Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“SHALAT JUM’AT QS. AL-JUMU’AH AYAT 9-11”


Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur Pada
Mata Kuliah Tafsir Ayat Ahkam Ekonomi 1 Syariah

Disusun oleh Kel 2 :

Allen Boxsix : 1220056


Indria Yulianti Hanafi : 1220064
Milawati : 1220061
Oktavia Putri : 1220042
Rahma Dina : 1220058

Dosen Pengampu :

Rahmad Sani, S. Th. I, M.Ag

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH-B


FAKULTAS SYARI’AH
INSTUTUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BUKITTINGGI
TA.1443 H / 2021 M
KATA PENGANTAR

Puji syukur dengan tulus dipersembahkan atas ke hadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis diberi kesempatan
untuk menyelesaikan makalah yang berjudul “Ibadah Shalat Jumat Q.S Al-
Jumu’ah Ayat 9-11” yang merupakan salah satu tugas dalam mata kuliah Tafsir
Ahkam Ekonomi 1 Syari’ah di semester tiga ini. Shalawat beserta salam
senantiasa selalu terucapkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada dosen pembimbing mata
kuliah tafsir Ahkam Ekonomi 1 Syariah , Bapak Rahmad Sani yang telah
membimbing dan memberikan arahan sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan batas waktu yang telah ditentukan.
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini tidak lepas dari tantangan
dan hambatan. Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis memohon maaf
apabila ada kekurangan dan kesalahan dalam pengetikkan makalah ini. Semoga
makalah ini dapat menambah ilmu dan referensi untuk bersama. Aamiin
Allahumma Aamiin.

Bukittinggi, 28 Oktober 2021

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................2
C. Tujuan....................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
A. QS. AL-Jumu’ah Ayat 9-11 dan Terjemahan........................................3
B. Tafsir QS. AL-Jumu’ah Ayat 9...........................................................3-9
C. Tafsir QS. Al-Jumu’ah Ayat 10........................................................9-10
D. Tafsir QS. AL-Jumu’ah Ayat 11.....................................................10-12

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan..........................................................................................13
B. Kritik dan Saran..............................................................................13-14

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Allah memberikan perhatian yang besar kepada shalat Jumat. Pada
kesempatan itu seluruh kaum muslimin berkumpul di mesjid agung untuk
mendengarkan khutbah seorang khatib yang akan memberi nasehat kepada
mereka, dan mengajak mereka untuk ingat serta taat kepada Allah, dan
mengikuti sunah Nabi-Nya Sallallahu Alaihi wa Sallam.
Shalat adalah penghubung antara seorang hamba dan Tuhannya dan
mempunyai posisi layaknya kepala dalam agama islam. dalam sunnah
disebutkan, ”pangkal segala sesuatu adalah Islam, tiang Islam adalah shalat,
dan puncaknya adalah Jihad Fi Sabilillah”.
Shalat Jum’at pertama kali dikerjakan oleh Rasullah SAW di Madinah,
pada waktu beliau hijrah dari mekah ke Madinah: yaitu ketika tiba di Qubah.
shalat Jum’at yang pertama dilakukan di suatu kampung ‘Amru bin Auf’.
Rasulullah SAW tiba di Qubah pada hari Senin dan berdiam di sini hingga
hari Kamis, selama waktu itu beliau membuat/menegakkan Mesjid buat
Sembahyang kaum Muslimin di Qubah.
Hukum menghadiri shalat Jum’at adalah wajib bagi setiap Muslim, kecuali
empat orang : Budak, Wanita, Anak-anak, dan Orang Sakit, Hal ini
ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam Hadits: Artinya: "shalat jum’at
adalah kewajiban bagi setiap muslim dengan berjamaah, kecuali (tidak
diwajibkan ) atas empat orang yaitu, Budak, Wanita, Anak kecil dan Orang
sakit. ”(HR. Abu Daud) .
Shalat Jum’at shalat fardhu dua raka’at pada hari Jum’at dan di kerjakan
pada waktu Zhuhur sesudah dua khutbah. orang yang telah mengerjakan
shalat Jum’at, tidak diwajibkan mengerjakan shalat Zhuhur lagi. Shalat
Jum’at Fardhu’ ain bagi setiap Muslim yang Mukallaf, laki laki, merdeka,
sehat dan bukan Musafir.

1
B. Rumusan Masalah

1. Apa bunyi dan terjmahan QS. Al-Jumu’ah Ayat 9-11?


2. Apa tafsir dari QS. Al-Jumu’ah Ayat 9?
3. Apa tafsir dari QS. Al-Jumu’ah Ayat 10?
4. Apa tafsir dari QS. Al-Jumu’ah Ayat 11?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui bunyi dan terjmahan QS. Al-Jumu’ah Ayat 9-11


2. Untuk mengetahui tafsir dari QS. Al-Jumu’ah Ayat 9
3. Untuk mengetahui tafsir dari QS. Al-Jumu’ah Ayat 10
4. Untuk mengetahui tafsir dari QS. Al-Jumu’ah Ayat 11

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. QS. Al-Jumu’ah Ayat 9-11 dan Terjemahan

ِِ‫ر اللِّٰه‬
ِ ِ‫سِ اِلِٰىِ ِِْكذ‬
‫َاِفَْاِوع‬ ِ‫ة‬
‫مِع‬ ُ ْ ‫ال‬
ُ َِ ‫ج‬ ِ‫م‬
‫ِِِِّْوي‬ ‫ن‬ ِ ِ‫صل ٰ ِوِة‬
ْ ‫م‬ ّ ‫يِ لِل‬
ِ‫نُِ ِوِْ َد‬ ِ‫اَِا ِذ‬ َ ِٰ‫ا‬
ِ‫مِٓنُِوْا‬ ‫ن‬َ ِِ‫َِِّهاِِيَِآِِٰيِال ّ ْذي‬
‫م‬ ِ‫لِٰ ُِِذ‬
ِْ‫ك‬ ‫َِذ ُوَِرواِ َِْالبعيَِْ َۗۗع‬

٩- ‫ن‬ َ‫َُِِْْول‬
َ ِ‫مِعت‬ ِ‫مِنُِك‬
ِْ‫ُِْت‬ ‫ن‬ ْ ُِ‫خي ْ ٌر لّك‬
ْ ِ ‫مِا‬ َِ

ِ‫َُْاِكِذوُِروا‬ ِِ‫ل اللِّٰه‬ ْ ِ‫ن َف‬


ِ ‫ض‬ ْ ِ‫مو‬
ِ ِ‫ُْاَِِوغتِْ َبا‬ ‫ض‬ ْ
ِ ‫ىِ اِ َلِ ْر‬ ِ‫َِتِِْ َان‬
ِ‫شفُِروْاِ ِِف‬ ِ‫صلٰوُِة‬
ّ ‫ت ال‬ ِ َ ِ‫ا َِِِذ َاِفِ ُِق‬
ِ ِ‫ضي‬

١٠- ‫ن‬
َ ْ ‫حو‬
ُ ِ‫ِِْلُِفت‬ ِِْ‫ل ّ َلُِِعك‬
‫م‬ َ ‫اللِّٰهِ ْيِِ ًث‬
‫رِكِا‬ َ

ِِ‫عنْدَِ اللِّٰه‬
ِ ِ‫ما‬ ْ ِ‫ك َاِقِۤۗاۗى ِٕ ًماِ ۗۗا ُق‬
َ ‫ل‬ َ ِ‫رِ ْكُِو‬
‫َ َتِ َو‬ َِِ‫ا َ ِِِْلهيا‬ ِ‫ضوْٓا‬ َ ۨ ِ‫ْلًَِِاِهو‬
ّ ِ‫انِْف‬ ِ‫ِْا َو‬ ً ‫ارة‬
َ ‫ج‬َ ِ‫ا َِِِذ َاِوَِراَوْاِ ِت‬

١١ - ‫ن‬
َ ْ ‫الر ِزقِِي‬ َ ْ ِ‫َاِوُِلِّٰه‬
ّٰ ‫خيِ ُر‬ ‫ار ِِۗة‬
ِ‫ة‬ َ ‫ج‬َ ِ‫اِّلت‬ َ ِ‫الل ّ ْ ِِِهوِ َِِمو‬
‫ن‬ ‫ن‬
َ ‫م‬
ّ ‫خي ْ ٌر‬
َِ

Terjemahan:
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk
melaksanakan sholat pada hari Jumat, maka segeralah kamu mengingat
Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui. Apabila salat telah dilaksanakan sholat, maka
bertebaranlah kamu di bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah
Allah banyak-banyak agar kamu beruntung. Dan apabila mereka melihat
perdagangan atau permainan, mereka segera menuju kepadanya dan
mereka tinggalkan engkau (Muhammad) sedang berdiri (berkhotbah).
Katakanlah, "Apa yang ada di sisi Allah lebih baik daripada permainan
dan perdagangan," dan Allah pemberi rezeki yang terbaik.”

B. Tafsir QS. Al-Jumu;ah Ayat 9


Mengenai ayat ini dibahas tiga belas masalah :

3
Pertama : ِ‫ة‬
‫مِع‬
ِ‫م‬ ُ ْ ‫ال‬
ُِ َ ‫ج‬
‫ِِّْ ِوي‬ ِ‫ن‬ ِ ِ‫صل ٰ ِوِِة‬
ْ ‫م‬ ّ ‫يِ لِل‬ َ ِ‫ا ُِِْٰٓا‬
ِِ‫منِ َِااِ ِذِ ن ُ ِوِْ َد‬
‫و‬ َ ِِ‫اَِِِٰيِ ال ّ ْذي‬
ِ‫ن‬ ِٓ‫َِِّهاي‬
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada
hari jum’at.”
Abdullah bin Az-Zubair, Al A’masy dan yang lainnya membaca firman
Allah itu dengan sukun huruf mim (Jum’ah), yaknidengan diringankan.1
Kedua qira’ah tersebut (Jumu’ah dan Jum’ah) adalah dua dialek (yang
mengandung makna yang sama). Bentuk jamak dari Jumu’ah atau Jum’ah
adalah Juma’ dan Jumu’aat.
Al-Farra’berkata. “Dikatakan Al-Jumu’ah, Al-Jumu’ah dan Al
Juma’ah, dimana kata tersebut merupakan sifat bagi kata Al Yaum.
Maksudnya, manusia dikumpulkan (pada hari itu). Hal ini sebagaimana
dikatakan : Dhuhakatan lilladzi Yadhhaku ( bahan tertawaaan bagi yang
tertawa).”
Ibnu Abbas berkata, “Al-Qur’an turun dengan membawa lafadzh
yang tebal dan mengandung penekanan pada suku katanya (tafkhiim).
Oleh karena itu bacalah lafazh itu dengan : ِ‫معَة‬
ُ ‫ج‬
ُ , yakni dengan dhammah
huruf mim”
Al-Darra’ dan Abu Ubaid berkata, “Qira’ah yang ringan (Jum’ah)
adalah yang lebih sesuai dengan aturan dalam ilmu sharaf dan lebih baik,
seperti Ghurfah dan Ghuraf, thurfah dan Thuraf, Hujrah dan Hujar,
Qira’ah dengan mendhamahkan huruf mim (Jumu’ah) adalah dialek Bani
Uqail.
Menurut satu pendapat, Jumu’ah adalah dialek Nabi Saw.,
diriwayatkan dari Salman bahwa Nabi Saw. bersabda, “Sesungguhnya hari
itu dinamakan dengan hari Jum’at karena sesungguhnya pada hari itulah
Allah menghimpun penciptaan Adam.”Menurut satu penda[at, (hari itu
dinamakan dengan hari Jum’at), karena pada hari itulah Allah selesai
menciptakan setiap sesuatu, lalu makhluk berkumpul pada hari itu.2

1 Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin farah al-Qurthubi, Terjemahan Al-jami’ li
Ahkam Al-Qur’an Jilid 18, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), hlm. 466.
2 Ibid., hlm. 467.

4
Menurut pendapat yang lain, (hari itu dinamakan dengan hari
Jum’at, karena berjam’ah (segala sesuatu) berkumpul pada hari itu.
Menurut pendapat yang lain, karena manusia berkumpul pada hari
itu menunaikan shalat.
Kedua : Abu Salamah berkata, “Orang yang pertama kali
mengatakan Amma Ba’du adalah ka’ab bin Luay, dan dia pula yan
pertama kali menamakan hari Jum’at dengan Jum’at. Sebab pada masa
yang lalu hari Jum’at adalah orang-orang Anshar.3
Menurut satu pendapat, sesungguhnya orang yang pertama kali
menamakan dengan Jum;at adalah Ka’ab bin Luay bin Thalib, karena
berkumpulnya orang-orang Quraisy di tempatnya.4
Ketiga : Allah mengkhitabi orang-orang yang beriman dengan
Jum’at sebagai suatu kemuliaan dan penghormatan bagi mereka, Allah
berfirman, “Hai orang-orang beriman.” Selanjutnya, Allah
mengkhususkan (perintah) itu dengan Nidaa (seruan), meskipun ia
termasuk ke dalam keumuman firman Allah Ta’ala, “Dan apabila kamu
menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang.” (QS. Al-maidah:
58), dimana tujuannya adalah untuk menunjukkan kewajiban perintah
tersebut dan memastikan keharusannya.
Sebagian ulama berkata, “Keberadaan shalat Jum’at di sini
diketahui dari ijma, bukan dari lafazh (ayat).
Ibnu Al Arabi berkata, “Menurut saya, keberadaan shalat Jum’at di
sini diketahui dari lafazh (ayat ini), yaitu firmanNya: “Pada hari Jum’at.”
Lafazh itu menunjukkan akan keberadaan shalat Jum’at itu. Sebab seruan
yang dikhususkan untuk hari (Jum’at) itu adalah seruan untuk menunaikan
shalat.
Adapun seruan yang lainnya. Itu merupakan seruan yang umum
untuk semua hari. Seandainya yang dimaksud dari seruan itu bukanlah

3 Ibid., hlm. 468.


4 Ibid., hlm. 474.

5
seruan untuk menunaikan shalat Jum’at, maka tidak ada guna dan manfaat
dari pengkhususan seruan itu, dan pengidhafatannya kepada hari jum’at.”
Keempat ; Hukum adzan tekah dijelaskan secara lengkap dalam
suah Al-maidah.
Adzan untuk shalat jum’at pada masa rasulullah Saw. sebagaimana
adzan untuk semua shalat lainya dikumandangkan oleh seseorang ketika
Nabi Saw. duduk di atas mimbar.5 Demikian pula yang dilakukan oleh
Abu Bakar, Umar, dan Ali di Kufah.
Kelima : Firman Allah Ta’ala ِِ‫رِ اللِّٰه‬
ِ ِ‫سِ اِلِٰىِ ِِْكذ‬
‫َاِفَِْاِوع‬ “Maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah.” Terjadi beda pendapat
‫َاِفَْاِوع‬
tenang maknaِ‫س‬ ;
1. Al-Hasan berkata, “Demi Allah, As-Say’i itu bukanlah bersegera
dengan telapak kaki, akan tetapi bersegera dengan hati dan niat.
2. Yang dimaksud dengan As-Say’i adalah Al ‘Amal (perbuatan)
3. Yang dimaksud dengan As-Say’i adalah berusaha untuk melakukan,
dimana hal itu merupakan sebuah keutamaan dan bukan merupakan
syarat.

Keenam : Firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang beriman, “


merupakan khitab (pesan) kepada orang-orang yang mukallaf.6 Hal ini
berdasarkan kepada ijma. Dikecualikan dari orang-orang yang mukhallaf
adalah orang yang sakit, hamba sahaya, dan kaum perempuan berdasarkan
dalil, serta orang buta dan orang yang sudah tua dan tidak dapat berjalan
kecuali dengan dipapah, demikian menutur Abu Hanifah.

Ketujuh : Firman Allah Ta’ala “Apabila diseru untuk menunaikan


shalat,” mengkhususkan kewajiban Jum;at kepada orang dekat yang dapat
mendengar suara adzan. Adapun orang yang jauh rumahnya dan tidak
dapat mendengar suara adzan. Adapun orang yang jauh rumahnya dan

5 Ibid., hlm. 475.


6 Ibid., hlm. 483.

6
tidak dapat mendengan suara adzan, maka dia tidak termasuk ke dalam
khitab itu.7

Dalam hadist shahih yang diriwayatkan dari Aisyah, dinyatakan


bahwa orang-orang sering menghadiri shalat jumat dari rumah-rumah
mereka dan juga dari awali (tempat-tempat yang berada do atas kota
Madinah). Merekan datang dalam (terpaan) debu dan mereka pun terkena
debu, sehingga keluarlah bau yang tidak sedap dari tubuh mereka.

Ahmad bin Hambal dan Ishak berpendapat bahwa shalat Jumat


wajib kepada orang yang dapat mendengar suar adzan.8

Abu hanifah dan para sahabatnya berpendapat bahwa shalat Jum’at


diwajibkan kepada orang yang berada di dalam kota, apakah dia dapat
mendengar suara adzan atau pun tidak.

Diriwayatkan dari Rabi’ah, bahwa shakat Jum’at itu diwajibkan


kepada orang yang dapat mendengar suara adazan dan keluar dari
rumahnya dengan berjalan kaki, kemudian dia bisa mendapati shalat.

Diriwayatkan dari Az-Zuhri, bahwa shalat Jum’at diwajibkan


kepada seseorang, jika dapat mendegar suara adzan.

Kedelapan : Diriwayatkan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq dan


Ahmad bin Hnbal, bahwa shalat Jum’at boleh ditunaikan sebelum
matahari tergelincir ke barat.9 Dalam hal ini, Imam Ahmad berpegang
kepada hadist Salamah bin Al Akwa’ “Kami pernah menunaikan shakat
(Jum’at) bersama Nabi Saw. kemudian kami pulang, dan saat itu pagar
belum mempunyai bayangan.”

Kesembilan : Allah mewajibkan shkat Jum’at kepda setiap


muslim. Hal ini merupakan bantahan kepada sebagian orang yang

7 Ibid., hlm. 484.


8 Ibid., hlm. 485.
9 Ibid., hlm. 487.

7
mengatakan bahea shalat Jum’at itu fardhu kifayah. Pendapat itu
diriwayatkan dari sebagian penganut madzhab Asy-Syafi’i.10

Kesepuluh : Allah mewajibkan pergi menunaikan shalt Jum’at


secara mutlak, tanpa ada syarat. Walaupun begitu, Al-Qur’an dan Sunnah
telah mensyaratkan wudhu untuk semua shalat. (QS. Al maidah : 6,
“Apabila kamu hendak shalat, maka basuhlah mukamu.”)11

Kesebelas : kewajiban shalat Jum’at tidak gugur meskipun ia


terjadi pada hari raya idul fitri ataupun idul adha. Hal itu bersebrangan
dengan pendapat Ahmad bin Hambal. Ahmad bin Hambal berkata,
“Apabila hari raya idul fitri atau adha berbarengan dengan hari Jum’at,
maka kewajiban shalat Jum’at gugur, sebab hari raya lebih dulu terjadi
daripada kewajiban Jum’at, dan orang-orang pun masih sibuk berhari
raya,”12

Basyir bin Nu;man berkata, “ Apabila hari raya bertepatan dengan


hari Jum’at, maka beliau pun membaca kedua surah itu pada kedua shalat
(shalat hari raya dan shalat jum’at).13

Kedua belas : Firman Allah Ta’la, “ Maka bersegeralah kamu


kepada mengingat Allah. “ Maksudnya, shalat.

Menurut satu pendapat, yang dimaksud adalah khutbah dan


nasihat-nasihat. Pendapat ini dikemukakan oleh Sa’id bin Jubair.

Ibny al Arabi berkata, “Pendapat yang shahih adalah bahwa hal itu
wajib untuk semuanya (shalat, khutbah, nasihat, dan lain-lain). Ynag
pertama adalah khutbah. Itulah yang dikemukakan oleh para ilama kini
(madzhab maliki), kecuali Abdil malik bin Al Majisyun, sebab dia menilai
bahwa khutbah itu sunnah. Dalil yang menunjukkan bahwa khutbah itu

10 Ibid., hlm. 489.


11 Ibid., hlm. 491.
12 Ibid., hlm. 493.
13 Ibid., hlm. 494.

8
wajib adalah bahwa khutbah dapat mengharamkan jual beli. Seandainya
khutbah itu tidak wajib, maka ia tidak akan mengahramkan jual beli.
Sebab sesuatu yang disunnahkan itu tidak dapat mengahramkan sesuatu
yang mubah.

Ketida belas : Firman Allah Ta’ala, ‫َوذَ ُرواۗۗ الْ َب ْي َۗع‬ “Dan
tinggalkanlah jual beli”. Allahmengharamkan jual beli pada waktu Jum’at
atas siapa saja yang dikhithabi dengan kewajiban shalat Jum’at. Allah
mengkhususkan (larangan) pada jual- beli, sebab jual-beli merupakan
aktivitas yang sering menyibukkan orang-orang pasar.

Adapun mengenai waktu diharamkannya melakukan jual-beli ,


dalam hal ini ada dua pendapat;

1. Waktu diharamkannya melakukan jual-beli adalah setelah matahari


tergelincir sampai selesai shalat Jum’at. Pedapat ini dikemukakan oleh
Adh-Dhahak, Al-hasan dan Atha’.
2. Waktu diharamkannya melakukan transaksi jual-beli dimulai dari
waktu adzan khutbah sampai waktu shalat. Demikianlah pendapat
yang dikemukakan ileh Asy-Syafi’i.

Adapaun madzhab Maliki, seseorang diwajibkan untuk


meninggalkan jual-beli jika diseru untuk menunaikan shalat Jum’at.14

C. Tafsir QS. Al-Jumu’ah Ayat 10


Firman Allah Ta’ala, ِ‫ى‬ ِ‫َِ ِتِْ َنا‬
ِ‫شفُِروْاِ ِِف‬ ِ‫صلٰوُِة‬
ّ ‫ت ال‬ ِ َ ِ‫َِاِِِذ َاِفِ ُق‬
ِ ِ‫ضي‬ “Apabila
telah ditunaikan shalat, mala bertebaranlah kamu dimuka bumi.” Perintah
ini merupakan perintah yang menunjukkan hukum boleh (bukan wajib),
serperti firman Allah ta’ala, “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah
haji, maka bolehlah berburu.” (Q.S Al-Maidah : 2).

14 Ibid., hlm. 496.

9
Pada ayat diatas, Allah berfirman : Apabila kalian selesai menunaikan
shalat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi untuk berniaga dan
memenuhi kebutuhan kalian.
“Dan carilah karunia Allah.” Dan carilah karunia Allah.” Maksudnya,
rezeki-Nya.
Ja’far bin Muhammad berkata tentang firman Allah Ta’ala, “Dan
carilah karunia Allah.” Dia berkata, “Sesungguhnya yang dimaksud dari
firman Allah itu adlah bekerja pada hari sabtu.”15
Diriwayatkan dari Al hasan in said bin Al Musayyib, bahwa yang
dimaksud dari firman Allah tersebut adalah mencari ilmu.
Menurut satu pendapat yang dimaksud dari firman Allah tersebut
adalah shalat sunnah.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas : “Mereka tidak diperintahkan
untuk mencari sesuatu dari dunia. Sesungguhnya yang dimaksud dari
firman Allah itu adlah menjenguk orang yang sakit, menghadiri jenazah
pemakaman dan mengunjungi saudara di jalan Allah.”

D. Tafsir QS. Al-Jumu’ah Ayat 11


Pertama : Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah (orang)
yang karenanya shalat Jum’at jadi dilangsungkan. Dalam hal ini ada
beberapa pendapat:
Al hasan berkata, “Shalat jum’at bisa dilangsungkan dengan dua
orang.’
Laits dan Abu Yusuf berkata, “Sahalat jum’at bida dilangsungkan
dengan tiga orang.”
Sufyan Ats-tsauri dan Abu hanifah berkata, “sahalat jum’at bisa
dilangsungkan dengan empat orang.
Rabi’ah berkata, “Sahalat Jum’at bisa dilangsungkan dengan dua
belas orang.”16

15 Ibid., hlm. 499.


16 Ibid., hlm. 506.

10
Asy-Syafi’i berkata, “Shalat Jum’at bisa dilaksanakan dengan
empat puluh orang.”17
Kedua : Shalat Jum’at sah tanpa izin imam (pemimpin) dan
kehadirannya. Namun Abu Hanifah berkata, “Di antara syarat wajib shalat
jum’at adalah imam (pemimpin) atau wakilnya.18
Ketiga : Para ulama (madzab maliki) berkata, “ Di antara syarat
untuk menunaikan shalat Jum’at adalah masjid yang beratap.”
Keempat : Firman Allah, “Dan mereka tinggalkan kamu sedang
berdiri (berkhutbah).” Firman Allah ini mensyaratkan khatib di atas
mimbar saat menyampaikan khutbah.19
Kelima : Khutbah merupakan syarat inqaad (jadi/sah) Jum’at,
dimana shalat jum’at tidak akan sah kecuali dengan keberadaannya, Ini
adalah pendapat mayoritas ulama.
Said bin Jubair berkata, “Khutbah itu sama dengan dua rakaat
shalat zuhur. Jika seseorang meninggalkannya da melaksanakan shalat
Jum’at, maka sesungguhnya dia telah meninggalkan dua rakaat salat
zuhur.”20
Keenam : Khatib berkhutbah dengan bersandar pada busur atau
tongkat.
Ketujuh : Menurut Asy-Syafi’i dan yang lainnya, khatib harus
mengucapkan salam kepda orang-orang jika ia naik keatas mimbar.
Namun imam malik tidak berpendapat demikian. Ibnu majah
meriwayatkan dari haidts Jabir bin Abdillah, bahwa apabila nabi Saw. naik
ke atas mimbar, beliau mengucapkan salam.
Kedelapan : Jika khatib berkhutbah dalam keadaan tidak suci, aka
sang khatib telah melakukan kesalahan menurut imam malik. Namun ia
tidak wajib mengulang jika dia shalat dalam keadaan yang suci. Adapu
imam Asy-Syafi’i, dia mempunyai pendapat tentang kewajiban bersuci/

17 Ibid., hlm. 507.


18 Ibid., hlm. 511.
19 Ibid., hlm. 512.
20 Ibid., hlm. 514.

11
berwhudu. Dia mensyaratkan kesucian dalam qaul jadid, namun tidak
mensyaratkan dalam qaul qadim.
Kesembilan : Hal yang paling minimal dalam khutbah adalah
memuji Allah, membacakan shalawat kepada Nabi-Nya, berwasiat agar
bertakwa kepada Allah, dan membacakan ayat Al-Qur’an.21
Kesepuluh : Diam untuk menyimak khutbah itu wajib bagi orang
yang dapat mendengarnya. Hal ini berdasarkan kepada sunnah. Sunnah
juga mewajibkan diam untuk menyimaknya, baik kepada orang yang dapat
mendengarnya maupun yang tidak dapat mendengarnya.22
Kesebelas : orang-orang menghadap imam jika naik ke atas
mimbar.23

A.

21 Ibid., hlm. 515.


22 Ibid., hlm. 520.
23 Ibid., hlm. 521.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Para Ulama sepakat bahwa shalat Jum’at adalah fardu ain atas setiap
orang Mukallaf, mereka menyalahkan orang yang berpendapat bahwa
shalat Jum’at adalah fardu kifayah. shalat Jum’at juga tidak di
wajibkan bagi orang buta jika tidak ada orang yang menuntunnya.
2. Demikian menurut kesepakatan empat Imam Mazhab jika ia mendapati
orang yang menuntunnya maka ia wajib shalat Jum’at. Demikian
pendapat Maliki, Syafi’i, Hambali. sementara itu Hanafi berpendapat
tidak di wajibkan. Orang yang berada di luar kota, di suatu tempat
yang tidak diwajibkan shalat Jum’at baginya, tetapi ia mendengar azan,
maka ia wajib menghadirinya, demikian pendapat Maliki, Syafi’i dan
Hambali, sementara pendapat Imam Hanafi orang yang berdiam di luar
kota, tidak wajib shalat Jum’at meskipun dia mendengar azan.
3. Ada beberapa keadaan yang menjadikan seseorang yang mestinya
berkewajiban menunaikan shalat Jum’at, tetapi di perbolehkan untuk
tidak menghadiri Jum’atan ( shalat Jum’at ), yaitu : Hujan yang lebat,
angin kencang, dan banjir yang menyebabkan orang sulit keluar rumah
menuju mesjid.
4. Dan hal-hal lain yang dapat menjadi uzur (halangan) seseorang untuk
tidak menunaikan shalat Jum’at di antaranya : 1. Sedang dalam
perjalanan (Safar). 2. Sakit yang memberatkan untuk pergi ke mesjid.
3. Menahan keluarnya sesuatu dari dua jalan (qubul dan dubur). 4.
Menghawatirkan keselamatan dirinya (ketakutan yang mencekam). 5.
Sedang di tugasi untuk menjaga pengoperasian alat-alat berharga.
B. Saran dan Kritik
Demikanlah makalah ini dapat kami susun dan ketik, kami sadar
bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya. Jika ada kesalahan dan

13
kekurangan kami memohon maaf dikarenakan keterbatasan ilmu
pengetahuan yang kami dapatkan. Oleh karena itu, kami membutuhkan
saran dan kritik untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga ilmu dan
materi di dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

14
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin farah al-Qurthubi, Terjemahan
Al-jami’ li Ahkam Al-Qur’an Jilid 18, (Beirut: Dar al-Fikr, tt),

Abu Daud, Shahih Sunan Abu Daud, (Mesir : Sirkah Mustafa Al- Bab Al-
Halabi 1952),

Abdul Rahman Al Jaziri, Fiqih Empat Mazhab, (Semarang: Asy-Syfa,


1996).

15

Anda mungkin juga menyukai