dan fhusus al-hikam. Dalam risalahnya
al-Farabi menjelaskan tentang eksistensi manusia untuk memperoleh
pengetahuan melalui lima tahap—pertumbuhan, mengindera, bernafsu,
mengkhayal dan berpikir (Bakar, 1997: 67).33

Dari kelima tahap itu secara sederhana menurut al-Farabi manusia


memperoleh pengetahuan melalui daya indera, daya khayal dan daya pikir
yang dilekatkan dengan pembagian diri manusia dalam tiga aspek (nafs, jism
dan ruh) (Nadzir, 1968 : 87) :34

1. Pertama, daya indera adalah daya mengetahui yang paling rendah,


mengindera daya yang pertama kali sebelum daya mengkhayal dan
berpikir. Oleh sebab itu, al-Farabi menyebutkan bahwa mengindera
adalah daya untuk menangkap sesuatu secara eksternal dan menghayal
merupakan unsur yang menguasai indera, sedangkan indera berarti
materi bagi kemampuan mengkhayal.
2. Kedua, daya khayal adalah kemampuan kedua setelah mengindera,
mengkhayal adalah daya untuk menangkap sesuatu secara internal.
Oleh sebab itu al-Farabi menyebut mengkhayal sebagai lima indera
internal yang meliputi: daya penggambaran, daya duga, daya ingat,
daya imajinasi binatang dan daya imajinasi manusia.
3. Ketiga, daya pikir adalah daya mengetahui yang paling tinggi. Dalam
risalat Fhusul al-Madani, al-Farabi merangkum batasan dan fungsi daya

33
Ibid., 32
34
M.M. Syarif. Para Filosof Muslim, (Bandung : Mizan, 1998), hlm. 57

18
pikir manusia. Dilihat dari aspek batasan bahwa daya pikir dibagi atas
dua; berpikir teoretis dan berpikir praktis sedangkan dilihat dari aspek
fungsi, daya berpikir teoretis berfungsi untuk menerima bentuk objek
intelektual atau pengetahuan yang dipahami (ma’qulat) dan berpikir
praktis menerima pengetahuan yang dilaksanakan.

Bentuk pengetahuan yang dipahami bersifat universal, inmaterial yang


bebas dari ikatan materi. Bentuk pengetahuan yang dipahami pertama kali
menjadi pengetahuan potensial (aql quwwah), dan baru kemudian berubah
setelah diabstraksikan dan menjadi pengetahuan aktual (aql fi’il). Menurut al-
Farabi setiap manusia memiliki atau membawa pengetahuan potensial,
namun tidak akan bermakna dan tidak mampu teraktualisasi sebelum ada
pencerahan dari pengetahuan aktual. Al-farabi menyamakan pengetahuan
aktual atau intelek aktif ini dengan wahyu.35

Ârâ Ahl al-Madînah al-Fâdlilah (Dasar-dasar Ideologi Warga Negara


Utama) merupakan kitab yang Diterjemahkan oleh Richard Walzer dengan
judul Al-Farabi On The Perfect State Leiden, 1895 M. Menurut Ibnu Abi
Usaibi‟ah, kitab ini mulai ditulis al-Farabi pada waktu dia di Baghdad
kemudian dia bawa ke Syam pada akhir 330 H. Buku ini baru selesai dengan
pembagian bab dan pasalnya pada tahun 337 H di Mesir. Jadi, kitab Ârâ Ahl al-
Madînah al-Fâdlilah selesai dalam waktu tujuh tahun.

Siyasah al-Madaniyyah (Politik Ekonomi), buku ini sudah diterjemahkan


oleh Moses ben 31 Tebon dalam bahasa Hebrew di London, 1850 M. Kitab
dinamakan juga Mabâdî al-Maujûdât(Dasar-dasar segala wujud) telah dicetak
di Heidar Abad, India, pada tahun 1346 H. Tahsîl as-Sa‟âdah (Merealisasikan
Tujuan Kebahagiaan), kitab ini berisi pembahasan mengenai usaha-usaha
untuk mencapai tujuan negara. Kitab ini telah dicetak Heyder Abad pada
tahun 1345 H.36

Jawâmi‟ as-Siyâsah (Himpunan Politik), kitab ini diterjemahkan oleh


Shaiko dari manuskripnya yang masih tersimpan di Vatikan. Risâlah fî as-
Sa‟âdah (Risalah tentang Jalan Menuju Kebahagiaan) Diterjemahkan ke dalam
Bahasa Ibrani. „Ulûm al-Ta‟alim (Ilmu-ilmu Matematika), AtThabi‟i (Ilmu
Alam), Theologi / Al-Ilâhi (Ilmu Ketuhanan), Sharh al-Fârâbî li-Kitâb Aristûtâlîs
fî al-Ibârah Beirut, 1960 ed. W. Kutsch and S. Marrow, Al-Fahs al-Madanî

35
M.M. Syarif. Para Filosof Muslim, (Bandung : Mizan, 1998), hlm. 57
36
Ibid., 57

19
(penyelidikan rencana pembangunan). Jawâmi‟ as-Sayr alMardiyyah fî Iqtifâ‟
al-Fadhâil al-Insiyyah (himpunan akhlakakhlak yang baik dalam mengikuti
sifat-sifat keutamaan manusia. As-Sîratu al-Fâdhilah(Akhlak Utama), kitab ini
pernah dipujikan sebagai puncak karangan al-Farabi di lapangan akhlak.37

Al-Farabi adalah seorang penulis yang produktif. Sepanjang masa


hidupnya, Al-farabi meninggalkan sejumlah karya-karya besar berbentuk
tulisan yang penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Beberapa sumber
menyebutkan bahwa jumlah tulisan Al-Farabi mencapai angka 70 buah yang
ditulisnya sewaktu ia berpindah tempat dari Baghdad ke Damaskus. Namum,
sangat sedikit yang sampai kepada kita. Pada abad pertengahan kayra-karya
Al-Farabi sangat terkenal, sehingga orang-orang Yahudi banyak yang
mempelajari karangannya dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Ibrani.
Sampai sekarang salinan-salinan tersebut masih tersimpan rapih di
perpustakaan-perputakaan Eropa.

Al-Farabi yang dikenal sebagai filosof muslim yang terbesar memiliki


banyak keahlian dalam bidang keilmuan, seperti ilmu bahasa, matematika,
kimia, astronomi, kemiliteran, musik, ilmu alam, ketuhanan, fiqh, dan
manthiq. 38Maka dari itu, banayak karya-karya Al-Farabi yang sudah terkenal
dikalangan filsafat Islam. Walaupun Al-Razi lebih dikenal dengan seorang
dokter. Buku-buku Al-Razi sangat banyak. Ia sendiri menyaipkan katalog untuk
buku-buku yang ditulisnya kemudian diproduksi oleh An-Nadim. Yang
ditemukan adalah 118 buku, 19 surat, dan satu makalah, jumlah seluruhnya
148 buah. Kebanyakan karya AlRazi telah hilang, dan yang masih dibaca dan
dipublikasikan , baik yang sampai kepada kita maupun tidak, kurang lebih 30
judul saja.39

Al-Farabi menulis hampir semua bukunya di Baghdad dam Damaskus,


karya-karya Al-Farabi sendiri tersebar luas di timur pada abad ke- 4-5 H/ ke-10
M dan 11 M. Karya-karyanya juga tersebar luas di Barat ketika sarjana-sarjana
Andalusia menjadi pengikut Al-Farabi. Beberapa tulisan Al-Farabi telah
diterjemahkan ke dalam bahsa Yunani dan Latin, dan telah mempengaruhi
sarjana Yahudi dan Kristen. Karya-karyanya telah telah diterbitkan pada
sepuluh tahun terakhir abad ke 13 H/ ke- 19 M, dan beberapa diantaranya

37
Ibid., 57
38
Dedi Supriyadi, Pengantar filsafat Islam, 83 .
39
Syarif, Para Filosof Muslim, pp. 36

20
40
telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa Modern. Karya-
karyanya sebagai berikut:

1. Al-Jam’u Baina Ra’yay Al-Hakimain Aflathun wa Aristhu


2. Tahqiq Ghard Aristhu fi Kitab ma Ba’da Ath-Tabi’ah
3. Syarah Risalah Zainun Al-Kabir Al-yunani
4. At-Ta’liqat
5. Risalah fima Yajibu Ma’rifat Qabla Ta’allumi Al-Falasafah
6. Kitab Tahshil As-Sa’asdah
7. Risalah fi Isbat Al-Fadhilah
8. ‘Uyun Al-Masa’il
9. Ara’Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah
10. Ihsa Al-Ulum wa at-Ta’rif bi Aghradita
11. Makalat fi Ma’ani Al-Aql
12. Fususul Al-Hikam
13. Risalah Al-aql
14. As-Siyasah Al-Madaniyah
15. Al-mas’il Al-Falasfiyah wa Al-Ajwibah Anha.
16. Syarh Kitab Al-Burhan
17. Al-Mukhtashar
18. Kalam fi Al-Juz’ wa ma la Yatajazza’
19. Al-wahid wa Al-Wahdah
20. Al-Khair wa Al-Miqdar
21. Kalam fi Maujudat Al-Mutaghayyirah
22. Syarh Kitab as-Sama’wa Al-Alam
23. Kalam Fi Al-Jauhar
24. Risalah fi Mahiyah An-Nafs
25. Kitab fi Al-Quwwah Al-Mutanahiyah wa Ghair Al-Mutanahiyah.
26. Al-Tanbiih ‘Alaa Sabiilis Sa’aadah
27. Ringkasan Nawaamis Aflaathuun
28. Ma Yanbaghi
29. Ad-dawa’i Al-Qalbiyah
30. Kalam Fi A’zha’ Al Hayawan41

2.3 Pemikiran Al-Farabi tentang Pendidikan


A. Tujuan Pendidikan Menurut Al-Farabi

Menurut Al-Farabi, pendidikan merupakan media untuk mendapatkan


serangkaian nilai, pengetahuan, dan keterampilan praktis bagi individu dalam
periode dan budaya tertentu. Tujuan akhirnya, membimbing individu untuk
menuju kesempurnaan. Sebab, manusia diciptakan guna mencapai
40
Ibid., 15-16
41
Muhsin Labib, Para Filosof, Sebelum dan Sesudah Mula Shadra, (Jakarta: AlHuda, 2005), p. 92

21
kesempurnaan. Sementara, kesempurnaan tertinggi adalah kebahagiaan.
Menurut Al-Farabi, manusia yang sempurna adalah mereka yang telah
mengetahui kebajikan secara teoretis dan menjalankannya dalam praktik
keseharian.

Pendidikan, menurut Al-Farabi, harus menggabungkan antara


kemampuan teoretis dari belajar yang diaplikasikan dengan tindakan praktis.
Kesempurnaan manusia, kata beliau, terletak pada tindakannya yang sesuai
dengan teori yang dipahaminya. Ilmu tidak akan mempunyai arti kecuali jika
ilmu itu dapat diterapkan dalam kenyataan dalam masyarakat. Jika tidak
diterapkan maka ilmu itu tidak berguna. Singkatnya, kata Al-Farabi, seseorang
menjadi sempurna jika ia mempraktikkan ilmunya dalam tataran praktis.
Dengan pandangannya yang seperti itu, Al-Farabi menekankan terwujudnya
suatu kesempurnaan dalam ranah pendidikan. Yaitu, meleburnya
pengetahuan intelektual dan perilaku yang saleh.42

B. Kurikulum Pendidikan Menurut Al-Farabi

Klasifikasi Ilmu menurut al-Farabi disusun dalam karyanya yang


terkenal yaitu “Ihsha al-ulum” al-Farabi membangun klasifikasi ilmu yang
terperinci namun tetap terpadu, berdasarkan tiga pengelompokkan utama
ilmu: Metafisik, Matematik, dan Ilmu-ilmu Alam :

1) Metafisik
2) Matematik. Menurut al-Farabi dibagi menjadi tujuh cabang, yaitu:
aritmatika, geometri, astronomi, musik, optika, ilmu tentang gaya, alat-alat
mekanik.
3) Ilmu-ilmu Alam. Ilmu-illmu alam, yang menyelidiki benda-benda alami dan
aksiden-aksiden yang inheren didalamnya, dibagi menjadi:
Minerologi, yang meliputi kimia, geologi, metalurgi;
Botani yang berkaitan dengan seluruh spesies tumbuhan, dan sifat
umum dan sifat-sifat khusus dari masing-masing spesies;
Zoologi, yang berhubungan dengan berbagai spesies binatang yang
berbeda-beda, serta sifat-sifat umum dan sifat-sifat khusus dari
masing-masing spesies, termasuk ke dalam katagori ini adalah:
 Psikologi yang membahas daya-daya tumbuhan, hewan
dan manusia;
 Kedokteran yang berbicara tetang manusia dari sudut
sehat atau sakitnya.43

42
Aziz sam, Pendidikan Menurut Al-Farabi, pendidikan-menurut-al-farabi.html, akses 25 Desember 2015.
43
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam.(Tangerang Selatan: UIN Jakarta Press,
2003), hlm. 178

22
Arti penting klasifikasi ilmu ini adalah untuk memudahkan penyusunan
kurikulum dari ilmu yang ingin diajarkan kepada murid murid. Sebagai ilustrasi
dari klasifikasi ilmu yang berdampak positif pada kurikulum yang dibangun.

C. Pendidik dan Peserta Didik Menurut Al-Farabi

Al-Farabi menyimpulkan, pendidikan yang berhasil sangat berkorelasi


dengan kondisi moral yang baik. Terkait soal moral ini, ia mendefenisikan moral
sebagai keadaan pikiran tempat manusia melakukan perbuatan yang baik yang
memiliki sifat etis atau rasional. Dalam pemikirannya tentang pendidikan, ia pun
menekankan agar kaum terpelajar tak hanya berdiam di menara gading.

Tak heran jika Al-Farabi menyatakan, kesempurnaan teoretis dan praktik


dari pengetahuan yang dimiliki seseorang hanya bisa diperoleh dalam
masyarakat. Sebab, kehidupan di suatu masyarakatlah yang bisa membuat
seseorang mempraktikkan ilmunya. Bila kaum terpelajar memutus sama sekali
kaitan dengan masyarakat dan berada di luar mereka, ujar Al-Farabi, maka
kemungkinan mereka hanya belajar untuk menjadi sosok yang liar tanpa
kendali. Dalam konteks ini, ia ingin mewujudkan masyarakat ideal melalui
pendidikan.

Al-Farabi memasukkan pula seni sebagai salah satu mata pelajaran yang
harus diajarkan dalam proses pendidikan. Sebab, ungkap Al-Farabi, orang bijak
adalah mereka yang sangat mahir dalam bidang seni dan mencapai
kesempurnaan di dalamnya. Oeh sebab itu, sebagaimana tujuan pendidikan
menurut Al-Farabi adalah menjadikan manusia yang benar-benar sempurna.
Maka kemungkinan beliau berharap dunia ini dipegang oleh generasi Islam yang
terpelajar dan intelektual yang mana keduanya merupakan sifat dari pendidik
dan peserta didik.44

D. Metode Pendidikan Menurut Al-Farabi

Menurut Al-Farabi, pendidikan merupakan kebutuhan setiap individu.


Tanpa pendidikan, seseorang tidak dapat mencapai kesempurnaan dan
kebahagiaan hidup. Dengan demikian, pendidikan harus tersedia bagi semua
orang tanpa memandang strata sosial mereka Namun, metode pengajaran
dalam pendidikan harus disesuaikan menurut kelompok tertentu. Al-Farabi
mengatakan, ada dua metode dasar pendidikan.

Pertama adalah metode yang disesuaikan untuk rakyat biasa dengan


langkah persuasif. Menurut Al-Farabi, metode persuasi merupakan metode
membujuk pendengar dengan hal-hal yang logis dan memuaskan pikirannya
44
Ibid., 178

23
tanpa mencapai kepastian. Bujukan akan tercapai ketika pendengar melakukan
hal-hal yang dia yakini adalah benar.

Dalam praktiknya, metode persuasif dapat dilakukan melalui pidato dan


kegiatan bersama-sama antara guru dan murid. Metode persuasif cocok untuk
mengajarkan mata pelajaran seni dan kerajinan. Sedangkan, metode kedua
adalah demonstratif. Pengajaran dengan metode kedua ini dapat dilakukan
melalui pidato. Dengan metode ini, jelas Al-Farabi, guru berpidato untuk
menerangkan mata pelajaran yang diajarkannya, seperti mengajarkan teori-teori
tentang kebajikan dalam masyarakat.

Selain itu, Al-Farabi juga mengadopsi metode filsuf Yunani, Plato. Ia


menggunakan metode dialog atau perdebatan. Ia menekankan pula pentingnya
diskusi dan dialog dalam pengajaran. Dalam konteks ini, ia memperkenalkan dua
hal baru, yaitu argumen dan wacana. Metode wacana dapat dilakukan dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan ilmiah tentang suatu hal. Lalu, orang-orang
akan didorong untuk memecahkan masalah ilmiah tersebut. Sedangkan, metode
argumen digunakan untuk memenangkan debat atas lawan bicara. Bahkan,
metode ini juga bertujuan agar lawan bicara memercayai gagasan yang
sebelumnya mereka tolak.

Al-Farabi mengungkapkan, metode argumen cocok untuk mengajar orang-


orang yang keras kepala. Untuk mengajar masyarakat umum, sebaiknya
gunakan metode yang paling dipahami. Al-Farabi menuliskan semua metode
pengajaran tersebut dalam bukunya yang berjudul Al-Alfadz. Ternyata metode
yang beliau munculkan yakni metode persuasif dan demonstratif serta metode
wacana dan argumen, sampai saat ini masih tetap diterapkan di lembaga-
lembaga pendidikan di seluruh Indonesia, mulai dari lembaga pendididkan
terendah sampai lembaga pendidikan tertinggi.45

2.4 Pemikiran Al-Farabi Tentang Negara Ideal


A. Asal Mula Negara Menurut Al-Farabi

Sebelum al-Farabi membicarakan tentang negara, terlebih dahulu dia


membahas asal usul negara. Salah satu elemen terbentuknya negara adalah
manusia, maka alFarabi memulai dengan pembahasan manusia. Plato
menjelaskan bahwa manusia secara natural adalah makhluk politik karena
fitrahnya tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri kecuali melalui
perkumpulan atau kelompok. Sedangkan menurut Aristoteles bahwa manusia

45
Ibid., 178

24
adalah zoon politicon, makhluk yang bermasyarakat dan bernegara untuk
mencapai kesempurnaan sebagai manusia. 46
Sebagaimana yang terdapat dalam karya fenomenal al-Farabi Ârâ‟ Ahl
al-Madînah al-Fâdlilah bahwa negara muncul dari sekumpulan manusia.
Manusia saling membutuhkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, yang
disebut al-Farabi dengan Asosiasi (al-Ijtimâ‟at alInsâniyah). Manusia tidak
akan mendapatkan kesempurnaan dan kebahagiaan, kecuali melalui asosiasi
dengan berkerjasama dan berkumpul. Menurut al-Farabi manusia termasuk
makhluk yang tidak dapat menyelesaikan urusan-urusan penting mereka,
ataupun mencapai kondisi terbaik mereka, kecuali melalui asosiasi
(perkumpulan) banyak kelompok dalam suatu tempat tinggal yang sama. Hal
inilah menjadi awal terbentuknya negara. Al-Farabi beranggapan bahwa
negara lahir atas kesepakatan bersama dari sekumpulan manusia yang saling
membantu untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Menurut al-Farabi, manusia tidak dapat menyelesaikan urusan-
urusannya sendiri, sebab manusia membutuhkan pertimbangan dari orang
lain untuk mencapai keadaan yang baik. Jadi, manusia membutuhkan asosiasi
(perkumpulan) dalam suatu tempat tinggal yang sama. Psikologi manusia
menurut al-Farabi mempunyai fitrah sosial, fitrah untuk berhubungan dan
hidup bersama orang lain, dari fitrah ini kemudian lahir apa yang disebut
masyarakat, kota dan negara. Sifat dasar inilah yang mendorong manusia
untuk hidup bermasyarakat dan bernegara.
Secara fitrah, manusia akan hidup bermasyarakat. Sebab, untuk
mempertahankan hidup, manusia membutuhkan sandang, pangan, dan
papan. Untuk memenuhinya, tidak mungkin manusia hidup sendiri tanpa
bantuan orang lain. Sehingga meniscayakan manusia untuk hidup
berkelompok. 47
Al-Farabi sangat memperhatikan masyarakat dalam membangun
konsep kota utama. Bahkan, ia membagi masyarakat kedalam dua kelompok
besar, yakni masyarakat sempurna dan tidak sempurna. Masyarakat
sempurna adalah masyarakat kelompok besar, bisa berbentuk masyarakat
kota, ataupun masyarakat yang terdiri dari beberapa bangsa yang bersatu dan
bekerja sama secara internasional. Masyarakat yang sempurna dibagi al-
Farabi menjadi tiga jenis, yaitu besar, menengah, dan kecil. Masyarakat
sempurna besar (Kâmilah „Uzmâ) adalah kesatuan dari beberapa bangsa yang
berkelompok dan bekerja sama antara satu dan yang lain. Sedangkan,
masyarakat sempurna menengah (Kâmilah Wusthâ) adalah kesatuan suatu
bangsa, dan masyarakat sempurna kecil (Kâmilah Syughrâ) adalah kesatuan
dari masyarakat dalam suatu negara atau kota. 48
46
Fauzi M. Najjar, “Democracy In Islamic Political Philosophy” dalam Jurnal Studia Islamica, La Loi du, 1957, G.P
Maisonneuve et Larose, 1980, hal. 108- 122
47
Abu Nashr al-Farabi, Ârâ‟ Ahl al-Madînah al-Fâdlilah, (Beirut: Daar alMasyriq, 2000), Cet. 2. h. 117.
48
Ibid., 177

25
Masyarakat tidak sempurna adalah kesatuan terkecil dari suatu
kelompok manusia, seperti: rumah tangga dan desa. Masyarakat ini, secara
kuantitas dan kualitas anggotanya kurang mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Al-Farabi menganjurkan untuk saling bekerjasama agar
dapat menghilangkan kekurangan dan mewujudkan kesempurnaan.
Sementara yang dikatakan masyarakat yang tidak sempurna adalah
masyarakat yang hanya dalam keluarga maupun sedesa dalam lingkup yang
lebih kecil. Masyarakat yang terbaik menurut al-Farabi adalah masyarakat
yang bekerja sama serta saling bantu untuk mencapai kebahagiaan,
masyarakat yang demikianlah yang dikatakan sebagai masyarakat yang utama.
Menurut al-Farabi negara merupakan satu kesatuan yang paling
mandiri dan mampu memenuhi kebutuhan hidup yang diperlukan manusia
seperti, sandang, pangan, dan papan. Masyarakat akan mencapai tingkatnya
yang sempurna ketika masyarakat kota yang merupakan sekelompok manusia
yang mampu memenuhi kebutuhan mereka dengan saling melengkapi antara
satu dan yang lain.Sebab, pada dasarnya, setiap manusia itu saling
membutuhkan antara satu dengan yang lain guna mencapai kesempurnaan
hidup. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka saling membantu.
Karena banyaknya kebutuhan mereka, sehingga mengharuskan untuk saling
melengkapi.
Setiap orang bekerja sesuai dengan kompetensinya. Masyarakat
bagaikan satu tubuh yang disaat satu anggota tubuh merasa senang, maka
senanglah semua. Begitupun sebaliknya, di saat salah satu anggota tubuh
merasa sakit, maka sakitlah semuanya. Seluruh masyarakat dijalari oleh jiwa
yang sama dengan rasa yang sama pula. Setiap orang dalam masyarakat kota
harus menyadari perlunya kerjasama dan koordinasi yang teratur. Jika
anggota masyarakat mempunyai kompetensi yang bermacam-macam, maka
mereka melakukan pekerjaan sesuai dengan bakat mereka masing-masing. 49
Menurut al-Farabi, negara utama ibarat tubuh manusia yang sempurna
dan sehat. Semua organ tubuh bekerjasama sesuai dengan tugas dan
tanggung jawab masing-masing. Setiap tubuh manusia memiliki sejumlah
organ atau anggota badan dengan berbagai fungsi yang berbeda, dan dari
sejumlah organ itu terdapat satu organ pokok yang paling penting, yakni
jantung. Sebab, jantung berfungsi sebagai organ pengatur yang tidak diatur
oleh organ lainnya. Selain jantung, ada organ lain yang tingkat kepentingannya
hampir sama dengan jantung, yaitu otak.
Otak adalah organ penting kedua di dalam tubuh manusia. Organ tubuh
kedua membantu organ tubuh pertama untuk mengatur organ-organ tubuh
lainnya. Kemudian ada organ tubuh peringkat ketiga yang bertugas untuk
melayani organ tubuh peringkat kedua, begitu seterusnya. Jantung menjadi

49
Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A. Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya), (PT. Raja Grapindo Persada), h. 83.

26
pengatur seluruh organ tubuh manusia, sehingga jika ada salah satu organ
tubuh rusak, maka jantung langsung bertindak untuk memperbaiki kerusakan
itu.50
Dari sinilah al-Farabi menganggap bahwa perlu mendirikan suatu
negara untuk mengatur masyarakat yang mempunyai karakter dan
kompetensi yang berbeda-beda. Karena itu, masyarakat membutuhkan ketua
atau pemimpin yang bertugas dan berwenang untuk mengatur dan
mengarahkan kompetensi yang berbeda itu untuk menuju kesempurnaan
hidup. Al-Farabi mengibaratkan kota atau negara dengan susunan tubuh
manusia yang sehat dan sempurna dimana masing-masing saling berusaha
dan bekerjasama, dalam tubuh manusia ada kepala, hati, jantung, tangan, dan
kaki yang bekerja sesuai dengan tugasnya.
Begitu pula dalam Negara, masing-masing rakyat mempunyai tugas dan
kadar kecerdasan yang berbeda-beda sehingga membutuhkan saling
kerjasama dimana harus ada kepala Negara, dan yang lain membantu dalam
berbagai kedudukan sehingga tercapai kebahagiaan. Gagasan ini sebagaimana
diungkapkan oleh Al-Farabi dalam karyakarya penting filsafat politiknya di
antaranya, Al Siyasah Al Madaniyah, dan Ârâ‟ Ahl Al Madînah Al-Fâdlilah. 51

B. Konsep Negara Ideal Menurut Al-Farabi


Al-Farabi memulai pembahasan negara utama dengan asal usul negara.
Menurutnya, karena ada kepentingan yang sama pada diri individu, maka akan
mudah untuk mengarahkan pikiran untuk menuju pada satu ideologi di dalam
negara utama. Sebab, untuk menciptakan negara utama, setiap orang harus
bisa bekerjasama secara kolektif.

Al-Farabi tidak bermaksud menghapuskan hak-hak pribadi, akan tetapi


dia menekankan agar setiap orang bisa bekerjasama di segala bidang
kehidupan. Dengan adanya kerjasama, setiap warga bisa menyalurkan ide
(Ârâ) atas permasalahan yang dibahas, sehingga warga bisa menemukan solusi
dari permsalahan dengan mudah dan cepat. Dengan demikian, tujuan Negara
Utama (alMadînah al-Fâdlilah) yang sebenarnya dapat terwujud dengan baik,
yaitu kebahagiaan atau “Sa‟âdah Mâdiyyah wa Ma‟nawiyyah”. Kebahagiaan
jasmani dan rohani, material dan spiritual, dan dunia dan akhirat. 52Untuk
mencapai kebahagiaan jasmani dan rohani di Negara Utama, maka setiap
warga harus melakukan keutamaan-keutamaan yang dapat mengantarkan
kepada kebahagiaan sejati. Menurut al-Farabi, warga negara utama harus
mempunya akhlak utama yang sesuai dengan ajaran Islam, sehingga warga
bisa mencapai Insân Kâmil.
50
Abu Nashr al-Farabi, op. Cit., h. 120. Lihat, Zainal Abidin Ahmad, op. Cit., h. 43
51
Ahmad Zainal Abidin, op.Cit., h. 5.
52
Abu Nashr al-Farabi, op. Cit., h.121-122.

27
Dengan unsur-unsur keutamaan itu, manusia dapat mencapai
kebahagiian material dan spiritual. Setiap orang bekerja dengan kemampuan
dan bakat masing-masing di bawah komanda kepala negara yang memiliki
banyak skill. Kepala Negara adalah seorang Guru (Mu‟allim), sebab dia yang
akan mengajar rakyat-rakyatnya. Kepala Negara seorang Pendidik (Muaddib),
karena dia yang akan menjadi pancaran dari sifat “nubuwwah” mendidik
rakyat menjadi manusia utama. Al-Farabi mengklasifikasikan negara
berdasarkan ideologi, bukan berdasarkan sistem pemerintahan, seperti
monarkhi, absolut, dan demokrasi.53
Al-Farabi tidak sependapat dengan pembagian negara secara modern
yang berdasarkan kedaulatan rakyat, kekuasaan, dan hukum. AlFarabi
memiliki gagasan sendiri dalam hal ini. Dengan demikian, al-Farabi
mengkonsepsikan Negara Utama sekaligus lawan dari Negara Utama.
Al-Madînah al-Fâdlilah (Negara Ideal/Utama) Negara Utama menurut al-
Farabi adalah negara yang didirikan oleh warga negara dengan tujuan
jelas, yaitu kebahagiaan. Dalam kitab Ârâ Ahl Madînah alFâdlilah
terwujudnya kota utama di dalam negara utama apabila penduduknya
memiliki pengertianpengertian sebagai berikut: Warga memiliki
kecerdasan spiritual dan material untuk sampai pada akal aktif. Warga
mengetahui sebab-sebab pertama dan tujuan keberadaan manusia.
Kemudian munculnya kota utama yaitu suatu kota yang warganya
memproleh kebahagiaan yang diidam-idamkan.
Al-Madînah al-Jâhiliah (Negara Jahiliyah) Negara jahiliyah menurut al-
Farabi adalah negara yang tidak mempunyai ideologi yang tinggi, artinya
tidak mempunyai tujuan yang ideal sama sekali atau menganut ideologi
yang salah, yang beretentangan dengan kebahagiaan. Kota ini dihuni oleh
warga yang tidak mengetahui tentang arti kebahagiaan (yang seharusnya
menjadi tujuan utama manusia) dan hal ini memang tidak terlintas di
dalam benak mereka. Jika diarahkan secara benar untuk sampai kepada
hal tersebut (kebahagiaan), mereka tetap tidak dapat memahaminya,
bahkan tidak mempercayainya.
Al-Madînah al-Fâsiqah (Negara Fasiq) Negara Fasik yaitu sebuah negara
dengan penduduk yang mengenal kebahagiaan, Tuhan, dan Akal Fa‟al,
seperti penduduk negara utama. Akan tetapi, tingkah laku penduduk
negara fasik sama dengan negara bodoh. Apa yang mereka lakukan
berbeda dengan apa yang mereka ucapkan.
Al-Madînah al-Mubaddilah (Negara yang Bertukar Kebutuhan) Negara
yang Bertukar Kebutuhan adalah negara yang pandangan-pandangan dan
perbuatan-perbuatan penduduknya pada mulanya sama dengan
pandangan dan perbuatan masyarakat negara utama, kemudian beralih

53
Zainal Abidin Ahmad, op. Cit., h. 113.

28
dari pandangan itu karena kemasukan pandangan lain sehingga
menyeleweng dari pandangan semula.
Al-Madînah al-Dhallah (Negara Sesat) Negara Sesat yaitu negara yang
penduduknya memiliki pemikiran yang salah tentang Tuhan dan akal Fa‟al.
Meskipun demikian, kepala negara ini tetap menganggap bahwa dirinya
mendapat wahyu, kemudian ia menipu orang lain dengan ucapan dan
tingkah lakunya.
Dari uraian di atas mengenai konsep Negara Ideal/Utama beserta
negara yang berlawanan dengan Negara Ideal/utama, kita mulai mendapat
pemahaman tentang pembagian-pembagian negara. Pembagian negara itu
berdasarkan ideologi warga dan pemimpinnya, karena memang unsur utama
dalam negara adalah warga dan pemimpinnya.54

C. Kepala Negara Ideal Menurut Al-Farabi

Menurut al-Farabi, pemimpin negara utama adalah orang yang paling kuat
akalnya. Sebab, ia akan membawa warga untuk sampai pada akal fa‟al.
Seorang pemimpin harus dapat membuktikan bahwa dirinya adalah orang yang
sejahtera, sehingga warga dapat percaya bahwa pemimpin dapat membawa
warga untuk menuju kepada kehidupan yang sejahtera.

Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk mempengaruhi


orang lain agar mau mengikutinya. Kemampuan untuk mempengaruhi tidak
dimiliki oleh setiap orang, maka setiap orang harus berlomba untuk menjadi
yang terbaik. Dengan demikian, yang dapat menjadi pemimpin negara utama
adalah orang yang memiliki ilmu-ilmu teoritis dan keutamaan berpikir
sebagaimana yang dimiliki oleh seorang filosof.55

Pemimpin di negara utama harus memiliki keilmuwan yang tinggi, sebab ia


akan menjadi tauladan secara pemikiran maupun perbuatan untuk warga.
Seorang pemimpin harus mampu memposisikan dirinya. Ia mampu berada di
depan sebagai kepala negara, berada di belakang sebagai pelindung, di tengah
sebagai sahabat bagi warga. Dengan demikian, pemimpin dalam negara utama
mampu mengarahkan tindakan-tindakan ke arah kebahagiaan. 56

Pokok penting dari pembahasan mengenai kepemimpinan adalah


bagaimana dan apa saja kriteria dari seorang pemimpin. Dalam hal ini al-Farabi
ingin mengungkapkan kriteria ideal bagi seseorang yang akan menjadi
pemimpin. Pembahasan tentang kriteria pemimpin sangat jelas dalam kitab
Ârâ‟ Ahl al-Madînah al-Fâdlilah, karena alFarabi menuliskannya dalam bab
54
Ibid., 133
55
Abu Nashr al-Farabi, Tahsil al-Sa‟âdah, (Hyderabad: Majlis Daa‟irah alMa‟arif al-Utsmaniyyah, 1349 H.), h.
43.
56
Abu Nashr al-Farabi, Ârâ‟ ahl al-Madînah al-Fâdlilah, op. Cit., h. 127- 129.

29
khusus mengenai kriteria pemimpin, sehingga kita dapat memahaminya
dengan baik tanpa interpretasi yang cukup rumit.

Sebelum membahas tentang kriteria pemimpin menurut al-Farabi, ada tiga


golongan manusia, dari segi kapasitasnya untuk memimpin, yaitu;
a. Manusia yang memiliki bakat untuk memimpin. Manusia ini wajib
menduduki (jabatan) sebagai pemimpin utama. Sebab, secara natural ia
dapat mempengaruhi warga untuk mengikutinya.
b. Manusia yang bisa dipimpin dan memimpin. Manusia dalam kategori ini
memiliki ilmu-ilmu teoritis yang spesifik dan memiliki keyakinan terhadap
kebenaran yang diajarkan oleh pendahulunya. Manusia ini memiliki
kemampuan memimpin diatas rata-rata masyarakat tetapi hanya mampu
memimpin suatu kota saja.
c. Manusia yang hanya bisa dipimpin. Manusia jenis ini memiliki
kemampuan teoritis dan kekuatan yang terbatas.57
Maksud dari al-Farabi menentukan kapasitas pemimpin adalah untuk
memberi gambaran umum kriteria manusia agar kita dapat menentukan
pemimpin berdasarkan potensi-potensinya dalam memimpin.
Menurut al-Farabi, pemimpin pada peringkat pertama adalah pemimpin yang
secara natural memiliki 12 persyaratan dasar, yaitu;
Memiliki anggota badan yang sempurna.
Memiliki logika yang bagus dan mampu memecahkan persoalan
Memiliki ingatan dan hafalan yang kuat d. Memiliki kepandaian dan
kecerdasan yang baik. Apabila dia melihat sesuatu dengan sedikit bukti
(dalil), ia cepat tanggap ke arah mana dalil (bukti) itu akan menuju.
Memiliki retorika yang bagus, dapat menerangkan dengan baik dan
sempurna apa (keterangan) yang tersembunyi.
Cinta kepada ilmu pengetahuan,
Menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat h. Mencintai kebajikan dan
membenci kemungkaran
Memiliki jiwa yang besar, terhadap permasalahan (kesulitan) yang
menimpa dirinya.
Mengutamakan urusan akhirat dari pada dunia
Sanggup menegakkan keadilan
Memiliki keberanian untuk menegakkan kebajikan dan berani
menanggung segala resiko. 58
Syarat-syarat tersebut oleh al-Farabi di atas, diakui sangat sulit terwujud
secara bersama-sama pada diri seseorang. Oleh karena itu, al-Farabi

57
Abu Nashr al-Farabi, Tahsîl al-Sa‟âdah, op. Cit, h. 36-38
58
Abu Nashr al-Farabi, Ârâ‟ ahl al-Madînah al-Fâdlilah, op. Cit., h. 127- 129.

30
memberikan alternatif persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemimpin
negara utama. Yaitu sebagai berikut;
 Bijaksana (Hikmah)
 Mengerti dan mampu melaksanakan undangundang
 Memiliki kecerdasan dalam mengambil keputusan
 Berpandangan futuristic
 Berbadan Sehat
 Mampu menasehati orang.59
Apabila persyaratan tersebut tidak ditemukan pada satu orang, tetapi ada pada dua
orang yang satu adalah orang yang penuh kebijaksanaan sedangkan persyaratan selebihnya
dimiliki oleh orang lain, maka keduanya dapat bersama-sama menjadi pemimpin negara
yang bekerja sama satu sama lain. Jika syarat itu terdapat pada banyak orang, maka secara
otomatis pemimpin utama negara utama akan dipegang secara kolektif.
Akan tetapi, jika ada yang memiliki persyaratan dari nomor dua sampai enam,
sedangkan syarat pertama kebijaksanaan tidak ada, maka negara itu sama sekali tidak
mempunyai pemimpin, karena didalamnya tidak ada orang bijaksana yang dapat mengatur
negara itu dengan baik. Akibatnya negara itu akan mengalami kehancuran dalam waktu yang
tidak lama lagi.60

D. Relevansi Konsep Al-Farabi Terhadap Kehidupan Bernegara di Indonesia

Membentuk atau mendirikan suatu negara atau pemerintahan untuk


mengelola urusan rakyat (ummat) merupakan kewajiban agama yang paling
agung karena agama tidak mungkin tegak tanpa negara dan pemerintahan.
Ukuran tegaknya suatu nilai-nilai agama seperti keadilan, keamanan
ketertiban dan keadaban hanya bisa dilakukan melalui negara dan
pemerintahan.
Islam bukan hanya semata-mata mengajarkan agama, akan tetapi juga
mengatur masalah-masalah negara, masalah politik dan lain-lain yang
berkaitan dengan kebaikan hidup di dunia dan akhirat. Bila kita tinjau secara
sistematis, agama Islam mengajarkan tentang masalah-masalah kenegaraan,
antara lain :

 Di dalam ajaran Islam ditemui prinsip-prinsip musyawarah,


pertanggung jawaban pemerintahan, kewajiban taat kepada
pemerintahan dalam hal-hala yang berkaitan dengan makruf, hukum –
hukum di dalam keadan perang dan dalai, perjanjian antar negara.
Dalam sunnah Nabi SAW sering kita temukan kata-kata amir, iman yang
menunjukkan kepada kekuasaan dan pemerintahan.
 Negara penting sekali di dalam rangka melaksanakan hukumhukum
Islam. Bahkan sebahagian hukum Islam tidak dapat dilaksanakan tanpa
adanya negara seperti hukum pidana.
59
Ibid., 127-129
60
Abu Nashr al-Farabi, Ârâ‟ Ahl al-Madînah al-Fâdlîlah, op. Cit., h. 130.

31
 Di kalangan fuqaha kita kenal istilah darul al-Islam dan daru alharb.
Darul Islam sesunggguhnya adalah Daulah Islamiyyah.
 Sejarah berbicara kepada kita bahwa Nabi SAW juga seorang kepala
negara ketika beliau berada di Madinah.
Keingian semua orang di dunia ini ingin hidup dalam sebuah negara
yang aman, damai, dan makmur. Tentunya kita semua ingin hidup dalam
sebuah negara yang mana rakyat benar-benar selalu diperhatikan dan
disayangi oleh pemimpinnya. Kita juga ingin tinggal dalam sebuah masyarakat
yang menghargai hak-hak individu dan harga diri serta martabat anggotanya.
Kita semua bisa beraktivitas dalam masyarakat yang bahagia, bukan
masyarakat yang mengalami kelemahan fisik ataupun sakit. Singkat kata kita
ingin tinggal, hidup, dan beraktivitas, menjadi bagian dari masyarakat yang
utama, bukan masyarakat yang sesat ataupun rusak. Untuk bisa mencapai
hidup di dalam tipe masyarakat yang ideal/ utama seperti itu tidaklah mudah.
61

Umat Islam sebagai bagian terbesar dari bangsa Indonesia harus


menjadi kekuatan moral yang mengingatkan para pemimpin bangsa. Sudah
saatnya paradigma/pola fikir pembangunan diubah. Pertumbuhan ekonomi
memang baik namun bukan satu-satunya indikator kemajuan bangsa.
Kehidupan keberagamaan bangsa Indonesia berada pada titik kritis.
Kelompok-kelompok tertentu yang menafsirkan agama secara tekstual
berusaha meneror kelompokkelompok masyarakat yang lain. Keberagamaan
bangsa Indonesia nyaris terancam oleh kelompok-kelompok radikal. Pada titik
ini, agama bukan memberikan solusi malahan menjadi bagian dari masalah.
Agama kian jauh dari kearifan dan lebih banyak disandingkan dengan
kekerasan dan kekakuan cara berpikir.
Pemikiran politik Al-Farabi mengenai tujuan politik sangat penting
untuk dicamkan oleh para elit politik Indonesia, dan lebih baik lagi untuk
semua kalangan yang mencintai negara Indonesia, guna menjadi negara yang
baik sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karena itu agama menjadi penting
sebagai benteng moral. Tanpa agama, kehidupan masyarakat menjadi anarkis.
Seperti yang tertuang di dalam Panca Sila yang pertama: Ketuhanan yang
Maha Esa. Sangat penting untuk diingat dan dipahami bahwa dalam penelitian
ini, Al-Farabi berada di masa atau situasi kekacauan politik yang tidak pasti
arah pembangunannya.
Begitu juga masyarakat Indonesia pun kini mengalami hal yang serupa.
Politik harus diisi oleh para moralis. Bukan para oportunis. Sehingga negara
Indonesia memiliki jati diri sebagai negara yang besar dan yang dapat menjaga
61
Abdullah Said. Filsafat Politik Al-Farabi. Indonesian Journal of Islamic Theology and Philosophy P-
ISSN 2088-9046, Volume 1. No. 1 Tahun 2019, h. 63-78

32
rakyatnmya aman, terntram dan sejahtera, dan tentunya seluruh umat Islam
diIndonesia mengharapkan negara yang baik Baldatun Tayyiban dan rakyatnya
saling bekerja sama dengan pemimpinnya.
2.5 Pemikiran Al-Farabi Tentang Logika
Awalnya logika dan tata bahasa merupakan disiplin ilmu yang berdiri
sendiri berlandaskan kaidah atau aturan yang terpisah, masing-masing dengan
lingkup dan pokok permasalahannya sendiri. Namun semenjak al-Farabi kedua
disiplin itu dapat dipersatukan atau dihubungkan. Al-Farabi telah berusaha
keras membangun logika sebagai bagian kajian otonom dari filsafat bahasa,
yang keduanya saling melengkapi, bukan bertolak belakang dan bertentangan.

Menurut al-Farabi, logika adalah jenis tata bahasa yang universal, yang
memberikan kaidah atau aturan yang harus diikuti guna berpikir secara benar
dalam bahasa apa pun. Hubungan logika dengan tata bahasa tergambar dalam
analog bahwa hubungan logika dengan hal yang bisa dipikirkan (Ma’qulat)
adalah seperti hubungan antara tata bahasa dengan bahasa atau dengan
ungkapan itu sendiri. Dengan demikian, setiap kaidah atau aturan bahasa dan
pengungkapan yang diberikan oleh tata bahasa terdapat satu kaidah atau
aturan yang masuk akal sepadan dengan ilmu logika (al-Farabi, 1968). 62

Berkaitan dengan filsafat bahasa ini, al-Farabi dalam kitab al-Huruf


memberikan penjelasan yang lebih luas tentang asal-usul bahasa, filsafat dan
hubungan antara filsafat dan agama. Tujuannya adalah memberikan
pembahasan linguistik yang cukup abstrak dalam konteks historis dan
antropologis dengan menjelaskan bagaimana bahasa itu lahir dan
berkembang, mulai dari bentuk yang populer hingga yang teknis. Hubungan
filsafat dan agama juga terpola dalam batas kebahasaan ini. Agama dipandang
sebagai ungkapan kebenaran filsafat dalam bahasa populer yang
menggunakan seni logis retorika dan puisi.

Oleh sebab itu, dalam pandangan epistemologi al-Farabi, teori


demonstrasi; ilmu logika (silogisme), matematika dan ilmu alam secara umum
atau sikap awal memiliki tempat yang paling tinggi. Alur menonjol dalam
epistemologi al-Farabi adalah pengadopsian hirarki seni silogistik (retorika dan
puisi) yang mengidentifikasi demonstrasi sebagai metode filsafat yang paling
tepat. Sedangkan metode lain dianggap sebagai alat komunikasi non-filsafat.
Walaupun begitu, al-Farabi juga memberikan tempat yang cukup bagi seni
dialektika, retorika dan puisi sebagai bagian yang integral dalam filsafat.
Dalam kitab al-Jadal, al-Farabi menjelaskan bagaimana dialektika memberikan
62
Hafid .2007. EPISTEMOLOGI AL-FARABI: GAGASANNYA TENTANG DAYA-DAYA MANUSIA. Jurnal
Filsafat Vol.17, Nomor 3, Desember 2007

33
konstribusi bagi pencapaian pengetahuan demonstratif dengan
mengidentifikasi beberapa cara: memberikan latihan berargumentasi,
memperkenalkan awal prinsip demonstrasi, membangkitkan kesadaran akan
prinsip bawaan demonstrasi yang terbukti dengan sendirinya (self evident),
dan mengembangkan ketrampilan berkomunikasi dengan massa (al-Farabi,
1986:7).

Sedangkan untuk retorika dan puisi, al-Farabi juga memasukkan dalam seni
logika, yang dirasa cukup unik karena berbeda dengan tujuan logika secara
umum. Menurut al-Farabi, Puisi akan menghasilkan sikap Takhyil;
pembangkitan gambaran imajinatif atas satu objek. Sedangkan untuk retorika
disebut sebagai “diterima secara luas pada penglihatan pertama” (alFarabi,
1959: 92). Al-farabi menjelaskan bahwa konsensus sosial dan intuisi rasional
awal dalam keyakinan sehari-hari manusia dibangun oleh retorika. Bahkan
retorika juga berfungsi untuk berkomunikasi dengan massa dengan
menciptakan ketrampilam logika awal. Akhirnya al-Farabi dalam hal ini
mengikuti pendapat Plato bahwa setiap filsuf sejati dibebani tugas untuk
mengkomunikasikan pemikiran filsafatnya kepada massa (alFarabi, 1981 : 89).
Dari sini, seni dialektika, retorika dan puisi adalah cara atau sarana
berkomunikasi dengan masyarakat sehingga merupakan bagian integral
filsafat dan pelengkap yang diperlukan bagi ilmu logika dan teori demonstrasi.
63

Bila dilacak lebih jauh dalam kitabnya al-Burhan teori demonstrasi al-
Farabi berangkat dari analisisnya atas syarat yang harus dipenuhi agar dapat
memperoleh pengetahuan (epistemologi), yaitu dua tindakan kognitif dasar:
konseptual (tashawur) dan pembenaran (tasdik). Tindakan pertama, bertujuan
memahami konsep sederhana dan memungkinkan mencakup esensi objek
dan tindakan kedua, terjadi atau muncul karena pertimbangan dan penilaian
benar atau salah dalam mencapai pengetahuan yang pasti (al-Farabi, 1986).
Dua tindakan itu pada gilirannya diidentifikasi sebagai tujuan yang ingin
dicapai oleh definisi dan silogisme demonstrasi, sebagai syarat bagi
konseptualisasi dan konfirmasi yang sempurna (Hadi, 2005: 109- 117).

Hanya saja dalam konteks untuk mencapai kepastian pengetahuan ini, al-
Farabi menegaskan bahwa kepastian itu terdiri atas dua hal: keyakinan bahwa
kebenaran yang kita terima, mustahil menjadi kebalikannya (salah) dan
keyakinan bahwa tidak ada keyakinan lain yang mungkin selain yang kita
yakini (alFarabi, 1986:7). Dengan kata lain, kepastian pengetahuan tidak hanya
mensyaratkan pengetahuan kita akan sesuatu hal, tetapi juga pengetahuan
kita bahwa kita mengetahuinya.

63
Ibid., Hafid .2007

34
Dari definisi kepastian seperti itu, memungkinkan akan adanya kepastian
niscaya bahwa sesuatu yang diyakini seseorang akan sesuatu hal, mustahil
merupakan hal yang lain untuk selamanya, kepastian niscaya mensyaratkan
akan adanya objek yang niscaya dan abadi keberadaannya. Di samping
memperluas gagasan tentang kepastian pengetahuan, al-Farabi juga
sependapat dengan Aristoteles bahwa demonstrasi dalam pengertiannya yang
paling ketat hanyalah berkaitan dengan hal yang dapat diketahui dengan
kepastian niscaya. Akan tetapi al-Farabi menambahkan dimensi baru pada
teori demonstrasi yang mempertimbangkan unsur subjektif di dalam
kepastian kesadaran dan pengetahuan seseorang, bahwa dirinya mengetahui
dan juga unsur objektif yang pasti dan kekekalan objek yang diketahuinya.

Pandangan lain al-Farabi tentang manusia dalam memperoleh ilmu yang


berpijak dari sisi psikologis manusia adalah tentang daya-daya sebagaimana
dijelaskan di awal tulisan ini, bahwa daya untuk jiwa telah diidentifikasi
dengan memberikan klasifikasi; daya nutritif, daya inderawi, daya imajinatif
dan daya rasional, yang menempati urutan secara hirarkis. Pandangan al-
Farabi tentang daya imajinasi layak mendapat perhatian khusus, karena peran
imajinasi dalam hal kenabian dan ketuhanan.64

Imajinasi (Takhyil) menurut al-Farabi sama dengan Phantasia-nya


Aristoteles; merupakan daya penyimpan dan penimbang, yang bertanggung
jawab atas penyimpanan citra atau kesan tentang hal yang dapat diindera
setelah objek-objek itu lenyap dari indera. Lalu menyusunnya kembali dan
menguraikan untuk kemudian membentuk citra baru. Daya imajinasi (takhyil)
juga dapat menggambarkan objek melalui citra objek lain dan dengan ini akan
memperluas penggambarannya melampaui gambaran kualitas indera,
sehingga dalam hal ini akan mencakup pengintimasian emosi, tempramen,
keinginan tubuh dan realitas immaterial.

Dalam konteks ini, karya seni: fiksi, puisi memiliki kemampuan


membangkitkan daya imajinatif. Dari daya imajinasi yang berangkat dari data
yang ditangkap oleh indera, berkembang kepada daya rasional dan pemikiran
intelektual. Menurut al-Farabi daya rasional yang dikenal dengan istilah
“intelek” (‘aql) terbagi dan tersusun secara hirarkis dalam empat tingkat:
intelek potensial (‘aql bi alQuwwah), intelek aktual (‘aql bi al-fi’li), intelek
perolehan (‘aql bi al-mustafadh) dan intelek agen (‘aql bi al-fa’al).

Intelek potensial merupakan kecenderungan murni proses berpikir


manusia untuk mengabstraksikan bentuk atau kuiditas objek yang dapat
diketahui dari hubungannya dengan indera. Ketika intelek potensial
64
Ibid., Hafid .2007.

35
memperoleh konsep tentang sesuatu yang masuk akal, ia berubah dari
potensi murni menuju aktualitasnya, dan menjadi tipe intelek kedua, intelek
aktual. Proses mengaktualisasikan hal yang masuk akal merupakan proses
bertahap, yang bertujuan bahwa perolehan semua hal yang masuk akal dan
ilmu tersedia bagi pengetahuan manusia. Ketika intelek ini mencapai
tujuannya (merumuskan hal yang masuk akal dan ilmu), maka intelek ini
kehilangan sisi potensialnya dan berubah menjadi bentuk murni dan aktualitas
murni.
65

Berdasarkan prinsip Aristotelian, bahwa segala sesuatu itu masuk akal


sepanjang merupakan bentuk dan aktualitas, maka pada titik inilah intelek
menyadari kapasitas sepenuhnya untuk melakukan permenungan diri. Proses
permenungan diri ini menandai pencapaian pada tahap intelek ketiga: intelek
perolehan. Pada tahap ini, karena telah diaktualisasikan sepenuhnya, maka
intelek mencapai derajat yang setingkat dengan intelek inmaterial lainnya:
intelek agen. Akhirnya intelek ini dapat berkontemplasi (berpikir dan
merenung) tidak hanya tentang hal yang masuk akal yang diperoleh dari
materi, tetapi juga menyangkut hal yang inmaterial (Davidson, 1972 :134-
154). 66

Dari gambaran tentang ajaran al-Farabi tentang intelek dan daya imajinasi,
maka persoalan kenabian dapat diuraikan. Menurut Al-Farabi sebagaimana
dijelaskan Deborah L. Black (2003: 233- 234) bahwa persoalan kenabian dan
perwujudannya merupakan hasil interaksi antara intelek dan daya imajinasi.
Yang membuat pengetahuan kenabian unik bukanlah muatan intelektualnya
semata-mata, karena para filsuf juga memiliki hal yang sama. Tetapi semua
Nabi, di samping memiliki kemampuan intelektual, juga dikaruniai daya
imajinasi yang luar biasa tajam.

Dengan daya imajinasi ini memungkinkan para Nabi menerima pancaran


tentang hal yang masuk akal dari intelek agen. Namun karena pada dasarnya
imajinasi tidak mampu menerima hal abstrak yang masuk akal, Nabi
memanfaatkan kemampuan imajinatif untuk menggambarkan hal yang masuk
akal dalam bentuk simbolis konkret. Oleh sebab itu, dengan cara begini
kebenaran yang diperoleh oleh Nabi dapat disosialisasikan ke seluruh
masyarakat yang non-filosofis. 67

2.6 Filsafat Kenabian Al-Farabi

65
Madjid, Nurcholish (ed.), 1994, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta : Bulan Bintang
66
Madjid, Nurcholish, 2000, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina
67
Nasr, Sayyed Hossein (ed.), 2003, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Bandung: Mizan

36
Dalam catatan Ibrahim Madkur, filsafat kenabian16 al-Farabi erat kaitannya
antara nabi dan filosof dalam kesanggupannya untuk mengadakan komunikasi
dengan ‘Aql Fa’’al. 17 Motif lahirnya filsafat al-Farabi ini disebabkan adanya
pengingkaran terhadap eksistensi kenabian secara filosofis oleh Ah}mad ibn Ishaq
al Ruwandi (w. akhir abad III H) dan Abu Bakr Muhammad ibn Zakariya al-Razi
(865-925 M). Di mana menurut mereka, para filosof berkemampuan untuk
mengadakan komunikasi dengan ‘Aql Fa’’al. 18 Ahmad ibn al-Ruwandi, tokoh
yang berkebangsaan Yahudi ini menurunkan beberapa karya tulis yang isinya
mengingkari kenabian pada umumnya dan kenabian Nabi Muhammad SAW
khususnya.68
Kritiknya ini dapat dideskripsikan sebagai berikut :
Nabi sebenarnya tidak diperlukan manusia karena Tuhan telah
mengaruniakan akal kepada manusia tanpa terkecuali. Akal manusia dapat
mengetahui Tuhan beserta segala nikmat-Nya dan dapat pula mengetahui
perbuatan baik dan buruk, menerima suruhan dan larangan-Nya.
Ajaran agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak ada bedanya tawaf
di Ka’bah, dan sai di Bukit Shafa dan Marwa dengan tempat-tempat lain.
Mukjizat hanya semacam cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan
manusia. Siapa yang dapat menerima batu dapat bertasbih dan serigala
dapat berbicara. Kalau sekiranya Allah membantu umat Islam dalam Perang
Badar mengapa dalam Perang Uhud tidak?
Al-Qur’an bukanlah mukjizat dan bukan persoalan yang luar biasa (khariq
al-‘adah). Orang non-Arab jelas heran dengan balaghah al-Qur’an, karena
mereka kenal dan mengerti bahasa Arab dan Muhammad adalah orang yang
paling fasih di kalangan orang Arab.
Justru karena hal-hal di atas, daripada membaca kitab suci, lebih berguna
membaca buku filsafat Epicurus, Plato, Aristoteles, dan buku astronomi, logika,
serta obat-obatan. Tentu pandangan Ibn al-Ruwandi di atas tidak dapat
dibenarkan, khususnya dari sisi akidah Islam. Dari sisi pemikiran, arahnya sangat
liberal dan destruktif. Dan ini sangat berbeda dengan pandangan al-Farabi
tentang kenabian (al-nubuwwah) yang menjadi dasar dari filsafat kenabiannya.
Pandangannya itu dapat dijelaskan dalam penjabaran berikut ini.
Menurut al-Farabi, manusia dapat berhubungan dengan ‘Aql Fa‘‘al melalui
dua cara, yakni: penalaran atau renungan pemikiran dan imaginasi atau intuisi
(ilham). Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh pribadi-pribadi pilihan yang
dapat menembus alam materi untuk dapat mencapai cahaya ketuhanan.
Sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh nabi. Perbedaan antara kedua
cara tersebut hanya pada tingkatannya, dan tidak mengenai esensinya.
68
Qosim Nursheha Dzulhadi. Al-Farabi dan Filsafat Kenabian. Jurnal Kalimah. Vol. 12, No. 1, Maret
2014

37
Tentu saja jika yang dipahami sebagai ‘Aql Fa‘‘al itu adalah Jibril, maka yang
dapat berhubungan secara langsung hanyalah para nabi. Manusia sekelas filosof
pun tidak akan dapat mencapai derajat ini. Konon lagi, jika menggunakan logika
sederhana bahwa nabi adalah filosof, dan filosof bukan nabi. Maka dari sisi
tingkatannya pun antara nabi dan filosof sangat berbeda, yakni filosof berada di
bawah nabi.
Di dalam karyanya yang monumental, A’ Ahl al-Madinah al-Fadilah, al-Farabi
mengulas konsep kenabian ini dalam dua bagian penting: Fi Sabab al-Manamat
(Sebab Terjadinya Tidur) dan Fi al-Wahyi wa Ru’yat al-Malak (Masalah Wahyu dan
Melihat Malaikat). Kedua poros ulasannya ini dikaitkan oleh al-Farabi dengan
teori kenabiannya (nazariyyat al-nubuwwah), yang dapat dijelaskan sebagai
berikut. 69
Ketika imaginasi – yang dianggap sebagai kutub ruh – berpisah ketika tidur,
lalu masuk kepada simpanan-simpanan nalar dan berbagai gambar, maka ia
saling mendekat lalu menyusun gambar-gambar baru dan menyatu dengan tidur
dan keadaan psikologis yang siap untuk merespon dan dipengaruhi. Sehingga
orang yang sedang tidur mengalami mimpi berenang, kalau campuran itu basah
(lembab). Dan ia dapat mengalami mimpi perang, jika dalam kondisi psikologis
yang berkecamuk. Dalam hal ini al-Farabi menyatakan: “Hubungan dengan ‘Aql
Fa’’al meskipun jarang terjadi, khususnya orang-orang besar, tetapi hal itu dapat
mudah terjadi melalui dua jalan:
 melalui jalur akal maupun imajinasi, atau
 melalui jalan kontemplasi (al-ta’ammul) dan ilham (inspirasi).”

Dengan cara pandang yang kritis (al-nazar) dan kontemplasi, seorang manusia
dapat sampai pada derajat “Akal Sepuluh”, sementara melalui studi dan
penelitian jiwanya mampu sampai kepada “’Aql Mustafad” yang dapat menerima
cahaya Ilahi (taqbal al-anwar al-Ilahiyyah). Ketika dapat menerima cahaya Ilahi
inilah jiwa telah sampai kepada derajat kenabian, yaitu derajat paling sempurna
yang dicapai oleh kekuatan imajinasi. Dan kesempurnaan derajat ini dapat
ditempuh oleh manusia melalui kekuatan imajinasi ini (al-quwwah al-
mutakhayyilah).
Tentu saja, yang dapat mencapai imajinasi yang tinggi seperti di atas adalah
para nabi Allah, bukan orang biasa. Karena ini berkaitan dengan kekuatan lahir
dan batin, sebagai sosok yang menerima titah dan pesan Ilahi (risalah) yang
mengantarkannya menjadi seorang nabi atau seorang rasul. Oleh karena itu, nabi
yang menerima kenabian melalui wahyu, kata Ibn Khaldun (w. 808 H) dalam al-
Muqaddimah, memiliki prasyarat berikut.

69
Ibid., 68

38
1. Ketika menerima wahyu kesadarannya hilang, sehingga orang
melihatnya tengah pingsan, padahal tidak. Itu adalah kondisinya ketika
berhubungan dengan malaikat ruhani (al-malak alruhani) sesuai dengan
kekuatan mereka yang keluar dari kemampuan manusia biasa.
2. Sebelum menerima wahyu, seorang nabi telah dikenal memiliki akhlak
mulia, suci dari dosa (al-zaka), menjauhi perilaku tercela dan kotor (al-
rijs).
3. Mengajak manusia kepada agama (al-din) dan ibadah, seperti shalat,
sedekah, dan menjaga kehormatan diri (al-‘afaf).
4. Dikenal di tengah kaumnya memiliki garis keturunan yang baik
(dzuhasab).
5. Mampu melakukan hal-hal yang luar biasa, sebagai bukti kenabiannya.
Inilah yang disebut dengan mukjizat yang dapat melemahkan manusia,
sehingga mereka tak mampu mengikutinya.70
Dari sana semakin tampak jelas perbedaan antara nabi dan filosof.
Maka tidak mungkin bahwa wahyu atau mukjizat berasal dari kekuatan
imajinasi, sehingga ia tidak memiliki wujud di luar. Kalau demikian,
sebagaimana kritik Ibn Taymiyah (w. 728 H), maka nabi tidak memiliki
kedudukan istimewa. Ibn Taimiyyah kemudian menguatkan bahwa laut yang
terbagi menjadi dua belas jalur, setiap jalur seperti dinding yang kuat,
berubahnya tongkat menjadi ular, turunnya manisan dan burung puyuh dari
langit (almann wa al-salwa), keluarnya 12 mata air dari batu, mengucurnya air
dari sela-sela jari, memperbanyak makanan dan minuman sampai melebihi
orang yang membutuhkannya, dan terbongkarnya pohon dari akarnya
kemudian kembali lagi seperti semula, ini semua terjadi di luar kemampuan
manusia dan tidak terjadi karena kekuatan jiwa atau imajinasi. Hanya saja
konsepi kenabian (al-nubuwwah) menurut alFarabi erat kaitannya dengan
pandangan politik yang dibangunnya (al-siyasah). Di sini ia menyatukan secara
ideal antara kenabian dan filsafat, kepemimpinan religius dan politik,
kebajikan moral dan intelektual dalam diri penguasa, sehingga merupakan
sesuatu yang jarang terealisasikan dalam praktik politik. Akibatnya,
keselarasan antara keyakinan filsafat dan agama yang secara teoritis mungkin,
tetapi mensyaratkan perkembangan historis yang sangat khusus dan
pemenuhan syarat-syarat ideal ini, menjadi sulit, kalau bukan mustahil, untuk
direalisasikan dalam kenyataan.71
2.7 Pemikiran Al-Farabi Tentang Politik dan Negara
A. Pengertian Politik dan Agama

70
Abd al-Rahma } >n ibn Khaldu>n, Al-Muqaddimah, (Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al- > ‘Ilmiyyah, Cet. IX, 1427
H/2006 M), 74-75.
71
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, 238-239.

39
Politik, pada awalnya dilahirkan oleh agama. Misi Nabi Muhammad SAW.
dengan agama yang dibawa pada urutannya membentuk jejaring kekuasaan
untuk menyebarkan dan mewujudkan doktrinnya. Ini berarti agama mesti
memiliki kekuasaan politik. Politik merupakan salah satu aktivitas manusia
yang terpenting sepanjang sejarah manusia. dengannya, manusia saling
mengelola potensi yang berserakan di antara mereka; saling bersinergi dalam
tujuan yang sama; saling memahami dalam perbedaan yang ada; juga saling
menjaga aturan yang disepakati bersama. Seperti telah dijelaskan sebelumnya,
politik merupakan suatu usaha yang ditempuh bersama guna mencapai
kebahagiaan bersama.
Agama secara hakiki berhubungan dengan politik. Kepercayaan agama
dapat mempengaruhi hukum, perbuatan yang oleh rakyat dianggap dosa,
seperti sodomi dan incest, sering tidak legal. Seringkali agamalah yang
memberi legitimasi kepada pemerintahan. Agama sangat melekat dalam
kehidupan rakyat dalam masyarakat industri maupun nonindustri, sehingga
kehadirannya tidak mungkin tidak terasa di bidang politik. Sedikit atau banyak,
sejumlah pemerintahan di seluruh dunia menggunakan agama untuk memberi
legitimasi pada kekuasaan politik. Hubungan politik dengan agama tidak dapat
dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa politik berbuah dari hasil pemikiran agama
agar tercipta kehidupan yang harmonis dan tentram dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Hal ini disebabkan, pertama, oleh sikap dan keyakinan bahwa seluruh
aktifitas manusia, tidak terkecuali politik, harus dijiwai oleh ajaran-ajaran
agama; kedua, disebabkan oleh fakta bahwa kegiatan manusia yang paling
banyak membutuhkan legitimasi adalah bidang politik, dan hanya agamalah
yang dipercayai mampu memberikan legitimasi yang paling meyakinkan karena
sifat dan sumbernya yang transcendent. Dalam agama telah ada kesepakatan
bahwa sumber utama ajarannya adalah al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai wahyu
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. telah memberikan
petunjuk kepada semua umat manusia, termasuk dalam hal negara dan
politik.72
B. Kondisi Politik Islam pada masa kehidupan Al-Farabi
Al-Farabi dilahirkan pada masa pemerintahan khalifah Mu’tamid (870-
892 M) dan meninggal pada masa pemerintahan khalifah Muti’. Ia hidup di
tengah-tengah kondisi politik Islam yang paling kacau dan tidak ditemukan
stabilitas politik di dalamnya. Putra-putra raja dan penguasa lama (Persia dan
Turki), berusaha merebut kembali wilayah dan kekayaan nenek moyangnya.
Selain itu, sekelompok kaum Zenj juga melakukan pemberontakan terhadap
khalifah saat itu, hingga berhasil menguasai daerah sekitar Basrah.

72
Muhammad Elvandi, Inilah Politikku, (Solo : Era Adicitra Intermedia, 2011),p.1.

40
Saat itu pula lah, kewibawaan khalifah telah jatuh, khalifah tidak lebih
hanyalah sebuah simbol belaka. Sebelumnya, pemerintahan dinasti Abbasiyah
pernah mengalami masa kejayaan. Namun semenjak kekuasaan dipegang oleh
orang-orang dari Turki, Persi, Daila, dan Seljuk, pemerintah Islam pun mulai
melemah. Hal ini dikarenakan peraturan-peraturan dalam pemerintahan tidak
lagi berfungsi dengan baik, sehingga kekacauan pun terjadi dimana-mana.
Peristiwa terjadi sejak khalifah al-Mu’tashim Billah naik tahta. Kekacauan
berlangsung sampai dengan masa pemerintahan al-Mu’tamid. 73

Kemudian pemerintahan pindah ke tangan al-Mu’tadid, lalu pindah ke


al-Muktafi billah (anak al-Mu’tamid), kemudian pindah lagi ke tangan
saudaranya, alMuqtadir, dan direbut oleh al-Ghalib billah Ibn Abdullah.
Sampai kemudian direbut kembali oleh para pengikut setia al-Muqtadir dan
diserahkan kembali kepadanya. Pada masa pemerintahan al-Muqtadir inilah
kekacauan dan instabilitas politik semakin memuncak. Pemikiran politik Al-
Farabi banyak dipengaruhi oleh situasi dan kondisi pemerintahan saat itu.
Dalam situasi politik seperti itu, muncullah karya Al-Farabi yag monumental
yaitu kitab Ara’ Ahl Madinah al-Fadhilah.

Di dalam karya tersebut, Al-Farabi membahas permasalahan hubungan


antara teologi dan politik yang pada saat itu jarang dibicarakan seseorang.
Pada masa pemerintahan Nashr II, Al-Farabi meninggalkan negeri Samaniyyah,
menuju barat seperti Baghdad. Dimana, saat itu Baghdad merupakan wilayah
yang memiliki akses-akses yang tidak didapatkan di wilayah Timur.

Setelah kepergian Al-Farabi, Samaniyyah mulai berkembang. Hal ini


ditandai dengan dibangunnya perpustakaan-perpustakaan sebagai pusat
keilmuan. Puncaknya, zaman keemasan Samaniyyah berlangsung pada
pemerintahan Nashr IV. Pada masa ini, Bukhara sebagai ibukota pemerintahan
terkenal sebagai pusat ilmu dan kesusastraan. Perpustakaan di Istana
Samaniyyah di Bukhara terkenal di seluruh Imperium.74

C. Pandangan Al-Farabi Tentang Politik dan Negara


Dalam filsafat Islam, Al-Farabi terkenal sebagai ahli logika, metafisika
dan seorang filsuf politik. Ia mencoba untuk menyatukan filsafat politik dengan
Islam. Sebenarnya, Al-Farabi merupakan seorang filsuf yang mengemukakan
konsepsi politik kenegaraan secara lengkap dengan konsep maupun teori
politiknya. Sebagai seorang filsuf Islam, ia banyak membicarakan masalah
sosial masyarakat. Walaupun ia tidak banyak berkecimpung dalam persoalan
kemasyarakatan.
73
Imam Sukardi, Tradisi Pemikiran Sosio-politik Islam : Kilasan Pemikiran AlFarabi dan Al-Mawardi dalam
Lintasan Sejarah Islam, 22-10-2013,
74
Ibid .,

41
Politik Al-Farabi merupakan suatu etika dan swakarsa yang terkait-erat
dengan kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. 86 AlFarabi berpendapat
bahwa politik harus didasari usaha konsepsi bersama dari manusia untuk
mencapai kebahagiaan (conception of collective efford and mankind) yang
tertinggi, dengan pikiran dan tindakan pribadi yang suci dan dengan kerjasama
masyarakat harmoni serta semangat simpati. 75
Konsep politik Al-Farabi ada dua, yakni negara utama dan lawan negara utama
a) Negara Utama (al-Madinah al-Fadhilah) Dalam Ara al-Madinah al-
Fadhilah, Al-Farabi menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial
yang mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat, karena ia
tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan pihak
lain. Kesempurnaan manusia sesuai dengan watak alamiah manusia itu
sendiri., tidak akan tercapai tanpa berhubungan dengan
manusiamanusia yang lain. Kerjasama itu mempunyai tiga bentuk, yaitu
kerjasama antar penduduk dunia pada umumnya, kerjasama dalam
suatu komunitas (ummah), dan kerja sama antar sesama penduduk kota
(madinah)
Menurut Al-Farabi, manusia tidak dapat mencapai kesempurnaan
yang ingin mereka capai, tanpa adanya asosiasi politik. 76Sebab, mereka selalu
membutuhkan bantuan dari rekan-rekan mereka dalam penyediaan
kebutuhan dasar dan kelangsungan hidup mereka. Asosiasi politik tersebut
terbagi menjadi tiga, yakni : bagian terbesar diidentikan dengan dunia pada
umumnya (ma’murah), bagian sedang diidentikkan dengan bangsa (umat), dan
bagian kecil disebut dengan negara kota (madinah polis). Asosiasi politik
tersebut dapat diarahkan untuk mencapai kebahagiaan sejati, selain itu hal
tersebut bisa dimanfaatkan untuk kesenangan atau akuisisi kekayaan.
Al-Farabi menggambarkan suatu kota sebagai suatu keseluruhan
yang saling berkaitan. Dimana perumpamaannya ia kaitkan dengan organisme
tubuh. Antara organ satu dengan organ yang lainnya saling berhubungan,
apabila ada bagian yang sakit, maka yang lainya akan bereaksi dan
menjaganya. Begitu juga dalam penggambarannya tentang sebuah kota,
setiap orang di dalamnya saling berhubungan satu sama lain, demi
tercapainya tujuan bersama, yakni sebuah kebahagiaan.
Kota utama merupakan kota yang semua warga negaranya
merupakan warga yang mengenali hakikat Tuhan, intelek aktif, kehidupan
akhirat, dan bersandar pada tata nilai kebajikan. Kota utama harus dipimpin
oleh seorang imam/pemimpin yang dapat membawa umatnya mencapai
tujuan yakni kebahagiaan. Dua kualifikasi penting dari seorang pemimpin
75
Firdaus Syam, Loc.Cit.
76
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam : Sebuah Peta Kronologis, Op.Cit., p. 53.

42
dalam kota utama adalah disposisi alam atau bakat untuk memerintah,
ditambah dengan sifat sukarela. Penguasa kepala kota utama ini harus
memiliki kesempurnaan intelektual penuh, baik sebagai subjek dan objek
pemikiran ('aqil, ma'qul).77
Negara utama memiliki 3 syarat keunggulan, unggul dalam ilmu
pengetahuan, unggul dalam ideologi, dan unggul dalam agama. Dengan
dipimpin oleh seorang kepala negara yang ideal, yakni seorang filsuf yang
bersifat seperti nabi. Kepala negara adalah seorang yang paling ulung dalam
ilmu pengetahuan serta paling suci akhlak serta rohaninya yang dinamakan
filsuf yang bersifat nabi. Pemimpin ini hendaknya merupakan seseorang yang
dapat mengelola bidang kehidupan dengan sebaik-baiknya. Ia harus pula
mampu menerima pencerahan intelek aktif, baik lewat bakat maupun
pengembangan diri. Hal tersebut yang akan menjadikan dia sebagai seorang
filsuf yang memiliki sifat nabi.
Al-Farabi kemudian menjelaskan kualifikasi seorang kepala negara di
dalam negara utama. Menurutnya, terdapat 12 kualifikasi yang harus dimiliki
oleh seorang kepala negar, diantaranya sebagai berikut :
Pertama, kepala negara harus mempunyai tubuh dan anggota tubuh
yang baik, agar ia dapat melakukan setiap fungsi atau tugas yang
diberikan kepadanya.
Kedua, ia harus mampu memberikan pemahaman yang baik dan
memahami apa yang diberitahukan kepadanya, sesuai dengan maksud
si pembicara.
Ketiga, ia harus memiliki ingatan yang baik terhadap apa yang ia
pahami, lihat, dengar atau yang ia rasakan.
Keempat, ia harus cerdas dan cepat berpikir, sehingga dapat
memahami apapun yang diberikan.
Kelima, ia harus fasih dalam mengartikulasikan sepenuhnya apapun
yang dia ingin menyampaikan.
Keenam, ia harus mencintai pembelajaran, sepenuhnya menerima
instruksi, tidak terhalang oleh petugas di atasnya.
Ketujuh, ia tidak boleh menjadi tamak dalam hal makanan, minuman
atau jenis kelamin, membenci permainan dan kesenangan yang
ditimbulkan olehnya.
Kedelapan, ia harus mencintai kebenaran dan ahlinya, serta membenci
dusta dan ahlinya.
Kesembilan, ia harus murah hati dan mencintai kehormatan dan
membenci apapun yang dapat memalukan.
Kesepuluh, ia tidak mempunyai minat akan uang dan barang-barang
yang berbau dunia.

77
Majid Fakhry, Al-Farabi Founder of Islamic Neoplatonism : His Life Work and Influence, Op. Cit., p. 111

43
Kesebelas, ia harus mencintai keadilan dan membenci ketidakadilan;
adil dalam berurusan dengan orang-orang yang tertindas dan cepat
untuk menanggapi panggilan untuk ganti rugi.
Kedua belas, ia harus bersikap tegas dalam tekad untuk melakukan apa
yang dianggap benar.78
Tidak semua orang dapat menjadi pemimpin kota atau negara. Yang
boleh menjadi seorang pemimpin adalah orang yang sempurna. Menurut Al-
Farabi, kota utama tersebut dipimpin oleh seorang pemimpin saja. Jika tidak
memiliki pemimpin yang bijaksana, maka suatu kota akan hancur. Konsep
kepala negara yang diterangkan Al-Farabi mempunyai kemiripan dengan
konsep-konsep yang ada pada pemikiran Plato. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa konsep-konsep pemikiran AlFarabi tidaklah terlepas dari peran filsuf
Yunani Kuno tersebut, yakni Plato.
b) Lawan Negara Utama (Mudhaddah al-Madinah al-Fadhilah) Selain
negara utama yang telah dipaparkan di atas, Al-Farabi pun
mengklasifikasikan lawan-lawan dari negara utama tersebut.79
D. Perbedaan Pandangan Politik dan Negara Al-Farabi dengan Pemikir Yunani
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pemikiran politik Al-Farabi
mendapat pengaruh yang cukup besar dari pemikir-pemikir Yunani, terutama
pemikiran Plato dan Aristoteles. Terdapat kemiripan-kemiripan antara
pemikiran Al-Farabi dengan pemikiran Plato dan Aristoteles. Selain pengaruh
yang diberikan Yunani ke dalam pemikiran Al-Farabi, terdapat perbedaan antara
Al-Farabi dengan filosof Yunani. Salah satunya adalah Al-Farabi tidak mengikuti
cara-cara Yunani dalam membagi negara. Yunani membagi bentuk-bentuk
negara berdasarkan kedudukan kepala negaranya, berupa bentuk negara
monarki, aristokrasi dan demokrasi.

Selanjutnya Al-Farabi sendiri tidak menyetujui pembagian secara modern


yang didasarkan kepada kedaulatan rakyat, kedaulatan kekuasaan dan
kedaulatan hukum. Ia memiliki gagasan tersendiri mengenai negara dengan
mengemukakannya berdasarkan ideologi. Berdasarkan ideologinya, Al-Farabi
membagi bentuk negara ke dalam dua macam, yakni Madinatul Fadhilah (Model
State) Negara Utama sebuah negara yang memiliki ideologi di mana warga
negaranya sadar dengan tujuan yang tegas; serta Madinatul Jahiliah (State of
Ignore) Negara Jahiliah, sebagai negara yang tidak memiliki ideologi yang tinggi,
dengan menganut ideologis salah serta bertentangan dengan kebahagiaan,
materil dan spiritual.80

78
Majid Fakhry, Al-Farabi Founder of Islamic Neoplatonism : His Life Work and Influence, Op. Cit., p.113
79
Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Filsafat Politik antara Barat dan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2010), p. 361-
362
80
Firdaus Syam, Loc. Cit

44
Selain itu, perbedaan antar Al-Farabi dengan pemikir Yunani terutama
Plato adalah dalam hal kepala negara. Plato beranggapan bahwa seorang kepala
negara haruslah seorang filsuf. Sebelum seorang filsuf menjadi raja, atau
seorang raja menjadi filsuf, maka kebahagiaan suatu negara tidak akan tercapai
dan kesengsaraan dunia tidak akan berakhir.81

Sedangkan menurut Al-Farabi seorang kepala negara selain sebagai


seorang filsuf, ia juga harus seseorang yang mendapatkan kearifan baik secara
pikiran dan rasio ataupun berdasarkan wahyu. Seorang kepala negara haruslah
bersifat arif dan bijaksana dalam menentukan dan mengelola suatu negara. 82

E. Perbedaan Pandangan Politik dan Negara Al-Farabi dengan Pemikir Islam

Yang menjadi pembeda antara pemikir Islam dengan filsuf Yunani Kuno
tersebut adalah pemikiran mereka disisispi ajaran-ajaran agama. Bagi mereka,
tujuan didirikannya suatu negara semata-mata bukan hanya untuk memenuhi
kebutuhan lahiriah saja, tetapi juga kebutuhan yang bersifat ruhaniah dan
ukhrawiyah.

Selanjutnya, diantara pemikir Islam tersebut pun terdapat perbedaan.


Terutama antara perbedaan antara Al-Farabi dengan pemikir yang lainnya.
Perbedaan tersebut terletak pada konsep-konsep seperti jabatan kepala negara,
siapa yang harus menjadi kepala negara, sumber kekuasaan kepala negara, dan
hubungan antar kepala negara dengan rakyatnya.

Berbicara masalah kepala negara, Al-Farabi mengatakan bahwa seorang


kepala negara merupakan seorang filsuf yang mendapat kearifan melalui pikiran
dan rasio ataupun melalui wahyu. Sementara itu, pemikiran Ibnu Abi Rabi’, al-
Ghazali, Ibnu Taimiyah senantiasa berhubungan dengan hal-hal yang bernuansa
Islam. Mereka dengan tegas menyatakan bahwa kekuasaan kepala negara
merupakan mandat yang diberikan Allah kepada hamba-hamba pilihan-Nya.
Mereka mengatakan bahwa pemimpin negara merupakan khalifah yang dipilih
Allah, dengan kata lain khalifah tersebut khalifah adalah khalifah Allah, yang
kedudukannya tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun.

Besarnya pengaruh politik Yunani dalam pemikiran al-Farabi,


mengaburkan nuansa pemikiran Islam dari konsep politik al-Farabi. Diantara
pemikir Islam yang lainnya, al-Farabi mengadakan idealisasi tentang semua
aspek kehidupan bernegara. Konsepsinya bersifat utopis seperti konsep yang

81
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Op.Cit., p. 13
82
Ibid.,

45
dikembangkan Plato dan tidak mungkin untuk diterapkan dalam kehidupan
bermasyarakat.83

BAB III
PENUTUP
4. Kesimpulan

Al-Farabi yang merupakan ahli filsafat Islam mengemukakan teori al-


Madīnah al-Fāḍilah untuk mengharmonikan antara agama dan filsafat. Konsep
kenegaraan yang terdapat dalam teori al-Farabi ini banyak mencontoh bentuk
dan hakikat kepimpinan Rasullullah Saw sebagai seorang Rasul dan khalifah yang
agung dimuka bumi ini. Disamping itu juga pemikiran al-Farabi tentang negara
utama tersebut banyak deipengaruhi oleh filosof yunani, di antaranya pemikrian
Plato dan Aristoteles.

Ini bisa terlihat seperti dalam pembagian tiga macam masyarakat sempurna
dalam gagasan al-Farabi, yaitu masyarakat sempurna besar, sedang dan kecil.
sebagaimana juga sama dengan pendapat kedua filosof dari yunani Plato dan
Aristoteles, bahwa masyarakat sempurna kecil merupakan gambaran negara
yang ideal.

83
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Op.Cit., p. 13

46
Gagasan epistemologi alFarabi banyak sekali diwarnai oleh pandangan
para filsuf Yunani, karena banyak pemikiran filsafat al-Farabi merupakan ulasan
dan komentar atas pemikiran filsafat yang telah ditulis oleh para filsuf Yunani.
Hanya saja pemikiran al-Farabi memberikan nuansa baru, dengan membawa
kepada tradisi khazanah intelektual Islam. Tampak misalnya, al-Farabi mencoba
mengusung wacana filsafat dengan agama, terutama bagaimana filsafat bahasa
disepadankan dengan agama yang terpola dalam batas kebahasaan. Agama
dipandang sebagai ungkapan kebenaran filsafat dalam bahasa populer yang
menggunakan seni logis retorika dan puisi.

Demikian juga, al-Farabi telah memasukkan retorika dan puisi sebagai


bagian yang integral dalam filsafat, baginya puisi mampu menciptakan imajinasi
(khayali) sebagai sebuah penggambaran dari data inderawi. Gambaran tentang
daya imajinasi dimasukkan dalam ilmu logika adalah nuansa yang dibangun al-
Farabi sebagai sebuah bangunan logika yang tidak lazim dilakukan. Dengan daya
imajinasi ini juga, al-Farabi mengukuhkan kebenaran kenabian. Nabi dianggap
sebagai orang yang tidak hanya memiliki kemampuan intelektual seperti para
filsuf, tetapi juga memiliki daya imajinasi yang cukup tinggi, sehingga para Nabi
mampu menformulasikan konsep abstrak menjadi konkret yang mampu
disampaikan dan diterima oleh masyarakat atau para pengikutnya.

Konsep kenabian al-Farabi erat kaitannya dengan konsepsi politiknya,


yang menjadi salah satu pusat ide filsafatnya. Sehingga sangat wajar jika
pemimpin kota utama (al-madinah al-fadlah) semestinya adalah seorang nabi
atau seorang filosof. Namun tentu tidak boleh pula mendefinisikan kenabian
sebagai satu kekuatan jiwa atau imajinasi, karena riskan dan sangat sensitif.
Karena konsep kenabian (al-nubuwwah) tidak serta-merta dapat dikaitkan
dengan teori politik, meskipun jika dikaitkan dengan bentuk kepemimpinan.

Pertalian pemikiran al-Farabi sangat erat dengan filsafat Yunani, Oleh


karena itu untuk memahami pokok pikiran al-Farabi mutlak dibutuhkan
menyelami pemikiran filsafat Yunani. Al-Farabi adalah sosok filosof muslim yang
pengetahuannya mapan, di samping ilmuwan juga ‘alim yan ghidup dalam
kesederhanaan.
Dalam filsafat metafisika, al-Farabi berpendapat bahwa penciptaan alam
ini terjadi secara emanasi atau pancaran Tuhan (al faidh al ilahiy) melalui daya
akal yang tunggal dan esa, kekal, abadi yang disebut akal murni, kemudian
menjadi alam raya yang beraneka ragam, proses emanasi berhenti pada akal ke

47
sepuluh yang dinamai akal fa’al, pada akal ke sepuluh ini tidak lagi ber-emanasi
karena daya kekuatan akalnya melemah. Dari akal kesepuluh ini melahirkan
materi, seperti air, api, udara, tanah kemudian diikuti berbagai unsur lainnya.
Pada konsep emanasi ini, nampak sekali pengaruh filsafat metafisikanya neo-
platonisme.

Bagi al-Farabi, baik Nabi, Filosof dan Raja adalah satu kesatuan makna,
namun berbeda pendekatannya. Nabi adalah orang suci yang terpilih untuk
menerima titah kebenaran berupa wahyu, sedangkan filosof melalui logika
berpikirnya dapat mencapai sebuah kebenaran yang hakiki, sedangka raja atau
pemimpin adalah orang yang berkemampuan dan kecerdasan tinggi serta
kepribadian yang luhur untuk mempropagandakan kebaikan kepada rakyatnya.
Dari kepribadian luhur itulah negara digerakkan, anggota tubuh sebagai
menterinya, sinergisasi fungsinya akan menciptakan kebahagiaan sebagai salah
satu tujuan dibentuknya negara, konsep negaranya disebut negara utama (al-
madinah al-fadhilah).

5. Saran

Apa yang telah dilakukan al-Farabi merupakan kontribusi yang dapat


membuka cakrawala baru dalam kajian filsafat Islam, tentunya apabila
diperhatikan dengan cara terbuka. Oleh karena itu perlu kiranya untuk
diapresiasi.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa kajian dalam Makalah ini masih


jauh dari bentuk yang diharapkan, apalagi ada semacam maksim bahwa suatu
kajian pasti meninggalkan ruang dan celah permasalahan yang menuntut
pengkajian berikutnya guna menutupi dan melengkapi cela dan kekurangan
penelitian tersebut. Karena masih banyak hal yang perlu ditelaah, dielaborasi,
dan dikritisi lebih tajam, sehingga menghasilkan manfaat yang lebih baik lagi.

Untuk itu maka penulis memohon maaf apabila masih banyak kekurangan
dalam Makalah ini, dan mohon untuk dikoreksi. Agar untuk makalah-makalah
selanjutnya penulis dapat lebih sempurna mengerjakan nya.

48
DAFTAR PUSTAKA
Hafid .2007. EPISTEMOLOGI AL-FARABI: GAGASANNYA TENTANG DAYA-DAYA MANUSIA.
Jurnal Filsafat Vol.17, Nomor 3, Desember 2007

Qosim Nursheha Dzulhadi. Al-Farabi dan Filsafat Kenabian. Jurnal Kalimah. Vol. 12, No. 1,
Maret 2014

Ahmad Halim Mahmud, at-Tafkīr al-Falsafī al-Islamī, (Kairo: Dār al-Ma’ārif, tt), 237

Irfan, A.N. "Masuknya Unsur-unsur Pemikiran Spekulatif Dalam Islam: Kajian Atas Logika Dan
Metafisika al-Farabi." CMES (Jurnal Studi Timur Tengah. 7.2 2014), 177.

KH. Muhammad Sholihin, Filsafat dan Metafisika dalam Islam, (Yogyakarta: Narasi, 2008),
173

Daulasi Uliri, al-fikr al-‘arabiy wa makānuhū fīt-tārīkh, (Kairo: Ālam al-Kutub, 1961), 16

Said Hawa, Allah Jallā Jalāluhu, terj. Muhtadi Abdul Mun’im, Allah Swt., (Jakarta, Gema
Insani Press, 1998), 22 .

Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, terj. Zaimul Am, (Bandung: Mizan Utama, 2003), 240.

Abd. Rahman al-Badawiy, Rasā’il Falsafiyyah, (Beirut: Dār Andalusi, tt), 36.

49
Muhammad Sholihin, Filsafat Dan Metafisika Dalam Islam, (Yogyakarta: Narasi, 2008), 173.

ashral-Farabi, Ârâ Ahl al-Madînah al-Fâdlilah,(Libanon: Dâru alMasyriq, 2000), hlm. 1.

Dedi Supriyadi, Pengantar filsafat Islam, 81.

Hesti Pancawati, Skripsi Pemikiran Al-Farabi Tentang Politik dan Negara, (Jurusan Filsafat
Agama fakultas ushuluddin, dakwah dan adab IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten),
2014, pp.15-16

Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1996), pp.

Ibrahim Madzkour, “Al-Farabi” dalam M. M. Sharif (ed.), A History of Muslim Philosophy,


Vol. I (Delhi: Low Price Publication, 1961), h. 221. 33MM. Syarif, A History of Muslim
Philosophy, (Weisbad

Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy,edisi 2, (New York: Columbia University Press,
1983), hlm. 108.

Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam . 82-83

Poerwantana, Seluk Beluk Filsafat Islam, diterjemahkan oleh TjunSurjaman, (Bandung: P.T.
RemajaRosdakarya, 1994), hlm. 82.

Mustofa, HA, Filsafat Islam (Bandung : Pustaka Setia, tt), hlm.127-128

Sudarsono. Filsafat Islam, ( Jakarta : PT Rineka Cipta, 1997), hlm. 32

M.M. Syarif. Para Filosof Muslim, (Bandung : Mizan, 1998), hlm. 57

Dedi Supriyadi, Pengantar filsafat Islam, 83.

Syarif, Para Filosof Muslim, pp. 36

Muhsin Labib, Para Filosof, Sebelum dan Sesudah Mula Shadra, (Jakarta: AlHuda, 2005), p.
92

Aziz sam, Pendidikan Menurut Al-Farabi, pendidikan-menurut-al-farabi.html, akses 25


Desember 2015.

Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam.(Tangerang Selatan:


UIN Jakarta Press, 2003), hlm. 178

Fauzi M. Najjar, “Democracy In Islamic Political Philosophy” dalam Jurnal Studia Islamica, La
Loi du, 1957, G.P Maisonneuve et Larose, 1980, hal. 108- 122

Abu Nashr al-Farabi, Ârâ‟ Ahl al-Madînah al-Fâdlilah, (Beirut: Daar alMasyriq, 2000), Cet. 2.
h. 117.

50
Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A. Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya), (PT. Raja Grapindo
Persada), h. 83.

Ahmad Zainal Abidin, op.Cit., h. 5.

Abu Nashr al-Farabi, op. Cit., h.121-122.

Abdullah Said. Filsafat Politik Al-Farabi. Indonesian Journal of Islamic Theology and
Philosophy P-ISSN 2088-9046, Volume 1. No. 1 Tahun 2019, h. 63-78

Nasr, Sayyed Hossein (ed.), 2003, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Bandung: Mizan

Madjid, Nurcholish (ed.), 1994, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta : Bulan Bintang

Abd al-Rahma ibn Khaldun, Al-Muqaddimah, (Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al- ‘Ilmiyyah,
Cet. IX, 1427 H/2006 M), 74-75.

Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, 238-239.

Muhammad Elvandi, Inilah Politikku, (Solo : Era Adicitra Intermedia, 2011),p.1.

Imam Sukardi, Tradisi Pemikiran Sosio-politik Islam : Kilasan Pemikiran AlFarabi dan Al-
Mawardi dalam Lintasan Sejarah Islam, 22-10-2013,

Firdaus Syam, Loc.Cit.

Majid Fakhry, Al-Farabi Founder of Islamic Neoplatonism : His Life Work and Influence, Op.
Cit., p. 111

Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Filsafat Politik antara Barat dan Islam, (Bandung : Pustaka Setia,
2010), p. 361-362

Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Op.Cit., p. 13

51

Anda mungkin juga menyukai