Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

DAKWAH BERWAWASAN KEMANUSIAAN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Islam dan Budaya Lokal

Dosen Pengampu : Dr. (c) Maryono, S.Th.I, M.Pd.

Disusun oleh :

Hilyah Diyan Kafita

Hudi Darminto

Irna Wahyu Hidayati

Maryatul Kibtiyah

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

STAIA SYUBBANUL WATHON MAGELANG

2020/2021
Abstrak
Pada hakikatnya, gerakan dakwah Islam berporos pada amar maruf nahi
munkar. Corak dan bentuk dakwah dituntut untuk dapat menyesuaikan dengan segala
perubahan dan perkembangan masyarakat. Sebab itu, perlu menggagas pentingnya
sebuah konsep dakwah yang memanusiakan manusia atau dakwah humanis dengan
kesadaran terhadap subyektivitas di dalam berdakwah sangat penting untuk
diperhatikan. Sebab subyektivitas tidak dapat dihindari dalam praktik agama yang
menjadi rangkaian dari pengaruh dakwah. Subyektivitas agama muncul dalam semua
agama dan dalam setiap diri manusia apapun kelas sosialnya. Dengan adanya
subyektivitas ini, kesadaran juru dakwah harus mampu memahami dengan cara
pandang subyektif dari yang didakwahi. Sehingga akan memudahkan untuk
memasukkan ajaran agama Islam di dalamnya.
Secara metodis, kiranya model dakwah dua arah atau mujadalah menjadi
sangat menolong bagi keberhasilan misi dakwah di era yang sangat kompleks ini.
Metode ini merupakan suatu metode dengan cara bertukar pikiran dan membantah
dengan cara sebaik-baiknya dengan tidak memberikan tekanan-tekanan dan tidak pula
menjelekkan yang menjadi mitra dakwah. Inilah yang dimaksud dengan berdebat
dengan cara yang baik, yaitu menghindari kesombongan, menghargai pendapat orang
lain, tidak saling mengalahkan, dan hanya untuk satu tujuan mengajak ke jalan Allah
dengan dakwah yang berwawasan kemanusiaan. Dakwah dua arah dalam konteks
Islam dan budaya lokal, memberikan pemahaman bahwa dakwah yang dilakukan di
Indonesia dilakukan dengan dialogis. Islam mampu menyerap kearifan lokal dengan
interaksi secara dua arah. Budaya yang berkesuaian dengan Islam dan wajah Islam
yang bersesuaian dengan kearifan lokal

Kata Kunci : Dakwah, Subyektivitas, Mujadalah, Islam Budaya Lokal.

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dakwah adalah menyebarkan ajaran agama Islam kepada orang lain untuk
diikuti dan ditaati dalam kehidupan sehari-hari. Pada hakikatnya, gerakan dakwah
Islam berporos pada amar maruf nahi munkar. Corak dan bentuk dakwah dituntut
untuk dapat menyesuaikan dengan segala perubahan dan perkembangan masyarakat.
Sebab itu, perlu menggagas pentingnya sebuah konsep dakwah yang memanusiakan
manusia atau dakwah humanis. Dakwah humanis adalah dakwah yang mencerdaskan
dan mencerahkan umat, bukan dakwah yang membodohi dan mengebiri masyarakat.
Dakwah yang tidak bermaksud untuk mencari-cari kesalahan orang lain, bukan
memukul tapi merangkul, dakwah yang tidak mengejek tapi mengajak, membujuk
bukan membajak dan dakwah yang bersifat persuasif bukan provokatif.1

Disinilah dituntut adanya peran juru dakwah dalam sebuah masyarakat,


ditangan para juru dakwah pengamalan Islam dapat dibawa ke berbagai arah. Diantara
juru dakwah sendiri sering terjadi perbedaan pemahaman, sementara itu masyarakat
juga semakin pandai, mandiri dan semakin bebas menentukan pilihannya dengan
argumentasi masing-masing. Menghadapi kondisi demikian, juru dakwah diharapkan
mempunyai kearifan yang lebih. Oleh karena itu, kesadaran penuh terhadap
subyektivitas menjadi sangat penting untuk selalu diingat oleh semua juru dakwah
atau da’i. Dan secara metodis, kiranya model dakwah dua arah atau dialog menjadi
sangat menolong bagi keberhasilan misi dakwah di era yang sangat kompleks ini.

B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana dengan kesadaran terhadap subyektivitas di dalam berdakwah ?
b. Bagaimana dengan model dakwah dua arah atau mujadalah ?

1
Mawardi Siregar, “Menyeru Tanpa Hinaan”, Jurnal Dakwah Vol. XVI No. 2, 2005, hlm. 206.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kesadaran Terhadap Subyektivitas di dalam Berdakwah


1. Menyadari Subyektivitas Praktik Agama
Subyektivitas adalah fakta yang ada di dalam pikiran manusia sebagai
persepsi, keyakinan dan perasaaan yang ada dalam setiap diri manusia.
Subyektivitas tidak dapat dihindari dalam praktik agama yang menjadi rangkaian
dari pengaruh dakwah. Meski Islam berasal dari satu sumber, yaitu wahyu Allah
SWT melalui seorang nabi atau rasul, dalam perkembangannya ditemukan adanya
wujud agama Islam yang berbeda-beda di dalam masyarakat. Islam dalam
masyarakat sebagaimana juga dalam agama lain bermacam-macam bentuk dan
wujudnya, baik dalam hal pemahaman, apalagi di dalam pengamalan ajarannya.
Puncak dari suatu perbedaan adalah munculnya perpecahan dan konflik dalam
masyarakat yang tidak jarang di sebabkan oleh perbedaan paham di dalam
beragama, baik antar agama maupun dalam satu agama. Kondisi ini menimbulkan
pandangan tentang agama, bahwa Islam itu adalah subyektif. Subyektivitas agama
muncul dalam semua agama dan dalam setiap diri manusia apapun kelas
sosialnya.2
Ajaran agama yang mengharuskan pemeluknya untuk mengembangkan
agama, termasuk Islam turut menyebabkan berbagai dampak terhadap ragam
agama yang ada di dunia ini. Karena juga manusia, maka ketika seorang penyiar
agama atau juru dakwah yang semestinya menyiarkan agama sesuai sumbernya,
pada dasarnya mereka itu adalah menyiarkan agama subyektif mereka. Dalam
Islam, setiap juru dakwah akan menyiarkan agama Islam, yang semestinya satu,
ini secara berbeda-beda sesuai dengan subyektivitas keberagamaan juru dakwah
tersebut. Sebaliknya, masyarakat sebagai penerima dakwah juga tidak dapat lepas
dari subyektivitasnya. Hal ini disebabkan karena kondisi bahwa setiap manusia
adalah subyek. Sehingga selalu bersifat subyektif. Agama sebagai satu kebutuhan
pokok setiap manusia juga merupakan sesuatu yang subyektif. Setiap orang
merasa perlu terhadap agama. Islam, sebagai agama yang termasuk agama besar
di dunia dan para pengikutnya meyakini sebagai agama Langit, dalam

2
Khadziq, “Islam dan Budaya Lokal (Belajar Memahami Realitas Agama Dalam Masyarakat)”, Cet 1,
Yogyakarta: Teras, 2009, hlm. 243-245.

3
kenyataannya juga tidak dapat terlepas dari subyektivitas. Berbagai sekte, aliran,
atau madzhab banyak mewarnai sejarah umat Islam di dunia, yang masing-masing
menganggap bahwa agama Islam-nyalah yang paling benar dan yang lain salah.3
2. Peran Juru Dakwah Terhadap Subyektivitas Praktik Agama
Aneka perbedaan dalam Islam salah satunya disebabkan oleh proses
dakwah yang mempunyai nilai subyektivitas. Setiap juru dakwah menyampaikan
ajaran agama Islam dengan sebuah keyakinan bahwa apa yang disampaikan itu
adalah Islam yang benar, yang ideal, yang sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Di sisi lain, juru dakwah adalah manusia dengan segala sifat-sifat
kemanusiaannya, sehingga tidak dapat terlepas dari unsur subyektivitas. Para juru
dakwah sendiri tidak secara langsung mempelajari agama Islam secara sendiri,
mereka banyak belajar dan memahami agama Islam dari para gurunya, meski
mengklaim dirinya sebagai seorang yang tidak mau taklid buta pada seorang guru.
Para guru ngaji, para kiai dan lain-lain termasuk berfungsi sebagai da’i, mereka
juga punya guru, dan terus ke atas sehingga menampakkan sebuah garis informasi
tentang Islam yang akhirnya berpuncak pada Nabi Muhammad sebagai guru
paling awal yang mengajarkan isi al-Qur’an. Dalam garis turun-temurun inilah
terus menerus pula berbagai subyektivitas dalam memahami Islam terus
berlangsung, sehingga semakin jauh dari Nabi Muhammad semakin dianggap
subyektif dan semakin jauh dari yang sebenarnya sebagaimana yang dikehendaki
oleh Allah melalui Nabi Muhammad tadi. Berbagai gerakan pembaharuan mucul
sebagai antisipasi terhadap anggapan bahwa agama Islam telah jauh dari apa yang
sebenarnya. Berbagai gerakan revivalisme yang ingin mengembalikan Islam
sebagaimana masa Nabi Muhammad muncul dalam berbagai konteks masa dan
tempat.4
Sebagai manusia, kepentingan seorang juru dakwah sangat berperan di
dalam menentukan materi dakwahnya. Ia tentu saja akan menyampaikan
serangkaian pesan agama yang diambil dari teks suci kepada orang lain, yang
dapat mendukung pencapaian sebuah cita-cita individu maupun kelompok, atau
paling tidak untuk menghindarkan dari segala sesuatu yang dianggap dapat
menghalangi tercapainya sebuah cita-cita di dalam kehidupannya. Bagi seorang
3
Khadziq, “Islam dan Budaya Lokal (Belajar Memahami Realitas Agama Dalam Masyarakat)”, hlm.
245-246.
4
Khadziq, “Islam dan Budaya Lokal (Belajar Memahami Realitas Agama Dalam Masyarakat)”, hlm.
247-248.

4
juru dakwah, apapun alasannya, hal ini akan berpengaruh terhadap subyektivitas
di dalam dakwahnya. Juru dakwah di dalam masyarakat selalui dianggap sebagai
seorang tokoh agama. Kalau seorang juru dakwah telah dianggap sebagai tokoh
yang mereka akui keberadaannya berdasarkan dua syarat pokok yakni
pemahaman agama dan budi pekerti nya, maka tugas dakwah akan mudah
mencapai hasil yang maksimal.
Persaingan antar individu untuk mencari legitimasi sosial dan menempati
posisi sebagai yang ditokohkan juga sering terjadi di dalam masyarakat. Semakin
banyak orang yang pandai dan memiliki kapasitas keilmuan agama, semakin
ramai persaingan untuk memperebutkan legitimasi sosial dari masyarakatnya.
Seorang juru dakwah yang juga mempunyai posisi di dalam masyarakat juga
sering terlibat di dalam perebutan posisi ini. Untuk itu, materi dakwah merekapun
sering digunakan untuk mencari legitimasi diri dari masyarakatnya dengan
mencari materi yang ia pilih dari teks suci, yang dapat mendukung kediriannya
dalam masyarakat, bahkan tidak jarang pula materi itu dapat meruntuhkan
ketokohan orang lain yang menjadi rivalnya dalam meraih legitimasi sosial.5
Proses subyektivikasi agama melalui juru dakwah juga terpengaruh oleh
bahasa dakwah. Mereka menjalankan tugasnya dengan cara berbahasa, baik
melalui tulisan maupun lisan yang didukung oleh seperangkat gerak-gerik tubuh.
Oleh karena itu perbedaan latar belakang dan pengetahuan akan menyebabkan
setiap juru dakwah menggunakan bahasa yang tidak sama satu sama lain, yang
tentu saja mempengaruhi penerimaan masyarakatnya. Pada hakikatnya ketika
manusia berbahasa, ia menetapkan pilihan kata-kata yang telah dikenal dalam
bahasanya. Dalam pemilihan kata-kata inilah seorang juru dakwah juga akan
dipengaruhi oleh subyektivitasnya. Berbagai kondisi jiwa seorang juru dakwah
pun juga menentukan subyektivitasnya dalam berbahasa.
Subyektivikasi agama tidak hanya diperankan oleh juru dakwah secara
sepihak. Pesan yang diberikan oleh juru dakwah yang subyektif diterima pula
secara subyektif oleh penerima dakwah. Kalau para juru dakwah bebas memilih
materi dakwahnya, sasaran dakwah pun bebas memilih pesan mana yang cocok
yang dapat ia terima. Subyektivitas individu ini dalam sebuah masyarakat dapat
menjelma menjadi subyektifitas kolektif. Setiap anggota masyarakat juga akan

5
Khadziq, “Islam dan Budaya Lokal (Belajar Memahami Realitas Agama Dalam Masyarakat)”, hlm.
248-250.

5
saling mempengaruhi di antara sesamanya dalam menerima pesan dakwah. Setiap
penerima dakwah akan selektif di dalam menerima apa yang disampaikan oleh
seorang da’i, meskipun sang da’i menawarkan ide-idenya dengan berdasarkan
pada dalil-dalil nash. Penilaian subyektif terhadap juru dakwah sangat berperan di
dalam proses penerimaan pesan-pesan dakwah itu. Kebencian terhadap seorang
juru dakwah dalam kehidupan sehari-hari akan menjadi penghambat utama secara
subyektif seseorang untuk menerima pesan dakwah, karena sebenarnya agama
adalah merupakan fakta sosial, sebuah fakta yang obyektif. Setiap individu
maupun masyarakat akan dengan mudah menerima pesan dakwah, apabila mereka
telah mengakui kelebihan juru dakwah itu di antara anggota masyarakat yang lain,
baik dari keilmuan maupun kepribadian.6
Latar belakang kebutuhan dan kepentingan seseorang juga mempengaruhi
penerimaan seseorang terhadap isi pesan dakwah. Mereka cenderung untuk
menerima berbagai pesan yang dapat menunjang kepentingan pribadi maupun
kelompoknya, dan sebaliknya mereka akan sulit untuk menerima pesan yang
dianggap menghambat pencapaian kepentingan subyektifnya. Faktor inilah yang
sering menyebabkan penilaian terhadap juru dakwah secara subyektif, dengan
tanpa sadar.7
Dengan adanya subyektivitas ini, kesadaran juru dakwah harus mampu
memahami dengan cara pandang subyektif dari yang didakwahi. Sehingga akan
memudahkan untuk memasukkan ajaran agama Islam di dalamnya. Hal ini
nampak dalam memberikan model perubahan dakwah, misalnya pada saat wali
songo berdakwah. Sunan kalijaga mengubah acara adat dengan memasukkan
menjadi tahlilan, hidangan yang semula babi diubah ingkung, sehingga dari
kacamata subyektivitas yang didakwahi tidak terasa perubahannya sehingga
mudah memasukkan ajaran Islam.
B. Metode Dakwah Dua Arah
Landasan umum bentuk metode dakwah adalah al-Qur’an dalam QS. An-Nahl
ayat 125 yang dijelaskan bahwa ada tiga metode dakwah yang disesuaikan dengan
kondisi obyek dakwah, yaitu hikmah, al-mau’idza al-hasanah dan mujadalah :

6
Khadziq, “Islam dan Budaya Lokal (Belajar Memahami Realitas Agama Dalam Masyarakat)”, hlm.
250-252.
7
Khadziq, “Islam dan Budaya Lokal (Belajar Memahami Realitas Agama Dalam Masyarakat)”, hlm.
253.

6
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan
berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang
lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa
yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl : 125)
Kutipan terjemahan ayat al-Qur’an diatas telah banyak dikenal di masyarakat,
terutama bagi para juru dakwah, sekaligus sebagai pedoman yang dianggap ideal bagi
mereka di dalam menjalankan aktivitas dakwahnya. Akan tetapi meski semua juru
dakwah berpedoman terhadap ayat tersebut di atas, dalam realitasnya seringkali
terdapat model berdakwah yang bahkan kadang-kadang menimbulkan sedikit
kontroversial di antara umat Islam. Seperti contoh kecil, beberapa kekerasan yang
pernah dilakukan sebagian umat Islam seringkali di klaim sebagai dakwah yang ideal
dan dianggap telah sesuai dengan ayat di atas, hal ini seringkali juga ditentang oleh
sebagian umat yang lain sebagai tindakan yang kurang bijaksana dan dianggap
bertentangan dengan ayat di atas.8 Secara metodis, kiranya model dakwah dua arah
atau mujadalah menjadi sangat menolong bagi keberhasilan misi dakwah di era yang
sangat kompleks ini.
Mujadalah adalah metode dakwah dua arah yang sering disebut dengan
metode dialogis atau diskusi. Dari segi etimologi (bahasa) lafzah mujadalah terambil
dari kata “jadala” yang bermakna memintal, melilit. Apabila ditambahkan alif pada
huruf jim yang mengikuti wazan Faa ala, “jaa dala” dapat bermakna berdebat, dan
“mujadalah” perdebatan. Metode ini lebih populer disebut dengan metode diskusi,
yaitu saling-silang dalam menyampaikan dalil dalam sebuah perdebatan. Sedangkan
menurut istilah, mujadalah adalah metode dakwah dengan cara bertukar pendapat
yang dilakukan oleh dua pihak yang secara sinergis dengan maksud mendapatkan
kebenaran, dan tidak adanya sebuah permusuhan antara satu dengan yang lain, saling
menghargai dan menghormati pendapat keduanya dan membantah dengan cara
sebaik-baiknya dengan tidak memberikan tekanan-tekanan dan tidak pula
menjelekkan yang menjadi mitra dakwah.9
Dalam hal ini, juru dakwah harus mengerti bahwa tujuan perdebatan ini bukan
untuk menang berdebat, tetapi dapat memuaskan lawan debat dan membawanya ke
jalan kebenaran. Oleh karena itu, lemah lembut di dalam berdakwah menjadi pilihan

8
Khadziq, “Islam dan Budaya Lokal (Belajar Memahami Realitas Agama Dalam Masyarakat)”, hlm.
254.
9
Sri Maullasari, “Metode Dakwah Menurut Jalaluddin Rakhmat dan Implementasinya Dalam BKI”,
Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 38, No. 1, 2018, hlm. 172-172.

7
yang tepat untuk mempengaruhi jiwanya tanpa perasaan merendahkannya. Inilah yang
dimaksud dengan berdebat dengan cara yang baik, yaitu menghindari kesombongan,
menghargai pendapat orang lain, tidak saling mengalahkan, dan hanya untuk satu
tujuan mengajak ke jalan Allah.10 Ciri utama mujadalah adalah bertukar pikiran secara
terarah, dan teratur dengan mengemukakan argumentasi atau dalil untuk menguatkan
suatu pendapat guna mencapai mufakat. Metode mujadalah ini sangat efektif untuk
meningkatkan pengetahuan agama Islam pada sasaran dakwah, dan cara yang baik
untuk merangsang berfikir dan mengeluarkan pendapat sendiri serta ikut
menyumbangkan pikiran. Salah satu efektivitas mujadalah adalah memperluas
cakrawala berpikir peserta mujadalah dan membuat mereka mampu berpikir kreatif
sehingga membuatnya terampil berbahasa.11
Mengingat kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh manusia seorang juru
dakwah harus memahami betul apa yang dibutuhkan oleh sasaran dakwahnya, selain
tingkat pemahaman dan cara berpikir mereka. Bahasa yang saling di mengerti di
dalam berdialog sangat mendukung tercapainya proses transformasi pesan kedua
belah pihak, sehingga efektivitas dakwah akan lebih mudah tercapai. Dialog dengan
kepala dingin, tidak menghakimi secara radikal, menghargai pendapat lawan dialog,
dan sebaginya yang membuat sasaran dakwah merasa senang untuk berdialog menjadi
syarat yang sulit untuk ditinggalkan demi berhasilnya proses dakwah tersebut. Dalam
diskusi dakwah dua arah seorang pendakwah sebagai pembawa misi Islam diharapkan
dapat menjaga keagungan namanya dengan menampilkan wajah yang tenang, berhati-
hati, cermat, dan teliti dalam memberikan materi dan memberikan jawaban atas
sanggahan peserta.12
Dakwah dua arah dalam konteks Islam dan budaya lokal, memberikan
pemahaman bahwa dakwah yang dilakukan di Indonesia dilakukan dengan dialogis.
Islam mampu menyerap kearifan lokal dengan interaksi secara dua arah. Budaya yang
berkesuaian dengan Islam dan wajah Islam yang bersesuaian dengan kearifan lokal.

10
Khadziq, “Islam dan Budaya Lokal (Belajar Memahami Realitas Agama Dalam Masyarakat)”, hlm.
259.
11
Maqfirah, “Mujadalah Menurut Al-Qur’an”, Jurnal Al-Bayan Vol. 20, No. 29, 2014, hlm. 109-111.
12
Khadziq, “Islam dan Budaya Lokal (Belajar Memahami Realitas Agama Dalam Masyarakat)”, hlm.
276.

8
BAB III

KESIMPULAN

a. Subyektivitas tidak dapat dihindari dalam praktik agama yang menjadi rangkaian
dari pengaruh dakwah. Subyektivitas agama muncul dalam semua agama dan
dalam setiap diri manusia apapun kelas sosialnya. Dalam Islam, setiap juru
dakwah akan menyiarkan agama Islam ini secara berbeda-beda sesuai dengan
subyektivitas keberagamaan juru dakwah tersebut. Sebaliknya, masyarakat
sebagai penerima dakwah juga tidak dapat lepas dari subyektivitasnya. Hal ini
disebabkan karena kondisi bahwa setiap manusia adalah subyek. Aneka perbedaan
dalam Islam salah satunya disebabkan oleh proses dakwah yang mempunyai nilai
subyektivitas. Juru dakwah adalah manusia dengan segala sifat-sifat
kemanusiaannya, sehingga tidak dapat terlepas dari unsur subyektivitas. Pesan
yang diberikan oleh juru dakwah yang subyektif diterima pula secara subyektif
oleh penerima dakwah. Dan dengan adanya subyektivitas ini, kesadaran juru
dakwah harus mampu memahami dengan cara pandang subyektif dari yang
didakwahi. Sehingga akan memudahkan untuk memasukkan agama di dalamnya.
b. Secara metodis, model dakwah dua arah atau mujadalah menjadi sangat menolong
bagi keberhasilan misi dakwah di era yang sangat kompleks ini. Dengan cara
bertukar pikiran dan membantah dengan cara sebaik-baiknya dengan tidak
memberikan tekanan-tekanan dan tidak pula menjelekkan yang menjadi mitra
dakwah. Tujuan perdebatan ini bukan untuk menang berdebat, tetapi dapat
memuaskan lawan debat dan membawanya ke jalan kebenaran. Oleh karena itu,
lemah lembut di dalam berdakwah menjadi pilihan yang tepat untuk
mempengaruhi jiwanya tanpa perasaan merendahkannya. Inilah yang dimaksud
dengan berdebat dengan cara yang baik. Dan bisa dimaknai juga dengan dakwah
berwawasan kemanusiaan. Dan dakwah dua arah dalam konteks Islam dan budaya
lokal, memberikan pemahaman bahwa dakwah yang dilakukan di Indonesia
dilakukan dengan dialogis. Islam mampu menyerap kearifan lokal dengan
interaksi secara dua arah. Budaya yang berkesuaian dengan Islam dan wajah Islam
yang bersesuaian dengan kearifan lokal.

9
DAFTAR PUSTAKA

Siregar, Mawardi. 2005. Menyeru Tanpa Hinaan. Jurnal Dakwah Vol. XVI

No. 2.

Khadziq. 2009. Islam dan Budaya Lokal (Belajar Memahami Realitas Agama

Dalam Masyarakat). Cet 1. Yogyakarta: Teras.

Maullasari, Sri. 2018. Metode Dakwah Menurut Jalaluddin Rakhmat dan

Implementasinya Dalam BKI. Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 38. No. 1.

Maqfirah. 2014. Mujadalah Menurut Al-Qur’an. Jurnal Al-Bayan Vol. 20.

No. 29.

10

Anda mungkin juga menyukai