Anda di halaman 1dari 7

Ushul Fiqh 2 – Hukum Keluarga Islam B

Khafi dan Musykil

‫الخفي‬

Aji Saputro 33010180159

Ubaidillah Mubarok 33010180093

Sulthon khanifan 33010180109

Pendahuluan

Ushul fiqih adalah salah satu cabang dari ilmu keislaman yang secara garis besar
mempelajari tentang bagaimana memunculkan dan menggali hukum syara’ paraktis dari nash
yang ada, baik itu dalam Al-Quran maupun dalam As-Sunnah.
Pembahasan mengenai ilmu ushul fiqih yang bersinggungan dengan nash maka kajian
kebahasaan merupakan salah satu unsur penting yang sangat menentukan bagaimana nantinya
hasil yang dapat dikeluarkan dari nash tersebut. Dengan begitu pemahaman atas terori
kebahasaan  merupakan sebuah syarat dalam pengkajian ushul fiqih.
Salah satu dari teori kebahasaan tersebut adalah memahami lafadz dari segi maknanya,
baik yang  jelas  maupun tidak jelas . Lafadz-lafadz yang tidak bisa di artikan secara langsung
( jelas ) itulah yang menyebabkan banyak perbedaan penafsiran makna terhadap lafadz tersebut.
Lafadz yang tidak terang artinya atau ghairu wudhu al-ma’na,yaitu lafadz yang dari segi lafadz
itu sendiri tidak dapat di ketahui artinya. Lafadz itu baru dapat di pahami maksudnya bila ada
penjelasan dari luar lafadz tersebut. Lafadz dalam bentuk ini disebut juga lafadz mubham.1 Jika
nash atau dalil itu bisa dihilangkan kesamarannya dengan jalan meneliti dan melakukan ijtihad,
maka dalil itu disebut al-khafi atau al-musykil. Jika kesamarannya tidak bisa dihilangkan kecuali
dengan mengambil penjelasan dari syari’ itu sendiri, maka dalil itu disebut al-mujmal. Dan jika
tidak ada jalan sama sekali untuk menghilangkan kesamarannya itu, maka dalil itu disebut al-

1
Wahyu Setiawan, Perbandingan Mazhab Ushul Fiqh, (  Lampung: STAIN Jurai Siwo Metro
Lampung, 2014), hal.90
mutasyabih. Dalam makalah ini akan di bahas mengenai lafadz-lafadz dari segi ketidakjelasan
makna (Khafi, Musykil ) dan contohnya.
A. KHAFI

Lafaz khafi ialah:

ِّ ‫ض َغي ِْر ال‬


‫صغَة‬ ِ ‫ْض َم ْدلُوْ اَل تِ ِه لِ َع‬
ِ ‫ار‬ ِ ‫َما ُخفِ َي َم ْعنَاهُ فِى بَع‬

Yang artinya “Suatu lafaz yang samar artinya dalam sebagian penunjukan (dilalah)-nya
yang disebabkan oleh faktor luar, bukan dari segi sighat”

Lafaz khafi ini sebenarnya dari segi lafaz-nya menunjukkan arti yang jelas, namun dalam
penerapan artinya terhadap sebagian lain dari satuan artinya terdapat kesamaran. Untuk
menghilangkan kesamaran ini diperlukan penalaran dan takwil.
Sumber kesamaran dalam lafaz itu disebabkan karena dalam salah satu satuan artinya
(afrad-nya) mengandung sifat tambahan dibandingkan dengan saruan arti yang lainnya. Bisa
juga karena kurang sifatnya atau karena mempunyai nama khusus (tersendiri). Karena ada
kelebihan atau kekurangan sifat itu atau ada nama khusus itu, menyebabkan artinya
diragukan. Kesamaran arti lafaz itu dihubungkan dalam konteks saruan arti tersebut.2

Secara bahasa khafi adalah tidak jelas atau tersembunyi. Sedangkan secara istilah khafi
menurut Wahbah Zuhaili khafi adalah sesuatu yang maksudnya tersembunyi yang
disebabkan oleh faktor lain bukan dari segi shîghah dan tidak dapat diketahui maknanya
kecuali dengan sebuah tuntutan atau permintaan. Sedangkan dalam kitab Ushûl al-Fiqh al-
Ladzi La Yasa’u al-Faqîh Jahluh dijelaskan bahwa  khafî adalah nama untuk sesuatu yang
maknanya serupa dan maksudnya tersembunyi oleh suatu faktor di dalamnya
terdapat shîghah yang tidak dapat diperoleh maknanya kecuali dengan tuntutan atau
permintaan.3 

Menurut Ad Dabusi adalah suatu lafadz yang maknanya menjadi tidak jelas karena hal
baru yang ada diluar lafadz itu sendiri, sehingga makna dari lafadz itu perlu diteliti dengan
cermat dan mendalam. Menurut Adib Salih al khafi adalah suatu lafadz dzahir yang jelas

2
 Amir Syarifudin, Ushul fiqh jilid II (kencana:prenanda media grub, 2011), ed. 1, cet. 6. Hal. 13
3
https://repenttoallah.wordpress.com/2015/03/26/khafi-musykil-mujmal-dan-mutasyabih/ diakses pada
tanggal 12 November 2020
maknanya, akan tetapi lafadz itu menjadi tidak jelas karena ada hal baru yang mengubahnya,
sehingga untuk mengatasinya tidak ada jalan lain kecuali dengan penelitian yang mendalam.4

Lafadz dzahir akan menjadi khafa bila ditetapkan pada masalah lain. Dengan demikian
munculnya lafadz khafi adalah akibat pengaplikasian suatu keputusan hukum yang diambil
dari lafadz zahir pada masalah yang dihadapi dan benar-benar terjadi, dimana masalah
tersebut tidak persis sama dengan apa yang terdapat pada lafadz itu. Oleh karena itu, untuk
menghilangkannya perlu diadakan ijtihad. Sebagai contoh yang berhubungan dengan
masalah tersebut adalah pengertian lafadz As-sariq pada ayat al maidah 38.

‫والسارق والسارقة فاقطعوا ايديهما جزاء بما كسبا نكال من هللا عزيز حكي‬

Artinya: “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan
keluarnya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari
Allah dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Lafadz as-sariq pada mulanya itu jelas,yaitu orang yang mengambil harta berharga milik
orang lain secara diam-diam untuk dimiliki pada tempat yang terpelihara. Akan tetapi,
apabila pengertian ini diterapkan pada masalah lain seperti pencopet, perampok, pencuri
barang kuburan. Misalnya seorang pencopet yaitu orang yang mengambil harta milik orang
lain dengan tangan terbuka  serta skill yang mumpuni dan terampil. Dari segi sifat pencopet
dan perampok memiliki sebuah perbedaan karena pencopet memiliki kelebihan sifat
daripada pencuri yaitu keberanian serta skill yang mumpuni. Contoh lain
yaitu nabâsy (pencuri kain kafan atau barang kuburan). Nabâsy disini termasuk
lafal khafî yang memiliki kekurangan dari segi sifat. Karena barang yang dicuri berupa kain
kafan yang notabenenya tidak diminati banyak orang.

Para ulama berbeda pendapat dalam hal menganggap kedua nama khusus itu (pencopet
dan pencuri barang kuburan) sebagai “pencuri’'dalam hal penerapan hukuman potong tangan
terhadap pencurian, karena keduanya telah menggunakan nama tersendiri meskipun
termasuk dalam arti pencuri secara umum.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak diperlakukan nash lafaz yang mewajibkan
sanksi pencurian kepada “pencopet” dan “pencuri barang kuburan” karena “pencurian” tidak
4
Nasik Khoirun, Buku Ajar Ushul Fiqh, (Jakarta: Duta Media, 2017) hal. 59
berlaku pada keduanya. Pendapat Abu Hanifah itu disetujui oleh pengikutnya, Muhammad
Ibn Hasan al-Syaibani.

Pengikut Abu Hanifah yang lain (Abu Yusuf), juga Imam Malik dan Imam Syafi‘i serta
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa “pencopet” dan “pencuri barang kuburan” itu
termasuk dalam arti umum dari “pencuri” karena lafaz “pencuri” mencakup keduanya. Oleh
karena itu, sanksi yang berlaku terhadap “pencuri” berlaku mla terhadap “pencopet” dan
“pencuri barang kuburan”5

Dari contoh yang dikemukakan di atas teranglah bahwa kesamaran lafaz bukan timbul dari
asal lafaz itu sendiri tetapi dari segi penerapannya terhadap kejadian-kejadian praktis. Karena
ada kesamaran seperti itulah, maka hakim dapat berbeda dalam memberikan putusan hukum.
Adapun cara untuk menghilangkan kesamaran tersebut adalah melalui penelitian, mengetahui
tujuan umum dan tujuan khusus ditetapkannya hukum atasnya; yaitu “perluasan” penunjukan
lafaz atau “penyempitan” dalam penerapannya. Kemaslahatan umum harus diperhatikan dalam
perluasan dan penyempitan tersebut, selama suatu lafaz dapat digunakan untuk kemaslahatan
umum.

B. Musykil

Lafaz musykil ialah:

ِ q‫ ْف‬q‫ ل‬qَّ‫ل‬q‫ ا‬q‫ت‬


q‫ظ‬ ِ q‫ ا‬q‫ َذ‬q‫ ى‬qِ‫ ف‬q‫ب‬
ٍ qَ‫ ب‬q‫ َس‬qِ‫ ب‬qُ‫ه‬q‫ ا‬qَ‫ ن‬q‫ ْع‬q‫ َم‬q‫ َي‬qِ‫ ف‬q‫ ُخ‬q‫ ا‬q‫َم‬

“Suatu lafaz yang samar artinya, disebabkan oleh lafaz itu sendiri”. 6

Ada definisi lain yang memberikan penjelasan terhadap dehnisi di atas, yaitu bahwa lafaz
musykil itu dari segi sigbat-nya sendiri tidak menunjukkan maksud tertentu, oleh karenanya
diperlukan qarinah dari luar yang menjelaskan apa yang dimaksud oleh lafaz tersebut. Sumber
kesamaran lafaz itu berasal dari lafaz itu sendiri. Adakalanya karena lafaz itu digunakan untuk
arti yang banyak secara penggunaan yang sebenarnya sehingga tidak dapat dipahami artinya dari
semata-mata hanya melihat kepada lafaz itu. Lafaz musytarak termasuk ke dalam bentuk ini.

5
Amir Syarifudin, Ushul fiqh jilid II (kencana:prenanda media grub, 2011), ed. 1, cet. 6. Hal. 14-15
6
Ibid Hal. 16
Mungkin pula ketidakjelasan lafaz itu karena ada pertentangan antara apa yang dipahami dari
suatu nash dengan apa yang dipahami dari nash lain.
Dalam memahami lafaz musykil bentuk pertama atau yang disebut juga dengan lafaz
musytarak diperlukan petunjuk dari luar lafaz, bukan dari ungkapan lafaz itu sendiri. Dalam
penemuan petunjuk dari luar itu terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama yang
menyebabkan perbedaan dalam memahami nash hukum.
Musykil menurut bahasa ialah sulit atau sesuatu yang tidak jelas perbedaannya.
Sedangkan Menurut istilah ulama ushul adalah lafaz yang bentuknya itu tidak dapat
menunjukkan kepada artinya, bahkan harus ada qorinah (petunjuk) dari luar yang
dapat menjelaskan apa yang dimaksud daripadanya. Qorinah ini bisa ditemukan
dalam pembahasan / penelitian. 7

Kemusykilan lafadz itu disebabkan oleh hal-hal berikut:

a. Karena lafaz itu musytarak , yaitu diciptakan untuk beberapa arti sedang sighatnya
sendiri tidak menunjukkan makna tertentu.
b. Adanya dua lafaz yang saling berlawanan. Artinya, kedua nash jelas dalalahnya tetapi,
kemuskilannya terletak dalam men-taufiq-kan (mengompromikan) antara kedua nash
yang saling berlawanan. 8

Umpamanya lafaz quru' dalam surat al-Baqarah(2): 228:


‫ت يَتَ َربَّصْ نَ بِا َ ْنفُ ِس ِه َّن ثَ ٰلثَةَ قُر ُۤوْ ۗ ٍء‬
ُ ‫َو ْال ُمطَلَّ ٰق‬

Yang artinya “Dan para istri yang di ceraikan (wajib) menahan diri dari mereka menunggu tiga
kali quru’”.....(QS.Al-Baqarah:228).

ْ َ ‫ )اَأْل‬dan haid (‫ات‬
Lafal tersebut secara bahasa memiliki dua arti, yaitu makna suci (ُ‫طهَار‬ َ ‫)اَ ْل َحي‬.
ُ q‫ْض‬
Apakah iddah wanita yang ditalak suaminya, berakhir dengan tiga kali haid atau dengan tiga kali
suci.

Ulama Hanafiyah dan sekelompok mujtahid lainnya berpendapat bahwa lafal al-


quru pada ayat diatas adalah haid. Qarinah-nya, sebagai berikut:
Firman Allah dalam surat at-Thalaq (65): 4:

7
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, hlm. 246-247
8
Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, ( Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011),h.204
ٰۤ
‫ ُك ْم اِ ِن ارْ تَ ْبتُ ْم فَ ِع َّدتُه َُّن ثَ ٰلثَةُ اَ ْشه ۙ ٍُر‬qِ‫ْض ِم ْن نِّ َس ۤا ِٕٕى‬
ِ ‫ ْسنَ ِمنَ ْال َم ِحي‬qِ‫ ْي يَ ِٕٕى‬qِِٔ‫َوالّٔـ‬

“Perempuan-perempuan yang telah putus haid di antara istrimu iika ia ragu tentang iddahnya,
maka iddahnya adalah tiga bulan”.
Nash ayat ini menjelaskan bahwa dalam keadaan luar biasa, yaitu saat meragukan karena
haidnya telah terputus, maka perhitungan ‘uidahnya adalah tiga bulan. Hal itu berarti bahwa
perhitungan tiga quru’ itu berlaku untuk perempuan yang masih haid. Dengan demikian,
perhitungan ’iddah itu adalah dengan haid, bukan dengan suci.
Di antara hikmah hukum diwajibkannya 'iddah terhadap perempuan yang ditalak suaminya,
adalah untuk mengetahui apakah rahim perempuan itu bersih dari peninggalan bibit suaminya
yang telah menalaknya. I lal yang demikian hanya dapat diketahui dengan “haid", bukan dengan
“suci".
Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa quru'itu aninya adalah “suci”. Ayat tentang 'iddah
di atas menjelaskan kewajiban perempuan yang bercerai dari suaminya adalah menunggu sampai
tiga kali suci. Bila ia dicerai dalam keadaan suci dan belum dicampuri pada masa itu, maka
dengan masuknya masa suci yang ketiga 'iddab-nyz sudah habis. Dalam pemahaman al-Syafi’i
ini, perhitungan masa 'iddah lebih pendek dibandingkan dengan apa yang dipahami oleh Imam
Abu I lanifah.
Imam Syafi‘i mengemukakan alasan sebagai berikut:
Firman Allah SWT., dalam surat at-Thalaq (65): 1:
 ‫اِ َذا طَلَّ ْقتُ ُم النِّ َس ۤا َء فَطَلِّقُوْ ه َُّن لِ ِع َّدتِ ِه َّن‬

Bila kamu ingin menceraikan istrimu, hendaklah kamu ceraikan mereka dalam waktu ‘iddahnya.
Ayat di atas secara jelas menyatakan bahwa menalak istri ini adalah pada masa ‘iddah-nya
dengan arti langsung masuk kc dalam perhitungan 'iddah. Talak seperti ini termasuk dalam talak
sunni. Talak yang masuk kc dalam masa 'iddah dalam talak sunni adalah bila dilakukan saat istri
itu dalam keadaan suci yang belum dicampuri. Dengan demikian, perhitungan 'iddah adalah
dengan tiga kali suci dan bukan tiga kali haid. Karena itu, maka arti quru' berarti “suci”.

penafsiran qum' dengan suci itu lebih dekat artinya dalam hal penggunaan kata dari segi
pengertiannya, karena kata quru’artinya berkumpul atau bergabung. Masa suci seorang
perempuan berarti masa berkumpulnya darah dalam rahim perempuan yang menyebabkan ia
tidak haid. Oleh karena itu, pemahaman yang sesuai adalah menafsirkan quru’ dengan suci.

Jalan untuk menghilangkan kesulitan al-musykil adalah ijtihad. Maka apabila di dalam nash
terdapat lafazh yang musytarak, seorang mujtahid harus berusaha menemukan qorinah-qorinah
dan dalil-dalil yang dijadikan oleh syar’i untuk menghilangkan kesulitan lafazh itu, dan
menentukan pengertiannya. Sebagaimana yang telah jelas dari ijtihad para mujtahidin ketika
menentukan pengertian dari lafazh “quru” dalam ayat tersebut, serta perbedaan orientasi
pandangan mereka dalam penentuan ini. Apabila terdapat beberapa nash yang formalnya terdapat
perbedaan dan kotradiksi, maka seorang mujtahid harus mentakwilkannya secara benar dan dapat
menyatakan nash-nash itu, serta menghilangkan perbedaan yang terdapat pada formalnya. Yang
dapat memberi petunjuk seorang mujtahid dalam pentakwilan ini adakalanya berupa nash-nash
lain, dan adakalanya kaidah-kaidah syara’ atau filsafat (hikmah) pembentukan hukum.

Anda mungkin juga menyukai