َّللاِ َو َما تُن ِفقُوا ِم ْن َخي ٍْر َّ ْس َعلَيْكَ ُهدَا ُه ْم َو ٰل ِك َّن
َّ َّللاَ يَ ْهدِي َمن يَشَا ُء َو َما تُن ِفقُوا ِم ْن َخي ٍْر فَ ِِلَنفُ ِس ُك ْم َو َما تُن ِفقُونَ ِإ ََّّل ا ْبتِغَا َء َوجْ ِه َ لَّي
ْ ُ ف ِإلَ ْي ُك ْم َوأَنت ُ ْم ََّل ت
َظ َل ُمون َّ ي َُو
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang
memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik
yang kamu nafkahkan (di jalan allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah
kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta
yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang
kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).”
Q.S. Al Adiyat (100): 8
2. Menyejahterakan Keluarga
Q.S. Al-Kahfi (18): 82
َ ار فَ َكانَ ِلغُ ََل َمي ِْن يَ ِتي َمي ِْن فِي ْال َمدِينَ ِة َو َكانَ تَحْ تَهُ كَنز لَّ ُه َما َو َكانَ أَبُو ُه َما
ُ َ صا ِل ًحا فَأ َ َرادَ َربُّكَ أَن يَ ْبلُغَا أ
شدَّ ُه َما ُ ََوأ َ َّما ْال ِجد
صب ًْرا ِ َويَ ْست َْخ ِر َجا كَنزَ ُه َما َرحْ َمةً ِمن َّر ِبكَ َو َما فَ َع ْلتُهُ َع ْن أ َ ْم ِري ٰذلِكَ ت َأ ْ ِوي ُل َما َل ْم تَس
َ ْطع َّع َل ْي ِه
“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya
ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh,
maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan
mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku
melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-
perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.
3. Memudahkan Kehidupan
Menururt Al-Hadits
1. Menambah Kebaikan
احمد والصبراني/صا ِلح
َّ لر ُج ِل ال َّ نِ ْع َم ْال َما ُل ال
َّ صا ِل ُح ِل
“Sebaik-baik harta yang baik itu untuk manusia yang baik.”(H.R. Ahmad dan Tabrani)
2. KekuranganHartaMenyebabkanKekufuran
ابو مسلم الليثي في سننه ضعف/كَادَ ْالفَ ْق ُر أ َ ْن يَ ُك ْون ُك ْفرا
“Hampir saja kefakiranmembuat orang menjadi kafir.”(H.R. Abu Muslim Al Laitsi dalam
sunannya dhoif)
2. Fitnah (Cobaan)
َّللاُ ِعندَهُ أَجْ ر َع ِظيم
َّ ِإنَّ َما أ َ ْم َوالُ ُك ْم َوأَ ْو ََّلد ُ ُك ْم فِتْنَة َو
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah
pahala yang besar.” Q.S. At-Taghabun (64): 15
3. MembuatOrang Berlebih-lebihan
ْ سانَ لَ َي
أَن َّرآهُ ا ْست َ ْغن َٰى.طغ َٰى ِ ْ ك َََّل ِإ َّن.
َ اْلن
“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas,karena dia melihat dirinya
serba cukup.” Q.S. Al-Alaq (96): 6-7
4. Bermegah-megah
أ َ ْل َها ُك ُم التَّكَاث ُ ُر
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,” Q.S. At-Takatsur (102): 1
5. Menghalangi Jihad
َ سا ِكنُ ت َْر
ض ْو َن َها َ سادَهَا َو َمَ ارة ت َْخش َْونَ َك َ ِيرت ُ ُك ْم َوأ َ ْم َوال ا ْقت ََر ْفت ُ ُموهَا َو ِت َج
َ قُ ْل ِإن َكانَ آ َبا ُؤ ُك ْم َوأ َ ْبنَا ُؤ ُك ْم َو ِإ ْخ َوانُ ُك ْم َوأ َ ْز َوا ُج ُك ْم َو َعش
ََّللاُ ََّل َي ْهدِي ْالقَ ْو َم ْالفَا ِسقِين
َّ َّللاُ بِأ َ ْم ِر ِه َو ْ َّ َأ َ َحبَّ إِلَ ْي ُكم ِمن
َّ ي َ ِصوا َحتَّ ٰى يَأت ُ َّسبِي ِل ِه فَت ََرب
َ سو ِل ِه َو ِج َها ٍد فِي ُ َّللاِ َو َر
“Katakanlah: “jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu,
harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan
tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari
berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” Q.S. At-Taubah (9): 24
2. Merusak Kehidupan
الترمذي/الر ُج ِل ْال ُم ْس ِل ِم
َّ ف َو ْال َما ِل َو ْال َجا ِه فِ ْي ِدي ِْن َّ ب ال
ِ ش َر َ ار َيانِأ ُ ْر ِس ََل فِي َغن ٍَم ِبأ َ ْكثَ َر ِإ ْف
ِ سادًا فِ ْي َها ِم ْن ُح ِ ض ِ َما ِذئْ َب
َ ان
“Tidak ada dua ekor serigala buas yang dikirimkan ke kelompok kambing yang lebih membuat
kerusakan melebihi kerusakan agama seorang muslim yang dikeluarkan oleh dikeluarkan oleh
cintanya kepada kehormatan, harta dan pangkat.”(H.R. Tirmidzi)
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat
menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkanmu ke dalam
jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal
yang baik di dalam jannah ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar. Dan (ada lagi) karunia yang
lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya).
Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman.” Q.S. Ash-Shaf (61) :
10-13
B.Fungsi Harta
C) Wasiat
Wasiat adalah memberikan hak untuk memiliki sesuatu secara sukarela yang
pelaksanaanya ditangguhkan setelah yang berwwasiat meninggal dunnia, baik yang
diwasiatkan itu berupa benda atau manfaat (jasa).
Mengenai hukum wasiat para ulama berbeda pendapat; Ibnu Hazm berpendapat bahwa
wasiat hukumnya Fardhu ‘Ain berdasaran surat an-Nisa: 11 bahwa warisan baru dapat
dibagikan setelah dilaksanakan wasiat dan bayar hutang orang yang meninggal itu. Menurut
Abu Daud dan ulama-ulama salaf berpendapat bahwa wasiat hukumnya wajib diaksanakan
kepada orang tua dan kerabat-kerabat yang karena satu atau beberapa sebab tidak mendapatkan
warisan, mereka berpegang kepada QS. al-Baqarah:180. Sedangkan merut jumhur fukaha dan
fukaha syi’ah zaidiyah bahwa wasiat orang tua atau karib kerabat tidak termasuk fardhu ‘ain
ataupun wajib, dengan alasan Nabi Muhammad tidak pernah menjelaskan hal itu beliau tidak
pernah berwasiat harta peninggalan beliau, kebanyakan dari sahabat Nabi tidak menjalankan
wasiat ternyata tidak ada yang mengingkarinya (ijma’ sukuti).
Apabila seorang berwasiat kepada seseorang, kemudian penerima wasiat membunuh
orang yang memberi wasiat fukaha syafi’iyah dan syi’ah imamiyah berpendapat bahwa wasiat
itu sah, walaupun pembunuhan itu dilakukan dengan sengaja atau motif lain. Tindakan tersebut
menyebabkan dia tidak mendapatkan warisan dari orang yang dibunuhnya, tetapi tidak
menafikan untuk menerima harta yang diwasiatkan kepadanya. Abu Yusuf berpendapat bahwa
wasiat tersebut tidak sah walaupun ahli waris mengizinkan. Beliau berpegang pada hadits nabi.
صيَةَ ِلقَاتِ ٍل
ِ َّلَ َو
“Tidak ada (hak menerima) wasiat bagi si pembunuh”.
Menurut Abu Yusuf, hadits ini harus dipahami secara umum, dan tidak boleh diberikan
pengecualian apapun. Oleh ad-Daru-Qutny dan Baihaqi hadits ini dipandang dhoif.
Pelaksanaan wasiat bagi selain ahli waris tidak harus menunggu izin ahli waris, asal saja yang
diwaisiatkan itu tidak melebihi 1/3 dari harta warisan. Apabila melebihi dari 1/3 perlu
mendapat persetujuan ahli waris. Sedangkan apabila wasiat diberikan kepada ahli waris, maka
wasiat itu belum dapat dilaksanakan sebelum ada persetujuan dari ahli waris lainnya.
5. Kepemilikan Harta dalam Islam
Kepemilikan adalah hubungan keterikatan antara seseorang dengan harta yang
dikukuhkan dan dilegitimasi keabsahannya oleh syara’. Kata al-Milku digunakan untuk
menunjukkan arti sesuatu yang dimiliki, seperti perkataan “Hadza milkii,” yang artinya ini
adalah sesuatu milikku baik berupa barang atau kemanfaatan.
Menurut Jati dalam buku Asas-asas ekonomi Islam, hakikat harta ada tiga, yaitu : Allah
adalah pencipta dan pemilik harta yang hakiki, harta adalah fasilitas bagi kehidupan manusia
dan Allah menganugerahkan pemilikan harta kepada manusia.
Menurut Ibnu Taimiyah seperti dikutip Euis Amalia dalam buku Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam, tiap individu, masyarakat dan Negara memiliki hak atas pemilikan hak milik
sesuai dengan peran yang dimiliki mereka masing-masing. Hak milik dari ketiga agen
kehidupan ini tidak boleh menjadikannya sebagai sumber konflik antara ketiganya. Hak milik
menurutnya adalah sebuah kekuatan yang didasari atas syariah untuk menggunakan sebuah
objek, tetapi kekuatan itu sangat bervariasi dalam bentuk dan jenisnya.
Dalam pandangan Islam hak milik dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu : hak milik
pribadi, hak milik umum, dan hak milik negara.
“ Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” .
Dengan begitu, berarti harta kekayaan memiliki fungsi sosial yang tujuannya adalah
menyejahterakan masyarakat dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan serta kemaslahatan-
kemaslahatannya. Jadi dengan begitu, kepemilikan individu di dalam pandangan Islam
merupakan sebuah fungsi sosial.
Syaikh Abu Zahrah berpandangan, bahwa tidak ada halangan untuk mengatakan bahwa
kepemilikan adalah fungsi sosial. Akan tetapi harus diketahui bahwa itu harus berdasarkan
ketentuan Allah swt bukan ketentuan para hakim, karena mereka tidaklah selalu orang-orang
yang adil.
6. Sebab-Sebab Kepemilikan dalam Islam
A. Bekerja
Kata bekerja sangat luas maknanya, beraneka ragam jenisnya, bermacam-macam
bentuknya serta berbeda-beda hasilnya. Karena itulah, Asy-Sydri’ tidak menetapkan kata
bekerja dengan bentuk yang umum. Namun, Asy-Sydri’ telah menetapkannya dalam bentuk
kerja-kerja tertentu. Kemudian menetapkannya, Asy-Sydri’ menjelaskan kerja-kerja tersebut
berikut jenis-jenis kerja yang layak untuk dijadikan sebagai sebab kepemilikan.
Sebab kepemilikan harta adalah kerja-kerja berikut:
1. Menghidupkan tanah mati
2. Menggali kandungan dalam perut bumi ataupun di udara
3. Berburu
4. Makelar/Broker
5. Mudharabah (kerjasama usaha yang menggabungkan harta/modal dengan
tenaga)
6. Musaqat (mengairi lahan pertanian)
7. Ijarah (kontrak kerja)
5. Mudharabah
Mudharabah adalah perseroan (kerjasama) antara dua orang dalam suatu perdagangan.
Modal (investasi) financial dari satu pihak, sedangkan pihak lain memberikan tenaga. Dengan
kata lain, mudharabah adalah meleburnya badan (tenaga) di satu pihak dengan harta dari pihak
lain. Artinya, satu pihak bekerja, sedangkan yang lain menyerahkan harta. Kedua belah pihak
kemudian sepakat mengenai prosentase tertentu dari hasil keuntungan yang diperoleh, semisal
1:3 (33,3%) dari laba atau ½ (50%) dari hasil keuntungan.
Mudharabah juga merupakan salah satu bentuk perseroan karena merupakan perseroan badan
(tenaga) dengan harta. Perseroan adalah salah satu bentuk muamalah yang telah dinyatakan
kebolehannya oleh syariah.
Dalam system mudharabah, pihak pengelola memiliki bagian npada harta pihak lain
karena kerja yang dilakukannya. Sebab, mudharabah bagi pihak pengelola termasuk dalam
kategori bekerja serta merupakan salah satu sebab kepemilikan. Akan tetapi, mudharabah bagi
pihak pemilik modal (investor) tidak termasuk dalam kategori sebab kepemilikan, melainkan
merupakan salah satu sebab pengembangan kekayaan.
6. Musaqot
Musaqot adalah seseorang memnyerahkan pepohonan (kebun-dua kepada orang lain
agar ia menyiraminya serta melakukan kerja apapun yang dibutuhkan untuk itu (mengurus dan
merawatnya).
7. Ijarah (Kontrak Kerja)
Islam membolehkan seseorang untuk mengontrak tenaga para pekerja atau buruh yang
bekerja untuk dirinya. Bentuk pekerjaannya juga harus ditetapkan, semisal menggali tanah,
menopang atau melunakkan benda, menempa besi, memecah batu, mengemudikan mobil, atau
bekerja di penambangan. Yang juga harus dijelaskan adalah kadar tenaganya.
7.1.2. Jenis Pekerjaan
Transaksi ijarah boleh dilakukan dalam perdagangan, pertanian, industry, pelayanan,
perwakilan, menyampaikan jawaban dari salah satu pihak yang berperkara, baik sebagai pihak
penuntut ataupun yang dituntut, termasuk melakukan penyidikan, serta menyampaikan hasil
penyidikan kepada hakim, menuntut hak, dan memberikan keputusan di antara manusia.
Kategori ijarah adalah manggali sumber dan pondasi bangunan, mengemudikan mobil dan
pesawat, mencetak buku, menerbitkan Koran, memindahkan kendaraan dan sebagainya.
7.1.3 Waktu Kerja
Dalam transaksi ijarah juga harus disebutkan waktunya. Akan tetapi, tidak ada
keharusan agar waktu kontrak tersebut seiring dengan transaksinya, melainkan misalnya, kalau
dia dikontrak untuk bulan Rajab, padahal ketika itu dia berada di bulan Muharram, maka
transaksi ijarah tersebut tetap sah.
Apabila waktu tersebut harus disebutkan dalam transaksi, dengan kata lain,
menyebutkan waktu tersebut merupakan sesuatu yanh urgen untuk menafikan
ketidakjelasannya, maka waktunya harus dibatasi dengan jangka waktu tertentu, semisal satu
menit, satu jam, satu minggu, satu bulan, ataupun satu tahun.
7.1.4 Gaji/honor kerja
Kompensasi ijarah (upah, honor, gaji) boleh tunai dan boleh tidak, boleh dalam bentuk
harta ataupun jasa. Intinya, apa saja yang bisa dinilai dengan harga boleh dijadikan sebagai
kompensasi, dengan syarat harus jelas. Apabila tidak jelas maka transaksinya tidak sah.
Apabila telah disyaratkan dalam akad bahwa gaji diberikan dengan suatu tempo maka
ia harus diberikan sesuai dengan temponya. Apabila telah disyaratkan gaji diberikan harian,
bulanan, atau kurang dari itu. Ataupun lebih, maka gaji tersebut tetap harus diberikan sesuai
dengan kesepakatan tersebut.
7.1.5 Tenaga yang dicurahkan saat bekerja
Upah adalah kompensasi dari suatu jasa, bukan kompensasi dari jerih payah (tenaga)
Upah bisa berbeda-beda dan beragam karena berbeda dan beragamnya pekerjaan. Karena itu,
upah dalam suatu pekerjaan juga berbeda-beda. Upah akan mengalami perbedaan karena
perbedaan nilai jasanya, bukan karena perbedan jerih payah (tenaga)-nya.
7.2 Hukum Mengontrak Jasa yang Diharamkan
Syarat sah akad ijarah adalah bahwa jasa yang dikontrak harus jasa yang halal. Tidak
boleh seorang pekerja untuk memberikan jasa yang haram. Karena itu, tidak boleh mengntrak
seorang pekerja untuk mengirim minuman keras kepada pembeli, untuk memerasnya, atau
untuk mengangkut babi dan bangkai.
7.3 Hukum Mengontrak Tenaga Non-Muslim
Tidak disyaratkan ajir dan musta’jir kedua-duanya harus Muslim atau salah satunya
Muslim.artinya, secara mutlak seorang muslim boleh mengontrak orang non-muslim.
Adapun pekerjaan-pekerjaan yang di dalamnya terdapat upaya mendekatkan diri kepada Allah
SWT, maka disyaratkan pekerjaannya harus muslim, seperti menjadi imam, muazin, haji,
membayarkan zakat, mangajar al_Qur’an dan al-Hadis.
7.4 Mengontrak Tenaga dalam Hal Ibadah dan Jasa Umum
Definisi ijarah adalah transaksi terhadap jasa tertentu dengan suatu/kompensasi,
dengan syarat jasa tersebut merupakan sesuatu yang bisa diperoleh oleh seorang majikan.
7.5 Siapa yang Disebut dengan Ajir (Pekerja)
Syariat Islam menganggap ajir (pekerja) adalah setiap orang yang bekerja dengan upah
(honor) tertentu, baik yang mempekerjakan (musta’jir)-nya pribadi, jamaah maupun Negara.
7.6 Asas yang Mendasari Penentuan Gaji
Ijarah adalah akad/transaksi terhadap jasa tertentu dengan suatu kompensasi. Syarat
tercapainya akad/transaksi ijarah adalah kelayakan orang yang melakukan akad, yaitu: masing-
masing telah mumayyiz (usia pra-balig); adanya keridhaan kedua belah pihak yang melakukan
akad/transaksi: upahnya harus jelas.
Upah bisa diklarifikasikan menjadi dua:
(1) upah yang telah disebutkan (ajr(un) musamma):
(2) upah yang sepadan (ajr al-mitsl).
Adapun upah yang sepadan (ajr al-mitsli) adalah upah yang sepadan dengan kerja
maupun pekerjaannya sekaligus jika ajad ijarah-nya menyebutkan jasa kerjanya. Upah yang
sepadan adalah upah yang sepadan dengan pekerjaannya saja jika akad ijarah-nya
menyebutkan jasa pekerjaannya.
7.7 Perkiraan Gaji Pekerja
Secara alami manusia akan terdorong untuk mencurahkan tenaga untuk menghasilkan
harta yang bisa digunakan untuk menyambung hidupnya. Indinidub yang hidup dalam suatu
masyarakat akan mencurahkan tenaganya dalam rangka menghasilkan harta untuk bisa
langsung dihabiskan dan ditukar, bukan mencurahkan tenaganya untuk sekedar
menghabiskannya secara langsung.
Tidak ada hubungan antara upah seorang pdan nilai suatu barang, termasuk antara upah
seorang pekerja dan beban produksi, dan antara upah seorang pekerja dan taraf hidupnya. Akan
tetapi, upah merupakan fenomena lain yang terpisah. Sebab, upah merupakan kadar yang
barhak dimiliki oleh suatu kegunaan atau jasa yang diperoleh oleh seorang musta’jir dari
kegunaan tersebut.
Jadi, tinggi-rendahnya upah seseorang dalam suatu pekerjaan itu semata-mata
dikembalikan pada tingkat kesempurnaan jasa atau kegunaan tenaga yang mereka berikan
B. Waris
Di antara yang termasuk dalam kategori sebab-sebab kepemilikan harta adalah waris.
Waris adalah salah satu sarana untuk membagikan kekayaan.
Ada tiga kondisi yang menjadi pedoman dalam mendermakan kekayaan dalam masalah waris:
1. Kondisi pertama: jika ahli waris yang ada bisa menghabiskan semua harta
waris yang ditinggalkan mayit-sesuai dengan hukum-hukum waris.
2. Kondisi kedua: jika di sana tidak terdapat ahli waris yang bisa menghabiskan
semua harta waris sesuai dengan hukum-hukum syariah.
Misal : jika si mayit hanya meninggalkan seorang istri, atau si mayid hanya
meninggalkan seorang suami, maka istri yang ditinggalkan hanya berhak mendapatkan
¼ harta pusaka, dan selebihnya siserahkan kepada Baitul mal
3. Jika tidak terdapat ahli waris sama sekali. Dalam kondisi semacam ini, semua
harta pusaka yang ada diserahkan kepada Baitul Mal atau Negara.