Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH PENGANTAR STUDI ISLAM

ISLAM DAN ISU KONTEMPORER ISLAM

DAN LINGKUNGAN/EKOLOGI

Dosen Pengampu : Bapak Dr. Abdul Hopid, S.Pd.I, M.Ag.

Disusun Oleh:

Zaenul Haq Al Ansori (20106030059)


Arvena Rizki Amalia (20106030060)
Karima Mumtaz Firdausi (20106030061)

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2020
A. Islam Kontemporer
Pemikiran Islam Kontemporer adalah Pemikiran Islam yang berkembang pada
masa modern (Abad ke-19) hingga sampai saat ini. Ciri dari Islam Kontemporer yaitu
berkembangnya metode pemikiran baru dalam menafsirkan Al-Qur’an dan peradaban
Islam. Pemikiran Islam kontemporer, secara morfologi kata pemikiran adalah kata jadian
yang berakar dari kata “pikir” yang berarti pendayagunaan akal untuk
mempertimbangkan dan atau memperhatikan. tujuh kata kontenporer secara leksikal
berarti pada masa atau semasa/sezaman atau pada waktu yang sama. Isu Kontemporer
Islam adalah suatu gagasan untuk mengkaji Islam yang telah terpengaruh oleh
modernisasi guna memberikan solusi bagi dimensi kehidupan lampau sampai saat ini.

B. Makna Ekologi dan Kondisi Ekologi Saat Ini


Berbicara tentang ekologi, ekologi berasal dari kata Yunani yang berarti; Oikos
dan Logos. Oikos artinya: tempat tinggal dengan segala penghuninya, sementara Logos
artinya: ajaran, pengetahuan dan ilmu. Ekologi secara bahasa (etimologi) berarti
pengetahuan tentang cara mengatur tempat tinggal. Adapun secara istilah (terminologi)
ekologi adalah ilmu yang mempelajari makhluk-makhluk yang hidup, bukan sebagai
satuan-satuan yang tersendiri, tetapi sebagai anggotaanggota dari suatu rangkaian yang
pelik dari makhluk-makhluk hidup (organisme) yang saling berinteraksi atau
berhubungan, dimana masing-masing mempunyai fungsi dan peran, dalam suatu
lingkungan hidup. Tiga difinisi ekologi tersebut, pertamakali disampaikan oleh Ernest
Haeckal (Zologian asal Jerman). Dengan demikian, ekologi suatu studi mengenai pola
ruang hidup fungsional yang timbul dan berubah melalui interaksi ekologi.
Dalam arti lain, ekologi adalah hubungan interaksi dan interpendensi antara
makhluk hidup, sesamanya dan dengan lingkungan geofisik kimianya. Sehingga alam
disiplin ekologi terdapat segmentasi kajian antara lain, peranan dan perilaku manusia
akan dipelajari secara khusus dalam ekologi manusia, begitu juga dengan binatang dan
tumbuh-tumbuhan akan dikaji dalam segmen kajian ekologi secara khusus sesuai ruang
lingkupnya.
Meningkatnya krisis ekologi global dewasa ini, telah menjadi sentral isu dunia.
Dampak kerusakan lingkungan telah lama dirasakan penduduk di berbagai belahan
negara di dunia, tidak hanya negara maju, negara berkembang dan miskin pun ikut
merasakan hal serupa. Adanya ancaman akan datangnya bahaya dan bencana yang
sewaktuwaktu bisa “meluluhlantahkan” perdaban manusia akan sangat sulit dibendung
oleh keserakahan manusia. Hal itu terjadi akibat kerusakan lingkungan, eksploitasi alam
yang kelewat batas, serta penggunaan teknologi yang tidak ramah lingkungan, ditambah
lagi dengan faktor alam itu sendiri yang selalu dieksploitasi.
Kurangnya kesadaran dan pemahaman seseorang tentang masalah lingkungan
hidup menjadi penyebab pokok juga dalam kerusakan lingkungan, selain banyak faktor
utama yang mengakibatkan hal itu. Padahal dalam al-Qur’an sudah memberikan
peringatan keras untuk tidak melakukan kerusakan di muka bumi ini. Bahkan, manusia
menjadi khalifah di bumi, sebagaimana termakdum dalam QS. Al-Baqarah (2): 30.

C. Islam dan Etika Pemanfaatan Ekologi


Krisis ekologis merupakan dampak dari pengerukan kekayaan alam yang
berkepanjangan. Dan bencana dapat terjadi dari krisis ekologis yang sangat akut. Padahal,
kerusakan atas alam sangat kontras dengan ajaran Islam. Sebagai salah satu agama
samawi, Islam memiliki peran besar dalam rangka mencegah dan menanggulangi krisis
tersebut. Di dalam al-Qur’an dijelaskan dalam surat Ar-Rum (30): 41, sebagai berikut

َ‫ْض الَّ ِذيْ َع ِملُوْ ا لَ َعلَّهُ ْم يَرْ ِجعُوْ ن‬ ْ َ‫ظَهَ َر ْالفَ َسا ُد فِى ْالبَ ِّر َو ْالبَحْ ِر بِ َما َك َسب‬
ِ َّ‫ت اَ ْي ِدى الن‬
َ ‫اس لِيُ ِذ ْيقَهُ ْم بَع‬

Artinya: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena


perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Konsep lingkungan sendiri dalam al-Qur’an terdapat banyak terminologi.
Disebutkan beberapa term yang dapat mewakili terkait ekologi dan bencanan perspektif
agama (al-Qur’an).
1. Kata atau term al-‘alamin disebutkan dalam al-Qur’an 71 kali baik dalam
berbagai bentuk kata (frasa, gabungan kata). dalam hal ini terdapat dua
makna kata al-‘alamin, ada yang bermakna alam secara keseluruhan dan
hanya ditujukan kepada manusia. Adapun jumlah kata yang berkonotasi
alam secara keseluruhan sebanyak 46 kata, sedangkan yang berkonotasi
manusia diulang dalam al-Qur’an sebanyak 25 kali.
2. Kata al-sama` yang digunakan untuk memperkenalkan jagad raya. kata ini
dan derivasinya digunakan dalam al-Qur’an sebanyak 387 kali. Dari
sekian kata itu, Mujiyono melakukan klasifikasi makan yang dibaginya
dalam makna jagad raya, ruang udara, dan. ruang angkasa.
3. Kata al-ardh yang digunakan dalam al-Qur’an sebanyak 483 atau 461 kali.
Kata ini disebut dalam bentuk mufrad (tunggal) saja dan tidak pernah
muncul di dalam bentuk jamak.
4. Kata al-biah yang digunakan untuk memperkenalkan istilah lingkungan
sebagai ruang kehidupan. Secara kuantitatif, kata ini terdapat sebanyak 18
kali.
5. Kata ma’a (‫)ماء‬yang terulang dalam al-Qur’an sebanyak 63 kali dalam 41
surah. Kata ini memliki arti benca cair atau air. Dan disebutkan hanya
dalam bentuk mufrad saja, tidak ada dalam bentuk jamak. Adapun
maknanya tidk hanya berarti air, ada yang dikaitkan dengan proses
penciptaan alam semesta (sop kosmos atau zat cair) QS. Hud: 7; ada yang
bermakna ‘sperma’ seperti dalam QS. al-Furqan: 54, alSajadah: 8, al-
Mursalat: 20, a-T{ari>q: 6 yang menginformasikan tentang pnciptaan
manusia; ada juga makna ma`a untuk penghuni neraka dan surga, seperti
dalam QS. Ibrahim: 16 dan QS. Muhammad: 15. (536-537).
6. Kata khail (‫ )خیل‬yang berarti kuda disebut lima kali di dalam alQur’an,
yaitu QS. Ali -Imran: 14, al-Anfal: 60, al-Nahl: 8, al-Isra`: 64, dan al-
Hasyr: 6. Makna dalam surat pertama berkaitan dengan konteks
pembicaraan mengenai bentu-bentuk kesenangan hidup duniawi. Surah
yag kedua dalam konteks persiapan menghadapi musuh dalam
peperangan. QS al-Isra: 64 berkaitan dengan permusuhan dan godaan
setan terhadap manusia, sedangkan al-Hasyr: 6 berkaitan dengan harta
rampasan.(448-449).
7. Kata khardal (‫ردل‬w‫ )خ‬yang berarti tumbuh-tumbuhan yang berbiji hitam
atau biji sawi. Term ini terdapat dua tempat dalam al-Qur’an, yakni QS al-
Anbiya`: 47 dan Luqman: 16. Kedua suarat atau ayat tersebut, kata
khardal hanya sebagai sebuah gambaran tentang keadilan Tuhan dan
Nasehat Lukman tentang amal perbuatan baik.
8. Term ma’in (‫ )معین‬yang memilik arti air (sungai) yang mengalir disebutkan
sebanyak empat kali dalam QS. al-Mu`minun: 50, alSaffat: 45, al-
Waqi’ah: 18 dan al-Mulk: 30. Surat pertama dan terakhir kata ma’in
bermakna sungai dalam konteks pembicaraan duniawi, sedangkan sisanya
dalam konteks ukhrawi.
9. Kata nahar (‫)نھر‬y ang terdapat 113 kali dengan berbagai bentuknya dalam
al-Qur’an. Kata ini memilki banyak makna, ada yang berarti ‘siang’seperti
dalam QS. al-Muzammil: 7, nahar berarti mencegah atau menghardik
seperti dalam QS. al-Isra`: 23, nahar dengan arti sungai terdapat dalam
QS. al-Baqaah: 249..
10. Kata nahl (‫)نحل‬yang berarti lebah yang menjadi salah satu nama surat.
Kata nahl dengan bentuk ini dan dengan arti lebah hanya terdapat satu
dalam al-Qur’an, yakni QS. al-Nahl: 68
11. Kata naml menjadi nama binatang berikutnya yang menjadi nama surat
dalam al-Qur’an. Kata al-Naml adalah bentuk jamak dari alNamlah. Kata
al-Namlah dengan segala derivasinya disebut sebanyak empat kali dalam
al-Qur’an, tetai yang bermakna semut hanya tiga, yakni QS. al-Naml: 18.
12. Jenis binatang yang disebutkan dalam al-Qur’an adalah bighal (‫ال‬ww‫)بغ‬
bentuk jamak dari baghlun yang berarti binatang yang lahir dari
perkawinan antara keledai dengan kuda. Kata ini hanya terdapat dalam
QS. al-Nahl: 8.
13. Kata dabbah yang terdapat sebnnyak delapan belas kali. Yang
dikemukakan dalam bentuk ism mufrad (dabbah) sebanyak 14 kali, dan
empat kali dalam bentuk jama’ taksir (al-Dawwab). Kata ini meliputi tiga
cakupan makna, 1) khusus hewan, sperti QS. Al-Baqarah: 164 dan Al-
An’am : 38 yang bermakna semua jenis hewan. 2) ditujukan kepada
hewan dan mansia QS. al-Nahl: 49. 3) kata dabbah yang ditujukan kepada
hewan, manusia dan jin, seperti dalam QS. Hud: 6.
14. Kata fakihah (‫ )فاكھة‬yang secara kebahasaan berarti baik dan senang.
Kemudian kata ini diartikan sebagai buah-buahan yang lezat dan nikmat
rasanya. Kata ini dalam bentuk mufrad, disebutkan daam alQur’an
sebanyak 11 kali. Penyebutan itu ada yang digunakan untuk menerangkan
gambaran sebagian nikmat surga, sebagai tanda kekuasaan Allah
menumbuhkan pohon yang enghadilkan buahbuahan. Adapun daam
bentuk jamak (fawakih) disebutkan sebanyak tiga kali; QS. al-Mu’minun:
19 menerangkan manfaat air bagi manusia yang dapat menghasilkan
berbagai macam buah-buahan; Al-Mursalat: 42 dan Al-Baqarah: 25 yang
digunakan untuk menggambarkan pahala dan balasan kenikmatan surga.
15. Kata ghaur (‫ )غور‬yang berarti kekeringan yang disebut dalam alQur’an
dengan segala derivasinya sebanyak lima kali, misalnya dalam QS. al-
Kahi: 41 yang menggambarkan betapa sebuah kebun airnya menjadi
kering sehingga tidak seorang pun yang dapat menemukannya lagi. Begitu
juga dalam QS al-Mulk: 30.
16. Kata syajarah yang terapat dalam Surat Al-Baqarah (02):35, Surat Al-
A’raf (07):19-20, dan Surat Thaha (20):120

Dengan enam belas kata ‘kunci’ itu, setidaknya dapat sedikit mendeskripsikan
bahwa al-Qur’an telah merespon masalah lingkungan sebelum teori ekologi itu lahir.
Berangkat dari itu, perlu merumuskan ‘Agama Hijau’ sebagai sebuah upaya ikhtiar untuk
mengurangi krisi ekologis yang terjadi saat ini.

Menurut Ibrahim Abdul-Matin ‘Agama Hijau’ (greendeen) adalah agama yang


menuntut manusia untuk menerapkan Islam seraya menegaskan hubungan integral antara
keimanan dan lingkungan (seluruh semesta). ‘Agama Hijau’ (greendeen) dibangun atas
enam prinsip yang saling berkaitan. Prinsip pertama, memahami kesatuan Tuhan dan
ciptaan-Nya (tauhid). Hidup dengan cara ‘Agama Hijau’ (greendeen) berarti memahami
bahwa segala sesuatu berasal dari Allah.

Prinsip kedua, melihat tanda-tanda (ayat) Tuhan di seluruh semesta. Hidup


mengikuti prinsip ‘Agama Hijau’ (greendeen) berarti melihat segala sesuatu di alam ini
sebagai tanda (ayat) keagungan Sang Pencipta. Prinsip ketiga, menjadi penjaga (khalifah)
bumi. Dengan prinsip ini berarti memahami bahwa manusia harus melakukan apa pun
untuk menjaga, melindungi, dan mengelola semua karunia yang terkandung di dalam
alam.

Prinsip keempat, menghargai dan menunaikan kepercayaan (amanah) yang


diberikan Tuhan kepada umat manusia untuk menjadi pelindung planet ini. Mengikuti
prinsip ‘Agama Hijau’ (greendeen) berarti mengetahui bahwa manusia dipercaya oleh
Tuhan untuk bertindak sebagai pelindung alam. Prinsip kelima, memperjuangkan
keadilan (‘adl).Orang yang ingin hidup mengikuti prinsip ‘Agama Hijau’ (greendeen)
harus memahami bahwa masyarakat yang tidak memiliki kekuatan politik dan ekonomi
sering kali harus menanggung efek negatif pencemaran dan kerusakan lingkungan.

Prinsip keenam, dan hidup selaras dengan alam (mizan). Segala sesuatu
diciptakan dalam keseimbangan yang sempurna (mizan). Upaya menghormati
keseimbangan itu dapat berupa memandang bumi sebagai masjid.Tatanan hukum dan
aturan dalam Islam bertujuan untuk menjaga keseimbangan ini.Prinsip-prinsip itu adalah
panduan yang menuntun untuk melestarikan lingkungan (alam) berdasarkan inspirasi
‘Agama Hijau’ (greendeen).

Dengan prinsip-prinsip ‘Agama Hijau’ (greendeen) di atas membuktikan bahwa


al-Qur’an mengajarkan cinta yang mendalam kepada alam. Sebab, mencintai alam berarti
mencintai diri kita dan mencintai Sang Pencipta. Hal itu membuktikan bahwa al-Qur’an
mengajarkan adanya kesesuaian antara jalan ruhani dan ilmiah. Enam prinsip itu juga
dapat menjadi pondasi dalam mencegah krisis lingkungan yang berlandaskan Al-Qur’an.

D. Tokoh Muslim Terhadap Masalah Ekologi


Islam memandang manusia sebagai wakil Allah (al Khalifah) Allah SWT di atas
bumi dan secara eksplisit Al Quran menegaskan, “Sesungguhnya aku hendak menjadikan
seorang wakil (khalifah) di muka bumi” (QS Al-Baqarah :30). Lebih jauh lagi, kualitas
perwakilan ini disempurnakan dengan kualitas kehambaan (al-ubudiyah) kepada Allah.
Manusia adalah hamba Allah (‘abd Allah) dan karenanya harus menaati-Nya. Sebagai
‘abd Allah, ia harus pasif kepada Allah dan menerima berkah dan karunia yang mengalir
dari dunia atas. Sebagai khalifah Allah manusia harus aktif di dunia, memelihara
keharmonisan alam dan menyebarluaskan berkah dan karunia.
Salah satu tokoh di Indonesia yaitu Kyai Tantowi merupakan tokoh muslim yang
sibuk mengurus permasalahan lingkungan yang kian terancam akibat ulah manusia. Kyai
Tantowi Jauhari Musaddad berasal dari Garut, Jawa Barat yang termasuk dalam ulama
yang langka di Indonesia. Pemikirannya mengenai alam dan lingkungan hidup menjadi
kesibukannya tersendiri. Menurut Kiai Tantowi, “Alam kini sedang menggeliat sehingga
sering kali menimbulkan bencana, baik gempa, banjir, tanah longsor, angin topan, dlsb.
Alam marah karena tingkah laku manusianya yang sudah berada di ambang batas normal.
Maksiat, korupsi, penebangan liar, industrialisasi tanpa wawasan lingkungan, dan
perbuatan buruk lainnya manusia telah membuat alam ini murka”. Oleh karena itu,
masyarakat harus menjaga lingkungan hidup secara Islami dengan mengamalkan ajaran-
ajaran Islam dan perintah di dalam Al-Qur’an yang menekankan pentingnya menjaga
lingkungan hidup dan merawat alam semesta, serta menghindari perbuatan yang
berpotensi dapat merusak alam dan lingkungan.

Kiai Tantowi dan para ulama Garut juga memfatwakan bahwa penanaman pohon
untuk penghijauan, pelestarian lingkungan dan pencegahan banjir merupakan salah satu
bentuk shadaqah jariyah  yang akan mendapatkan limpahan pahala dari Tuhan. Mereka
juga menyerukan bahwa pelestarian lingkungan merupakan salah satu wahana mendapat
ampunan dari Allah SWT. 

E. Peran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Terhadap Kelestarian Lingkungan


Mengenai konsepsi teknologi dalam ajaran Islam menurut Marwah Daud Ibrahim
(mengutip pernyataan Ghulsyani:62) bahwa Al-Quran sesungguhnya memberikan etika
dan tujuan pengembangan IPTEK yang secara sistematis dapat dibagi dua. Pertama,
untuk membantu manusia mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kedua, untuk membantu
manusia menjalankan tugas kekhalifahannya di bumi. Sehingga peran ilmu pengetahuan
dan teknologi dalam menanggulangi krisis ekologi dari efek negatif (destruktif) hasil
rekayasa teknologi yang ditimbulkan, haruslah diciptakan pula konsepsi penanggulangan
terhadap dampak negatif tersebut, maka peran ilmu pengetahuan dan tekologi dalam
hubungannya dengan kelestaraian lingkungan adalah sebagai berikut:
1. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai Instrumen Tugas Kekhalifahan
Teknologi modern telah didefinisikan sebagai seperangkat kemahiran
hasil aplikasi sains. Peranan sains dalam pengembangan teknologi modern
memang telah demikian lanjutnya. Sehingga setiap perbincangan teknologi
dewasa ini selalu saja berasoiasi ke sains. Padahal, pada umunya sains masih
dikaitkan dengan intelektualisame yang obyektif, sedangkan teknologi tanpa
ajaran sudah dikaitkan dengan intelektualisme yang subyektif-pragmatik dan
malahan manipulaitif.
2. Sarana Mendekatkan Diri pada Allah SWT
Banyak ayat-ayat Allah SWT yang memerintahkan hambaNya untuk
bersyukur atas nikmat yang diberikan di bumi ini. Dalam hubungannya
dengan lingkungan hidup tugas manusia sebagai hamba Allah adalah
mensyukuri alam lingkungan dengan cara memanfaatkan sebaik-baiknya,
bukan malah merusaknya. Seperti yang terjadi di belahan dunia sekarang ini.
Eksistensi manusia dalam mengungkapkan rasa syukur kepada Allah atas
sumber kekayaan alam di muka bumi sudah jarang ditemukan, yang terjadi
adalah rasa sombong, congkak, merusak dan kufur atas nikmat-Nya.

F. Kesimpulan
Islam merupakan agama yang mengajarkan pada umatnya untuk mencintai dan
menjaga lingkungan demi kemaslahatan bersama. Mencintai lingkungan adalah bagian
dari usaha Islam sebagai rahmattul lil allamin atau agama pembawa berkah dan
kesejahteraan umatnya. Oleh karena itu, kita sebagai umat yang diciptakan oleh Allah
SWT harus mampu memelihara, tidak merusak, dan memanfaatkan lingkungan kita
dengan sebaik mungkin.
DAFTAR PUSTAKA

Siswanto. 2008. Islam dan Pelestarian Lingkungan Hidup: Menggagas Pendidikan Islam
Berwawasan Lingkungan. Jurnal Karsa Vol. 14 (2) : 85
Suhendra, Ahmad. 2013. Menelisik Ekologis Dalam Al-Qur’an. Jurnal Esensia Vol. 14
(1): 66-76
Syamsuddin, M. 2017. Krisis Ekologi Global Dalam Perspektif Islam. Jurnal Sosiologi
Perspektif Vol. 11 (2) : 85-101

Anda mungkin juga menyukai