Anda di halaman 1dari 23

Nama : Muhammad Riski Firmansyah

Fakultas/Jurusan : Fakultas Syariah dan Hukum/Hukum Ekonomi Syariah 2B


Matkul : Fiqh Muamalat 1
Dosen Pengampu : 1. Dr. Hasanudin, M.Ag
2. Abdurrouf, Lc. M.A.
Sumber : 1. Fiqh Muamalat, Penulis : Hendri Suhendri
2. Fiqh Muamalat, Penulis : Qamarul Huda

Konsep Harta (al-Maal) dan Sebab-Sebab Kepemilikan (Asbab al-Milk)


1.Pengertian Harta
A. Pengertian Harta Menurut Bahasa
Harta dalam bahasa Arab disebut al-amaal yang berasal dari kata َ‫ َم ْيل‬- ‫ يَ ِم ْي ُل‬- ‫ َما َل‬yang
berarti condong, cenderung, dan miring.Harta menurut syariat: segala sesuatu yang bernilai,
bisa dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan yang menurut syariat yang berupa (benda dan
manfaatnya).
Berdasarkan kamus Lisanul Arab karya Ibnu Manzur, bahwa mal (harta) berasal dari
kata kerja mawwala, multa, tumalu, multa. Jadi mal dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang
dimiliki. Berkata Ibnu Atsir, “Pada dasarnya, al-mal ialah barang milik seperti emas atau perak,
tetapi kemudian kata al-mal itu dipakai untuk semua jenis benda yang bisa dikonsumsi dan
dimiliki.” Dalam Mukhtar al-Qamus, kata al-mal berarti apa saja yang dimiliki, kata
tamawwalta berarti harta kamu banyak karena orang lain, dan kata multahu berarti kamu
memberikan uang kepada seseorang.
Maka segala sesuatu yang tidak dapat dimiliki manusia tidak dapat disebut sebagai
harta secara bahasa, seperti: pepohonan yang berada di hutan belantara, ikan yang berada di air
sungai, ataupun burung yang ada di angkasa.

B. Pengertian Harta dalam al-Qur’an


“Dijadikan indah dalam (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,
yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah
lah tempat kembali yang baik (surga)”. (Ali Imron 3: 14).
Jadi, secara umum dapat dikatakan bahwa harta dalam pandangan al-Qur’an adalah
segala sesuatu yang disenangi manusia seperti emas, perak, kuda pilihan, hewan ternak, sawah
ladang dan lain sebagainya yang kesemuanya itu diperlukan untuk memenuhi hajat hidup.
Menurut al-Qur’an, harta menjadi baik bila digunakan sesuai petunjuk Ilahi, dan sebaliknya
akan menjadi buruk bila penggunaannya tidak sesuai dengan petunjuk-Nya.

C. Pengertian Harta menurut al-Sunnah


Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-sebaiknya harta ialah yang berada pada orang
salih”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari hadis ini dapat diketahui bahwa mal/harta sebagai milik pribadi menjadi nikmat
bila digunakan untuk kebaikan semisal dengan kebaikan orang salih yang menggunakan harta
tersebut. Namun demikian, keberadaan harta bukan menjadi tujuan hidup. Karenanya, pemilik
harta diharapkan tidak lupa mengabdi kepada Allah.

D. Pengertian Harta Menurut Fuqaha


1) Harta menurut madzhab Hambali adalah apa-apa yang memiliki manfaat yang
mubah untuk suatu keperluan dan atau untuk kondisi darurat.
2) Harta menurut Imam Syafi’i adalah barang-barang yang mempunyai nilai untuk
dijual dan nilai harta itu akan terus ada kecuali kalau semua orang meninggalkannya
(tidak berguna lagi bagi manusia).
3) Harta menurut Ibnu Nujaim al-Misri adalah apa-apa yang bernilai dan bisa disimpan
untuk kebutuhan.
4) Harta menurut sebagian ulama fiqih kontemporer adalah setiap benda yang
mempunyai nilai materi di kalangan manusia atau apa saja yang bisa dimiliki dan bisa
diambil manfaat darinya, atau juga bisa sebagai ciptaan selain manusia yang dijadikan
untuk kemaslahatan manusia dan manusia dapat memiliki dan memanfaatkan secara
bebas.
Jadi pengertian harta dalam konsep Islam dapat disimpulkan bahwa harta/mal adalah
segala sesuatu yang disukai dan dimiliki manusia, dapat dimanfaatkan pada saat sekarang,
maupun untuk keperluan di masa yang akan datang serta dapat dimanfaatkan secara syar’i .
2. Kedudukan dan Fungsi Harta
A. Kedudukan Harta

 Kebaikan Harta Menurut Al-Qur’an


1. Sumber Kebaikan Dunia Akhirat
 Q.S. Al-Baqarah (2): 180

َ‫وف َحقًّا َعلَى ْال ُمتَّقِين‬


ِ ‫صيَّةُ ِل ْل َوا ِلدَي ِْن َو ْاْل َ ْق َربِينَ بِ ْال َم ْع ُر‬
ِ ‫ض َر أ َ َحدَ ُك ُم ْال َم ْوتُ إِن ت ََركَ َخي ًْرا ْال َو‬
َ ‫ب َعلَ ْي ُك ْم إِذَا َح‬
َ ِ‫ُكت‬
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara
ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
 Q.S. Al-Baqarah (2): 272

‫َّللاِ َو َما تُن ِفقُوا ِم ْن َخي ٍْر‬ َّ ‫ْس َعلَيْكَ ُهدَا ُه ْم َو ٰل ِك َّن‬
َّ ‫َّللاَ يَ ْهدِي َمن يَشَا ُء َو َما تُن ِفقُوا ِم ْن َخي ٍْر فَ ِِلَنفُ ِس ُك ْم َو َما تُن ِفقُونَ ِإ ََّّل ا ْبتِغَا َء َوجْ ِه‬ َ ‫لَّي‬
ْ ُ ‫ف ِإلَ ْي ُك ْم َوأَنت ُ ْم ََّل ت‬
َ‫ظ َل ُمون‬ َّ ‫ي َُو‬
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang
memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik
yang kamu nafkahkan (di jalan allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah
kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta
yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang
kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).”
 Q.S. Al Adiyat (100): 8

َ َ‫ب ْال َخي ِْر ل‬


‫شدِيد‬ ِ ‫َو ِإنَّهُ ِل ُح‬
“Dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.”

2. Menyejahterakan Keluarga
 Q.S. Al-Kahfi (18): 82

َ ‫ار فَ َكانَ ِلغُ ََل َمي ِْن يَ ِتي َمي ِْن فِي ْال َمدِينَ ِة َو َكانَ تَحْ تَهُ كَنز لَّ ُه َما َو َكانَ أَبُو ُه َما‬
ُ َ ‫صا ِل ًحا فَأ َ َرادَ َربُّكَ أَن يَ ْبلُغَا أ‬
‫شدَّ ُه َما‬ ُ َ‫َوأ َ َّما ْال ِجد‬
‫صب ًْرا‬ ِ ‫َويَ ْست َْخ ِر َجا كَنزَ ُه َما َرحْ َمةً ِمن َّر ِبكَ َو َما فَ َع ْلتُهُ َع ْن أ َ ْم ِري ٰذلِكَ ت َأ ْ ِوي ُل َما َل ْم تَس‬
َ ‫ْطع َّع َل ْي ِه‬
“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya
ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh,
maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan
mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku
melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-
perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.

3. Memudahkan Kehidupan

 Q.S. Nuh (71): 12

ً ‫ت َو َيجْ َعل لَّ ُك ْم أ َ ْن َه‬


‫ارا‬ ٍ ‫َوي ُْم ِددْ ُكم ِبأ َ ْم َوا ٍل َو َبنِينَ َو َيجْ َعل لَّ ُك ْم َجنَّا‬
“Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan
mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.”

 Menururt Al-Hadits
1. Menambah Kebaikan
‫ احمد والصبراني‬/‫صا ِلح‬
َّ ‫لر ُج ِل ال‬ َّ ‫نِ ْع َم ْال َما ُل ال‬
َّ ‫صا ِل ُح ِل‬
“Sebaik-baik harta yang baik itu untuk manusia yang baik.”(H.R. Ahmad dan Tabrani)

2. KekuranganHartaMenyebabkanKekufuran
‫ ابو مسلم الليثي في سننه ضعف‬/‫كَادَ ْالفَ ْق ُر أ َ ْن يَ ُك ْون ُك ْفرا‬
“Hampir saja kefakiranmembuat orang menjadi kafir.”(H.R. Abu Muslim Al Laitsi dalam
sunannya dhoif)

 Celanya Harta Menurut Al-Qur’an

1. Melalaikan dari Mengingat Allah


ٰ ُ ‫َّللاِ َو َمن َي ْفعَ ْل ٰذلِكَ فَأ‬
َ‫ولئِكَ ُه ُم ْالخَا ِس ُرون‬ َّ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ََّل ت ُ ْل ِه ُك ْم أ َ ْم َوالُ ُك ْم َو ََّل أ َ ْو ََّلد ُ ُك ْم َعن ِذ ْك ِر‬
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari
mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang
merugi.” Q.S. Al-Munafiqun (63): 9

2. Fitnah (Cobaan)
‫َّللاُ ِعندَهُ أَجْ ر َع ِظيم‬
َّ ‫ِإنَّ َما أ َ ْم َوالُ ُك ْم َوأَ ْو ََّلد ُ ُك ْم فِتْنَة َو‬
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah
pahala yang besar.” Q.S. At-Taghabun (64): 15

3. MembuatOrang Berlebih-lebihan
ْ ‫سانَ لَ َي‬
‫ أَن َّرآهُ ا ْست َ ْغن َٰى‬.‫طغ َٰى‬ ِ ْ ‫ك َََّل ِإ َّن‬.
َ ‫اْلن‬
“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas,karena dia melihat dirinya
serba cukup.” Q.S. Al-Alaq (96): 6-7
4. Bermegah-megah
‫أ َ ْل َها ُك ُم التَّكَاث ُ ُر‬
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,” Q.S. At-Takatsur (102): 1

5. Menghalangi Jihad
َ ‫سا ِكنُ ت َْر‬
‫ض ْو َن َها‬ َ ‫سادَهَا َو َم‬َ ‫ارة ت َْخش َْونَ َك‬ َ ‫ِيرت ُ ُك ْم َوأ َ ْم َوال ا ْقت ََر ْفت ُ ُموهَا َو ِت َج‬
َ ‫قُ ْل ِإن َكانَ آ َبا ُؤ ُك ْم َوأ َ ْبنَا ُؤ ُك ْم َو ِإ ْخ َوانُ ُك ْم َوأ َ ْز َوا ُج ُك ْم َو َعش‬
َ‫َّللاُ ََّل َي ْهدِي ْالقَ ْو َم ْالفَا ِسقِين‬
َّ ‫َّللاُ بِأ َ ْم ِر ِه َو‬ ْ َّ َ‫أ َ َحبَّ إِلَ ْي ُكم ِمن‬
َّ ‫ي‬ َ ِ‫صوا َحتَّ ٰى يَأت‬ ُ َّ‫سبِي ِل ِه فَت ََرب‬
َ ‫سو ِل ِه َو ِج َها ٍد فِي‬ ُ ‫َّللاِ َو َر‬
“Katakanlah: “jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu,
harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan
tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari
berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” Q.S. At-Taubah (9): 24

 Celanya Harta Menurut Al-Hadits


1. Membuat Sengsara
َ َ‫َس َو ِإذَا شِيكَ فَ ََل ا ْنتَق‬
‫ش (رواه‬ َ ‫س َوا ْنتَك‬ َ ‫س ِخ‬
َ ‫ط ت َ ِع‬ َ ‫ي رضي َوإِ ْن لَ ْم يُ ْع‬
َ ‫ط‬ ِ ‫ص ِة إن أُع‬
َ ‫ْط‬ َ ‫َار َو َع ْبد ُ الد ِْره َِم َو َع ْبد ُ ْالخ َِمي‬ َ ‫ت َ ِع‬
ِ ‫س َع ْبد ُ الدِين‬
‫(البخاري‬
“Semoga sengsara para pemuja dinar, dirham, dan baju sutra (pemuja harta kekayaan-pen.),
bila ia diberi ia merasa senang, dan bila tidak diberi, ia menjadi benci, semoga ia menjadi
sengsara dan semakin sengsara (bak jatuh tertimpa tangga), dan bila ia tertusuk duri, semoga
tiada yang kuasa mencabut duri itu darinya.” (HR. Bukhari)

2. Merusak Kehidupan
‫ الترمذي‬/‫الر ُج ِل ْال ُم ْس ِل ِم‬
َّ ‫ف َو ْال َما ِل َو ْال َجا ِه فِ ْي ِدي ِْن‬ َّ ‫ب ال‬
ِ ‫ش َر‬ َ ‫ار َيانِأ ُ ْر ِس ََل فِي َغن ٍَم ِبأ َ ْكثَ َر ِإ ْف‬
ِ ‫سادًا فِ ْي َها ِم ْن ُح‬ ِ ‫ض‬ ِ ‫َما ِذئْ َب‬
َ ‫ان‬
“Tidak ada dua ekor serigala buas yang dikirimkan ke kelompok kambing yang lebih membuat
kerusakan melebihi kerusakan agama seorang muslim yang dikeluarkan oleh dikeluarkan oleh
cintanya kepada kehormatan, harta dan pangkat.”(H.R. Tirmidzi)

 Prinsip-Prinsip Islam Tentang Harta


Pertama:Pemilik mutlak harta adalah Allah kepemilikan manusia bersifat relatif,
sebatas mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan Allah.
‫سو ِل ِه َوأَن ِفقُوا ِم َّما َجعَلَ ُكم ُّم ْست َْخلَفِينَ فِي ِه فَالَّذِينَ آ َمنُوا ِمن ُك ْم َوأَنفَقُوا لَ ُه ْم أَجْ ر َكبِير‬ َّ ِ‫ِآمنُوا ب‬
ُ ‫اّللِ َو َر‬
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang
Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu
dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” Q.S. Al-Hadid
(57): 7
Kedua :Status harta yang dimiliki manusia adalah sebagai berikut:
1. Harta Sebagai Titipan Dari Allah Kedua Manusia Tidak Dapat Mengadakan
َّ ‫س َواء أَفَبِنِ ْع َم ِة‬
ِ‫َّللا‬ َ ‫َت أ َ ْي َمانُ ُه ْم فَ ُه ْم فِي ِه‬ ِ ُ‫ق فَ َما الَّذِينَ ف‬
ْ ‫ضلُوا بِ َرادِي ِر ْزقِ ِه ْم َعلَ ٰى َما َملَك‬ ِ ‫الر ْز‬ ٍ ‫ض ُك ْم َعلَ ٰى بَ ْع‬
ِ ‫ض فِي‬ َّ َ‫َّللاُ ف‬
َ ‫ض َل بَ ْع‬ َّ ‫َو‬
َ‫يَجْ َحدُون‬
“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi
orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada
budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa
mereka mengingkari nikmat Allah?” Q.S. An-Nahl (16): 71
2. Harta Sebagai Perhiasan Hidup yang Memungkinkan Manusia Menggunakannya
dengan Baik dan Tidak Berlebih-lebihan
َ‫ث ٰذَلِك‬
ِ ‫س َّو َم ِة َو ْاْل َ ْنعَ ِام َو ْال َح ْر‬
َ ‫ض ِة َو ْال َخ ْي ِل ْال ُم‬
َّ ‫ب َوا ْل ِف‬ َ ‫ير ْال ُمقَن‬
ِ ‫ط َرةِ ِمنَ الذَّ َه‬ ِ ‫اء َو ْالبَنِينَ َو ْالقَن‬
ِ ‫َاط‬ ِ ‫س‬َ ِ‫ت ِمنَ الن‬ َّ ‫اس حُبُّ ال‬
ِ ‫ش َه َوا‬ ِ َّ‫ُزيِنَ ِللن‬
ِ ‫َّللاُ ِعندَهُ ُح ْسنُ ْال َمآ‬
‫ب‬ َّ ‫ع ْال َحيَاةِ الدُّ ْنيَا َو‬ُ ‫َمتَا‬
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-
binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah
tempat kembali yang baik (surga).” Q.S. Ali-Imran (3): 14
3. Harta Sebagai Ujian Keimanan
‫َّللاَ ِعندَهُ أَجْ ر َع ِظيم‬
َّ ‫َوا ْعلَ ُموا أَنَّ َما أ َ ْم َوالُ ُك ْم َوأ َ ْو ََّلدُ ُك ْم فِتْنَة َوأ َ َّن‬
“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan
sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” Q.S. Al-Anfal (8): 28
4. Harta Sebagai Bekal Ibadah
َ‫َّللاِ ٰذ ِل ُك ْم َخيْر لَّ ُك ْم إِن ُكنت ُ ْم ت َ ْعلَ ُمون‬ َ ‫ان ِف ُروا ِخفَافًا َوثِقَ ًاَّل َو َجا ِهد ُوا بِأ َ ْم َوا ِل ُك ْم َوأَنفُ ِس ُك ْم فِي‬.
َّ ‫سبِي ِل‬
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu
dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui.” Q.S. At-Taubah (9): 41
‫سبِي ِل‬ َّ ‫سبِي ِل‬
َّ ‫َّللاِ َواب ِْن ال‬ ِ ‫ب َو ْالغ‬
َ ‫َار ِمينَ َوفِي‬ ِ ‫املِينَ َعلَ ْي َها َو ْال ُم َؤلَّفَ ِة قُلُوبُ ُه ْم َوفِي‬
ِ ‫الرقَا‬ ِ َ‫ين َو ْالع‬ َ ‫اء َو ْال َم‬
ِ ‫سا ِك‬ ِ ‫صدَقَاتُ ِل ْلفُقَ َر‬
َّ ‫إِنَّ َما ال‬
َّ ‫َّللاِ َو‬
‫َّللاُ َع ِليم َح ِكيم‬ َّ َ‫ضةً ِمن‬
َ ‫فَ ِري‬

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,


pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.” Q.S. At-Taubah (9): 60
5. Harta Sebagai Penyelamat Azab Allah
‫َّللاِ ِبأ َ ْم َوا ِل ُك ْم‬
َّ ‫س ِبي ِل‬َ ‫سو ِل ِه َوت ُ َجا ِهد ُونَ ِفي‬ َّ ‫ تُؤْ ِمنُونَ ِب‬.‫ب أ َ ِل ٍيم‬
ُ ‫اّللِ َو َر‬ ٍ ‫نجي ُكم ِم ْن َعذَا‬ ِ ُ ‫ار ٍة ت‬ َ ‫َيا أَيُّ َها ا َّلذِينَ آ َمنُوا ه َْل أَد ُ ُّل ُك ْم َع َل ٰى ِت َج‬
ِ ‫طيِبَةً فِي َجنَّا‬
‫ت‬ َ َ‫ساكِن‬ ُ ‫ت تَجْ ِري ِمن تَحْ تِ َها ْاْل َ ْن َه‬
َ ‫ار َو َم‬ ٍ ‫ يَ ْغ ِف ْر لَ ُك ْم ذُنُوبَ ُك ْم َويُد ِْخ ْل ُك ْم َجنَّا‬. َ‫َوأَنفُ ِس ُك ْم ٰذ ِل ُك ْم َخيْر لَّ ُك ْم إِن ُكنت ُ ْم تَ ْع َل ُمون‬
َ‫َّللاِ َوفَتْح قَ ِريب َوبَش ِِر ْال ُمؤْ ِمنِين‬ ْ َ‫وأ ُ ْخ َر ٰى ت ُ ِحبُّونَ َها ن‬.
َّ َ‫صر ِمن‬ َ ‫ َعد ٍْن ٰذلِكَ ْالفَ ْو ُز ْالعَ ِظي ُم‬.

“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat
menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkanmu ke dalam
jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal
yang baik di dalam jannah ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar. Dan (ada lagi) karunia yang
lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya).
Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman.” Q.S. Ash-Shaf (61) :
10-13
B.Fungsi Harta

1. Kesempurnaan ibadah mahdhah


2. Memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, sebagai
kefakiran mendekatkan kepada kekufuran.
3. Meneruskan estafet kehidupan, agar tidak meninggalkan generasi lemah (QS. An-
Nisaa’:9).
4. Menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat, Rasulullah SAW. Bersabda:

َ ‫ط َخي ًْر ِام ْن أ َ ْن يَأ ْ ُك َل ِم ْن‬


َّ ‫ع َم ِل يَ ِد ِه َوا َِّن نَ ِب‬
ِ‫ي للا‬ ٌّ َ‫ط َعا ًماق‬
َ ‫َماأ َ َك َل أ َ َحد‬

( ‫دَ ٗاودَ َكانَ َيأ ْ ُك ُل ِم ْن َع َم ِل َي ِد ِه (رواه البخارى عن المقدام بن معد يكرب‬


Artinya:
“tidaklah seseorang itu makan walaupun sedikit yang lebih baik daripada makanan yang ia
hasilkan dari keringatnya sendiri. Sesungguhnya Nabi Allah, Daud, telah makan dari hasil
keringatnya sendiri” (HR. Bukhari dari Miqdam bin Madi Kariba)

Dalam hadist lain dinyatakan:

ِٰ َ‫ْس بِ َخي ِْر ُك ْم َم ْن تَ َر َك الد ُ ْني‬


ُ‫اَّل ِخ َرتِ ِه َوَّلَ ٰا ِخ َرتَهُ ِلدُ ْنيَاه‬ َ ‫لَي‬
( ‫ْب ِم ْن ُه َما َج ِم ْيعًافَا َِّن الدُّ ْنيَابََلَغ ِإلَى اْ َّٰل ِخ َرةِ ( رواه البخارى‬ ِ ‫َحتَّى ي‬
َ ‫ُصي‬
Artinya:
“bukanlah orang yang baik bagi mereka, yang meninggalkan masalah dunia untuk masalah
akhirat, dan meninggalkan masalah akhirat untuk urusan dunia, melainkan seimbang di
antara keduanya, karena masalah dunia dapat menyampaikan manusia kepada masalah
akhirat” (HR. Bukhari)
5. Bekal mencari dan mengembangkan ilmu.
6. Keharmonisan hidup bernegara dan bermasyarakat, seperti orang kaya yang
memberikan pekerjaan kepada orang miskin.
7. Untuk memutarkan peranan-peranan kehidupan yakni adanya pembantu dan tuan.
8. Untuk menumbuhkan silaturrahim.

3. Pembagian Harta dan Akibat Hukumnya


Dalam pandangan syar’i keberadaan harta yang ada ditangan manusia tidak serta merta
dapat dikonsumsi. Akan tetapi harus dilihat terlebih dahulu dari berbagai aspek. Adapun aspek
– aspeknya adalah sebagai berikut.

1) Berdasarkan kebolehan memanfaatkan


A) Harta mutaqawwim, yakni harta yang memiliki manfaat/nilai baik secara ekonomis
maupun secara syar’i. Secara ekonomis ia bernilai jual dan secara syar’i ia termasuk harta yang
dapat memenuhi maqasid al syari’ah al khamsah. Misalnya beras. Hata ini mutaqawwim sebab
ia bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan makan manusia dan syara mengizinkan untuk
dikonsumsi.
B) Ghair mutaqawwim, yakni harta yang tidak memiliki nilai secara syar’imeskipun
secara ekonomis memiliki nilai. Misalnya minuman keras. Barang ini secara ekonomis
memiliki nilai karena dapat diperjual belikan tetapi syara memandang bahwa harta ini tidak
bernilai sebab adanya unsur mudharat yang terkandung di dalamnya dan tidak dipandang
sebagai harta.
Dampak pembagian harta diatas adalah:
a. Tidak dibolehkannya umat islam menjadikan harta qoiru mutaqawwim sebagi objek
transaksi. Oleh karena itu umat islam mengenal istilah haram mengkonsumsi harta –
harta tertentu yang tidak diizinkan oleh syara untuk dikonsumsi (harta ghairu
mutaqawwim).
b. Bebasnya umat islam dari tuntutan ganti rugi (sanksi pidana) apabila mereka
merusak/melenyapkan hara qairu mutaqawwim. Alasan yang mendasari prinsip ini
adalah bahwa harta qairu mutaqawwim dipandang bukan sebagai harta. Sehingga
keberadaanyantidak dianggap sebagai sesuatu yang ada. Ini berlaku jika karta qairu
mutaqwwim berada ditangan orang muslim.
c. Jika harta qairu mutaqawwim berada ditangan orang kafir dan dilenyapkan oleh
orang muslim, ulama berbeda pendapat;
a) Jumhur ulama berpendapat bahwa ia tetap tidak bernilai harta (qairu
mutaqawwim) sehingga umat islam yang melenyapkan harta tersebut tidak
dituntut ganti rugi karena ia bukan harta.
b) Ulama madzab Hanafi berpendapat bahwa harta tersebut mutaqawwim bagi
kafir dizalimi sehingga umat islam yang melenyapkan tetap dituntut ganti rugi.

2) Pembagian harta berdasarkan jenisnya


A) Harta bergerak (al mal al manqul) yakni bentuk harta yang dapat dipindahkan
pemiliknya dari suatu tempat ke tempat yang lain. Contoh : mobil, motor
B) Harta yang tidak bergerak ( al mal ghairu manqul) yakni harta yang tidak bisa
dipindahkan oleh pemiliknya dari suatu tempat ketempat yang lain. Contoh ; tanah,
bangunan
Pembagian harta dengan jenis di atas berimplikasi pada:
a. Adanya hak syuf’ah (hak istimewa yang dimiliki seseorang terhadap rumah
angganya yang akan dijual, agar rumah itu terlebih dahulu ditawarkan
kepadanya) bagi harta yang tidak bergerak.
b. Harta yang boleh diwakafkan. Menurut Hanafi harta yang boleh diwakafkan
hanyalah yang tidak bergerak atau boleh bergerak yang sulit dipisahkan dengan
harta yang bergerak.
c. Seseorang yang diwasiati untuk memelihara harta anak kecil, tidak boleh menjual
harta tidak bergerak si anak, kecuali dengan seizin hakim dalam hal yang amat
mendesak ( contoh untuk membayar hutang si anak). Sedangkan terhadap harta
yang dapat bergerak boleh menjualnya untuk kebutuhan sehari – hari.
d. Menurut Iman Abu Hanifah dan Abu Yusuf, qhasab tidak mungkin dilakukan pada
harta tidak bergerak, karena harta tersebut tidak dapat dipindahkan, sedangkan
menurut mereka syarta ghasab adalah barang yang dighasab dapat dikuasai dan
dipindahkan oleh orang yang meng- ghasab, disamping itu sekedar
memanfaatkan benda tidak bergerak didak dinamakan ghasab sebab manfaat
tidak termasuk harta, akan tetapi jumhur ulama berpendapat ghasab bisa terjadi
pada benda bergerak maupun tidak bergerak sebab manfaat disebut juga harta.
Orang yang menempati rumah tanpa seizin pemiliknya termasuk ghasab.

3) Berdasarkan segi pemanfaatannya harta dibagi atas:


A) Harta isti’mali ialah harta yang pemanfaatannya tidak mengahabiskan benda
tersebut. Manfaatnya dapat diambil dan bendanya masih tetap utuh. Contoh: rumah,
lahan pertanian.
B) Harta istihlaki ialah harta yang pemanfaatannya menghabiskan harta tersebut.
Contoh; makanan, sabun, korek api.
Terhadap jenis harta tersebut menurut ulama fiqh berakibat pada segi akad. Untuk harta
istihlaki, akadnya hanya tolong menolong. Adapun harta yang bersifat isti’mali, di samping
akadnya tolong menolong juga bisa ditransaksikan dengan cara mengambil imbalan, seperti
sewa menyewa (ijarah). Meskipun demikian, keduannya tetap bisa diakadkan dengan akad jual
beli.

4) Berdasarkan ada dan tidaknya di pasaran


A) Harta al – mitsli, ialah harta yang banyak jenisnya di pasaran. Harta ini bisa
ditimbang, dihitung atau ditukar seperti gandum, kedelai, beras.
B) Harta al – qimi, ialah harta yang tidak ada jenis yang sama di pasaran atau ada
jenisnya tetapi pada setiap satuannya berbeda dalam kualitasnya, seperti satuan pepohonan,
logam mulia, dan alat – alat rumah tangga.
Jenis harta tersebut berimplikasi pada;
a. Dalam harta yang bersifat al – qimi, tidak mungkin terjadi riba, karena sifat
satuannya tidak sama. Namun terhadap harta yang bersifat al – mitsli, bisa berlaku
traansaksi yang menjurus pada riba.
b. Dalam suattu perserikatan yang bersifat al – mitsli, seorang mitra berserikat
boleh mengambil bagiannya ketika mitra dagangnya tidak di tempat. Akan tetapi
perserikatan dalam harta yang bersifat al – qimi masing – masing pihak tidak boleh
mengambil bagiannya selama tidak lainnya tidak berada di tempat.
c. Apabila harta yang bersifat al – mitsli dirusak seseorang dengan sengaja
maka wajib diganti dengan harta sejenis. Apabila yyang dirusak adalah harta yang
bersifat al – qimi maka ganti rugi harus dibayar adalah dengan memperhitungkan
nilainnya.

5) Berdasarkan status harta


A) Al – malal mamluk, yakni harta yan g telah dimiliki baik secara pribadi maupun
badan hukum seperti organisasi. Jenis harta ini terbagi dua yakni milik berserikat (milik umum)
dan milik individu. Harta milik berserikat ataau umum seperti milik negara. Jika harta tersebut
milik negara maka pemanfaatannya adalah untuk masyarakat banyak yang diatur oleh undang
– undang. Masyarakat tidak boleh merusaknya dan menguasainya secara pribadi. Demikian
juga apabila harta tersebut milik organisasi tertentu pemanfaatannya adalah untuk anggaota
organisasi tersebut tanpa harus mengganggu anggota masyarakat lain di luar organisasi
tersebut. Sedangkan apabila harta tersebut milik individu maka pemilik bebas memanfaatkan.
Namun ia tidak bisa sewenang – wenang memanfaatkannya tanpa mempertimabngkan
kemaslahatan orang lain.
B) Al – mal al mubah, yakni harta yang tidak dimiliki seseorang seperti hewan buruan,
kayu di hutan belantara, air, ikan di dalam laut. Harta seperti itu boleh dimanfaatkan oleh
seseorang dengan syarat memenuhi peraturan negara yang telah disepakati da tidak merusak
kelestarian lingkungan.
C) Al mal al mahjur, adalah harta yang dilarang syara’ untuk dikuasai individu, baik
karena harta itu harta wakaf maupun harta untuk kepentingan umum. Seseorang tidak boleh
menguasai harta tersebut meskipun diperbolehkan merasakan manfaatnya.

6) Berdasarkan bisa dibagi atau tidaknya


A) Harta bisa dibagi ialah harta yang apabila dibagi, maka harta tersebut tidak rusak
atau manfaatnya maka hilang.
B) Harta tidak bisa dibagi ialah apabila harta tersebut dibagi akan rusak atau hilang
manfaatnya.
Berdasarkan pembagian di atas maka;
a. Terhadap harta yang bisa dibagi, bisa dilakukan eksekusi peraturan hakim
untuk membaginya. Adapun terhadap harta yang tidak bisa dibagi keputusan hakim
tidak bisa memaksa untuk membagi harta tersebut tetapi harus dilakukan eksekusi
berdasarkan kerelaan masing – masing pihak.
b. Apabila seseorang mengeluarkan biaya untuk memelihara harta serikat
tanpa seizin mitranya dan tanpa seizin hakim, sedangkan harta serikat itu termasuk harta
yang bisa dibagi maka ia tidak bisa dituntut ganti rugi biaya yang telah dikeluarkan
tersebut dianggap sedekah. Namun apabila harta serikat tersebut tidak bisa dibagi maka
tuntutan ganti rugi atas biaya pemeliharaan harta yang telah dikeluarkan satu pihak
dapat diajukan kepada pihak lain

7. Berdasarkan segi berkembang tidaknya


A) Al – mal al ashl, ialah jenis harta yang merupakan pokok bagi kemungkinan
munculnya harta lain, seperti pohon yang menghasilkan buah, rumah yang dapat disewakan,
tanah yang bisa menghasilkan jika ditanami.
B) Al – mal al tsamr, ialah buah yang dihasilkan dari suatu harta seperti hasil sewa
rumah, buah – buahan dari pohon tertentu, hasil panenan.
Pembagian tersebut implikasi hukumnya adalah
a. Asal harta wakaf tidak bisa di bagi – bagikan kepada yang berhak menerima
wakaf, tetapi buah atau hasil darinya dapat dibagikan kepada mereka.
b. Harta yang diperuntukkan bagi kepentinagan umum asalnya tidak bisa
dibagi – bagikan tetapi hasillnya bisa dimiliki siapapun. Dalam suatu transaksi yang
objeknya manfaat benda maka pemilik manfaat itu berhak atas hasilnya. Misalnya,
apabila seseorang menyewa sebuah rumah yang pekarangannya ada pohon buah, maka
buah tersebut menjadi milik penyewa rumah dan ia boleh memperjualbelikannya
kepada orang lain.

4. Bentuk-Bentuk Pengalihan Kepemilikan


A. Hibah
Hibah artinya pemberian atau hadiah, yaitu suatu pemberian yang dilakukan secara
suakarela dalam mendekatkan diri kepada Allah tanpa mengharapkan balasan apapun.
Jumhur ulama mendefinisikan sebagai akad yang mengakibatkan harta seseorang tanpa ganti
rugi dilakukan selama keadaan masih hidup kepada orang lain secara sukarela. Sedangkan
menurut ulama Hanafi mendefinisikan sebagai pemilikan harta dari seseorang kepada orang
lain yang mengakibatkan orang yang menerima hibah dapat melakukan tindakan hukum
terhadap harta tersebut.
Hibah dianggap sah apabila memenuhi syarat dan rukunnya. Adapun menurut ulama
mazhab Hanafi bahwa rukun hibah adalah ijab, qobul dan qabdl (harta itu dapat dikuasai
langsung).
Sedangkan menurut jumhur ulama;
- Orang yang menghibahkan
- Harta yang dihibahkan
- Lafadz Hibah
- Orang yang menerima hibah

Syarat orang menghibahkan hartanya;


- Baligh
- Berakal
- Cerdas
B. Sedekah
Sedekah ialah pemberian dari seorang muslim secara sukarela tanpa tanpa dibatasi
waktu dan jumlah tertentu atau suatu pemberian yang dilakukan seseorang sebagai
kebijaksanaan unuk mengharap ridho Allah semata.
1) Bentuk Sedekah
- Memberikan sesuatu dalam bentuk materi/harta kepada fakir miskin
- Berbuat baik dan menahan diri dari kejahatan
- Berlaku adil dan mendamaikan orang yang sedang bersengketa
- Memberi senyum dan bermuka manis
- dll.
Dapat kita lihat bentuk sedekah lain dalam kehidupan sehari-hari kita.
2) Perbedaan sedekah dan zakat
- Dilihat dari segi subjeknya bersedekah dianjurkan (disunatkan kepada setiap orang
yang beriman dari semua lapisan, baik yang kaya maupun yang miskin. Sedangkan
zakat diwajibkan kepada yang punya dan memenuhi persyaratan sebagaimana telah
diatur dalam bab zakat.
- Dari segi yang disedekahkan, sedekah yang diberikan tidak terbatas pada harta semata
tetapi dapat berupa bentuk kebaikan. Sedangkan zakat terbatas pada harta saja.
- Dari segi penerima atau objeknya sedekah diberikan kepada kelompok asnaf yang
disebutkan dalam al-Qur’an dan pihak lain. Sedangkan zakat diberikan kepada oranga-
orang yang ditentukan oleh Allah dalam al-Qur’an surat at-Taubah:60.
3) Benda yang disedekahkan
Pada dasarnya sedekah sedekah itu hanya dibolehkan apanila benda tersebut itu milik
sendiri. Tidak sah menyedekahkan milik bersama atau milik orang lain. Dengan
demikian, seorang isteri tidak boleh menyedekahkan harta suaminya, tanpa
mendapatkan izin terlebih dahulu. Namun apanila berlaku kebiasaan dalam satu rumah
tangga, bahwa isteri dapat menyedekahkan harta tertentu berupa makanan, boleh
dilakukan tanpa meminta izin dari seorang suami.

C) Wasiat
Wasiat adalah memberikan hak untuk memiliki sesuatu secara sukarela yang
pelaksanaanya ditangguhkan setelah yang berwwasiat meninggal dunnia, baik yang
diwasiatkan itu berupa benda atau manfaat (jasa).
Mengenai hukum wasiat para ulama berbeda pendapat; Ibnu Hazm berpendapat bahwa
wasiat hukumnya Fardhu ‘Ain berdasaran surat an-Nisa: 11 bahwa warisan baru dapat
dibagikan setelah dilaksanakan wasiat dan bayar hutang orang yang meninggal itu. Menurut
Abu Daud dan ulama-ulama salaf berpendapat bahwa wasiat hukumnya wajib diaksanakan
kepada orang tua dan kerabat-kerabat yang karena satu atau beberapa sebab tidak mendapatkan
warisan, mereka berpegang kepada QS. al-Baqarah:180. Sedangkan merut jumhur fukaha dan
fukaha syi’ah zaidiyah bahwa wasiat orang tua atau karib kerabat tidak termasuk fardhu ‘ain
ataupun wajib, dengan alasan Nabi Muhammad tidak pernah menjelaskan hal itu beliau tidak
pernah berwasiat harta peninggalan beliau, kebanyakan dari sahabat Nabi tidak menjalankan
wasiat ternyata tidak ada yang mengingkarinya (ijma’ sukuti).
Apabila seorang berwasiat kepada seseorang, kemudian penerima wasiat membunuh
orang yang memberi wasiat fukaha syafi’iyah dan syi’ah imamiyah berpendapat bahwa wasiat
itu sah, walaupun pembunuhan itu dilakukan dengan sengaja atau motif lain. Tindakan tersebut
menyebabkan dia tidak mendapatkan warisan dari orang yang dibunuhnya, tetapi tidak
menafikan untuk menerima harta yang diwasiatkan kepadanya. Abu Yusuf berpendapat bahwa
wasiat tersebut tidak sah walaupun ahli waris mengizinkan. Beliau berpegang pada hadits nabi.
‫صيَةَ ِلقَاتِ ٍل‬
ِ ‫َّلَ َو‬
“Tidak ada (hak menerima) wasiat bagi si pembunuh”.
Menurut Abu Yusuf, hadits ini harus dipahami secara umum, dan tidak boleh diberikan
pengecualian apapun. Oleh ad-Daru-Qutny dan Baihaqi hadits ini dipandang dhoif.
Pelaksanaan wasiat bagi selain ahli waris tidak harus menunggu izin ahli waris, asal saja yang
diwaisiatkan itu tidak melebihi 1/3 dari harta warisan. Apabila melebihi dari 1/3 perlu
mendapat persetujuan ahli waris. Sedangkan apabila wasiat diberikan kepada ahli waris, maka
wasiat itu belum dapat dilaksanakan sebelum ada persetujuan dari ahli waris lainnya.
5. Kepemilikan Harta dalam Islam
Kepemilikan adalah hubungan keterikatan antara seseorang dengan harta yang
dikukuhkan dan dilegitimasi keabsahannya oleh syara’. Kata al-Milku digunakan untuk
menunjukkan arti sesuatu yang dimiliki, seperti perkataan “Hadza milkii,” yang artinya ini
adalah sesuatu milikku baik berupa barang atau kemanfaatan.
Menurut Jati dalam buku Asas-asas ekonomi Islam, hakikat harta ada tiga, yaitu : Allah
adalah pencipta dan pemilik harta yang hakiki, harta adalah fasilitas bagi kehidupan manusia
dan Allah menganugerahkan pemilikan harta kepada manusia.
Menurut Ibnu Taimiyah seperti dikutip Euis Amalia dalam buku Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam, tiap individu, masyarakat dan Negara memiliki hak atas pemilikan hak milik
sesuai dengan peran yang dimiliki mereka masing-masing. Hak milik dari ketiga agen
kehidupan ini tidak boleh menjadikannya sebagai sumber konflik antara ketiganya. Hak milik
menurutnya adalah sebuah kekuatan yang didasari atas syariah untuk menggunakan sebuah
objek, tetapi kekuatan itu sangat bervariasi dalam bentuk dan jenisnya.
Dalam pandangan Islam hak milik dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu : hak milik
pribadi, hak milik umum, dan hak milik negara.

A. Kepemilikan Individu (private property)


Kepemilikan individu adalah ketetapan hukum syara’ yang berlaku bagi zat
ataupun manfaat (jasa) tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya
untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi – jika barangnya
diambil kegunaannya oleh orang lain seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi
untuk dihabiskan zatnya seperti dibeli – dari barang tersebut.
An-Nabhaniy (1990) mengemukakan, dengan mengkaji secara komprehensif hukum-
hukum syara’ yang menentukan pemilikan seseorang atas harta tersebut, maka akan nampak
bahwa sebab-sebab kepemilikan tersebut terbatas pada lima sebab berikut ini :
1) Bekerja.
2) Warisan.
3) Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup.
4) Harta pemberian negara yang diberikan kepada rakyat.
5) Harta-harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan harta atau
tenaga apapun.
Setiap individu memiliki hak untuk menikmati hak miliknya, menggunakannya secara
produktif, memindahkannya dan melindunginya dari pemubaziran. Namun pemilik juga
terkena sejumlah kewajiban tertentu, seperti membantu dirinya sendiri dan kerabatnya serta
membayar sejumlah kewajiban.

B. Kepemilikan Umum (collective property)


Kepemilikan umum adalah izin Syari’ kepada suatu komunitas untuk sama-sama
memanfaatkan benda. Sedangkan benda-benda yang termasuk dalam kategori kepemilikan
umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh Allah SWT dan Rasulullah saw bahwa
benda-benda tersebut untuk suatu komunitas dimana mereka masing-masing saling
membutuhkan. Berkaitan dengan pemilikan umum ini, hukum Islam melarang benda tersebut
dikuasai hanya oleh seseorang akan sekelompok kecil orang.
Dan pengertian di atas maka benda-benda yang termasuk dalam kepemilikan umum dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok :
1) Benda-benda yang merupakan fasilitas umum
Bentuk fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia
secara umum. Rasulullah saw telah menjelaskan dalam sebuah hadits bagaimana sifat fasilitas
umum tersebut. lbnu Majah juga meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw bersabda
“Tiga hal yang tidak akan pemah dilarang (untuk dimiliki siapapun) yaitu air, padang
rumput, dan api.” (HR. Ibnu Majah). Anas ra meriwayatkan hadits dari lbnu Abbas ra. tersebut
dengan menambahkan : Wa tsamanuhu haram (dan harganya haram), yang berarti dilarang
untuk diperjualbelikan.
2) Bahan tambang yang jumlahnya sangat besar
Bahan tambang dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: Barang tambang yang sedikit
(terbatas) jumlahnya termasuk milik pribadi, serta boleh dimiliki secara pribadi, dan terhadap
bahan tambang tersebut diberlakukan hukum rikaz (barang temuan), yang darinya harus
dikeluarkan khumus, yakni 1/5 bagiannya (20%).
Adapun bahan tambang yang sangat banyak (hampir tidak terbatas) jumlahnya, yang
tidak mungkin dihabiskan oleh individu, maka bahan tambang tersebut termasuk milik umum
(collective property), dan tidak boleh dimiliki secara pribadi.
3) Benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki oleh
individu secara perorangan.
Benda yang dapat dikategorikan sebagai kepemilikan umum yaitu jalan raya, sungai,
masjid dan fasilitas umum lainnya. Benda-benda ini dari merupakan fasilitas umum dan hampir
sama dengan kelompok pertama. Namun meskipun benda-benda tersebut seperti jenis yang
pertama, tetapi berbeda dari segi sifatnya, bahwa benda tersebut tidak bisa dimiliki oleh
individu.
Barang-barang kelompok pertama dapat dimiliki oleh individu jika jumlahnya kecil dan
tidak menjadi sumber kebutuhan suatu komunitas. Misalnya sumur air, mungkin saja dimiliki
oleh individu, namun jika sumur air tersebut dibutuhkan oleh suatu komunitas maka individu
tersebut dilarang memilikinya. Berbeda dengan jalan raya, mesjid, sungai dan lain-lain yang
memang tidak mungkin dimiliki oleh individu.
3. Kepemilikan Negara (state property)
Harta-harta yang terrnasuk milik negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum
muslimin yang pengelolaannya menjadi wewenang negara, dimana negara dapat memberikan
kepada sebagian warga negara, sesuai dengan kebijakannya. Makna pengelolaan oleh negara
ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki negara untuk mengelolanya semisal harta fai,
kharaj, jizyah dan sebagainya.
Meskipun harta milik umum dan milik negara pengelolaannya dilakukan oleh negara,
namun ada perbedaan antara kedua bentuk hak milik tersebut. Harta yang termasuk milik umum
pada dasamya tidak boleh diberikan negara kepada siapapun, meskipun negara dapat
membolehkan kepada orang-orang untuk mengambil dan memanfaatkannya. Berbeda dengan
hak milik negara dimana negara berhak untuk memberikan harta tersebut kepada individu
tertentu sesuai dengan kebijakan negara.
Harta kekayaan sejatinya adalah milik Allah swt. Sedangkan manusia adalah para
hambanya dan kehidupan di dalamnya manusia bekerja, berkarya dan membangunnya dengan
menggunakan harta Allah swt. karena semua itu adalah milik-Nya, maka sudah seharusnya
harta kekayaan meskipun terikat dengan nama orang tertentu dan dimanfaatkan untuk
kepentingan mereka. Allah swt berfirman,

“ Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” .
Dengan begitu, berarti harta kekayaan memiliki fungsi sosial yang tujuannya adalah
menyejahterakan masyarakat dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan serta kemaslahatan-
kemaslahatannya. Jadi dengan begitu, kepemilikan individu di dalam pandangan Islam
merupakan sebuah fungsi sosial.
Syaikh Abu Zahrah berpandangan, bahwa tidak ada halangan untuk mengatakan bahwa
kepemilikan adalah fungsi sosial. Akan tetapi harus diketahui bahwa itu harus berdasarkan
ketentuan Allah swt bukan ketentuan para hakim, karena mereka tidaklah selalu orang-orang
yang adil.
6. Sebab-Sebab Kepemilikan dalam Islam
A. Bekerja
Kata bekerja sangat luas maknanya, beraneka ragam jenisnya, bermacam-macam
bentuknya serta berbeda-beda hasilnya. Karena itulah, Asy-Sydri’ tidak menetapkan kata
bekerja dengan bentuk yang umum. Namun, Asy-Sydri’ telah menetapkannya dalam bentuk
kerja-kerja tertentu. Kemudian menetapkannya, Asy-Sydri’ menjelaskan kerja-kerja tersebut
berikut jenis-jenis kerja yang layak untuk dijadikan sebagai sebab kepemilikan.
Sebab kepemilikan harta adalah kerja-kerja berikut:
1. Menghidupkan tanah mati
2. Menggali kandungan dalam perut bumi ataupun di udara
3. Berburu
4. Makelar/Broker
5. Mudharabah (kerjasama usaha yang menggabungkan harta/modal dengan
tenaga)
6. Musaqat (mengairi lahan pertanian)
7. Ijarah (kontrak kerja)

1. Menghidupkan tanah mati


Tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh
seorang pun. Yang dimaksud dengan menghidupkan tanah mati (ihya’ al-mawat) adalah
mengolahnya, menanaminya, atau nmendirikan bangunan di atasnya. Menghidupkan tanah
mati adalah memanfaatkannya dengan cara apa pun, yang bisa menjadikan tanah tersebut
hidup.

2. Menggali kandungan bumi


Yang termasuk kategori bekerja, adalah menggali apa saja yang terkandung dalam perut
bumi, yang bukan merupakan harta yang dibutuhkan oleh suatu komunitas masyarakat, atau
yang disebut rikdz, ataupun yang bukan merupakan harta milik umum seluruh kaum Muslim,
sebagaimana yang dinyatakan dalam ketetapan fikih. Adapun jika harta hasil penggalian
tersebut merupakan harta yang dibutuhkan oleh komunitas masyarakat, atau merupakan hak
seluruh kaum Muslim, maka galian tersebut termasuk dalam kepemilikan umum collective
property).
3. Berburu
Berburu ikan, mutiara, batu permata, bunga karang serta harta yang diperoleh dari hasil
buruan laut lainnya bisa dimiliki oleh orang yang memburunya. Ini berlaku sebagaimana
halnya dalam perburuan burung dan hewan-hewan yang lain.

4. Makelar (Samsarah) dan Pemandu (Dalalah)


Simsar (makelar/broker/pialang) adalah sebutan bagi orang yang bekerja untuk orang
lain dengahn mendapatkan upah, baik untuk keperluan menjualkan ataupun membelikan.
Pemandu pun adalah orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapatkan upah, baik
untuk keperluan menjualkan maupun membelikan. Makelar (samsarah) termasuk dalam
kategori bekerja yangbisa dipergunakan untuk memiliki harta secara sah menurut syariah.

5. Mudharabah
Mudharabah adalah perseroan (kerjasama) antara dua orang dalam suatu perdagangan.
Modal (investasi) financial dari satu pihak, sedangkan pihak lain memberikan tenaga. Dengan
kata lain, mudharabah adalah meleburnya badan (tenaga) di satu pihak dengan harta dari pihak
lain. Artinya, satu pihak bekerja, sedangkan yang lain menyerahkan harta. Kedua belah pihak
kemudian sepakat mengenai prosentase tertentu dari hasil keuntungan yang diperoleh, semisal
1:3 (33,3%) dari laba atau ½ (50%) dari hasil keuntungan.
Mudharabah juga merupakan salah satu bentuk perseroan karena merupakan perseroan badan
(tenaga) dengan harta. Perseroan adalah salah satu bentuk muamalah yang telah dinyatakan
kebolehannya oleh syariah.
Dalam system mudharabah, pihak pengelola memiliki bagian npada harta pihak lain
karena kerja yang dilakukannya. Sebab, mudharabah bagi pihak pengelola termasuk dalam
kategori bekerja serta merupakan salah satu sebab kepemilikan. Akan tetapi, mudharabah bagi
pihak pemilik modal (investor) tidak termasuk dalam kategori sebab kepemilikan, melainkan
merupakan salah satu sebab pengembangan kekayaan.

6. Musaqot
Musaqot adalah seseorang memnyerahkan pepohonan (kebun-dua kepada orang lain
agar ia menyiraminya serta melakukan kerja apapun yang dibutuhkan untuk itu (mengurus dan
merawatnya).
7. Ijarah (Kontrak Kerja)
Islam membolehkan seseorang untuk mengontrak tenaga para pekerja atau buruh yang
bekerja untuk dirinya. Bentuk pekerjaannya juga harus ditetapkan, semisal menggali tanah,
menopang atau melunakkan benda, menempa besi, memecah batu, mengemudikan mobil, atau
bekerja di penambangan. Yang juga harus dijelaskan adalah kadar tenaganya.
7.1.2. Jenis Pekerjaan
Transaksi ijarah boleh dilakukan dalam perdagangan, pertanian, industry, pelayanan,
perwakilan, menyampaikan jawaban dari salah satu pihak yang berperkara, baik sebagai pihak
penuntut ataupun yang dituntut, termasuk melakukan penyidikan, serta menyampaikan hasil
penyidikan kepada hakim, menuntut hak, dan memberikan keputusan di antara manusia.
Kategori ijarah adalah manggali sumber dan pondasi bangunan, mengemudikan mobil dan
pesawat, mencetak buku, menerbitkan Koran, memindahkan kendaraan dan sebagainya.
7.1.3 Waktu Kerja
Dalam transaksi ijarah juga harus disebutkan waktunya. Akan tetapi, tidak ada
keharusan agar waktu kontrak tersebut seiring dengan transaksinya, melainkan misalnya, kalau
dia dikontrak untuk bulan Rajab, padahal ketika itu dia berada di bulan Muharram, maka
transaksi ijarah tersebut tetap sah.
Apabila waktu tersebut harus disebutkan dalam transaksi, dengan kata lain,
menyebutkan waktu tersebut merupakan sesuatu yanh urgen untuk menafikan
ketidakjelasannya, maka waktunya harus dibatasi dengan jangka waktu tertentu, semisal satu
menit, satu jam, satu minggu, satu bulan, ataupun satu tahun.
7.1.4 Gaji/honor kerja
Kompensasi ijarah (upah, honor, gaji) boleh tunai dan boleh tidak, boleh dalam bentuk
harta ataupun jasa. Intinya, apa saja yang bisa dinilai dengan harga boleh dijadikan sebagai
kompensasi, dengan syarat harus jelas. Apabila tidak jelas maka transaksinya tidak sah.
Apabila telah disyaratkan dalam akad bahwa gaji diberikan dengan suatu tempo maka
ia harus diberikan sesuai dengan temponya. Apabila telah disyaratkan gaji diberikan harian,
bulanan, atau kurang dari itu. Ataupun lebih, maka gaji tersebut tetap harus diberikan sesuai
dengan kesepakatan tersebut.
7.1.5 Tenaga yang dicurahkan saat bekerja
Upah adalah kompensasi dari suatu jasa, bukan kompensasi dari jerih payah (tenaga)
Upah bisa berbeda-beda dan beragam karena berbeda dan beragamnya pekerjaan. Karena itu,
upah dalam suatu pekerjaan juga berbeda-beda. Upah akan mengalami perbedaan karena
perbedaan nilai jasanya, bukan karena perbedan jerih payah (tenaga)-nya.
7.2 Hukum Mengontrak Jasa yang Diharamkan
Syarat sah akad ijarah adalah bahwa jasa yang dikontrak harus jasa yang halal. Tidak
boleh seorang pekerja untuk memberikan jasa yang haram. Karena itu, tidak boleh mengntrak
seorang pekerja untuk mengirim minuman keras kepada pembeli, untuk memerasnya, atau
untuk mengangkut babi dan bangkai.
7.3 Hukum Mengontrak Tenaga Non-Muslim
Tidak disyaratkan ajir dan musta’jir kedua-duanya harus Muslim atau salah satunya
Muslim.artinya, secara mutlak seorang muslim boleh mengontrak orang non-muslim.
Adapun pekerjaan-pekerjaan yang di dalamnya terdapat upaya mendekatkan diri kepada Allah
SWT, maka disyaratkan pekerjaannya harus muslim, seperti menjadi imam, muazin, haji,
membayarkan zakat, mangajar al_Qur’an dan al-Hadis.
7.4 Mengontrak Tenaga dalam Hal Ibadah dan Jasa Umum
Definisi ijarah adalah transaksi terhadap jasa tertentu dengan suatu/kompensasi,
dengan syarat jasa tersebut merupakan sesuatu yang bisa diperoleh oleh seorang majikan.
7.5 Siapa yang Disebut dengan Ajir (Pekerja)
Syariat Islam menganggap ajir (pekerja) adalah setiap orang yang bekerja dengan upah
(honor) tertentu, baik yang mempekerjakan (musta’jir)-nya pribadi, jamaah maupun Negara.
7.6 Asas yang Mendasari Penentuan Gaji
Ijarah adalah akad/transaksi terhadap jasa tertentu dengan suatu kompensasi. Syarat
tercapainya akad/transaksi ijarah adalah kelayakan orang yang melakukan akad, yaitu: masing-
masing telah mumayyiz (usia pra-balig); adanya keridhaan kedua belah pihak yang melakukan
akad/transaksi: upahnya harus jelas.
Upah bisa diklarifikasikan menjadi dua:
(1) upah yang telah disebutkan (ajr(un) musamma):
(2) upah yang sepadan (ajr al-mitsl).
Adapun upah yang sepadan (ajr al-mitsli) adalah upah yang sepadan dengan kerja
maupun pekerjaannya sekaligus jika ajad ijarah-nya menyebutkan jasa kerjanya. Upah yang
sepadan adalah upah yang sepadan dengan pekerjaannya saja jika akad ijarah-nya
menyebutkan jasa pekerjaannya.
7.7 Perkiraan Gaji Pekerja
Secara alami manusia akan terdorong untuk mencurahkan tenaga untuk menghasilkan
harta yang bisa digunakan untuk menyambung hidupnya. Indinidub yang hidup dalam suatu
masyarakat akan mencurahkan tenaganya dalam rangka menghasilkan harta untuk bisa
langsung dihabiskan dan ditukar, bukan mencurahkan tenaganya untuk sekedar
menghabiskannya secara langsung.
Tidak ada hubungan antara upah seorang pdan nilai suatu barang, termasuk antara upah
seorang pekerja dan beban produksi, dan antara upah seorang pekerja dan taraf hidupnya. Akan
tetapi, upah merupakan fenomena lain yang terpisah. Sebab, upah merupakan kadar yang
barhak dimiliki oleh suatu kegunaan atau jasa yang diperoleh oleh seorang musta’jir dari
kegunaan tersebut.
Jadi, tinggi-rendahnya upah seseorang dalam suatu pekerjaan itu semata-mata
dikembalikan pada tingkat kesempurnaan jasa atau kegunaan tenaga yang mereka berikan

B. Waris
Di antara yang termasuk dalam kategori sebab-sebab kepemilikan harta adalah waris.
Waris adalah salah satu sarana untuk membagikan kekayaan.
Ada tiga kondisi yang menjadi pedoman dalam mendermakan kekayaan dalam masalah waris:
1. Kondisi pertama: jika ahli waris yang ada bisa menghabiskan semua harta
waris yang ditinggalkan mayit-sesuai dengan hukum-hukum waris.
2. Kondisi kedua: jika di sana tidak terdapat ahli waris yang bisa menghabiskan
semua harta waris sesuai dengan hukum-hukum syariah.
Misal : jika si mayit hanya meninggalkan seorang istri, atau si mayid hanya
meninggalkan seorang suami, maka istri yang ditinggalkan hanya berhak mendapatkan
¼ harta pusaka, dan selebihnya siserahkan kepada Baitul mal
3. Jika tidak terdapat ahli waris sama sekali. Dalam kondisi semacam ini, semua
harta pusaka yang ada diserahkan kepada Baitul Mal atau Negara.

C. Kebutuhan akan Harta untuk Menyambung Hidup


Di antara sebab-sebab kepemilikan yang lain adalah adanya kebutuhan akan harta untuk
menyambungg hidup. Sebab, hidup adalah hak setiap orang. Seseorang wajib untuk
mendapatkan kehidupan ini sebagai haknya, bukan sebagai hadiah ataupun belas kasihan.
Ketika hidup dianggap sebagai salah satu sebab untuk mendapatkan harta, maka syariah tidak
menganggap bahwa mengambil makanan (orang lain, peny.) dalam kondisi kelaparan termasuk
dalam kategori mencuri yang pelakunya harus dipotong tangannya.
D. Pemberian Harta Negara kepada Rakyat
Yang juga termasuk dalam sebab kepemilikan adalah pemberian Negara (I’tha’ ad-
dawlah) kepada rakyat yang diambil dari harta Baitul Mal. Baik dalam rangka memenuhi hajat
hidup ataupun demi memanfaatkan kepemilikan mereka.

E. Harta yang Diperoleh Tanpa Kompensasi Harta atau Tanaga


Yang termasuk dalam kategori sebab kepemilikan adalah perolehan individu atau
sejumlah harta tertentu tanpa kompensasi harta atau tenaga apa pun. Perolehan semacam ini
mencakup lima hal.
Pertama: Hubungan antar individu satu sama lain, baik hubungan ketika masih hidup, seperti
hibah dan hadiah, ataupun hubungan sepeninggal mereka, seperti wasiat.
Kedua: Menerima harta sebagai ganti rugi (kompensasi) dari kemadaratan yang menimpa
seseorang. Diyat (denda) atas orang yang terbunuh dan luka (dibunuh atau dilukai orang. Peny.)
Ketiga: Memperoleh mahar berikut harta yang diperoleh melalui akad nikah. Seorang wanita
akan memiliki harta (mahar) ini secara rinci berdasarkan hukum-hukum pernikahan.
Keempat: Barang temuan (luqathah). Apabila seseorang menemukan barang temuan maka
harus diteliti terlebih dahulu: Apabila barang tersebut memungkinkan untuk disimpan dan
diumumkan-semisal emas, perak, permata dan pakaian-dan bukan milik orang yang sedang
berihram (berhaji) maka barang temuan tersebut boleh dimiliki.

Anda mungkin juga menyukai