Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

FILSAFAT KENABIAN
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat
Dosen pengampu : Muh, Lutfi Hakim, MH

Disusun Oleh :
Hamdan Habibur Rahman
Ahmad Bastomi
Ibnu Ubaidillah Muhghni

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT PESANTREN MATHALI’UL FALAH
PATI

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Teori kenabian dalam agama Islam telah menjadi perdebatan sengit yang
belum berhenti hingga saat ini. Sayangnya, perhatian umat Islam terhadap tema ini
tidak terlalu besar. Salah satu tokoh Islam klasik yang menaruh perhatian besar atas
teori kenabian ini adalah Ibnu Sina, dalam sejarah Islam, perdebatan tentang wacana
kenabian diwakili dua kubu. Kubu pertama adalah kaum ortodoks yang
direpresentasikan oleh para teolog Sunni. Dalam pandangan kelompok ini, Nabi atau
kenabian merupakan sebuah anugerah dari Tuhan kepada manusia. Oleh karenanya,
gelar kenabian bisa diberikan kepada siapa saja. Pendapat ini berbeda dari pendapat
kelompok kedua, yakni kaum heterodoks yang diwakili para ahli filsafat. Mereka
menyatakan bahwa kenabian sesungguhnya merupakan keniscayaan dalam kehidupan
ini.
Menurut Ibnu Sina, bahwa Nabi intinya adalah seorang yang kekuatan
kognitifnya mencapai akal aktif, yakni malaikat Jibril. Hakikat akal aktif itu
sesungguhnya adalah batasan antara dimensi ketuhanan dan kemanusiaan.
“Pendeknya, seorang Nabi adalah orang yang mampu berkomunikasi bukan saja
dengan Tuhan tetapi juga kepada manusia. Sebab, bagi Ibnu Sina, tugas kenabian
sesungguhnya juga memerankan fungsi politik, dalam arti mampu menuntun manusia
untuk mengetahui hukum baik-buruk dan memberikan teladan kepada mereka untuk
melaksanakannya.
Perbedaan cara pandang dua kelompok di atas terhadap kenabian, berimplikasi
pada perlakuan mereka terhadap Nabi dan ajaran-ajarannya. Bagi kelompok ortodoks,
ajaran kenabian adalah ajaran yang suci dan mutlak kebenarannya. Karena semuanya
bersumber dari wahyu Tuhan.
Sementara bagi kelompok kedua, yaitu kelompok heterodoks, ajaran kenabian
adalah ajaran manusia biasa saja. Ia bisa punya nilai kebenaran, tapi juga
dimungkinkan adanya kekurangan. Karena meski sumber kenabian itu mempunyai
hubungan dengan Yang Di Atas, yaitu Tuhan, tetapi ia sebenarnya juga bersumber
dari bawah, yaitu masyarakat. Sejalan dengan pandangan kaum heterodoks adalah
pandangan Fazlur Rahman yang mengatakan bahwa Nabi sesungguhnya bukanlah
tukang pos yang hanya menyampaikan pesan. Sebaliknya, dalam menyampaikan
wahyu, Nabi juga turut intervensi. Salah satu filosof klasik yang berpandangan seperti
ini adalah Ar Razi yang berpendapat ”bahwa tidaklah masuk akal Tuhan mengutus
para nabi padahal mereka tidak luput dari banyak kekeliruan. Setiap bangsa hanya
percaya kepada nabinya dan tidak mengakui nabi bangsa lain. Akibatnya terjadi
banyak peperangan keagamaan dan kebencian antara bangsa  karena kefanatikan
agama bangsa yang dipeluknya.”

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan filsafat kenabian ?
2. Kenapa harus ada nabi ?
3. Bagaimana derajat dan penetapan kenabian ?
4. Kenapa masa kenabian berakhir ?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Filsafat Kenabian
Al-Farabi (meninggal 950M), filsuf Muslim terbesar sebelum Ibnu Sina,
mengatakan : Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam  maujud dan  bertujuan
menyelidiki hakikat yang sebenarnya. Filsafat juga adalah pandangan hidup seseorang
atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mcngenai kehidupan yang
dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan
dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari
segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan. Sehingga filsafat dapat juga
dikatakan sebagai mother of science karena mempelajari suatu hakikat dari
pengetahuan.
Kata Nabi berasal dari kata kerja (fi’il) bahasa Arab nabba’a yanabbi’u yang
berarti member kabar. Kata Nabi di petik dari kata nabiyyun dalam bahasa Arab yang
berkedudukan sebagai kata benda pelaku perbuatan (isim fa’il) yang berarti orang
yang membawa kabar atau berita. Darii kata nabi yang bermakna harfiah sebagai
pembawa berita ini kemudian digunakan dalam istilah agama sehingga nabi berarti
orang yang di utus Tuhan untuk menyampaikan berita dan pelajaran dari Tuhan untuk
manusia.
Kenabian menurut Ibnu Sina merupakan jiwa (roh) yang tinggi. Nabi
merupakan manusia pilihan yang memiliki kelebihan dari manusia lainnya. Memiliki
mukjizat yang bertujuan mengajak manusia untuk meninggalkan kemusyrikan,
menetapkan peraturan untuk kebahagiaan umat manusia, mengantar manusia untuk
memahami sistem kebaikan.
Walaupun nabi dan rasul seperti halnya manusia biasa, akan tetapi ia
mempunyai keistimewaan karena ia memperoleh akal tertinggi dari Tuhan yang di
sebut al-hadas. Al-hadas ini mempunyai daya yang suci yang di sebut al-quwwah al-
qudsiyyah. Adapun yang di maksud al-hadas dalam penerian filosofis ialah pancaran
ilahi yang diperoleh para nabi dan rasul sehingga mereka dapat berhubungan langsung
dengan ‘aql (Allah) tanpa melalui usaha manusia itu sendiri. (Al-hidayah li Ibn
Si’na’,298,299,293,294). Daya inilah yang membedakan nabi dan rasul dari manusia
yang lainnya. Suatu daya yang istimewa dan hanya diperoleh nabi dan rasul. Karena
daya ini pula nabi dan rasul dapat menerima wahyu dari Allah untuk disampaikan
kepada umat manusia dan agar mereka bertindak dan berbuat sesuai dengan wahyu
itu.
Dalam filsafat kenabian dipahami bahwa Nabi atau rasul hanya
menyampaikan perintah Allah secara umum dan membawa berita yang belum pernah
didengar dan dilihat. Perintah beribadah kepada Allah bertujuan agar manusia mampu
melepaskan dirinya dari keterikatan dunia materi, berpaling dari selain Allah dengan
iman kuat, memahami kewajiban dengan mengikuti hikmah ilahiyah dalam
pengutusan seorang nabi dan rasul. sehingga berakhir menjadi suatu kekuatan
pendorong untuk mencapai kebahagian sesudah roh terpisah dengan tubuh.
B. Kenapa Harus Ada Nabi
Berdasarkan ketetapan Ilahi, semua keberadaan mengalami perubahan dan
perkembangan menuju kesempurnaan. Secara alami, benih yang ditanam berproses
menjadi kecambah, tanaman kecil, pohon besar, dan pada akhirnya berbuah. Puncak
kesempurnaan pohon adalah ketika dia memberikan buah-buahan segar.Sperma
mengalami perubahan menjadi segumpal darah, segumpal daging, tulang-belulang,
bentuk janin, hingga akhirnya terlahir menjadi bayi yang sempurna. Fenomena ini
berlaku pada seluruh keberadaan di alam semesta ini.
Semua keberadaan bergerak menuju kesempurnaan masing-masing secara
alami. Tiap makhluk mengetahui jalan dan cara mencapai tujuan penciptaannya.
Manusia berbeda dengan makhluk-makhluk lain yang tidak memiliki ikhtiar (pilihan)
dalam menempuh proses perubahan menuju kesempurnaan. Manusia mampu memilih
tujuan hidupnya yang dianggap sebagai kesempurnaan. Manusia bebas menentukan
pilihannya dalam meraih tujuan. Dia menggali tanah demi mendapatkan air. Dia
mengais rezeki demi mendapatkan makanan enak. Dia melakukan eksperimen untuk
mengetahui hukum-hukum alam yang berlaku. Adapun keberadaan yang lain bergerak
menuju kesempurnaan penciptaannya sesuai dengan firman Allah : “Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaKu”. (Adz-
Dzariyat:56)
Atas dasar itu, agar manusia mampu meraih tujuan penciptaannya, dia harus
menggunakan kebebasan pilihannya dengan tepat. Manusia mesti menyeimbangkan
hubungan antara  hukum alam dan tujuan. Prinsip inilah yang mengatur dan
menyelaraskan ikhtiar manusia. Tujuan penciptaan manusia tidak mungkin tercapai
dengan sendirinya. Setiap manusia menentukan tujuannya sesuai dengan tuntutan
kepentingan dan kebutuhannya. Kebutuhan manusia diciptakan oleh situasi dan
lingkungan yang dialaminya. Namun keduanya (situasi interpersonal dan lingkungan)
tidak mampu menggerakkan manusia secara langsung. Jika demikian, hal ini akan
memandulkan fungsi manusia sebagai keberadaan yang memiliki pilihan(ikhtiar).
Manusia akan bergerak meraih sebuah tujuan apabila dia menyadari adanya
kepentingan. Namun, tidak setiap kepentingan akan diwujudkan oleh manusia.
Terdapat dua kepentingan manusia, yaitu: kepentingan jangka pendek dan
kepentingan jangka panjang. Pada umumnya, kepentingan jangka pendek
mendatangkan manfaat secara individual. Sedangkan kepentingan jangka panjang,
kebanyakan manfaatnya terkembali kepada masyarakat manusia. Dalam dimensi
teologis, kepentingan jangka pendek ini bisa dikatakan sebagai kepentingan duniawi
atau kepentingan sosial dan kepentingan jangka panjang adalah kepentingan ukhrawi.
Terkadang, dalam diri manusia terjadi pertentangan antara kepentingan
duniawi dan kepentingan ukhrawi. Manakah yang patut didahulukan? Patutkah
seorang manusia mengorbankan kewajiban transedenalnya untuk melengkapi
kebutuhan duniawinya? Sebab manusia adalah mahluk dengan dua dimensi utama
yaitu dimensi transeden tentang hubungan vertikal antara Tuhan dan manusia dan
dimensi kemanusiaan tentang hubungan horizontal antara manusia dan manusia.
Sebagai sebuah entitas, manusia akhirnya sulit memprioritaskan kewajiban mana yang
terlebih dahulu harus dilaksanakan sehingga berpotensi terjadinya pengorbanan
kepentingan sosial atau kepentingan transedental untuk melengkapi kepentingan
pribadi manusia.
Pada dimensi horizontal atau dimensi sosial telah nampak kerusakan di darat
dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan
kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke
jalan yang benar). (Ar Ruum: 41). Kerusakan di muka bumi disebabkan oleh ulah
manusia yang menjadikan kepentingan pribadi sebagai tujuan hidupnya dengan cara
mengorbankan kepentingan sosial yang akhirnya berimplikasi terhadap tanggung
jawab kita kepada Tuhan.
Oleh karenanya, masyarakat manusia membutuhkan aturan dan undang-
undang, lantaran adanya benturan antara kepentingan pribadi dan kepentingan sosial.
Manusia merupakan makhluk sosial dan membutuhkan undang-undang untuk
mengatur hubungan sosial serta beragam urusan hidupnya, agar tidak terjadi silang
pendapat, pertikaian, benturan, dan kezaliman di antara anggota masyarakat, serta
demi menjaga kepentingan individu dan sosial.
Dalam pada itu, undang-undang tidak mungkin dapat terlaksana dengan
sendirinya. Hanya dengan adanya undang-undang, persoalan sosial atau individual
apapun tak akan dapat terselesaikan. Oleh karena itu, setiap undang-undang niscaya
memerlukan sosok pelaku yang mampu menjamin pelaksanaan, penegakan, dan
penerapannya secara sempurna, serta tegaknya keadilan di atas basisnya.
Kebutuhan kepada sosok yang adil dan bijaksana yang mampu menerapkan
undang-undang di tengah masyarakat, merupakan keniscayaan bagi umat manusia.
Dari sinilah nampak nilai penting seorang nabi dan rasul. Yaitu pribadi-pribadi pilihan
Allah Swt yang mempunyai misi untuk menerapkan dan menjalankan aturan di tengah
masyarakat manusia. Para nabi dan rasul diutus untuk menjaga aturan dan
menegakkan keadilan di tengah masyarakat. Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya
Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan
telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia
dapat melaksana-kan keadilan.”  (al-Hadid: 25)
Fadhl bin Syadzan meriwayatkan bahwa Imam Ali bin Musa ar-Ridha—salam
sejahtera bagi keduanya—menjelaskan tentang penyebab penetapan ulil amr
(pemimpin manusia) dan adanya perintah untuk mematuhinya. Beliau berkata,
“Mungkin seseorang bertanya, ‘Mengapa Allah menetapkan pemimpin masyarakat
dan memberikan perintah untuk mematuhi mereka?’ Jawabannya dikarenakan banyak
sebab. Antara lain: Ketika seseorang berdiri di hadapan sebuah garis-batas dan
diperintahkan untuk tidak melanggar batas itu lantaran akan membahayakannya, maka
perintah itu tidak akan  dan tak dapat tegak, kecuali jika Allah Swt menetapkan
baginya sosok terpercaya yang mampu mencegahnya melanggar batas dan memasuki
kawasan berbahaya. Kalau tidak begitu, niscaya manusia tidak akan meninggalkan
kesenangan dan kepentingannya dengan mengganggu orang lain. Oleh karenanya,
Allah Swt menetapkan baginya sosok penegak hukum yang mampu mencegahnya
berbuat kerusakan serta sanksi dan hukum di tengah manusia.
Argumen lain tentang kemestian adanya nabi dan rasul yang logis, rasional
dan menggunakan argument empiris-historis dikemukakan oleh al-Jurjawi dan
Hikmat al-Tasyri’ wa Falsafatu. Argument tersebut adalah sebagai berikut:
Secara naluriah. Manusia dapat mengetahui sebagian perbuatan yang baikdan
yang buruk dengan akalnya. Daya akal manusia belum cukup untuk mengetahui cara
yang dapat menunjukkan jalan menuju keselamatan dunia dan akhirat. Oleh karena itu
manusia, manusia memerlukan seorang manusia yang diutus Tuhan yang
menyampaikan syariat-Nya agar manusia dapat mencapai keselamatan tanpa melewati
perbuatan dan jalan yang membahayakannya. Kehadiran nabi dan rasul merupakan
kebutuhan primer manusia karena akal tidak dapat memenuhinya. Nabi dan rasul
mengemban enam tugas utama yaitu:
1. Memberikan petunjuk kepada manusia agar manusia mengetahui Allah
(ma’rifatullah). Menyampaikan sifat-sifat Allah yang dapat memudahkan manusia
memahami ke-Maha Esaan-Nya, dengan cara yang paling mudah.
2. Menyampaikan berita bahwasannya Allah mengancam manusia yang tidak taat
kepada-Nya dan memberikan kabar gembira bagi mereka yang mentaati-Nya.
“Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, dan pembawa kabar gembira
serta pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan
izin-Nya, dan sebagai cahaya yang menerangi” (Al-Ahzab 33 : 45-46)
3. Mengajarkan akhlak yang mulia kepada manusia yang berguna bagi diri manusia itu
sendiri dan bagi sesamanya, seperti sifat jujur, tidak berdusta, dermawan dan
sebagainya. “Sesungguhnya aku diutusAllah SWT,
untukmenyempurnakan(memperbaiki) akhlakmanusia”. (HR. Ahmad)
4. Mengajarkan tata cara mengagungkan Allah serta menunaikan kewajiban yang di
bebankan Allah kepada manusia, dan beribadah kepada-Nya dalam berbagai
bentuknya secara sempurna.
5. Menetapkan ketenutan-ketentuan hukum (hudud) dan kaidah-kaidah yang harus
dipatuhi seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya, seperti ketentuan hukum
berzina, pembunuhan, dan sebagainya. Ketentuan-ketentuan tersebut bertujuan untuk
menegakan keadilan yang dapat menjamin keamanan negri dan penduduknya.dalam
hubungannya dengan tugas tersebut, nabi dan rasul berfungsi sebagai hakim atau
pembuat hukum. “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan
membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab
dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al-Hadid;
57: 25)
6. Menjelaskan cara-cara yang benar apa yang mesti ditempuh manusia dalam
kehidupan duniawinya, seperti keharusan aktif bekerja, dan melaksanakan berbagai
bentuk kewajiban.
7. Berdasarkan tugas-tugas nabi dan rasul di atas, dapatlah di nyatakan bahwa agama
islam adalah agama bagi seluruh umat manusia. Islam menjamin kebahagiaan hidup
mereka yang menganutnya, dan melaksanakan ajaran islam itu sepenuh-penuhnya.
Kedudukan rasul bagi manusia bagaikan kedudukan akal dan hati nurani bagi manusia
yang dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, atau mana yang
benar dan mana yang salah. Bila manusia salah membedakan mana yang baik dan
mana yang buruk, atau mana yang benar dan mana yang salah, maka itu terjadi karena
ketidak pedulian manusia terhadap penggunaan akal dan kalbunya yang kemudian
dikuasailah dirinya itu dengan kebencian, kerakusan, dan permusuhan. Oleh karena
itu, terjadinya kekacauan, kesesatan, fanatisme mazhab dan kelompok. Semua itu
terjadi bukan karena agama, melainkan karena agama tidak dilaksanakan dengan
benar sebagai akibat kesalahan dalam pemahaman dan penghayatannya.
C. Argumentasi Pentingnya Kebagian
Gambaran di atas sebenarnya telah membuktikan kepada kita bahwa kenabian
adalah hal yang penting bahkan niscaya. Akan tetapi untuk melengkapi pembuktian,
di bawah ini akan diuraikan secara singkat beberapa argumentasi akan pentingnya
atau keharusan diutusnya para Nabi, yaitu sebagai berikut :
1. Argumentasi Kebijaksanaan (Hikmah). Kita ketahui bahwa Allah adalah Maha
Bijaksana, karenanya Dia tidak akan membiarkan manusia tanpa pembimbing dalam
mengarungi kehidupan ini. Sesuai dengan tauhid hukum bahwa Allah telah
menurunkan hukum-hukumnya, maka mesti adalah yang mengajarkan hukum-hukum
tersebut agar terlaksana dengan baik. Karena Allah tidak mungkin berhubungan
secara langsung di alam materi, maka Ia akan mengutus seseorang yang telah
mencapai derajat tertentu untuk menjadi penyampai, pembimbing dan penjaga
hukum-hukumnya (syariat/agama). Orang yang diutus tersebut dikenal dengan Nabi
atau Rasul.
2. Argumentasi Rahmat. Allah senantiasa Maha Pengasih dan Penyayang, maka sesuai
dengan kasih sayang-Nya tersebut, Dia tidak akan membiarkan makhluknya dalam
kebingungan tanpa adanya pembimbing untuk mengamalkan hukum-hukumnya.
Karena dengan mengamalkan hukum-hukum-Nya manusia dapat meningkatkan
dirinya menuju derajat insan kamil (manusia sempurna). Karena itu Dia akan
mengutus seseorang untuk manjadi pembimbing, inilah yang dikenal dengan Rasul
atau Nabi.
3. Argumentasi Kesempurnaan. Sesuai dengan hikmah penciptaan bahwa manusia
mestilah mencapai kesempurnaan untuk memperoleh kebahagiaan hakiki. Karena
manusia diharapkan untuk mencapai kesempurnaan, dan kesempurnaan akan tercapai
jika sesuai atau mengikuti jalan-jalan yang digariskan Allah, maka untuk
memberitahukan dan membimbing manusia ke jalan yang sempurna itu, Allah
mengutus Nabi atau Rasul.
4. Argumentasi Keadilan. Allah Maha Adil, artinya tidak menzhalimi hamba-Nya dan
menempatkan sesuatu pada tempatnya. Adalah suatu kezhaliman membiarkan
ciptaan-Nya dalam keadaan bingung dan tidak mengetahui aturan-aturan kehidupan,
karenanya berdasarkan keadilan tersebut, ia mesti mengutus seseorang untuk menjadi
pembimbing umat manusia.

Argumentasi-argumentasi di atas menunjukkan dengan jelas akan pentingnya


posisi kenabian dalam hidup dan kehidupan manusia. Dan argumentasi-argumentasi
rasional diatas, juga didukung banyak ayat-ayat al-Quran, yang menegaskan bahwa
Allah telah mengutus para Nabi dan Rasul untuk membimbing umat manusia dan
menuntun mereka mencapai kesempurnaan hakiki dan kebahagiaan abadi. Seandainya
para nabi itu tidak diutus maka tujuan penciptaan manusia tidak akan tercapai dan
manusia akan tenggelam dalam kesesatan.

D. Derajat dan pentepan kenabian


Kenabian merupakan ikhtiar dua arah, yakni ikhtiar manusia sebagai utusan
dan ikhtiar Allah swt sebagai pengutus. Inilah yang dikenal dengan istilah ‘derajat
kenabian’ dan ‘gelar kenabian’.
Derajat kenabian adalah kondisi tertentu yang dimiliki oleh seseorang
sehingga memenuhi syarat untuk menjadi Nabi, sedangkan gelar kenabian merupakan
pelantikan dari Tuhan terhadap seseorang yang pantas – dengan pilihan Tuhan—
untuk menjadi Nabi yang diutus kepada umat manusia. Dengan demikian derajat
kenabian merupakan ikhtiar manusia sedangkan pangkat kenabian merupakan
pelantikan yang sepenuhnya hak Allah swt untuk mengangkat siapa yang
dikehendaki-Nya.
Dengan penjelasan ini, maka jelaslah bahwa Nabi dapat menjadi teladan
karena dengan ikhtiarnya sehingga mampu untuk mengendalikan diri (maksum) dan
mencapai derajat kenabian. Disisi lain tidak semua orang berhak menjadi Nabi,
karena gelar kenabian sepenuhnya hak Allah swt yang lebih mengetahui kemaslahatan
manusia dan kebutuhan akan pengutusan kenabian, “Allah lebih mengetahui dimana
Dia menempatkan tugas kerasulan.” (Q.S. al-An’am: 124). Karenanya ada saja orang
yang mencapai derajat kenabian akan tetapi, Allah tidak mengangkatnya menjadi
Nabi, seperti para Imam. Namun, bagaimana derajat itu bisa didapatkan oleh manusia
atau Nabi sebelum menjadi Nabi, padahal ia belum dibimbing oleh wahyu?
Perlu diperhatikan bahwa, pada awalnya seorang nabi dalam meningkatkan
kesempurnaan diri dan pengetahuannya berpegang pada kemampuan akalnya. Dalam
filsafat dijelaskan bahwa pengetahuan yang diperoleh akal manusia (termasuk yang
diperoleh nabi sebelum menjadi nabi) berasal dari alam yang lebih tinggi dari alam
dunia, yaitu alam malakuti (alam mitsal, alam akal, dan alam ketuhanan). Adapun,
belajar dan penyucian diri, berfungsi sebagai penyiap bagi jiwa untuk menangkap
pancaran ilmu ilahi tersebut.
Imam Khumaini menjelaskan bahwa premis-premis memiliki hubungan
persiapan dengan kesimpulan-kesimpulannya dan mempersiapkan jiwa untuk
menerima pengetahuan melalui inspirasi dari sumber-sumber gaibnya yang tinggi
(mabadi-ye ‘aliyeh-ye ghaibiyyeh). Ini berarti, pengetahuan dan makrifat itu
dipancarkan dari alam gaib melalui hubungan—dan pencerapan—jiwa dengan alam
tersebut, sebagaimana disebutkan Allah, “Dan bertakwalah kepada Allah, niscaya
Allah akan memberimu ilmu…” (Q.S. al-Baqarah: 282) dan disabdakan hadits :
“pengetahuan itu (diperoleh) bukan melalui banyaknya pengajaran, tetapi melalui
cahaya yang Allah pancarkan kepada hati hamba yang dikehendaki-Nya.
E. Penutup Kenabian
Meskipun tiap nabi membawa pesan-pesan yang ternyata kandungannya hanya
memiliki perbedaan yang kecil, para nabi adalah pembawa pesan yang satu dan sama,
dan mereka memiliki satu aliran pemikiran yang sama.  Aliran pemikiran ini
disuguhkan secara gradual sesuai dengan kemampuan umat manusia, sampai mereka
mencapai titik perkembangan dimana aliran pemikiran ini bisa disuguhkan dalam
bentuknya yang lengkap dan sempurna. Ketika itulah kenabian berakhir.
Versi yang sempurna dari aliran pemikiran yang mengalami kontinyuitas
tersebut disuguhkan melalui pribadi Muhammad bin Abdullah, semoga selawat dan
salam dilimpahkan kepadanya dan kepada keluarganya, dan kitab suci terakhir adalah
al-Quran. Qur’an Suci mengatakan: “Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu, dalam
kebenaran dan harmoni, tak ada yang dapat mengubah kalimatnya.” (QS. Al-An’am;
6: 115).
Meskipun  kenabian merupakan alur yang berkelanjutan dari pesan Ilahi, dan
agama hanya kebenaran tunggal, ada beberapa alasan bagi diperbaharuinya kenabian
dan munculnya nabi-nabi, baik yang membawa hukum Ilahi maupun hanya
mendakwahkannya saja. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, umat manusia pada zaman dulu tidak mampu menjaga orisinalitas
Kitab Suci yang diturunkan pada mereka disebabkan kurangnya perkembangan
mental dan kematangan berfikir mereka. Kitab-kitab suci sebelum al-Quran diubah
dan didistorsi atau bahkan dirusak sama sekali, sehingga diperlukan pembaharuan
pesan (risalah). Masa dimana al-Quran diturunkan, yaitu abad 7 Masehi adalah
puncak dari masa kekanak-kanakan tersebut karena manusia saat itu telah berhasil
melampui masa kekanak-kanakannya dan akhirnya bersedia bertanggung jawab
teerhadap isi ajaran kitab suci yang terakhir, yaitu al-Quran. Kaum Muslimin pada
umumnya, sejak saat diturunkannya tiap-tiap ayat al-Quran hingga kini, telah
merekamnya dalam ingatan atau tulisan, dengan cara yang sedemikian rupa sehingga
kemungkinan terjadinya suatu macam distorsi, transformasi, perubahan, penghilangan
atau penambahan, dihilangkan. Karenanya, tidak ada perubahan dan kerusakan
terhadap kitab suci al-Quran. Alasan ini adalah salah satu alasan bagi pembaharuan
kenabian, menghilangkan kebutuhan atas kitab suci baru.
Kedua, alasan bagi diperbaharuinya agama dalam Kitab Suci, adalah bahwa
umat manusia pada masa sebelumnya belum mampu memahami suatu program yang
umum dan komprehensif. Dengan berkembangnya kemampaun ini, suatu program
yang bersifat umum dan komprehensif disuguhkan kepada umat manusia secara
kontinyu, dan dengan cara ini kebutuhan bagi pembaharuan kenabian dan hukum-
hukum Ilahi dihilangkan.
Ketiga, para ulama umat di masa Nabi Terakhir, yang merupakan abad ilmu
(the age of knowledge), mampu mengadaptasikan ajaran-ajaran umum al-Quran
terhadap masa dan tempat serta tuntutan-tuntutan dan kondisi-kondisi yang ada.
Dengan mengetahui prinsip-prinsip umat Islam, dan dengan mengenali situasi dan
kondisi masa dan tempat, mereka mampu merumuskan dan menyimpulkan hukum-
hukum Ilahi. Usaha ini disebut ijtihad (berusaha sejauh kemampuan untuk melakukan
pertimbangan keagamaan yang mandiri mengenai suatu masalah hukum).
Dari apa yang diuraikan diatas, jelaslah bahwa kematangan intelektual dan
pertumbuhan social umat manusia memainkan peran dalam berakhirnya kenabian.
Peran ini mempunyai aspek-aspek yang berbeda:
 Umat manusia telah menjaga kelestarian Kitab Suci dari distorsi yang
bagaimanapun
 Umat manuisa telah mencapai suatu titik perkembangan di mana mereka bisa
menerima dan menggunakan program perkembangannya sebagai suatu
keseluruhan dan tidak selangkah demi selangkah
 Kematangan intelektual umat manusia dan kemajuan social mereka telah
memungkinkan mereka untuk melaksanakan, menyebarluaskan dan
memanfaatkan agama untuk memerintahkan masyarakat mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang baik dan mencegah mereka dari perbuatan-
perbuatan yang jahat. Kebutuhan akan nabi-nabi yang hanya berfungsi sebagai
pendakwah, yang mempromosikan dan menyebarluaskan agama nabi yang
membawa hukum Ilahi telah dihilangkan. Para ulama dan kalangan umat telah
memenuhi kebutuhan ini.
 Kematangan intelektual umat manusia telah mencapai suatu titik dimana
mereka bisa mengomentari dan menjelaskan hal-hal umum yang terkandung
dalam wahyu, hingga dengan bantuan ijtihad dalam berbagai situasi dan
kondisi serta lingkungan, mereka bisa merujukkan suatu kasus hukum yang
ada kepada prinsip asalnya.
BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Dalam filsafat kenabian dipahami bahwa Nabi atau rasul hanya


menyampaikan perintah Allah secara umum dan membawa berita yang belum pernah
didengar dan dilihat. Perintah beribadah kepada Allah bertujuan agar manusia mampu
melepaskan dirinya dari keterikatan dunia materi, berpaling dari selain Allah dengan
iman kuat, memahami kewajiban dengan mengikuti hikmah ilahiyah dalam
pengutusan seorang nabi dan rasul. sehingga berakhir menjadi suatu kekuatan
pendorong untuk mencapai kebahagian sesudah roh terpisah dengan tubuh.

·Tujuan utama nabi diutus dimuka bumi adalah untuk menyeimbangkan


dimensi Ketuhanan dan dimensi Kemanusiaan bagi umat. Kedudukan rasul bagi
manusia bagaikan kedudukan akal dan hati nurani bagi manusia yang dapat
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, atau mana yang benar dan mana
yang salah.

Derajat kenabian adalah kondisi tertentu yang dimiliki oleh seseorang


sehingga memenuhi syarat untuk menjadi Nabi, sedangkan gelar kenabian merupakan
pelantikan dari Tuhan terhadap seseorang yang pantas – dengan pilihan Tuhan—
untuk menjadi Nabi yang diutus kepada umat manusia. Dengan demikian derajat
kenabian merupakan ikhtiar manusia sedangkan pangkat kenabian merupakan
pelantikan yang sepenuhnya hak Allah swt untuk mengangkat siapa yang
dikehendaki-Nya.
DAFTAR PUSTAKA

Yazdi, Mizbah,Iman Semesta, (Jakarta: Al-Huda, 2005)

Yazdi, Mizbah, Membangun Agama, (Bogor: Cahaya, 2004),

Abu Bakar Atjeh, Prof. Dr. Syi’ah, Rasionalisme Dalam Islam, Yogyakarta: beranda

publishing, 2003

Adz-dzakiey, hamdani bakran, 2007, Psikologi kenabian, Yogyakarta: beranda

publishing

Mustafa,Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2004)

Ash-Shabuny, Muhammad Ali,Kenabian danParaNabi, terj. Arifin Jamian Ma’un,

(Surabaya: Bina Ilmu, 1993)

Hanafi, Ahmad,Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996)

Madjid, Nur Cholis, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984)

Anda mungkin juga menyukai